• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.3 (Juni 2020) Tema/Edisi : Hukum Keluarga (Bulan Keenam)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.3 (Juni 2020) Tema/Edisi : Hukum Keluarga (Bulan Keenam)"

Copied!
67
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis Volume 1 Nomor 3 (Juni 2020)

Tema Hukum Keluarga (Bulan Kelima)

Pemimpin Umum : Ivan Drago, S.H.

Editorial : Fazal Akmal Musyarri, S.H.

Desain : Jacky Leonardo

Kontributor : Adityadarma Bagus P.S.P. dkk. Paradisa Eksakta Gheosa Paramita Widyanti

Distribusi : Guardino Ibrahim Fahmi

Liavita Rahmawati Moch. Adrio Farezhi Moh. Haris Lesmana M. Rizky Andika P.

Redaksi Jurnal Hukum Lex Generalis Klinik Hukum Rewang Rencang

Jl. Borobudur Agung No.26 Malang, Kode Pos 65142 Telp: 087777844417

Email: jhlg@rewangrencang.com Website: Https://jhlg.rewangrencang.com/

Isi Jurnal Hukum Lex Generalis dapat Dikutip dengan Menyertakan Sumbernya (Citation is permitted with acknowledgement of the source)

(3)

DAFTAR ISI

Adityadarma Bagus P.S.P dkk.

Harmonisasi Hukum Perkawinan Adat Bali dengan Hukum Positif Indonesia .. 1 Paradisa Eksakta Gheosa

Batasan Kata “Kekejaman” dalam Pasal 19 Huruf D Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ... 21 Paramita Widyanti

Studi Normatif terhadap Masa Iddah bagi Wanita yang Hamil dengan Laki-Laki Lain (Analisis Penetapan Hakim Pengadilan Agama Tulungagung Nomor 0033/PDT.P/2015/PA.TA) ... 48

(4)

KATA PENGANTAR DIREKTUR UTAMA REWANG RENCANG

Selamat Hari Keluarga Nasional! Keluarga adalah bagian terkecil yang memiliki makna terpenting. Dari keluarga, manusia sebagai makhluk sosial dan individu terbentuk. Dari keluarga, mindset sebuah kelompok terbentuk. Dari keluarga juga, sebuah bangsa dapat memiliki suatu kecenderungan dan budaya. Karena itu jangan sampai bagian terpenting ini dilalaikan. Karena Aset Bangsa yang paling megah ada dibagian paling kecilnya, yaitu Keluarga.

Jurnal bertema “Hukum Keluarga” ini kami terbitkan sebagai wujud keinginan kami untuk berkontribusi membangun budaya keluarga di Indonesia dari bidang yang kami kuasai. Semoga bermanfaat dan membawa nilai budaya Keluarga Indonesia lebih maju lagi.

“Harta yang paling berharga adalah Keluarga”, Potongan Lagu “Keluarga Cemara”

Malang, 28 Juni 2020

Ivan Drago, S.H. CEO Rewang Rencang

(5)

KATA PENGANTAR EDITORIAL

Selamat bahagia para pembaca, rekan sivitas akademika, praktisi dan masyarakat umum pemerhati hukum. Selamat datang di Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Jurnal ini kami buat sebagai bentuk dedikasi kami terhadap dunia keilmuan hukum untuk menampung karya-karya tentang Hukum. Adapun lima tujuan utama Jurnal Hukum Lex Generalis sebagai berikut:

1. Sebagai wadah penampung karya yang berhubungan dengan ilmu hukum; 2. Sebagai sarana memperluas wawasan pemerhati hukum;

3. Sebagai glosarium, ensiklopedia atau kamus umum ilmu hukum; 4. Sebagai garda rujukan umum untuk keperluan sitasi ilmiah;

5. Sebagai referensi ringan terkhusus bagi sivitas akademika yang berbahagia. Kami sangat senang jika anda sekalian dapat memanfaatkan wawasan dan ilmu yang termuat dalam Jurnal ini. Sebagai penutup, Editorial berterimakasih banyak kepada para pihak yang mensukseskan Jurnal Hukum Lex Generalis yang terbit pada bulan Juni 2020 bertema “Hukum Keluarga” dan akan terbit setiap bulan dengan tema atau topik berbeda, semoga dapat berlanjut hingga kesempatan berikutnya.

Malang, 09 Juni 2020

Fazal Akmal Musyarri, S.H. Dewan Editorial RR : JHLG

(6)

Undangan untuk Berkontribusi

Dewan Editorial Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis mengundang para akademisi hukum, praktisi hukum, pemerhati hukum dan masyarakat umum untuk menyumbang karya-karyanya baik berupa makalah, opini hukum, esai, dan segala bentuk karya tulis ilmiah untuk dimuat dalam edisi-edisi JHLG dengan

tema berbeda setiap bulannya. Untuk informasi lebih lanjut silahkan akses: Https://jhlg.rewangrencang.com/

(7)

HARMONISASI HUKUM PERKAWINAN ADAT BALI DENGAN HUKUM POSITIF INDONESIA

Adityadarma Bagus P.S.P., Uwais Deffa I. Qorni, Hanis Aristya Hermawan, RR. Alysia Gita Purwasaputri dan Aditama Nur Ilham Pramulia

Universitas Brawijaya

Korespondensi Penulis : adityadarmabpsp@gmail.com

Citation Structure Recommendation :

P.S.P., Adityadarma Bagus. Harmonisasi Hukum Perkawinan Adat Bali dengan Hukum Positif

Indonesia. Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.3 (Juni 2020).

ABSTRAK

Hukum adat merupakan seperangkat norma tertulis maupun tidak tertulis yang telah hidup di masyarakat sejak dahulu kala. Beberapa daerah di Indonesia yang masih akan kental adat dan budaya, praktik-praktik adat kerap dilakukan yang sering menimbulkan ketidaksesuaian dengan hukum positif Indonesia. Praktik Paerkawinan Adat Ngarorod merupakan tradisi masyarakat Bali yang dapat menimbulkan pertanyaan dengan peraturan hukum indonesia khususnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Kedudukan kekerabatan serta perbedaan kasta perempuan lebih tinggi dari pihak lelaki, menjadi salah satu penyebab terjadinya Adat Ngerorod.

Kata Kunci: Hukum Adat, Hukum Perkawinan, Perkawinan Ngerorod ABSTRACT

Adat law is a set of written and unwritten norms that have lived in communities since historical period. In some regions in Indonesia that are still thick with customs and culture, customary practices are often carried out which often results in inconsistent with positive Indonesian Law. The practice of Ngarorod Marriage is a tradition of the Balinese people could raise questions with Indonesian legal regulations, especially Law No. 1 of 1974 concerning Marriage. The kinship position and the difference of the female caste is higher than the men being, is one of the causes of the Ngerorod custom.

(8)

A. PENDAHULUAN

Setiap negara memiliki sistem hukumnya masing-masing. Sistem hukum yang berlaku di Indonesia dikenal dengan tiga sistem, yaitu Hukum Adat, Hukum Islam, Hukum Barat, yang khususnya hukum-hukum dari Belanda. Indonesia merupakan negara yang terdiri dari berbagai macam agama dan suku yang berbeda. Masing-masing daerah memiliki Adat istiadat dan kebiasaannya masing-masing. Van Vollenhoven dalam penelitian pustakanya pernah menyatakan bahwa masyarakat asli yang hidup di Indonesia sejak ratusan tahun sebelum kedatangan bangsa Belanda, telah memiliki dan hidup dalam tata hukumnya sendiri. Tata hukum masyarakat asli itu dikenal dengan Hukum Adat.1

Hukum Adat adalah seperangkat norma atau aturan, baik yang tertulis maupun tidak tertulis, yang hidup dan berlaku untuk mengatur tingkah laku manusia yang bersumber pada nilai budaya bangsa Indonesia, yang diwariskan secara turun temurun, yang senantiasa ditaati dan dihormati untuk keadilan dan ketertiban masyarakat, dan mempunyai akibat hukum atau sanksi.2

Hukum Adat sebagaimana hukum-hukum yang lain selalu berkembang sejalan dengan pola pikir para pendukungnya dan subjek hukumnya. Perkembangan tersebut disebabkan oleh kebutuhan mereka dalam usaha untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman dan perubahan sosial yang terus berjalan seiring dengan berjalannya waktu yang terus berputar. Perkembangan ini pun mengubah bentuk, sifat, dan karakteristik atau ciri kekhasan Hukum Adat sebagai salah satu tata hukum di dunia selain tata hukum agama, hukum kebiasaan, hukum negara, hukum internasional serta hukum multinasional.

