• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS KEBIJAKAN PENGELOLAAN TERPADU WILAYAH JAKARTA, BOGOR, DEPOK, TANGERANG, BEKASI, DAN CIANJUR (JABODETABEKJUR) SEBAGAI KAWASAN MEGAPOLITAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "ANALISIS KEBIJAKAN PENGELOLAAN TERPADU WILAYAH JAKARTA, BOGOR, DEPOK, TANGERANG, BEKASI, DAN CIANJUR (JABODETABEKJUR) SEBAGAI KAWASAN MEGAPOLITAN"

Copied!
241
0
0

Teks penuh

(1)

KAWASAN MEGAPOLITAN

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial pada Konsentrasi Kebijakan Publik

Program Studi Ilmu Administrasi Negara

Oleh : NURLITA

AMANIYAH

6661111919

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA

(2)
(3)
(4)
(5)

Wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur (Jabodetabekjur) sebagai Kawasan Megapolitan. Pembimbing I: Leo Agustino, Ph.D., dan Pembimbing II: Ipah Ema Jumiati, S.IP., M.Si.

(6)

Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, and Cianjur (Jabodetabekjur) as Megapolitan region. Advisor I : Leo Agustino, Ph.D., and advisor II: Ipah Ema Jumiati, S.IP., M.Si.

Integrated management policy of Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, and Cianjur (Jabodetabekjur) is the establishment policy of megapolitan region. This policy was made because many problems such as flood, population, transportation, traffic jam, housing, and others which can not be solved by DKI Jakarta only, but must be completed along with Bodetabekjur. The establishment of megapolitan region aims to support DKI Jakarta position as capital city of nation and to development equalization around Jakarta area. This policy was proposed by the Committee 1 of Regional Representatives Council of Indonesia (DPD RI). The research was conducted at General Secretariat of DPD and also in Jabodetabekjur area, that aims to analyze the establishment of Jabodetabekjur megapolitan region. The method used is descriptive with qualitative approach. To analyze integrated management policy of Jabodetabekjur, the researcher used public policy analysis model by Dunn, as follows formulating the problem, predicting, policy recomendation, policy monitoring, and policy evaluation. The results showed that the Jabodetabekjur megapolitan policy can not implement integrated. This situation because two factors. First, there is no institutional reinforcement inter-governmental in Jabodetabekjur to support the establishment of megapolitan region. Second, there is no agency selected to coordinating and monitoring this policy. Based on the results, the researchers suggest for all agencies to participate and coordinate in realizing Jabodetabekjur megapolitan region, as well as provide an opportunity for the public to participate and support the policy.

(7)

ii

(“Jika kamu sudah berazzam/Bertekad bulat, maka Bertawakkallah pada

Allah..!”) (QS.3:159)

“ketika aku bersujud dan kupanjatkan doa pada waktu siang dan malam kepada

Allah untuk Kesejahteraan, Allah memberikanku bekal ilmu untuk menjalani

hidup. Ketika ku memohon untuk hilangnya rasa takut dalam diri ini, Allah

memberikanku cobaan untuk aku carikan solusi, ketika ku memohon cinta, Allah

memberikanku tenaga untuk menolong orang-orang yang membutuhkan bantuan.

Dan ketika aku meminta keberhasilan, Allah memberikanku ribuan kali kegagalan

untuk aku terus mencoba dan berusaha. Sungguh Allah yang maha mengetahui

apa yang kita butuhkan, maka berdoa dan bertawakallah. Terimakasih ya

Allah…”

Untuk mereka yang selalu menyayangiku, kupersembahkan

karya kecilku ini teruntuk Ayah dan Mamah yang ku sayangi...

(8)

Puji dan syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah

melimpahkan nikmat, rahmat dan hidayah-Nya kepada peneliti untuk dapat

menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Analisis Kebijakan

Pengelolaan Terpadu Wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan

Cianjur (JABODETABEKJUR) Sebagai Kawasan Megapolitan”.

Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi syarat untuk mendapatkan

gelar sarjana Ilmu Sosial pada konsentrasi kebijakan publik program studi Ilmu

Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan

Ageng Tirtayasa.

Terima kasih atas dukungan dari berbagai pihak yang telah membantu

secara moril maupun materil dalam melakukan penelitian untuk kelancaran

penyusunan skripsi ini, secara khusus untuk doa yang tiada terputus dari kedua

orang tua atas jerih payah yang tulus ikhlas dalam mendidik. Sehubungan dengan

hal itu maka peneliti juga menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-

besarnya kepada yang terhormat :

1. Bapak Prof. Dr. Sholeh Hidayat, M.Pd., Rektor Universitas Sultan Ageng

Tirtayasa.

2. Bapak Dr. Agus Sjafari, S.Sos., M.Si., Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

3. Bapak Kandung Sapto Nugroho, S,Sos., M.Si., Wakil Dekan I Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

(9)

5. Bapak Gandung Ismanto, S,Sos., M.M., Wakil Dekan III Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

6. Ibu Rahmawati, S.Sos., M.Si., Ketua Program Studi Ilmu Administrasi

Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng

Tirtayasa.

7. Ibu Ipah Ema Jumiati, S.IP., M.Si., Sekretaris Program Studi Ilmu

Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Sultan Ageng Tirtayasa sekaligus sebagai Pembimbing II yang telah

memberikan banyak arahan dan masukan dalam penelitian ini.

8. Ibu Riny Handayani, M.Si., Dosen Pembimbing Akademik Program Studi

Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

9. Bapak Leo Agustino, Ph.D., selaku Pembimbing I yang selalu

mengarahkan, memberikan masukan atau kritikan yang membangun,

memberikan semangat, dan motivasi kepada peneliti.

10. Kepada rekan-rekan Sekjen DPD RI yang telah memberikan izin kepada

peneliti untuk melakukan penelitian, khususnya Komite 1 DPD RI. Terima

kasih atas bantuannya, motivasinya dan pengalaman yang luar biasa

sehingga peneliti dapat menyelesaikan penelitian ini.

(10)

diwawancara dan telah memberikan informasi serta data-data yang

dibutuhkan peneliti sehingga peneliti dapat menyelesaikan penelitian ini.

12. Terima kasih kepada kawan-kawan seperjuangan, teman-teman di kelas E

dan D, kemudian teman-teman ANE reguler ataupun non reguler angkatan

2011 yang telah mengajarkan banyak hal, berbagi pengalaman suka cita,

dan saling berbagi cerita semasa kuliah.

13. Terima kasih kepada kawan-kawan di HIMANE 2012 dan HIMANE 2013

yang telah memberikan pengalaman organisasi di dunia kampus serta

memberikan canda tawa dalam hidup peneliti.

14. Terima Kasih kepada kawan-kawan KKM 12 Desa Luwuk Kecamatan

Gunung Sari, Kabupaten Serang tahun 2014, yang pernah memberikan

warna dalam hidup peneliti.

15. Terima kasih untuk sahabat-sahabatku, teman-teman bermain, teman les,

teman diskusi, teman spesialku, adik tingkat, kakak tingkat dan semua

yang selalu memberikan support, semangat, doa dan motivasi kepada

peneliti. Thank you so much for all.

(11)

membangun guna sempurnanya skripsi ini. Peneliti berharap semoga skripsi ini

dapat bermanfaat bagi pembaca, khususnya untuk peneliti.

Serang, September 2015

Peneliti

Nurlita Amaniyah

(12)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

MOTTO DAN PERSEMBAHAN... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB 1 PENDAHULUAN ...1

1.1 Latar belakang ...1

1.2 Identifikasi masalah ...26

1.3 Pembatasan masalah...28

1.4 Rumusan Masalah ...29

1.5 Tujuan Penelitian ...30

1.6 Manfaat Penelitian ...30

1.7 Sistematika Penulisan...32

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA BERFIKIR DAN ASUMSI DASAR ...38

2.1 Tinjauan Pustaka ...38

2.1.1 Definisi Kebijakan Publik ...38

2.1.2 Tahap-tahap Kebijakan Publik ...42

(13)

2.4 Awal Pembentukan DPD RI ...62

2.4.1 Fungsi, Tugas, dan Wewenang DPD RI ...64

2.4.2 Alat Kelengkapan DPD RI ...65

2.5 Alasan Dibentuknya Kebijakan Pengelolaan Terpadu Wilayah Jabodetabekjur ...67

2.6 Penelitian Terdahulu ...70

2.7 Kerangka Berfikir...72

2.8 Asumsi Dasar Penelitian ...75

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ...76

3.1 Pendekatan dan Metode Penelitian ...76

3.2 Fokus Penelitian ...77

3.3 Lokasi Penelitian ...78

3.4 Variabel Penelitian ...79

3.4.1 Definisi Konsep...79

3.4.2 Definisi Operasional...80

3.5 Instrumen Penelitian...81

3.6 Informan Penelitian ...82

3.7 Teknik Pengolahan dan Analisis Data...85

3.8 Uji Keabsahan Data ...96

3.9 Jadwal Penelitian ...97

BAB IV PEMBAHASAN...98

4.1 Deskripsi Objek Penelitian ...98

4.1.1 Profil Provinsi Jawa Barat...107

(14)

