• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020) Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Keempat)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020) Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Keempat)"

Copied!
72
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis Volume 1 Nomor 4 (Juli 2020)

Tema Hukum Internasional (Bulan Keempat)

Pemimpin Umum : Ivan Drago, S.H.

Editorial : Fazal Akmal Musyarri, S.H. Desain : Jacky Leonardo

Kontributor : Dina Aprilia Iswara Juan Maulana Alfedo

Melta Satya Rahayu Pujianti Yanels Garsione Damanik Distribusi : Guardino Ibrahim Fahmi

Liavita Rahmawati Moch. Adrio Farezhi Moh. Haris Lesmana M. Rizky Andika P.

Redaksi Jurnal Hukum Lex Generalis Klinik Hukum Rewang Rencang

Jl. Borobudur Agung No.26 Malang, Kode Pos 65142 Telp: 087777844417

Email: jhlg@rewangrencang.com Website: Https://jhlg.rewangrencang.com/

Isi Jurnal Hukum Lex Generalis dapat Dikutip dengan Menyertakan Sumbernya (Citation is permitted with acknowledgement of the source)

(3)

DAFTAR ISI

Dina Aprilia Iswara

Optimalisasi Pengawasan Komisi Kejaksaan dalam Mengawasi Pelanggaran Kode Etik Kasus Korupsi pada Jaksa ... 1 Dina Aprilia Iswara

Rekontruksi Regulasi terhadap KPK dalam Pemberantasan Kasus Tindak Pidana Korupsi di Indonesia ... 12 Juan Maulana Alfedo

Analisis Kasus Penyebaran Berita Bohong Terkait Covid-19 di Sumatera Selatan dalam Perspektif Hukum Pidana ... 27 Melta Setya Rahayu Pujianti dkk.

INTROSYM : Reformulasi Stolen Asset Recovery dalam Sistem Pemeriksaan Delik Korupsi Sektor Swasta ... 40 Yanels Garsione Damanik

(4)

KATA PENGANTAR DIREKTUR UTAMA REWANG RENCANG

Hukum Pidana seperti Pedang bermata dua, yang runcing untuk menegakkan hukum, tetapi disisi lain juga mengurangi hak asasi manusia. Karena itu pidana harus dijadikan alternatif penyelesaian sengketa yang paling terakhir (Ultimum Remidium). Jurnal Hukum Lex Generalis kali ini membahas mengenai Hukum Pidana. Terimakasih atas kontribusi para penulis. Selamat Membaca.

Malang, 21 Juli 2020

Ivan Drago, S.H. CEO Rewang Rencang

(5)

KATA PENGANTAR EDITORIAL

Selamat bahagia para pembaca, rekan sivitas akademika, praktisi dan masyarakat umum pemerhati hukum. Selamat datang di Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Jurnal ini kami buat sebagai bentuk dedikasi kami terhadap dunia keilmuan hukum untuk menampung karya-karya tentang Hukum. Adapun lima tujuan utama Jurnal Hukum Lex Generalis sebagai berikut:

1. Sebagai wadah penampung karya yang berhubungan dengan ilmu hukum; 2. Sebagai sarana memperluas wawasan pemerhati hukum;

3. Sebagai glosarium, ensiklopedia atau kamus umum ilmu hukum; 4. Sebagai garda rujukan umum untuk keperluan sitasi ilmiah;

5. Sebagai referensi ringan terkhusus bagi sivitas akademika yang berbahagia. Kami sangat senang jika anda sekalian dapat memanfaatkan wawasan dan ilmu yang termuat dalam Jurnal ini. Sebagai penutup, Editorial berterimakasih banyak kepada para pihak yang mensukseskan Jurnal Hukum Lex Generalis yang terbit pada bulan Juli 2020 bertema “Hukum Pidana” dan akan terbit setiap bulan dengan tema atau topik berbeda, semoga dapat berlanjut hingga kesempatan berikutnya.

Malang, 21 Juli 2020

Fazal Akmal Musyarri, S.H. Dewan Editorial RR : JHLG

(6)

Undangan untuk Berkontribusi

Dewan Editorial Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis mengundang para akademisi hukum, praktisi hukum, pemerhati hukum dan masyarakat umum untuk menyumbang karya-karyanya baik berupa makalah, opini hukum, esai, dan segala bentuk karya tulis ilmiah untuk dimuat dalam edisi-edisi JHLG dengan

tema berbeda setiap bulannya. Untuk informasi lebih lanjut silahkan akses: Https://jhlg.rewangrencang.com/

(7)

OPTIMALISASI PENGAWASAN KOMISI KEJAKSAAN DALAM MENGAWASI PELANGGARAN KODE ETIK KASUS KORUPSI PADA

JAKSA

Dina Aprilia Iswara

Universitas Brawijaya

Korespondensi Penulis : dinaaprilia308@gmail.com

Citation Structure Recommendation :

Iswara, Dina Aprilia. Optimalisasi Pengawasan Komisi Kejaksaan dalam Mengawasi Pelanggaran Kode Etik Kasus Korupsi pada Jaksa. Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex

Generalis. Vol.1. No.4 (Juli 2020).

ABSTRAK

Kode etik diperlukan dalam dunia profesi sebagai upaya mewujudkan terlaksananya pedoman atau tuntunan tingkah laku yang dapat menjaga kehormatan suatu profesi. Kode etik profesi dapat berkembang menjadi suatu budaya di dalam masyarakat. Di Indonesia, kode etik profesi diikat oleh suatu peraturan sesuai dengan profesi itu sendiri, termasuk salah satunya adalah kode etik dan perilaku Jaksa yang tertuang di dalam Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PER–014/A/JA/11/2012 tentang Kode Perilaku Jaksa. Kode Perilaku Jaksa adalah serangkaian norma penjabaran dari Kode Etik Jaksa, sebagai pedoman keutamaan yang mengatur perilaku Jaksa baik dalam menjalankan tugas profesinya, menjaga kehormatan dan martabat profesinya, maupun dalam melakukan hubungan kemasyarakatan di luar kedinasan. Seperti kode etik pada umumnya, kode etik profesi jaksa bertujuan mencegah terjadinya kejahatan jabatan. Namun dalam tataran di lapangan, upaya mewujudkan kode etik profesi Jaksa mengalami beberapa hambatan termasuk adanya kasus-kasus berkaitan dengan kejahatan atau penyalahgunaan jabatan oleh oknum Jaksa tertentu. Selain dikarenakan secara normatif kedudukan kejaksaan tidak diatur secara tegas dalam konstitusi, juga dikarenakan struktur organisasi Kejaksaan Republik Indonesia itu sendiri yang berada di dalam lingkungan pemerintah. Maka tidak heran hal tersebut menjadi celah bagi Jaksa untuk melakukan kejahatan profesi seperti korupsi. Maka solusi yang dapat ditawarkan adalah membentuk mekanisme pengawasan terhadap profesi Jaksa yang disebut sebagai Komisi Kejaksaan yang memiliki peran seperti Komisi Yudisial yang mengawasi profesi hakim. Diperlukan restrukturisasi atas kinerja dari Komisi Kejaksaan Indonesia dengan pengawasan perilaku dan kinerja, disamping memberikan reward kepada para Jaksa yang berprestasi.

(8)

A. PENDAHULUAN

Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik dimana kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan dilaksanakan oleh undang-undang.1 Tentunya, hierarki tertinggi peraturan perundang-undangan menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yakni Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Negara adalah suatu organisasi dalam suatu wilayah yang memiliki kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya.2 Sejatinya dalam menjalankan negara, tentunya ada sebuah undang-undang yang mengatur di dalamnya yang bertujuan untuk keamanan negara itu sendiri. “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Norma ini bermakna di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, hukum merupakan urat nadi seluruh aspek kehidupan. Hukum mempunyai posisi strategis dan dominan dalam kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara.3Oleh karena itu, segala tindakan yang dilakukan oleh alat-alat negara termasuk Kejaksaan ditujukan untuk menjunjung tinggi hak-hak asasi rakyat dan hukum negara.

Untuk dapat dikatakan sebagai negara hukum, suatu negara harus memiliki ciri negara hukum. Salah satu ciri negara hukum adanya pemisahan kekuasaan negara (Separation of Powers) yang akan diatur dalam konstitusi. Pemisahan dan pembagian kekuasaan bertujuan untuk mencegah pemusatan kekuasaan dalam satu tangan dan untuk menciptakan suatu keseimbangan kekuasaan yang menjamin agar fungsi-fungsi itu dijalankan secara optimal, dan sekaligus mencegah kekuasaan eksekutif mengambil ahli fungsi-fungsi kekuasaan lain.4

Pejabat yang melaksanakan penuntutan pidana tersebut dalam sistem hukum pidana Indonesia di sebut dengan Jaksa.Kata Jaksa bersumber dari nama pejabat hukum pada zaman kerajaan Majapahit yang di sebut “Adhyaksa”. Adhyaksa adalah nama jabatan yang diaumpu Gajah Mada pada masa kerajaan Majapahit yang lebih mirip seperti fungsi hakim pada sistem penegakan hukum modern.5

1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politk, Ikrar Mandiriabadi, Jakarta, 2010, Hlm.17. 3 Marwan Effendy, Kejaksaan RI Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005, Hlm.1.