1 Terminologi Hukum Adat sebetulnya bukan berasal dari Bahasa Indonesia asli (yang

dikenal sebagai perkembangan dari bahasa yang ada dalam rumpun melayu), ia hanya terjemahan dari Bahasa Belanda, het Adatrecht, yang pertama kali diperkenalkan oleh seorang ahli sastra ke-timur-an (orientalis) Belanda, Snouck Hurgronje. Dalam menyusun hasil pandangannya tentang Hukum Adat, mengumpulkan bahan-bahan empiris yang kemudian diukur melalui cara pandang ilmiah yang berasal dari masyarakat sendiri (masyarakat Belanda). Dari hasil penelitiannya tersebut tersembul satu proposisi bahwa pengertian Hukum Adat banyak menerima hukum Agama (Islam) terutama bidang yang sangat privat dan berkaitan erat dengan sistem kepercayaan dan suasana batin masyarakat. Uraian selengkapnya dapat dilihat dalam buku Snouck Hurgronje,

Adatrechtbundel I, Penerbit Martinus Nijhoff, Nederland, 1910, Hlm.22-24. Lihat pula Moh.

Koesnoe, Hukum Adat sebagai Suatu Model Hukum: Bagian I (Historis), Penerbit Mandar Maju, Bandung, 1992, Hlm.46-49. dalam Otje Salman Soemadiningrat, Rekonseptualisasi Hukum Adat

Kontemporer, Penerbit Alumni, Bandung, 2002, Hlm.7-8.

2 Pasal 1 Ayat (3) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang

(9)

Hukum Adat yang pada awalnya dikenal dengan hukum yang tidak tertulis, kemudian ditemukan sebagian kecil yang tercatat di beberapa batu, daun lontar, kemudian tertulis di beberapa keputusan raja, keputusan hakim, dan saat ini diupayakan dalam bentuk peraturan perundang-undangan.3

Sistem Hukum Adat bersendi atas dasar-dasar alam pikiran bangsa Indonesia, yang tidak sama dengan alam pikiran yang menguasai sistem Hukum Barat.Hukum Adat berurat akar pada kebudayaan tradisional. Hukum Adat adalah suatu hukum yang hidup, karena ia menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat, sesuai dengan fitrahnya sendiri, Hukum Adat terus menerus dalam keadaan tumbuh dan berkembang seperti hidup itu sendiri.4 Keanekaragaman Adat istiadat ini juga membuat berbagai macam Adat dalam konteks perkawinan pada daerah-daerah di Indonesia, yang mana setiap daerah memiliki ciri khas dan caranya tersendiri.

Perkawinan merupakan keniscayaan dalam kehidupan seorang manusia. Dimana seorang pria dan seorang wanita menjalankan kehidupan bersama yang mewujudkan kesatuan rumah tangga masing-masing dalam kehidupan sebagai suami istri. Kehidupan bersama, yang disebut perkawinan itu mempunyai akibat-akibat hukum tertentu jikalau hubungan itu sah menurut hukum setelah melalui prosedur-prosedur yang ditentukan oleh kaidah-kaidah hukum. Menurut Hukum Adat, pada umumnya di Indonesia perkawinan bukan saja membawa akibat terhadap hubungan keperdataan, seperti hak dan kewajiban suami-istri, harta bersama, kedudukan anak dan hak serta kewajiban orang tua, tetapi juga menyangkut hubungan-hubungan Adat istiadat, kekeluargaan, kekerabatan dan ketetanggaan serta menyangkut upacara-upacara Adat dan keagamaan senada dengan pendapat Ter Haar. Di dalam masyarakat Adat, perkawinan bukan saja merupakan perikatan perdata tetapi juga merupakan perikatan Adat dan sekaligus perikatan kekerabatan dan ketetanggaan.5

3 Dominikus Rato, Hukum Adat Kontemporer, Penerbit LaksBang Justitia, Surabaya, 2015,

Hlm.2.

4 R. Soepomo, Bab-Bab tentang Hukum Adat, Penerbit Pradnya Paramita, Jakarta, 1981,

Hlm.25.

5 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat,

(10)

Perkawinan merupakan salah satu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Adat. Perkawinan itu bukan hanya suatu peristiwa yang mengenai mereka yang bersangkutan (perempuan dan laki-laki), akan tetapi juga orang tuanya, saudara-saudaranya dan keluarga-keluarganya. Perkawinan dalam masyarakat Indonesia, yang kawin sesungguhnya keluarga dengan keluarga. Perkawinan yang ideal ialah suatu bentuk perkawinan yang terjadi dan dikehendaki oleh masyarakat. Suatu bentuk perkawinan yang terjadi berdasarkan suatu pertimbangan tertentu, tidak menyimpang dari ketentuan aturan-aturan atau norma-norma yang berlaku dalam masyarakat setempat (perikatan ketetanggaan). Dengan terjadinya perkawinan, maka diharapkan agar dari perkawinan itu didapat keturunan sebagai penerus silsilah. Hal ini berhubungan dengan segi kebudayaan suatu masyarakat, dimana suatu perkawinan merupakan perilaku manusia yang berhubungan dengan kehidupan seksualnya.

Selain terdapatnya persyaratan dalam melangsungkan perkawinan, terdapat pula segala sesuatu yang dapat menimbulkan sebab perkawinan tidak dapat dilakukan, atau jika dilakukan maka keseimbangan masyarakat menjadi terganggu, disebut “larangan perkawinan”. Larangan menurut Hukum Adat yaitu6:

a. Karena hubungan kekerabatan

Dalam hal ini di berbagai daerah di Indonesia terdapat perbedaan-perbedaan larangan terhadap perkawinan antara pria dan wanita yang ada hubungan kekerabatan. Ada daerah yang melarang terjadinya perkawinan antara anggota kerabat tertentu, sedangkan didaerah lainnya perkawinan antara anggota kerabat yang dilarang itu justru digemari pelaksananya. Contohnya, menurut Hukum Adat Batak yang hubungan kekerabatannya bersifat Asymmetrisch Connubium, melarang terjadinya perkawinan antara pria dan wanita yang satu “marga”. Perkawinan harus dilaksanakan “manunduti” atau melakukan perkawinan berulang searah dari satu sumber bibit, pihak penerima dara “boru” dianjurkan dan dikehendaki untuk tetap mengambil dara dari pemberi dara “hula-hula”. Adalah ideal sifatnya jika seseorang pria dapat kawin dengan wanita anak paman saudara laki-laki dari ibu “tulang”.

6 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat dengan Adat Istiadat Upacara Adatnya,

(11)

b. Karena perbedaan kedudukan

Di berbagai daerah di Indonesia masih terdapat sisa-sisa dari pengaruh perbedaan kedudukan atau perbedaan martabat dalam kemasyarakatan Adat, sebagai akibat dari susunan feodalisme desa kebangsawanan Adat. Misalnya seorang pria dilarang melakukan perkawinan dengan wanita dari golongan rendah atau sebaliknya. Hal tersebut terjadi pada Adat Bali, melarang terjadinya perkawinan antara pria dan wanita apabila kasta dari wanita lebih tinggi dari kasta pria.

Kasta si istri yang lebih tinggi dari kasta suaminya, dulu sebelum tahun 1951 merupakan rintangan bagi si suami untuk melakukan perkawinan dan malah merupakan pelanggaran hukum. Sesudah tahun 1951 perbedaan kasta antara suami-istri tidak lagi menjadi rintangan. Penghapusan ini dilakukan dengan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Bali, yang sekaligus juga menghapuskan akibat hukum dari perbedaan kasta dalam masyarakat Hindu Bali. Penghapusan akibat hukum dari pergaulan sosial antara golongan-golongan dari kasta yang berbeda, namun seharusnya penghapusan tersebut dilakukan dengan Undang-Undang. Sebab Undang-Undang Darurat Tahun 1951 Nomor 1 (tertanggal 13 Janurai 1951) yang menghapuskan Pengadilan Adat (Raad Kerta) di Bali dan menggantinya dengan Pengadilan Negeri, dalam Pasal 5 ayat (2)b, masih menentukan bahwa Hukum Materiil Pidana Sipil Hukum Adat Pidana yang hingga saat itu berlaku bagi Kaula Swapraja tetap berlaku bagi mereka.7

Perempuan dari kasta lebih tinggi yang kawin dengan lelaki dari kasta yang lebih rendah, turun kastanya dan mendapat kasta suaminya. Hal ini sudah menjadi jurisprudensi tetap Raad Kerta dulu. Sebab itu, perempuan yang kawin dengan lelaki dari kasta yang lebih rendah tidak diizinkan pulang ke rumah asalnya lagi atau menegor orang tuanya seperti sediakala, melainkan ia harus menyesuaikan diri dengan penurunan kastanya sesuai dengan dasar patrilineal dari hukum kekeluargaan. Namun, jika seorang lelaki berkasta kawin dengan seorang perempuan sudra (tidak berkasta) si istri berganti nama dan naik derajat menjadi Jero atau dipanggil juga Mekele.8

7 Gede Panetje, Aneka Catatan tentang Hukum Adat Bali, Penerbit Kayumas Agung,

Denpasar, 2004, Hlm.63-64.

