KAWASAN MEGAPOLITAN
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial pada Konsentrasi Kebijakan Publik
Program Studi Ilmu Administrasi Negara
Oleh : NURLITA
AMANIYAH
6661111919
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
Wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur (Jabodetabekjur) sebagai Kawasan Megapolitan. Pembimbing I: Leo Agustino, Ph.D., dan Pembimbing II: Ipah Ema Jumiati, S.IP., M.Si.
Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, and Cianjur (Jabodetabekjur) as Megapolitan region. Advisor I : Leo Agustino, Ph.D., and advisor II: Ipah Ema Jumiati, S.IP., M.Si.
Integrated management policy of Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, and Cianjur (Jabodetabekjur) is the establishment policy of megapolitan region. This policy was made because many problems such as flood, population, transportation, traffic jam, housing, and others which can not be solved by DKI Jakarta only, but must be completed along with Bodetabekjur. The establishment of megapolitan region aims to support DKI Jakarta position as capital city of nation and to development equalization around Jakarta area. This policy was proposed by the Committee 1 of Regional Representatives Council of Indonesia (DPD RI). The research was conducted at General Secretariat of DPD and also in Jabodetabekjur area, that aims to analyze the establishment of Jabodetabekjur megapolitan region. The method used is descriptive with qualitative approach. To analyze integrated management policy of Jabodetabekjur, the researcher used public policy analysis model by Dunn, as follows formulating the problem, predicting, policy recomendation, policy monitoring, and policy evaluation. The results showed that the Jabodetabekjur megapolitan policy can not implement integrated. This situation because two factors. First, there is no institutional reinforcement inter-governmental in Jabodetabekjur to support the establishment of megapolitan region. Second, there is no agency selected to coordinating and monitoring this policy. Based on the results, the researchers suggest for all agencies to participate and coordinate in realizing Jabodetabekjur megapolitan region, as well as provide an opportunity for the public to participate and support the policy.
ii
(“Jika kamu sudah berazzam/Bertekad bulat, maka Bertawakkallah pada
Allah..!”) (QS.3:159)
“ketika aku bersujud dan kupanjatkan doa pada waktu siang dan malam kepada
Allah untuk Kesejahteraan, Allah memberikanku bekal ilmu untuk menjalani
hidup. Ketika ku memohon untuk hilangnya rasa takut dalam diri ini, Allah
memberikanku cobaan untuk aku carikan solusi, ketika ku memohon cinta, Allah
memberikanku tenaga untuk menolong orang-orang yang membutuhkan bantuan.
Dan ketika aku meminta keberhasilan, Allah memberikanku ribuan kali kegagalan
untuk aku terus mencoba dan berusaha. Sungguh Allah yang maha mengetahui
apa yang kita butuhkan, maka berdoa dan bertawakallah. Terimakasih ya
Allah…”
Untuk mereka yang selalu menyayangiku, kupersembahkan
karya kecilku ini teruntuk Ayah dan Mamah yang ku sayangi...
Puji dan syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan nikmat, rahmat dan hidayah-Nya kepada peneliti untuk dapat
menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Analisis Kebijakan
Pengelolaan Terpadu Wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan
Cianjur (JABODETABEKJUR) Sebagai Kawasan Megapolitan”.
Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi syarat untuk mendapatkan
gelar sarjana Ilmu Sosial pada konsentrasi kebijakan publik program studi Ilmu
Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan
Ageng Tirtayasa.
Terima kasih atas dukungan dari berbagai pihak yang telah membantu
secara moril maupun materil dalam melakukan penelitian untuk kelancaran
penyusunan skripsi ini, secara khusus untuk doa yang tiada terputus dari kedua
orang tua atas jerih payah yang tulus ikhlas dalam mendidik. Sehubungan dengan
hal itu maka peneliti juga menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada yang terhormat :
1. Bapak Prof. Dr. Sholeh Hidayat, M.Pd., Rektor Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa.
2. Bapak Dr. Agus Sjafari, S.Sos., M.Si., Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
3. Bapak Kandung Sapto Nugroho, S,Sos., M.Si., Wakil Dekan I Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
5. Bapak Gandung Ismanto, S,Sos., M.M., Wakil Dekan III Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
6. Ibu Rahmawati, S.Sos., M.Si., Ketua Program Studi Ilmu Administrasi
Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa.
7. Ibu Ipah Ema Jumiati, S.IP., M.Si., Sekretaris Program Studi Ilmu
Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Sultan Ageng Tirtayasa sekaligus sebagai Pembimbing II yang telah
memberikan banyak arahan dan masukan dalam penelitian ini.
8. Ibu Riny Handayani, M.Si., Dosen Pembimbing Akademik Program Studi
Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
9. Bapak Leo Agustino, Ph.D., selaku Pembimbing I yang selalu
mengarahkan, memberikan masukan atau kritikan yang membangun,
memberikan semangat, dan motivasi kepada peneliti.
10. Kepada rekan-rekan Sekjen DPD RI yang telah memberikan izin kepada
peneliti untuk melakukan penelitian, khususnya Komite 1 DPD RI. Terima
kasih atas bantuannya, motivasinya dan pengalaman yang luar biasa
sehingga peneliti dapat menyelesaikan penelitian ini.
diwawancara dan telah memberikan informasi serta data-data yang
dibutuhkan peneliti sehingga peneliti dapat menyelesaikan penelitian ini.
12. Terima kasih kepada kawan-kawan seperjuangan, teman-teman di kelas E
dan D, kemudian teman-teman ANE reguler ataupun non reguler angkatan
2011 yang telah mengajarkan banyak hal, berbagi pengalaman suka cita,
dan saling berbagi cerita semasa kuliah.
13. Terima kasih kepada kawan-kawan di HIMANE 2012 dan HIMANE 2013
yang telah memberikan pengalaman organisasi di dunia kampus serta
memberikan canda tawa dalam hidup peneliti.
14. Terima Kasih kepada kawan-kawan KKM 12 Desa Luwuk Kecamatan
Gunung Sari, Kabupaten Serang tahun 2014, yang pernah memberikan
warna dalam hidup peneliti.
15. Terima kasih untuk sahabat-sahabatku, teman-teman bermain, teman les,
teman diskusi, teman spesialku, adik tingkat, kakak tingkat dan semua
yang selalu memberikan support, semangat, doa dan motivasi kepada
peneliti. Thank you so much for all.
membangun guna sempurnanya skripsi ini. Peneliti berharap semoga skripsi ini
dapat bermanfaat bagi pembaca, khususnya untuk peneliti.