4 Franz Magnis Suseno, Etika Politik (Pinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaran Modern), Penerbit PT Gramedia, Jakarta, 2003, Hlm.301.

(9)

Ekistensi Kejaksaan Republik Indonesia dalam perspektif konsep Rechstaat, Konsep The Rule of Law, dan konsep Negara Hukum Indonesia hendaknya diwujudkan melalui konsep pembagian kekuasaan dalam penegakan hukum di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Terdapat beberapa peran dari kehadiran Kejaksaan dalam dunia peradilan. Pertama, sebagai upaya preventif yang membatasi, mengurangi atau mencegah kekuasaan pemerintah atau administrasi negara (konsep Rechstaat) yang diduga sewenang-wenang yang dapat merugikan, baik rakyat maupun pemerintah sendiri bahkan supaya tidak terjadi Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN). Sedangkan upaya represifnya adalah menindak kesewenang-wenangan pemerintah atau administrasi negara dan praktik-praktik KKN. Kedua, Kejaksaan seharusnya ditempatkan pada kedudukan dan fungsi yang mandiri dan independen untuk melaksanakan tugas dan wewenangnya dalam penegakan hukum agar terwujud peradilan yang adil, mandiri dan independen pula (konsep The Rule of Law). Ketiga, menjaga keserasian hubungan hak dan kewajiban antara pemerintah dan rakyat melalui tugas penuntutan (penegakan hukum) dalam proses peradilan (konsep Negara Hukum Indonesia).6

Setiap profesi di Negara Indonesia tentunya dibekali dengan etika profesi sebagai acuan dalam melaksanakan pekerjaan, terlebih pada alat negara yang salah satunya adalah Jaksa. Dalam pelaksanaan profesinya, Jaksa diawasi oleh Komisi Kejaksaan. Namun, pengawasan ini dirasa kurang signifikan dan masih ada keberpihakan di dalamnya. Oleh karena itu masih saja terjadi Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Melalui makalah ini, penulis hendak meneliti dan mengkaji tentang urgensi dari pengawasan Komisi Kejaksaan dikarenakan masih banyak kasus korupsi yang dilakukan oleh Jaksa sebagai pelakunya.

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, penulis dalam makalah ini dapat membuat rumusan masalah sebagai berikut:

1. Apa urgensi dari optimaliasi pengawasan Komisi Kejaksaan dalam mengawasi pelanggaran kode etik kasus korupsi pada Jaksa?

2. Bagaimana pengawasan Komisi Kejaksaan terhadap Jaksa?

6 Marwan Effendy, Kejaksaan RI Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005, Hlm.53.

(10)

B. PEMAPARAN KASUS

Berikut kasus tentang pelanggaran kode etik pada Jaksa:

“Langgar Kode Etik, 25 Jaksa Dapat Sanksi Berat Kejagung”

JAKARTA (Pos Kota) – Sebanyak 25 Jaksa dikenakan sanksi berat terkait pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku Jaksa, sepanjang 2016. “Jumlah ini bagian dari 93 Jaksa yang dikenakan sanksi selama 2016. Sanksi ringan diberikan kepasa 37 Jaksa dan 31 Jaksa kena sanksi sedang,” kata Kapuspenkum Muhammad Rum, di Kejaksaan Agung, Kamis (5/1/2017). Menurut Rum, untuk pegawai tata usaha Kejaksaan selama 2016, terdapat 74 orang yang dikenakan aneka ragam sanksi, dari ringan, sedang dan berat. “Mereka adalah 24 orang terkena sanksi ringan, 18 orang sanksi sedang dan 32 orang sanksi berat,” ungkap Rum. Namun, Rum belum dapat menjelaskan bentuk-bentuk pelanggaran kode etik dan pelanggaran disiplin pegawai negeri sipil, seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 53 Tahun 2010. “Saya belum dapat infonya,” terang mantan Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi (Wakajati) DKI ini. Dari berbagai catatan, ada beberapa Jaksa yang kena Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK selama 2016, terkait dengan dugaan pengaturan perkara dan lainnya. Terakhir, KPK menetapkan Jaksa Kejati Sumbar Fahrizal sebagai tersangka kasus dugaan suap Rp 365 juta terkait pengaturan persidangan kasus peredaran gula tanpa label SNI, di Padang. Lalu, OTT di Kejati DKI terkait penanganan kasus korupsi PT Brantas Abipraya, tapi KPK hanya menciduk Marudut Pakpahan (diduga sebagai pengatur perkara) dan dua orang petinggi PT Brantas (BUMN). Sementara, Kajati DKI Sudung Situmorang dan Aspidsus Tomo Sitepu lolos dari jerat hukum karena tidak terbukti. Beberapa hari kemudian, KPK OTT lagi di Kejati (Kejaksaan Tinggi) Jabar dan menangkap tangan Jaksa Deviyanti Rohaini dan lalu Jaksa Kejati Jawa Tengah Fahri Nurmalo. Yang terakhir ini, diserahkan langsung oleh Kejagung ke KPK. Penangkapan ini diduga terkait penanganan kasus BPJS Subang Jawa Barat. Yang mencenangkan, seorang Jaksa muda ditangkap dalam OTT, kali ini oleh Kejaksaan. Yakni Ahmad Fauzi dengan uang Rp1,5 miliar terkait kasus penjualan tanah kas desa di Jatim. (Ahli/Sir)7

7 Berita dapat diakses melalui tautan:

(11)

C. PEMBAHASAN

1. Konsep Negara Hukum di Indonesia

Dewasa ini sebagaimana yang sudah tertuang dalam dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa Indonesia adalah negara hukum dengan sistem demokrasi dimana itu artinya kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat.8 Negara Indonesia mendeklarasikan diri sebagai negara yang berdasar atas hukum (Rechsstaat), dan tidak berdasar atas kekuasaan belaka (Machtstaat).9Oleh karena Negara Indonesia bukan merupakan negara kekuasaan (Machtstaat), maka orientasi pemerintah dan penegak hukum adalah bagaimana menegakkan keadilan dan kebenaran tanpa pandang bulu. Orientasi Status Quo akan menjurus pada penyalahgunaan kekuasaan dengan menghalalkan segala cara.10 Fungsi daripada hukum itu adalah mengatur hubungan-hubungan antar manusia, agar supaya segala kehidupan di dalam masyarakat berjalan dengan lancar. Maka hal ini mengakibatkan bahwa tujuan daripada hukum itu adalah mencapai ketertiban, keamanan dan keadilan didalam masyarakat.Maka jika kita tinjau hukum positif kita sekarang ini, ternyata tidak saja hukum acara kita masih belum memberikan kepastian hukum, akan tetapi disegala bidang hukum baik dibidang hukum perdata, maupun di bidang publik.11Perbuatan melanggar hukum di Indonesia acapkali terjadi dan tak jarang dipandang menjadi sebuah hal yang sudah biasa terjadi serta bukan sebuah ancaman untuk persatuan bangsa. Bahkan, perbuatan melanggar hukum bukan hanya dilakukan oleh rakyat sebagai pelakunya, namun juga pemerintah sebagai pembuat peraturan seringkali menjadi pelaku dalam perbuatan melanggar hukum.

Masalah perbuatan melanggar hukum telah ada sejak peraturan perundang-undang belum lengkap. Perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah disebut sebagai “Onrechtmatige Overheidsdaad ”, dalam Bahasa Prancis disebut “Detour

Nement de Pouvoir ”.12Negara Indonesia menganut asas Equality Before the Law.

8 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

9 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Ketatanegaraan Indonesia Kontemporer, Penerbit The Biography Institute, Bekasi, 2007, Hlm.13.

10 Ramly Hutabarat, Persamaan di Hadapan Hukum (Equality Before the Law) di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985, Hlm.15.

