• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Sejak era pasca-Soeharto dapat disebut sebagai kebangkitan kembali gagasan desentralisasi. Gagasan tersebut menemukan signifikansinya seiring melemahnya kekuasaan terhadap dengan tuntutan-tuntutan kepentingan masyarakat. Sejak dimulainya otonomi daerah maka kewenangan tidak hanya milik pemerintah pusat saja, melainkan pemerintah daerah juga memiliki kewenangan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, desentralisasi kekuasaan dilakukan melalui penyerahan kepada pemerintah daerah wewenang atas seluruh bidang pemerintahan, kecuali bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain. Selanjutnya digantikan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 yang mengatur urusan pemerintahan antara pusat dan daerah secara lebih tegas dan rinci.

Sejalan dengan tuntutan demokrasi guna memenuhi rasa keadilan masyarakat di daerah, memperluas serta meningkatkan semangat dan kapasitas partisipasi daerah dalam kehidupan nasional, serta untuk memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka dalam rangka pembaharuan konstitusi, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI)

2

membentuk sebuah lembaga perwakilan baru, yakni Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI), yang bertujuan sebagai lembaga negara yang menjembatani hubungan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. Pembentukan DPD RI dilakukan melalui perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) pada bulan November 2001.

Sejak perubahan itu, maka sistem perwakilan dan parlemen yang berlaku di Indonesia berubah dari sistem trikameral menjadi sistem bikameral (www.dpd.go.id./halaman-profil 15 Maret 2014). Sistem bikameral adalah sistem parlemen atau lembaga legislatif yang terdiri atas dua kamar. Dalam hal ini DPD RI masuk sebagai kamar kedua. Dengan perubahan ini diharapkan ada keterwakilan dari distrik-distrik untuk duduk di satu kamar dan ikut mengawasi kinerja dari kamar yang lain dari pemerintah pusat. Kelebihan sistem bikameral tidak hanya melihat dari adanya dua kamar dalam satu parlemen, akan tetapi juga dilihat dari proses pembuatan Undang-Undang yang semakin baik dengan mekanisme double check (Budiardjo, 2005 : 180).

Perubahan tersebut tidak terjadi seketika, tetapi melalui tahap pembahasan yang cukup panjang baik di masyarakat maupun di MPR RI, khususnya di Panitia Ad Hoc I. Proses perubahan di MPR RI selain memperhatikan tuntutan politik dan pandangan-pandangan yang berkembang bersama reformasi, juga melibatkan pembahasan yang bersifat akademis, dengan mempelajari sistem pemerintahan yang berlaku di negara-negara lain khususnya di negara yang menganut paham demokrasi. Dalam proses

pembahasan tersebut, berkembang kuat pandangan tentang perlu adanya lembaga yang dapat mewakili kepentingan daerah, serta untuk menjaga keseimbangan antardaerah dan antara pusat dengan daerah, secara adil dan serasi. Gagasan dasar pembentukan DPD RI adalah keinginan untuk lebih mengakomodasi aspirasi daerah dan sekaligus memberi peran yang lebih besar kepada daerah dalam proses pengambilan keputusan politik untuk hal-hal terutama yang berkaitan langsung dengan kepentingan daerah. Keinginan tersebut berangkat dari indikasi yang nyata bahwa pengambilan keputusan yang bersifat sentralistik pada masa lalu ternyata telah mengakibatkan ketimpangan dan rasa ketidakadilan, dan diantaranya juga memberi indikasi ancaman keutuhan wilayah negara dan persatuan nasional. Keberadaan unsur Utusan Daerah dalam keanggotaan MPR RI selama ini (sebelum dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945) dianggap tidak memadai untuk menjawab tantangan-tantangan tersebut (www.dpd.go.id./halaman-profil 15 Maret 2014).