4.1.3 Profil Provinsi Banten ...112

4.1.4 Profil Komite I DPD RI ...113

4.1.5 Kebijakan Pengelolaan Terpadu Jabodetabekjur ...116

4.2 Deskripsi Data ...121

4.2.1 Deskripsi Data Penelitian ...121

4.2.2 Deskripsi Informan Penelitian...123

4.2.3 Analisis Data ...125

4.3 Deskripsi Hasil Penelitian ...126

4.3.1 Analisis Kebijakan Pengelolaan Terpadu Wilayah Jabodetabekjur...127

4.4 Pembahasan Hasil Penelitian ...155

BAB V PENUTUP ...185

5.1 Kesimpulan ...185

5.2 Saran...187

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

(15)

1.1 Jumlah Laju Pertumbuhan Penduduk Jabodetabekjur ...22

2.1 Pendekatan Analisis Kebijakan...46

3.1 Pedoman Wawancara ...85

3.2 Informan Penelitian ...89

3.3 Jadwal Penelitian...97

4.1 Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat ...109

4.2 Daftar Anggota Komite I DPD RI ...113

4.3 Daftar Informan...124

4.4 Perbandingan Kewenangan Provinsi, Kab/Kota ...156

4.5 Program Pembangunan Terintegrasi Di Jabodetabek ...158

4.6 Permasalahan Di Jabodetabek...160

4.7 Program Pembangunan Jaringan Kereta Api di Jabodetabek ...176

(16)

1.1 Model Akar Permasalahan di Kawasan Jabodetabekjur ...13

2.1 Proses Analisis Kebijakanmenurut Dunn...45

2.2 Proses Dasar Analisis Kebijakan menurut Patton dan Savicky ...57

2.3 Bagan Kerangka Berfikir ...74

4.1 Sejarah perkembangan kerja sama pembangunan wilayah Jabodetabek ...120

4.2 Pola Perjalanan Harian di Wilayah Jabodetabek ...144

4.3 Kota-kota Baru di Jabodetabek tahun 2010 ...166

4.4 Rencana Umum Jaringan Angkutan Massal Berbasis Jalan ...175

(17)

1. Surat Permohonan Izin Penelitian

2. Catatan Lapangan

3. Pedoman Wawancara

4. Member Check

5. Catatan Wawancara

6. Peta Administrasi Jabodetabekjur

7. Daftar Hadir Bimbingan Skripsi

8. Dokumentasi Foto Hasil Penelitian

9. Daftar Riwayat Hidup

(18)

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Sejak era pasca-Soeharto dapat disebut sebagai kebangkitan kembali

gagasan desentralisasi. Gagasan tersebut menemukan signifikansinya seiring

melemahnya kekuasaan terhadap dengan tuntutan-tuntutan kepentingan

masyarakat. Sejak dimulainya otonomi daerah maka kewenangan tidak hanya

milik pemerintah pusat saja, melainkan pemerintah daerah juga memiliki

kewenangan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah, desentralisasi kekuasaan dilakukan melalui penyerahan

kepada pemerintah daerah wewenang atas seluruh bidang pemerintahan,

kecuali bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter

dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain. Selanjutnya digantikan

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 yang mengatur urusan pemerintahan

antara pusat dan daerah secara lebih tegas dan rinci.

Sejalan dengan tuntutan demokrasi guna memenuhi rasa keadilan

masyarakat di daerah, memperluas serta meningkatkan semangat dan kapasitas

partisipasi daerah dalam kehidupan nasional, serta untuk memperkuat Negara

Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka dalam rangka pembaharuan

konstitusi, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI)

(19)

membentuk sebuah lembaga perwakilan baru, yakni Dewan Perwakilan Daerah

Republik Indonesia (DPD RI), yang bertujuan sebagai lembaga negara yang

menjembatani hubungan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah.

Pembentukan DPD RI dilakukan melalui perubahan ketiga Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) pada bulan

November 2001.

Sejak perubahan itu, maka sistem perwakilan dan parlemen yang

berlaku di Indonesia berubah dari sistem trikameral menjadi sistem bikameral

(www.dpd.go.id./halaman-profil 15 Maret 2014). Sistem bikameral adalah

sistem parlemen atau lembaga legislatif yang terdiri atas dua kamar. Dalam hal

ini DPD RI masuk sebagai kamar kedua. Dengan perubahan ini diharapkan ada

keterwakilan dari distrik-distrik untuk duduk di satu kamar dan ikut mengawasi

kinerja dari kamar yang lain dari pemerintah pusat. Kelebihan sistem bikameral

tidak hanya melihat dari adanya dua kamar dalam satu parlemen, akan tetapi

juga dilihat dari proses pembuatan Undang-Undang yang semakin baik dengan

mekanisme double check (Budiardjo, 2005 : 180).

Perubahan tersebut tidak terjadi seketika, tetapi melalui tahap

pembahasan yang cukup panjang baik di masyarakat maupun di MPR RI,

khususnya di Panitia Ad Hoc I. Proses perubahan di MPR RI selain

memperhatikan tuntutan politik dan pandangan-pandangan yang berkembang

bersama reformasi, juga melibatkan pembahasan yang bersifat akademis,

dengan mempelajari sistem pemerintahan yang berlaku di negara-negara lain

(20)

pembahasan tersebut, berkembang kuat pandangan tentang perlu adanya

lembaga yang dapat mewakili kepentingan daerah, serta untuk menjaga

keseimbangan antardaerah dan antara pusat dengan daerah, secara adil dan

serasi. Gagasan dasar pembentukan DPD RI adalah keinginan untuk lebih

mengakomodasi aspirasi daerah dan sekaligus memberi peran yang lebih besar

kepada daerah dalam proses pengambilan keputusan politik untuk hal-hal

terutama yang berkaitan langsung dengan kepentingan daerah. Keinginan

tersebut berangkat dari indikasi yang nyata bahwa pengambilan keputusan

yang bersifat sentralistik pada masa lalu ternyata telah mengakibatkan

ketimpangan dan rasa ketidakadilan, dan diantaranya juga memberi indikasi

ancaman keutuhan wilayah negara dan persatuan nasional. Keberadaan unsur

Utusan Daerah dalam keanggotaan MPR RI selama ini (sebelum dilakukan

perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945) dianggap tidak memadai

untuk menjawab tantangan-tantangan tersebut (www.dpd.go.id./halaman-profil

15 Maret 2014).

Berdasarkan Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia

Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib DPD RI disebutkan bahwa DPD

adalah lembaga perwakilan daerah yang berkedudukan sebagai lembaga tinggi

negara yang terdiri atas wakil daerah provinsi yang dipilih melalui pemilihan

umum. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 92/PUU/-X/2012,

MK meneguhkan lima hal, yaitu : (i) DPD terlibat dalam pembuatan Program

Legislasi Nasional (Prolegnas); (ii) DPD berhak mengajukan RUU yang

(21)

bersama dengan DPR dan Presiden, termasuk dalam pembentukan RUU

Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; (iii) DPD

berhak membahas RUU secara penuh dalam konteks pasal 22D ayat (2) UUD

1945; (iv) pembahasan UU dalam konteks pasal 22D ayat (2) bersifat tiga

pihak, yaitu antara DPR, DPD, dan Presiden; (v) MK menyatakan bahwa

ketentuan dalam UU MD3 dan UU P3 yang tidak sesuai dengan tafsir MK atas

kewenangan DPD dengan sendirinya bertentangan dengan UUD 1945, baik

yang diminta maupun tidak.

Putusan MK tersebut telah mengubah paradigma proses pembuatan

undang-undang (law making process) yang semakin efisien. Dengan demikian,

khusus pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang menjadi mandat

konstitusi DPD hanya dilakukan tiga lembaga yaitu, DPR, Presiden, dam DPD.

Dalam penyusunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sebagai instrumen

perencanaan program pembentukan undang-undang merupakan bagian yang

tidak terpisahkan dari hak/kewenangan untuk mengajukan RUU yang dimiliki

DPD. Berdasarkan putusan MK tersebut, telah ditetapkan penyusunan baru

dalam mekanisme prolegnas.

Berdasarkan Undang-Undang MD3 No. 17 Tahun 2014 mengenai tugas

dan kewenangan MPR, DPR, DPD, dan DPRD bahwa DPD merupakan

lembaga legislatif yang dipilih melalui Pemilu. Dalam kewenangannya

menjalankan fungsi legislasi, DPD dapat mengajukan Rancangan Undang-

Undang dan memiliki kewenangan untuk ikut membahas RUU serta

(22)

mengajukan RUU maka DPD RI memiliki kewenangan dalam mengajukan

RUU yang berkaitan dengan bidang otonomi daerah, hubungan pusat dan

daerah, tata kelola, tata ruang, HAM dan lainnya. Berdasarkan UU MD3 tahun

2014 alat kelengkapan DPD RI dibagi menjadi ; (i) pimpinan, (ii) Panitia

Musyawarah, (iii) panitia kerja, (iv) Panitia Perancang Undang-Undang, (v)

Panitia urusan rumah tangga, (vi) Badan Kehormatan, (vii) alat kelengkapan

lainnya disesuaikan.

