• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kebutuhan

Dalam dokumen Endang Sundari NPM (Halaman 51-104)

BAB 2 KERANGKA TEORI DAN METODOLOGI PENELITIAN

2.2 Prinsip dalam Perancangan Silabus English for Occupational Purposes

2.2.4 Analisis Kebutuhan

Para pakar ESP sepakat bahwa sebelum melaksanakan aktivitas pengajaran ESP, terlebih dahulu dilakukan analisis kebutuhan, yakni suatu kegiatan menjaring informasi terkait dengan pemelajar dan kebutuhannya dalam belajar bahasa Inggris. Pada dasarnya, analisis kebutuhan berguna untuk menentukan arah program secara lebih tepat sehingga efektivitas suatu program ESP meningkat.

Para pakar ESP seperti Munby (1978), Hutchinson dan Waters (1987), dan Dudley-Evans dan St. John (1998) menganggap bahwa analisis kebutuhan merupakan langkah penting dalam penyusunan program ESP karena analisis kebutuhan merupakan dasar dalam menentukan program ESP selanjutnya. Dengan demikian, analisis kebutuhan merupakan langkah pertama yang perlu ditempuh dalam menyusun program ESP. Hasil analisis kebutuhan itu dijadikan dasar dalam perancangan silabus, pemilihan dan penyusunan materi, proses belajar-mengajar, dan evaluasi.

Sebelum membicarakan pelaksanaan analisis kebutuhan, terlebih dulu peneliti ini memaparkan pendapat berbagai pakar ESP mengenai pengertian kebutuhan. Beberapa pendapat itu antara lain dari Munby (1978), Hutchinson dan Waters (1987), Robinson (1991), Dudley-Evans dan St John (1998), dan Graves (2000). Satu dari uraian tersebut dipilih untuk dijadikan kerangka berpikir.

Menurut Munby (1978) kebutuhan itu mengacu kepada kebutuhan belajar bahasa. Munby (1978) dianggap sebagai ahli ESP yang pertama kali memperkenalkan analisis kebutuhan secara ilmiah. Sarana untuk menggali informasi mengenai kebutuhan belajar bahasa ialah Communication Needs Processor (CNP). Instrumen ini berguna dalam menjaring data dari pemelajar mengenai alasan belajar, waktu dan tempat penggunaan bahasa, mitra tutur dari bahasa yang dipelajari, dan keterampilan yang dibutuhkan.

Melalui CNP diperoleh profil pemelajar, keterampilan dan fungsi bahasa yang diperlukan pemelajar. Kelemahan CNP adalah tidak dilibatkannya pemelajar dalam menentukan kebutuhan mereka sendiri. CNP tidak menjaring data

mengenai tingkat penguasaan bahasa Inggris pemelajar dan keinginan atau harapannya dengan bahasa Inggris itu. Jadi, CNP hanya menjaring data kebutuhan objektif, dan tidak menjaring data subjektif. Oleh karena itu, peneliti ini tidak mengambil model analisis kebutuhan yang diketengahkan Munby (1978) ini. Melengkapi kekurangan dari model analisis kebutuhan yang dipaparkan Munby (1978), Hutchinson dan Waters (1987) menyatakan bahwa kebutuhan ialah semua yang berhubungan dengan

(1) keperluan (necessities), yakni apa yang harus diketahui pemelajar agar dapat berperan aktif dalam bahasa yang dipelajari itu;

(2) keinginan (wants), yakni hal yang mendorong pemelajar sehingga ingin mempelajari bahasa;

(3) Kekurangan atau kelemahan (lacks), yakni hal yang perlu dikuasai pemelajar. Peneliti ini berpendapat bahwa analisis kebutuhan yang diuraikan Hutchinson dan Waters (1998) ini pun mengandung kelemahan, yakni tidak dilibatkannya informasi tentang data personal atau latar belakang pemelajar. Mestinya, informasi mengenai pribadi pemelajar mengawali informasi lainnya, yakni informasi tentang keperluan, keinginan, dan kekurangan pemelajar.

