• Tidak ada hasil yang ditemukan

1 PENDAHULUAN

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain : (1) Sebagai masukan kepada pihak yang berwenang sebagai lembaga pengelola

kegiatan pemantauan kapal penangkap ikan, terutama pemerintah pusat untuk dapat memperkecil kelemahan dan mengurangi ancaman-ancaman agar kebijakan VMS dapat diterapkan dan memberikan dampak positif baik bagi pemerintah maupun bagi pengusaha.

(2) Meningkatkan pemahanan terhadap para pengusaha penangkap ikan di Indonesia, bahwa penerapan kebijakan pemantauan kapal penangkap ikan merupakan tuntutan internasional dalam menjaga kelestarian sumberdaya ikan, serta bermanfaat bagi para pengusaha atau pemilik kapal dalam memantau kapal miliknya dan memudahkan penyelamatan apabila terjadi kecelakaan di laut.

(3) Terwujudnya sistem pengawasan sumberdaya ikan yang sesuai dengan karakter dan kondisi perairan laut Indonesia serta memberikan sumbangan pada pengembangan Ilmu Pengetahuan khususnya di bidang pemanfaatan sumberdaya perikanan.

1.5 Hipotesis

Dalam penerapan kebijakan pengawasan kapal penangkap ikan dengan model VMS (Vessel Monitoring System) tidak hanya semata-mata tergantung dari kecanggihan teknologi yang digunakan dalam melakukan pengawasan, akan tetapi banyak faktor yang harus dipertimbangkan oleh pemerintah sebagai lembaga pengelola antara lain, hukum dan kelembagaan, aspek ekonomi bagi pengusaha, tingkat kepedulian dan kesadaran masyarakat nelayan (pengusaha), program sosialisasi, dan aspek koordinasi.

Hipotesa adalah jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, oleh karena itu rumusan masalah penelitian biasanya dalam bentuk kalimat pertanyaan (Black and Champion, 1999). Dikatakan sementara, karena jawaban yang diberikan baru didasarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan pada fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan, dan dalam penelitian ini dirumuskan beberapa hipotesa penelitian sebagai berikut : (1) Penerapan kebijakan pemantauan kapal ikan dengan model VMS saat ini

belum dapat berjalan secara optimal.

(2) Pemahaman antara pengusaha dan pemerintah terhadap strategi penerapan Model VMS dalam pemantauan kapal ikan belum sama.

(3) Penerapan model VMS yang sesuai dan dapat memenuhi harapan pemerintah dan pengusaha akan menghasilkan keuntungan dan manfaat yang lebih besar bagi pemerintah maupun pengusaha penangkapan ikan.

1.6 Kerangka Pemikiran

Dalam mengkaji dan melakukan analisis model Sistem Pemantauan Kapal Penangkap Ikan (VMS) di Indonesia, kerangka pemikiran yang dipergunakan adalah sebagaimana disajikan pada Gambar 2. Pertumbuhan jumlah kapal penangkap ikan asing dan lokal yang beroperasi di perairan Indonesia, munculnya berbagai persoalan pemanfaatan sumber daya ikan oleh para pengusaha penangkap ikan dan kewajiban sebagai negara anggota FAO dalam melakukan pengawasan sumber daya ikan telah mendorong pemerintah menetapkan kebijakan untuk melakukan pemantauan terhadap kapal-kapal penangkap ikan. Teknologi pemantauan kapal ikan yang paling cocok dan akurat saat ini adalah teknologi VMS. Kebijakan pemantauan kapal penangkap ikan dengan model VMS bertujuan antara lain : (1) mengurangi Illegal Fishing atau pencurian ikan baik oleh kapal lokal maupun asing, (2) memperkecil adanya pelanggaran penangkapan ikan dan pemalsuan dokumen, (3) memudahkan pengawasan dan perencanaan pengelolaan sumber daya ikan, (4) memberikan rasa aman bagi masyarakat nelayan, dan (5) menjaga kelestarian sumber daya ikan.

