• Tidak ada hasil yang ditemukan

PARADISA EKSAKTA GHEOSA Universitas Brawijaya

2. Analisis terhadap Kata Kekejaman

Dari sudut pandang pidana, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak mengatur mengenai kekejaman. Kekejaman dapat timbul sebagai akibat dari adanya sifat mementingkan diri dalam pribadi seseorang. Sifat mementingkan diri tersebut kemudian memicu terjadinya kemarahan yang tidak dapat di kontrol dan timbullah pemikiran untuk melakukan kekejaman. Disamping itu, kekejaman juga dapat timbul dari adanya kekuasaan yang dimiliki oleh seseorang. Hal ini menyebabkan orang tersebut akan berbuat sewenang-wenang karena memiliki kekuasaan yang tinggi dibanding orang lainnya dengan tidak memperhatikan kondisi orang yang berada dibawah kekuasaannya.

Dalam Putusan Pengadilan Agama Sukabumi Nomor 0013/Pdt.G/2014/PA.Smi, alasan diajukannya gugatan karena adanya KDRT. Hakim menimbang bahwa dalil penggugat telah memenuhi unsur dalam Pasal 19 huruf (d) PP Pelaksanaan UU Perkawinan karena tergugat telah melakukan kekejaman terhadap fisik dalam bentuk memukul penggugat, walaupun belum ada putusan dari Pengadilan Negeri yang menjatuhkan hukuman kepada tergugat karena telah melakukan KDRT kepada penggugat. Sedangkan pada Putusan Mahkamah Syari’ah Langsa Nomor 316/Pdt.G/2013/MS-Lgs, alasan diajukannya gugatan karena tergugat melakukan kekerasan fisik berupa pemukulan, dan telah mendapat hukuman dari Pengadilan Negeri berupa hukuman penjara 1 tahun 6 bulan. Hakim menimbang bahwa perbuatan tergugat yang telah terbukti melakukan kekerasan fisik dan dijatuhi hukuman penjara 1 tahun 6 bulan oleh Pengadilan Negeri, sesuai dengan alasan perceraian yang ada dalam Pasal 19 huruf (d) PP Pelaksanaan UU Perkawinan berupa kekejaman terhadap fisik.

Sejalan dengan hal tersebut, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga pada Pasal 6 mengamanatkan bahwa:

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

Jika dikorelasikan dengan alasan gugatan dalam kedua putusan diatas, yaitu karena adanya pemukulan, dapat diketahui bahwa dengan terjadinya pemukulan tentunya akan mengakibatkan rasa sakit, luka dan cedera pada tubuh penggugat.

Perkawinan

Sehingga tindakan pemukulan tersebut telah sesuai apabila dikategorikan sebagai kekerasan fisik. Kekerasan fisik tersebut erat kaitannya dengan kekejaman. Hal ini dikarenakan tindakan kekerasan fisik yang telah dilakukan oleh tergugat kemudian oleh hakim dirujuk pada pasal mengenai kekejaman. Sehingga dapat dikatakan bahwa kekerasan fisik dan kekejaman adalah hal yang sama.

Walaupun secara materiil kedua putusan tersebut tampak sama mengartikan kekerasan fisik sebagai kekejaman, namun pembeda diantara kedua putusan tersebut terletak pada ada dan tidak adanya bukti pendukung dalam menguatkan bahwa tergugat telah benar-benar melakukan KDRT. Dalam Putusan Pengadilan Agama Sukabumi Nomor 0013/Pdt.G/2014/PA.Smi, bukti yang diajukan oleh penggugat untuk meyakinkan tergugat telah melakukan KDRT hanya dengan pemanggilan beberapa saksi. Sedangkan dalam Putusan Mahkamah Syari’ah Langsa Nomor 316/Pdt.G/2013/MS-Lgs, bukti yang diajukan oleh penggugat selain para saksi adalah putusan Pengadilan Negeri Langsa yang telah berkekuatan hukum tetap yang membuktikan bahwa tergugat telah dinyatakan bersalah karena melakukan tindak pidana berupa kekerasan fisik terhadap penggugat dalam lingkup rumah tangga.

