• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Antara Hak dan Kewajiban Suami Istri dengan Alasan Perceraian Karena Kekejaman

PARADISA EKSAKTA GHEOSA Universitas Brawijaya

1. Hubungan Antara Hak dan Kewajiban Suami Istri dengan Alasan Perceraian Karena Kekejaman

Sebagai salah satu peristiwa hukum yang penting dalam kehidupan manusia, perkawinan mempunyai berbagai konsekuensi hukum. Diantara konsekuensi hukum terjadinya sebuah perkawinan adalah timbulnya hak dan kewajiban bagi masing-masing suami istri, sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan. Dengan kata lain, perkawinan menimbulkan tanggung jawab dan peranan antara suami dan istri dalam berkeluarga.

Pasal 30 Undang-Undang Perkawinan mengamanatkan bahwa :

“Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat”

Berdasarkan bunyi pasal tersebut, dapat diketahui bahwa memang perkawinan yang bertujuan untuk membentuk rumah tangga adalah suatu perbuatan yang luhur, yang dianggap sebagai salah satu perbuatan yang terpenting diantara perbuatan-perbuatan lainnya dalam kehidupan seseorang. Untuk mencapai tujuan tersebut maka para pihak yang melaksanakan perkawinan harus melakukan hal sebagai berikut14:

a. Antara kedua belah pihak harus mau saling berkorban. Sebab tanpa pengorbanan di antara kedua belah pihak, yang masing-masing mempunyai latar belakang yang berbeda dan kehidupan yang berbeda, maka tujuan luhur dari perkawinan akan sukar untuk dicapai.

b. Antara kedua belah pihak harus berbudi pekerti tinggi sebagai sarana untuk mewujudkan rumah tangga. Sebab keluhuran tidak terlepas dari pengertian akhlak dan moral.

Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa moral dan akhlak akan berpengaruh terhadap kadar kualitas perilaku dan pengendalian diri individu dalam berumah tangga. Apabila kualitas dan pengendalian diri tidak dapat dikontrol, dapat mengakibatkan timbulnya kekerasan dalam rumah tangga, dan terciptanya rasa ketidakamanan atau ketidakadilan terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah tersebut.

14 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan

Perkawinan

Selanjutnya, mengenai kedudukan hukum suami istri dalam rumah tangga. Pasal 31 Undang-Undang Perkawinan mengamanatkan bahwa:

(1) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.

(2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. (3) Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.

Berdasarkan pasal diatas, dapat diperoleh ketentuan bahwa hak dan kedudukan suami istri baik dalam kehidupan berumah tangga maupun pergaulan hidup bersama dalam masyarakat adalah sama dan sederajat. Terlepas dari adanya keseimbangan hak dan kedudukan diantara suami istri, mereka tetap mempunyai peranan dan tanggung jawab yang berbeda dalam keluarga. Namun walaupun telah diatur sedemikian rupa dalam undang-undang, tak sedikit dari masyarakat yang masih menganut budaya patriarki terkait hak dan kedudukan suami istri dalam rumah tangga. Budaya patriarki merupakan budaya yang meletakkan kedudukan lelaki lebih tinggi dibanding wanita.15

Dengan adanya budaya patriarki yang kuat tersebut, maka posisi perempuan akan semakin lemah dan rentan terhadap adanya kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki (dalam hal ini suami dalam lingkup rumah tangga). Sehingga, sebagai jalan keluarnya, istri yang tidak tahan akan keadaan tersebut lebih memilih untuk menggugat cerai suaminya. Kemudian, hak dan kewajiban suami istri dalam Pasal 32 Undang-Undang Perkawinan yang mengamanatkan bahwa:

(1) Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.

(2) Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami isteri bersama.

Ketentuan bunyi pasal diatas dimaksudkan bahwa untuk memutar segala hak dan kewajiban antara suami istri secara berdampingan, diperlukan suatu tempat tertentu sebagai pelabuhannya yaitu berupa tempat kediaman atau domisili.16 Keuntungan dari adanya tempat kediaman yang tetap dan hidup bersama dalam tempat tersebut adalah untuk memudahkan adanya komunikasi ketika terjadi permasalahan dan harus dicarikan solusinya secara bersama-sama.

15 Wahyu Ernaningsih dan Putu Samawati, Pengaruh Budaya Patriarki Terhadap

Perceraian Kajian pada Pengadilan Agama Kelas I A Palembang, Penerbit Tunggal Mandiri,

Malang, 2014, Hlm.111.