11 Sunarji Hartono, Apakah The Rule of Law Itu?, Penerbit Alumni, Bandung, 1982, Hlm.88.

(12)

Istilah ini lazim digunakan dalam hukum tata negara, sebab hampir setiap negara mencantumkan masalah ini dalam konstitusiya karena hal ini merupakan norma hukum yang melindungi hak-hak asasi warga negara yakni bahwa semua warga negara memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan.13

2. Tinjauan Umum Etika Profesi Hukum

Apakah profesi itu menurut Ilmu Hukum? Yang terbaik adalah definisi dari Roscoe Pound di dalam bukunya The Lawyer From Antiquity to Modern Times bahwa “The word (proffesion) refers to a group of men pursuing a learned art as common calling in the spirit of a public service because it may incidentally be a means of liverlihood”. Menurut Ilmu Hukum Profesi, di dalam dunia modern ini terdapat lima profesi (dalam arti ilmiah), yaitu:14

1. Profesi Dokter. 2. Profesi Hukum. 3. Profesi Dosen. 4. Profesi Akuntan.

5. Profesi Minister (ulama).

Manifestasi konkret dari suatu kode etik adalah terlaksananya pedoman atau tuntunan tingkah laku yang sudah digariskan suatu kode etik pada profesi. Pelaksanaan suatu profesi merupakan karya pelayanan masyarakat. Ini membawa akibat pelaksanaan etika profesi dalam kode etik tersebut terkait dengan kebudayaan yang berkembang di dalam masyarakat.15 Nilai-nilai etik itu dapat dibedakan antara nilai yang bersifat normatif (Normative Ethics) dan nilai yang bersifat deskriptif (Descriptive Ethics). Normative Ethics menggambarkan standar-standar tentang perbuatan yang benar dan salah, sedangkan Descriptive Ethics berkenaan dengan penyelidikan empiris mengenai keyakinan-keyakinan atas moral seseorang.16

13 Ramly Hutabarat, Persamaan di Hadapan Hukum (Equality Before the Law) di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985, Hlm.31.

14 Soemarno P. Wirjanto, Ilmu Hukum Profesi, Pro Justitia, No. Ke-11, Penerbit Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 1980, Hlm.849.

15 Livia V. Pelle, Peranan Etika Profesi Hukum terhadap Upaya Penegakan Hukum di Indonesia, Lex Crimen, Vol.1, No.3 (Juli-September 2012), Hlm.24.

16 Jimly Asshiddqie, Peradilan Etik dan Etika Konstitusi (Perspektif Baru tentang “Rule Of Law and Rule of Ethics” & “Constitutional Law and Constitutional Ethics”), Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2014, Hlm.97.

(13)

Dewasa ini, kode etik profesi di Indonesia diikat oleh sebuah peraturan sesuai dengan profesi itu sendiri. Seperti Jaksa Indonesia di lingkungan Kejaksaan diikat oleh sebuah kode etik dan pedoman perilaku Jaksa yang tertuang dalam bentuk Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PER– 014/A/JA/11/2012 tentang Kode Perilaku Jaksa. Kode Perilaku Jaksa adalah serangkaian norma penjabaran dari Kode Etik Jaksa, sebagai pedoman keutamaan yang mengatur perilaku Jaksa baik dalam menjalankan tugas profesinya, menjaga kehormatan dan martabat profesinya, maupun dalam melakukan hubungan kemasyarakatan di luar kedinasan.17

Kode etik profesi bermanfaat untuk menjadi pedoman dalam beretika ketika menjalankan profesinya. Sehingga bertujuan untuk mencegah terjadinya kejahatan jabatan. Pada umumnya, para penulis telah mengaitkan pengertian mengenai kejahatan jabatan dengan sifat dari perilaku ataupun menurut Prof. Simons juga disebut sebagai de ambtelijke hoedanigheid van den dader atau sifat pelaku sebagai seorang Ambtenaar.18

3. Optimalisasi Pengawasan Komisi Kejaksaan dalam Mengawasi Pelanggaran Kode Etik Kasus Korupsi pada Jaksa

Dewasa ini mengacu pada konsep negara hukum di Indonesia (Rechstaat), maka tidak perlu dipertanyakan kembali peranan sarjana hukum dan profesi hukum di Negara Indonesia. Di masa sekarang, kedudukan Kejaksaan belum diatur secara tegas dalam konstitusi. Padahal dalam mewujudkan negara hukum, adalah sesuatu yang penting dan karena menyangkut konstitusional suatu bangsa dan negara. Dikarenakan hal tersebut, maka terdapat peran strategis lembaga penegak hukum dalam sistem ketatanegaraan. Oleh karena itu kedudukan lembaga negara pelaksana kekuasaan yudisial termasuk kategori sebagai organ negara yang pokok atau utama (Auxiliary Organ). Oleh karena Kejaksaan merupakan organ negara utama, maka sumber atribusi kewenangan lembaga yudisial sepatutnya harus diatur secara jelas di dalam konstitusi.

17 Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PER–014/A/JA/11/2012 tentang Kode Perilaku Jaksa

18 P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Delik-Delik Khusus Kejahatan Jabatan & Kejahatan Jabatan Tertentu sebagai Tindak Pidana Korupsi, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2009, Hlm.51.

(14)

Kemacetan dalam pemberantasan korupsi mengakibatkan lembaga Kejaksaan menjadi kewenangannya dialihkan kepada institusi lain. Penyebab Kejaksaan tidak dapat menuntaskan kasus tindak pidana Korupsi, Kolusi dan Nepotisme adalah dikarenakan kedudukan Kejaksaan yang masih berada di lingkungan pemerintah. Tak jarang hal ini menjadi sebuah celah bagi para Jaksa untuk melakukan tindakan tercela yakni korupsi. Sekretaris Eksekutif Indonesia Legal Roundtable (ILR) Firmansyah Arifin mengatakan perlu ada pengawasan eksternal terhadap lembaga penegak hukum agar tidak sewenang-wenang dalam menjalankan tugasnya.19

Sebenarnya, lembaga pengawas itu sudah terbentuk. Komisi Yudisial bertugas mengawasi integritas Hakim, Komisi Kepolisian Nasional bertugas untuk mengawasi kinerja Kepolisian, dan Komisi Kejaksaan untuk memastkan para Jaksa bekerja sesuai koridor hukum. Produk hukum mereka berupa rekomendasi yang diserahkan kepada masing-masing lembaga tersebut.20 Jaksa

adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan wewenang lain berdasarkan undang-undang.21 Setiap perbuatam yang melanggar atau melawan hukum akan diproses sesuai hukum acara berlaku dan tentunya patuh pada asas Equality Before the Law. Supremasi hukum artinya kekuasaan tertinggi dipegang oleh hukum. Baik rakyat maupun pemerintah tunduk pada hukum. Jadi yang berdaulat adalah hukum.22

Komisi Kejaksaan merupakan sebuah badan hukum yang memiliki wewenang untuk mengawasi Jaksa. Maraknya kasus pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Jaksa, sejatinya hal ini merupakan sebuah urgensi untuk mengoptimalisasi pengawasan Komisi Kejaksaan. Pada tahun 2017 saja sudah membludak kasus korupsi dan suap oleh Jaksa. Kenyataanya ini terjadi karena kurangnya pengawasan yang signifikan oleh Komisi Kejaksaan di Indonesia.

19 Ambranie Nadia Kemala Movanita, Komisi Yudisial, Kompolnas, dan Komisi Kejaksaan Tak Efektif Awasi Kinerja Penegak Hukum, diakses dari https://komisi-Kejaksaan.go.id/komisi-yudisial-kompolnas-dan-komisi-Kejaksaan-tak-efektif-awasi-kinerja-penegak-hukum, diakses pada 22 Oktober 2017, jam 16.05 WIB.

20 Ambranie Nadia Kemala Movanita, Ibid..

21 Nolla Tesalonika Makaliki, Pemberhentian Jaksa dari Tugas dan Kewenangan sebagai Pejabat Fungsional, Lex et Societatis, Vol.I, No.1 (Januari-Maret 2013), Hlm.102.

22 Arif Rudi Setiyawan, Sukses Meraih Profesi Hukum Idaman, Penerbit CV. Andi, Yogyakarta, 2010, Hlm.90.

(15)

Adapun hal itu dapat dilihat melalui seberapa banyak laporan yang diajukan ke penegak hukum. Karena tak jarang dari pihak Komisi Kejaksaan itu sendiri melindungi koruptor sehingga banyak kasus yang belum bisa ditindaklanjuti.

4. Pengawasan Komisi Kejaksaan terhadap Jaksa

Dewasa ini dengan adanya peran dari Komisi Kejaksaan seharusnya tercipta Kejaksaan Negeri yang bersih dari penyimpangan-penyimpangan. Karena sebuah pelanggaran yang dilakukan oleh Jaksa, baik kinerja ataupun mengenai kode etik Jaksa menjadi acuan sebuah Kejaksaan yang bersih tersebut dan penyimpangan tersebut. Amanah Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Kejaksaan Republik Indonesia mengisyaratkan dibentuknya Komisi Kejaksaan Republik Indonesia dalam rangka upaya meningkatkan kinerja Kejaksaan.

Komisi Kejaksaan Indonesia dengan peran utama sebagai lembaga yang bertugas mengawasi perilaku maupun “kinerja” para Jaksa dan Pegawai Tata Usaha, disamping Kewenangan memberi reward kepada para Jaksa dan Pegawai Tata Usaha Negara yang berprestasi. Dari uraian tersebut tergambar seperti apa ruang lingkup tugas dari Komisi Kejaksaan. Namun yang perlu dicermati saat ini adalah peranan dari pengawasan Komisi Kejaksaan yang kurang signifikan.

