• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kegiatan Adaptasi Berdasarkan Dimensi Adaptasi

Pembaharuan (Updating ) Data

TINJAUAN PUSTAKA

4.3 Analisis Kegiatan Adaptasi Berdasarkan Dimensi Adaptasi

Perubahan Iklim

Selain jenis adaptasi, dimensi adaptasi dapat dijadikan sebagai basis ilmiah dalam penentuan kegiatan adaptasi perubahan iklim. Dalam bahasan kali ini, pembagian dimensi adaptasi disesuaikan dengan pendapat dari Spearman dan McGray (2011) yaitu, kapasitas adaptif, aksi adaptasi, dan pembangunan berlanjut. Kapasitas adaptif merupakan dimensi yang berupaya mendorong pemikiran, perencanaan, dan pelaksanaan kerja ke depan yang akan menghindarkan bencana dan mengambil manfaat. Aksi adaptasi merupakan kapasitas adaptif yang diterapkan dalam bentuk keputusan dan tindakan spesifik untuk mengatasi risiko iklim spesifik. Sedangkan dimensi pembangunan berlanjut yaitu aksi adaptasi yang dilakukan setelah berhasil

mengurangi dampak perubahan iklim dan masih tetap melakukan kegiatan adaptasi perubahan iklim.

4.3.1 Sektor Pertanian dan Ketahanan Pangan

Pada sektor pertanian, kegiatan adaptasi yang paling banyak dilakukan adalah kegiatan yang berdimensi kapasitas adaptif, contohnya adalah penyusunan kalender tanam yang dilakukan oleh Balitklimat dan food for asset di NTT dan NTB yang dilakukan oleh WFP. NTT dan NTB merupakan wilayah yang sudah sangat rentan terhadap berubahnya kondisi iklim di Indonesia. Kemarau panjang diikuti oleh gagal panen di NTT, misalnya, sudah menimbulkan akibat yang parah dan kasus kurang gizi akut tersebar di berbagai daerah di seluruh provinsi tersebut (UNDP 2007).

Dampak perubahan iklim pada sektor pertanian akan menimbulkan dampak yang multidimensi karena melibatkan faktor biotik dan abiotik. Air, energi, sistem lahan, lingkungan tanah, hutan dan keanekaragaman hayati, ketersediaan tenaga kerja, infrastruktur, operasi pasar, pengetahuan, tradisi, masalah kebijakan dan sosial ekonomi merupakan faktor-faktor yang menentukan operasi sistem pertanian, yang mana faktor tersebut banyak dipengaruhi oleh parameter iklim (Pokhrel dan Pandey 2011). Dengan kata lain, perubahan iklim dapat mempengaruhi berbagai komponen dalam sistem pertanian secara spesifik sehingga dampaknya tidak hanya berupa dampak biofisik saja melainkan juga dalam faktor sosial ekonomi.

Gambar 20 Diagram persentase dimensi adaptasi kegiatan sektor pertanian dan ketahanan pangan.

Gambar 20 menunjukkan bahwa 64% kegiatan adaptasi termasuk kegiatan adaptasi berdimensi kapasitas adaptif, hal ini menjelaskan bahwa kegiatan adaptasi pada sektor pertanian dan ketahanan pangan lebih banyak berupa penyusunan data, pemetaan, ataupun pembuatan model. Namun para pemangku kepentingan tetap melakukan kegiatan yang berdimensi aksi adaptasi dan pembangunan berlanjut dalam menghadapi dampak perubahan iklim yang terjadi, walaupun hanya sedikit (24% yang berdimensi aksi adaptasi dan 12% yang berdimensi pembangunan berlanjut). Dampak perubahan iklim pada sektor pertanian yang multidimensi sudah cukup teratasi dengan kegiatan adaptasi perubahan iklim baik yang berdimensi kapasitas adaptif, aksi adaptasi, maupun pembangunan berlanjut.