Efektivitas suatu kebijakan perlu diketahui bagi pengambil kebijakan untuk mengevaluasi dan menyempurnakan sebuah kebijakan agar dapat

memberikan dan meningkatkan dampak positif kepada masyarakat. Oleh karena itu dapat dikatakan efektivitas menduduki posisi penting dalam evaluasi kebijakan. Pertanyaan yang selalu muncul terhadap implementasi sebuah kebijakan adalah apakah suatu kebijakan yang dilaksanakan dapat berjalan dengan baik?. Dalam menganalisis efektivitas kebijakan penerapan VMS digunakan beberapa alat analisis seperti SWOT, Evaluasi Kebijakan, Analisis Dokumen dan analisis mendalam. Seluruh komponen yang berkaitan dengan pelaksanaan kebijakan VMS dievaluasi dan dianalisis.

Hasil evaluasi dan analisis penerapan kebijakan VMS digunakan untuk merumuskan model penerapan strategi VMS yang dapat memberikan peningkatan dampak positif baik bagi pemerintah maupun pengusaha. Analisis AHP (Analytical Hierarchy Process) digunakan untuk membantu merumuskan penerapan VMS ditinjau dari segi prioritas manfaat dan biaya, baik bagi pihak pemerintah dan pengusaha. Diasumsikan bahwa antara pemerintah dan pengusaha terdapat perbedaan persepsi terhadap penerapan kebijakan pemantauan kapal penangkap ikan, sehingga terdapat adanya perselisihan diantara keduannya, maka dalam merumuskan model penerapan startegi VMS yang sesuai bagi pemerintah dan pengusaha digunakan alat analisis ”Game Theory”. Kunci konsep dalam game theory ini adalah strategi. Game theory menggunakan terminologi ‘minimax’ untuk menunjukkan strategi rasional. Selain itu, game theory mencakup ide yang sangat kompleks dan sederhana. Game theory lebih sering diajukan sebagai suatu alat analisis oleh para ilmu sosial daripada sebagai suatu petunjuk praktis untuk membuat keputusan oleh para pembuat keputusan.

Untuk kasus perbedaan persepsi antara pemerintah dengan pengusaha dalam penerapan kebijakan VMS, seperti yang diasumsikan dalam studi ini, penggunaan game theory dimaksudkan untuk mencari model strategi penerapan VMS apa yang memberikan perolehan hasil yang memungkinkan untuk diterapkan saat ini dan memberikan manfaat baik bagi pemerintah maupun pengusaha.

Gambar 2 Kerangka Pemikiran Analisis Model Sistem VMS di Indonesia. Kondisi Perikanan Tangkap Nasional Kebijakan Pemantauan Kapal Penangkap Ikan Dengan Model VMS

Tujuan & Sasaran

Analisis & Evaluasi

Analisis SWOT, Evaluasi

Kebijakan dan Content Analysis. Analisis AHP

Merumuskan Model Srategi Penerapan VMS Model Penerapan VMS Yang sesuai Menurut Pemerintah dan Pengusaha

• Kelestarian Sumber Daya Ikan

• Pengawasan Secara Optimal

• Rendahnya Pelanggaran, kesadaran

meningkat

• Berkurangnya Kerugian Negara

• Peningkatan PNBP

Menganalisis Efektivitas kebijakan penerapan VMS

terhadap kapal penangkap ikan 100 GT ke atas

Merumuskan model penerapan VMS ditinjau dari

segi prioritas manfaat dan biaya bagi pihak Pemerintah

dan Pengusaha

• Mengurangi Illegal Fishing atau

pencurian ikan baik oleh kapal lokal maupun asing.

• Memperkecil adanya pelanggaran

penangkapan ikan dan pemalsuan dokumen.

• Memudahkan pengawasan dan

perencanaan pengelolaan sumber daya ikan.

• Memberikan rasa aman bagi

masyarakat nelayan.