Serang, September 2015
Peneliti
Nurlita Amaniyah
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN ... i
LEMBAR PENGESAHAN ... ii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN... iii
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL... xi
DAFTAR GAMBAR ... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiii
BAB 1 PENDAHULUAN ...1
1.1 Latar belakang ...1
1.2 Identifikasi masalah ...26
1.3 Pembatasan masalah...28
1.4 Rumusan Masalah ...29
1.5 Tujuan Penelitian ...30
1.6 Manfaat Penelitian ...30
1.7 Sistematika Penulisan...32
BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA BERFIKIR DAN ASUMSI DASAR ...38
2.1 Tinjauan Pustaka ...38
2.1.1 Definisi Kebijakan Publik ...38
2.1.2 Tahap-tahap Kebijakan Publik ...42
2.4 Awal Pembentukan DPD RI ...62
2.4.1 Fungsi, Tugas, dan Wewenang DPD RI ...64
2.4.2 Alat Kelengkapan DPD RI ...65
2.5 Alasan Dibentuknya Kebijakan Pengelolaan Terpadu Wilayah Jabodetabekjur ...67
2.6 Penelitian Terdahulu ...70
2.7 Kerangka Berfikir...72
2.8 Asumsi Dasar Penelitian ...75
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ...76
3.1 Pendekatan dan Metode Penelitian ...76
3.2 Fokus Penelitian ...77
3.3 Lokasi Penelitian ...78
3.4 Variabel Penelitian ...79
3.4.1 Definisi Konsep...79
3.4.2 Definisi Operasional...80
3.5 Instrumen Penelitian...81
3.6 Informan Penelitian ...82
3.7 Teknik Pengolahan dan Analisis Data...85
3.8 Uji Keabsahan Data ...96
3.9 Jadwal Penelitian ...97
BAB IV PEMBAHASAN...98
4.1 Deskripsi Objek Penelitian ...98
4.1.1 Profil Provinsi Jawa Barat...107
4.1.3 Profil Provinsi Banten ...112
4.1.4 Profil Komite I DPD RI ...113
4.1.5 Kebijakan Pengelolaan Terpadu Jabodetabekjur ...116
4.2 Deskripsi Data ...121
4.2.1 Deskripsi Data Penelitian ...121
4.2.2 Deskripsi Informan Penelitian...123
4.2.3 Analisis Data ...125
4.3 Deskripsi Hasil Penelitian ...126
4.3.1 Analisis Kebijakan Pengelolaan Terpadu Wilayah Jabodetabekjur...127
4.4 Pembahasan Hasil Penelitian ...155
BAB V PENUTUP ...185
5.1 Kesimpulan ...185
5.2 Saran...187
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1.1 Jumlah Laju Pertumbuhan Penduduk Jabodetabekjur ...22
2.1 Pendekatan Analisis Kebijakan...46
3.1 Pedoman Wawancara ...85
3.2 Informan Penelitian ...89
3.3 Jadwal Penelitian...97
4.1 Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat ...109
4.2 Daftar Anggota Komite I DPD RI ...113
4.3 Daftar Informan...124
4.4 Perbandingan Kewenangan Provinsi, Kab/Kota ...156
4.5 Program Pembangunan Terintegrasi Di Jabodetabek ...158
4.6 Permasalahan Di Jabodetabek...160
4.7 Program Pembangunan Jaringan Kereta Api di Jabodetabek ...176
1.1 Model Akar Permasalahan di Kawasan Jabodetabekjur ...13
2.1 Proses Analisis Kebijakanmenurut Dunn...45
2.2 Proses Dasar Analisis Kebijakan menurut Patton dan Savicky ...57
2.3 Bagan Kerangka Berfikir ...74
4.1 Sejarah perkembangan kerja sama pembangunan wilayah Jabodetabek ...120
4.2 Pola Perjalanan Harian di Wilayah Jabodetabek ...144
4.3 Kota-kota Baru di Jabodetabek tahun 2010 ...166
4.4 Rencana Umum Jaringan Angkutan Massal Berbasis Jalan ...175
1. Surat Permohonan Izin Penelitian
2. Catatan Lapangan
3. Pedoman Wawancara
4. Member Check
5. Catatan Wawancara
6. Peta Administrasi Jabodetabekjur
7. Daftar Hadir Bimbingan Skripsi
8. Dokumentasi Foto Hasil Penelitian
9. Daftar Riwayat Hidup
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Sejak era pasca-Soeharto dapat disebut sebagai kebangkitan kembali
gagasan desentralisasi. Gagasan tersebut menemukan signifikansinya seiring
melemahnya kekuasaan terhadap dengan tuntutan-tuntutan kepentingan
masyarakat. Sejak dimulainya otonomi daerah maka kewenangan tidak hanya
milik pemerintah pusat saja, melainkan pemerintah daerah juga memiliki
kewenangan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, desentralisasi kekuasaan dilakukan melalui penyerahan
kepada pemerintah daerah wewenang atas seluruh bidang pemerintahan,
kecuali bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter
dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain. Selanjutnya digantikan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 yang mengatur urusan pemerintahan
antara pusat dan daerah secara lebih tegas dan rinci.
Sejalan dengan tuntutan demokrasi guna memenuhi rasa keadilan
masyarakat di daerah, memperluas serta meningkatkan semangat dan kapasitas
partisipasi daerah dalam kehidupan nasional, serta untuk memperkuat Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka dalam rangka pembaharuan
konstitusi, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI)
membentuk sebuah lembaga perwakilan baru, yakni Dewan Perwakilan Daerah
Republik Indonesia (DPD RI), yang bertujuan sebagai lembaga negara yang
menjembatani hubungan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah.
Pembentukan DPD RI dilakukan melalui perubahan ketiga Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) pada bulan
November 2001.
Sejak perubahan itu, maka sistem perwakilan dan parlemen yang
berlaku di Indonesia berubah dari sistem trikameral menjadi sistem bikameral
(www.dpd.go.id./halaman-profil 15 Maret 2014). Sistem bikameral adalah
sistem parlemen atau lembaga legislatif yang terdiri atas dua kamar. Dalam hal
ini DPD RI masuk sebagai kamar kedua. Dengan perubahan ini diharapkan ada
keterwakilan dari distrik-distrik untuk duduk di satu kamar dan ikut mengawasi
kinerja dari kamar yang lain dari pemerintah pusat. Kelebihan sistem bikameral
tidak hanya melihat dari adanya dua kamar dalam satu parlemen, akan tetapi
juga dilihat dari proses pembuatan Undang-Undang yang semakin baik dengan
mekanisme double check (Budiardjo, 2005 : 180).
Perubahan tersebut tidak terjadi seketika, tetapi melalui tahap
pembahasan yang cukup panjang baik di masyarakat maupun di MPR RI,
khususnya di Panitia Ad Hoc I. Proses perubahan di MPR RI selain
memperhatikan tuntutan politik dan pandangan-pandangan yang berkembang
bersama reformasi, juga melibatkan pembahasan yang bersifat akademis,
dengan mempelajari sistem pemerintahan yang berlaku di negara-negara lain
pembahasan tersebut, berkembang kuat pandangan tentang perlu adanya
lembaga yang dapat mewakili kepentingan daerah, serta untuk menjaga
keseimbangan antardaerah dan antara pusat dengan daerah, secara adil dan
serasi. Gagasan dasar pembentukan DPD RI adalah keinginan untuk lebih
mengakomodasi aspirasi daerah dan sekaligus memberi peran yang lebih besar
kepada daerah dalam proses pengambilan keputusan politik untuk hal-hal
terutama yang berkaitan langsung dengan kepentingan daerah. Keinginan
tersebut berangkat dari indikasi yang nyata bahwa pengambilan keputusan
yang bersifat sentralistik pada masa lalu ternyata telah mengakibatkan
ketimpangan dan rasa ketidakadilan, dan diantaranya juga memberi indikasi
ancaman keutuhan wilayah negara dan persatuan nasional. Keberadaan unsur
Utusan Daerah dalam keanggotaan MPR RI selama ini (sebelum dilakukan
perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945) dianggap tidak memadai
untuk menjawab tantangan-tantangan tersebut (www.dpd.go.id./halaman-profil
15 Maret 2014).
Berdasarkan Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib DPD RI disebutkan bahwa DPD
adalah lembaga perwakilan daerah yang berkedudukan sebagai lembaga tinggi
negara yang terdiri atas wakil daerah provinsi yang dipilih melalui pemilihan
umum. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 92/PUU/-X/2012,
MK meneguhkan lima hal, yaitu : (i) DPD terlibat dalam pembuatan Program
Legislasi Nasional (Prolegnas); (ii) DPD berhak mengajukan RUU yang
bersama dengan DPR dan Presiden, termasuk dalam pembentukan RUU
Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; (iii) DPD
berhak membahas RUU secara penuh dalam konteks pasal 22D ayat (2) UUD
1945; (iv) pembahasan UU dalam konteks pasal 22D ayat (2) bersifat tiga
pihak, yaitu antara DPR, DPD, dan Presiden; (v) MK menyatakan bahwa
ketentuan dalam UU MD3 dan UU P3 yang tidak sesuai dengan tafsir MK atas
kewenangan DPD dengan sendirinya bertentangan dengan UUD 1945, baik
yang diminta maupun tidak.
Putusan MK tersebut telah mengubah paradigma proses pembuatan
undang-undang (law making process) yang semakin efisien. Dengan demikian,
khusus pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang menjadi mandat
konstitusi DPD hanya dilakukan tiga lembaga yaitu, DPR, Presiden, dam DPD.
Dalam penyusunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sebagai instrumen
perencanaan program pembentukan undang-undang merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari hak/kewenangan untuk mengajukan RUU yang dimiliki
DPD. Berdasarkan putusan MK tersebut, telah ditetapkan penyusunan baru
dalam mekanisme prolegnas.
Berdasarkan Undang-Undang MD3 No. 17 Tahun 2014 mengenai tugas
dan kewenangan MPR, DPR, DPD, dan DPRD bahwa DPD merupakan
lembaga legislatif yang dipilih melalui Pemilu. Dalam kewenangannya
menjalankan fungsi legislasi, DPD dapat mengajukan Rancangan Undang-
Undang dan memiliki kewenangan untuk ikut membahas RUU serta
mengajukan RUU maka DPD RI memiliki kewenangan dalam mengajukan
RUU yang berkaitan dengan bidang otonomi daerah, hubungan pusat dan
daerah, tata kelola, tata ruang, HAM dan lainnya. Berdasarkan UU MD3 tahun
2014 alat kelengkapan DPD RI dibagi menjadi ; (i) pimpinan, (ii) Panitia
Musyawarah, (iii) panitia kerja, (iv) Panitia Perancang Undang-Undang, (v)
Panitia urusan rumah tangga, (vi) Badan Kehormatan, (vii) alat kelengkapan
lainnya disesuaikan.