(12)

Hubungan tertentu juga dapat menjadi rintangan untuk suatu perkawinan. Meskipun sejak tahun 1951 larangan mengenai perkawinan antara perempuan berkasta lebih tinggi dengan lelaki berkasta lebih rendah telah dihapuskan, namun larangan-larangan lainnya yang termuat dalam Paswara itu, masih saja berlaku, karena dianggap sesuai dengan Hukun Adat. Perkawinan yang dilarang dan disebut pelanggaran Adat “Gamya Gamana”, yang menurut Pawara itu dihukum dengan hukuman buang (Selong) selama 10 tahun, yaitu9:

a. Perkawinan antara orang-orang yang berkeluarga dalam garis kencang ke atas atau ke bawah;

b. Antara mertua dengan menantu (baik laki-laki maupun perempuan); c. Antara bapak tiri dengan anak tiri atau antara ibu tiri dengan anak tiri; d. Antara paman / bibi dengan kemenakan perempuan / laki-laki;

e. Antara saudara;

f. Antara seorang lelaki dengan bibinya derajat satu kali.

Menurut Paswara, dilarang pula seorang Pedanda kawin dengan saudara perempuan, anak atau cucu perempuan dari guru atau nabenya yang menobatkannya. Ini dapat dimengerti kalau kita ingat bahwa guru rohani disamakan dengan ayah kandung bagi seorang Pedanda. Korn menyebutkan terdapat empat macam perkawinan yang terdapat di Bali dan menguraikan juga upacaranya yang bersangkutan dengan tiap jenis perkawinan10:

a. Perkawinan Mepadik;

b. Perkawinan Buncing Jangkut (Jejangkepan); c. Perkawinan Merangkat atau Ngerorod; d. Perkawinan Mlegandang.

Huruf a dan b syaratnya dengan persetujuan orang tua kedua mempelai, dalam huruf b, kedua calon mempelai dimasukkan dalam satu kamar sampai mereka (kebanyakan mempelai perempuan) terpaksa melakukan perkawinan. Huruf c dan d tanpa pengetahuan orang tua mempelai perempuan, huruf c dilakukan dengan persetujuan dan huruf d tanpa persetujuan si mempelai wanita.

9 Gede Panetje, Aneka Catatan tentang Hukum Adat Bali, Penerbit Kayumas Agung,

Denpasar, 2004, Hlm.64-65.

(13)

Dalam upacara perkawinan Merangkat atau Ngerorod, mempelai wanita tanpa sepengetahuan orang tuanya dibawa ke rumah lelaki dan menginap di rumah lelaki hingga lelaki mengirimkan orangnya kepada keluarga wanita untuk bertemu dengan keluarga dari wanita. Ada juga masyarakat yang menyebut perkawinan Merangkat atau Ngerorod ini dengan Kawin Culik. Acara Adat ini masih berlaku di masyarakat yang masih kental budayanya (saklek). Dalam hal ini kami tertarik untuk melakukan penelitian yang bertema “Harmonisasi Hukum Perkawinan Adat Bali dengan Hukum Positif Indonesia”. Rumusan masalah dalam tulisan ini ialah:

a. Apa yang menyebabkan Hukum Adat Merangkat atau Ngerorod (penculikan) dalam perkawinan Adat Bali masih digunakan di masyarakat? b. Bagaimana harmonisasi antara hukum perkawinan Adat Bali dengan hukum

positif Indonesia?

B. PEMBAHASAN

1. Penyebab Hukum Adat Merangkat atau Ngerorod (Penculikan) dalam Perkawinan Adat Bali Masih Digunakan di Masyarakat

Pulau Bali merupakan salah satu gugusan dari Kepulauan Nusantara yang masih tetap memegang teguh Adat Istiadat dan tempat orang masih tetap setia pada para Dewa bagi yang beragama Hindu. Berbicara soal Hukum Adat Bali, maka ada tiga hal pokok yang harus digunakan sebagai tumpuan untuk memahami eksistensi Hukum Adat Bali secara lebih mendasar. Ketiga hal pokok itu adalah11:

a. upaya umum masyarakat untuk berusaha menegakkan keseimbangan hubungan antara warga masyarakat itu sendiri;

b. upaya menegakkan keseimbangan hubungan warga masyarakat dengan kelompok masyarakat;

c. keseimbangan hubungan masyarakat secara keseluruhan dengan alam ke-Tuhanan.

Pokok pangkal titik tolak kehidupan kelompok masyarakat Adat Bali yang berdasar kepada ketiga hal diatas, merupakan penuangan dari falsafah Agama Hindu yang disebut Tri Hata Karana. Falsafah ini sudah begitu mendalam mewarnai kehidupan atau pola hidup masyarakat Bali. Sehingga kini upaya pengembalian ketimpangan masyarakat selalu disandarkan pada ketiga hal itu.

11 I Ketut Artadi, Hukum Adat Bali dengan Aneka Masalahnya, Penerbit Pustaka Bali Post,

(14)

Di dalam lingkungan masyarakat Adat Bali dikenal dengan adanya wadah “Desa Adat” yang mengorganisir masyarakat secara bulat. Eksistensi Desa Adat betul-betul kuat dan sangat dominan bahkan hampir menjangkau seluruh aspek kehidupan. Desa Adat berpegangan pada suatu sarana yang menyebabkan ia semakin bulat yang disebut Pura Kahyangan Tiga. Pura Kahyangan Tiga ini meliputi Pura Dalem, Pura Puseh dan Pura Desa. Pada tiga sarana keagamaan ini terkoordinasi secara solid sehingga dari sana pula muncul adanya hak dan kewajiban. Hubungan antar warga ini meliputi aturan-aturan nyata yang dibuat oleh masyarakat yang dituangkan dalam bentuk Awig-Awig.12

Bentuk hubungan antara warga dengan masyarkat pada umumnya lebih jelas dapat dilihat dalam bentuk pengaturan hubungan hidup kerukunan dalam wadah aturan tertulis dan tidak tertulis, dan ditaati sedemikian rupa secara turun temurun (Sima). Sima ini dapat dilihat dan dimengerti dalam gambaran tingkah laku yang sedemikian dianggap patut di kelompok masyarakat itu, sebagai batasan terhadap tingkah hidup yang dipandang sewajarnya dan perlu dilaksanakan sebagai pegangan kepatutan tanpa adanya suatu paksaan dari siapapun juga.

Hubungan masyarakat dengan alam dan Tuhan terlihat dari masyarakat yang terikat kepada kewajiban-kewajiban ke tempat persembahyangan yang ada di desa yang disebut dengan Pura Kahyangan Tiga. Tidak jarang, kewajiban-kewajiban ini ada sangkut pautnya dengan menyatu pada sumber kekayaan dan kehidupan sehari-hari bahkan sejumlah kehidupan material dengan sarana-sarana kekayaan seperti tanah-tanah, pekarangan digunakan sebagai kewajiban pura pada desa.

Istilah Awig-Awig mulai memasyarakat di Pulau Bali sejak tahun 1986, sejak dikeluarkannya Perda Provinsi Dati I Bali 06/1986 tentang Kedudukan dan Fungsi Desa Adat di Poivinsi Bali. Sebelum 1986 namanya bermacam-macam, seperti : Pangeling-eling, Paswara, Geguat, Awig, Perarem, Gama, Dresta, Cara, Tunggul, Kerta, Palakerta, Sima. Istilah umum yang digunakan saat ini adalah13:

a. Hukum Adat bali : berlaku di pulau Bali

b. Awig-Awig desa : berlaku di Desa Pekraman tertentu

c. Perarem Desa : aturan pelaksanaan Awig-Awig Desa Pekraman tertentu d. Desa Pekraman : organisasi masyarakat tradisional di Bali

12 Wayan P. Windia, Perkawinan pada Gelahang di Bali, Penerbit Udayana Press,

Denpasar, 2009, Hlm.217.