D. PENUTUP

Optimalisasi pengawasan Komisi Kejaksaan secara tegas sangat diperlukan dalam rangka mewujudkan penegak hukum Jaksa yang bebas dari KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Komisi Kejaksaan merupakan sebuah badan hukum yang memiliki wewenang untuk mengawasi Jaksa. Maraknya kasus pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Jaksa, sejatinya merupakan sebuah urgensi untuk mengoptimalisasi pengawasan Komisi Kejaksaan. Dalam makalah ini, penulis berpendapat bahwa seharusnya Komisi Kejaksaan tidak perlu menggunakan rasa pilih kasih yang berujung pada banyak Jaksa yang sebenarnya melakukan tindakan KKN tetapi dilindungi oleh Komisi Kejaksaan. Setiap perbuatan yang melanggar atau melawan hukum akan diproses sesuai dengan hukum acara berlaku dan tentunya patuh pada asas Equality Before the Law. Supremasi hukum artinya kekuasaan tertinggi dipegang oleh hukum. Baik rakyat maupun pemerintah tunduk pada hukum. Sehingga yang berdaulat adalah hukum.

(16)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Asshiddiqie, Jimly. 2007. Konstitusi dan Ketatanegaraan Indonesia Kontemporer. (Bekasi: Penerbit The Biography Institute).

Asshiddqie, Jimly. 2014. Peradilan Etik dan Etika Konstitusi (Perspektif Baru tentang “Rule Of Law and Rule of Ethics” & “Constitutional Law and Constitutional Ethics”). (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika).

Budiarjo, Miriam. 2010. Dasar-Dasar Ilmu Politk. (Jakarta: Penerbit Ikrar Mandiriabadi).

Effendy, Marwan. 2005. Kejaksaan RI Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum. (Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama).

Hartono, Sunarji. 1982. Apakah The Rule of Law Itu?. (Bandung: Penerbit Alumni).

Hutabarat, Ramly. 1985. Persamaan di Hadapan Hukum (Equality Before the Law) di Indonesia. (Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia).

Lamintang, P.A.F. dan Theo Lamintang. 2009. Delik-Delik Khusus Kejahatan Jabatan & Kejahatan Jabatan Tertentu sebagai Tindak Pidana Korupsi. (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika).

Setiyawan, Arif Rudi. 2010. Sukses Meraih Profesi Hukum Idaman. (Yogyakarta: Penerbit CV. Andi).

Suseno, Franz Magnis. 2003. Etika Politik (Pinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaran Modern). (Jakarta: Penerbit PT Gramedia).

Wirjanto, Soemarno P.. 1980. Ilmu Hukum Profesi, Pro Justitia. No. Ke-11, (Bandung: Penerbit Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan). Jurnal

Makaliki, Nolla Tesalonika. Pemberhentian Jaksa dari Tugas dan Kewenangan sebagai Pejabat Fungsional. Lex et Societatis. Vol.I. No.1 (Januari- Maret 2013).

Pelle, Livia V.. Peranan Etika Profesi Hukum terhadap Upaya Penegakan Hukum di Indonesia. Lex Crimen. Vol.1. No.3 (Juli-September 2012).

Website

Movanita, Ambranie Nadia Kemala. Komisi Yudisial, Kompolnas, dan Komisi Kejaksaan Tak Efektif Awasi Kinerja Penegak Hukum. diakses dari https://komisi-Kejaksaan.go.id/komisi-yudisial-kompolnas-dan-komisi-Kejaksaan-tak-efektif-awasi-kinerja-penegak-hukum. diakses pada 22 Oktober 2017.

Poskota News. Langgar Kode Etik, 25 Jaksa dapat Sanksi Berat Kejagung. diakses dari http://poskotanews.com/2017/01/05/langgar-kode-etik-25-jaksa-dapat-sanksi-berat-kejagung/. diakses pada 17 Oktober 2017.

Sumber Hukum

(17)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234.

Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 74. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5135.

Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Kejaksaan Republik Indonesia.

Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PER–014/A/JA/11/2012 tentang Kode Perilaku Jaksa. Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 1230.

(18)

REKONSTRUKSI REGULASI TERHADAP KPK DALAM

PEMBERANTASAN KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

Dina Aprilia Iswara

Universitas Brawijaya

Korespondensi Penulis : dinaaprilia308@gmail.com

Citation Structure Recommendation :

Iswara, Dina Aprilia. Rekonstruksi Regulasi terhadap KPK dalam Pemberantasan Kasus Tindak Pidana Korupsi di Indonesia. Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.4 (Juli

2020).

ABSTRAK

Korupsi merupakan kejahatan partikular yang memberikan kerugian khususnya bagi keuangan negara. Korupsi sendiri dapat terjadi di berbagai sektor baik publik maupun privat. Dikarenakan akibat dari korupsi yang memberikan skala besar, maka muncul urgensi untuk pengembalian keuangan negara dari hasil korupsi. Dalam sektor publik, dapat dilakukan penanggulangan korupsi dengan melakukan pembuktian terbalik atau yang disebut sebagai Omkering van het Bewijslast atau Reversal Burden of Proof dikarenakan sifat dari korupsi itu sendiri yang sistematis dan sulit untuk diendus oleh penegak hukum. Sedangkan di sektor privat, salah satu yang dapat dilakukan adalah dengan memanfaatkan institusi Stollen Asset Recovery (StAR) yang merupakan hasil kerjasama antara World Bank dan UNODC dengan negara-negara berkembang untuk mencegah pencucian hasil korupsi, dengan Mutual Legal Assistance sebagai hulunya. Selain itu untuk privat dalam sektor domestik dapat memanfaatkan peran dari Whistleblower yang akan melaporkan adanya dugaan tindak pidana korupsi di sektor swasta. Secara umum untuk menekan atau meminimalisir kemungkinan terjadinya tindak pidana korupsi, dapat digunakan langkah preventif-moralistik seperti menyiapkan tatanan pemerintah yang berbasis Good Governance. Sedangkan selanjutnya diperkuat dengan langkah yang bersifat represif-proaktif dengan mengoptimalkan penggunaan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai hilir dari penanganan korupsi di Indonesia.

(19)

A. PENDAHULUAN

Korupsi merupakan sebuah penyakit sosial bersifat universal yang telah ada sejak awal perjalanan manusia.1 Permasalahan korupsi menjadi ancaman serius terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat baik dalam lingkup nasional maupun internasional.2 Korupsi tidak hanya terkait dengan kerugian keuangan negara dan badan-badan usaha yang dalam kekayaannya terdapat penyertaan keuangan negara, namun korupsi sektor swasta juga dapat mempengaruhi kerusakan perkembangan pembangunan suatu negara.3 Perbuatan merugikan keuangan negara dalam Tindak Pidana Korupsi, terlihat dari beberapa kecenderungan perilaku korupsi akhir-akhir ini sangat meningkat dan masif. Bahwa keuangan negara yang seharusnya diperuntukkan untuk kesejahteraan rakyat banyak, hampir setiap hari dimakan oleh mereka yang tidak berhak untuk dirinya sendiri dan maupun untuk kelompoknya.

Korupsi di Indonesia telah menjangkiti sistem kekuasaan secara terstruktur, sistematik dan masif, membuat penyelenggaraan kekuasaan kemudian tidak sepenuhnya mengabdi pada kepentingan rakyat.4 Negara Indonesia semakin

tersohor di mata internasional sebagai salah satu negara terkorup di dunia dibuktikan atas analisis mengenai hal itu adalah laporan organisasi pengamat korupsi Transparency International dari Berlin tentang Corruption Perceptions Index (CPI) yang menempatkan Indonesia dalam urutan ke-89 dengan skor 38 pada awal tahun 2018. Sedangkan di Indonesia, menurut data Komisi Pemberantas Korupsi selama 12 tahun terakhir terdapat 130 pihak swasta yang terjerat kasus perkara korupsi.5 Hal ini ditengarai oleh lemahnya pengaturan mengenai pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di sektor swasta. Akibat dari korupsi sektor swasta berimbas pada rusaknya kinerja perusahaan, korupsi pasar yang melemahkan persaingan sehat, harga yang adil dan efisiensi.

1 Azhar, Peranan Biro Anti Korupsi dalam Mencegah Terjadinya Korupsi di Brunei Darusalam, Jurnal Litigasi, Vol.10 (2009), Hlm.160.

2 Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, Penerbit Kencana, Jakarta, 2003, Hlm.53.

3 Jamin Ginting, Korupsi Sektor Swasta, diakses dari https://nasional.kompas.com/read/2012/02/09/03193438/korupsi.sektor.swasta, diakses pada 26 Mei 2019. jam 07.56 WIB.

4 Ikhwan Fahrojih, Hukum Acara Pidana Korupsi, Setara Press, Malang, 2016, Hal.3. 5 Komisi Pemberantasan Korupsi, Berbagi “Resep” Berantas Korupsi Sektor Swasta, diakses dari http://kpk.go.id/id/berita/berita-kpk-kegiatan/3333-berbagi-resep-berantas-korupsi-sektor-swasta, diakses pada 26 Mei 2019, jam 10.45 WIB.