• Menjaga kelestarian sumber daya

ikan.

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kebijakan Publik

Kebijakan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah : “kepandaian, kemahiran, kebijaksanaan, rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan”. Definisi kebijakan publik sangat bervariasi, sebagai awal dari pengertian konsep kebijakan publik adalah merupakan serangkaian keputusan yang dibuat oleh pemerintah untuk mencapai tujuan terutama dalam bentuk peraturan-peraturan.

Menurut James E. Anderson (Islamy, 1984:17) kebijakan adalah : A purposive course of action followed by an actor or set of actors in dealing with a problem or matter of cancern (Serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau kelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu). Kemudian J.K Friend (Wahab, 1989:22) kebijakan pada hakekatnya adalah : Pollicy is essentially a stance which, once articulated, contributes to the contex within which a succession of future decision will be made (Kebijakan paksa hakekatnya adalah suatu posisi yang sekali dinyatakan akan mempengaruhi keberhasilan keputusan-keputusan yang akan dibuat di masa mendatang).

Kebijakan publik dibuat dalam rangka untuk memecahkan masalah dan untuk mencapai tujuan dan sasaran tertentu yang diinginkan. Menurut Santoso (1998 : 5): Kebijakan publik meliputi serangkaian keputusan yang dibuat oleh pemerintah untuk mencapai tujuan tertentu dan juga petunjuk yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut terutama dalam bentuk peraturan-peraturan atau dekrit-dekrit pemerintah.

Kebijakan publik merupakan fenomena yang kompleks dan dinamis yang dapat dikaji dari berbagai disiplin ilmu. Dari sudut manajemen, proses kebijakan dapat dipandang sebagai rangkaian kegiatan yang meliputi paling tidak tiga kelompok kegiatan utama, yaitu formulasi kebijakan, pelaksanaan kebijakan, dan evaluasi kinerja kebijakan.

Menurut Samodra dkk. (1994 : 15) kebijakan publik selalu mengandung setidak-tidaknya tiga komponen dasar, yakni tujuan yang jelas, sasaran yang spesifik, dan cara mencapai sasaran tersebut. Komponen ketiga, yang biasa disebut sebagai implementasi, merupakan komponen yang berfungsi mewujudkan komponen kesatu dan kedua, yaitu tujuan dan sasaran khusus.

Definisi implementasi kebijakan ditawarkan oleh beberapa ilmuwan. Pressman dan Wildavsky (dalam Jones, 1991 : 295) mengkonsepsikan implementasi sebagai berikut: implementasi mungkin dapat dipandang sebagai sebuah proses interaksi antara suatu perangkat tujuan dan tindakan yang mampu untuk mencapainya. Implementasi program dengan demikian telah menjadi suatu jaringan yang tak tampak. Implementasi adalah kemampuan untuk membentuk hubungan-hubungan lebih lanjut dalam rangkaian sebab akibat yang menghubungkan tindakan dan tujuan-tujuan.

Bertitik tolak dari definisi-definisi para ilmuwan dapat disimpulkan bahwa implementasi adalah proses interaksi antara tindakan dan tujuan suatu kebijakan. Tindakan tersebut merupakan pengoperasian program dan dilakukan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan yang sudah ditetapkan dalam kebijakan.

Implementasi kebijakan merupakan aspek yang penting dalam seluruh proses kebijaksanaan karena kebijakan publik yang telah dibuat dan disyahkan akan bermanfaat apabila diimplementasikan. Udodji (1981 : 32) menegaskan bahwa pelaksanaan kebijaksanaan adalah sesuatu yang penting bahkan mungkin jauh lebih penting dari pembuatan kebijaksanaan. Tanpa adanya implementasi, kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dikeluarkan akan sekadar berupa impian atau rencana yang tersimpan rapi dalam arsip.