Berikutnya adalah pendapat tentang analisis kebutuhan yang dipaparkan Dudley-Evans dan St John (1998). Mereka mengetengahkan delapan informasi sebagai unsur dalam analisis kebutuhan. Kedelapan informasi itu ialah

(1) informasi profesional pemelajar (tugas dan kegiatan pemelajar dalam belajar bahasa Inggris);

informasi budaya, alasan belajar dan harapan, sikap terhadap bahasa Inggris); (3) informasi penguasaan bahasa Inggris pemelajar (keterampilan berbahasa saat ini);

(4) kelemahan pemelajar;

(5) informasi tentang belajar bahasa (cara belajar bahasa yang efektif); (6) informasi tentang komunikasi profesional (bagaimana bahasa dan keterampilan digunakan dalam situasi tertentu);

(7) apa yang diinginkan dari pembelajaran bahasa Inggris, dan;

(8) informasi tentang lingkungan tempat pelajaran bahasa Inggris akan diselenggarakan.

Peneliti ini menyimpulkan bahwa analisis kebutuhan yang dipaparkan Dudley-Evans dan St John (1998) ini sebagai penyempurnaan analisis kebutuhan paparan Munby (1978) dan Hutchinson dan Waters (1987). Analisis kebutuhan paparan Dudley-Evans dan St John (1987) terdiri atas tiga hal utama, yakni informasi tentang pemelajar, informasi tentang bahasa yang dipelajari dan cara mempelajarinya, dan informasi tentang sarana pendukung belajar. Peneliti ini berpendapat bahwa analisis kebutuhan belajar bahasa seperti ini belum lengkap bila diterapkan dalam konteks SMK. Analisis ini lebih menekankan kepada cara belajar bahasa dan keterampilan bahasa, sedangkan siswa SMK lebih membutuhkan identifikasi yang jelas tentang keterampilan yang harus dikuasai pemelajar.

Selain menyempurnakan pemahaman tentang analisis kebutuhan yang diuraikan di atas, Dudley-Evans dan St. John (1998) juga melengkapi pemahaman

lainnya. Menurutnya, pengajar bukanlah satu-satunya orang yang menetapkan kebutuhan pemelajar. Selain pengajar, pihak lain yang berperan dalam menentukan kebijakan pembelajaran adalah pemelajar, institusi yang menaungi terjadinya proses pembelajaran, orangtua pemelajar, dunia kerja, alumni, dan dokumen. Analisis kebutuhan dapat dilakukan oleh pengamat luar karena lebih objektif. Kelemahannya, mereka tidak mengerti situasi dalam yang sesungguhnya. Dengan demikian dapat menyebabkan salah pengertian. Di sisi lain pengamat dalam, memahami benar situasi yang terjadi, namun kurang ahli. Oleh karena itu, perlu adanya kerja sama antara pengamat luar dan pengamat dalam (Alderson and Scott, 1992 dalam Dudley-Evans dan St John, 1998). Menurutnya, kegiatan analisis kebutuhan dapat dilakukan melalui penyebaran kuesioner, analisis teks otentik lisan dan tulisan, diskusi, wawancara terstruktur, observasi, studi kasus, dan pengetesan.

Sehubungan dengan analisis kebutuhan, Graves (2000) sependapat dengan Dudley-Evans dan St John (1998) dalam tiga hal. Pertama, mengenai pentingnya analisis kebutuhan dalam merancang program ESP. Kedua, pihak yang berperan dalam menentukan kebutuhan pemelajar. Ketiga, pelaksanaan analisis kebutuhan. Graves (2000) menambahkan pernyataan bahwa analisis kebutuhan merupakan proses sistematis dalam pengumpulan informasi yang dilakukan terus menerus untuk mengetahui kebutuhan pemelajar dan menginterpretasi informasi tersebut untuk membantu menentukan materi yang harus diajarkan, bagaimana materi tersebut diajarkan, dan bagaimana materi tersebut dievaluasi. Analisis kebutuhan memberi andil dalam melaksanakan pembelajaran yang mendekati kebutuhan

pemelajar dalam mempelajari bahasa Inggris. Di bawah ini disajikan bagan analisis kebutuhan Graves (2000).