Berdasarkan Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib DPD RI disebutkan bahwa DPD adalah lembaga perwakilan daerah yang berkedudukan sebagai lembaga tinggi negara yang terdiri atas wakil daerah provinsi yang dipilih melalui pemilihan umum. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 92/PUU/-X/2012, MK meneguhkan lima hal, yaitu : (i) DPD terlibat dalam pembuatan Program Legislasi Nasional (Prolegnas); (ii) DPD berhak mengajukan RUU yang dimaksudkan dalam pasal 22D ayat (1) UUD 1945, sebagai halnya atau

4

bersama dengan DPR dan Presiden, termasuk dalam pembentukan RUU Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; (iii) DPD berhak membahas RUU secara penuh dalam konteks pasal 22D ayat (2) UUD 1945; (iv) pembahasan UU dalam konteks pasal 22D ayat (2) bersifat tiga pihak, yaitu antara DPR, DPD, dan Presiden; (v) MK menyatakan bahwa ketentuan dalam UU MD3 dan UU P3 yang tidak sesuai dengan tafsir MK atas kewenangan DPD dengan sendirinya bertentangan dengan UUD 1945, baik yang diminta maupun tidak.

Putusan MK tersebut telah mengubah paradigma proses pembuatan undang-undang (law making process) yang semakin efisien. Dengan demikian, khusus pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang menjadi mandat konstitusi DPD hanya dilakukan tiga lembaga yaitu, DPR, Presiden, dam DPD. Dalam penyusunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sebagai instrumen perencanaan program pembentukan undang-undang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hak/kewenangan untuk mengajukan RUU yang dimiliki DPD. Berdasarkan putusan MK tersebut, telah ditetapkan penyusunan baru dalam mekanisme prolegnas.

Berdasarkan Undang-Undang MD3 No. 17 Tahun 2014 mengenai tugas dan kewenangan MPR, DPR, DPD, dan DPRD bahwa DPD merupakan lembaga legislatif yang dipilih melalui Pemilu. Dalam kewenangannya menjalankan fungsi legislasi, DPD dapat mengajukan Rancangan Undang- Undang dan memiliki kewenangan untuk ikut membahas RUU serta memberikan pertimbangan kepada DPR. Dengan adanya kewenangan untuk

mengajukan RUU maka DPD RI memiliki kewenangan dalam mengajukan RUU yang berkaitan dengan bidang otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, tata kelola, tata ruang, HAM dan lainnya. Berdasarkan UU MD3 tahun 2014 alat kelengkapan DPD RI dibagi menjadi ; (i) pimpinan, (ii) Panitia Musyawarah, (iii) panitia kerja, (iv) Panitia Perancang Undang-Undang, (v) Panitia urusan rumah tangga, (vi) Badan Kehormatan, (vii) alat kelengkapan lainnya disesuaikan.

Sehubungan dalam menjalankan tugas dan fungsinya, DPD RI dibagi dalam beberapa alat kelengkapan dan empat komite, yang masing-masing memiliki peran dan bidang yang ditangani. Dalam penelitian ini, peneliti memfokuskan pada Komite 1 DPD RI, yang menangani bidang sebagai berikut : (i) Pemerintahan Daerah; (ii) Hubungan pusat dan daerah; (iii) Pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah (iv) Pemukiman dan kependudukan (v) Pertahanan dan tata ruang; (vi) Politik, hukum, HAM, dan ketertiban umum; (vii) Permasalahan daerah di wilayah perbatasan negara (www.dpd.go.id/alatkelengkapan/komite-i 15 Oktober 2014). DPD RI berada di bawah naungan Sekretariat Jendral (Sekjen) DPD RI, bersama dengan alat kelengkapan, dan sekretariat.

Pada penelitian kali ini, peneliti lebih fokus pada Komite 1 yang menangani bidang otonomi daerah, pemekaran dan penggabungan wilayah. Sesuai dengan Program Legislasi Nasional (Prolegnas), tahun 2014 Komite 1 DPD RI membahas dua Rancangan Undang-Undang (RUU), yakni RUU Pengadilan Agraria dan RUU Pengelolaan Terpadu Megapolitan Jakarta,