Menurut pendapat peneliti, peneliti sependapat dengan Putusan Pengadilan Agama Sukabumi Nomor 0013/Pdt.G/2014/PA.Smi yang mengabulkan gugatan perceraian penggugat karena adanya kekejaman terhadap fisik berupa pemukulan walaupun tidak ada bukti dari Pengadilan Negeri yang memutus bahwa tergugat telah melakukan tindak KDRT terhadap penggugat. Hal ini dikarenakan ketika dalam suatu rumah tangga terjadi kekerasan, kekerasan tersebut akan selalu meningkat baik intensitasnya maupun kualitasnya.20Dalam artian, kekerasan yang terjadi dimulai dari kekerasan ringan yang kemudian apabila dibiarkan akan menjadi kekerasan yang lebih berat lagi dan lebih intens. Apabila korban KDRT ketika mengajukan gugatan perceraian dengan alasan adanya kekejaman harus menyertakan bukti berupa putusan Pengadilan Negeri bahwa tergugat telah melakukan KDRT, hal ini akan memakan waktu yang lama.

20 Umu Hilmy, dkk., Buku Panduan Legal Reasoning dalam Putusan Perkara Kekerasan

Sehingga selama putusan KDRT tersebut belum inkracht, korban KDRT tersebut akan terus menderita. Maka dari itu, untuk memberikan perlindungan bagi korban KDRT, menurut peneliti hakim dapat untuk menggunakan alasan perceraian karena adanya kekejaman dengan mempertimbangkan bukti berupa saksi saja tanpa harus disertai adanya putusan Pengadilan Negeri terlebih dahulu bahwa tergugat telah dinyatakan bersalah melakukan KDRT.

Selanjutnya dalam Putusan Pengadilan Agama Tigaraksa Nomor 2863/Pdt.G/2014/PA.Tgrs, alasan diajukannya gugatan karena tergugat suka melakukan KDRT seperti memukul badan penggugat. Hakim berpendapat bahwa dalil gugatan penggugat justru sesuai dengan Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu alasan perceraian karena adanya perselisihan dan pertengkaran. Dalam hal ini, peneliti berpendapat bahwa pertimbangan hakim yang merujuk pada Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam Putusan Pengadilan Nomor 2863/Pdt.G/2014/PA.Tgrs sebagai dasar mengabulkan gugatan cerai dikarenakan adanya kekaburan terhadap batasan dari kata kekejaman yang terdapat dalam Pasal 19 huruf (d) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Menurut peneliti, hakim menimbang dengan menggunakan Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan dikarenakan timbulnya perbuatan KDRT tersebut dipicu oleh adanya pertengkaran diantara kedua belah pihak (dalam hal ini suami istri) terlebih dahulu. Pertengkaran tersebut kemudian memicu emosi pihak tergugat untuk melakukan tindakan kekerasan fisik.

Namun, apabila dicermati dari alasan utama pengajuan gugatan cerai oleh penggugat adalah karena adanya KDRT yang dilakukan oleh penggugat. Ditinjau dari segi cara kekerasan fisik, tindakan yang dilakukan tergugat berupa penggigitan, pemukulan dan penjambakan sudah termasuk dalam klasifikasi kekejaman berupa kekerasan fisik. Hal ini dikarenakan menurut peneliti, tindakan yang dilakukan tergugat tersebut merupakan tindakan yang mengakibatkan rasa sakit, luka maupun cedera pada tubuh penggugat.

Perkawinan

Sehingga, menurut peneliti untuk memperkuat hakim dalam memutus perkara perceraian karena alasan tersebut, hakim dapat merujuk pada ketentuan Pasal 19 huruf (d) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan untuk dijadikan dasar dalam mengabulkan gugatan cerai penggugat. Karena unsur-unsur dalam pasal tersebut telah sesuai dan terpenuhi.

Berbeda dengan ketiga putusan diatas, dalam Putusan Pengadilan Agama Mempawah Nomor 00723/Pdt.G/2015/PA.Mpw alasan diajukannya gugatan karena tergugat telah menikah dengan perempuan lain. Hakim menimbang bahwa tindakan tergugat tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 19 huruf (d) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan termasuk kedalam kualifikasi kekejaman yang kemudian memperluas kata kekejaman dalam Pasal 19 huruf (d) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjadi kekejaman terhadap mental. Majelis hakim berpendapat bahwa perbuatan tergugat yang menikah lagi dengan perempuan lain secara tidak sah yang mengakibatkan penggugat merasa disakiti dan dizalimi hatinya termasuk ke dalam klasifikasi kekejaman mental.