Tujuan pembelajaran

Keadaan pemelajar Keadaan pemelajar

pada masa kini/sebelum mengikuti pada masa depan/perubahan yang proses pembelajaran diinginkan

1. Pemelajar. 1. Tujuan dan harapan pemelajar 2. Tingkat kemampuan bahasa belajar bahasa Inggris

Inggris pemelajar. 2. Konteks bahasa, situasi, 3. Tingkat kompetensi antarbudaya peran, topik, dan isi. pemelajar. 3. Jenis keterampilan

4. Minat pemelajar. komunikatif yang mereka 5. Pilihan gaya belajar pemelajar. butuhkan dan tugas yang 6. Sikap pemelajar. akan mereka jalankan. 4. Modalitas bahasa yang yang akan mereka gunakan. Dari bagan analisis kebutuhan Graves (2000), tujuan pembelajaran diperoleh sebagai hasil dari melaksanakan analisis kebutuhan. Untuk konteks SMK, tujuan pembelajaran untuk tiap-tiap mata pelajaran telah ditetapkan dalam KTSP dan berlaku untuk semua SMK. Oleh karena itu, guru tidak perlu menggali kebutuhan siswa untuk mendapatkan tujuan pembelajaran.

Untuk bahasa Inggris tujuan pembelajaran dikelompokkan ke dalam tiga jenis, yakni (1) berkomunikasi dalam bahasa Inggris setara level novice, (2) berkomunikasi dalam bahasa Inggris setara level elementary, dan (3) berkomunikasi dalam bahasa Inggris setara level intermediate. Berkomunikasi dalam bahasa Inggris setara level novice dimaksudkan kelas X, setara level elementary untuk kelas XI, dan setara level intermediate untuk kelas XII. Menurut peneliti ini pelevelan tidak dapat diidentikkan dengan kelas tertentu, tetapi pelevelan identik dengan kemampuan. Pelevelan seharusnya ditentukan melalui sebuah tes, yakni placement test.Dapat terjadi, kelas X yang digolongkan pada level novice memperoleh nilai atau skor melebihi kelas XI bahkan XII sehingga digolongkan level elementary atau intermediate. Jadi, pelevelan yang ditetapkan dalam KTSP bukan melalui placement test, melainkan didasarkan pada pengelompokan kelas.

Walaupun tujuan pembelajaran bahasa Inggris sudah ditetapkan secara formal seperti diuraikan di atas, peneliti ini tetap menggali tujuan pembelajaran bahasa Inggris menurut pendapat siswa. Selain untuk memenuhi prosedur yang disyaratkan dalam merancang program ESP, langkah ini berguna sebagai sarana untuk mengetahui apakah ada perbedaan tujuan pembelajaran yang dinyatakan siswa dengan yang tercantum dalam KTSP. Uraian secara lengkap dapat disimak dalam bab 4.

Kebutuhan pemelajar dalam mempelajari bahasa Inggris mengacu pada keadaan masa depan/perubahan yang diinginkan. Dengan orientasi pendidikan SMK, yakni bekerja, maka yang dimaksud dengan perubahan yang diinginkan

adalah perubahan dari bahasa Inggris sebagai pengetahuan (diperoleh sebelum masuk SMK) menjadi bahasa Inggris sebagai sarana untuk bekerja. Dalam hal ini pembelajaran bahasa Inggris di SMK berfungsi sebagai jembatan penghubung antara kemampuan awal siswa sebelum masuk SMK dengan kompetensi yang harus dikuasai sebelum masuk dunia kerja. Graves (2000) tidak mengharuskan semua unsur keadaan pemelajar pada masa kini dan masa depan digali dalam satu waktu, tetapi dapat menentukan unsur yang dipandang erat terkait dengan tujuan penelitian.

Peneliti ini berpendapat analisis kebutuhan yang diketengahkan Graves (2000) memiliki beberapa kelebihan dibanding analisis kebutuhan yang telah diuraikan di atas. Kelebihan itu ialah (1) analisis Graves (2000) melengkapi kekurangan dalam analisis Munby (1978) dan Hutchinson dan Waters (1987) yang tidak memasukkan unsur personal pemelajar dalam kegiatan analisis dan (2) melengkapi kekurangan dalam analisis kebutuhan Dudley-Evans dan St John (1998) yang tidak memasukkan gaya belajar pemelajar dalam mempelajari bahasa Inggris. Oleh karena itu, peneliti ini menetapkan analisis kebutuhan Graves (2000) sebagai landasan teoretis untuk menganalisis kebutuhan belajar bahasa Inggris untuk siswa SMK N 6 Jakarta kelas X.