(20)

Mengingat urgensi yang cukup besar untuk mencegah dan mengadili Tindak Pidana Korupsi di sektor swasta. Upaya untuk menangani delik korupsi di sektor swasta sulit dilakukan jika menggunakan hukum acara pidana yang berlaku saat ini. Mekanisme penyelidikan melalui tindakan pelaporan oleh Whistleblower tidak diikuti dengan mekanisme perlindungan pengungkap fakta karena lemahnya dasar hukum, perspektif penegak hukum yang rendah dan peran LPSK yang terbatas.6 Selain itu di tahap memperkuat bukti atau penyidikan terhadap perusahaan yang diduga melakukan delik korupsi terkendala pada aset perusahaan yang disimpan di Offshore Company yang menjamin kerahasiaan data dan pajak yang rendah,7 sehingga aparat penegak hukum terkendala ketika menelusuri aset yang disimpan oleh offshore company tersebut.8

Pada saat ini terdapat tiga lembaga negara yang berwenang untuk melakukan penyidikan Tindak Pidana Korupsi yakni KPK, Kepolisian Negara RI, dan Kejaksaan Agung RI. Kehadiran KPK dilatarbelakangi oleh ketidakberhasilan penegakan hukum (Polisi dan Jaksa) disinyalir mereka menjadi bagian dari Tindak Pidana Korupsi itu sendiri.9 Pembentukan KPK dikarenakan penegakan hukum dalam memberantas korupsi tidak berjalan dengan baik. Padahal korupsi di Indonesia sudah merupakan kejahatan luar biasa (Extra Ordinary Crime) karena telah meluas di seluruh Indonesia.10

Dampaknya jelas, negara dirugikan serta hak-hak sosial dan ekonomi masyarakatpun terabaikan. Oleh karena itu, pemberantasan korupsi perlu dilakukan melalui KPK yang bersifat independen dan diberi kewenangan luas.

6 Maharani S. Shopia, Hambatan dalam Perlindungan Hukum Bagi Whistle Blower, diakses dari http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4fabe1295851e/hambatan-dalam-perlindungan-hukum-bagi-whistle-blower-pengungkap-fakta, diakses pada 26 Mei 2019, jam 11.00 WIB.

7 Giras Pasopati, Mengenal Skema Investasi Offshore ala Panama Papers, diakses dari http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20160405133304-92-121810/mengenal-skema-investasi-offshore-ala-panama-papers/, diakses pada 26 Mei 2019, Pukul 11.15 WIB.

8 Ambaranie Nadia Kemala Movanita, Banyak WNI Simpan Kekayaan di Luar Negeri, Kejagung Sulit Telusuri Aset Koruptor, diakses dari http://nasional.kompas.com/read/2016/04/06/09254391/Banyak.WNI.Simpan.Kekayaan.di. LuarNegeri.Kejagung.Sulit.Telusuri.Aset.Koruptor, diakses pada 26 Mei 2019, jam 13.00 WIB.

9 Adnan Topan Husodo, Wacana Pembentukan KPK Perwakilan, diakses dari http://www.antikorupsi.org/id/content/wacana-pembentukan-kpk-perwakilan, diakses pada 29 Mei 2019, jam 10.06 WIB.

10 Pandapotan Matondang, Gagasan Penataan Kewenangan Penyelidikan dan Penyidikan dalam Tindak Pidana Korupsi, Jurnal Ilmu Hukum, Vol.7, No.1 (Januari 2018), Hlm.36.

(21)

Sehingga pemberantasan korupsi diharapkan dapat dilakukan secara sistematis, efektif dan maksimal, serta dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan korupsi. Kehadiran Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang dibentuk di Indonesia tahun 2002 masih tergolong sangat baru jika dibandingkan dengan negara lain.

Keberhasilan negara tetangga dengan mendirikan badan khusus untuk mencegah dan memberantas korupsi hendaknya menjadi bahan studi banding yang positif bagi negara kita agar tidak terlintas lagi pemikiran untuk mengkerdilkan atau menghapus KPK sebagai badan khusus yang bergerak menggunakan metode penegakan hukum luar biasa serta mempunyai kewenangan luas, independen, serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan korupsi.11 Upaya pemberantasan korupsi di Indonesia sejatinya telah dimuali kurang lebih empat dekade yang lalu, namun acapkali mengalami kegagalan. Seiring perkembangan zaman melalui pergantian beberapa kepala pemerintahan untuk mengatasi polemik yang ada, dibentuklah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Melihat kembali terjadinya Tindak Pidana Korupsi bukanlah sebuah kegiatan sepihak, melainkan terjadi karena ada hubungan birokrasi pemerintahan dan para pengusaha. Berbagai manifestasi korupsi seperti katabelece, transfer komisi, budaya paket atau Mark Up biaya pengeluaran yang mengakibatkan High Cost Economy terjadi karena adanya interaksi birokrasi dan sektor usaha. Untuk mengupayakan dalam menciptakan kondisi yang Good Governance, maka ketiga domain yaitu meliputi pemerintah (state, dalam hal ini birokrasi sebagai penyelenggara pemerintahan), sektor usaha, dan masyarakat umum harus saling menunjang sesuai dengan kedudukan dan peran masing-masing. Dukungan tak terbatas dan berkelanjutan dari semua pihak sangat dibutuhkan untuk keberhasilan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

11 Moh. Askin, Fungsionalisasi KPK dalam Pemberantasan TIPIKOR: Kajian terhadap RUU KPK, Varia Peradilan, No.379 (Juni 2017), Hlm.7.

(22)

Upaya komprehensif perlu diterapkan guna mengatasi problematika Tindak Pidana Korupsi baik dalam ruang lingkup nasional maupun internasional. Terdapat beberapa hal yang perlu ditekankan bila menilik kembali potret penyebab kegagalan pemberantasan korupsi di Indonesia: 1) kurang luasnya fokus pemberantasan; 2) kurang komprehensifnya materi pemberantasan; 3) kurang terpujinya perilaku pelaksana pemberantasan; 4) kurang independensinya lembaga anti korupsi; dan 5) kurang dilibatkannya lingkungan pemberantasan. Menurut hemat penulis, upaya preventif juga harus dicanangkan serta pengembalian keuangan negara juga perlu diperhatikan kembali sehingga peranan dari Komisi Pemberantasan Korupsi dalam upaya penanganan korupsi di Indonesia tidak melulu hanya untuk menjerat pelaku manusianya saja.

Sejalan dengan pemaparan penulis pada pendahuluan tulisan ini, dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut:

1. Apa urgensi pengembalian kerugian keuangan negara pada kasus Tindak Pidana Korupsi?

2. Bagaimana strategi dalam memberantas kasus Tindak Pidana Korupsi di Indonesia?

B. PEMBAHASAN

1. Urgensi Pengembalian Kerugian Keuangan Negara pada Kasus Tindak Pidana Korupsi

Perbuatan merugikan keuangan negara dalam Tindak Pidana Korupsi, terlihat dari beberapa kecenderungan perilaku korupsi akhir-akhir ini sangat meningkat dan masif, bahwa keuangan negara yang seharusnya diperuntukkan untuk kesejahteraan rakyat banyak, hampir setiap hari dimakan oleh mereka yang tidak berhak untuk dirinya sendiri dan kelompok. Rumusan keuangan negara yang dipakai dalam Tindak Pidana Korupsi adalah Pasal 1 dan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara atau rumusan pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat dipakai dan saling melengkapi.

(23)

Keuangan negara meliputi hak negara memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, melakukan pinjaman, menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintah negara, dan membayar tagihan orang ketiga. Selain itu juga mengurusi penerimaan dan pengeluaran daerah serta surat berharga, utang piutang, kekayaan yang dipisahkan kekayaan orang lain dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintah dan kekayaan orang lain dimana fasilitas negara digunakan.12

Hakekat pengertian keuangan negara secara substansial antara kedua undang-undang tersebut tidak berbeda. Hanya pendekatan pengaturan yang berbeda. Jika di dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, pendekatan menitikberatkan dari aspek “objek, subjek, proses dan tujuan”. Sedangkan penjelasan pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi lebih melihat dari aspek “wilayah penguasaan pengelolaan keuangan negara”. Fakta yuridis formal pertimbangan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa: 2) Tindak Pidana Korupsi sangat merugikan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan pada Pancasila dan Konstitusi tertinggi yakni UUD NRI 1945; 2) Bahwa akibat Tindak Pidana Korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut eksistensi.13

Anomali korupsi dewasa ini merambah sebagai sebuah kejahatan partikular. Masalah intralokal perlu mendapat penanganan komprehensif dan multidisipliner sebagai langkah efektif dalam mencegah terwujudnya korupsi sebagai Organized Crime. Salah satu sektor yang rentan terkena korupsi adalah sektor swasta khususnya dalam hal aset. Dalam PSAK Nomor 16 Revisi 2011 menyebut bahwa aset merupakan semua kekayaan yang dimiliki seseorang atau perusahaan baik berwujud maupun tak berwujud yang berharga atau bernilai yang akan mendatangkan manfaat bagi seseorang atau perusahaan tersebut.