6

Bogor, Depok Tangerang, Bekasi, dan Cianjur (Jabodetabekjur). Dari dua RUU yang tengah dibahas oleh DPD, dalam penelitian ini peneliti akan membahas lebih dalam mengenai analisis kebijakan pengelolaan terpadu wilayah Jabodetabekjur sebagai kawasan megapolitan. Alasan peneliti mengambil topik mengenai analisis kebijakan pengelolaan terpadu wilayah Jabodetabekjur untuk mengetahui bagaimana sebenarnya nanti pembentukan dari sebuah kawasan megapolitan yang diterapkan di Jabodetabekjur. Selain itu pemilihan mengenai topik tersebut didukung dari data-data yang peneliti dapatkan dari Komite 1 DPD RI. Sejak tahun 2012 Komite 1 DPD RI tengah gencar mengadakan banyak kajian dan rapat kerja mengenai pembahasan RUU tersebut hinga akhirnya peneliti tertarik untuk ikut mengangkat Pengelolaan Terpadu Kawasan Megapolitan Jabodetabekjur sebagai topik dalam penelitian ini.

Perkembangan kota tidak terlepas karena di dalamnya terdapat pola hubungan antar manusia dan kelompok manusia, munculnya ruang-ruang produksi dan distribusi bahkan sampai arena konflik, kota dapat berkembang secara mekanik dan organik sesuai dengan karakteristiknya (Laksono, 2013 dalam PRPW UI 2013 : 6). Salah satu konsep metropolitan yang muncul di Indonesia adalah Jabodetabekjur dimana Jakarta menjadi kota inti terhadap perluasan wilayah ke arah Bogor, Depok, Tangerang, Puncak dan Cianjur (Bodetabekjur). Wilayah Jabodetabekjur yang merupakan pengembangan Kawasan Jakarta-Bogor-Tangerang-Bekasi (Jabotabek) yang dibentuk berdasarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia nomor 13 tahun 1976

tentang Pengembangan Kawasan Jabotabek. Perkembangan fisik kawasan ini sudah diperkirakan sejak penyusunan Rencana Induk Jakarta tahun 1965-1985. Di dalam dokumen tersebut dijelaskan, bahwa apabila Jakarta dibangun berdasarkan rencana induk, maka dalam waktu yang relatif singkat, daerah terbangun bagian-bagian kota Jakarta akan melampaui batas administrasi sehingga mempengaruhi wilayah sekitarnya.

Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 54 tahun 2008 tentang tata ruang Jabodetabekpunjur bahwa pada lingkup wilayah fungsional, yang terbagi atas tiga (3) wilayah Provinsi, yang terdiri atas 15 Kabupaten dan Kota. Di lain pihak, wewenang otonomi pemerintah daerah yang terlingkupi memiliki kedudukan yang tidak sama, di DKI Jakarta terletak pada pemerintah provinsi, sementara untuk wilayah dua provinsi lainnya terletak pada kabupaten dan kota. Hal ini membawa pada konsekuensi fungsi koordinasi serta kewenangan yang berbeda. Menelaah dari Perpres No. 54 tahun 2008 mengenai tata ruang Jabodetabekjur dibutuhkan suatu penyatuan regulasi terkait sebagai kawasan megapolitan.

Regulasi keterkaitan penyatuan wilayah Jabodetabekjur tersebut dilahirkan sejalan dengan Undang-Undang lain, meliputi ; UU No. 23 Tahun 2006 tentang administrasi kependudukan, UU No. 18 Tahun 2008 tentang pengelolaan sampah, UU No. 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, dan UU No. 2 Tahun 2012 tentang pengadaan tanah bagi kepentingan umum, UU No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Dari Undang-undang tersebut ada keterkaitan dalam pembuatan kebijakan

8

Pengelolaan Terpadu Kawasan Megapolitan Jabodetabekjur. Dalam perkembangannya, wilayah Jakarta dan sekitarnya ternyata lebih cepat dibandingkan dengan efektivitas regulasi yang mengaturnya. Hal ini melahirkan kesenjangan antara obyek yang diatur dengan instrumen yang mengaturnya. Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur (Jabodetabekjur) secara faktual sudah menjadi satu kesatuan wilayah fungsional. Diantara faktor-faktor yang menyatukan wilayah Jabodetabekjur sebagai kesatuan wilayah fungsional adalah jaringan transportasi yang memfasilitasi interaksi sosial ekonomi antarwilayah, dimana Daerah Kota Istimewa (DKI) Jakarta berfungsi sebagai pusat pertumbuhannya. Hal ini membawa implikasi bahwa jika DKI Jakarta berperan sebagai pusat kegiatan, maka wilayah sekitar Jakarta berperan sebagai pusat pemukiman yang bergantung penuh secara sosial ekonomi pada Jakarta, serta menambah beban interaksi harian antar kota-kota baru tersebut dan Jakarta (NA RUU Jabodetabekjur, 2014 : 3).