Sehubungan dengan adanya pertimbangan hakim mengenai kekejaman terhadap mental dalam Putusan Pengadilan Agama Mempawah Nomor 0182/Pdt.G/2015/PA.Mpw, penggugat mengajukan gugatan perceraian dengan alasan bahwa tergugat telah berselingkuh dan melakukan hubungan badan dengan anak didik tergugat sehingga anak tersebut hamil. Atas perbuatan tergugat tersebut, tergugat telah di tahan di Rumah Tahanan Mempawah karena telah terbukti melakukan pencabulan terhadap anak di bawah umur. Hakim dalam pertimbangan hukumnya menimbang bahwa perbuatan tergugat tersebut telah menghancurkan keharmonisan hubungan antara penggugat dengan tergugat karena rumah tangga harus dibangun atas dasar saling percaya. Namun perbuatan tergugat tersebut telah membuat penggugat kehilangan kepercayaan kepada tergugat dan hal tersebut berdampak pada mental penggugat karena batin tergugat tertekan, terbukti penggugat langsung meminta tergugat menceraikannya setelah mendengar pengakuan dari tergugat.

Sehingga hakim kemudian menyatakan bahwa tergugat telah melakukan kekejaman mental terhadap penggugat, yang kemudian dirujuk dengan Pasal 19 huruf (d) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan mengabulkan gugatan cerai penggugat. Sedangkan, dalam Putusan Pengadilan Agama Palangkaraya Nomor 204/Pdt.G/2012/PA.Plk, seorang penggugat mengajukan permohonan cerai dengan alasan bahwa tergugat berselingkuh dengan beberapa wanita yang berbeda. Hakim menimbang bahwa perbuatan tergugat tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 5 huruf b21 dan Pasal 722 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga serta Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hakim menilai bahwa perselingkuhan yang terjadi dikategorikan sebagai kekerasan psikis.

Berdasarkan hal yang telah dipaparkan diatas, peneliti berpendapat bahwa pengertian kekejaman dalam Pasal 19 huruf (d) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak hanya terbatas pada kekejaman terhadap fisik saja. Namun dapat pula diartikan dengan kekejaman terhadap mental. Walaupun demikian, masih perlu dianalisis apa yang dimaksud dengan kekejaman mental itu. Putusan Pengadilan Agama Mempawah Nomor 00723/Pdt.G/2015/PA.Mpw, Putusan Pengadilan Agama Mempawah Nomor 0182/Pdt.G/2015/PA.Mpw dan Putusan Pengadilan Agama Palangkaraya Nomor 204/Pdt.G/2012/PA.Plk sebagaimana telah dijabarkan diatas memiliki persamaan dan juga perbedaan. Persamaannya adalah ketiga putusan tersebut sama-sama menitikberatkan pada dalil gugatan karena adanya perselingkuhan maupun pernikahan dengan pihak ketiga.

21 Pasal 5:

Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara:

a. Kekerasan fisik; b. Kekerasan psikis; c. Kekerasan seksual; atau d. Penelantaran rumah tangga.

22 Pasal 7:

Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.