Sehubungan dalam menjalankan tugas dan fungsinya, DPD RI dibagi
dalam beberapa alat kelengkapan dan empat komite, yang masing-masing
memiliki peran dan bidang yang ditangani. Dalam penelitian ini, peneliti
memfokuskan pada Komite 1 DPD RI, yang menangani bidang sebagai berikut
: (i) Pemerintahan Daerah; (ii) Hubungan pusat dan daerah; (iii) Pembentukan,
pemekaran dan penggabungan daerah (iv) Pemukiman dan kependudukan (v)
Pertahanan dan tata ruang; (vi) Politik, hukum, HAM, dan ketertiban umum;
(vii) Permasalahan daerah di wilayah perbatasan negara
(www.dpd.go.id/alatkelengkapan/komite-i 15 Oktober 2014). DPD RI berada
di bawah naungan Sekretariat Jendral (Sekjen) DPD RI, bersama dengan alat
kelengkapan, dan sekretariat.
Pada penelitian kali ini, peneliti lebih fokus pada Komite 1 yang
menangani bidang otonomi daerah, pemekaran dan penggabungan wilayah.
Sesuai dengan Program Legislasi Nasional (Prolegnas), tahun 2014 Komite 1
DPD RI membahas dua Rancangan Undang-Undang (RUU), yakni RUU
Bogor, Depok Tangerang, Bekasi, dan Cianjur (Jabodetabekjur). Dari dua
RUU yang tengah dibahas oleh DPD, dalam penelitian ini peneliti akan
membahas lebih dalam mengenai analisis kebijakan pengelolaan terpadu
wilayah Jabodetabekjur sebagai kawasan megapolitan. Alasan peneliti
mengambil topik mengenai analisis kebijakan pengelolaan terpadu wilayah
Jabodetabekjur untuk mengetahui bagaimana sebenarnya nanti pembentukan
dari sebuah kawasan megapolitan yang diterapkan di Jabodetabekjur. Selain itu
pemilihan mengenai topik tersebut didukung dari data-data yang peneliti
dapatkan dari Komite 1 DPD RI. Sejak tahun 2012 Komite 1 DPD RI tengah
gencar mengadakan banyak kajian dan rapat kerja mengenai pembahasan RUU
tersebut hinga akhirnya peneliti tertarik untuk ikut mengangkat Pengelolaan
Terpadu Kawasan Megapolitan Jabodetabekjur sebagai topik dalam penelitian
ini.
Perkembangan kota tidak terlepas karena di dalamnya terdapat pola
hubungan antar manusia dan kelompok manusia, munculnya ruang-ruang
produksi dan distribusi bahkan sampai arena konflik, kota dapat berkembang
secara mekanik dan organik sesuai dengan karakteristiknya (Laksono, 2013
dalam PRPW UI 2013 : 6). Salah satu konsep metropolitan yang muncul di
Indonesia adalah Jabodetabekjur dimana Jakarta menjadi kota inti terhadap
perluasan wilayah ke arah Bogor, Depok, Tangerang, Puncak dan Cianjur
(Bodetabekjur). Wilayah Jabodetabekjur yang merupakan pengembangan
Kawasan Jakarta-Bogor-Tangerang-Bekasi (Jabotabek) yang dibentuk
tentang Pengembangan Kawasan Jabotabek. Perkembangan fisik kawasan ini
sudah diperkirakan sejak penyusunan Rencana Induk Jakarta tahun 1965-1985.
Di dalam dokumen tersebut dijelaskan, bahwa apabila Jakarta dibangun
berdasarkan rencana induk, maka dalam waktu yang relatif singkat, daerah
terbangun bagian-bagian kota Jakarta akan melampaui batas administrasi
sehingga mempengaruhi wilayah sekitarnya.
Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 54 tahun 2008 tentang
tata ruang Jabodetabekpunjur bahwa pada lingkup wilayah fungsional, yang
terbagi atas tiga (3) wilayah Provinsi, yang terdiri atas 15 Kabupaten dan Kota.
Di lain pihak, wewenang otonomi pemerintah daerah yang terlingkupi
memiliki kedudukan yang tidak sama, di DKI Jakarta terletak pada pemerintah
provinsi, sementara untuk wilayah dua provinsi lainnya terletak pada
kabupaten dan kota. Hal ini membawa pada konsekuensi fungsi koordinasi
serta kewenangan yang berbeda. Menelaah dari Perpres No. 54 tahun 2008
mengenai tata ruang Jabodetabekjur dibutuhkan suatu penyatuan regulasi
terkait sebagai kawasan megapolitan.
Regulasi keterkaitan penyatuan wilayah Jabodetabekjur tersebut
dilahirkan sejalan dengan Undang-Undang lain, meliputi ; UU No. 23 Tahun
2006 tentang administrasi kependudukan, UU No. 18 Tahun 2008 tentang
pengelolaan sampah, UU No. 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup, dan UU No. 2 Tahun 2012 tentang pengadaan
tanah bagi kepentingan umum, UU No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Pengelolaan Terpadu Kawasan Megapolitan Jabodetabekjur. Dalam
perkembangannya, wilayah Jakarta dan sekitarnya ternyata lebih cepat
dibandingkan dengan efektivitas regulasi yang mengaturnya. Hal ini
melahirkan kesenjangan antara obyek yang diatur dengan instrumen yang
mengaturnya. Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur
(Jabodetabekjur) secara faktual sudah menjadi satu kesatuan wilayah
fungsional. Diantara faktor-faktor yang menyatukan wilayah Jabodetabekjur
sebagai kesatuan wilayah fungsional adalah jaringan transportasi yang
memfasilitasi interaksi sosial ekonomi antarwilayah, dimana Daerah Kota
Istimewa (DKI) Jakarta berfungsi sebagai pusat pertumbuhannya. Hal ini
membawa implikasi bahwa jika DKI Jakarta berperan sebagai pusat kegiatan,
maka wilayah sekitar Jakarta berperan sebagai pusat pemukiman yang
bergantung penuh secara sosial ekonomi pada Jakarta, serta menambah beban
interaksi harian antar kota-kota baru tersebut dan Jakarta (NA RUU
Jabodetabekjur, 2014 : 3).
Secara historis, keberadaan wilayah Jabodetabekjur sebenarnya bukan
hal baru. Bahkan, semua daerah dalam wilayah tersebut semula adalah bagian
dari provinsi yang sama, yakni Jawa Barat. Namun pada tahun 2000, Banten
mengalami pemekaran wilayah menjadi Provinsi, sehingga wilayah Tangerang
menjadi bagian dari Provinsi Banten. Dengan demikian, selain secara
fungsional merupakan satu kesatuan ekosistem, Jabodetabekjur secara
administrasi sesungguhnya berawal dari satu kesatuan wilayah administrasi.
yang harmonis dan sinkron untuk mengatasi permasalahan di wilayahnya yang
dapat mengakomodasi Jabodetabekjur sebagai suatu kesatuan fungsional
(Sekretariat Komite 1 DPD RI, 2014).
Jabodetabekjur adalah sebuah kawasan yang merupakan gabungan
beberapa wilayah kota/kabupaten wilayah yang jaraknya dekat dengan Ibukota
Jakarta yakni, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur. Kawasan
Jabodetabekjur dikenal sebagai kawasan 3-O , yakni One Commnunity, One
Interest, One Center. Kawasan ini tidak hanya menyedot perhatian masyarakat
namun ternyata terjadi banyak permasalahan di dalamnya (RDPU Komite 1
DPD RI, 21 Januari 2014).
Berdasarkan definisi yang tercantum dalam UU No 26 tahun 2007
tentang Penataan Ruang, kawasan Jabodetabekjur sudah tergolong kawasan
megapolitan, yakni kawasan yang terbentuk dari dua (2) atau lebih kawasan
metropolitan yang memiliki hubungan fungsional dan membentuk sebuah
sistem. Kawasan metropolitan dalam UU tersebut didefinisikan sebagai
kawasan perkotaan yang terdiri atas sebuah kawasan perkotaan yang berdiri
sendiri atau kawasan perkotaan inti dengan kawasan perkotaan di sekitarnya
yang saling memiliki keterkaitan fungsional yang dihubungkan dengan sistem
jaringan prasarana wilayah yang terintegrasi dengan jumlah penduduk secara
keseluruhan sekurang-kurangnya satu juta (1.000.000) jiwa.