Edward III sebagaimana dikutip oleh Joko W. (2001 : 193) menegaskan bahwa implementasi kebijakan publik merupakan studi yang sangat “crucial” pada proses kebijakan publik. Bersifat crucial karena bagaimanapun baiknya suatu kebijakan publik, kalau tidak dipersiapkan dan direncanakan secara baik dalam implementasinya, maka apa yang menjadi tujuan kebijakan publik tidak akan bisa diwujudkan. Sebaliknya, bagaimanapun baiknya persiapan dan perencanaan implementasi kebijakan, kalau suatu kebijakan publik tidak dirumuskan dengan baik, maka apa yang menjadi tujuan kebijakan juga tidak akan

bisa diwujudkan. Dengan demikian, kalau menghendaki apa yang menjadi tujuan kebijakan publik dapat dicapai dengan baik, maka bukan saja pada tahap implementasi yang harus dipersiapkan dan direncanakan dengan baik, tetapi juga pada tahap perumusan atau pembuatan kebijakan publik juga diantisipasi untuk dapat diimplementasikan. Membicarakan implementasi kebijakan publik terdapat beberapa bentuk kebijakan. Mustopadidjaya dan Bintoro Tjokroamidjojo (1988) mengemukakan bahwa dilihat dari implementasi ada tiga bentuk kebijakan, yaitu: (1) Kebijakan langsung, yaitu kebijakan yang pelaksanaannya dilakukan oleh

pemerintah sendiri;

(2) Kebijakan tidak langsung, yaitu kebijakan yang pelaksanaannya tidak dilakukan oleh pemerintah, jadi pemerintah hanya mengatur saja;

(3) Kebijakan campuran, yaitu kebijakan yang pelaksanaannya dilakukan oleh pemerintah dan swasta.

Implementasi kebijakan banyak mengandung masalah, dimana keberhasilan atau kegagalan implementasi dipengaruhi oleh beberapa variabel. Faktor atau variabel yang mempengaruhi implementasi kebijakan saling berinteraksi satu sama lain. Setiap faktor mempengaruhi secara langsung. Selain itu, terdapat pengaruh tidak langsung di antara variabel tersebut, yaitu melalui pengaruh satu dengan yang lainnya. Edward III (Joko. 2001 :195) mengajukan empat faktor atau variabel yang berpengaruh terhadap keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan, yaitu: faktor atau variable communication, resources, dispositions, dan bureaucratic structure. Pada bagian lain, untuk melihat kriteria keberhasilan implementasi, menurut Edwards A. Suchman dalam Nakamura (1980) dapat dilihat dari:

(1) Effort (usaha, termasuk didalamnya adalah kualitas dan kuantitas dari berbagai macam aktivitas yang dilakukan).

(2) Performance (hasil yang dicapai dari usaha-usaha yang dilakukan)

(3) Adecuency (tingkat keseluruhan yang paling tepat sesuai dengan kebutuhan yang diinginkan).

(4) Efficiency (evaluasi atas berbagai alternatif yang ada baik itu dari segi waktu, biaya, metode dan sebagainya).

(5) Proces (bagaimana dan mengapa program-program itu berhasil atau gagal dilaksanakan).

Berkaitan dengan pencapaian mutu kinerja suatu kebijakan, salah satu aspek yang harus dilakukan adalah melakukan evaluasi. Secara umum, evaluasi kebijakan dapat terjadi pada tahap formulasi kebijakan, pada proses pelaksanaanya maupun untuk keperluan evaluasi hasil yang dicapai. Dengan mengambil definisi yang dirangkum oleh Umar (2000) tentang evaluasi dan definisi yang dikemukakan oleh Jenkins (1978) tentang kebijakan publik, maka pada dasarnya evaluasi kebijakan publik merupakan kegiatan menyediakan informasi tentang sejauh mana pelaksanaan telah dicapai dari suatu keputusan yang saling terkait yang diambil oleh aktor publik atau sekelompok aktor publik yang berkenaan dengan tujuan yang telah dipilih beserta tata cara untuk mencapainya dalam batas kewenangan kekuasaan aktor tersebut, bagaimana perbedaan pencapaian itu dengan suatu standar tertentu, serta bagaimana manfaat yang telah dikerjakan bila dibandingkan dengan harapan yang ingin diperoleh.