Secara historis, keberadaan wilayah Jabodetabekjur sebenarnya bukan hal baru. Bahkan, semua daerah dalam wilayah tersebut semula adalah bagian dari provinsi yang sama, yakni Jawa Barat. Namun pada tahun 2000, Banten mengalami pemekaran wilayah menjadi Provinsi, sehingga wilayah Tangerang menjadi bagian dari Provinsi Banten. Dengan demikian, selain secara fungsional merupakan satu kesatuan ekosistem, Jabodetabekjur secara administrasi sesungguhnya berawal dari satu kesatuan wilayah administrasi. Oleh karena itu, secara pengelolaan, Jabodetabekjur memerlukan kebijakan

yang harmonis dan sinkron untuk mengatasi permasalahan di wilayahnya yang dapat mengakomodasi Jabodetabekjur sebagai suatu kesatuan fungsional (Sekretariat Komite 1 DPD RI, 2014).

Jabodetabekjur adalah sebuah kawasan yang merupakan gabungan beberapa wilayah kota/kabupaten wilayah yang jaraknya dekat dengan Ibukota Jakarta yakni, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur. Kawasan Jabodetabekjur dikenal sebagai kawasan 3-O , yakni One Commnunity, One

Interest, One Center. Kawasan ini tidak hanya menyedot perhatian masyarakat

namun ternyata terjadi banyak permasalahan di dalamnya (RDPU Komite 1 DPD RI, 21 Januari 2014).

Berdasarkan definisi yang tercantum dalam UU No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, kawasan Jabodetabekjur sudah tergolong kawasan megapolitan, yakni kawasan yang terbentuk dari dua (2) atau lebih kawasan metropolitan yang memiliki hubungan fungsional dan membentuk sebuah sistem. Kawasan metropolitan dalam UU tersebut didefinisikan sebagai kawasan perkotaan yang terdiri atas sebuah kawasan perkotaan yang berdiri sendiri atau kawasan perkotaan inti dengan kawasan perkotaan di sekitarnya yang saling memiliki keterkaitan fungsional yang dihubungkan dengan sistem jaringan prasarana wilayah yang terintegrasi dengan jumlah penduduk secara keseluruhan sekurang-kurangnya satu juta (1.000.000) jiwa.

Sehubungan dengan dibentuknya kawasan megapolitan, terdapat beberapa hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Menurut UU No 29 tahun 2007 tentang Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan

10

Republik Indonesia dan terletak di posisi hilir Daerah Aliran Sungai (DAS). Sementara wilayah hulu DAS di Bogor dan Cianjur merupakan kawasan lindung yang memiliki fungsi perlindungan terhadap wilayah yang terletak dibawahnya termasuk terhadap DKI Jakarta. Oleh karena itu, kedudukan DKI Jakarta dan wilayah sekitarnya sangat vital untuk diatur agar fungsi masing- masing wilayah dapat terlaksana secara optimal dan sinergis.

Memandang Jabodetabekjur sebagai sebuah megapolitan, terdapat perbedaan pandangan antara pemerintah daerah Provinsi di Jabodetabekjur. Pemerintah Provinsi Jawa Barat memandang bahwa permasalahan di Jabodetabekjur bersumber dari fungsi pelayanan wilayah sekitar terhadap DKI Jakarta. Sehubungan dengan itu, Provinsi Jawa Barat memandang perlu melakukan terobosan diantaranya dengan mengkonsep Twin Metropolitan

Jakarta dan Bodebek Karpur (Bogor-Depok-Bekasi-Karawang-Purwakarta) yang berkembang secara mandiri. Sementara itu, Provinsi Banten mengharapkan adanya pertumbuhan wilayah Tangerang yang mandiri dengan pemukiman yang sukses, artinya kota yang mandiri disertai tumbuhnya peluang usaha dan bekerja dan hidup yang layak sehingga tidak tergantung pada DKI Jakarta.