(15)

Awig-Awig adalah aturan yang dibuat Oleh Krama Desa Pekraman atau Krama Banjar Pekraman yang dipakai sebagai pedoman dalam pelaksanaan Tri Hita Karana sesuai dengan Mawacara dan Dharma Agama di Desa Pakraman, Banjar Pakraman masing-masing.14 Awig-Awig dibagi menjadi dua yang masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing-masing-masing, yaitu :

a. Awig-Awig tertulis 1) Kelebihan

a) Lebih menjamin kepastian hukum Awig-Awig;

b) Dapat dipelajari dan dipahami baik oleh Krama Desa terlebih untuk tamu yang datang;

c) Dapat dijadikan sebagai rujukan dikemudian hari;

d) Lebih mudah dilaksanakan, terutama oleh Prajuru yang baru; e) Tidak tergantung pada moral Prajuru dan warga masyarakat pada

umumnya;

f) Tujuan dari Awig-Awig jelas. 2) Kelemahan

a) Awig-Awig lebih kaku, sehingga relatif lebih sulit disesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat;

b) Relatif lebih sulit dalam mendekati rasa keadilan masyarakat tempat Awig-Awig itu berlaku.

b. Awig-Awig tidak tertulis 1) Kelebihan

a) Awig-Awig lebih luwes, sehingga relatif lebih mudah disesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat;

b) Relatif lebih mudah dalam mendekati rasa keadilan masyarakat tempat Awig-Awig itu berlaku.

2) Kelemahan

a) Kurang menjamin kepastian hukum Awig-Awig;

b) Sulit dipelajari dan dipahami, baik oleh Krama Desa terlebih untuk tamu;

c) Sulit menjadikannya sebagai rujukan di kemudian hari; d) Sulit dilaksanakan, terutama oleh Prajuru yang baru;

e) Sangat tergantung pada moral Prajuru dan warga masyarakat pada umumnya;

f) Tujuan Awig-Awig juga kurang begitu jelas. Hal-hal yang diatur didalam Awig-Awig adalah : a. Masalah orang (warga desa);

b. Masalah substansi Awig-Awig; c. Masalah terminologi (peristilahan); d. Masalah dana;

e. Masalah penyesesaian dan sosialisasi; f. Masalah pelaksanaan Awig-Awig.

14 Pasal 1 Ayat (11) Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa

(16)

Proses penulisan Awig-Awig dapat dibagi menjadi 5 tahapan, yaitu : a. Persiapan; b. Pelaksanaan; c. Evaluasi; d. Penyelesaian; e. Pelaksanaan.

Orang-orang yang membuat Awig-Awig adalah15:

a. Dalam tingkat Banjar (dusun) yang membuat Awig-Awig adalah Krama Desa Pekraman;

b. Dalam tingkat desa yang membuat Awig-Awig adalah Majelis Alit Pekraman;

c. Dalam tingkat kabupaten yang membuat Awig-Awig adalah Majelis Madya Pekraman;

d. Dalam tingkat provinsi yang membuat Awig-Awig adalah Majelis Agung Pekraman.

Apabila kita membicarakan mengenai tata masyarakat Adat Bali, maka hal yang paling terlihat adalah Awig-Awig. Awig-Awig yang lekat dengan soal-soal “terdalam di segi lahir dan batin masyarakat Adat”, dan hal ini merupakan hal yang wajar karena Awig-Awig mengatur secara horizontal hubungan masyarakat, juga mengatur secara vertikal masyarakat secara individu maupun kelompok kepada Tuhan Yang Maha Esa (Sang Hyang Widi Wasa).

Hal-hal yang membuat Awig-Awig tetap memiliki eksistensi dalam kehidupan masyarakat Adat Bali adalah16:

a. Hukum Adat selalu tumbuh

Dia tumbuh sejalan dengan perjalanan penghormatan tata dan kemanfaatan tata untuk masyarakat. Kaidah-kaidah Hukum Adat yang tidak sesuai lagi dengan jiwa dan rasa kepatuhan masyarakat, otomatis akan ditinggalkan. Sedang yang masih selaras akan selalu terbawa oleh perkembangan dan kaidah-kaidah yang dianggap patut serta perlu untuk memelihara perjalanan kehidupan masyarakat akan tumbuh lagi melingkari masyarakat.

b. Tata Awig-Awig

Bentuk pengaturan hubungan hidup kerukunan dalam wadah aturan tertulis dan tidak tertulis, dan ditaati sedemikian rupa secara turun temurun.

15 Hasil wawancara dengan Bapak Putrayana I Gusti Agung Nyoman (Tokoh Adat Desa

Pekraman) pada hari Kamis, 18 April 2019, jam 10.20 WITA.

16 I Ketut Artadi, Hukum Adat Bali dengan Aneka Masalahnya, Penerbit Pustaka Bali Post,

(17)

c. Dasar berlaku

Seperti diketahui, Awig-Awig itu tumbuh dari bawah yaitu dari ketulusan masyarakat Adat untuk kepentingan ketentraman dan keharmonisan masyarakat Adat itu sendiri.

d. Bentuk Awig-Awig

Mengatur karena kebutuhan keseimbangan dan harmonisasi kelompok masyarakat Adat yang dicari oleh Awig-Awig masyarakat Adat di Bali. 2. Harmonisasi Antara Hukum Perkawinan Adat Bali dan Hukum Positif

Indonesia (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan) Di dalam Hukum Adat Bali, dikenal dengan adanya dua bentuk perkawinan yaitu meliputi17 :

a. Bentuk biasa, atau dikenal dengan Nganten Biasa. Yaitu si laki-laki berkedudukan selaku Purusa. Dalam perkawinan seperti ini, laki-laki mengawini wanita dengan menarik wanita masuk ke rumpun keluarga laki-laki. Konsekuensinya, wanita harus tunduk pada hukum kewarisan yang berlaku pada keluarga laki-laki.

b. Bentuk Nyeburin atau Nyentana, dalam hal ini pihak laki-laki yang yang Meawak Luh (berstatus wanita atau Predana) dan meninggalkan keluarganya untuk masuk menjadi anggota keluarga istrinya yang Meawak Muani (berstatus sebagai laki-laki atau Purusa) dan tetap bertempat tinggal dalam keluarganya pada saat perkawinan dilangsungkan. Wanita yang dikawini secara Nyeburin berstatus sebagai Sentana Rajeg, yang melanjutkan keturunan keluarganya.

Terdapat perbedaan dalam bentuk perkawinan yang terjadi dalam masyarakat Adat Bali dan terkadang dapat memicu konflik kedepannya. Seperti halnya dalam perkawinan biasa, yang mana keluarga dari pihak perempuan akan merasa keberatan apabila ditinggal oleh anak perempuannya, terlebih apabila anak perempuannya merupakan anak tunggal. Berlaku juga sebaliknya dengan bentuk perkawinan Nyentana yang mana keluarga pihak laki-laki akan merasa keberatan apabila anak laki-lakinya harus meninggalkan keluarganya.

17 Wayan P. Windia dan Ketut Sudantra, Pengantar Hukum Adat Bali, Penerbit Lembaga

(18)

Berbeda dengan Hukum Adat Bali, dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak terdapat status perkawinan patrilineal ataupun matrilineal. Yang terdapat didalam Undang-Undang Perkawinan ialah perkawinan yang cenderung kedalam sistem parental. Dalam arti, suami dan istri mempunyai kedudukan yang sama dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Hal ini dapat diketahui dari ketentuan Pasal 30 dan Pasal 31, yang menentukan sebagai berikut:

Pasal 30

Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.

Pasal 31

1. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.

2. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. 3. Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.

Macam-macam cara perkawinan di Bali ada delapan, yaitu18:

a. Perkawinan Ngerorod

Perkawinan ini dilakukan dengan cara “lari bersama”, dimana laki-laki dan wanita yang akan kawin pergi bersamaan meninggalkan rumahnya masing-masing dan bersembunyi pada keluarga lain (pihak ketiga) dan menyatakan diri sedang Ngerorod. Perkawinan seperti ini, umumnya tidak diketahui oleh orang tua sebelumnya. Tata cara perkawinan Ngerorod ini umumnya melalui tahapan dan syarat sebagai berikut : 1) Umur calon pengantin sudah cukup untuk kawin;

2) Perkawinan Ngerorod, dilakukan atas kehendak kedua belah pihak; 3) Tempat yang dituju adalah rumah pihak ketiga, minimal bersembunyi

disitu selama 3 hari;

4) Secepatnya, sesudah kedua calon pengantin mendapatkan perlindungan dari pihak ketiga, diutuslah orang utusan ke rumah orang tua wanita (Wirang) untuk mempermaklumkan Ngerorod itu;

I Ketut Artadi, Hukum Adat Bali dengan Aneka Masalahnya, Penerbit Pustaka Bali Post, Denpasar, 2003, Hlm.170.

