• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PEMBAHASAN

4.3 Deskripsi Hasil Penelitian

4.3.1 Analisis Kebijakan Pengelolaan Terpadu Wilayah

sebagai Kawasan Megapolitan

Analisis data dan temuan di lapangan yang peneliti lakukan dengan menggunakan model analisis kebijakan publik menurut Dunn (2003) dimana untuk menganalisis kebijakan meliputi lima (5) tahapan, yaitu pencarian

128

masalah, peramalan masa depan, rekomendasi kebijakan, pemantauan hasil kebijakan, dan evaluasi kebijakan. Berikut penjabarannya ;

1. Pencarian Masalah

Pembentukan kawasan megapolitan di wilayah Jabodetabekjur ini bertujuan untuk memperkuat posisi sebagai Ibukota Negara dan untuk pemerataan pembangunan di sekitar wilayah DKI Jakarta. Untuk itu dalam penyatuan wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi dan Cianjur (Jabodetabekjur) tentulah banyak permasalahan yang terjadi. Salah satu upaya yang diharapkan dalam penyatuan regulasi terkait wilayah Jabodetabekjur sebagai kawasan megapolitan adalah untuk menuntaskan segala permasalahan yang terjadi di wilayah Jabodetabekjur. Dari peliknya berbagai permasalahan yang ada dibutuhkan suatu penyatuan regulasi yang dapat mengatasi permasalahan tersebut. Permasalahan yang ada di Jabodetabekjur telah diketahui melalui banyak dilakukannya survei dan riset dari banyak sumber. Untuk mengetahui permasalahan yang terjadi, maka Komite I DPD RI melakukan banyak kajian mengenai permasalahan di wilayah Jabodetabekjur agar memperoleh informasi yang valid. Hal tersebut diungkapkan oleh N.2 kepada peneliti di Gedung Nusantara IV pada 16 April 2015 mengungkapkan bahwa:

“Mekanisme pengumpulan masalah yang ada di Jabodetabekjur itu ada beberapa tahapannya, yang pertama itu pada saat anggota Komite I DPD reses, kedua dengan mengadakan kunjungan kerja (kunker), ketiga melalui Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) biasanya kita juga mengundang LSM dari daerah, dan selain itu dapat dilakukan dengan mengundang pemerintah atau institusi yang terkait untuk ikut membahas permasalahan yang akan kita bahas”.

Berdasarkan wawancara di atas, dapat peneliti ketahui bahwa upaya yang dilakukan tersebut bertujuan untuk mengetahui masalah apa yang terjadi di Jabodetabekjur. Dari hasil obervasi di lapangan bahwa permasalahan yang terjadi di wilayah Jabodetabekjur yaitu dikarenakan Jakarta sebagai pusat dari segala kegiatan ekonomi dan pemerintahan sehingga banyak menyedot perhatian masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah Jakarta untuk datang ke Jakarta. Dengan begitu permasalahan menjadi bertambah yakni, kemacetan, pemukiman yang semerawut, banjir, pertumbuhan penduduk, ketimpangan pembangunan dan sumber daya manusia, sehingga dengan begitu mengakibatkan ketidakteraturan di wilayah tersebut.

Hal serupa diungkapkan oleh N.3 di Gedung Nusantara IV, pada 16 April 2015 yang mengatakan bahwa:

“Begini sebetulnya, kondisi sekarang Jakarta sebagai pusat ekonomi, pusat pemerintahan, pusat hiburan dan semuanya jadi bergantung pada Jakarta. Dengan begitu, dari banyak orang yang datang ke Jakarta jadi bikin Jakarta makin macet, makin padet penduduknya, dan Jakarta sebagai Ibukota Negara malah semerawut. Dan lagi seperti terlihat jomplang perkembangannya dengan daerah-daerah di sekitaran Jakarta

karena semua terfokus di Jakarta .