2.2 VMS Bagian Dari MCS

Mengacu kepada ketentuan “Code of Conduct For Responsible Fisheries” (FAO,1995), maka negara bertanggung-jawab untuk menyusun dan mengimplementasikan sistem Monitoring, Control, and Surveillance (MCS) terhadap pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan. Juga dikuatkan oleh Undang-undang No.6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, UU No.5 tahun 1983 tentang ZEE Indonesia dan UU No. 9 tahun 1985 tentang Perikanan, maka Departemen Kelautan dan Perikanan perlu menyusun rumusan rencana induk pengembangan sistem pemantauan, pengendalian dan pengawasan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan yang efektif.

Pengertian Monitoring, Control, and Surveillance (MCS) didefinisikan dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries (FAO, 1995) sebagai berikut : Monitoring adalah kegiatan pengumpulan dan analisis data untuk menilai tingkat pemanfaatan dan kelimpahan sumberdaya ikan, mencakup antara lain kapal penangkapan ikan, operasi, hasil tangkapan, upaya penangkapan, pengangkutan,

pengolahan dan pengepakan hasil. Control didefinisikan sebagai mekanisme pengaturan yang antara lain mencakup penyusunan/pemberlakuan peraturan perundang undangan, perizinan, pembatasan alat tangkap, zonasi penangkapan. Sementara itu, Surveillance didefinisikan sebagai kegiatan operasional dalam rangka menjamin ditaatinya peraturan yang telah ditetapkan dalam pengendalian.

Pengawasan penangkapan ikan merupakan salah satu kegiatan pokok dalam pengelolaan sumber daya ikan (SDI). Untuk menjamin pengawasan secara maksimal dan efektif terhadap sumber daya ikan diperlukan sistem pemantauan terhadap kapal-kapal ikan yang beroperasi.

Ada beberapa alternatif sistem pemantauan kapal yang dapat menunjang penerapan sistem MCS secara lebih luas. Smith (1999) meneliti tingkat efektivitas berbagai sistem pemantauan terhadap beberapa obyek pemantauan MCS.

Tabel 1 Efektivitas Berbagai Jenis Sistem Monitoring Kapal

Effectiveness of Monitoring of Type of MCS Description of Monitoring No of Vessels Inspected Posi- tion Fishing Gear Catch Quotas Days at Sea Amount of Time Observed Effectiveness of Detection of Unlicensed Vessels Coverage at Sea Cost (US$) Power of Arrest By Vessel Identification by sight and boarding for Inspection

12/day High High Medium Low Low High 300 sq.

miles per hr $500 - $140,000 per day Yes By Air Limited to daylight and identification

60/day High Low None None Low High 3000 sq.

miles per hr $400 - $3000 per hr No Shore- Based Inspection of catch and fishing gear. Coastal Surveillance

15/day None High High High Medium Low None $150 per

day Yes Observers on Vessels Continual observation of activities

1 High High High High High Medium High $200 per

day No Vessel Moni- toring System Periodic Monitoring of Vessels Position All Vessels Fitted

High None None High High None Complete

for Vessels Fitted $100,000 +$8,000 /vessel No Sumber : Smith (1999)

Tabel 1 menggambarkan bahwa sistem yang bisa memantau seluruh kapal sekaligus dengan kemampuan wilayah pemantauan tidak terbatas adalah Vessel Monitoring System.