Sehubungan dalam menjalankan tugas dan fungsinya, DPD RI dibagi

dalam beberapa alat kelengkapan dan empat komite, yang masing-masing

memiliki peran dan bidang yang ditangani. Dalam penelitian ini, peneliti

memfokuskan pada Komite 1 DPD RI, yang menangani bidang sebagai berikut

: (i) Pemerintahan Daerah; (ii) Hubungan pusat dan daerah; (iii) Pembentukan,

pemekaran dan penggabungan daerah (iv) Pemukiman dan kependudukan (v)

Pertahanan dan tata ruang; (vi) Politik, hukum, HAM, dan ketertiban umum;

(vii) Permasalahan daerah di wilayah perbatasan negara

(www.dpd.go.id/alatkelengkapan/komite-i 15 Oktober 2014). DPD RI berada

di bawah naungan Sekretariat Jendral (Sekjen) DPD RI, bersama dengan alat

kelengkapan, dan sekretariat.

Pada penelitian kali ini, peneliti lebih fokus pada Komite 1 yang

menangani bidang otonomi daerah, pemekaran dan penggabungan wilayah.

Sesuai dengan Program Legislasi Nasional (Prolegnas), tahun 2014 Komite 1

DPD RI membahas dua Rancangan Undang-Undang (RUU), yakni RUU

(23)

Bogor, Depok Tangerang, Bekasi, dan Cianjur (Jabodetabekjur). Dari dua

RUU yang tengah dibahas oleh DPD, dalam penelitian ini peneliti akan

membahas lebih dalam mengenai analisis kebijakan pengelolaan terpadu

wilayah Jabodetabekjur sebagai kawasan megapolitan. Alasan peneliti

mengambil topik mengenai analisis kebijakan pengelolaan terpadu wilayah

Jabodetabekjur untuk mengetahui bagaimana sebenarnya nanti pembentukan

dari sebuah kawasan megapolitan yang diterapkan di Jabodetabekjur. Selain itu

pemilihan mengenai topik tersebut didukung dari data-data yang peneliti

dapatkan dari Komite 1 DPD RI. Sejak tahun 2012 Komite 1 DPD RI tengah

gencar mengadakan banyak kajian dan rapat kerja mengenai pembahasan RUU

tersebut hinga akhirnya peneliti tertarik untuk ikut mengangkat Pengelolaan

Terpadu Kawasan Megapolitan Jabodetabekjur sebagai topik dalam penelitian

ini.

Perkembangan kota tidak terlepas karena di dalamnya terdapat pola

hubungan antar manusia dan kelompok manusia, munculnya ruang-ruang

produksi dan distribusi bahkan sampai arena konflik, kota dapat berkembang

secara mekanik dan organik sesuai dengan karakteristiknya (Laksono, 2013

dalam PRPW UI 2013 : 6). Salah satu konsep metropolitan yang muncul di

Indonesia adalah Jabodetabekjur dimana Jakarta menjadi kota inti terhadap

perluasan wilayah ke arah Bogor, Depok, Tangerang, Puncak dan Cianjur

(Bodetabekjur). Wilayah Jabodetabekjur yang merupakan pengembangan

Kawasan Jakarta-Bogor-Tangerang-Bekasi (Jabotabek) yang dibentuk

(24)

tentang Pengembangan Kawasan Jabotabek. Perkembangan fisik kawasan ini

sudah diperkirakan sejak penyusunan Rencana Induk Jakarta tahun 1965-1985.

Di dalam dokumen tersebut dijelaskan, bahwa apabila Jakarta dibangun

berdasarkan rencana induk, maka dalam waktu yang relatif singkat, daerah

terbangun bagian-bagian kota Jakarta akan melampaui batas administrasi

sehingga mempengaruhi wilayah sekitarnya.

Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 54 tahun 2008 tentang

tata ruang Jabodetabekpunjur bahwa pada lingkup wilayah fungsional, yang

terbagi atas tiga (3) wilayah Provinsi, yang terdiri atas 15 Kabupaten dan Kota.

Di lain pihak, wewenang otonomi pemerintah daerah yang terlingkupi

memiliki kedudukan yang tidak sama, di DKI Jakarta terletak pada pemerintah

provinsi, sementara untuk wilayah dua provinsi lainnya terletak pada

kabupaten dan kota. Hal ini membawa pada konsekuensi fungsi koordinasi

serta kewenangan yang berbeda. Menelaah dari Perpres No. 54 tahun 2008

mengenai tata ruang Jabodetabekjur dibutuhkan suatu penyatuan regulasi

terkait sebagai kawasan megapolitan.

Regulasi keterkaitan penyatuan wilayah Jabodetabekjur tersebut

dilahirkan sejalan dengan Undang-Undang lain, meliputi ; UU No. 23 Tahun

2006 tentang administrasi kependudukan, UU No. 18 Tahun 2008 tentang

pengelolaan sampah, UU No. 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan

pengelolaan lingkungan hidup, dan UU No. 2 Tahun 2012 tentang pengadaan

tanah bagi kepentingan umum, UU No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

(25)

Pengelolaan Terpadu Kawasan Megapolitan Jabodetabekjur. Dalam

perkembangannya, wilayah Jakarta dan sekitarnya ternyata lebih cepat

dibandingkan dengan efektivitas regulasi yang mengaturnya. Hal ini

melahirkan kesenjangan antara obyek yang diatur dengan instrumen yang

mengaturnya. Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur

(Jabodetabekjur) secara faktual sudah menjadi satu kesatuan wilayah

fungsional. Diantara faktor-faktor yang menyatukan wilayah Jabodetabekjur

sebagai kesatuan wilayah fungsional adalah jaringan transportasi yang

memfasilitasi interaksi sosial ekonomi antarwilayah, dimana Daerah Kota

Istimewa (DKI) Jakarta berfungsi sebagai pusat pertumbuhannya. Hal ini

membawa implikasi bahwa jika DKI Jakarta berperan sebagai pusat kegiatan,

maka wilayah sekitar Jakarta berperan sebagai pusat pemukiman yang

bergantung penuh secara sosial ekonomi pada Jakarta, serta menambah beban

interaksi harian antar kota-kota baru tersebut dan Jakarta (NA RUU

Jabodetabekjur, 2014 : 3).

Secara historis, keberadaan wilayah Jabodetabekjur sebenarnya bukan

hal baru. Bahkan, semua daerah dalam wilayah tersebut semula adalah bagian

dari provinsi yang sama, yakni Jawa Barat. Namun pada tahun 2000, Banten

mengalami pemekaran wilayah menjadi Provinsi, sehingga wilayah Tangerang

menjadi bagian dari Provinsi Banten. Dengan demikian, selain secara

fungsional merupakan satu kesatuan ekosistem, Jabodetabekjur secara

administrasi sesungguhnya berawal dari satu kesatuan wilayah administrasi.

(26)

yang harmonis dan sinkron untuk mengatasi permasalahan di wilayahnya yang

dapat mengakomodasi Jabodetabekjur sebagai suatu kesatuan fungsional

(Sekretariat Komite 1 DPD RI, 2014).

Jabodetabekjur adalah sebuah kawasan yang merupakan gabungan

beberapa wilayah kota/kabupaten wilayah yang jaraknya dekat dengan Ibukota

Jakarta yakni, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur. Kawasan

Jabodetabekjur dikenal sebagai kawasan 3-O , yakni One Commnunity, One

Interest, One Center. Kawasan ini tidak hanya menyedot perhatian masyarakat

namun ternyata terjadi banyak permasalahan di dalamnya (RDPU Komite 1

DPD RI, 21 Januari 2014).

Berdasarkan definisi yang tercantum dalam UU No 26 tahun 2007

tentang Penataan Ruang, kawasan Jabodetabekjur sudah tergolong kawasan

megapolitan, yakni kawasan yang terbentuk dari dua (2) atau lebih kawasan

metropolitan yang memiliki hubungan fungsional dan membentuk sebuah

sistem. Kawasan metropolitan dalam UU tersebut didefinisikan sebagai

kawasan perkotaan yang terdiri atas sebuah kawasan perkotaan yang berdiri

sendiri atau kawasan perkotaan inti dengan kawasan perkotaan di sekitarnya

yang saling memiliki keterkaitan fungsional yang dihubungkan dengan sistem

jaringan prasarana wilayah yang terintegrasi dengan jumlah penduduk secara

keseluruhan sekurang-kurangnya satu juta (1.000.000) jiwa.

Sehubungan dengan dibentuknya kawasan megapolitan, terdapat

beberapa hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Menurut UU No 29

(27)

Republik Indonesia dan terletak di posisi hilir Daerah Aliran Sungai (DAS).