Dalam pelaksanaan penelitian, unsur keadaan pemelajar masa kini yang digali secara intensif oleh peneliti ini adalah (1) pemelajar, (2) tingkat kemampuan bahasa Inggris pemelajar, (3) minat pemelajar terhadap bahasa Inggris, (4) pilihan gaya belajar bahasa Inggris pemelajar, dan (5) sikap pemelajar terhadap bahasa Inggris. Untuk unsur keadaan pemelajar pada masa depan yang digali adalah (1)

tujuan dan harapan pemelajar dalam mempelajari bahasa Inggris dan (2) jenis keterampilan komunikatif yang dibutuhkan pemelajar.

Orientasi pendidikan SMK, yakni bekerja, maka yang dimaksud dengan perubahan yang diinginkan adalah perubahan dari bahasa Inggris sebagai pengetahuan (diperoleh sebelum masuk SMK) menjadi bahasa Inggris sebagai sarana untuk bekerja. Dalam hal ini pembelajaran bahasa Inggris di SMK berfungsi sebagai jembatan penghubung antara kemampuan awal pemelajar sebelum masuk SMK dengan kompetensi yang harus dikuasai sebelum masuk dunia kerja. Graves (2000) tidak mengharuskan semua unsur keadaan pemelajar pada masa kini dan masa depan digali dalam satu waktu, tetapi dapat menentukan unsur yang dipandang erat terkait dengan tujuan analisis. Peneliti ini berpendapat analisis kebutuhan yang diketengahkan Graves (2000) memiliki beberapa kelebihan dibanding analisis kebutuhan yang telah diuraikan di atas. Kelebihan itu ialah (1) analisis Graves (2000) melengkapi kekurangan dalam analisis Munby (1978) dan Hutchinson dan Waters (1987) yang tidak memasukkan unsur personal pemelajar dalam kegiatan analisis dan (2) melengkapi kekurangan dalam analisis kebutuhan Dudley-Evans dan St John (1998) yang tidak memasukkan sikap pemelajar terhadap bahasa yang dipelajari itu. Dengan demikian, peneliti ini menetapkan analisis kebutuhan Graves (2000) sebagai landasan teoretis untuk menganalisis kebutuhan belajar bahasa Inggris untuk siswa SMK N 6 Jakarta kelas X.

Dalam pelaksanaan penelitian, unsur keadaan pemelajar masa kini yang digali secara intensif oleh peneliti ini adalah (1) pemelajar, (2) tingkat kemampuan

bahasa Inggris pemelajar, (3) minat pemelajar terhadap bahasa Inggris, (4) pilihan gaya belajar bahasa Inggris pemelajar, dan (5) sikap pemelajar terhadap bahasa Inggris. Untuk unsur keadaan pemelajar pada masa depan yang digali adalah (1) tujuan dan harapan pemelajar dalam mempelajari bahasa Inggris dan (2) jenis keterampilan komunikatif yang dibutuhkan pemelajar.

Kesimpulan dari uraian di atas ialah bahwa dalam merancang silabus EOP digunakan prinsip sebagai berikut.

(1) Jenis silabus yang digunakan dikategorikan ke dalam silabus multisilabus. (2) Materi ajar terdiri atas pengetahuan bahasa (tata bahasa, kosakata, pelafalan) dan keterampilan bahasa (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis). (3) Pemilihan materi ajar untuk pengetahuan kebahasaan dan keterampilan bahasa disesuaikan dengan kebutuhan siswa, yang diperoleh melalui analisis

kebutuhan. Dengan mengacu pada KTSP yang mengutamakan pencapaian kompetensi maka materi ajar yang sudah ditentukan dicari bentuk kompetensi yang terkandung di dalamnya sebagai fokus dalam proses pembelajaran. (4) Sumber bahan ajar yang digunakan adalah sumber bahan ajar otentik. Uraian di atas dapat digambarkan dalam sebuah diagram 2.4 di bawah ini.

Diagram 2.4

Prinsip dalam Perancangan Silabus EOP

Keterangan:

Silabus EOP dirancang untuk dapat memenuhi berbagai kebutuhan, antara lain kebutuhan siswa, institusi, dan kebutuhan pemakai lulusan atau dunia kerja. Untuk dapat mengetahui berbagai kebutuhan itu perlu dilakukan analisis kebutuhan. Dalam penelitian ini analisis kebutuhan diterapkan untuk pemelajar dengan menggunakan analisis kebutuhan Graves (2000). Pemilihan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa Graves (2000) menjadikan ESP sebagai dasar pengembangan teori analisis kebutuhan itu, dan dapat diterapkan dalam penggalian data di SMK bidang keahlian bisnis dan manajemen. Analisis kebutuhan tidak dilakukan untuk menggali kebutuhan pemerintah dan institusi karena sudah tercantum dalam UU Sisdiknas nomor 20 tahun 2003 pasal 15 dan KTSP SMK N 6 Jakarta, berupa standar kompetensi.