12 Kompas, Century Gate Mengurai Konspirasi Penguasa-Pengusaha, Penerbit Media Kompas Nusantara, Jakarta, 2010, Hlm.62.

13 Hernold Ferry Makawimbang, Memahami dan Menghindari Perbuatan Merugikan Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi Dan Pencucian Uang, Penerbit Thafa Media, Yogyakarta, 2015, Hlm.8.

(24)

Restrukturisasi aset sebagai salah satu kekayaan perusahaan memberikan hak kepada perusahaan untuk menguasai dan mengendalikan aset yang dimiliki serta dilakukankanya langkah akuisisi lintas batas negara (transnasional) terhadap suatu aset. “The purpose of this convention is to promote cooperation to prevent and combat transnasional organized crime more effectively” dalam Pasal 1 UNCATOC (The United Nations Conventions Against Transnasional Organized Crime). Sebuah dogma bahwa Tindak Pidana Korupsi merupakan kejahatan yang terorganisir dan melampaui batas yurisdiksi suatu negara atau transnasional.

Kriteria tersebut didukung dengan unsur-unsur dalam Pasal 3 UNCATOC yang menyebutkan: 1) hal ini dilakukan di lebih dari satu negara; 2) hal ini dilakukan di satu negara tetapi bagian substansialnya, perencanaan, arah, persiapan, atau kontrol terjadi di negara lain; 3) hal ini dilakukan di satu negara tetapi melibatkan suatu kelompok penjahat terorganisasi yang terlibat dalam kegiatan kriminal di lebih dari satu negara; 4) hal ini dilakukan di satu negara tetapi memiliki efek atau dampak yang substansial di negara lain.14

Salah satu cara yang ditawarkan oleh UNCAC sebagai bentuk padu-padan terhadap proses hukum Tindak Pidana Korupsi di sektor swasta adalah dengan menggunakan Asset Recovery (pengembalian asset). Salah satu inkompromitas terhadap cara-cara konvensional adalah adanya pembuktian terbalik. Sistem pembalikan beban pembuktian atau secara gramatikal disebut Omkering van het Bewijslast atau Reversal Burden of Proof merupakan ranah sistem hukum pembuktian dimana terdakwa membuktikan asal muasal harta kekayaannya di muka pengadilan. Tentunya pembuktian terbalik ini tidak dapat diterapkan dalam kasus-kasus sektor swasta, mengingat terdapat syarat-syarat suatu kasus dapat menggunakan pembuktian terbalik: 1) Pegawai negeri atau penyelenggara negara diduga telah menerima suap terutama dari banyak pihak, dalam waktu yang lama dan berkali-kali; 2) penerimaan suap tersebut sukar dibuktikan; 3) menimbulkan kekayaan yang berlimpah ruah; dan 4) tidak seimbang dengan pendapatan.15

14 Kristian dan Yopi Gunawan, Tindak Pidana Korupsi: Kajian terhadap Harmonisasi antara Hukum Nasional dan The United Nations Convention Against Corruption (UNCAC), Penerbit Refika Aditama, Bandung, 2015, Hlm.52.

15 Ardi Ferdian, Sistem Pembebanan Pembuktian Terbalik pada Tindak Pidana Korupsi, Jurnal Arena Hukum, Vol.5, No.3 (2012), Hlm.163.

(25)

Dewasa ini, Stolen Asset Recovery (StAR) merupakan kemitraan diantara World Bank dan UNODC yang mendukung upaya-upaya internasional untuk menghentikan tempat penyimpanan dana korupsi. Stolen Asset Recovey bekerja sama dengan negara berkembang dan pusat keuangan untuk mencegah pencucian dari hasil korupsi dan untuk memfasilitasi lebih sistematis dan tepat waktu pengembalian aset curian. Misi dari StAR itu sendiri diantaranya adalah memberikan bantuan kepada beberapa negara atas permintaan dari negara-negara tersebut untuk mengembangkan undang-undang yang digunakan untuk memperkuat kerangka hukum yang tujuannya adalah untuk mendukung pemulihan aset, membantu dalam pengembangan kerangka kerja kelembagaan dan penguatan kapasitas yang tentunya untuk memulihkan aset negara tersebut. Selain itu, StAR juga mempunyai misi untuk menyediakan analisis kebijakan dan pengetahuan bangunan.

Konsep StAR sebagai garda terdepan fasilisator pengembalian aset dalam lingkup Internasional belum dapat diimplikasikan di Indonesia. Perlu restrukturisasi terhadap sistem peradilan Tindak Pidana Korupsi khususnya sektor swasta sebagai upaya pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang belum maksimal. Menyadari masalah kompleks yang ditimbulkan korupsi, menurut UNCAC memberikan sebuah grand-design dalam upaya pengembalian aset curian dengan menggunakan Stolen Asset Recovery. Bab V dari konvensi menyediakan kerangka kerja ini untuk pengembalian aset curian, mewajibkan negara-negara pihak untuk mengambil langkah-langkah untuk menahan, menangkap, menyita, dan mengembalikan hasil korupsi. Secara umum terdapat kesamaan dalam proses pemulihan aset yang terbagi atas proses pidana dan perdata.

Proses Stollen Asset Recovery dimulai dengan dikumpulkannya bukti dan aset oleh aparat penegak hukum. Selama pengumpulan, bukti-bukti yang telah ada perlu diamankan untuk menghindari adanya intervensi kepentingan-kepentingan yang dapat merusak sistem. Dalam yurisdiksi hukum sipil, perintah pembatasan dan perampasan aset tersebut merupakan kewenangan jaksa dan hakim. Penggunaan Stolen Asset Recovery tak ubahnya sebuah hubungan diplomatis yang melibatkan dua atau lebih negara sehingga membutuhkan perjanjian pendamping yang disebut Mutual Legal Assistance.

(26)

Penambahan sistem Whistleblowing dalam hukum acara penindakan Tindak Pidana Korupsi di sektor swasta merupakan suatu langkah efektif mengingat Tindak Pidana Korupsi merupakan tindak pidana yang sulit dideteksi karena dijalankan dengan sangat rapat sehingga sulit dirasakan oleh aparat penegak hukum. Penegasan terhadap sistem Whistleblowing dilakukan untuk menghilangkan persepsi ketakutan calon Whistleblower yang ingin melaporkan suatu tindakan kecurangan yang dilakukan oleh perusahaan tempat dia bekerja atau pernah bekerja. Whistleblowing merupakan sistem yang paling umum digunakan untuk mendeteksi adanya tindakan ilegal. Sedangkan StAR dimasukkan untuk menelusuri aset perusahaan yang dilarikan ke Offshore Company yang dapat digunakan sebagai barang bukti ataupun yang dapat menunjang barang bukti.

Penyelamatan uang serta aset negara ini menjadi penting untuk dilakukan, mengingat ada fakta dan fenomena yang terjadi selama ini bahwa pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan hanya bisa menyelamatkan 10-15 persen saja dari total uang yang dikorupsi.16 Dilihat dari tujuan adanya pidana pengembalian kerugian keuangan negara tidak terlepas dari tujuan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada umumnya yakni: 1) Follow the Suspect; atau (2) Follow the Money. Tujuan dari pendekatan Follow the Suspect adalah berfokus pada upaya mencari, menemukan, menuntut dan menghukum pelaku, dan sedapat mungkin mendatangkan efek jera terhadapnya agar tidak melakukan Tindak Pidana Korupsi lagi pada waktu yang akan datang.Sedangkan tujuan pendekatan Follow the Money merupakan upaya menelusuri (mencari, mengikuti) uang atau harta kekayaan hasil kejahatan dari pelaku, kemudian sedapat mungkin dilakukan upaya pengembaliannya kepada negara.17

16 Guntur Rambey, Pengembalian Kerugian Negara dalam Tindak Pidana Korupsi Melalui Pembayaran Uang Pengganti Denda, Jurnal De Lega Lata, Vol.1, No.1 (Januari 2016), Hlm.139.

17 Basir Rohromana, Pidana Pembayaran Uang Pengganti sebagai Pidana Tambahan dalam Tindak Pidana Korupsi, Jurnal Hukum Prioris, Vol.6, No.1 (2017), Hlm.47-48.

(27)

2. Strategi dalam Memberantas Kasus Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

Berbagai kebijakan pemberantasan korupsi yang telah dikeluarkan pemerintah sejauh ini hanya terfokus pada pelaku utama dari Tindak Pidana Korupsi tanpa mengaitkan pada lingkungan yang dapat menyebabkan terjadinya tindakan tersebut. Tak hanya itu saja, terfokus pada menjerat pelaku dan sedikit mengesampingkan pengembalian kerugian keuangan negara yang diakibatkan dari Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan. Kebijakan fokus tunggal juga pernah dikeluarkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004. Seperti yang dilakukan Presiden Soeharto ketika mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 228 Tahun 1967 untuk membentuk Operasi Budhi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menggunakan pendekatan Public Office Centered dalam pemberantasan korupsi yang dapat dilihat kesemuanya instruksi penanggulangannya ditujukan kepada birokrasi pemerintah dan diantaranya terdapat kebijakan yang menyentuh pada sektor swasta.