Sementara wilayah hulu DAS di Bogor dan Cianjur merupakan kawasan

lindung yang memiliki fungsi perlindungan terhadap wilayah yang terletak

dibawahnya termasuk terhadap DKI Jakarta. Oleh karena itu, kedudukan DKI

Jakarta dan wilayah sekitarnya sangat vital untuk diatur agar fungsi masing-

masing wilayah dapat terlaksana secara optimal dan sinergis.

Memandang Jabodetabekjur sebagai sebuah megapolitan, terdapat

perbedaan pandangan antara pemerintah daerah Provinsi di Jabodetabekjur.

Pemerintah Provinsi Jawa Barat memandang bahwa permasalahan di

Jabodetabekjur bersumber dari fungsi pelayanan wilayah sekitar terhadap DKI

Jakarta. Sehubungan dengan itu, Provinsi Jawa Barat memandang perlu

melakukan terobosan diantaranya dengan mengkonsep Twin Metropolitan

Jakarta dan Bodebek Karpur (Bogor-Depok-Bekasi-Karawang-Purwakarta)

yang berkembang secara mandiri. Sementara itu, Provinsi Banten

mengharapkan adanya pertumbuhan wilayah Tangerang yang mandiri dengan

pemukiman yang sukses, artinya kota yang mandiri disertai tumbuhnya

peluang usaha dan bekerja dan hidup yang layak sehingga tidak tergantung

pada DKI Jakarta.

Sejak tahun 1967, telah dibentuk Badan Kerjasama antar-Kota seluruh

Indonesia melalui Musyawarah antar-Kota Seluruh Indonesia (MAKSI) di

Gedung Merdeka, Bandung. Saat itu, yang terpilih sebagai ketua umum

MAKSI adalah Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, sedangkan Sekjen-nya

(28)

(alm). Salah satu tugas dan fungsi badan tersebut adalah mengelola

permasalahan daerah perbatasan antara Jabar dan DKI Jakarta, saat itu Banten

masih bagian wilayah administratif Provinsi Jabar. Sejak pemerintahan Ali

Sadikin, program pembangunan Megapolitan Jakarta-Jabar sudah mulai di

rencanakan. Pada intinya, program tersebut merupakan program kerjasama

pembangunan di perbatasan untuk membentuk sebuah kawasan ragulasi

wilayah Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek). Namun,

hingga pemerintahan provinsi DKI Jakarta dipimpin oleh Joko Widodo

(Jokowi) dan provinsi Jabar dipimpin oleh gubernur Ahmad Heryawan (Aher),

program tersebut masih belum dapat dilaksanakan secara optimal (FGD, 18

Februari 2014).

Pemerintah telah menetapkan tujuan penataan ruang kawasan strategis

ini, yakni untuk: (i) mewujudkan keterpaduan penyelenggaraan penataan ruang

antar daerah sebagai satu kesatuan wilayah perencanaan dengan

memperhatikan keseimbangan kesejahteraan dan ketahanan; (ii) mewujudkan

daya dukung lingkungan yang berkelanjutan dalam pengelolaan kawasan,

untuk menjamin tetap berlangsungnya konservasi air dan tanah, menjamin

tersedianya air tanah dan air permukaan, serta menanggulangi banjir, dan (iii)

mengembangkan perekonomian wilayah yang produktif, efektif, dan efisien

berdasarkan karakteristik wilayah bagi terciptanya kesejahteraan masyarakat

yang berkeadilan dan pembangunan yang berkelanjutan. Untuk mencapai

tujuan ini, maka kebijakan penataan ruang Kawasan Jabodetabekpunjur adalah

(29)

rangka keseimbangan antara pengembangan ekonomi dan pelestarian

lingkungan hidup (PRPW UI, 2013 : 8).

Menurut Peraturan Presiden (Perpres) No. 54 tahun 2008 tentang

Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak,

dan Cianjur (Jabodetabekpunjur) telah mengharmoniskan tata ruang

Jabodetabekjur, namun belum efektif meminimalisir masalah lingkungan dan

mengharmoniskan perkembangan permukiman yang tumbuh dengan pesat

karena Perpres tersebut belum diterapkan secara konsisten dan akurat (PRPW

UI, 2013). Untuk itu alasan dibentuknya kebijakan Pengelolaan Terpadu

Kawasan Megapolitan Jabodetabekjur yang bertujuan untuk memperkuat DKI

Jakarta sebagai Ibukota Negara, mewujudkan keterpaduan dalam

penyelenggaraan penataan ruang antar daerah sebagai suatu kesatuan wilayah

perencanaan, pemerataan pembangunan, dan mewujudkan keterpaduan dalam

peningkatan daya dukung lingkungan yang berkelanjutan dalam pengelolaan

kawasan (NA RUU Jabodetabekjur).

Berdasarkan uraian di atas, terdapat akar permasalahan yang sangat

fundamental, yaitu substansi permasalahan Jabodetabekjur menyebar dalam

wilayah fungsional, sedangkan kewenangan otonomi pemerintah daerah dalam

wilayah Jabodetabekjur terdistribusi dalam wilayah administratif berbeda yang

(30)

Gambar 1.1. Model Akar Permasalahan di Kawasan Jabodetabekjur

Berdasarkan dari Gambar 1.1 di atas bahwa sampai saat ini pengelolaan

Jabodetabekjur masih sulit untuk melakukan harmonisasi dan sinkronisasi.

Kesulitan penerapan ini dikarenakan keunikan dan kompleksitas kawasan ini

dibandingkan kawasan sejenis di Indonesia. Keunikan kawasan Jabodetabekjur

ini utamanya karena adanya Jakarta sebagai Ibukota negara, wilayah

Jabodetabekjur mencakup tiga (3) provinsi, mencakup pusat perekonomian dan

pusat politik, serta berada dalam satu sistem daerah aliran sungai

(Nurlambang, 2014 dalam NA RUU Jabodetabejur 2014 : 6).

Berdasarkan observasi awal yang peneliti lakukan pada tahun 2014,

beberapa permasalahan diantaranya mengenai masalah (i) transportasi dan

jalan, (ii) pemukiman dan lingkungan, (iii) banjir, (iv) urbanisasi dan

ketimpangan sumber daya manusia, (v) kependudukan dan lainnya. Sejauh ini

kita mengetahui bahwa kawasan Jabodetabekjur sangat akrab dengan

permasalahan banjir dan kemacetan. Tidak hanya itu, menurut Najmulmunir,

(31)

dalam rapat internal dengan anggota Komite 1 DPD RI pada 27 Januari 2014,

menyatakan bahwa akar masalah di Jabodetabekjur meliputi beberapa hal yaitu

sebagai berikut; (i) wilayah Bodetabekjur sebagai basis pemukiman yang

sangat luas menghindari kawasan kumuh, (ii) angka pertumbuhan penduduk

yang tinggi disebabkan angka migrasi yang menimbulkan rasio penduduk

dengan pelayanan dasar sangat terbatas, (iii) ketidakserasian dalam

pembangunan jalan sering menimbulkan gangguan lalu lintas, dan buruknya

kondisi jalan, (iv) benturan kepentingan antara kawasan resapan dan

penyimpangan air dan kawasan pemukiman, sehingga menimbulkan genangan

air dan banjir ketika musim penghujan tiba, (v) pergerakan orang, barang, dan

jasa antara Bodetabekjur dengan Jakarta sangat lamban dan mahal yang

disebabkan oleh kemacetan.

Menurut Sori (dalam FGD 18 Februari 2014) Wilayah Jabodetabekjur

merupakan wilayah yang sangat cepat berkembang dan sudah menjadi satu

kesatuan wilayah fungsional. Diantara faktor-faktor yang mempersatukan

Jabodetabekjur sebagai kesatuan fungsional, yakni (i) Jaringan transportasi

yang memfasilitasi interaksi sosial ekonomi antar wilayah, dimana DKI

Jakarta berfungsi sebagai pusat pertumbuhannya. Hal ini membawa implikasi

jika DKI Jakarta berperan sebagai pusat kegiatan, maka wilayah sekitar Jakarta

berperan sebagai pusat pemukiman yang bergantung penuh secara sosial

ekonomi pada Jakarta, serta menambah beban interaksi harian antar kota-kota

baru tersebut dan Jakarta, (ii) Jaringan sungai yang mengintegrasikan

(32)

wilayah hulu yang terletak wilayah Bogor dan Depok, serta Wilayah hilir yang

meliputi Jakarta, Tangerang dan Bekasi.

Jakarta merupakan kota terbesar di Indonesia. Sebagai Ibukota Negara,

Jakarta memegang posisi sangat penting dalam hal politik, ekonomi, dan

perdagangan. Kemacetan di Indonesia khususnya ibukota DKI Jakarta tidak

dapat dihindari, terutama pada titik-titik persimpangan baik di jalan-jalan

protokol hingga di jalan lingkungan. Semakin hari, kemacetan di Jakarta

semakin parah. Sistem transportasi yang buruk di sebagian besar wilayah

Jakarta telah menimbulkan kemacetan sangat parah. Kerugian akibat macet

dari perhitungan kemacetan menyebabkan waktu yang terbuang percuma (nilai

waktu), biaya bahan bakar, dan biaya kesehatan.