Perkawinan

Sedangkan perbedaannya adalah dalam Putusan Pengadilan Agama Mempawah Nomor 00723/Pdt.G/2015/PA.Mpw, hakim menimbang bahwa dalil gugatan penggugat dimana tergugat telah menikah lagi dengan perempuan lain secara tidak sah sehingga penggugat merasa disakiti dan dizalimi hatinya termasuk dalam klasifikasi kekejaman terhadap mental. Dalam Putusan Pengadilan Agama Mempawah Nomor 0182/Pdt.G/2015/PA.Mpw, hakim menimbang bahwa perbuatan tergugat yang telah berselingkuh dan kemudian melakukan pelecehan seksual terhadap anak didiknya telah menyebabkan batin penggugat tertekan. Hakim memasukkan tindakan itu sebagai kekejaman terhadap mental. Sementara dalam Putusan Pengadilan Agama Palangkaraya Nomor 204/Pdt.G/2012/PA.Plk, hakim menimbang bahwa dalil gugatan penggugat dimana tergugat telah berselingkuh dengan perempuan lain termasuk dalam klasifikasi kekerasan psikis. Dari ketiga putusan tersebut dapat diketahui bahwa terdapat korelasi antara kekejaman terhadap mental dan kekerasan psikis. Tindakan perselingkuhan seperti yang terdapat dalam Putusan Pengadilan Agama Mempawah Nomor 0182/Pdt.G/2015/PA.Mpw dikatakan sebagai kekejaman terhadap mental. Sedangkan dalam Putusan Pengadilan Agama Palangkaraya Nomor 204/Pdt.G/2012/PA.Plk, perselingkuhan dikatakan sebagai kekerasan psikis. Menurut peneliti, perselingkuhan maupun tindakan menikah lagi dengan pihak lain tanpa sepengetahuan penggugat dapat mengakibatkan perasaan pasangannya tersakiti dan tertekan batinnya, sehingga inheren apabila dikatakan bahwa perbuatan tersebut dikatakan sebagai perbuatan kekejaman terhadap mental maupun perbuatan kekerasan psikis. Dalam hal ini cara kekerasan psikis yang telah dilakukan sesuai dengan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah hilangnya rasa percaya diri dan penderitaan psikis berat pada seseorang. Perempuan yang suaminya memiliki hubungan dengan perempuan lain akan mengalami trauma secara psikologis karena dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu dia merasa tidak dicintai karena posisinya telah diambil oleh orang lain dan yang kedua suaminya menjadi berubah menunjukkan ada yang kurang dalam dirinya sebagai pasangan, yang melihat bahwa dirinya sebagai perempuan sudah tidak menarik lagi.23

Anggapan bahwa dia sudah tidak menarik lagi akan mengakibatkan hilangnya rasa percaya diri dalam diri seseorang tersebut. Maka dari itu, peneliti berpendapat bahwa kekerasan psikis dapat disamakan artinya dengan kekejaman, yaitu kekejaman terhadap mental. Begitu pula sebaliknya bahwa kekejaman terhadap mental dapat pula dikategorikan sebagai kekerasan psikis.

Menurut Rika Saraswati, contoh-contoh perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai kekerasan psikis yaitu menghina, mengancam atau menakut-nakuti sebagai sarana untuk memaksakan suatu kehendak, atau mengisolasi istri dari dunia luar.24Adapun menurut Pusat Komunikasi Kesehatan Berprespektif Gender sebagaimana dikutip oleh Rika Saraswati, kekerasan psikis meliputi perbuatan membatasi istri dalam melaksanakan Program Keluarga Berencana (KB) dan mempertahankan hak-hak reproduksi sebagai perempuan, seperti hak untuk mendapatkan informasi dan pendidikan, hak untuk mendapatkan pelayanan dan perlindungan kesehatan, hak untuk mendapatkan kebebasan berpikir, hak untuk memutuskan kapan dan akankah mempunyai anak, hak untuk hidup, hak untuk bebas dari penganiayaan dan perlakuan buruk, hak memilih bentuk keluarga, atau hak untuk membangun dan merencanakan keluarga.25

Berdasarkan uraian tersebut, peneliti sebelumnya telah berpendapat bahwa perbuatan kekerasan psikis sama dengan kekejaman terhadap mental. Oleh karenanya, contoh-contoh perbuatan kekerasan psikis sebagaimana telah disebutkan di atas juga dapat dikategorikan ke dalam tindakan kekejaman terhadap mental. Hal ini dikarenakan tindakan seperti menghina, mengancam atau menakut-nakuti sebagai sarana untuk memaksakan suatu kehendak, atau mengisolasi istri dari dunia luar apabila dilakukan terhadap salah satu pihak dalam rumah tangga tentu akan menyebabkan pihak yang dikenai tindakan tersebut merasa tersakiti, tertekan dan terzalimi hati dan psikisnya. Sehingga kehidupan rumah tangga tidak dapat berjalan secara tentram dan bahagia sesuai dengan tujuan utama perkawinan.

24 Rika Saraswati, Perempuan dan Penyelesaian Kekerasan dalam Rumah Tangga,

Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, Hlm.23.