Berdasarkan wawancara di atas, dapat peneliti ketahui, bahwa bidang- bidang yang memiliki lintas batas dalam masalah dan perlu pengaturan yang lintas batas pula adalah permasalahan tata ruang, pemukiman, transportasi, sumber daya dan lingkungan. Pengelolaan bidang-bidang tersebut didasarkan pada pertimbangan dampak yang luas dan atau kepentingan dari dua atau lebih wilayah dalam kawasan megapolitan Jabodetabekjur.

130

Pertumbuhan penduduk yang tinggi di sekitar Jakarta dan sekitarnya akibat migrasi serta terbatasnya kemampuan pemerintah dalam menyediakan perumahan dan kesempatan kerja telah menyebabkan alih fungsi lahan pertanian ke fungsi non pertanian. Alih fungsi lahan yang tidak terkendali selanjutnya menimbulkan dampak turunan berupa erosi, pengendapan sungai, pencemaran, yang semuanya berakumulasi pada masalah banjir, kesehatan, serta kerugian ekonomi dan infrastruktur. Hal ini diungkapkan oleh N.3 kepada peneliti di sekretariat Komite I bahwa:

”Karena banyak orang yang datang ke Jakarta jadi malah bikin banyak alih fungsi lahan ya dek. Banyak lahan yang harusnya jadi daerah resapan air sekarang alih fungsi pemukiman. Itu akibat bertambahnya jumlah penduduk dan terjadi alih fungsi lahan nambah lagi masalah

banjir, pencemaran sungai, dan bisa berbahaya juga buat masyarakat”.

Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat peneliti ketahui bahwa, dalam kurun waktu beberapa dekade ini banyak perkembangan kota-kota baru yang pada akhirnya merujuk pada Jakarta. Hal ini semakin menguatkan adanya ketimpangan dan degradasi lingkungan hidup. Hal serupa diungkapkan oleh N.3 kepada peneliti, bahwa:

“Coba dilihat Naskah Akademik Megapolitan Jabodetabekjur ya sekarang, di sana ada perkembangan kota-kota baru. Jadi malah bikin Jakarta tambah padat kan? Makin banyak orang yang datang. Hal ini itu belum diatur makanya banyak wilayah baru yang bermunculan, dan berkembang, dan semua mengarah ke Jakarta”.

Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat peneliti ketahui bahwa adanya kota-kota baru tersebut dikembangkan pengembang yang berbeda-beda, yang menjadikan konektivitas antara kota-kota baru itu sendiri maupun antara

kota-kota baru dengan jaringan infrastruktur regional. Hal ini menyebabkan segregasi spasial dan juga sosial. Pengembangan lahan ada masa itu tidak terkontrol dan membawa banyak permasalahan lingkungan (ektraksi air tanah yang berlebihan, polusi, berkurangnya ruang terbuka hijau dan area resapan air) dan permasalahan kemacetan. Pada puncak boom properti tahun 90-an, ada 23 kota baru dengan area 500-6000 ha yang dikembangkan di sekitar Jakarta (NA RUU Jabodetabekjur, 2014:30).

Berdasarkan uraian masalah yang terjadi di kawasan Jabodetabekjur, maka perlu adanya suatu alternatif untuk menyelesaikan masalah. Untuk itu hasil dari pencarian masalah yang ada kemudian masuk dalam tahap inventarisasi masalah yang di akan ditampung oleh Komite I kemudian akan dibahas dalam rapat kerja maupun rapat dengar pendapat. Masalah yang ada akan menajdi suatu bahan pertimbangan dibentuknya sebuah kebijakan baru atau melahirkan sebuah alternatif yang dapat menyelesaikan permasalahan tersebut. Untuk itu Komite I DPD RI telah mengkaji lebih dalam terhadap permasalahan tersebut. Hal serupa diungkapkan oleh N.1 kepada peneliti di Gedung Nusantara IV pada 16 April 2015 bahwa:

Begini sebetulnya, untuk permasalahan yang ada setelah kita dapat

laporan atau data masalahnya kemudian akan kita kumpulkan semua masalahanya nanti akan dibahas di rapat bersama anggota Komite I DPD, lalu baru setelah dibahas bisa ketahuan apakah layak atau tidak diusulkan untuk dibuat RUU. Satu lagi, dalam inventarisasi masalah

132

DPD banyak melakukan kajian, supaya kebijakan yang akan dibuat tepat dan dapat menjawab permasalahannya”.

Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat peneliti ketahui bahwa permasalahan yang telah diterima kemudian akan diusulkan menjadi RUU dan diajukan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). RUU Megapolitan Jabodetabekjur ini merupakan kebijakan inisiatif yang diusungkan oleh Komite I DPD RI, dan telah banyak dilakukan kajian melalui institusi Perguruan Tinggi ataupun melalui LSM dan instansi terkait. Kebijakan pengelolaan Jabodetabekjur untuk dibuat sebagai kawasan megapolitan ini diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan yang ada dan dapat memperkuat posisi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara. Dalam pembuatan kebijakan ini Komite I DPD RI tidak bekerja sendiri, melainkan bekerja sama dengan instansi terkait seperti Kementerian, Kepala Daerah se-Jabodetabekjur, dan mengundang tim ahli untuk pembentukan kawasan megapolitan.

Tim ahli yang membantu dalam penyusunan kebijakan pengelolaan terpadu wilaayah Jabodetabekjur sebagai kawasan megapolitan ini merupakan oarang-orang yang terdiri dari akademisi yang ahli di bidang perencanaan, tata kota dan tata ruang, serta lingkungan, yang nanti akan dapat memberikan bantuan berupa substansi materi dan pandangan terkait pembentukan kawasan megapolitan di wilayah Jabodetabekjur. Hal serupa diungkap oleh N.1 kepada peneliti, yang menyatakan bahwa:

Dalam perumusan kebijakan ini DPD tidak bekerja sendiri, kami dari

Komite I juga mengundang tim ahli buat jadi narasumber, ada staf ahli komite juga, kemdudian kita juga mengundang dari pihak pemerintah seperti Kementerian atau Dirjen untuk memberikan lebih banyak

masukan untuk perumusan kebijakan sekaligus kita perkuat kelembagaan.

Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat peneliti ketahui bahwa pembahasan masalah selain dengan mengundang narasumber lain, dapat juga dengan dilaksanakan Focus Group Discussion (FGD) yaitu dengan cara diskusi bersama yang dilaksanakan dalam satu ruangan dengan mengundang seluruh

stakeholder dan instansi terkait dalam pembahasan kebijakan tersebut. FGD

mengenai pembahasan pembentukan kawasan megapolitan Jabodetabekjur ini telah dilaksanakan pada tahun 2014 lalu dengan mengundang seluruh instansi terkait. Dalam FGD tersebut seluruh kepala daerah di wilayah Kabupaten/Kota Jabodetabekjur diundang dan membahas bersama dengan Komite I DPD RI. Dalam program kerja sama terkait penyatuan regulasi wilayah Jabodetabekjur yang terdiri dari tiga (3) Provinsi yakni Jakarta, Jawa Barat, dan Banten serta terdiri dari beberapa Kabupaten/Kota sangat diperlukannya kerjasama dan harmonisasi seluruh stakeholder. Namun sejak dicanangkannya program kerja sama tersebut belum mencapai harmonisasi sehingga terkesan statis. Hal tersebut diungkapkan oleh N.2 kepada peneliti, beliau menyatakan bahwa:

“Sebenarnya program pembangunan kerja sama ini sudah dari dulu direncanakan. Kerja sama yang direncanakan antar pemerintah wilayah Jabodetabekjur terkesan statis itu dikarenakan kurangnya koordinasi antar pemerintah. Selain itu juga dikarenakan adanya perbedaan derajat otonomi yang dipegang oleh DKI Jakarta. Sehingga hal ini membuat

disharmoni”.

Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat peneliti ketahui bahwa dampak dari adanya masalah perbedaan derajat otonomi yang dipangku oleh DKI Jakarta berbeda dengan wilayah Bodetabekjur menyebabkan

134

ketidakserasian dan kurangnya koordinasi antarpemerintah. Solusinya adalah harus ada lembaga yang mengatur untuk pengelolaan terpadu wialayah Jabodetabekjur. Selain itu dikarenakan adanya otonomi khusus di DKI Jakarta seharusnya Gubernur Jakarta memiliki kewenangan setingkat menteri agar mampu mengkoordinasikan seluruh kepala daerah di wilayah Bodetabekjur. Hal tersebut dingkapkan oleh N.2 kepada peneliti pada 16 April 2015, beliau mengungkapkan bahwa:

”Karena Jakarta punya otonomi khusus, yaitu Daerah Kota Istimewa (DKI) Jakarta sebagai Ibukota Negara, menurutku seharusnya Gubernur DKI Jakarta harus memiliki kewenangan setingkat menteri yang dapat mengatur dan mengkoordinasikan antarpemerintah di Bodetabekjur agar bisa harmonis kebijakannya. Jadi tidak lagi ada masalah kurang koordinasi, selain itu solusi masalahnya dibentuk suatu badan yang mengkoordinasikan program pengelolaan terpadu wilayah

Jabodetabekjur agar lebih optimal”.

Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat peneliti ketahui bahwa pada kenyataannya, masing-masing pemerintah daerah menetapkan pembangunan yang berorientasi pada wilayahnya sendiri. Jakarta sebagai Ibukota negara diarahkan menjadi kota utama sejak penyusunan Rencana Umum Tata Ruang kota Jakarta 2005. Visi pembangunan DKI Jakarta dalam RPJPD yang diadopsi dalam RTRW Provinsi, berfokus menjadikan Jakarta sebagai kota jasa internasional dan nasional. Di sisi lain, visi provinsi Banten cenderung lebih berorientasi pada dasar kualitas manusia yang religius dan mengutamakan kepentingan internal sedangkan visi pembangunan Jawa Barat mempunyai basis yang sama dengan Banten yaitu berbasis pada nilai religius namun

memiliki sikap untuk bersaing dengan DKI Jakarta dengan mengatakan ingin menjadi termaju di Indonesia.

Menyikapi segala permasalahan antarpemerintah Jabodetabekjur yang disebabkan kurangnya koordinasi sehingga belum dapat optimalnya dalam penanganan masalah yang ada. Sehingga pengelolaan terpadu wilayah Jabodetabekjur yang sejak lama sudah dicanangkan terkesan statis. Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 65 tahun 1975 dan SK Menteri Dalam Negeri no. 10/34/16/282 untuk menangani kerjasama pengelolaan pembangunan di kawasan Jabodetabekjur adalah Badan Kerja Sama Pembangunan (BKSP) Jabodetabekjur. Lembaga yang awalnya menjadi rujukan pembangunan di kawasan Jabodetabekjur ini kemudian menjadi relatif tidak memiliki kekuatan dan kapasitas melaksanakan tugas dan fungsinya sejak diterapkannya sistem desentralisasi bagi penyelenggaraan pemerintah daerah. Hal tersebut diungkapkan oleh N.2 bahwa:

“Sebetulnya program ini sudah sejak lama dicanangkan, bahkan badannya pun telah dibentuk dari dulu, hanya saja program ini masih statis dan belum bisa berkerja secara optimal, dan kerja sama ini masih belum berkembang dari tahun ke tahun. Menurutku itu tadi gubernur Jakarta harus punya kewenangan setingkat menteri untuk mengatur dan mampu memberikan kewenangan kepada pemerintah di Bodetabekjur. Selain itu ditunjang dengan adanya badan koordinasi yang untuk lebih mengoptimalkan program pengelolaan terpadu di wilayah Jabodetabekjur ini”.

Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat peneliti ketahui bahwa Badan Kerja Sama Pembangunan (BKSP) adalah badan kerjasama yang mengelola wilayah Jabodetabekjur. BKSP Jabodetabek diharapkan dapat

136

mengkoordinasikan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di wilayah Jabodetabek serta mampu mengatasi berbagai permasalahan bersama. Mengenai permasalahan lemahnya BKSP, N.2 mengungkapkan kepada peneliti bahwa:

“Seharusnya gubernur DKI Jakarta memiliki kewenangan buat ikut mengawasi dan mengkoordinasi BKSP. Kalau BKSP sudah ada penguatan jadi tidak ada lagi masalah kurangnya koordinasi. Sekarang kan masalahnya karena kita lemah dikoordinasi, setiap daerah sibuk dengan daerahnya masing-masing”.

Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat peneliti ketahui bahwa lemahnya BKSP mendorong untuk merumuskan satu konstruksi kelembagaan baru yang disertai peningkatan kekuatan dan kapasitas kelembagaan dalam mengelola kawasan. Kelembagaan ini hendaknya merangkul perwakilan para

stakeholder, yaitu pemerintah pusat dan pemerintah-pemerintah daerah yang

tergabung dalam kawasan megapolitan Jabodetabekjur, stakeholder utama dan jika diperlukan dari kalangan pihak independen termasuk ahli dan praktisi. Sebagai unit yang memiliki mandat, kewenangan, dan tanggung jawab untuk urusan mengatur maka bagian ini memiliki peran legislatif yang dapat mengeluarkan produk-produk hukum atau aturan. Kelembagaan ini juga harus disertai sebuah sistem kontrol, monitoring dan evaluasi.

Permasalahan kelembagaan yang masih lemah ini yang membuat program pembangunan kawasan megapolitan Jabodetabekjur ini masih belum optimal. Hal ini di ungkapkan oleh N.1 kepada peneliti di Perumnas II pada 11 Mei 2015 bahwa:

“Sebenarnya yang menjadi pokok dan harus kita atasi dulu itu masalah kelembagaan. Secara sekarang belum ada badan/kementerian yang punya kewenangan untuk membentuk regulasi terkait Jabodetabekjur, ditambah pemerintah daerah sibuk dengan pembangunan daerah masing-masing. Solusinya kita perkuat dulu kelembagaan baru bisa menjalankan program kerja sama untuk bikin kawasan megapolitan Jabodetabekjur secara optimal begitu”.

Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat peneliti ketahui bahwa permasalahan yang telah dipaparkan di atas sebenarnya berawal dari ketidakharmonisan antar pemerintah di Jabodetabekjur, sehingga program pengelolaan terpadu Jabodetabekjur ini masih belum optimal dikarenakan kurangnya koordinasi. Sehingga seolah-olah semuanya menyerahkan kepada DKI Jakarta sebagai kota utama. Untuk itu semua masalah bertumpu di Jakarta. Padahal ini merupakan tanggung jawab antar pemerintah di Jawa barat, DKI Jakarta dan Banten. Dengan adanya kebijakan pengelolaan terpadu wilayah Jabodetabekjur sebagai kawasan megapolitan yang oleh komite I DPD RI ini diharapkan mampu memperkuat dari sisi kerja sama dan meningkatkan koordinasi kelembagaan agar kebijakan ini dapat berjalan secara optimal, sesuai rencana dan target yang diharapkan.