Sehubungan dengan dibentuknya kawasan megapolitan, terdapat
beberapa hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Menurut UU No 29
Republik Indonesia dan terletak di posisi hilir Daerah Aliran Sungai (DAS).
Sementara wilayah hulu DAS di Bogor dan Cianjur merupakan kawasan
lindung yang memiliki fungsi perlindungan terhadap wilayah yang terletak
dibawahnya termasuk terhadap DKI Jakarta. Oleh karena itu, kedudukan DKI
Jakarta dan wilayah sekitarnya sangat vital untuk diatur agar fungsi masing-
masing wilayah dapat terlaksana secara optimal dan sinergis.
Memandang Jabodetabekjur sebagai sebuah megapolitan, terdapat
perbedaan pandangan antara pemerintah daerah Provinsi di Jabodetabekjur.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat memandang bahwa permasalahan di
Jabodetabekjur bersumber dari fungsi pelayanan wilayah sekitar terhadap DKI
Jakarta. Sehubungan dengan itu, Provinsi Jawa Barat memandang perlu
melakukan terobosan diantaranya dengan mengkonsep Twin Metropolitan
Jakarta dan Bodebek Karpur (Bogor-Depok-Bekasi-Karawang-Purwakarta)
yang berkembang secara mandiri. Sementara itu, Provinsi Banten
mengharapkan adanya pertumbuhan wilayah Tangerang yang mandiri dengan
pemukiman yang sukses, artinya kota yang mandiri disertai tumbuhnya
peluang usaha dan bekerja dan hidup yang layak sehingga tidak tergantung
pada DKI Jakarta.
Sejak tahun 1967, telah dibentuk Badan Kerjasama antar-Kota seluruh
Indonesia melalui Musyawarah antar-Kota Seluruh Indonesia (MAKSI) di
Gedung Merdeka, Bandung. Saat itu, yang terpilih sebagai ketua umum
MAKSI adalah Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, sedangkan Sekjen-nya
(alm). Salah satu tugas dan fungsi badan tersebut adalah mengelola
permasalahan daerah perbatasan antara Jabar dan DKI Jakarta, saat itu Banten
masih bagian wilayah administratif Provinsi Jabar. Sejak pemerintahan Ali
Sadikin, program pembangunan Megapolitan Jakarta-Jabar sudah mulai di
rencanakan. Pada intinya, program tersebut merupakan program kerjasama
pembangunan di perbatasan untuk membentuk sebuah kawasan ragulasi
wilayah Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek). Namun,
hingga pemerintahan provinsi DKI Jakarta dipimpin oleh Joko Widodo
(Jokowi) dan provinsi Jabar dipimpin oleh gubernur Ahmad Heryawan (Aher),
program tersebut masih belum dapat dilaksanakan secara optimal (FGD, 18
Februari 2014).
Pemerintah telah menetapkan tujuan penataan ruang kawasan strategis
ini, yakni untuk: (i) mewujudkan keterpaduan penyelenggaraan penataan ruang
antar daerah sebagai satu kesatuan wilayah perencanaan dengan
memperhatikan keseimbangan kesejahteraan dan ketahanan; (ii) mewujudkan
daya dukung lingkungan yang berkelanjutan dalam pengelolaan kawasan,
untuk menjamin tetap berlangsungnya konservasi air dan tanah, menjamin
tersedianya air tanah dan air permukaan, serta menanggulangi banjir, dan (iii)
mengembangkan perekonomian wilayah yang produktif, efektif, dan efisien
berdasarkan karakteristik wilayah bagi terciptanya kesejahteraan masyarakat
yang berkeadilan dan pembangunan yang berkelanjutan. Untuk mencapai
tujuan ini, maka kebijakan penataan ruang Kawasan Jabodetabekpunjur adalah
rangka keseimbangan antara pengembangan ekonomi dan pelestarian
lingkungan hidup (PRPW UI, 2013 : 8).
Menurut Peraturan Presiden (Perpres) No. 54 tahun 2008 tentang
Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak,
dan Cianjur (Jabodetabekpunjur) telah mengharmoniskan tata ruang
Jabodetabekjur, namun belum efektif meminimalisir masalah lingkungan dan
mengharmoniskan perkembangan permukiman yang tumbuh dengan pesat
karena Perpres tersebut belum diterapkan secara konsisten dan akurat (PRPW
UI, 2013). Untuk itu alasan dibentuknya kebijakan Pengelolaan Terpadu
Kawasan Megapolitan Jabodetabekjur yang bertujuan untuk memperkuat DKI
Jakarta sebagai Ibukota Negara, mewujudkan keterpaduan dalam
penyelenggaraan penataan ruang antar daerah sebagai suatu kesatuan wilayah
perencanaan, pemerataan pembangunan, dan mewujudkan keterpaduan dalam
peningkatan daya dukung lingkungan yang berkelanjutan dalam pengelolaan
kawasan (NA RUU Jabodetabekjur).
Berdasarkan uraian di atas, terdapat akar permasalahan yang sangat
fundamental, yaitu substansi permasalahan Jabodetabekjur menyebar dalam
wilayah fungsional, sedangkan kewenangan otonomi pemerintah daerah dalam
wilayah Jabodetabekjur terdistribusi dalam wilayah administratif berbeda yang
Gambar 1.1. Model Akar Permasalahan di Kawasan Jabodetabekjur
Berdasarkan dari Gambar 1.1 di atas bahwa sampai saat ini pengelolaan
Jabodetabekjur masih sulit untuk melakukan harmonisasi dan sinkronisasi.
Kesulitan penerapan ini dikarenakan keunikan dan kompleksitas kawasan ini
dibandingkan kawasan sejenis di Indonesia. Keunikan kawasan Jabodetabekjur
ini utamanya karena adanya Jakarta sebagai Ibukota negara, wilayah
Jabodetabekjur mencakup tiga (3) provinsi, mencakup pusat perekonomian dan
pusat politik, serta berada dalam satu sistem daerah aliran sungai
(Nurlambang, 2014 dalam NA RUU Jabodetabejur 2014 : 6).
Berdasarkan observasi awal yang peneliti lakukan pada tahun 2014,
beberapa permasalahan diantaranya mengenai masalah (i) transportasi dan
jalan, (ii) pemukiman dan lingkungan, (iii) banjir, (iv) urbanisasi dan
ketimpangan sumber daya manusia, (v) kependudukan dan lainnya. Sejauh ini
kita mengetahui bahwa kawasan Jabodetabekjur sangat akrab dengan
permasalahan banjir dan kemacetan. Tidak hanya itu, menurut Najmulmunir,
dalam rapat internal dengan anggota Komite 1 DPD RI pada 27 Januari 2014,
menyatakan bahwa akar masalah di Jabodetabekjur meliputi beberapa hal yaitu
sebagai berikut; (i) wilayah Bodetabekjur sebagai basis pemukiman yang
sangat luas menghindari kawasan kumuh, (ii) angka pertumbuhan penduduk
yang tinggi disebabkan angka migrasi yang menimbulkan rasio penduduk
dengan pelayanan dasar sangat terbatas, (iii) ketidakserasian dalam
pembangunan jalan sering menimbulkan gangguan lalu lintas, dan buruknya
kondisi jalan, (iv) benturan kepentingan antara kawasan resapan dan
penyimpangan air dan kawasan pemukiman, sehingga menimbulkan genangan
air dan banjir ketika musim penghujan tiba, (v) pergerakan orang, barang, dan
jasa antara Bodetabekjur dengan Jakarta sangat lamban dan mahal yang
disebabkan oleh kemacetan.
Menurut Sori (dalam FGD 18 Februari 2014) Wilayah Jabodetabekjur
merupakan wilayah yang sangat cepat berkembang dan sudah menjadi satu
kesatuan wilayah fungsional. Diantara faktor-faktor yang mempersatukan
Jabodetabekjur sebagai kesatuan fungsional, yakni (i) Jaringan transportasi
yang memfasilitasi interaksi sosial ekonomi antar wilayah, dimana DKI
Jakarta berfungsi sebagai pusat pertumbuhannya. Hal ini membawa implikasi
jika DKI Jakarta berperan sebagai pusat kegiatan, maka wilayah sekitar Jakarta
berperan sebagai pusat pemukiman yang bergantung penuh secara sosial
ekonomi pada Jakarta, serta menambah beban interaksi harian antar kota-kota
baru tersebut dan Jakarta, (ii) Jaringan sungai yang mengintegrasikan
wilayah hulu yang terletak wilayah Bogor dan Depok, serta Wilayah hilir yang
meliputi Jakarta, Tangerang dan Bekasi.