Sejak tahun 1967, telah dibentuk Badan Kerjasama antar-Kota seluruh Indonesia melalui Musyawarah antar-Kota Seluruh Indonesia (MAKSI) di Gedung Merdeka, Bandung. Saat itu, yang terpilih sebagai ketua umum MAKSI adalah Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, sedangkan Sekjen-nya dipegang oleh orang Jawa Barat juga, yakni Prof. Dr. H. Ateng Syafrudin

(alm). Salah satu tugas dan fungsi badan tersebut adalah mengelola permasalahan daerah perbatasan antara Jabar dan DKI Jakarta, saat itu Banten masih bagian wilayah administratif Provinsi Jabar. Sejak pemerintahan Ali Sadikin, program pembangunan Megapolitan Jakarta-Jabar sudah mulai di rencanakan. Pada intinya, program tersebut merupakan program kerjasama pembangunan di perbatasan untuk membentuk sebuah kawasan ragulasi wilayah Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek). Namun, hingga pemerintahan provinsi DKI Jakarta dipimpin oleh Joko Widodo (Jokowi) dan provinsi Jabar dipimpin oleh gubernur Ahmad Heryawan (Aher), program tersebut masih belum dapat dilaksanakan secara optimal (FGD, 18 Februari 2014).

Pemerintah telah menetapkan tujuan penataan ruang kawasan strategis ini, yakni untuk: (i) mewujudkan keterpaduan penyelenggaraan penataan ruang antar daerah sebagai satu kesatuan wilayah perencanaan dengan memperhatikan keseimbangan kesejahteraan dan ketahanan; (ii) mewujudkan daya dukung lingkungan yang berkelanjutan dalam pengelolaan kawasan, untuk menjamin tetap berlangsungnya konservasi air dan tanah, menjamin tersedianya air tanah dan air permukaan, serta menanggulangi banjir, dan (iii) mengembangkan perekonomian wilayah yang produktif, efektif, dan efisien berdasarkan karakteristik wilayah bagi terciptanya kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan dan pembangunan yang berkelanjutan. Untuk mencapai tujuan ini, maka kebijakan penataan ruang Kawasan Jabodetabekpunjur adalah mewujudkan keterpaduan penyelenggaraan penataan ruang kawasan dalam

12

rangka keseimbangan antara pengembangan ekonomi dan pelestarian lingkungan hidup (PRPW UI, 2013 : 8).

Menurut Peraturan Presiden (Perpres) No. 54 tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur (Jabodetabekpunjur) telah mengharmoniskan tata ruang Jabodetabekjur, namun belum efektif meminimalisir masalah lingkungan dan mengharmoniskan perkembangan permukiman yang tumbuh dengan pesat karena Perpres tersebut belum diterapkan secara konsisten dan akurat (PRPW UI, 2013). Untuk itu alasan dibentuknya kebijakan Pengelolaan Terpadu Kawasan Megapolitan Jabodetabekjur yang bertujuan untuk memperkuat DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara, mewujudkan keterpaduan dalam penyelenggaraan penataan ruang antar daerah sebagai suatu kesatuan wilayah perencanaan, pemerataan pembangunan, dan mewujudkan keterpaduan dalam peningkatan daya dukung lingkungan yang berkelanjutan dalam pengelolaan kawasan (NA RUU Jabodetabekjur).

Berdasarkan uraian di atas, terdapat akar permasalahan yang sangat fundamental, yaitu substansi permasalahan Jabodetabekjur menyebar dalam wilayah fungsional, sedangkan kewenangan otonomi pemerintah daerah dalam wilayah Jabodetabekjur terdistribusi dalam wilayah administratif berbeda yang memiliki perbedaan derajat kewenangan otonomi daerah (Gambar 1.1).