(19)

5) Orang tua wanita berhak menyelidiki “Ngerorod” itu apakah betul-betul dilakukan secara tulus ikhlas oleh kedua calon pengantin;

6) Kalau Ngerorod itu memenuhi syarat, maka setuju atau tidak setuju, gugurlah hak Wirang orang tua wanita. Upacara perkawinan dapat dilaksanakan.

Agar proses lari bersama berjalan aman, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, seperti kadar cinta, umur, kesehatan dan ekonomi. Hal ini penting karena selama dalam “persembunyian” akan ada tes khusus tentang hal ini oleh keluarga.19

b. Perkawinan Mepadik

Cara perkawinan ini diawali dengan adanya kesepakatan untuk kawin antara laki-laki dengan wanita. Kesepakatan ini kemudian dilanjutkan dengan terlibatnya pihak keluarga yang berkepentingan (laki-laki melakukan pinangan kerumah orang tua wanita) dalam peminangan ini, laki-laki membawa sejumlah perlengkapan (sirih, sajen, dan lain-lain). Jika pinangan diterima, maka pinangan itu diakhiri dengan penyerahan “Basan Pupur” sehingga sahlah kedua calon pengantin.

c. Perkawinan Jejangkepan

Secara ekstrim, perkawinan ini dapat dilukiskan sebagai usaha kelompok besar keluarga baik laki-laki maupun wanita untuk mengawinkan anaknya, dengan sedemikian rupa laki-laki dan wanita dimasukkan ke dalam satu kamar, sehingga “terpaksa” wanita menyetujui perkawinan. d. Perkawinan Nyangkring

Lazimnya dilakukan oleh keluarga bangsawan yang akan menikahi seorang gadis (biasanya dibawah umur).

e. Perkawinan Ngodalin

Perkawinan ini dilakukan dengan cara membawa seorang gadis kecil kerumah laki-laki untuk dipelihara dan diharapkan nantinya jika sudah besar dapat dikawini oleh laki-laki yang dipersiapkan itu.

19 Wayan P. Windia, Hukum Adat Bali dalam Tanya Jawab, Penerbit Udayana University

(20)

f. Perkawinan Tetagon

Perkawinan yang dilakukan oleh orang yang sudah cukup umur, tetapi setelah perkawinan si pengantin masih tetap masing-masing tinggal dirumah orang tuanya masing-masing.

g. Perkawinan Ngunggahin

Dalam perkawinan ini, wanita datang kerumah laki-laki minta supaya dia dikawini. Biasanya hal ini terjadi dalam keadaan yang luar biasa. Si wanita sudah hamil, dihamili oleh laki-laki yang didatanginya dan minta pertanggungjawaban.

h. Perkawinan Melegandang

Perkawinan ini merupakan perkawinan dalam setiap waktu dan tempat, misalnya mengambil perempuan secara paksa di jalan besar dengan tujuan untuk dikawini.

Menurut Putrayana, apabila akan melangsungkan perkawinan harus memperhatikan kasta dari calon laki-laki dan perempuan. Apabila kasta dari calon perempuan lebih tinggi maka perlu di lakukan perkawinan Ngerorod.20 Kasta

yang berbeda juga memiliki konsekuensi seperti menggunakan pakaian, sanggul, dan bahasa yang berbeda pula. Dalam hal bahasa kasta yang lebih rendah harus berbahasa halus kepada kasta yang lebih tinggi.21

Perkawinan dan keluarga menurut Hukum Adat memiliki korelasi yang sangat tajam. Bukan semata-mata merupakan ikatan kontraktual antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan, perkawinan adalah implementasi perintah Tuhan yang melembaga dalam masyarakat untuk membentuk rumah tangga dalam ikatan-ikatan kekeluargaan. Konsep yang sama dikenal pula dalam Undang-Undang Perkawinan. Pasal 1 Undang-Undang-Undang-Undang Perkawinan menegaskan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.22

20 Hasil wawancara dengan Bapak Putrayana I Gusti Agung Nyoman (Tokoh Adat Desa

Pekraman) pada hari Kamis, 18 April 2019, jam 10.20 WITA.

21 V.E. Korn, Hukum Adat Bali (Het Adatrecht Van Bali), Penerbit Udayana University

Press, Denpasar, 2017, Hlm.246.

22 Otje Salman Soemadiningrat, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, Penerbit

(21)

Dianutnya sistem kekeluargaan patrilieial atau Kapurusa oleh masyarakat Adat Bali berpengaruh terhadap pelaksanaan dan bentuk perkawinan bagi masyarakat Hukum Adat Bali. Perkawinan bagi masyarakat Hukum Adat Bali, pada hakikatnya sama dengan perkawinan sebagaimana diatur di dalam hukum positif, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Di dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1), dirumuskan: Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pengertian perkawinan menurut Hukum Adat Bali, dirumuskan sebagai sebuah ikatan suci antara seorang pria dengan seorang wanita dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang utama, yang keturunan purusa.23

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bertujuan untuk memantapkan peraturan di bidang perkawinan secara nasional. Perkawinan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diserumuskan sebagai berikut: Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Berdasarkan definisi tersebut tampak tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam hal ini mengandung arti bahwa pasangan suami istri yang melangsungkan perkawinan haruslah bertujuan mewujudkan keluarga (rumah tangga) yang bahagia materiil spiritual guna menuju perkawinan yang kekal dan abadi. Untuk itu suami istri haruslah saling membantu dan melengkapi agar masing-masing mengembangkan kepribadiannya untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Untuk mencapai tujuan itu, perkawinan tidak dapat dilakukan secara sembarangan, melainkan harus memenuhi persyaratan tertentu. Persyaratan perkawinan diatur dalam Pasal 6 sampai Pasal 12 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Secara garis besar dapat dikemukakan bahwa persyaratan perkawinan terdiri dari: 1) adanya persetujuan dari kedua mempelai; 2) ijin dari orang tua; dan 3) ketentuan tentang batas umur perkawinan.

23 Gde Djaksa, Hubungan Perkawinan Menurut Hukum Hindu dengan Perkawinan

(22)

Ditegaskannya syarat bahwa perkawinan harus didasarkan kepada persetujuan kedua calon mempelai, maka cara-cara pemaksaan dalam pelaksanaan perkawinan tidak dibenarkan lagi.

Mengenai persetujuan kedua mempelai dan ijin orang tua, yang diatur dalam Pasal 6, selengkapnya berbunyi sebagai berikut.

(1) Perkawinan harus didasarkan persetujuan kedua calon mempelai.

(2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

(3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat 2 pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

(4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

(5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat 2, 3 dan 4 pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat 2, 3 dan 4 pasal ini.

(6) Ketentuan tersebut ayat 1 sampai dengan ayat 5 pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Syarat ketiga yang tidak kalah pentingnya adalah mengenai batas umur untuk perkawinan. Berdasarkan Pasal 7, perkawinan hanya dizinkan jika calon mempelai pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan calon mempelai wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Penyimpangan terhadap ketentuan ini hanya dimungkinkan bila ada dispensasi dari Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita.

(23)

Hal lain yang juga perlu dipahami terkait dengan pelaksanaan perkawinan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tetang Perkawinan adalah adanya larangan perkawinan. Dalam hubungan dengan larangan perkawinan, tampak ada ketentuan yang mirip antara Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dengan ketentuan dalam Hukum Adat Bali. Dalam arti, keduanya mengatur tentang larangan perkawinan secara tegas. Tentang hal ini, Pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menentukan sebagai berikut:

Pasal 8

Perkawinan dilarang antara dua orang yang:

a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas.

b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara.

c. Berhubungan semenda, yaitu anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri.

d. Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi atau paman susuan.

e. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang.

f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.

Terkait dengan sahnya perkawinan, diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Selengkapnya menentukan sebagai berikut:

Pasal 2

(1) Perkawinan dikatakan sah bila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaanya.