Jakarta merupakan kota terbesar di Indonesia. Sebagai Ibukota Negara,
Jakarta memegang posisi sangat penting dalam hal politik, ekonomi, dan
perdagangan. Kemacetan di Indonesia khususnya ibukota DKI Jakarta tidak
dapat dihindari, terutama pada titik-titik persimpangan baik di jalan-jalan
protokol hingga di jalan lingkungan. Semakin hari, kemacetan di Jakarta
semakin parah. Sistem transportasi yang buruk di sebagian besar wilayah
Jakarta telah menimbulkan kemacetan sangat parah. Kerugian akibat macet
dari perhitungan kemacetan menyebabkan waktu yang terbuang percuma (nilai
waktu), biaya bahan bakar, dan biaya kesehatan.
Berdasarkan data dari Yayasan Pelangi, kemacetan lalu lintas
berkepanjangan di Jakarta menyebabkan pemborosan senilai Rp 8,3 triliun per
tahun. Data yang sama diungkapkan Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia
(MTI) Bambang Susantono, mengacu pada kajian Study on Integrated
Transportation Master Plan for Jabodetabek (SITRAMP 2004). Perhitungan itu
mencakup tiga aspek sebagai konsekuensi kemacetan, yakni pemborosan BBM
akibat biaya operasional kendaraan senilai Rp 3 triliun, kerugian akibat waktu
yang terbuang Rp 2,5 triliun, dan dampak kesehatan akibat polusi udara
sebesar Rp 2,8 triliun. Angka kerugian akan terus meningkat secara gradual
seiring kemacetan lalu-lintas yang semakin parah di Jakarta. Peningkatan
penggunaan kendaraan bermotor menjadi pemicu utama problem kemacetan di
mencapai 6,5 juta unit, di mana 6,4 juta unit atau 98,6 persen merupakan
kendaraan pribadi dan 88.477 unit atau sekitar 1,4 persen adalah angkutan
umum, dengan pertumbuhan kendaraan mencapai 11 persen setiap tahunnya.
Sedangkan panjang jalan yang ada 7.650 Km dengan luas 40,1 Km2 atau 6,2%
dari luas wilayah DKI, dengan pertumbuhan jalan hanya sekitar 0.01 % per
tahun. Dari angka itu jelas pertumbuhan jalan tidak mampu mengejar
pertumbuhan kendaraan, sehingga mengakibatkan kemacetan
(http://bstp.hubdat.web.id/?mod=detilSorotan&idMenuKiri=345&idSorotan=5
4 15 Februari 2015).
Berdasarkan data yang peneliti dapatkan dari Focus Group Discussion (
18 dan 19 Februari 2014) mengenai pengelolaan terpadu wilayah
Jabodetabekjur dengan Komite 1 DPD RI dengan Kepala Daerah se-
Jabodetabekjur, permasalahan kemacetan di Jakarta saat ini disebabkan oleh
volume kendaraan di jalur Tol Merak - Tol Kota Jakarta semakin meningkat.
Data tahun 2012 menunjukan bahwa kendaraan yang melewati tol Merak
sebanyak 3.500 kendaraan dengan penumpang 25.000 orang perhari. Selain itu,
pertumbuhan kendaraan pribadi di DKI sangat tinggi, sekitar 98,5%, belum
termasuk pertumbuhan kendaraan angkutan umum. Kerugian kemacetan yang
harus ditanggung masyarakat sekitar Rp. 35triliun/tahun (FGD 18 Februari
2014).
Selain itu, dari observasi yang peneliti lakukan pada bulan Februari
2014 salah satu penumpang Busway yang peneliti temui di halte koridor IX
masyarakat untuk sampai ke tempat kerja di salah satu Bank Swasta di daerah
Slipi Jakarta Barat hingga kurang lebih dua sampai tiga jam. Padahal bila pada
waktu normal jarak tempuhnya hanya 45 menit - 50 menit. Dari permasalahan
ini tentu tidaklah efisien dan menurunkan semangat kerja akibat kelelahan
dalam perjalanan.
Permasalahan kemacetan juga mengakibatkan laju pergerakan barang
dan jasa menuju Pelabuhan Tanjung Priok juga memakan waktu yang tak jauh
berbeda yakni dua sampai tiga jam yang semestinya hanya satu jam saja.
Kemacetan yang terjadi tidak hanya di Jakarta. Namun sama halnya dengan
daerah Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Jakarta sebagai pusat
perdagangan barang dan jasa menjadi magnet bagi warga di wilayah Bodetabek
untuk bekerja di Jakarta sehingga lalu lintas di Bodetabek menuju Jakarta
setiap harinya selalu macet, terutama di jam-jam kerja (PRPW UI 2013 : 27).
Salah satu pegawai Staf Rapat di Sekretariat Komite 1 DPD RI, Wahyu Taufik
mengungkapkan kepada peneliti pada februari 2014 bahwa jarak rumahnya di
bilangan Depok untuk sampai ke kantor di Senayan waktu tempuh yang
seharusnya hanya sekitar satu jam mencapai dua jam perjalanan meskipun
sudah melalui jalan bebas hambatan tetapi tetap tidak dapat menghindari
kemacetan.
Permasalahan lainnya selain kemacetan adalah banjir. Problematika Ibu
Kota lainnya yang dapat mengakibatkan kemacetan adalah banjir. Banjir yang
cukup besar sudah dua kali melanda DKI Jakarta, yakni pada tahun 2007 dan
yang tersebar di 31 Kecamatan. Jumlah penduduk yang terendam 97.608 KK
atau 248.868 jiwa, pengungsi 18.018 jiwa. Kerugian banjir Jakarta 2007
diperkirakan Rp. 7,3 triliun, sedangkan kerugian banjir tahun 2013 sekitar Rp.
20 triliun. Problematika lainnya, menurut Sofwan Hadi (dalam Dongoran,
2013), hasil pengukuran tahun 1925-2003, permukaan air laut Jakarta selalu
naik rata-rata 0,5 cm setiap tahunnya, sebaliknya laju penurunan muka tanah
Jakarta mencapai 5 cm –12 cm setiap tahun di sejumlah titik tertentu (FGD, 19
Februari 2014).
Pada awal tahun 2015 ini, wilayah Jakarta kembali terkena banjir.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta telah mendata
korban meninggal akibat banjir yang terjadi di Jakarta dari tanggal 8 sampai 11
Februari 2015. Dari data sementara tersebut, tercatat tiga warga Jakarta Utara
dan satu warga Jakarta Pusat yang menjadi korban meninggal akibat banjir.
Jumlah warga yang terkena dampak banjir di Jakarta mencapai 6.569 jiwa.
Jumlah warga yang mengungsi sejumlah 815 jiwa. BPBD telah menyiapkan
beberapa lokasi pengungsian yang tersebar di beberapa tempat. Lokasi yang
digunakan sebagai tempat pengungsian beragam, seperti kantor kelurahan,
rumah sakit terdekat, bangunan sekolah, sampai pos RW dijadikan sebagai
tempat pengungsian untuk para korban bencana banjir
(http://megapolitan.kompas.com/read/2015/02/13/1604443/Tiga.Warga.Jakarta
Banjir kerap kali datang ketika musim penghujan datang. Banjir di
Jakarta selalu rutin selalu datang setiap tahunnya. Banjir tidak hanya
merendam hampir setiap pemukiman warga, melainkan hingga menelan korban
jiwa. Dari data yang peneliti dapatkan dari Dinas Kesehatan DKI Jakarta
(dalam PRPW UI 2013), selama terjadi maupun pascabanjir awal tahun 2014
lalu, setidaknya tercatat 40.360 orang terserang penyakit, serta 15 orang
meninggal dunia di DKI Jakarta yang diakibatkan bencana banjir. Banjir yang
datang dinilai sebagai ulah dari masyarakatnya itu sendiri. Masyarakat Jakarta
dinilai kurang memahami bahaya kuman terhadap kesehatan keluarga dan
seluruh lapisan masyarakat. Salah satu contohnya, masih kerap kali ditemui ada
masyarakat yang membuang sampah sembarangan. Kebiasaan buruk ini tidak
hanya merugikan diri sendiri, tetapi juga merugikan lingkungan. Banjir yang
datang setiap tahunnya harus segera diminimalisir agar tidak terlalu banyak
mengalami kerugian.
Permasalahan banjir ini tidak hanya merendam wilayah DKI Jakarta,
melainkan wilayah Bodetabekjur juga terkena imbasnya. Banjir di wilayah
Jabodetabekjur disebabkan oleh meluapnya air di sungai Ciliwung yang
panjangnya terbentang dari Bogor hingga Tangerang. Hulu sungai Ciliwung
berada di Bogor dan hilirnya berada di Tangerang yakni Kali Cisadane.