Melihat luasnya wilayah laut, panjang pantai dan ribuan pulau yang tersebar di seluruh Indonesia, maka diperlukan sistem VMS sebagai suatu sistem pemantauan kegiatan kapal-kapal perikanan yang beroperasi di kawasan perairan di bawah kewenangan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kenyataan tersebut menunjukkan, bahwa VMS merupakan salah satu elemen penting dalam mengimplementasikan aspek monitoring (pemantauan), pada lingkup MCS disamping sistem pemantauan lainnya seperti penggunaan kapal inspeksi, observasi langsung, dan lain lain. Dalam FAO Technical Guidelines for Responsible Fisheries (1988) dinyatakan bahwa VMS merupakan salah satu alat pemantauan dalam sistem MCS, yang dapat berperan lebih efektif dibanding sistem lain yang konvensional.

Posisi MCS dalam manajemen perikanan secara keseluruhan dapat dilihat dan dipahami melalui Gambar 3 tentang Sistem Manajemen Perikanan dimana Flewwelling (2003) secara rinci menguraikan sistem manajemen perikanan yang seharusnya dirumuskan dan dilakukan secara terpadu.

Kedudukan dan fungsi MCS dalam sistem tersebut sangat menentukan peran sub sistem lain dalam manajemen perikanan. Untuk mencegah timbulnya inefisiensi pemanfaatan sumber daya ikan misalnya diperlukan masukan data dan informasi yang akurat agar dapat dirumuskan sejumlah opsi alternatif kebijaksanaan pengelolaan perikanan. Sumber data dan informasi yang dibutuhkan tersebut berasal dari hasil kegiatan MCS (Monitoring, Control, and Surveillance).

Keberadaan MCS diharapkan menjadi pemecahan masalah-masalah managerial pengelolaan sumber daya kelautan bidang perikanan yang akan berdampak positif terhadap pemerintah, masyarakat maupun pelaku usaha.

Sumber : Flewwelling (2003)

Gambar 3 Sistem Manajemen Perikanan.

Secara ideal MCS merupakan alat pengawasan yang menghasilkan sumber data dan informasi bagi perumusan perencanaan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan, yang dapat digambarkan sebagai berikut :

Sumber : Penulis

Gambar 4 Posisi MCS Dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan.

Melalui Gambar 4, diketahui bahwa kegiatan pemanfaatan sumberdaya perikanan merupakan titik awal perlu dilakukannya kegiatan pengawasan dengan metode MCS, data dan informasi merupakan keluaran dari penerapan MCS, selanjutnya data dan informasi tersebut menjadi sumber bagi perumusan kebijakan dalam pemanfaatan sumber perikanan, sehingga sejumlah opsi alternatif kebijakan yang dibuat baik oleh pemerintah dapat bermanfaat baik bagi masyarakat, dunia usaha maupun pemerintah sendiri.

2.3 Definisi VMS

Vessel Monitoring System adalah suatu sistem pemantauan kapal yang bertujuan untuk mempermudah inspeksi kapal-kapal laut dengan cara mengidentifikasi kapal, memonitor posisi kapal, aktifitas kapal, jenis dan jumlah hasil tangkapan serta informasi lainnya. Hal ini dapat dilakukan dengan diwajibkannya pemasangan transmitter untuk setiap kapal yang memiliki izin penangkapan ikan. Monitoring dilakukan melalui jaringan komunikasi antara Pusat Pengendalian dan Daerah (Regional) yang didukung oleh sistem informasi.

Menurut FAO Technical Guidelines For Responsible Fisheries (Rome, 1988), VMS merupakan alat monitoring dengan kemampuan pengamatan lokasi yang akurat terhadap kapal-kapal perikanan yang ikut dalam VMS. VMS menginformasikan posisi kapal dan jarak tempuh kapal secara periodik. Informasi posisi dapat disajikan oleh VMS secara “real time” (kurang dari tiga puluh menit) dimanapun kapal berada di seluruh dunia.

Kumpulan dokumen yang diterbitkan oleh Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan RI dengan judul “Pengembangan Sistem Monitoring, Control dan Surveillance (MCS) Dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumber Daya Ikan (2001)”, menunjukkan definis VMS sebagai salah satu piranti yang menggunakan jasa satelit untuk memantau (monitoring) pergerakan (tracking) sarana bergerak. Penggunaan VMS merupakan salah satu upaya untuk mengatasi masalah beroperasinya kapal penangkap ikan yang tidak dilengkapi dengan izin (unlicensed fishing) atau penggunaan izin yang tidak sah (illegal fishing).