Berdasarkan data dari Yayasan Pelangi, kemacetan lalu lintas

berkepanjangan di Jakarta menyebabkan pemborosan senilai Rp 8,3 triliun per

tahun. Data yang sama diungkapkan Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia

(MTI) Bambang Susantono, mengacu pada kajian Study on Integrated

Transportation Master Plan for Jabodetabek (SITRAMP 2004). Perhitungan itu

mencakup tiga aspek sebagai konsekuensi kemacetan, yakni pemborosan BBM

akibat biaya operasional kendaraan senilai Rp 3 triliun, kerugian akibat waktu

yang terbuang Rp 2,5 triliun, dan dampak kesehatan akibat polusi udara

sebesar Rp 2,8 triliun. Angka kerugian akan terus meningkat secara gradual

seiring kemacetan lalu-lintas yang semakin parah di Jakarta. Peningkatan

penggunaan kendaraan bermotor menjadi pemicu utama problem kemacetan di

(33)

mencapai 6,5 juta unit, di mana 6,4 juta unit atau 98,6 persen merupakan

kendaraan pribadi dan 88.477 unit atau sekitar 1,4 persen adalah angkutan

umum, dengan pertumbuhan kendaraan mencapai 11 persen setiap tahunnya.

Sedangkan panjang jalan yang ada 7.650 Km dengan luas 40,1 Km2 atau 6,2%

dari luas wilayah DKI, dengan pertumbuhan jalan hanya sekitar 0.01 % per

tahun. Dari angka itu jelas pertumbuhan jalan tidak mampu mengejar

pertumbuhan kendaraan, sehingga mengakibatkan kemacetan

(http://bstp.hubdat.web.id/?mod=detilSorotan&idMenuKiri=345&idSorotan=5

4 15 Februari 2015).

Berdasarkan data yang peneliti dapatkan dari Focus Group Discussion (

18 dan 19 Februari 2014) mengenai pengelolaan terpadu wilayah

Jabodetabekjur dengan Komite 1 DPD RI dengan Kepala Daerah se-

Jabodetabekjur, permasalahan kemacetan di Jakarta saat ini disebabkan oleh

volume kendaraan di jalur Tol Merak - Tol Kota Jakarta semakin meningkat.

Data tahun 2012 menunjukan bahwa kendaraan yang melewati tol Merak

sebanyak 3.500 kendaraan dengan penumpang 25.000 orang perhari. Selain itu,

pertumbuhan kendaraan pribadi di DKI sangat tinggi, sekitar 98,5%, belum

termasuk pertumbuhan kendaraan angkutan umum. Kerugian kemacetan yang

harus ditanggung masyarakat sekitar Rp. 35triliun/tahun (FGD 18 Februari

2014).

Selain itu, dari observasi yang peneliti lakukan pada bulan Februari

2014 salah satu penumpang Busway yang peneliti temui di halte koridor IX

(34)

masyarakat untuk sampai ke tempat kerja di salah satu Bank Swasta di daerah

Slipi Jakarta Barat hingga kurang lebih dua sampai tiga jam. Padahal bila pada

waktu normal jarak tempuhnya hanya 45 menit - 50 menit. Dari permasalahan

ini tentu tidaklah efisien dan menurunkan semangat kerja akibat kelelahan

dalam perjalanan.

Permasalahan kemacetan juga mengakibatkan laju pergerakan barang

dan jasa menuju Pelabuhan Tanjung Priok juga memakan waktu yang tak jauh

berbeda yakni dua sampai tiga jam yang semestinya hanya satu jam saja.

Kemacetan yang terjadi tidak hanya di Jakarta. Namun sama halnya dengan

daerah Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Jakarta sebagai pusat

perdagangan barang dan jasa menjadi magnet bagi warga di wilayah Bodetabek

untuk bekerja di Jakarta sehingga lalu lintas di Bodetabek menuju Jakarta

setiap harinya selalu macet, terutama di jam-jam kerja (PRPW UI 2013 : 27).

Salah satu pegawai Staf Rapat di Sekretariat Komite 1 DPD RI, Wahyu Taufik

mengungkapkan kepada peneliti pada februari 2014 bahwa jarak rumahnya di

bilangan Depok untuk sampai ke kantor di Senayan waktu tempuh yang

seharusnya hanya sekitar satu jam mencapai dua jam perjalanan meskipun

sudah melalui jalan bebas hambatan tetapi tetap tidak dapat menghindari

kemacetan.

Permasalahan lainnya selain kemacetan adalah banjir. Problematika Ibu

Kota lainnya yang dapat mengakibatkan kemacetan adalah banjir. Banjir yang

cukup besar sudah dua kali melanda DKI Jakarta, yakni pada tahun 2007 dan

(35)

yang tersebar di 31 Kecamatan. Jumlah penduduk yang terendam 97.608 KK

atau 248.868 jiwa, pengungsi 18.018 jiwa. Kerugian banjir Jakarta 2007

diperkirakan Rp. 7,3 triliun, sedangkan kerugian banjir tahun 2013 sekitar Rp.

20 triliun. Problematika lainnya, menurut Sofwan Hadi (dalam Dongoran,

2013), hasil pengukuran tahun 1925-2003, permukaan air laut Jakarta selalu

naik rata-rata 0,5 cm setiap tahunnya, sebaliknya laju penurunan muka tanah

Jakarta mencapai 5 cm –12 cm setiap tahun di sejumlah titik tertentu (FGD, 19

Februari 2014).

Pada awal tahun 2015 ini, wilayah Jakarta kembali terkena banjir.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta telah mendata

korban meninggal akibat banjir yang terjadi di Jakarta dari tanggal 8 sampai 11

Februari 2015. Dari data sementara tersebut, tercatat tiga warga Jakarta Utara

dan satu warga Jakarta Pusat yang menjadi korban meninggal akibat banjir.

Jumlah warga yang terkena dampak banjir di Jakarta mencapai 6.569 jiwa.

Jumlah warga yang mengungsi sejumlah 815 jiwa. BPBD telah menyiapkan

beberapa lokasi pengungsian yang tersebar di beberapa tempat. Lokasi yang

digunakan sebagai tempat pengungsian beragam, seperti kantor kelurahan,

rumah sakit terdekat, bangunan sekolah, sampai pos RW dijadikan sebagai

tempat pengungsian untuk para korban bencana banjir

(http://megapolitan.kompas.com/read/2015/02/13/1604443/Tiga.Warga.Jakarta

(36)

Banjir kerap kali datang ketika musim penghujan datang. Banjir di

Jakarta selalu rutin selalu datang setiap tahunnya. Banjir tidak hanya

merendam hampir setiap pemukiman warga, melainkan hingga menelan korban

jiwa. Dari data yang peneliti dapatkan dari Dinas Kesehatan DKI Jakarta

(dalam PRPW UI 2013), selama terjadi maupun pascabanjir awal tahun 2014

lalu, setidaknya tercatat 40.360 orang terserang penyakit, serta 15 orang

meninggal dunia di DKI Jakarta yang diakibatkan bencana banjir. Banjir yang

datang dinilai sebagai ulah dari masyarakatnya itu sendiri. Masyarakat Jakarta

dinilai kurang memahami bahaya kuman terhadap kesehatan keluarga dan

seluruh lapisan masyarakat. Salah satu contohnya, masih kerap kali ditemui ada

masyarakat yang membuang sampah sembarangan. Kebiasaan buruk ini tidak

hanya merugikan diri sendiri, tetapi juga merugikan lingkungan. Banjir yang

datang setiap tahunnya harus segera diminimalisir agar tidak terlalu banyak

mengalami kerugian.

Permasalahan banjir ini tidak hanya merendam wilayah DKI Jakarta,

melainkan wilayah Bodetabekjur juga terkena imbasnya. Banjir di wilayah

Jabodetabekjur disebabkan oleh meluapnya air di sungai Ciliwung yang

panjangnya terbentang dari Bogor hingga Tangerang. Hulu sungai Ciliwung

berada di Bogor dan hilirnya berada di Tangerang yakni Kali Cisadane.

Menurut Plt. Gubernur Provinsi Banten, Bapak Rano menjelaskan, banjir yang

terjadi di wilayah Tangerang akibat dari meluapkan air dari kali Cisadane yang

(37)

Pertumbuhan penduduk yang tinggi di sekitar DKI Jakarta akibat

migrasi, serta terbatasnya kemampuan pemerintah dalam menyediakan

perumahan dan kesempatan kerja telah menyebabkan alih fungsi lahan

pertanian ke fungsi non pertanian, yang selanjutnya menimbulkan dampak

turunan berupa erosi, sedimentasi sungai, pencemaran, yang semuanya

berakumulasi pada masalah banjir, kesehatan, serta kerugian ekonomi dan

infrastruktur (FGD 18-19 Feb 2014).

