• Tidak ada hasil yang ditemukan

1 PENDAHULUAN

2.6 Analisis Kebijakan

Tujuan pengelolaan sumber daya perikanan oleh pemerintah mencakup tugas perencanaan pembangunan perikanan di daerah-daerah yang belum dimanfaatkan serta tugas pengendalian pembangunan perikanan di daerah-daerah yang telah mengalami tekanan pemanfaatan secara berlebihan.

Tujuan lain pengelolaan sumber daya perikanan oleh pemerintah adalah supaya sumber daya tersebut dapat dikonversi, agar sumber daya ikan dapat tetap

terpelihara dan dapat dimanfaatkan dalam jangka panjang (Nikijuluw, 2002). Keterlibatan pemerintah dalam pengelolaan sumber daya perikanan diwujudkan dalam tiga fungsi utama, yaitu fungsi alokasi, fungsi distribusi dan fungsi stabilitas.

Menurut Buck (1996), ada empat kategori kebijakan umum yang di keluarkan pemerintah, yaitu : kebijakan distributif, kebijakan pengaturan kompetisi, kebijakan pengaturan perlindungan dan kebijakan redistributif. Alasan bahwa pemerintah harus terlibat atau campur tangan dalam pengelolaan sumber daya perikanan adalah: (1) alasan efisiensi, (2) alasan keadilan, (3) alasan administrasi.

Kebijakan publik selalu mengandung setidak-tidaknya tiga komponen dasar, yaitu tujuan yang luas, sasaran yang spesifik dan cara mencapai sasaran tersebut (Wibawa, 1994). Komponen yang ketiga mengandung beberapan sub komponen kebijakan yang lain, yakni siapa pelaksana, berapa besar dan darimana dana diperoleh, siapa kelompok sasarannya, bagaimana program dilaksanakan atau bagaimana sistem manajemennya, dan bagaimana keberhasilan atau kinerja diukur.

Dengan demikian komponen ketiga dari suatu kebijakan yaitu cara, merupakan komponen yang berfungsi untuk mewujudkan dua komponen yang pertama yaitu tujuan dan sasaran. Cara biasa disebut sebagai implementasi. Meter dan Horn (1975) mendefinisikan implementasi kebijakan sebagai tindakan yang dilakukan pemerintah maupun swasta baik secara individu maupun kelompok untuk mencapai tujuan sebagaimana dirumuskan dalam kebijakan.

Suatu kebijakan dirumuskan untuk menyaring dan memilih kebutuhan yang harus dipenuhi dalam waktu bersamaan, terutama disebabkan jumlah dan kualitas sumber daya yang terbatas dibanding keinginan dan kebutuhan itu sendiri. Jika kebijakan merupakan upaya memenuhi tuntutan dan kebutuhan kelompok aktor atau pelaku, maka di pihak lain kebijakan akan mengorbankan kebutuhan sekelompok aktor lain untuk tidak dipenuhi. Bahkan seringkali sekelompok aktor yang lain tersebut akan menjadi korban karena mereka harus mengeluarkan sumber daya tertentu bagi pelaksanaan kebijakan tetapi tidak memperoleh manfaat apapun darinya (Wibawa et al., 1994).

Oleh karenanya Dunn (1998) menjelaskan bahwa analis kebijakan tidak membatasi diri pada pembangunan dan pengujuan teori-teori deskriptif umum, misalnya pada politik dan sosiologi mengenai elit-elit pengambil kebijakan, atau pada teori-teori ekonomi mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pembelanjaan publik. Analisis kebijakan menerobos pagar disiplin tradisional yang hanya menjelaskan keajegan-keajegan empiris dengan tidak hanya menggabungkan dan memindahkan isi dan metode dari beberapa disiplin, tetapi juga menghasilkan informasi yang relevan dengan kebijakan yang dapat dimanfaatkan untuk memecahkan masalah pada tingkat politik khusus.

Dunn (1998) menjelaskan bahwa masalah kebijakan merupakan tahap paling kritis dalam analisis kebijakan, dengan demikian dapat dipahami bahwa analisis yang dilakukan terhadap suatu kebijakan pada hakekatnya adalah merumuskan, mengevaluasi dan menciptakan alternative perbaikan terhadap masalah yang timbul dalam suatu kebijakan. Dengan kata lain, tidak seluruh aspek kebijakan yang harus dianalisis, namun tergantung pada permasalahan yang berhasil dirumuskan. Setelah masalah-masalah kebijakan dirumuskan maka dilakukan langkah evaluasi untuk mendapatkan informasi mengenai nilai atau harga dari kebijakan masa lalu dan di masa datang. Untuk itu dapat dilakukan evaluasi dengan berbagai metode penelitian sosial yang ada.