Menurut Plt. Gubernur Provinsi Banten, Bapak Rano menjelaskan, banjir yang
terjadi di wilayah Tangerang akibat dari meluapkan air dari kali Cisadane yang
Pertumbuhan penduduk yang tinggi di sekitar DKI Jakarta akibat
migrasi, serta terbatasnya kemampuan pemerintah dalam menyediakan
perumahan dan kesempatan kerja telah menyebabkan alih fungsi lahan
pertanian ke fungsi non pertanian, yang selanjutnya menimbulkan dampak
turunan berupa erosi, sedimentasi sungai, pencemaran, yang semuanya
berakumulasi pada masalah banjir, kesehatan, serta kerugian ekonomi dan
infrastruktur (FGD 18-19 Feb 2014).
Seperti diketahui, Jakarta merupakan daerah yang dilewati oleh tiga
belas aliran sungai, namun karena adanya penggabungan sungai-sungai tertentu
maka sungai yang bermuara ke Teluk Jakarta berjumlah sepuluh sungai. Tiga
belas sungai tersebut yaitu Kali Mookervart, Kali Angke, Kali Pesanggrahan,
Kali Grogol, Kali Krukut, Kali Baru Barat, Kali Ciliwung, Kali Cipinang, Kali
Sunter, Kali Baru Timur, Kali Buaran, Kali Jati Kramat, dan Kali Cakung.
Sedangkan dua (2) kanal besar yang ada yaitu Kanal Banjir Barat dan Kanal
Banjir Timur. Aliran air yang melewati wilayah ini yang mana apabila tidak
ditata kelola dengan baik akan mengakibatkan permasalahan seperti halnya
banjir di kawasan hilir sungai (PRPW UI 2013 : 21).
sebagai berikut: (i) Peningkatan temperatur rata-rata pada tahun 2035 di kapasitas adaptif (adaptive capacity) masyarakat Jakarta diperkirakan70,4%, Depok 62,6%, Bogor 50,2%. Kapasitas adaptif didefinsikan sebagai kemampuan masyarakat beradaptasi pada perubahan yang terjadi. Dampak bencana iklim diperkirakan akan meningkatkan intensitas permasalahan wilayah Jakarta dan sekitarnya di kemudian hari (Susandi, dalam NA RUU Jabodetabekjur 2014 : 8).
Kemudian permasalahan lainnya yaitu kepadatan penduduk yang
terpusat di Jakarta. Permasalahan ini tentu akan menimbulkan efek domino bila
tidak segera diatasi. Kepadatan penduduk di Jakarta disebabkan salah satunya
dengan banyaknya penduduk yang berasa dari luar daerah Jakarta yang bekerja
dan menggantungkan harapan ekonominya di Jakarta. Setiap tahunnya
perumbuhan penduduk Jakarta semakin mengalami peningkatan dan
mengalami kepadatan pertumbuhan penduduk serta mobilitas penduduk di
Jakarta diakibatkan karena Jakarta menjadi pusat dari kegiatan ekonomi dan
pertukaran barang dan jasa yang menyedot perhatian masyarakat di sekitar
wilayah Bodetabekjur untuk datang dan bekerja di Jakarta. Kawasan
Jabodetabek secara keseluruhan memiliki jumlah penduduk sebesar 31.681.555
jiwa (PRPW UI,2013 : 23). Laju pertumbuhan penduduk DKI Jakarta
mencapai 1,03 % sedangkan tingkat pertumbuhan penduduk kabupaten atau
Tabel 1.1 Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk Jabodetabekjur
Berdasarkan tabel 1.1 di atas, terlihat pertumbuhan penduduk dan
mobilitas warga yang tinggi namun tidak diimbangi dengan penyediaan sarana
dan prasarana transportasi yang memadai. Menurut Dinas Perhubungan DKI
Jakarta (dalam PRPW UI,2013), laju pertambahan jalan di Jabodetabek hanya
0,01% per tahun, sedangkan laju pertambahan kendaraan mencapai 11% per
tahun.
Permasalahan yang banyak terjadi di wilayah Jabodetabekjur, Komite
1 DPD RI akan mengkaji lebih dalam mengenai pembentukan kawasan
sebagai salah satu kawasan di Indonesia yang memenuhi kriteria sebagai
kawasan megapolitan.
Sehubungan dengan pembuatan Kebijakan Pengelolaan Terpadu
Kawasan Megapolitan Jabodetabekjur yang merupakan salah satu program
kerja dari Komite 1 DPD RI, maka Komite 1 DPD RI akan mengkaji lebih
dalam dan mengusungkan kebijakan ini untuk dibentuk sebagai RUU dan
menjadikan sebagai UU yang sah kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Untuk mengoptimalkan kebijakan ini menjadi sebuah RUU Kawasan
Megapolitan Jabodetabekjur ini Komite 1 membentuk Tim Kerja (Timja).
Timja dibentuk mengingat banyak RUU dan permasalahan lain yang tengah
dibahas di Komite 1, seperti RUU pengadilan Agraria dan penyusunan Daerah
Otonom Baru (DOB). Untuk itu peneliti ingin mengkaji lebih dalam,
mengetahui dan menganalisis bagaimana Kebijakan Pengelolaan Terpadu
Wilayah Jabodetabekjur. Selain dibentuknya Timja, Komite 1 DPD RI
mengundang orang-orang yang ahli dan kompeten di bidang pembangunan dan
penataan kota sebagai narasumber dalam pembuatan RUU tersebut untuk
membentuk sebuah kawasan megapolitan.
Selain mengundang narasumber, permasalahan yang telah diuraikan
diatas telah direspon melalui beberapa prinsip yang disepakati oleh Komite 1
DPD RI, perwakilan pemerintah daerah baik Provinsi, Kabupaten/Kota di
kawasan Jabodetabekjur (kecuali Kota Depok yang berhalangan hadir) dalam
Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan DPD RI pada tanggal
1. FGD menyepakati untuk memperkuat kerjasama antara DPD RI
khususnya Komite I sebagai alat kelengkapan DPD RI yang
membidangi otonomi daerah dengan Pemerintah Daerah Provinsi
DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Banten, Kabupaten
Bogor, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Tangerang, Kota Bogor, Kota
Bekasi, Kota Tangerang Selatan, Kabupaten Cianjur.
2. Kerjasama sebagaimana dimaksud pada point 1 merupakan kerjasama
yang diarahkan untuk memberikan perbaikan bagi percepatan
pembangunan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat
dan daerah sebagaimana tujuan bangsa Indonesia.
3. FGD tersebut menyepakati untuk melakukan diskusi lebih lanjut dan
mendalam di kemudian hari terkait inisiatif DPD RI untuk menyusun
RUU Jabodetabekjur sebagai upaya menata dan memperkuat
pengelolaan kawasan DKI Jakarta sebagai Ibukota negara Republik
Indonesia beserta kawasan sekitarnya serta mengantisipasi
timbulnya dampak negatif pembangunan.
4. Seluruh pemikiran-pemikiran yang berkembang dalam FGD tersebut
merupakan pijakan utama dalam rangka penyempurnaan kebijakan
penataan Ibukota Negara beserta kawasan megapolitan yang terus
berkembang pesat dewasa ini.
5. FGD tersebut menyepakati untuk memperkuat kelembagaan
koordinasi antar daerah yang saat ini telah berjalan serta upaya untuk
beberapa kawasan strategis di wilayah Jabodetabekjur.
Begitu juga kesepakatan telah dicapai dalam FGD yang
diselenggarakan DPD RI pada tanggal 19 Februari 2014 antara Kementerian
Dalam Negeri, Kementerian PPN/BAPPENAS, Kementerian Keuangan,
Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Perumahan Rakyat, Kementerian
Lingkungan Hidup RI, dan Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional RI: "FGD
tersebut (19 Februari 2014) menyepakati Komite 1 DPD RI untuk melakukan
kajian secara mendalam dan menyeluruh termasuk berbagai peraturan
perundang-undangan terkait dengan inisiatif DPD RI untuk menghasilkan
kesimpulan Naskah Akademis RUU Kawasan Megapolitan Jabodetabekjur
sebagai upaya untuk menata dan memperkuat pengelolaan DKI Jakarta sebagai
Ibu Kota Negara Republik Indonesia beserta kawasan sekitarnya serta
mengantisipasi timbulnya dampak negatif pembangunan".
Undang-Undang pembentukan kawasan Jabodetabekjur sebagai
kawasan megapolitan ini penting karena menyangkut pengaruh sangat penting
secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara,
ekonomi, sosial, budaya, dan atau lingkungan dan memiliki masalah mendasar
pada lintas wilayah provinsi dan lintas kabupaten kota.