2.3 Metodologi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan dua macam metode: (1) metode penelitian survei dan (2) metode penelitian kasus. Berikut ini pembahasannya.

2.3.1 Metode Penelitian Survei

Metode penelitian survei banyak digunakan para peneliti bahasa kedua, pendidikan dwibahasa, dan bahasa asing untuk meneliti berbagai permasalahan dalam pembelajaran bahasa. Johnson (1992) menyatakan, “the purpose of a survey is to learn about characteristics of an entire group (a sample)”. Selanjutnya, Johnson (1992) menambahkan bahwa tidak mungkin sebuah penelitian untuk meneliti semua populasi. Oleh karena itu, dilakukan pemilihan sampel yang dimaksudkan sebagai perwakilan dari populasi secara keseluruhan. Selanjutnya, hasil dari penelitian terhadap sampel digeneralisasi terhadap keseluruhan populasi.

2.3.1.1 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan melalui penyebaran kuesioner dan pengetesan kemampuan bahasa Inggris. Penyusunan kuesioner ini mengacu kepada rambu-rambu yang dikemukakan oleh Oppenheim (1992). Kuesioner dipilih sebagai teknik pengumpulan data karena informasi yang dibutuhkan dapat dikontrol melalui pertanyaan. Materi dalam kuesioner ini dikembangkan dari pendapat Graves (2000) mengenai analisis kebutuhan.

Sebelum menyebarkan kuesioner yang sesungguhnya, peneliti ini terlebih dahulu melakukan uji coba terhadap sepuluh pemelajar SMK N 6 Jakarta dengan tujuan mendapatkan saran perbaikan terhadap bentuk dan isi kuesioner. Setelah perbaikan dilakukan, selanjutnya diteruskan dengan menyebarkan kuesioner itu kepada responden yang dimaksud.

Setelah mengisi kuesioner, responden mengerjakan tes kemampuan bahasa Inggris. Bahan yang digunakan untuk mengetes adalah Test of English for International Communication (TOEIC) Regional 2007. Tes ini dibuat oleh lembaga pembinaan guru kejuruan di Sawangan. Tes kemampuan ini digunakan untuk mengetahui tingkat penguasaan bahasa Inggris responden.

Secara garis besar tes ini terdiri dari dua bagian, yakni menyimak dan membaca. Menyimak terdiri atas 100 butir soal yang dibagi ke dalam empat bagian, yaitu bagian I (gambar, 20 butir soal) mengukur kemahiran membedakan pelafalan. Pada setiap pertanyaan dalam buku soal terdapat sebuah gambar. Pada kaset diperdengarkan empat pilihan jawaban yang disesuaikan dengan gambar yang tersedia. Bagian II (pertanyaan-respon, 30 butir soal) mengukur kemahiran menyimak dengan cara memilih satu pilihan jawaban yang ditawarkan atas sebuah pertanyaan. Pertanyaan dan pilihan jawaban tidak tercetak dalam buku soal, tetapi hanya diperdengarkan melalui sebuah kaset. Tingkat kesulitan pada bagian II ini lebih tinggi daripada bagian I. Bagian III (percakapan pendek, 30 butir soal) mengukur kemahiran menyimak dengan cara memilih satu jawaban benar berdasarkan percakapan pendek yang diperdengarkan melalui sebuah kaset. Tingkat kesulitan pada bagian III ini lebih tinggi daripada bagian II. Bagian IV

(pembicaraan pendek, 20 butir soal). Bagian IV sama dengan bagian III bedanya terletak dari jumlah soal. Pada bagian IV sebuah percakapan pendek dimaksudkan untuk menjawab dua atau lebih pertanyaan. Bagian IV ini adalah tingkat yang paling sulit dibanding bagian lainnya. Total waktu untuk tes menyimak adalah 45 menit.