4.3.2 Sektor Pembangunan Wilayah Pesisir

Pada sektor pembangunan wilayah pesisir, proporsi dimensi kegiatan adaptasi yang dilakukan tidak jauh berbeda. Bahkan antara dimensi aksi adaptasi dan pembangunan berlanjut memiliki nilai yang sama yaitu 23%. Contoh kegiatan adaptasi dimensi pembangunan berlanjut yang telah dilakukan pada sektor ini adalah pengelolaan kawasan pesisir melalui rehabilitasi pantai dengan penanaman mangrove dan pembuatan alat penahan ombak (APO) yang dilakukan oleh Bintari. Kegiatan ini berlangsung sejak tahun 2009 sampai

sekarang dan akan dilanjutkan sampai tahun 2013. Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan ketahanan pangan dan kapasitas masyarakat pesisir dan konservasi hutan mangrove.

Gambar 21 Diagram persentase dimensi adaptasi kegiatan sektor pembangunan wilayah pesisir. Gambar 21 menunjukkan bahwa 54% kegiatan adaptasi merupakan kegiatan adaptasi berdimensi kapasitas adaptif, sementara kegiatan berdimensi aksi adaptasi dan pembangunan berlanjut masing-masing sebesar 23%. Hal ini menjelaskan bahwa kegiatan adaptasi pada sektor pembangunan wilayah pesisir sudah teratasi dengan baik pada semua jenis dimensi kegiatan yang ada. Perubahan iklim pada sektor kelautan dan perikanan, membuat banyak para pengusaha ikan harus mempertimbangkan perubahan iklim yang akan terjadi karena hal tersebut akan merugikan mereka. Jika dampak dari perubahan iklim pada sektornya sangat tinggi dan buruk, mereka harus mencari usaha lain sebagai alternatif untuk memperoleh pendapatan mereka. Harapannya perubahan tersebut dapat menjadi perhatian para pemangku kepentingan perubahan iklim untuk melaksanakan pendekatan ekosistem pada sektor perikanan secara holistik, terpadu, dan partisipatif disertai dengan pendekatan untuk mendapatkan perikanan yang berkelanjutan (FAO (2006) dalam Daw et al. 2009).

4.3.3 Sektor Kesehatan Masyarakat Lain halnya dengan sektor kesehatan masyarakat, 93% kegiatan adaptasi yang dilakukan merupakan kegiatan berdimensi kapasitas adaptif dan sisanya merupakan kegiatan aksi adaptasi (Gambar 22). Hal ini menunjukkan bahwa para pemangku kepentingan pada sektor ini lebih menitikberatkan pada dimensi kapasitas adaptif, padahal dalam menghadapi perubahan iklim juga diperlukan aksi adaptasi yang nyata dan berkelanjutan sehingga dampak perubahan iklim yang terjadi dapat diatasi lebih baik lagi.

Gambar 22 Diagram persentase dimensi adaptasi kegiatan sektor kesehatan masyarakat.

Kesenjangan kesehatan diakui terjadi dalam kesehatan masyarakat dan praktek klinis, padahal seharusnya perbedaan tersebut dihilangkan karena pelayanan kesehatan merupakan hal yang harus diberikan kepada setiap orang tanpa membedakan jenis ras ataupun banyaknya materi yang dimiliki. Salah satu kontributor dalam kesenjangan kesehatan adalah risiko lingkungan yang tidak proporsional mengancam populasi tertentu, terutama orang miskin dan kelompok minoritas. Pada skala global, orang di negara miskin akan menghadapi risiko kesehatan yang lebih besar dibandingkan orang kaya karena kehidupan mereka memang jauh berbeda. Untuk itu perlu dilakukan aksi dalam bidang kesehatan masyarakat terutama kepada masyarakat yang rentan akibat perubahan iklim. Dalam pelaksanaan aksi tersebut harus memperhatikan kerentanan dan

mengidentifikasikan kesehatan dari populasi yang paling rentan, serta fokus pada menghilangkan kesenjangan kesehatan (Frumkin et al. 2008).