Berdasarkan uraian permasalahan di atas, peneliti ingin mengetahui
lebih dalam dan menganalisis kebijakan pengelolaan terpadu kawasan
megapolitan. Untuk mengetahui terkait teori dan metode dalam Analisis
megapolitan ini akan di bahas pada bab selanjutnya.
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian yang telah peneliti ungkapkan dalam latar belakang
masalah, peneliti dapat mengidentifikasi beberapa masalah-masalah mengenai
permasalahan di Jabodetabekjur. Seperti telah kita ketahui di atas permasalahan
di Jabodetabekjur sebagian besar dari adanya ketimpangan-ketimpangan atas
pembangunan di Jakarta dengan wilayah sekitar Jakarta. Akibat dari mobilitas
dan urbanisasi sehingga banyak menimbulkan problematika di Jakarta, sebut
saja kemacetan. Ketika kita memasuki wilayah Jakarta tentu tak asing lagi
dengan kemacetan. Deretan panjang kendaraan akan terus bertambah di
sepanjang jalan, sehingga membuat laju kendaraan sangat lamban dan waktu
tempuh semakin lama. Angka pertumbuhan penduduk dan mobilitas warga
yang tinggi tidak diimbangi dengan penyediaan sarana dan prasarana
transportasi yang memadai sehingga menyebabkan kemacetan di jam-jam
tertentu. Jakarta merupakan pusat dari kegiatan ekonomi yang banyak
menyedot perhatian masyarakat di sekitaran wila yah Bodetabekjur. Selain
masalah kemacetan, yakni masalah lainnya adalah pertumbuhan penduduk
yang tinggal di sekitaran wilayah Jakarta. Akibat dari bertambahnya jumlah
dan mobilitas penduduk, sumber daya air pun ikut mulai mengalami defisit.
Problematika Ibu Kota lainnya yang dapat mengakibatkan kemacetan
adalah banjir. Banjir yang cukup besar sudah dua kali melanda DKI Jakarta,
2015 ini Jakarta kembali dilanda banjir besar.
Pada intinya, program tersebut merupakan program kerjasama
pembangunan di wilayah perbatasan Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi
(Jabodetabek). Hingga Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta dipimpin oleh Joko
Widodo (Jokowi), Provinsi Jabar dipimpin oleh gubernur Ahmad Heryawan
(Aher), dan Banten dipimpin oleh Ratu Atut Chosiyah, program tersebut masih
belum optimal. Artinya kurangnya koordinasi antar pemerintah daerah dan
lembaga lainnya akibat dari adanya perbedaan derajat otonomi daerah.
Oleh karena itu, dalam pembuatan kebijakan Pengelolaan Terpadu
Wilayah Jabodetabekjur sebagai kawasan megapolitan ini harus adanya kerja
sama dan harmonisasi seluruh elemen, baik dari pemerintah maupun
masyarakat dan lembaga kementerian terkait. Kerja sama ini bertujuan untuk
mengoptimalkan pembangunan kawasan megapolitan di Jabodetabekjur. Selain
itu bertujuan untuk menguatkan DKI Jakarta sebagai Ibukota negara. Dalam
hal ini harus adanya kesesuaian dan harmonisasi dari Pemprov DKI Jakarta,
Jabar dan Banten dalam membentuk sebuah kawasan megapolitan.
Berdasarkan apa yang telah dipaparkan di atas, menandakan bahwa
banyak permasalahan yang terjadi di wilayah Jabodetabekjur yang diakibatkan
kurangnya koordinasi dari para stakeholder. Untuk membuat sebuah kawasan
megapolitan di Jabodetabekjur dibutuhkan kerja sama dari seluruh elemen
pemerintah dan masyarakat. Dalam hal ini Komite 1 DPD RI sebagai lembaga
membuat RUU Kawasan megapolitan Jabodetabekjur. Dengan berbagai
permasalah pelik yang terdapat dalam latar belakang masalah, peniliti dapat
mengidentifikasi permasalahan sebagai berikut :
1. Kurangnya koordinasi antar pemerintah Provinsi, kabupaten/kota di
wilayah Jabodetabekjur
2. Ketimpangan pembangunan di Jakarta dengan wilayah Bodetabekjur
3. Jakarta sebagai pusat dari kegiatan ekonomi
4. Belum adanya penyatuan Jabodetabekjur sebagai satu regulasi dari
kementerian/badan yang di tunjuk
5. Kemacetan dan pengelolaan transportasi umum
6. Banjir dan degradasi kualitas lingkungan hidup
7. Urbanisasi dan ketimpangan sumber daya manusia
1.3 Pembatasan Masalah
Dengan munculnya masalah-masalah di wilayah Jabodetabekjur
sebagaimana dikemukakan di atas, membuat peneliti tertarik untuk
menganalisis Kebijakan Pengelolaan Terpadu Wilayah Jabodetabekjur. Akan
tetapi mengingat adanya keterbatasan waktu, tenaga dan dana, maka tidak
mungkin untuk mengkaji semua masalah yang telah disebutkan dilatar
belakang masalah. Oleh karena itu peneliti membatasi pengkajian ini pada
beberapa masalah, yakni:
1. Sejauh mana pengkajian Komite 1 DPD RI dalam pengambilan
keputusan untuk mengatasi permasalahan di Jabodetabekjur, meliputi
gagasan apa yang ditawarkan dalam pembentukan kawasan
Jabodetabekjur sebagai kawasan Megapolitan.
2. Bagaimana kerjasama antar lembaga Kementerian dan pemerintah
daerah dengan DPD RI di wilayah Jabodetabekjur dalam pembentukan
Kebijakan Pengelolaan Terpadu Kawasan Megapolitan Jabodetabekjur,
dan apakah terjadi ketimpangan atau ketidakharmonisan antara DPD RI
dengan pemerintah daerah Jabar, DKI Jakarta dan Banten dalam proses
pembuatan pembentukan kawasan Jabodetabekjur sebagai kawasan
Megapolitan.
3. Bagaimana tahapan-tahapan yang dibuat oleh Komite 1 DPD RI dengan
dalam pembuatan kebijakan pengelolaan terpadu wilayah
Jabodetabekjur sebagai kawasan Megapolitan.
1.4 Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah dan identifikasi masalah yang telah
peneliti buat, maka masalah penelitian ini penulis rumuskan sebagai berikut,
Bagaimana Analisis Kebijakan Pengelolaan Terpadu wilayah Jakarta, Bogor,
Depok, Tangerang, Bekasi, Cianjur (Jabodetabekjur) sebagai kawasan
1.5 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujun untuk mengetahui lebih dalam dan menganalisis
Kebijakan Pengelolaan Terpadu Wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang,
Bekasi, Cianjur (Jabodetabekjur) sebagai kawasan Megapolitan. Selain itu
penelitian ini diajukan sebagai salah satu tugas akhir dan syarat untuk
memperoleh gelar sarjana ilmu sosial pada konsentrasi kebijakan publik,
program studi ilmu administrasi negara.
1.6 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan informasi yang dapat
memberikan kemanfaatan sebagai berikut:
a. Secara Teoritik
Secara teoritik penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu
pengetahuan dan pengalaman penelitian dalam pengembangan Ilmu
Administrasi Negara khususnya dalam teori-teori kebijakan publik,
analisis kebijakan publik, menejemen strategi, pembangunan kota,
ilmu politik ataupun pengambilan keputusan dalam organisasi
publik. Sehingga ada keterbukaan informasi kepada publik
khususnya para mahasiswa ilmu administrasi Negara mengenai
tugas dan wewenang dari DPD RI. Dari keterbukaan infomasi
tersebut, publik pun akan dapat menilai bagaimana kinerja dari
b. Secara Praktisi
Secara praktisi penelitian ini diharapkan dapat memperluas
pengetahuan mengenai peran dan fungsi DPD RI khususnya Komite
1 sebagai salah satu lembaga tinggi negara yang memiliki fungsi
legislatif dan memiliki kewenangan berperan untuk ikut serta dalam
membentuk kawasan megapolitan di Indonesia. dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat di Provinsi DKI Jakarta, Jabar dan
Banten. Manfaat penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai
informasi, referensi, atau sebagai bahan tambahan dalam pengkajian
pembentukan sebuah kawasan megapolitan di Indonesia bagi
pembaca dan mahasiswa Ilmu administrasi negara dan pada
1.7 Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Latar belakang masalah menjelaskan mengapa peneliti
mengambil judul penelitian tersebut, juga menggambarkan
ruang lingkup dan kedudukan masalah yang akan diteliti yang
tentunya relevan dengan judul yang diambil. Materi dari uraian
ini, dapat bersumber dari hasil penelitian yang sudah ada
sebelumnya, hasil seminar ilmiah, hasil pengamatan,
pengalaman pribadi, dan intuisi logik. Latar belakang timbulnya
masalah perlu diuraikan secara jelas, faktual dan logik.