Selanjutnya, membaca terdiri atas 100 butir soal yang dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu bagian V, VI, dan VII. Bagian V secara garis besar mengukur kemahiran membaca yang dikaitkan dengan pengetahuan kebahasaan (tata bahasa dan kosakata) dengan jumlah soal 40 butir. Bagian VI (mengenali kata atau frasa yang harus diperbaiki, 20 butir soal), dan bagian VII mengukur kemahiran membaca khususnya pemahaman terhadap isi suatu bacaan (40 butir soal). Waktu untuk mengerjakan soal membaca adalah 75 menit. Dengan demikian, dari keempat kemahiran bahasa yang diukur melalui TOEIC Regional February 2007 ini adalah kemahiran kemahiran menyimak dan membaca dengan total waktu 120 menit. Peneliti ini menganggap tes ini cukup dapat mengungkapkan kemampuan bahasa Inggris dasar siswa kelas X.

Penghitungan nilai (skor) ditentukan dari jumlah jawaban yang benar yang disesuaikan dengan conversion table (lihat Lampiran). Perolehan skor menunjukkan tingkat kemampuan bahasa Inggris siswa.

Penyebaran kuesioner dan pengetesan yang diuraikan di atas dilakukan terhadap responden yang diambil dari suatu populasi. Daftar pertanyaan kuesioner dapat dilihat dalam Lampiran 1. Populasi yang dimaksud di sini adalah siswa kelas X SMK N 6 Jakarta tahun pelajaran 2007/2008 yang berjumlah 300 orang,

yang dikelompokkan ke dalam empat program. Pemilihan siswa kelas X ini didasarkan pada tujuan penelitian, yaitu bahwa model silabus EOP dimulai sejak kelas X.

Untuk memperoleh sampel dari populasi yang memiliki ciri-ciri yang berbeda, Soeratno dan Arsyad (1993) mengusulkan metode sampling acak secara proporsional menurut stratifikasi. Menurut metode ini, populasi dibagi atas beberapa bagian (subpopulasi) dari populasi tersebut untuk keperluan penelitian. Berdasarkan kriteria ini, peneliti ini menetapkan sampel untuk tiap-tiap program keahlian seperti terlihat dalam tabel 2.2.

Tabel 2.2:

Responden Kelas X SMK N 6 Jakarta

Nomor Kelas Jumlah

Siswa sampel 1. X Administrasi Perkantoran 1 40 4 2. X Administrasi Perkantoran 2 38 4 3. X Akuntansi 1 39 4 4. X Akuntansi 2 36 4 5. X Penjualan 1 39 4 6. X Penjualan 2 35 3 7. X Multimedia 1 37 4 8. X Multimedia 2 36 4 Total 300 31

2.3.1.2 Teknik Analisis Data

Johnson (1992) menggolongkan analisis data dalam penelitian survei ke dalam tiga jenis, yaitu analisis deskriptif, analisis korelasional, dan analisis ketelitian perkiraan. Peneliti ini menggunakan satu dari teknik analisis yang disebutkan di atas, yakni analisis deskriptif. Analisis deskriptif ialah analisis yang berkaitan dengan jumlah dan persentase. Jadi data yang ditampilkan merupakan statistik deskriptif. Dengan demikian data yang diperoleh dari penyebaran kuesioner dan pengetesan dihitung jumlah dan persentasenya sehingga dapat dibuat menjadi tabulasi.

2.3.2 Metode Penelitian Kasus

Johnson (1992) menjelaskan metode penelitian kasus sebagai “a case study is a study of one case. A case-study researcher focuses attention on a single entity, usually as it exists in its naturally occurring environment”. Maksud penelitian kasus adalah menguraikan masalah dalam konteksnya.

Penelitian kasus ini difokuskan pada SMK N 6 Jakarta khususnya yang menyangkut masalah pembelajaran bahasa Inggris. Dengan demikian, unsur yang diteliti adalah dokumen dan pihak yang terkait dengan pembelajaran bahasa Inggris.

2.3.2.1 Teknik Pengumpulan Data

Data dalam penelitian kasus diperoleh melalui pengamatan, analisis dokumen dan laporan tertulis yang terkait, serta wawancara. Untuk memudahkan

penganalisisan dokumen, peneliti ini menggunakan panduan analisis dokumen. Berikut ini tabel 2.3 tentang panduan analisis dokumen.