Secara jujur harus diakui bahwa keberhasilan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak hanya semata-mata bertumpu kepada langkah penegakan hukum yang bersifat represif melainkan juga tergantung dari pelaksanaan langkah prefentif yang efektif. Korupsi jangan dilihat sebagai sekadar penyimpangan atau ulang orang-orang tidak berakhlak. Sebuah kunci untuk mencapai hasil dalam mengadakan perubahan adalah mengubah kebijaksanaan dan sistem, bukan memburu satu dua penjahat, membuat undang-undang dan peraturan baru, atau mengeluarkan himbauan agar semua orang meningkatkan moral masing-masing.18

Langkah preventif dimaksud ialah dengan memepersiapkan tatanan pemerintahan yang bersih dan berwibawa (Good Governance). Mengenai langkah tersebut secara yuridis telah mulai dilaksanakan dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Berwibawa. Keberadaan peraturan tersebut disusun dan dipersiapkan untuk dapat mencegah penyelenggara negara terjerumus ke dalam Tindak Pidana Korupsi dan serta sekaligus dapat memayungi peraturan perundang-undangan lainnya.

18 Robert Klitgaar, Ronald Maclean-Abaroa, dan H. Lindsey Paris, Corrupt Cities, A Partical Guide to Cure and Prevention, Penerbit Institute for Contemporary Studies Oakland, California, 2000, Hlm.25.

(28)

Langkah preventif-moralistik yang dimaksud diatas harus diperkuat dengan langkah represif-proaktif yakni dengan menggunakan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan juga Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai sarana hukum di hilir yang diterapkan dapat menjaring pelarian atau peleburan aset hasil Tindak Pidana Korupsi ke dalam berbagai bentuk aktivitas yang sah dalam bisnis perdagangan lainnya.

Strategi pemberantasan korupsi di Indonesia harus menggunakan sekurang-kurang empat pendekatan yaitu meliputi pendekatan hukum, pendekatan moralistik dan keimanan, pendekatan edukatif, dan pendekatan sosio-kultural. Pendekatan hukum memegang peranan yang sangat penting dalam pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, namun peraturan yang masih bersifat konvensional sudah tidak memadai dalam menghadapi modus operandi Tindak Pidana Korupsi yang bersifat sistematik dan meluas, merupakan “Extra Ordinary Crimes” yang perlu pendekatan hukum baru yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara atau hak-hak ekonomi dan sosial rakyat di atas kepentingan hak-hak individu tersangka dan terdakwa. Keberhasilan pendekatan tersebut tidak semata-mata diukur dengan keberhasilan produk legislasi, melainkan juga harus disertai langkah penegakan hukum yang konsisten baik yang bersifat preventif-moralistik maupun yang bersifat represif-proaktif.

Pendekatan moralistik dan keimanan merupakan rambu-rambu pembatas untuk meluruskan jalannya langkah penegakan hukum tersebut dan memperkuat integritas penyelenggara negara untuk selalu memegang teguh dan menjunjung tinggi keadilan berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa dalam melaksanakan tugas penegakan hukum terhadap korupsi. Pendekatan edukatif melengkapi kedua pendekatan tersebut diatas dan berfungsi menggerakkan serta meningkatkan daya nalar masyarakat sehingga dapat memahami secara komprehensif latar belakang dan sebab terjadinya korupsi serta langkah pencegahannya. Pendekatan sosio kultural berfungsi membangun kultur masyarakat yang mengutuk Tindak Pidana Korupsi dengan melakukan kampanye publik yang meluas dan merata ke seluruh pelosok tanah air yang bertujuan untuk menumbuhkan budaya anti korupsi di semua kalangan masyarakat.

(29)

Tidak hanya itu saja, masih terdapat beberapa langkah lagi yang dapat ditawarkan menjadi langkah strategi pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pertama, memprofesionalkan pejabat pemerintah dengan menentukan pedoman profesional lebih tinggi untuk memperketat persyaratan jabatan dan memberlakukan ujian tertulis. Hanya akuntan publik atau sarjana hukum yang dianggap layak yang dapat menduduki posisi sebagai juru taksir pajak. Hal ini guna mewujudkan pemerintah yang berintergitas dan menghapus stigma masyarakat bahwa beberapa kalangan berebut kursi pemerintahan untuk kesejahteraan individu sehingga berujung pada tindakan korupsi. Kedua, mengidentifikasi pembayar pajak yang mungkin korupsi dalam menyampaikan pendapatannya yang terlampau rendah atau menyampaikan pengeluaran yang terlampau tinggi. Ketiga, memperketat sistem kontrol. Meluasnya korupsi internal merupakan tanda lemahnya sistem akunting dan kontrol sehingga perlu adanya perubahan seperti sistem pembayaran pajak yang diperluas melalui bank bukan melalui pegawai pajak pendapatan, surat-surat konfirmasi untuk memeriksa pembayaran wajib pajak, lebih banyak pemeriksaan dan audit mendadak di tempat, pengawasan lebih ketat terhadap pegawai pengumpul pajak oleh kantor pendapatan wilayah, menggunakan tanda terima pajak tunggal bukan lagi banyak formulir dan langkah menghentikan penggunaan tanda terima resi palsu, cap serta materai pajak palsu. Keempat, memperketat pengawasan pada provinsi dan daerah TK II yang acapkali tak terjamah sehingga banyak korupsi yang tidak terlihat.

C. PENUTUP

Perkembangan korupsi yang sangat luas dan mengakibatkan kesengsaraan sebagian besar rakyat Indonesia merupakan alasan rasional yang memadai untuk menegaskan bahwa korupsi merupakan pelanggaran atas hak-hak ekonomi dan sosial rakyat Indonesia. Kualitas, kuantitas dan intensitas perkembangan korupsi sedemikian itu tidak cukup hanya ditangani oleh cara-cara biasa melainkan harus dengan cara yang luar biasa. Cara-cara luar biasa telah ditawarkan oleh penulis pada makalah ini, dan kepada prinsip-prinsip umum sebagaimana dimuat dalam Pasal 5 Undang-Undang KPK yaitu kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas.

(30)

Berdasarkan prinsip tersebut, maka keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi dan wewenang yang dimilikinya menunjukkan sebagai lembaga tinggi dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Hal ini diwujudkan dalam beberapa hal yakni pimpinan komisi memiliki status pejabat tinggi negara, Komisi Pemberantasan Korupsi haruslah merupakan lembaga yang independen dan bertanggungjawab langsung kepada publik, memiliki kewenangan yang luas termasuk melaksanakan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sendiri, mengambil alih wewenang penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dari Kepolisian Republik Indonesia atau Kejaksaan Republik Indonesia, memiliki wewenang menangkap atau menahan pejabat tinggi negara tanpa harus meminta izin presiden dan memiliki wewenang membekukan rekening tersangka dan/atau terdakwa tanpa izin gubernur Bank Indonesia dan cukup melaporkan saja.

Independensi dan wewenang yang dimiliki oleh Komisi Pemberantasan Korupsi diharapkan menjadi lembaga yang berwibawa, memiliki integritas serta menjadi satu-satunya lembaga harapan terakhir dan kepercayaan masyarakat Indonesia dalam pemberantasan korupsi baik untuk masa kini dan masa mendatang. Lembaga ini juga sangat diharapkan dapat mengikis kepercayaan para koruptor yang sering berlindung dan menarik manfaat dari prinsip bahwa korupsi itu merupakan “low risk and high profit activity”.

(31)

DAFTAR PUSTAKA

Jurnal

Askin, Moh.. Fungsionalisasi KPK dalam Pemberantasan TIPIKOR: Kajian terhadap RUU KPK. Varia Peradilan. Nomor 379 (Juni 2017).

Azhar. Peranan Biro Anti Korupsi dalam Mencegah Terjadinya Korupsi di Brunei Darusalam. Jurnal Litigasi. Vol.10 (2009).

Ferdian, Ardi. Sistem Pembebanan Pembuktian Terbalik pada Tindak Pidana Korupsi. Jurnal Arena Hukum. Vol.5. No.3 (2012).

Matondang, Pandapotan. Gagasan Penataan Kewenangan Penyelidikan dan Penyidikan dalam Tindak Pidana Korupsi. Jurnal Ilmu Hukum. Vol.7. No.1 (Januari 2018).

Rambey, Guntur. Pengembalian Kerugian Negara dalam Tindak Pidana Korupsi Melalui Pembayaran Uang Pengganti Denda. Jurnal De Lega Lata. Vol.1. No.1 (Januari 2016).