Seperti diketahui, Jakarta merupakan daerah yang dilewati oleh tiga

belas aliran sungai, namun karena adanya penggabungan sungai-sungai tertentu

maka sungai yang bermuara ke Teluk Jakarta berjumlah sepuluh sungai. Tiga

belas sungai tersebut yaitu Kali Mookervart, Kali Angke, Kali Pesanggrahan,

Kali Grogol, Kali Krukut, Kali Baru Barat, Kali Ciliwung, Kali Cipinang, Kali

Sunter, Kali Baru Timur, Kali Buaran, Kali Jati Kramat, dan Kali Cakung.

Sedangkan dua (2) kanal besar yang ada yaitu Kanal Banjir Barat dan Kanal

Banjir Timur. Aliran air yang melewati wilayah ini yang mana apabila tidak

ditata kelola dengan baik akan mengakibatkan permasalahan seperti halnya

banjir di kawasan hilir sungai (PRPW UI 2013 : 21).

(38)

sebagai berikut: (i) Peningkatan temperatur rata-rata pada tahun 2035 di kapasitas adaptif (adaptive capacity) masyarakat Jakarta diperkirakan70,4%, Depok 62,6%, Bogor 50,2%. Kapasitas adaptif didefinsikan sebagai kemampuan masyarakat beradaptasi pada perubahan yang terjadi. Dampak bencana iklim diperkirakan akan meningkatkan intensitas permasalahan wilayah Jakarta dan sekitarnya di kemudian hari (Susandi, dalam NA RUU Jabodetabekjur 2014 : 8).

Kemudian permasalahan lainnya yaitu kepadatan penduduk yang

terpusat di Jakarta. Permasalahan ini tentu akan menimbulkan efek domino bila

tidak segera diatasi. Kepadatan penduduk di Jakarta disebabkan salah satunya

dengan banyaknya penduduk yang berasa dari luar daerah Jakarta yang bekerja

dan menggantungkan harapan ekonominya di Jakarta. Setiap tahunnya

perumbuhan penduduk Jakarta semakin mengalami peningkatan dan

mengalami kepadatan pertumbuhan penduduk serta mobilitas penduduk di

Jakarta diakibatkan karena Jakarta menjadi pusat dari kegiatan ekonomi dan

pertukaran barang dan jasa yang menyedot perhatian masyarakat di sekitar

wilayah Bodetabekjur untuk datang dan bekerja di Jakarta. Kawasan

Jabodetabek secara keseluruhan memiliki jumlah penduduk sebesar 31.681.555

jiwa (PRPW UI,2013 : 23). Laju pertumbuhan penduduk DKI Jakarta

mencapai 1,03 % sedangkan tingkat pertumbuhan penduduk kabupaten atau

(39)

Tabel 1.1 Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk Jabodetabekjur

Berdasarkan tabel 1.1 di atas, terlihat pertumbuhan penduduk dan

mobilitas warga yang tinggi namun tidak diimbangi dengan penyediaan sarana

dan prasarana transportasi yang memadai. Menurut Dinas Perhubungan DKI

Jakarta (dalam PRPW UI,2013), laju pertambahan jalan di Jabodetabek hanya

0,01% per tahun, sedangkan laju pertambahan kendaraan mencapai 11% per

tahun.

Permasalahan yang banyak terjadi di wilayah Jabodetabekjur, Komite

1 DPD RI akan mengkaji lebih dalam mengenai pembentukan kawasan

(40)

sebagai salah satu kawasan di Indonesia yang memenuhi kriteria sebagai

kawasan megapolitan.

Sehubungan dengan pembuatan Kebijakan Pengelolaan Terpadu

Kawasan Megapolitan Jabodetabekjur yang merupakan salah satu program

kerja dari Komite 1 DPD RI, maka Komite 1 DPD RI akan mengkaji lebih

dalam dan mengusungkan kebijakan ini untuk dibentuk sebagai RUU dan

menjadikan sebagai UU yang sah kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Untuk mengoptimalkan kebijakan ini menjadi sebuah RUU Kawasan

Megapolitan Jabodetabekjur ini Komite 1 membentuk Tim Kerja (Timja).

Timja dibentuk mengingat banyak RUU dan permasalahan lain yang tengah

dibahas di Komite 1, seperti RUU pengadilan Agraria dan penyusunan Daerah

Otonom Baru (DOB). Untuk itu peneliti ingin mengkaji lebih dalam,

mengetahui dan menganalisis bagaimana Kebijakan Pengelolaan Terpadu

Wilayah Jabodetabekjur. Selain dibentuknya Timja, Komite 1 DPD RI

mengundang orang-orang yang ahli dan kompeten di bidang pembangunan dan

penataan kota sebagai narasumber dalam pembuatan RUU tersebut untuk

membentuk sebuah kawasan megapolitan.

Selain mengundang narasumber, permasalahan yang telah diuraikan

diatas telah direspon melalui beberapa prinsip yang disepakati oleh Komite 1

DPD RI, perwakilan pemerintah daerah baik Provinsi, Kabupaten/Kota di

kawasan Jabodetabekjur (kecuali Kota Depok yang berhalangan hadir) dalam

Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan DPD RI pada tanggal

(41)

1. FGD menyepakati untuk memperkuat kerjasama antara DPD RI

khususnya Komite I sebagai alat kelengkapan DPD RI yang

membidangi otonomi daerah dengan Pemerintah Daerah Provinsi

DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Banten, Kabupaten

Bogor, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Tangerang, Kota Bogor, Kota

Bekasi, Kota Tangerang Selatan, Kabupaten Cianjur.

2. Kerjasama sebagaimana dimaksud pada point 1 merupakan kerjasama

yang diarahkan untuk memberikan perbaikan bagi percepatan

pembangunan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat

dan daerah sebagaimana tujuan bangsa Indonesia.

3. FGD tersebut menyepakati untuk melakukan diskusi lebih lanjut dan

mendalam di kemudian hari terkait inisiatif DPD RI untuk menyusun

RUU Jabodetabekjur sebagai upaya menata dan memperkuat

pengelolaan kawasan DKI Jakarta sebagai Ibukota negara Republik

Indonesia beserta kawasan sekitarnya serta mengantisipasi

timbulnya dampak negatif pembangunan.

4. Seluruh pemikiran-pemikiran yang berkembang dalam FGD tersebut

merupakan pijakan utama dalam rangka penyempurnaan kebijakan

penataan Ibukota Negara beserta kawasan megapolitan yang terus

berkembang pesat dewasa ini.

5. FGD tersebut menyepakati untuk memperkuat kelembagaan

koordinasi antar daerah yang saat ini telah berjalan serta upaya untuk

(42)

beberapa kawasan strategis di wilayah Jabodetabekjur.

Begitu juga kesepakatan telah dicapai dalam FGD yang

diselenggarakan DPD RI pada tanggal 19 Februari 2014 antara Kementerian

Dalam Negeri, Kementerian PPN/BAPPENAS, Kementerian Keuangan,

Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Perumahan Rakyat, Kementerian

Lingkungan Hidup RI, dan Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional RI: "FGD

tersebut (19 Februari 2014) menyepakati Komite 1 DPD RI untuk melakukan

kajian secara mendalam dan menyeluruh termasuk berbagai peraturan

perundang-undangan terkait dengan inisiatif DPD RI untuk menghasilkan

kesimpulan Naskah Akademis RUU Kawasan Megapolitan Jabodetabekjur

sebagai upaya untuk menata dan memperkuat pengelolaan DKI Jakarta sebagai

Ibu Kota Negara Republik Indonesia beserta kawasan sekitarnya serta

mengantisipasi timbulnya dampak negatif pembangunan".

Undang-Undang pembentukan kawasan Jabodetabekjur sebagai

kawasan megapolitan ini penting karena menyangkut pengaruh sangat penting

secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara,

ekonomi, sosial, budaya, dan atau lingkungan dan memiliki masalah mendasar

pada lintas wilayah provinsi dan lintas kabupaten kota.

Berdasarkan uraian permasalahan di atas, peneliti ingin mengetahui

lebih dalam dan menganalisis kebijakan pengelolaan terpadu kawasan

megapolitan. Untuk mengetahui terkait teori dan metode dalam Analisis

(43)

megapolitan ini akan di bahas pada bab selanjutnya.

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian yang telah peneliti ungkapkan dalam latar belakang

masalah, peneliti dapat mengidentifikasi beberapa masalah-masalah mengenai

permasalahan di Jabodetabekjur. Seperti telah kita ketahui di atas permasalahan

di Jabodetabekjur sebagian besar dari adanya ketimpangan-ketimpangan atas

pembangunan di Jakarta dengan wilayah sekitar Jakarta. Akibat dari mobilitas

dan urbanisasi sehingga banyak menimbulkan problematika di Jakarta, sebut

saja kemacetan. Ketika kita memasuki wilayah Jakarta tentu tak asing lagi

dengan kemacetan. Deretan panjang kendaraan akan terus bertambah di

sepanjang jalan, sehingga membuat laju kendaraan sangat lamban dan waktu

tempuh semakin lama. Angka pertumbuhan penduduk dan mobilitas warga

yang tinggi tidak diimbangi dengan penyediaan sarana dan prasarana

transportasi yang memadai sehingga menyebabkan kemacetan di jam-jam

tertentu. Jakarta merupakan pusat dari kegiatan ekonomi yang banyak

menyedot perhatian masyarakat di sekitaran wila yah Bodetabekjur. Selain

masalah kemacetan, yakni masalah lainnya adalah pertumbuhan penduduk

yang tinggal di sekitaran wilayah Jakarta. Akibat dari bertambahnya jumlah

dan mobilitas penduduk, sumber daya air pun ikut mulai mengalami defisit.