(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(24)

Lebih lanjut dalam Pasal 3 Peraturan Pemeritah Nomor 9 Tahun 1975 menentukan “Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatatan di tempat perkawinan akan dilangsungkan” (ayat 1). “Pemberitahuan tersebut dalam ayat 1 dilakukan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan” (ayat 2). Ketentuan ini sampai sekarang tidak berlaku efektif di Bali, baik untuk perkawinan Biasa maupun perkawinan Nyentana. Terlepas dari kenyataan perkawinan didaftarkan atau tidak, perkawinan dianggap sah menurut Hukum Adat Bali, bila memenuhi Tri Upasaksi (tiga kesaksian) yang meliputi:

(1) Bhuta Saksi (bersaksi kepada Bhutakala, dengan menggunakan upacara tertentu sesuai ajaran Hindu.

(2) Manusa Saksi (disaksikan oleh keluarga dan masyarakat yang ditandai kehadiran Prajuru atau perangkat pimpinan Desa Pakraman dan Suaran Kulkul atau bunyi kentongan).

(3) Dewa Saksi (bersaksi kepada Tuhan, dengan menggunakan upacara tertentu sesuai ajaran Hindu). Sesudah upacara perkawinan dengan Tri Upasaksi, dilanjutkan dengan penyelesaian administrasi perkawinan, pengurusan akta perkawinan, sesuai undang-undang perkawinan.

C. PENUTUP

Pelaksanaan perkawinan pada Ngerorod tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dilihat dari ketentuan tentang persyaratan perkawinan, pelaksanaan perkawinan, dan sahnya perkawinan jika dalam prosesnya telah memenuhi unsur pada Undang-Undang Perkawinan. Dalam upaya harmonisasi hukum perkawinan Adat Bali dengan Hukum Positif Indonesia, kami menghimbau kepada masyarakat agar tidak melaksanakan Adat perkawinan dengan cara penculikan. Hal itu dapat dilaksanakan dengan cara izin terlebih dahulu kepada orang tua calon pengantin tetapi di masyarakat seakan telah melaksanakan Adat penculikan itu. Karena jika hal itu tidak dilaksanakan dan keluarga salah satu calon pengantin merasa dirugikan lalu melaporkan hal tersebut maka sudah terpenuhi juga unsur-unsur dari penculikan menurut KUHP atau kalau tidak perkawinan tersebut dapat dibatalkan oleh Kejaksaan, karena Kejaksaan memiliki wewenang untuk membatalkan perkawinan.24

24 Hasil wawancara dengan Faris Almer Romadhona, S.H. (Jaksa Fungsional Kejaksaan

(25)

DAFTAR PUSTAKA Buku

Artadi, I Ketut. 2003. Hukum Adat Bali dengan Aneka Masalahnya. (Denpasar: Penerbit Pustaka Bali Post).

Hadikusuma, Hilman. 2003. Hukum Perkawinan Adat dengan Adat Istiadat Upacara Adatnya. (Bandung: Penerbit Citra Aditya Bakti).

Hadikusuma, Hilman. 2007. Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama. (Bandung: Penerbit CV. Mandar Maju).

Hurgronje, Snouck. 1910. Adatrechtbundel I. (Nederland: Penerbit Martinus Nijhoff).

Koesnoe, Moh.. 1992. Hukum Adat sebagai Suatu Model Hukum: Bagian I (Historis). (Bandung: Penerbit Mandar Maju).

Korn, V.E.. 2017. Hukum Adat Bali (Het Adatrecht Van Bali). (Denpasar: Penerbit Udayana University Press).

Panetje, Gede. 2004. Aneka Catatan tentang Hukum Adat Bali. (Denpasar: Penerbit Kayumas Agung).

Rato, Dominikus. 2015. Hukum Adat Kontemporer. (Surabaya: Penerbit LaksBang Justitia).

Soemadiningrat, Otje Salman. 2002. Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer. (Bandung: Penerbit Alumni).

Soepomo, R.. 1981. Bab-Bab tentang Hukum Adat. (Jakarta: Penerbit Pradnya Paramita).

Windia, Wayan P. dan Ketut Sudantra. 2006. Pengantar Hukum Adat Bali. (Badung: Penerbit Lembaga Dokumentasi dan Publikasi FH Unud).

Windia, Wayan P.. 2009. Perkawinan pada Gelahang di Bali. (Denpasar: Penerbit Udayana Press).

Windia, Wayan P.. 2013. Hukum Adat Bali dalam Tanya Jawab. (Denpasar: Penerbit Udayana University Press).

Karya Ilmiah

Djaksa, Gde. 1976. Hubungan Perkawinan Menurut Hukum Hindu dengan Perkawinan Menurut UU No. 1/1974. Skripsi. (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia).

Sumber Hukum

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019.

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1975 Nomor 12. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3050.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 951.

(26)

Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman. Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2001 Nomor 29.

Sumber Lain

Wawancara dengan Bapak Putrayana I Gusti Agung Nyoman (Tokoh Adat Desa Pekraman) pada hari Kamis, 18 April 2019, jam 10.20 WITA.

Wawancara dengan Faris Almer Romadhona, S.H. (Jaksa Fungsional Kejaksaan Negeri Tabanan), pada hari Rabu, 17 April 2019, jam 20.10 WITA.

(27)

BATASAN KATA “KEKEJAMAN” DALAM PASAL 19 HURUF D PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG

PERKAWINAN

PARADISA EKSAKTA GHEOSA Universitas Brawijaya

Korespondensi Penulis : paradisaeksakta@yahoo.com

Citation Structure Recommendation :

Gheosa, Paradisa Eksakta. Batasan Kata “Kekejaman” dalam Pasal 19 Huruf D Peraturan

Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.3 (Juni 2020).

ABSTRAK

Penelitian ini membahas mengenai batasan kata kekejaman dalam pasal 19 huruf (d) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Ketentuan tersebut mengamanatkan bahwa salah satu alasan perceraian adalah karena salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain. Dalam pasal tersebut tidak dijelaskan arti dan batasan mengenai kata kekejaman. Sehingga dalam berbagai putusan perceraian terdapat ketidakseragaman karena tidak adanya pemahaman norma yang disepakati secara umum oleh para hakim mengenai kata kekejaman dalam memutuskan perkara cerai dengan alasan tersebut. Salah satu putusan mengemukakan bahwa kata kekejaman diartikan sebagai kekejaman terhadap fisik. Sedangkan pada putusan yang berbeda mengartikan kekejaman sebagai kekejaman terhadap mental. Hal ini menyebabkan terdapatnya kekaburan mengenai kata “kekejaman” dalam pasal 19 huruf (d) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Selain itu, dengan adanya kekaburan tersebut, pasal 19 huruf (d) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan belum sepenuhnya digunakan oleh hakim sebagai pertimbangan dalam memutus perkara perceraian. Sehingga, beberapa hakim lebih memilih untuk memberikan pertimbangan dengan merujuk pasal 19 huruf (f) dalam memutus gugatan perceraian. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis apa batasan kata kekejaman dalam pasal 19 huruf (d) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Penelitian ini adalah penelitian hukum dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus.

(28)

Perkawinan

Teknik analisis bahan hukum yang digunakan adalah interpretasi gramatikal dan interpretasi sistematis. Dari hasil penelitian menghasilkan suatu temuan bahwa yang dimaksud dengan kekejaman dalam pasal 19 huruf (d) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah perbuatan yang mengakibatkan orang lain mengalami penderitaan, rasa sakit, luka baik secara fisik, psikis, seksual maupun ekonomi. Adapun batasan kata kekejaman adalah kekerasan.

Kata Kunci: Alasan Perceraian, Kekejaman, Ketidakseragaman Penafsiran Hakim

(29)

A. PENDAHULUAN

Pasal 28 B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”. Sejalan dengan pasal tersebut, dapat diketahui bahwa meneruskan keturunan merupakan salah satu Hak Asasi Manusia yang telah dijamin oleh negara dan merupakan implikasi dibentuknya sebuah perkawinan. Perkawinan diartikan sebagai ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.1

Pada awalnya, sepasang suami istri pasti mempunyai tujuan yang sama dalam melaksanakan perkawinan. Namun, tujuan tersebut tidak selalu dapat dilaksanakan sesuai yang diharapkan, walaupun telah diusahakan sedemikian rupa oleh pasangan suami istri. Hal tersebut akan memicu jatuhnya perkawinan ke jurang perceraian. Maka dari itu, masing-masing pihak dapat dan berhak mengajukan gugatan cerai kepada Pengadilan Agama.2 Adapun alasan-alasan hukum dilakukannya perceraian telah ditentukan dalam Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Salah satu alasan perceraian yang menjadi perhatian peneliti adalah penggunaan alasan kekejaman atau penganiayaan berat sebagaimana termaktub dalam Pasal 19 huruf (d) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengamanatkan bahwa “Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain”.