Perkawinan

Beranjak dari putusan-putusan diatas, pada Putusan Pengadilan Agama Jayapura Nomor 0060/Pdt.G/2014/PA.Jpr alasan diajukannya gugatan karena tergugat selalu menyuruh penggugat untuk mencari laki-laki lain. Hakim menimbang perbuatan tergugat demikian untuk tujuan komersial merupakan perbuatan yang tidak mempunyai rasa tanggung jawab dan tidak menghargai penggugat sebagai seorang istri dan ibu rumah tangga. Perbuatan yang dilakukan oleh tergugat tersebut dapat dikatakan sebagai perbuatan pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangga dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu sebagaimana telah diamanatkan dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Hakim berpendapat adanya KDRT tersebut inheren dan sesuai dengan kekejaman dan penganiayaan berat yang dilakukan oleh salah satu pihak terhadap pihak lain dalam rumah tangga sebagaimana dalam Pasal 19 huruf (d) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Berdasarkan putusan tersebut, dapat diketahui bahwa adanya perbuatan tergugat yang memaksa penggugat untuk melakukan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dapat dikategorikan sebagai kekerasan seksual sebagaimana telah diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang KDRT.26 Menurut peneliti, tindakan pemaksaan hubungan seksual tersebut mengakibatkan penggugat mengalami penderitaan secara fisik dan psikis ketika melakukan perbuatan tersebut. Secara fisik, organ seksual atau reproduksi penggugat tersakiti dikarenakan hubungan seksual tersebut dilakukan dengan paksaan. Sedangkan secara psikis, mental tergugat juga tersakiti dan tertekan karena perbuatan tersebut tidak dikehendakinya. Dengan adanya pemaksaan hubungan seksual tersebut, akan menimbulkan dampak negatif terhadap perkembangan serta kondisi jiwa penggugat seperti trauma dan depresi. Dan apabila hal ini dibiarkan dapat menyebabkan adanya gangguan psikis berat yang akan dialami oleh penggugat.

26 Pasal 8 Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga :

“Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi:

a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut;

Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

Dengan demikian, adanya pemaksaan hubungan seksual tersebut menyebabkan penggugat mengalami kesakitan serta penderitaan, sehingga perbuatan tersebut dapat diklasifikasikan sebagai perbuatan kekejaman terhadap fisik dan mental.

Analisis selanjutnya adalah mengenai Putusan Pengadilan Agama Tanah Grogot Nomor 0178/Pdt.G/2017/PA.Tgt. Dalam putusan tersebut, penggugat mengajukan gugatan cerai dikarenakan telah terjadi penelantaran yang dilakukan oleh tergugat kepada penggugat. Dalam salah satu pertimbangan hakim pada perkara ini, hakim mengemukakan bahwa:

Menimbang, bahwa disharmonis dalam perkawinan, atau yang dikenal dengan Azzawwaj Al-Maksuroh dalam literatur islam dan Broken Marriage dalam istilah hukum positif, tidaklah hanya berlandas pada kekejaman fisik (Physycal Cruelty) belaka, namun juga berlandas pada kekejaman mental (Mental Cruelty). Yang disebut pertama dan kedua sama-sama berakibat pada tidak terpenuhinya hak dan kewajiban masing-masing pasangan, sehingga walaupun tidak terjadi pertengkaran baik mulut maupun fisik secara terus menerus, akan tetapi secara nyata telah terjadi kekejaman mental berupa penelantaran oleh tergugat terhadap penggugat, oleh karena itu hal tersebut sudah dianggap sebagai Broken Marriage.