Rohromana, Basir. Pidana Pembayaran Uang Pengganti sebagai Pidana Tambahan dalam Tindak Pidana Korupsi. Jurnal Hukum Prioris. Vol.6. No.1 (2017).

Buku

Atmasasmita, Romli. 2003. Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis. (Jakarta: Penerbit Kencana).

Fahrojih, Ikhwan. 2016. Hukum Acara Pidana Korupsi. (Malang: Penerbit Setara Press).

Klitgaar, Robert, Ronald Maclean-Abaroa, dan H. Lindsey Paris. 2000. Corrupt Cities, A Partical Guide to Cure and Prevention. (California: Penerbit Institute for Contemporary Studies Oakland).

Kompas. 2010. Century Gate Mengurai Konspirasi Penguasa-Pengusaha. (Jakarta: Penerbit Media Kompas Nusantara).

Kristian dan Yopi Gunawan. 2015. Tindak Pidana Korupsi: Kajian terhadap Harmonisasi antara Hukum Nasional dan The United Nations Convention Against Corruption (UNCAC). (Bandung: Penerbit Refika Aditama).

Makawimbang, Hernold Ferry. 2015. Memahami dan Menghindari Perbuatan Merugikan Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi dan Pencucian Uang. (Yogyakarta: Penerbit Thafa Media).

Website

Ginting, Jamin. Korupsi Sektor Swasta. diakses dari https://nasional.kompas.com/read/2012/02/09/03193438/korupsi.sektor.swa sta. diakses pada 26 Mei 2019.

Husodo, Adnan Topan. Wacana Pembentukan KPK Perwakilan. diakses dari

http://www.antikorupsi.org/id/content/wacana-pembentukan-kpk-perwakilan. diakses pada 29 Mei 2019.

Komisi Pemberantasan Korupsi. Berbagi “Resep” Berantas Korupsi Sektor Swasta. diakses dari http://kpk.go.id/id/berita/berita-kpk-kegiatan/3333-berbagi-resep-berantas-korupsi-sektor-swasta. diakses pada 26 Mei 2019.

(32)

Movanita, Ambaranie Nadia Kemala. Banyak WNI Simpan Kekayaan di Luar

Negeri, Kejagung Sulit Telusuri Aset Koruptor. diakses dari

http://nasional.kompas.com/read/2016/04/06/09254391/Banyak.WNI.Simpa n.Kekayaan.di. LuarNegeri.Kejagung.Sulit.Telusuri.Aset.Koruptor. diakses pada 26 Mei 2019.

Pasopati, Giras. Mengenal Skema Investasi Offshore ala Panama Papers. diakses dari http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20160405133304-92-121810/mengenal-skema-investasi-offshore-ala-panama-papers/. diakses pada 26 Mei 2019.

Shopia, Maharani Siti. Hambatan dalam Perlindungan Hukum Bagi Whistle

Blower. diakses dari

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4fabe1295851e/hambatan-dalam-perlindungan-hukum-bagi-whistle-blower-pengungkap-fakta. diakses pada 26 Mei 2019.

Sumber Hukum

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Berwibawa. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 387.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286.

Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004. Keputusan Presiden Nomor 228 Tahun 1967.

Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Nomor 16 Revisi 2011.

The United Nations Convention against Transnational Organized Crime 2000. The United Nations Convention against Corruption 2003.

(33)

ANALISIS KASUS PENYEBARAN BERITA BOHONG TERKAIT COVID-19 DI SUMATERA SELATAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA

Juan Maulana Alfedo

Universitas Brawijaya

Korespondensi Penulis : alfedojuan73@gmail.com

Citation Structure Recommendation :

Alfedo, Juan Maulana. Analisis Kasus Penyebaran Berita Bohong Terkait Covid-19 di Sumatera Selatan dalam Perspektif Hukum Pidana. Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1.

No.4 (Juli 2020).

ABSTRAK

Kemajuan teknologi dan informasi di era modern telah memberikan implikasi kompleks dalam kehidupan masyarakat. Selain memberikan kemudahan dalam mengakses informasi, di satu sisi juga membawa dampak negatif yang dapat merugikan orang perorangan, masyarakat dan negara. Salah satu dampak negatif yang ditimbulkan ialah adanya penyalahgunaan media elektronik sebagai sarana untuk menyebarkan berita bohong (Hoaks). Berita bohong (Hoaks) merupakan usaha untuk menipu atau mengakali pembaca atau pendengarnya untuk mempercayai suatu berita palsu. Menurut data Kementerian Komunikasi dan Informatika sepanjang April 2019 terdapat 486 kasus Hoaks di Indonesia. Salah satu kasus berita bohong (Hoaks) yang pernah terjadi ialah penyebaran berita bohong (Hoaks) terkait Covid-19 di Sumatera Selatan yang dilakukan oleh oknum Pegawai Negeri Sipil (PNS) di salah satu Puskesmas melalui postingan di media sosial. Akibat penyebaran berita bohong (Hoaks) tersebut menyebabkan masyarakat sekitar khawatir dan ketakutan, mengingat Covid-19 merupakan jenis virus yang memiliki sifat menular dan berbahaya. Ditinjau dari perspektif hukum pidana, penyebaran berita bohong (Hoaks) merupakan salah satu bentuk tindak pidana dimana pelakunya dapat dijerat sanksi pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yakni Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Jo. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Kata Kunci: Berita Bohong (Hoaks), Covid-19, Hukum Pidana, Media Elektronik

(34)

A. PENDAHULUAN

Teknologi informasi (Information Technology) memiliki peranan yang sangat penting di era modern seperti saat ini.1Masifnya perkembangan teknologi informasi memberikan berbagai implikasi kompleks terhadap aktivitas manusia dalam kehidupan sehari-hari.2 Percepatan perkembangan teknologi informasi salah satunya didukung dengan kehadiran internet. Sejak awal kehadirannya, pengguna internet di seluruh negara di dunia terus meningkat setiap tahunnya, termasuk indonesia.

Namun dengan semakin meningkatnya jumlah pengguna internet tersebut di samping mempunyai dampak positif bagi kehidupan manusia, juga membawa dampak negatif yang dapat merugikan orang perorangan, masyarakat dan negara. Dampak positif internet di era modern saat ini salah satunya memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk mengakses informasi secara online melalui Media Elektronik.3 Hal ini selaras dengan kebebasan dan kemudahan untuk

memperoleh informasi sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 28F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi4:

“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.

Namun dengan kemudahan bagi masyarakat dalam mengakses informasi melalui Media Elektronik, di sisi lain juga membawa dampak negatif yakni adanya penyalahgunaan Media Elektronik sebagai sarana penyebaran Berita Bohong atau Hoaks. Berita Bohong (Hoaks) adalah usaha untuk menipu atau mengakali pembaca atau pendengarnya untuk mempercayai sesuatu, padahal sang pencipta berita palsu tersebut mengetahui bahwa berita tersebut adalah palsu.5

1 Agus Raharjo, Cybercrime : Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan Berteknologi, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, Hlm.1.

2 Joko Purnomo, Irza Khurun’in, Raissa Ardianti, Globalisasi dan Politik Pembangunan Internasional, Penerbit UB Press, Malang, 2017, Hlm.37.

3 Cintya Putri Rimandhini, Pertanggungjawaban Pidana Penyebaran Berita Bohong (Hoaks) Melalui Media Elektronik (Studi Analisis Beredarnya Konten Video Telur Palsu Oleh Syahroni Daud), Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2018, Hlm.2.

4 Pasal 28F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

5 Dedi Rianto Rahadi, Perilaku Pengguna dan Informasi Hoaks di Media Sosial, Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan, Vol.5, No.1 (2017), Hlm.61.

Referensi

Dokumen terkait

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat- Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan Praktik Kerja Industri Pengolahan Pangan (PKIPP) yang merupakan

Public list of mills potentially connected to Innospec Inc palm oil & palm kernel oil derivatives supply chain Reporting Period: January 2020– December 2020.. The 872

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh perlakuan pendahuluan berupa perendaman dalam larutan asam sitrat dan natrium metabisulfit

merupakan opsi terbaik yang dapat dimiliki oleh seseorang dalam kepemilikan tanah secara permanen, dimana hak milik dapat dibebankan hak lain sebagai

Di dunia, terdapat dua sistem hukum yang banyak digunakan oleh negara-negara yaitu Civil Law atau Eropa Kontinental dan Common Law atau Anglo Saxon. Dua sistem hukum tersebut

Mendeskripsikan dan menganalisis besarnya kontribusi kedisiplinan belajar dan kreativitas secara bersama-sama terhadap hasil belajar mata pelajaran Perakitan Komputer

Sehingga harus diutamakan bagaimana memilih peralatan sampling yang tepat untuk mendapatkan sampel tanah atau sampel lain akan berpengaruh pada ketepatan hasil analisa....

Performance assessment bertujuan untuk mengetahui seberapa baik subyek belajar telah mampu mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilannya sesuai dengan sasaran