Gambar 1.1. Model Akar Permasalahan di Kawasan Jabodetabekjur

Berdasarkan dari Gambar 1.1 di atas bahwa sampai saat ini pengelolaan Jabodetabekjur masih sulit untuk melakukan harmonisasi dan sinkronisasi. Kesulitan penerapan ini dikarenakan keunikan dan kompleksitas kawasan ini dibandingkan kawasan sejenis di Indonesia. Keunikan kawasan Jabodetabekjur ini utamanya karena adanya Jakarta sebagai Ibukota negara, wilayah Jabodetabekjur mencakup tiga (3) provinsi, mencakup pusat perekonomian dan pusat politik, serta berada dalam satu sistem daerah aliran sungai (Nurlambang, 2014 dalam NA RUU Jabodetabejur 2014 : 6).

Berdasarkan observasi awal yang peneliti lakukan pada tahun 2014, beberapa permasalahan diantaranya mengenai masalah (i) transportasi dan jalan, (ii) pemukiman dan lingkungan, (iii) banjir, (iv) urbanisasi dan ketimpangan sumber daya manusia, (v) kependudukan dan lainnya. Sejauh ini kita mengetahui bahwa kawasan Jabodetabekjur sangat akrab dengan permasalahan banjir dan kemacetan. Tidak hanya itu, menurut Najmulmunir, (narasumber dalam pembentukan program terpadu wilayah Jabodetabekjur)

14

dalam rapat internal dengan anggota Komite 1 DPD RI pada 27 Januari 2014, menyatakan bahwa akar masalah di Jabodetabekjur meliputi beberapa hal yaitu sebagai berikut; (i) wilayah Bodetabekjur sebagai basis pemukiman yang sangat luas menghindari kawasan kumuh, (ii) angka pertumbuhan penduduk yang tinggi disebabkan angka migrasi yang menimbulkan rasio penduduk dengan pelayanan dasar sangat terbatas, (iii) ketidakserasian dalam pembangunan jalan sering menimbulkan gangguan lalu lintas, dan buruknya kondisi jalan, (iv) benturan kepentingan antara kawasan resapan dan penyimpangan air dan kawasan pemukiman, sehingga menimbulkan genangan air dan banjir ketika musim penghujan tiba, (v) pergerakan orang, barang, dan jasa antara Bodetabekjur dengan Jakarta sangat lamban dan mahal yang disebabkan oleh kemacetan.

Menurut Sori (dalam FGD 18 Februari 2014) Wilayah Jabodetabekjur merupakan wilayah yang sangat cepat berkembang dan sudah menjadi satu kesatuan wilayah fungsional. Diantara faktor-faktor yang mempersatukan Jabodetabekjur sebagai kesatuan fungsional, yakni (i) Jaringan transportasi yang memfasilitasi interaksi sosial ekonomi antar wilayah, dimana DKI Jakarta berfungsi sebagai pusat pertumbuhannya. Hal ini membawa implikasi jika DKI Jakarta berperan sebagai pusat kegiatan, maka wilayah sekitar Jakarta berperan sebagai pusat pemukiman yang bergantung penuh secara sosial ekonomi pada Jakarta, serta menambah beban interaksi harian antar kota-kota baru tersebut dan Jakarta, (ii) Jaringan sungai yang mengintegrasikan ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung-Cisadane, yang terbagi atas

wilayah hulu yang terletak wilayah Bogor dan Depok, serta Wilayah hilir yang meliputi Jakarta, Tangerang dan Bekasi.

Jakarta merupakan kota terbesar di Indonesia. Sebagai Ibukota Negara, Jakarta memegang posisi sangat penting dalam hal politik, ekonomi, dan perdagangan. Kemacetan di Indonesia khususnya ibukota DKI Jakarta tidak dapat dihindari, terutama pada titik-titik persimpangan baik di jalan-jalan protokol hingga di jalan lingkungan. Semakin hari, kemacetan di Jakarta semakin parah. Sistem transportasi yang buruk di sebagian besar wilayah Jakarta telah menimbulkan kemacetan sangat parah. Kerugian akibat macet dari perhitungan kemacetan menyebabkan waktu yang terbuang percuma (nilai waktu), biaya bahan bakar, dan biaya kesehatan.