Dalam berbagai putusan perceraian, terdapat ketidakseragaman hakim mengenai kata kekejaman dalam memutuskan perkara cerai dengan alasan tersebut. Seperti pada Putusan Pengadilan Agama Sukabumi Nomor 0013/Pdt.G/2014/PA.Smi, alasan diajukannya gugatan karena adanya KDRT.

1 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

2 Umu Hilmy, dkk., Buku Panduan Legal Reasoning dalam Putusan Perkara Kekerasan

(30)

Perkawinan

Hakim menimbang bahwa dalil penggugat telah memenuhi unsur dalam Pasal 19 huruf (d) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Karena tergugat telah melakukan kekejaman terhadap fisik dalam bentuk memukul penggugat, walaupun belum ada putusan dari Pengadilan Negeri yang menjatuhkan hukuman kepada tergugat karena telah melakukan KDRT kepada penggugat.3 Sedangkan

pada Putusan Mahkamah Syari’ah Langsa Nomor 316/Pdt.G/2013/MS-Lgs, alasan diajukannya gugatan karena tergugat melakukan kekerasan fisik berupa pemukulan, dan telah mendapat hukuman dari Pengadilan Negeri berupa hukuman penjara 1 tahun 6 bulan. Hakim menimbang bahwa perbuatan tergugat yang telah terbukti melakukan kekerasan fisik dan dijatuhi hukuman penjara 1 tahun 6 bulan oleh Pengadilan Negeri, sesuai dengan alasan perceraian yang ada pada Pasal 19 huruf (d) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berupa kekejaman terhadap fisik.4Kemudian pada Putusan Pengadilan Agama Tigaraksa Nomor 2863/Pdt.G/2014/PA.Tgrs, alasan diajukannya gugatan karena tergugat suka melakukan KDRT seperti memukul badan penggugat. Hakim berpendapat bahwa dalil gugatan penggugat justru sesuai dengan Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu alasan perceraian karena adanya perselisihan dan pertengkaran.5

Berbeda dengan ketiga putusan diatas, dalam Putusan Pengadilan Agama Mempawah Nomor 00723/Pdt.G/2015/PA.Mpw, alasan diajukannya gugatan karena tergugat telah menikah dengan perempuan lain. Hakim menimbang bahwa tindakan tergugat tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 19 huruf (d) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan termasuk ke dalam kualifikasi kekejaman yang kemudian memperluas kata kekejaman dalam Pasal 19 huruf (d) PP Pelaksanaan UU Perkawinan menjadi kekejaman terhadap mental.6

3 Putusan Pengadilan Agama Sukabumi Nomor 0013/Pdt.G/2014/PA.Smi.

4 Putusan Mahkamah Syari’ah Langsa Nomor 316/Pdt.G/2013/MS-Lgs.

5 Putusan Pengadilan Agama Tigaraksa Nomor 2863/Pdt.G/2014/PA.Tgrs.

(31)

Kemudian dalam putusan Pengadilan Agama Mempawah Nomor 0182/Pdt.G/2015/PA.Mpw, penggugat mengajukan gugatan perceraian dengan alasan bahwa tergugat telah berselingkuh dan melakukan hubungan badan dengan anak didik tergugat sehingga anak tersebut hamil. Atas perbuatan tergugat tersebut, tergugat telah di tahan di Rumah Tahanan Mempawah karena telah terbukti melakukan pencabulan terhadap anak di bawah umur. Hakim dalam pertimbangan hukumnya menimbang bahwa perbuatan tergugat tersebut telah menghancurkan keharmonisan hubungan antara penggugat dengan tergugat dan hal tersebut berdampak pada mental penggugat karena batin tergugat tertekan. Sehingga hakim kemudian menyatakan bahwa tergugat telah melakukan kekejaman mental terhadap penggugat, yang kemudian dirujuk dengan Pasal 19 huruf (d) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.7

Sedangkan dalam Putusan Pengadilan Agama Palangkaraya Nomor 204/Pdt.G/2012/PA.Plk, seorang penggugat mengajukan permohonan cerai dengan alasan bahwa tergugat berselingkuh dengan beberapa wanita yang berbeda. Hakim menimbang bahwa perbuatan tergugat tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 5 huruf b8 dan Pasal 79 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga serta Pasal 19 huruf (f) PP Pelaksanaan UU Perkawinan. Hakim menilai bahwa perselingkuhan yang terjadi dikategorikan sebagai kekerasan psikis. Sehingga, hakim mengaitkan perbuatan itu dengan Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan lalu mengabulkan gugatan penggugat serta menjatuhkan talak pada penggugat.10

7 Putusan Pengadilan Agama Mempawah No 00723/Pdt.G/2015/PA.Mpw.

8 Pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam

Rumah Tangga: “Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara:

a. Kekerasan fisik; b. Kekerasan psikis; c. Kekerasan seksual; atau d. Penelantaran rumah tangga.”

9 Pasal 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam

Rumah Tangga: “Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.”

(32)

Perkawinan

Beranjak dari putusan diatas, pada Putusan Pengadilan Agama Jayapura Nomor 0060/Pdt.G/2014/PA.Jpr, alasan diajukannya gugatan karena tergugat selalu menyuruh penggugat untuk mencari laki-laki lain. Hakim menimbang perbuatan tergugat demikian termasuk perbuatan pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangga dengan orang lain. Sehingga sesuai dengan ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dan inheren pula dengan Pasal 19 huruf (d) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.11 Selanjutnya pada Putusan Pengadilan Agama Tanah Grogot Nomor 0178/Pdt.G/2017/PA.Tgt, seorang penggugat mengajukan gugatan cerai dikarenakan telah terjadi penelantaran yang dilakukan oleh tergugat kepada penggugat. Hakim menilai bahwa penelantaran dikategorikan sebagai kekejaman mental. Namun, hakim menimbang dengan merujuk Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai dasar untuk mengabulkan gugatan.12

Kemudian pada Putusan Pengadilan Agama Kabupaten Malang Nomor 4258/Pdt.G/2013/PA.Kab.Mlg, seorang penggugat mengajukan gugatan perceraian dengan alasan bahwa antara pihak penggugat dan pihak tergugat telah terjadi pisah tempat tinggal kurang lebih selama delapan bulan dan selama itu sudah tidak saling memedulikan. Hakim kemudian menimbang bahwa fakta tersebut termasuk tindakan kekejaman mental. Namun, hakim memilih untuk menjatuhkan putusan cerai dengan berdasarkan Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.13 Berdasarkan paparan latar belakang diatas,

rumusan masalah dalam tulisan ini adalah Apa batasan kata “kekejaman” dalam Pasal 19 huruf (d) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan?

11 Putusan Pengadilan Agama Jayapura Nomor 0060/Pdt.G/2014/PA.Jpr.

12 Putusan Pengadilan Agama Tanah Grogot Nomor 0178/Pdt.G/2017/PA.Tgt.

(33)

B. PEMBAHASAN

1. Hubungan Antara Hak dan Kewajiban Suami Istri dengan Alasan Perceraian Karena Kekejaman

Sebagai salah satu peristiwa hukum yang penting dalam kehidupan manusia, perkawinan mempunyai berbagai konsekuensi hukum. Diantara konsekuensi hukum terjadinya sebuah perkawinan adalah timbulnya hak dan kewajiban bagi masing-masing suami istri, sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan. Dengan kata lain, perkawinan menimbulkan tanggung jawab dan peranan antara suami dan istri dalam berkeluarga.

Pasal 30 Undang-Undang Perkawinan mengamanatkan bahwa :

“Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat”

Berdasarkan bunyi pasal tersebut, dapat diketahui bahwa memang perkawinan yang bertujuan untuk membentuk rumah tangga adalah suatu perbuatan yang luhur, yang dianggap sebagai salah satu perbuatan yang terpenting diantara perbuatan-perbuatan lainnya dalam kehidupan seseorang. Untuk mencapai tujuan tersebut maka para pihak yang melaksanakan perkawinan harus melakukan hal sebagai berikut14:

a. Antara kedua belah pihak harus mau saling berkorban. Sebab tanpa pengorbanan di antara kedua belah pihak, yang masing-masing mempunyai latar belakang yang berbeda dan kehidupan yang berbeda, maka tujuan luhur dari perkawinan akan sukar untuk dicapai.

b. Antara kedua belah pihak harus berbudi pekerti tinggi sebagai sarana untuk mewujudkan rumah tangga. Sebab keluhuran tidak terlepas dari pengertian akhlak dan moral.

Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa moral dan akhlak akan berpengaruh terhadap kadar kualitas perilaku dan pengendalian diri individu dalam berumah tangga. Apabila kualitas dan pengendalian diri tidak dapat dikontrol, dapat mengakibatkan timbulnya kekerasan dalam rumah tangga, dan terciptanya rasa ketidakamanan atau ketidakadilan terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah tersebut.

14 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan

(34)

Perkawinan

Selanjutnya, mengenai kedudukan hukum suami istri dalam rumah tangga. Pasal 31 Undang-Undang Perkawinan mengamanatkan bahwa:

(1) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.

(2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. (3) Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.

Berdasarkan pasal diatas, dapat diperoleh ketentuan bahwa hak dan kedudukan suami istri baik dalam kehidupan berumah tangga maupun pergaulan hidup bersama dalam masyarakat adalah sama dan sederajat. Terlepas dari adanya keseimbangan hak dan kedudukan diantara suami istri, mereka tetap mempunyai peranan dan tanggung jawab yang berbeda dalam keluarga. Namun walaupun telah diatur sedemikian rupa dalam undang-undang, tak sedikit dari masyarakat yang masih menganut budaya patriarki terkait hak dan kedudukan suami istri dalam rumah tangga. Budaya patriarki merupakan budaya yang meletakkan kedudukan lelaki lebih tinggi dibanding wanita.15

Dengan adanya budaya patriarki yang kuat tersebut, maka posisi perempuan akan semakin lemah dan rentan terhadap adanya kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki (dalam hal ini suami dalam lingkup rumah tangga). Sehingga, sebagai jalan keluarnya, istri yang tidak tahan akan keadaan tersebut lebih memilih untuk menggugat cerai suaminya. Kemudian, hak dan kewajiban suami istri dalam Pasal 32 Undang-Undang Perkawinan yang mengamanatkan bahwa:

(1) Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.

(2) Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami isteri bersama.

Ketentuan bunyi pasal diatas dimaksudkan bahwa untuk memutar segala hak dan kewajiban antara suami istri secara berdampingan, diperlukan suatu tempat tertentu sebagai pelabuhannya yaitu berupa tempat kediaman atau domisili.16 Keuntungan dari adanya tempat kediaman yang tetap dan hidup bersama dalam tempat tersebut adalah untuk memudahkan adanya komunikasi ketika terjadi permasalahan dan harus dicarikan solusinya secara bersama-sama.

15 Wahyu Ernaningsih dan Putu Samawati, Pengaruh Budaya Patriarki Terhadap

Perceraian Kajian pada Pengadilan Agama Kelas I A Palembang, Penerbit Tunggal Mandiri,

Malang, 2014, Hlm.111.

16 Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia,

(35)

Apabila suatu pasangan suami istri hidup secara terpisah akan sangat riskan terhadap timbulnya diskoordinasi antara kedua belah pihak yang kemudian menimbulkan adanya kesalahpahaman dan memunculkan kemarahan di salah satu pihak yang dapat memicu tindak kekerasan. Berikutnya adalah pengaturan mengenai hak dan kewajiban suami istri sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 Undang-Undang Perkawinan yang berbunyi :

Suami isteri wajib saling cinta-mencinta, hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.

Sejalan dengan Pasal 33 tersebut, bunyi Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan yang mengamanatkan bahwa perkawinan tidak hanya merupakan ikatan lahir namun juga ikatan bathin antara seorang pria dan wanita. Ikatan bathin disini diwujudkan dengan adanya kewajiban secara timbal balik untuk saling cinta-mencintai diantara kedua belah pihak. Dengan adanya rasa saling cinta-mencintai, saling menghormati dan saling membantu diantara kedua belah pihak, kesetiaan antara suami-istri akan timbul. Hal ini akan terwujud apabila kedua belah pihak secara bersama-sama sanggup untuk memelihara dan mempertahankan kepercayaan antara satu sama lain baik yang bersifat moral maupun material. Yang dimaksud bersifat moral adalah antara kedua belah pihak diharapkan untuk tidak ada yang menyeleweng dengan wanita lain bagi suami, dan dengan pria lain bagi istri. Sedangkan adapun yang dimaksud dengan bersifat material adalah seorang istri jangan sampai menggunakan uang nafkah yang telah diberikan oleh suami untuk membeli keperluan atau kepentingan lain tanpa sepengetahuan suami.17

Walaupun demikian dalam prakteknya, pelanggaran terhadap kewajiban tersebut masih terjadi. Misalnya ketika dalam perkawinan tidak ada rasa saling cinta mencintai diantara kedua belah pihak, maka dasar dalam pembangunan rumah tangga yang bahagia tidak dapat diwujudkan. Hal ini berkaitan pula dengan kesetiaan antara kedua belah pihak yang akan susah dicapai apabila rasa saling mencintai sebagai ikatan batin perkawinan tidak ada. Perihal tersebut dapat memicu adanya penyelewengan baik bagi pihak suami dengan berselingkuh dengan wanita idaman lain, dan pihak istri berselingkuh dengan pria idaman lain.

17 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan

(36)

Perkawinan

Ketika salah satu pihak telah melakukan tindakan penyelewengan tersebut, maka pihak lainnya akan menderita. Walaupun tidak menimbulkan dampak yang nyata secara fisik, namun secara psikis atau mentalnya akan terluka.

Selanjutnya, Pasal 34 Undang-Undang Perkawinan. Pada pasal ini diamanatkan bahwa:

(1) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah-tangga sesuai dengan kemampuannya.

(2) Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.

(3) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan.

Dari ketentuan tersebut, dapat diketahui suami berkewajiban untuk melindungi istrinya dan memberikan keperluan hidup berumah tangga yang meliputi kebutuhan primer seperti tempat kediaman, keperluan hidup sehari-hari, biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anak. Sedangkan kewajiban istri dalam hal ini adalah mengatur rumah tangga dengan sebaik-baiknya, sesuai kedudukannya sebagai ibu rumah tangga. Kewajiban ini meliputi menyediakan makanan untuk seluruh keluarga setiap hari, mengasuh dan memelihara anak serta mengatur rumah tempat kediaman sebaik-baiknya.18

Pasal 34 ayat (1) menekankan bahwa suami memiliki kewajiban untuk melindungi istrinya. Hal ini dikarenakan seorang suami sebagai laki-laki secara kodrat memang lebih kuat daripada perempuan, sehingga bertindak sebagai pelindung bagi perempuan yang lemah. Namun dalam prakteknya, seorang suami tak jarang justru menyalahgunakan kekuatan tersebut agar istri tunduk dengan segala kemauan suami.19 Dengan demikian, jika terdapat perlawanan dari istri maka akan memicu pertengkaran yang kemudian diikuti dengan timbulnya kekerasan. Kondisi seperti ini menjadikan istri tertekan dalam membina rumah tangga. Konteks suami yang seharusnya memberikan perlindungan kepada istrinya tidak dapat dicapai. Oleh karena sang suami melalaikan kewajibannya, maka istri diberi peluang untuk mengajukan gugatan cerai ke pengadilan.

18 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan

(Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan), Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1982, Hlm.98.

19 Moerti Hadiati Soeroso, Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Perspektif

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 Tanggal 22 Desember 2020 tentang Pemberlakuan Pedoman Penerapan Restorative

- Subyek: Barang siapa, dalam hal ini adalah para tersangka mafia karantina yang berinisial RW, S dan GC. - Perbuatan: Menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan

merupakan opsi terbaik yang dapat dimiliki oleh seseorang dalam kepemilikan tanah secara permanen, dimana hak milik dapat dibebankan hak lain sebagai

Di dunia, terdapat dua sistem hukum yang banyak digunakan oleh negara-negara yaitu Civil Law atau Eropa Kontinental dan Common Law atau Anglo Saxon. Dua sistem hukum tersebut

3) Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Tahapan Pemeriksaan dalam Hukum Acara Pidana a. Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, penyelidikan

2. Intervensi Pengadilan sebagai bentuk Problematika Penggunaan Klausul Arbitrase dalam Perkara yang Pernah Diputus di Indonesia UU APS telah menjelaskan konstruksi hukum

Pada tahun 2003, sistem satu atap direalisasikan dengan amendemen lima UUD 1945 yaitu tentang Kekuasaan Kehakiman, Mahkamah Agung, Peradilan Umum, Peradilan Tata

“Saya kawin dinikahkan penghulu, disaksikan orang banyak, serta dengan memenuhi aturan agama sekaligus. Maka, siapa saja yang mengganggu istri saya, berarti ia telah