Berdasarkan pertimbangan hakim tersebut dapat diketahui bahwa adanya tindakan penelantaran ditafsirkan oleh hakim sebagai kekejaman terhadap mental. Jika dikorelasikan dengan arti dari kekejaman itu sendiri, maka dapat dikatakan bahwa tindakan penelantaran merupakan tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh salah satu pihak dan bersifat menyakiti pasangannya, sehingga menimbulkan penderitaan bagi pasangannya, dapat diklasifikasikan sebagai tindakan kekejaman. Selain itu, tindakan penelantaran yang juga disertai dengan tidak dilakukannya pemberian nafkah dari tergugat kepada penggugat dapat diklasifikasikan sebagai kekerasan ekonomi. Dalam usulan perbaikan atas RUU Anti KDRT yang diusulkan oleh Badan Legislatif Dewan Perwakilan Rakyat tanggal 6 Mei 2003, tepatnya dalam Pasal 1 angka 6 usulan tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kekerasan ekonomi adalah27:

Setiap perbuatan yang mengakibatkan kerugian secara ekonomi dan terlantarnya anggota keluarga dan atau menciptakan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan atau melarang untuk bekerja di dalam atau di luar rumah, tidak memberi nafkah, meniadakan akses dan kontrol terhadap sumber-sumber ekonomi, dan menelantarkan anggota keluarga.

27 Rika Saraswati, Perempuan dan Penyelesaian Kekerasan dalam Rumah Tangga,

Perkawinan

Berdasarkan usulan tersebut dapat diketahui bahwa tindakan penelantaran dalam rumah tangga yang dilakukan oleh pihak tergugat dapat mengakibatkan adanya kerugian secara ekonomi bagi anggota keluarga yang ditelantarkan, yang kemudian dapat diartikan pula bahwa penelantaran termasuk pula sebagai kekerasan ekonomi yang kemudian dapat diklasifikasikan sebagai kekejaman terhadap mental yang inheren pula dengan bunyi Pasal 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Dan yang terakhir adalah Putusan Pengadilan Agama Kabupaten Malang Nomor 4258/Pdt.G/2013/PA.Kab.Mlg. Seorang penggugat mengajukan gugatan perceraian dengan alasan bahwa antara pihak penggugat dan pihak tergugat telah terjadi pisah tempat tinggal kurang lebih selama delapan bulan dan selama itu sudah tidak saling memedulikan. Hakim dalam perkara ini berpendapat bahwa, tindakan yang dilakukan oleh penggugat dan tergugat yang pisah tempat tinggal selama kurang lebih delapan bulan dan selama itu sudah tidak saling memedulikan, dapat dikategorikan sebagai tindakan kekejaman terhadap mental. Hal ini dikarenakan selama penggugat dan tergugat melakukan perbuatan tersebut, maka selama itu pula keduanya benar-benar telah menghancurkan ketentraman batin sanubari (destroy peace in mind) pada diri pasangannya. Dalam hal ini majelis hakim berpendapat bahwa dengan adanya tindakan tersebut, maka rumah tangga antara penggugat dan tergugat telah pecah dan tidak harmonis lagi. Sehingga hakim kemudian merujuk pada Pasal 19 huruf (f) sebagai dasar dalam mengabulkan gugatan cerai tersebut.

Apabila dianalisis, sesuai dengan dalil dan pertimbangan hakim sebagaimana telah disebutkan diatas, dapat diketahui bahwa tindakan pisah tempat tinggal selama kurang lebih delapan bulan serta tidak adanya rasa saling memedulikan diantara keduanya dapat menyebabkan perasaan masing-masing suami istri tersebut tersakiti dah terzalimi. Dengan adanya hal tersebut, maka ikatan batin secara timbal balik antara suami dan istri sebagai unsur untuk menentukan kebahagiaan berumah tangga sesuai dengan tujuan perkawinan sudah tidak ada lagi pada diri masing-masing pihak. Oleh karena itu, peneliti berpendapat bahwa perbuatan tersebut telah sesuai apabila diklasifikasikan sebagai tindakan kekejaman terhadap mental.

Maka dari itu, berdasarkan uraian diatas, peneliti berpendapat bahwa hakim sebenarnya dapat untuk merujuk menggunakan Pasal 19 huruf (d) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai dasar dalam mengabulkan gugatan cerai penggugat. Karena berdasarkan analisis yang telah peneliti paparkan dapat diketahui bahwa tindakan yang dilakukan oleh tergugat berdasarkan dalil gugatan dan bukti-bukti yang ada sudah sesuai dengan unsur-unsur dalam Pasal 19 huruf (d) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa tergugat telah melakukan tindakan kekejaman yaitu kekejaman terhadap mental.

Jika dicermati dalam Putusan Pengadilan Agama Palangkaraya Nomor

Dokumen terkait