Tabel 2.3:

Panduan Analisis Dokumen

Nomor Data yang dibutuhkan Dokumen yang dikaji 1 Visi dan misi SMK N 6 Jakarta Pedoman Mutu, 2005 2 Tujuan pendidikan bahasa Inggris di SMK

kelompok bisnis dan manajemen

KTSP

3 Kompetensi bahasa Inggris KTSP

4. Tujuan pendidikan kejuruan UU Sisdiknas nomor 20 Tahun 2003

5. Jenis dan tempat bekerja alumni Data alumni

6. Perbedaan kurikulum 2004 dan KTSP Kurikulum 2004 dan KTSP

7. Materi pembelajaran bahasa Inggris

di SMK N 6 Jakarta

Silabus SMK N 6 Jakarta

Selain menggunakan panduan analisis dokumen, penelitian ini juga menggunakan panduan wawancara. Johnson (1992) menyebutkan tiga macam wawancara, yaitu wawancara terstruktur, semi terstruktur, dan tidak terstruktur. Wawancara terstruktur ialah wawancara dengan pertanyaan yang telah ditentukan.

Wawancara semi terstruktur ialah wawancara yang pertanyaannya berupa garis besar atau pokok pertanyaan, dan wawancara tidak terstruktur adalah pertanyaan dalam wawancara hanya berupa topik-topik. Peneliti ini menggunakan wawancara semi terstruktur karena melalui dapat dihasilkan data tentang persepsi dan penilaian yang bersifat subjektif dan kualitatif.

Wawancara dilakukan dengan empat orang informan guru dan lima informan praktisi dunia kerja. Informan dari guru yaitu semua guru bahasa Inggris SMK N 6 Jakarta, yang berjumlah lima orang, di luar peneliti ini. Namun, ada satu orang guru yang karena kesibukannya sangat padat tidak dapat dijadikan informan. Sampai penulisan tesis ini beliau tetap belum mempunyai waktu luang, sehingga peneliti ini memutuskan untuk meninggalkan informan yang satu ini. Dengan demikian sumber data berjumlah empat orang. Data selengkapnya dapat dilihat dalam tabel 2.4. Informan ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pelaksanaan pembelajaran bahasa Inggris di SMK N 6 Jakarta.

Tabel 2.4

Pelaksanaan Wawancara dengan Informan Guru

Nomor Nama Waktu Wawancara Tempat 1 Rosminje Adelina

Hutahaean

4 Oktober 2007 Ruang guru SMK N 6 Jakarta

2 Nurvi Asiati 24 Oktober 2007 Ruang toko SMK N 6 Jakarta

3 Sri Suharti 6 November 2007 Perpustakaan SMK N 6 Jakarta 4 Charita Cherry 6 November 2007 Perpustakaan

Sebelum merumuskan butir-butir pertanyaan yang akan dicantumkan dalam panduan wawancara dengan informan guru, peneliti ini melakukan uji coba wawancara dengan informan Rosminje AH, dengan tujuan memperoleh validitas panduan wawancara. Informan Rosmintje dipilih untuk uji coba wawancara karena ia pernah bekerja di dunia industri sebelum menjadi guru. Uji coba wawancara dilakukan di ruang guru dan direkam. Setelah melaksanakan uji coba wawancara dengan informan Rosminje, peneliti ini mengadakan perbaikan panduan wawancara dengan cara membuang pertanyaan yang tidak terlalu berhubungan dengan tujuan penelitian dan sebaliknya menambahkan pertanyaan yang berhubungan erat dengan tujuan penelitian.

Setelah selesai mewawancarai informan guru, peneliti ini meneruskan penggalian data dengan mewawancarai informan praktisi dunia kerja. Peneliti ini tidak melakukan uji coba terhadap informan praktisi dunia kerja, mengingat kesibukan para informan praktisi dunia kerja yang sangat padat. Untuk mengganti uji coba dengan mereka peneliti ini mengadakan serangkaian tanya jawab dengan wakil kepala sekolah bidang hubungan masyarakat (humas) yang salah satu tugasnya adalah mengurusi masalah PKL. Dari perbincangan tersebut peneliti ini mendapat gambaran pertanyaan yang akan diajukan kepada informan praktisi

Dalam dokumen Endang Sundari NPM (Halaman 51-104)

Dokumen terkait