1.2 Identifikasi Masalah
Mendeteksi aspek permasalahan yang muncul dan berkaitan dari
judul penelitian atau dengan masalah atau variable yang akan
diteliti. Identifikasi masalah biasanya dilakukan pada studi
pendahuluan pada objek yang diteliti, observasi dan wawancara
ke berbagai sumber sehingga semua permasalahan dapat
diidentifikasi.
1.3 Rumusan Masalah dan Pembatasan Masalah
Menetapkan masalah yang paling penting dan berkaitan dengan
judul penelitian. Kalimat yang biasa dipakai dalam pembatasan
adalah mendefinisikan permasalahan yang telah ditetapkan
dalam bentuk definisi konsep dan definisi operasional.
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian mengungkapkan tentang sasaran yang ingin
dicapai dengan dilaksanakannya penelitian, terhadap masalah
yang telah dirumuskan.Isi dan rumusan tujuan penelitian sejalan
dengan isi dan rumusan masalah.
1.5 Manfaat Penelitian
Menggambarkan tentang manfaat penelitian baik secara praktis
maupun teoritis.
BAB II DESKRIPSI TEORI DAN ASUMSI DASAR PENELITIAN
2.1 Deskripsi Teori
Mengkaji berbagai teori yang relevan dengan permasalahan
variable penelitian, kemudian menyusunnya secara teratur dan
rapi yang digunakan untuk merumuskan masalah.
2.2 Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu adalah kajian penelitian yang pernah
dilakukan oleh peneliti sebelumnya yang dapat diambil dari
berbagai sumber ilmiah, seperti skripsi, tesis, jurnal ataupun
2.3 Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir menggambarkan alur pikiran penelitian
sebagai kelanjutan dari kajian teori untuk memberikan
penjelasan kepada pembaca.
2.4 Asumsi Dasar Penelitian
Menyajikan prediksi penelitian yang akan dihasilkan sebagai
hipotesa kerja yang mendasari penulisan sebagai landasan awal
penelitian.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Sub bab ini menjelaskan metode yang digunakan dalam
penelitian
3.2 Instrumen Penelitian
Sub bab ini menjelaskan tentang proses penyusunan dan jenis
alat pengumpul data yang digunakan. Dalam penelitian kualitatif
instrumennya adalah peneliti itu sendiri.
3.3 Penentuan Informan
Sub bab ini menjelaskan tentang orang yang dijadikan sumber
untuk mendapatkan data dan sumber yang diperlukan dalam
penelitian. Dapat diperoleh dari kunjungan lapangan yang
dilakukan di lokasi penelitian, dipilih secara purposive dan
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Menguraikan teknik pengumpulan data hasil penelitian dan cara
menganalisis yang telah diolah dengan menggunakan teknik
pengolahan data sesuai dengan sifat data yang diperoleh, melalui
pengamatan, wawancara, dokumentasi dan bahan-bahan visual.
3.5 Teknik Analisis Data
Sub bab ini menggambarkan tentang proses penyederhanaan data
ke dalam formula yang sederhana dna mudah dibaca serta mudah
diinterpretasi, maksudnya analisis data di sini tidak saja
memberikan kemudahan interpretasi, tetapi mampu memberikan
kejelasan makna dari setiap fenomena yang diamati, sehingga
implikasi yang lebih luas dari hasil penelitian dapat dijadikan
sebagai bahan simpulan akhir penelitian. Analisis data dapat
dilakukan melalui pengkodean dan berdasarkan kategorisasi data.
3.6 Keabsahan Data
Sub bab ini menggambarkan sifat keabsahan data dilihat dari
objektifitas dalam subjektivitas. Untuk dapat mendapat data yang
objektif berasal dari unsur subjektivitas objek penelitian, yaitu
bagaimana menginterpretasikan realitas sosial terhadap fenomena-
3.7 Lokasi Penelitian
Tempat yang dijadikan penelitian, dalam hal ini adalah Kantor
Sekretariat Jendral DPD RI. Terletak di Jalan Jendral Gatot
Subroto No. 6 Jakarta.
3.8 Jadwal Penelitian
Menjelaskan tentang tahapan waktu penelitian.
BAB IV HASIL PENELITIAN
4.1 Deskripsi Objek Penelitian
Menjelaskan tentang objek penelitian yang meliputi lokasi
penelitian secara jelas, struktur organisasi dari populasi atau
sampel yang telah ditentukan serta hal lain yang berhubungan
dengan objek penelitian.
4.2 Hasil Penelitian
Menjelaskan hasil penelitian yang telah diolah dari data mentah
dengan menggunakan teknik analisis data kualitatif.
4.3 Pembahasan
Merupakan pembahasan lebih lanjut terhadap hasil analisis data
dan wawancara narasumber.
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Menyimpulkan hasil penelitian yang diungkapkan secara
singkat, jelas, sejalan dan sesuai dengan permasalahan serta
5.2 Saran
Berisi rekomendasi dari peneliti terhadap tindak lanjut dari
sumbangan penelitian terhadap bidang yang diteliti baik secara
teoritis maupun praktis.
DAFTAR PUSTAKA
Memuat daftar referensi (literatur lainnya) yang digunakan dalam
penyusunan skripsi, daftar pustaka hendaknya menggunakan literatur
yang mutakhir.
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Memuat tentang hal-hal yang perlu dilampirkan untuk menunjang
penyusunan laporan penelitian maupun penyususnan skripsi, seperti
Lampiran tabel-tabel, Lampiran grafik, Instrumen penelitian, Lampiran
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA BERFIKIR DAN
ASUMSI DASAR
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Definisi Kebijakan Publik
Pada penelitian ini mengenai analisis Kebijakan Pengelolaan Terpadu
Wilayah Jabodetabekjur yang diusung oleh Komite 1 Dewan Perwakilan
Daerah (DPD) sebagai lembaga legislatif yang memiliki kewenangan membuat
kebijakan. Untuk itu sebelum menganalisis kebijakan yang dibuat tersebut
sebaiknya kita membahas lebih jauh mengenai bagaimana konsep kebijakan
publik, kita perlu mengkaji terlebih dahulu mengenai definisi dari kebijakan
publik itu sendiri. Dalam penelitian Analisis Kebijakan Pengelolaan Terpadu
Wilayah Jabodetabekjur tentu tidak terlepas dari bagian dalam proses
perumusan kebijakan publik, untuk itu sebaiknya lebih dulu memahami
definisi kebijakan dan konsep kebijakan publik. Banyak sumber yang berasal
dari para ahli yang memberikan beberapa pengertian dari definisi kebijakan,
berikut definisi kebijakan ;
Menurut Frederick sebagaimana dikutip dari Agustino (2008 : 7)
mendefinisikan kebijakan sebagai serangkaian tindakan/kegiatan yang
diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan
tertentu dimana terdapat hambatan-hambatan (kesulitan-kesulitan) dan
kesempatan-kesempatan terhadap pelaksanaan usulan kebijakan tersebut dalam
rangka mencapai tujuan tertentu. Pendapat ini juga menunjukan bahwa ide
kebijakan harus melibatkan perilaku yang memiliki maksud dan tujuan
merupakan bagian yang terpenting dalam definisi kebijakan, karena
bagaimanapun kebijakan harus menunjukan apa yang sesungguhnya
dikerjakan dari apa yang diusulkan dalam beberapa kegiatan pada suatu
masalah.
Menurut Richard (dalam Winarno 2007 : 17) bahwa kebijakan
dipahami sebagai serangkaian kegiatan yang sedikit banyak berhubungan serta
konsekuensi-konsekuensi bagi mereka yang bersangkutan sebagai keputusan
yang berdiri sendiri.
Dari beberapa pendapat di atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa
kebijakan adalah tindakan/kegiatan apapun yang dilakukan oleh suatu
kelompok orang atau pemerintah yang di dalamnya terdapat unsur keputusan
untuk mencapai tujuan dan maksud tertentu.
Lingkup dari studi kebijakan publik sendiri sangat luas karena
mencakup berbagai bidang dan sektor seperti ekonomi, sosial, budaya, hukum,
dan sebagainya. Di samping itu dapat dilihat dari hierarkinya kebijakan publik
dapat bersifat nasional, regional maupun lokal seperti Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan
Daerah/Provinsi, Keputusan Gubernur, Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, dan