Problematika Ibu Kota lainnya yang dapat mengakibatkan kemacetan

adalah banjir. Banjir yang cukup besar sudah dua kali melanda DKI Jakarta,

(44)

2015 ini Jakarta kembali dilanda banjir besar.

Pada intinya, program tersebut merupakan program kerjasama

pembangunan di wilayah perbatasan Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi

(Jabodetabek). Hingga Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta dipimpin oleh Joko

Widodo (Jokowi), Provinsi Jabar dipimpin oleh gubernur Ahmad Heryawan

(Aher), dan Banten dipimpin oleh Ratu Atut Chosiyah, program tersebut masih

belum optimal. Artinya kurangnya koordinasi antar pemerintah daerah dan

lembaga lainnya akibat dari adanya perbedaan derajat otonomi daerah.

Oleh karena itu, dalam pembuatan kebijakan Pengelolaan Terpadu

Wilayah Jabodetabekjur sebagai kawasan megapolitan ini harus adanya kerja

sama dan harmonisasi seluruh elemen, baik dari pemerintah maupun

masyarakat dan lembaga kementerian terkait. Kerja sama ini bertujuan untuk

mengoptimalkan pembangunan kawasan megapolitan di Jabodetabekjur. Selain

itu bertujuan untuk menguatkan DKI Jakarta sebagai Ibukota negara. Dalam

hal ini harus adanya kesesuaian dan harmonisasi dari Pemprov DKI Jakarta,

Jabar dan Banten dalam membentuk sebuah kawasan megapolitan.

Berdasarkan apa yang telah dipaparkan di atas, menandakan bahwa

banyak permasalahan yang terjadi di wilayah Jabodetabekjur yang diakibatkan

kurangnya koordinasi dari para stakeholder. Untuk membuat sebuah kawasan

megapolitan di Jabodetabekjur dibutuhkan kerja sama dari seluruh elemen

pemerintah dan masyarakat. Dalam hal ini Komite 1 DPD RI sebagai lembaga

(45)

membuat RUU Kawasan megapolitan Jabodetabekjur. Dengan berbagai

permasalah pelik yang terdapat dalam latar belakang masalah, peniliti dapat

mengidentifikasi permasalahan sebagai berikut :

1. Kurangnya koordinasi antar pemerintah Provinsi, kabupaten/kota di

wilayah Jabodetabekjur

2. Ketimpangan pembangunan di Jakarta dengan wilayah Bodetabekjur

3. Jakarta sebagai pusat dari kegiatan ekonomi

4. Belum adanya penyatuan Jabodetabekjur sebagai satu regulasi dari

kementerian/badan yang di tunjuk

5. Kemacetan dan pengelolaan transportasi umum

6. Banjir dan degradasi kualitas lingkungan hidup

7. Urbanisasi dan ketimpangan sumber daya manusia

1.3 Pembatasan Masalah

Dengan munculnya masalah-masalah di wilayah Jabodetabekjur

sebagaimana dikemukakan di atas, membuat peneliti tertarik untuk

menganalisis Kebijakan Pengelolaan Terpadu Wilayah Jabodetabekjur. Akan

tetapi mengingat adanya keterbatasan waktu, tenaga dan dana, maka tidak

mungkin untuk mengkaji semua masalah yang telah disebutkan dilatar

belakang masalah. Oleh karena itu peneliti membatasi pengkajian ini pada

beberapa masalah, yakni:

1. Sejauh mana pengkajian Komite 1 DPD RI dalam pengambilan

keputusan untuk mengatasi permasalahan di Jabodetabekjur, meliputi

(46)

gagasan apa yang ditawarkan dalam pembentukan kawasan

Jabodetabekjur sebagai kawasan Megapolitan.

2. Bagaimana kerjasama antar lembaga Kementerian dan pemerintah

daerah dengan DPD RI di wilayah Jabodetabekjur dalam pembentukan

Kebijakan Pengelolaan Terpadu Kawasan Megapolitan Jabodetabekjur,

dan apakah terjadi ketimpangan atau ketidakharmonisan antara DPD RI

dengan pemerintah daerah Jabar, DKI Jakarta dan Banten dalam proses

pembuatan pembentukan kawasan Jabodetabekjur sebagai kawasan

Megapolitan.

3. Bagaimana tahapan-tahapan yang dibuat oleh Komite 1 DPD RI dengan

dalam pembuatan kebijakan pengelolaan terpadu wilayah

Jabodetabekjur sebagai kawasan Megapolitan.

1.4 Rumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah dan identifikasi masalah yang telah

peneliti buat, maka masalah penelitian ini penulis rumuskan sebagai berikut,

Bagaimana Analisis Kebijakan Pengelolaan Terpadu wilayah Jakarta, Bogor,

Depok, Tangerang, Bekasi, Cianjur (Jabodetabekjur) sebagai kawasan

(47)

1.5 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujun untuk mengetahui lebih dalam dan menganalisis

Kebijakan Pengelolaan Terpadu Wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang,

Bekasi, Cianjur (Jabodetabekjur) sebagai kawasan Megapolitan. Selain itu

penelitian ini diajukan sebagai salah satu tugas akhir dan syarat untuk

memperoleh gelar sarjana ilmu sosial pada konsentrasi kebijakan publik,

program studi ilmu administrasi negara.

1.6 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan informasi yang dapat

memberikan kemanfaatan sebagai berikut:

a. Secara Teoritik

Secara teoritik penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu

pengetahuan dan pengalaman penelitian dalam pengembangan Ilmu

Administrasi Negara khususnya dalam teori-teori kebijakan publik,

analisis kebijakan publik, menejemen strategi, pembangunan kota,

ilmu politik ataupun pengambilan keputusan dalam organisasi

publik. Sehingga ada keterbukaan informasi kepada publik

khususnya para mahasiswa ilmu administrasi Negara mengenai

tugas dan wewenang dari DPD RI. Dari keterbukaan infomasi

tersebut, publik pun akan dapat menilai bagaimana kinerja dari

(48)

b. Secara Praktisi

Secara praktisi penelitian ini diharapkan dapat memperluas

pengetahuan mengenai peran dan fungsi DPD RI khususnya Komite

1 sebagai salah satu lembaga tinggi negara yang memiliki fungsi

legislatif dan memiliki kewenangan berperan untuk ikut serta dalam

membentuk kawasan megapolitan di Indonesia. dan meningkatkan

kesejahteraan masyarakat di Provinsi DKI Jakarta, Jabar dan

Banten. Manfaat penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai

informasi, referensi, atau sebagai bahan tambahan dalam pengkajian

pembentukan sebuah kawasan megapolitan di Indonesia bagi

pembaca dan mahasiswa Ilmu administrasi negara dan pada

(49)

1.7 Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Latar belakang masalah menjelaskan mengapa peneliti

mengambil judul penelitian tersebut, juga menggambarkan

ruang lingkup dan kedudukan masalah yang akan diteliti yang

tentunya relevan dengan judul yang diambil. Materi dari uraian

ini, dapat bersumber dari hasil penelitian yang sudah ada

sebelumnya, hasil seminar ilmiah, hasil pengamatan,

pengalaman pribadi, dan intuisi logik. Latar belakang timbulnya

masalah perlu diuraikan secara jelas, faktual dan logik.

1.2 Identifikasi Masalah

Mendeteksi aspek permasalahan yang muncul dan berkaitan dari

judul penelitian atau dengan masalah atau variable yang akan

diteliti. Identifikasi masalah biasanya dilakukan pada studi

pendahuluan pada objek yang diteliti, observasi dan wawancara

ke berbagai sumber sehingga semua permasalahan dapat

diidentifikasi.

1.3 Rumusan Masalah dan Pembatasan Masalah

Menetapkan masalah yang paling penting dan berkaitan dengan

judul penelitian. Kalimat yang biasa dipakai dalam pembatasan

(50)

adalah mendefinisikan permasalahan yang telah ditetapkan

dalam bentuk definisi konsep dan definisi operasional.

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian mengungkapkan tentang sasaran yang ingin

dicapai dengan dilaksanakannya penelitian, terhadap masalah

yang telah dirumuskan.Isi dan rumusan tujuan penelitian sejalan

dengan isi dan rumusan masalah.

1.5 Manfaat Penelitian

Menggambarkan tentang manfaat penelitian baik secara praktis

maupun teoritis.