Weimer and Vining (1998) mendefinisikan analisis kebijakan sebagai proses atau kegiatan mensintesa informasi termasuk hasil-hasil penelitian, untuk menghasilkan rekomendasi opsi disain kebijakan publik. Selanjutnya dinyatakan bahwa analisis kebijakan (policy analysis) berbeda dengan penelitian kebijakan (policy research). Perbedaan tersebut dapat dilihat pada Tabel 2 berikut :

Tabel 2 Perbandingan Karakteristik Penelitian dan Analisis Kebijakan

ASPEK PENELITIAN KEBIJAKAN ANALISIS KEBIJAKAN

1. Objek Kebijakan publik Kebijakan publik

2. Motivasi Panduan kebutuhan klien dan peneliti

Kebutuhan spesifik klien.

3. Tujuan utama Deskripsi kebijakan Preskripsi kebijakan

4. Klien Semua peminat kebijakan dan

disiplin terkait

Peminat kebijakan spesifik individu atau kelompok 5. Metode / prosedur Metode ilmiah formal Sintesa teori, hasil penelitian

dan informasi terkait

6. Bahan Data asli (mentah) Data olahan dan mentah

7. Waktu Jadwal “deadline” longgar,

tergantung munculnya isu.

“deadline” ketat, tergantung

titik waktu keputusan spesifik 8. Penyajian Menurut standar teknis publikasi

ilmiah

Praktis, mudah dipahami klien dengan cepat dan tuntas 9. Disseminasi Publikasi terbuka bagi semua

pihak, tidak langsung kepada klien

Disampaikan langsung kepada klien

10. Kelemahan umum Seringkali hasilnya sulit

diterjemahkan ke dalam “bahasa” pengambil kebijakan dan tidak ada hubungan langsung peneliti pengguna

Ada hubungan langsung peneliti pengambil kebijakan, hasilnya sesuai kebutuhan pengguna

Tabel 2 menggambarkan, bahwa perbedaan utama terletak pada aspek klien, dimana aspek klien pada analisis kebijakan adalah pengambil keputusan spesifik perorangan dan organisasi (spesific client oriented), sedangkan aspek klien pada penelitian kebijakan tidak bersifat spesifik yaitu semua pihak yang berkepentingan, baik pengambil keputusan, ilmuwan, maupun masyarakat umum.

Efektivitas suatu kebijakan perlu diketahui bagi pengambil kebijakan untuk mengevaluasi dan menyempurnakan sebuah kebijakan agar dapat memberikan dan meningkatkan dampak positif kepada masyarakat. Oleh karena itu dapat dikatakan efektivitas menduduki posisi penting dalam evaluasi kebijakan. Pertanyaan yang selalu muncul terhadap implementasi sebuah kebijakan adalah apakah suatu kebijakan yang dilaksanakan dapat berjalan dengan baik? Gysen (2002) mengelompokkan pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan efektivitas suatu kebijakan ke dalam tiga kategori, yaitu:

(2) Pertanyaan yang berhubungan dengan latar belakang terjadinya, perubahan- perubahan yang muncul sebagai akibat dari munculnya suatu kebijakan. (3) Pertanyaan yang berhubungan dengan kepuasan terhadap suatu kebijakan,

seperti apakah implementasi kebijakan memberikan hasil yang memuaskan? Efektivitas dapat juga dinilai dengan cara membandingkan pencapaian saat ini dengan pencapaian kondisi idealnya.

Menurut Dunn (1994), kriteria-kriteria evaluasi kebijakan publik dapat dirumuskan indikator pertanyaannya sesuai tipe kriteria kebijakan yang digunakan, dan Tabel 3 menjelaskan beberapa kriteria yang digunakan sebagai indikator dalam melakukan evaluasi kebijakan.

Tabel 3 Kriteria Evaluasi Kebijakan

Tipe Kriteria Pertanyaan Ilustrasi

Efektivitas Apakah hasil yang diinginkan telah dicapai? Unit pelayanan Efisiensi Seberapa banyak usaha diperlukan untuk

mencapai hasil yang diinginkan?

Unit biaya, manfaat bersih, ratio cost benefit

Kecukupan Seberapa jauh pencapaian hasil yang diinginkan memecahkan masalah?

Biaya tetap, efektivitas tetap

Perataan Apakah biaya manfaat didistribusikan dengan merata kepada kelompok-kelompok yang berbeda?

Criteria Pareto, criteria Kaldor-Hicks, Criteria Rawls

Responsivitas Apakah hasil kebijakan memuaskan kebutuhan, preferensi atau nilai-nilai kelompok tertentu?

Konsistensi dengan survei warganegara

Ketepatan Apakah hasil (tujuan) yang diinginkan benar- benar berguna atau bernilai?

Program publik harus merata dan efisien.

Dokumen terkait