16 Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia,

Apabila suatu pasangan suami istri hidup secara terpisah akan sangat riskan terhadap timbulnya diskoordinasi antara kedua belah pihak yang kemudian menimbulkan adanya kesalahpahaman dan memunculkan kemarahan di salah satu pihak yang dapat memicu tindak kekerasan. Berikutnya adalah pengaturan mengenai hak dan kewajiban suami istri sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 Undang-Undang Perkawinan yang berbunyi :

Suami isteri wajib saling cinta-mencinta, hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.

Sejalan dengan Pasal 33 tersebut, bunyi Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan yang mengamanatkan bahwa perkawinan tidak hanya merupakan ikatan lahir namun juga ikatan bathin antara seorang pria dan wanita. Ikatan bathin disini diwujudkan dengan adanya kewajiban secara timbal balik untuk saling cinta-mencintai diantara kedua belah pihak. Dengan adanya rasa saling cinta-mencintai, saling menghormati dan saling membantu diantara kedua belah pihak, kesetiaan antara suami-istri akan timbul. Hal ini akan terwujud apabila kedua belah pihak secara bersama-sama sanggup untuk memelihara dan mempertahankan kepercayaan antara satu sama lain baik yang bersifat moral maupun material. Yang dimaksud bersifat moral adalah antara kedua belah pihak diharapkan untuk tidak ada yang menyeleweng dengan wanita lain bagi suami, dan dengan pria lain bagi istri. Sedangkan adapun yang dimaksud dengan bersifat material adalah seorang istri jangan sampai menggunakan uang nafkah yang telah diberikan oleh suami untuk membeli keperluan atau kepentingan lain tanpa sepengetahuan suami.17

Walaupun demikian dalam prakteknya, pelanggaran terhadap kewajiban tersebut masih terjadi. Misalnya ketika dalam perkawinan tidak ada rasa saling cinta mencintai diantara kedua belah pihak, maka dasar dalam pembangunan rumah tangga yang bahagia tidak dapat diwujudkan. Hal ini berkaitan pula dengan kesetiaan antara kedua belah pihak yang akan susah dicapai apabila rasa saling mencintai sebagai ikatan batin perkawinan tidak ada. Perihal tersebut dapat memicu adanya penyelewengan baik bagi pihak suami dengan berselingkuh dengan wanita idaman lain, dan pihak istri berselingkuh dengan pria idaman lain.

17 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan

Perkawinan

Ketika salah satu pihak telah melakukan tindakan penyelewengan tersebut, maka pihak lainnya akan menderita. Walaupun tidak menimbulkan dampak yang nyata secara fisik, namun secara psikis atau mentalnya akan terluka.

Selanjutnya, Pasal 34 Undang-Undang Perkawinan. Pada pasal ini diamanatkan bahwa:

(1) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah-tangga sesuai dengan kemampuannya.

(2) Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.

(3) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan.

Dari ketentuan tersebut, dapat diketahui suami berkewajiban untuk melindungi istrinya dan memberikan keperluan hidup berumah tangga yang meliputi kebutuhan primer seperti tempat kediaman, keperluan hidup sehari-hari, biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anak. Sedangkan kewajiban istri dalam hal ini adalah mengatur rumah tangga dengan sebaik-baiknya, sesuai kedudukannya sebagai ibu rumah tangga. Kewajiban ini meliputi menyediakan makanan untuk seluruh keluarga setiap hari, mengasuh dan memelihara anak serta mengatur rumah tempat kediaman sebaik-baiknya.18

Pasal 34 ayat (1) menekankan bahwa suami memiliki kewajiban untuk melindungi istrinya. Hal ini dikarenakan seorang suami sebagai laki-laki secara kodrat memang lebih kuat daripada perempuan, sehingga bertindak sebagai pelindung bagi perempuan yang lemah. Namun dalam prakteknya, seorang suami tak jarang justru menyalahgunakan kekuatan tersebut agar istri tunduk dengan segala kemauan suami.19 Dengan demikian, jika terdapat perlawanan dari istri maka akan memicu pertengkaran yang kemudian diikuti dengan timbulnya kekerasan. Kondisi seperti ini menjadikan istri tertekan dalam membina rumah tangga. Konteks suami yang seharusnya memberikan perlindungan kepada istrinya tidak dapat dicapai. Oleh karena sang suami melalaikan kewajibannya, maka istri diberi peluang untuk mengajukan gugatan cerai ke pengadilan.

18 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan

(Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan), Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1982, Hlm.98.

19 Moerti Hadiati Soeroso, Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Perspektif

Dokumen terkait