2. Peramalan

Langkah selanjutnya dalam analisis kebijakan setelah pencarian masalah menurut Dunn (2003:291) adalah peramalan (forecasting). Dalam penelitian mengenai Analisis Kebijakan Pengelolaan Terpadu Wilayah Jabodetabekjur sebagai Kawasan Megapolitan, ada beberapa peramalan yang dilakukan guna melihat sejauh mana dan seperti apa perkembangan kawasan

138

Jabodetabekjur bila di bentuk sebagai kawasan megapolitan dan bagaimana keadaan di masa depan apabila masalah yang terjadi pada masa sekarang belum dapat ditangani. Peramalan bertujuan untuk melihat masa yang akan datang dihubungkan dengan masalah pada saat ini. Selain itu dalam pembentukan kawasan megapolitan dikhawatirkan di masa depan dapat mengubah lingkungan, unsur sosial, dan budaya dari masyarakat. Hal tersebut diungkapkan oleh N.2 kepada peneliti, beliau mengungkapkan bahwa:

Kalau di lihat dari sisi peramalan, sebenarnya dari masalah kemacetan

sekarang bisa berakibat lalu lintas di DKI Jakarta pada sepuluh tahun lagi bisa lumpuh dan efek banjir tahunan itu nanti 35 tahun lagi Jakarta terancam bisa tenggelam. Untuk itu kita harus mencari alternatif supaya

di masa yang akan datang bisa memecahkan masalah ini.

Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat peneliti ketahui bahwa perkiraan mengenai akan tenggelamnya DKI Jakarta ini disebabkan karena bertambahnya volume air laut dan menyusutnya permukaan tanah. Hal ini tentu semakin tinggi air laut sehingga dalam beberapa tahun dapat mengakibatkan tenggalamnya sebagian wilayah Jakarta. Potensi rendaman di Jakarta Utara disebabkan oleh kenaikan muka laut dan penurunan permukaan tanah. Wilayah yang diprediksi akan terendam pada tahun 2020 seluas 6,6 km², sedangkan pada tahun 2035 diramalkan potensi wilayah yang terendam meningkat

menjadi 62,3 km² (NA RUU Jabodetabekjur 2014:9).

Berbagai masalah yang kini tengah dihadapi oleh DKI Jakarta, apabila dalam kurun waktu satu sampai dua dekade tidak ditangani dengan baik, maka akan berimbas ke wilayah sekitaran DKI Jakarta seperti wilayah Bodetabekjur. Dalam kajian PRPW UI (2013) menjelaskan bahwa pasokan sumber daya air

bersih sangat vital di Ibukota DKI Jakarta, namun saat ini justru mengalami defisit air bersih. Hal ini justru akan mengkhawatirkan di masa yang akan datang. Berikut fakta-fakta yang didapatkan di lapangan ;

1. Kebutuhan air mencapai 300ton per tahun tidak sesuai dengan

discharge eksploitasi air bawah tanah telah menyebabkan turunnya

permukaan air tanah sebesar 0,5meter dalam kurun waktu 10 tahun. 2. Pasokan air tidak dapat mengimbangi permintaan air yang terus

mengalami peningkatan.

Selain mengalami defisit air tanah, selanjutnya hal yang cukup mengkhawatirkan apabila tidak segera ditangani yaitu permasalahan mengenai perubahan tata guna lahan. Lahan sawah mapun lahan kering banyak berubah fungsi menjadi lahan berbangun. Kawasan perkotaan yang semula hanya terdapat di pusat Jakarta, kini sudah meluas sampai sekitar Jakarta seperti Depok, Bogor, Bekasi, dan Tangerang. Hal tersebut diungkapkan oleh N.4 bahwa:

“Sekarang karena semua orang mau ke Jakarta jadi lahan pemukiman mulai padat, bahkan wilayah di sekitar Jakarta seperti Bodetabekjur itu juga sekarang sudah padat penduduk. Bisa dibayangkan kalau sampai sepuluh tahun lagi belum dikelola dan ditata nanti jadinya semakin bertambah penduduk dan tidak ada lahan pemukiman”.

Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat peneliti ketahui bahwa hal tersebut apabila tidak segera ditangani, maka akan semakin banyak alih fungsi lahan dari daerah persawahan menjadi pemukiman. Tidak hanya soal pemukiman melainkan akan hilangnya daerah resapan air sehingga ketika musim penghujan datang dapat mengakibatkan banjir yang menggenangi

140

wilayah pemukiman warga. Seperti pada tahun 2014 lalu banjir besar menggenangi daerah DKI Jakarta. Secara geografis DKI Jakarta memang terletak di daerah dataran rendah dan merupakan Daerah Aliran Sungai (DAS). Untuk jika di masa yang akan datang daerah resapan air berubah alih fungsi lahan pemukiman, maka Jakarta terancam tenggelam.

Kemudian hal yang dapat mengkhawatirkan di masa depan yakni permasalahan iklim. Hal tersebut diungkapkan oleh N.3 bahwa:

Masalahnya lain yaitu masalah soal iklim, karena macet dapat

menyebabkan polusi udara meningkat, jadi suhu udara di wilayah perkotaan gini, khususnya di Jakarta semakin panas dan itu panasnya akan semakin meningkat juga setiap tahun, seiring dengan meningkatnya polusi udara juga”.

Berdasarkan hasil wawancara di atas, dan dari data yang peneliti dapatkan, dapat diketahui bahwa temperatur suhu di Jakarta, Depok dan Bogor sekitarnya diproyeksikan naik masing-masing 2˚C, 1,3˚C dan 2,5˚C dalam

kurun waktu 2012 hingga 2035. Hal ini menyebabkan suasana di perkotaan semakin panas. Curah hujan rata-rata Jakarta, Depok dan Bogor sekitarnya diproyeksikan naik masing-masing 40mm, 100mm dan 200mm dalam kurun waktu tersebut. Sementara itu 37 cadangan air tanah di Jakarta telah defisit 4,469,668,428 liter per tahun dan diproyeksikan defisit 18,922,483,365 liter per tahun. Luas genangan air di Jakarta akibat penurunan permukaan air tanah dan kenaikan muka air laut diproyeksikan mencapai 8,86 km2 pada tahun 2020 dan 62,3 km2 pada tahun 2100 (NA RUU Jabodetabekjur 2014:37).

Kemudian hal yang perlu diperhatikan dan menjadi permasalahan yakni mengenai transportasi. Saat ini jumlah volume kendaraan semakin meningkat

yang menyebabkan kemacetan pada lalu lintas dari dan menuju Jakarta. Hal tersebut diungkapkan oleh N.2 kepada peneliti bahwa:

Kemudian masalah transportasi ini, perlu kita perhatikan juga. Lalu

lintas dari Jakarta atau menuju Jakarta sudah pasti macet. Belum lagi kalau di jam-jam sibuk, seperti jam berangkat dan pulang kantor itu udah makin parah. Dan kemacetannya semakin tahun bertambah. Bisa dilihat nanti kalau belum ada kebijakan juga yang terjadi di masa depan

lalu lintas makin semrawut.

Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat peneliti ketahui bahwa kebutuhan perjalanan di wilayah Jabodetabek 53 juta perjalanan pada tahun 2010, dan diramalkan bahwa jumlahnya akan terus bertambah, yaitu 64 juta perjalanan pada tahun 2020. Keadaan seperti ini jika tidak ada pengembangan jaringan dan pelayanan transportasi perkotaan hingga pada tahun 2020 untuk angkutan umum akan berkurang dan kondisi lalu lintas akan semakin parah.

Berbagai jenis pembangunan akan dilakukan guna membentuk sebuah kawasan megapolitan secara terpadu. Hal ini dikhawatirkan di masa depan dapat merubah cara pandang dan pola perilaku dari masyarakat yang tinggal di wilayah Jabodetabekjur. Namun, dari hasil observasi yang peneliti lakukan, hal tersebut tidaklah benar. Hal tersebut diungkapkan oleh N.2 kepada peneliti bahwa:

“Pembangunan kawasan megapolitan kita ini lebih banyak pada aspek transportasi, tata ruang tata kota, pemukiman dan sebagainya. Jadi tidak mengurangi aspek budaya dan sosial dari masyarakat. Kita tidak

Dokumen terkait