VMS memberikan output berupa informasi, mengenai posisi kapal perikanan dalam waktu dan hari tertentu. VMS juga membantu pemilik kapal untuk mengetahui dimana kapal berada, karena mereka dapat mengakses laporan posisi setiap dibutuhkan, dan dapat juga diketahui kecepatan dari kapal tersebut (Verborgh, 2000).

Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1999-2004 menyebutkan, program pembangunan nasional di bidang ekonomi, program pengembangan kelautan (Program 7.1) salah satunya adalah bertujuan untuk meningkatkan

pengamanan dan pengawasan dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir dan kelautan termasuk sumberdaya perikanan. Secara khusus, program pembangunan nasional bidang sumberdaya alam dan lingkungan hidup, program penataan kelembagaan dan penegakan hukum pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian lingkungan hidup mengamanatkan pelaksanaan kegiatan pengembangan sistem pengawasan dan pengendalian pemanfaatan sumberdaya alam khususnya sumberdaya laut melalui metode monitoring, controlling, and surveillance (MCS) dengan salah satu komponennya adalah Sistem Pemantauan Kapal atau umum disebut Vessel Monitoring System (VMS).

Seiring berkembangnya sistem satelit, maka posisi kapal dapat dengan mudah dipantau. Posisi kapal dapat dipantau dengan menggunakan jasa satelit navigasi (Global Positioning System/GPS) ataupun satelit lain yang berfungsi untuk menentukan lokasi dengan menempatkan penerima sinyal di kapal. Data posisi kapal ini kemudian dikirim ke pelabuhan yang ditentukan ataupun ke pusat pengendali di darat.

Pengiriman data dapat dilakukan melalui gelombang radio ke lokasi di darat ataupun dengan penggunaan satelit komunikasi. Di antara satelit navigasi ini adalah satelit NAVSTAR-GPS (Navigation System with Time and Ranging) yang dioperasikan oleh DOD (US Department of Defense), khususnya Angkatan Udara Amerika, serta satelit Glonass yang dioperasikan oleh Rusia.

Penggunaan satelit komunikasi dibantu dengan peralatan ALC (Automatic Location Communicator) atau selanjutnya disebut transmitter, posisi kapal, arah, kecepatan kapal dapat dipantau dari pusat monitoring. Tidak hanya posisi, kecepatan dan arah, aktivitas kapal pun dapat diprediksi. Oleh sebab itu pemantauan kapal dengan menggunakan satelit adalah merupakan hal paling sempurna pada saat ini dibandingkan dengan sistem lain yang tersedia.

Gambar 5 Vessel Monitoring System.

Gambar 5 adalah contoh konfigurasi sistem pemantauan kapal perikanan dengan menggunakan satelit dimana pada kapal ikan ditempatkan peralatan transmitter yang terdiri dari komponen penerima sinyal dari satelit navigasi salah satu di antaranya adalah GPS dan komponen pengirim data ke satelit komunikasi.

Posisi kapal setiap saat diterima dari satelit GPS oleh transmitter dan dikirimkan secara otomatis ke satelit komunikasi. Selanjutnya, satelit komunikasi mengirimkan data ke stasiun bumi (Land Earth Station). Besarnya data yang dikirim tergantung dari kemampuan satelit komunikasi yang digunakan dan permintaan dari pemakai jasa. Data dikelola oleh stasiun pusat dan dikirim kepada pengguna melalui jaringan telekomunikasi di darat. Untuk daerah yang tidak memiliki jaringan telepon, data dapat juga diterima melalui satelit komunikasi langsung.

Berdasarkan berbagai definisi yang telah diuraikan di atas dapat

Dokumen terkait