BAB II DESKRIPSI TEORI DAN ASUMSI DASAR PENELITIAN

2.1 Deskripsi Teori

Mengkaji berbagai teori yang relevan dengan permasalahan

variable penelitian, kemudian menyusunnya secara teratur dan

rapi yang digunakan untuk merumuskan masalah.

2.2 Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu adalah kajian penelitian yang pernah

dilakukan oleh peneliti sebelumnya yang dapat diambil dari

berbagai sumber ilmiah, seperti skripsi, tesis, jurnal ataupun

(51)

2.3 Kerangka Berpikir

Kerangka berpikir menggambarkan alur pikiran penelitian

sebagai kelanjutan dari kajian teori untuk memberikan

penjelasan kepada pembaca.

2.4 Asumsi Dasar Penelitian

Menyajikan prediksi penelitian yang akan dihasilkan sebagai

hipotesa kerja yang mendasari penulisan sebagai landasan awal

penelitian.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Sub bab ini menjelaskan metode yang digunakan dalam

penelitian

3.2 Instrumen Penelitian

Sub bab ini menjelaskan tentang proses penyusunan dan jenis

alat pengumpul data yang digunakan. Dalam penelitian kualitatif

instrumennya adalah peneliti itu sendiri.

3.3 Penentuan Informan

Sub bab ini menjelaskan tentang orang yang dijadikan sumber

untuk mendapatkan data dan sumber yang diperlukan dalam

penelitian. Dapat diperoleh dari kunjungan lapangan yang

dilakukan di lokasi penelitian, dipilih secara purposive dan

(52)

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Menguraikan teknik pengumpulan data hasil penelitian dan cara

menganalisis yang telah diolah dengan menggunakan teknik

pengolahan data sesuai dengan sifat data yang diperoleh, melalui

pengamatan, wawancara, dokumentasi dan bahan-bahan visual.

3.5 Teknik Analisis Data

Sub bab ini menggambarkan tentang proses penyederhanaan data

ke dalam formula yang sederhana dna mudah dibaca serta mudah

diinterpretasi, maksudnya analisis data di sini tidak saja

memberikan kemudahan interpretasi, tetapi mampu memberikan

kejelasan makna dari setiap fenomena yang diamati, sehingga

implikasi yang lebih luas dari hasil penelitian dapat dijadikan

sebagai bahan simpulan akhir penelitian. Analisis data dapat

dilakukan melalui pengkodean dan berdasarkan kategorisasi data.

3.6 Keabsahan Data

Sub bab ini menggambarkan sifat keabsahan data dilihat dari

objektifitas dalam subjektivitas. Untuk dapat mendapat data yang

objektif berasal dari unsur subjektivitas objek penelitian, yaitu

bagaimana menginterpretasikan realitas sosial terhadap fenomena-

(53)

3.7 Lokasi Penelitian

Tempat yang dijadikan penelitian, dalam hal ini adalah Kantor

Sekretariat Jendral DPD RI. Terletak di Jalan Jendral Gatot

Subroto No. 6 Jakarta.

3.8 Jadwal Penelitian

Menjelaskan tentang tahapan waktu penelitian.

BAB IV HASIL PENELITIAN

4.1 Deskripsi Objek Penelitian

Menjelaskan tentang objek penelitian yang meliputi lokasi

penelitian secara jelas, struktur organisasi dari populasi atau

sampel yang telah ditentukan serta hal lain yang berhubungan

dengan objek penelitian.

4.2 Hasil Penelitian

Menjelaskan hasil penelitian yang telah diolah dari data mentah

dengan menggunakan teknik analisis data kualitatif.

4.3 Pembahasan

Merupakan pembahasan lebih lanjut terhadap hasil analisis data

dan wawancara narasumber.

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Menyimpulkan hasil penelitian yang diungkapkan secara

singkat, jelas, sejalan dan sesuai dengan permasalahan serta

(54)

5.2 Saran

Berisi rekomendasi dari peneliti terhadap tindak lanjut dari

sumbangan penelitian terhadap bidang yang diteliti baik secara

teoritis maupun praktis.

DAFTAR PUSTAKA

Memuat daftar referensi (literatur lainnya) yang digunakan dalam

penyusunan skripsi, daftar pustaka hendaknya menggunakan literatur

yang mutakhir.

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Memuat tentang hal-hal yang perlu dilampirkan untuk menunjang

penyusunan laporan penelitian maupun penyususnan skripsi, seperti

Lampiran tabel-tabel, Lampiran grafik, Instrumen penelitian, Lampiran

(55)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA BERFIKIR DAN

ASUMSI DASAR

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Definisi Kebijakan Publik

Pada penelitian ini mengenai analisis Kebijakan Pengelolaan Terpadu

Wilayah Jabodetabekjur yang diusung oleh Komite 1 Dewan Perwakilan

Daerah (DPD) sebagai lembaga legislatif yang memiliki kewenangan membuat

kebijakan. Untuk itu sebelum menganalisis kebijakan yang dibuat tersebut

sebaiknya kita membahas lebih jauh mengenai bagaimana konsep kebijakan

publik, kita perlu mengkaji terlebih dahulu mengenai definisi dari kebijakan

publik itu sendiri. Dalam penelitian Analisis Kebijakan Pengelolaan Terpadu

Wilayah Jabodetabekjur tentu tidak terlepas dari bagian dalam proses

perumusan kebijakan publik, untuk itu sebaiknya lebih dulu memahami

definisi kebijakan dan konsep kebijakan publik. Banyak sumber yang berasal

dari para ahli yang memberikan beberapa pengertian dari definisi kebijakan,

berikut definisi kebijakan ;

Menurut Frederick sebagaimana dikutip dari Agustino (2008 : 7)

mendefinisikan kebijakan sebagai serangkaian tindakan/kegiatan yang

diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan

tertentu dimana terdapat hambatan-hambatan (kesulitan-kesulitan) dan

(56)

kesempatan-kesempatan terhadap pelaksanaan usulan kebijakan tersebut dalam

rangka mencapai tujuan tertentu. Pendapat ini juga menunjukan bahwa ide

kebijakan harus melibatkan perilaku yang memiliki maksud dan tujuan

merupakan bagian yang terpenting dalam definisi kebijakan, karena

bagaimanapun kebijakan harus menunjukan apa yang sesungguhnya

dikerjakan dari apa yang diusulkan dalam beberapa kegiatan pada suatu

masalah.

Menurut Richard (dalam Winarno 2007 : 17) bahwa kebijakan

dipahami sebagai serangkaian kegiatan yang sedikit banyak berhubungan serta

konsekuensi-konsekuensi bagi mereka yang bersangkutan sebagai keputusan

yang berdiri sendiri.

Dari beberapa pendapat di atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa

kebijakan adalah tindakan/kegiatan apapun yang dilakukan oleh suatu

kelompok orang atau pemerintah yang di dalamnya terdapat unsur keputusan

untuk mencapai tujuan dan maksud tertentu.

Lingkup dari studi kebijakan publik sendiri sangat luas karena

mencakup berbagai bidang dan sektor seperti ekonomi, sosial, budaya, hukum,

dan sebagainya. Di samping itu dapat dilihat dari hierarkinya kebijakan publik

dapat bersifat nasional, regional maupun lokal seperti Undang-Undang,

Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan

Daerah/Provinsi, Keputusan Gubernur, Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, dan

Gambar

Gambar 1.1. Model Akar Permasalahan di Kawasan Jabodetabekjur
Tabel 1.1 Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk Jabodetabekjur
Gambar 2.1 Proses Analisis Kebijakan menurut Dunn
Tabel 2.1 Pendekatan Analisis Kebijakan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penyimpangan serius tertinggi pada tempat penjualan bebek hidup di DKI Jakarta adalah tidak ada fasilitas kolam dipping dan spraying pada pintu masuk untuk kendaraan yang masuk,

Untuk mengetahui karakter enzim protease dalam menghidrolisis protein menjadi asam aminonya agar mencapai aktivitas maksimumnya, perlu dipelajari lebih dulu kondisi

fokus SFAS 87 adalah tercapainya ukururan biaya pensiun yang stail dan ermanen oeh karena itu beban pensiun yang termasuk dalam laba bersih disebut biaya

Hasil penelitian Putri (2002) menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi keputusan konsumen untuk mengkonsumsi beras organik adalah harga beras organik, harga beras

Prinsip dasar dari reaksi Jaffe adalah reaksi antara kreatinin dengan pikrat dalam suasana alkali tanpa deproteinasi, membentuk kompleks kreatinin pikrat berwarna jingga

Hasil uji hipotesis pada kemampuan berpikir kritis menggunakan uji gain-t, diperoleh t hitung lebih besar dari pada t tabel (3,5> 1,67) pada taraf signifikan 5%,yang artinya

Panwas Kabupaten Ogan Ilir tersebut diatas menyatakan bahwa oleh karena masih terdapat pemilih yang tidak memenuhi syarat sebagai pemilih masih terdaftar dalam DPT dan tidak

Pembuatan elektroda pembanding Ag/AgCl dengan variasi jenis membran yaitu membran poliisoprena, LDPE, kaolin, selulosa dan grafit telah dilakukan dengan ukuran yang