Berdasarkan data dari Yayasan Pelangi, kemacetan lalu lintas berkepanjangan di Jakarta menyebabkan pemborosan senilai Rp 8,3 triliun per tahun. Data yang sama diungkapkan Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Bambang Susantono, mengacu pada kajian Study on Integrated Transportation Master Plan for Jabodetabek (SITRAMP 2004). Perhitungan itu mencakup tiga aspek sebagai konsekuensi kemacetan, yakni pemborosan BBM akibat biaya operasional kendaraan senilai Rp 3 triliun, kerugian akibat waktu yang terbuang Rp 2,5 triliun, dan dampak kesehatan akibat polusi udara sebesar Rp 2,8 triliun. Angka kerugian akan terus meningkat secara gradual seiring kemacetan lalu-lintas yang semakin parah di Jakarta. Peningkatan penggunaan kendaraan bermotor menjadi pemicu utama problem kemacetan di Jakarta. Bahkan, hingga saat ini tercatat jumlah kendaraan bermotor sudah

16

mencapai 6,5 juta unit, di mana 6,4 juta unit atau 98,6 persen merupakan kendaraan pribadi dan 88.477 unit atau sekitar 1,4 persen adalah angkutan umum, dengan pertumbuhan kendaraan mencapai 11 persen setiap tahunnya. Sedangkan panjang jalan yang ada 7.650 Km dengan luas 40,1 Km2 atau 6,2% dari luas wilayah DKI, dengan pertumbuhan jalan hanya sekitar 0.01 % per tahun. Dari angka itu jelas pertumbuhan jalan tidak mampu mengejar pertumbuhan kendaraan, sehingga mengakibatkan kemacetan (http://bstp.hubdat.web.id/?mod=detilSorotan&idMenuKiri=345&idSorotan=5 4 15 Februari 2015).

Berdasarkan data yang peneliti dapatkan dari Focus Group Discussion ( 18 dan 19 Februari 2014) mengenai pengelolaan terpadu wilayah Jabodetabekjur dengan Komite 1 DPD RI dengan Kepala Daerah se- Jabodetabekjur, permasalahan kemacetan di Jakarta saat ini disebabkan oleh volume kendaraan di jalur Tol Merak - Tol Kota Jakarta semakin meningkat. Data tahun 2012 menunjukan bahwa kendaraan yang melewati tol Merak sebanyak 3.500 kendaraan dengan penumpang 25.000 orang perhari. Selain itu, pertumbuhan kendaraan pribadi di DKI sangat tinggi, sekitar 98,5%, belum termasuk pertumbuhan kendaraan angkutan umum. Kerugian kemacetan yang harus ditanggung masyarakat sekitar Rp. 35triliun/tahun (FGD 18 Februari 2014).

Selain itu, dari observasi yang peneliti lakukan pada bulan Februari 2014 salah satu penumpang Busway yang peneliti temui di halte koridor IX jurusan Pinang Ranti-Pluit, mengatakan bahwa saat ini jarak tempuh

masyarakat untuk sampai ke tempat kerja di salah satu Bank Swasta di daerah Slipi Jakarta Barat hingga kurang lebih dua sampai tiga jam. Padahal bila pada waktu normal jarak tempuhnya hanya 45 menit - 50 menit. Dari permasalahan ini tentu tidaklah efisien dan menurunkan semangat kerja akibat kelelahan dalam perjalanan.

Permasalahan kemacetan juga mengakibatkan laju pergerakan barang dan jasa menuju Pelabuhan Tanjung Priok juga memakan waktu yang tak jauh berbeda yakni dua sampai tiga jam yang semestinya hanya satu jam saja. Kemacetan yang terjadi tidak hanya di Jakarta. Namun sama halnya dengan daerah Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Jakarta sebagai pusat perdagangan barang dan jasa menjadi magnet bagi warga di wilayah Bodetabek untuk bekerja di Jakarta sehingga lalu lintas di Bodetabek menuju Jakarta setiap harinya selalu macet, terutama di jam-jam kerja (PRPW UI 2013 : 27). Salah satu pegawai Staf Rapat di Sekretariat Komite 1 DPD RI, Wahyu Taufik

Dokumen terkait