4.3.4 Sektor Sumber Daya Alam

Sama halnya dengan sektor kesehatan masyarakat, kegiatan adaptasi pada sektor sumber daya alam pun belum ada kegiatan berupa pembangunan berlanjut. Kegiatan adaptasi yang telah, sedang, dan direncanakan akan dilakukan masih berupa kapasitas adaptasi dan aksi adaptasi. Contoh kegiatan yang berupa aksi adaptasi adalah model tata lahan pada kelurahan Sukorejo yang dilakukan oleh CCROM. Pada kegiatan ini dilakukan pemodelan konservasi yang sudah terarah dalam bentuk pilot project

untuk konservasi tanaman, masa tanam, dan terasering, membentuk sumur tangkapan biopori dan penghijauan.

Gambar 23 Diagram persentase dimensi adaptasi kegiatan sektor sumber daya alam.

Gambar 23 menunjukkan bahwa kegiatan adaptasi pada sektor sumber daya alam memiliki proposi cukup jauh berbeda untuk dimensi kapasitas adaptif dan aksi adaptasi, yaitu masing-masing adalah 71% dan 29%. Sementara tidak ada kegiatan adaptasi yang berdimensi pembangunan berlanjut pada sektor ini. Hal ini seharusnya dapat menjadi perhatian penting bagi para pemangku kepentingan pada sektor ini bahwa dalam mengatasi dampak perubahan iklim yang telah dan diperkirakan akan terjadi perlu dilakukan kegiatan aksi adaptasi yang berkelanjutan sehingga dampak perubahan iklim dapat teratasi lebih baik lagi.

4.3.5 Sektor Manajemen Risiko Bencana Sektor manajemen risiko bencana merupakan sektor yang paling banyak mendapatkan perhatian dari para pemangku kepentingan perubahan iklim. Pada sektor ini, seluruh kegiatan adaptasi mencakup ketiga dimensi adaptasi perubahan iklim menurut Spearman dan McGray, walaupun kegiatan adaptasi berupa pembangunan berlanjut yang telah dilakukan hanya ada satu, yaitu adaptasi dan mitigasi perubahan iklim berbasis masyarakat melalui konsep wanatani yang berkelanjutan di Ungaran, Semarang.

Gambar 24 Diagram persentase dimensi adaptasi kegiatan sektor manajemen risiko bencana. Gambar 24 menunjukkan bahwa 83% kegiatan adaptasi merupakan kegiatan adaptasi berdimensi kapasitas adaptif, hal ini menjelaskan bahwa kegiatan adaptasi pada sektor manajemen risiko bencana masih banyak yang berupa pelatihan strategi, penyusunan data, pemetaan, ataupun pembuatan model. Namun para pemangku kepentingan tetap melakukan kegiatan yang berdimensi aksi adaptasi dan pembangunan berlanjut dalam menghadapi dampak perubahan iklim yang terjadi, walaupun hanya sedikit (11% yang berdimensi aksi adaptasi dan 6% yang berdimensi pembangunan berlanjut).

Salah satu kegiatan yang berdimensi aksi adaptasi pada sektor ini adalah green building and green infrastruktur yang dilakukan oleh Dinas Pekerjaan Umum. Kegiatan tersebut penting dilaksanakan dalam mewujudkan tatanan infrastruktur

untuk memenuhi kebutuhan manusia secara berkelanjutan (suistanable development), tanpa merusak atau mengganggu sumber daya alam (Ginting 2008).

4.3.6 Sektor Sumber Daya dan Kualitas Air

Berbeda dengan sektor lainnya, sektor sumber daya dan kualitas air memiliki kegiatan adaptasi berupa aksi yang lebih banyak dibandingkan dengan kapasitas adaptif, hal ini dapat dilihat pada Gambar 25.

Gambar 25 Diagram persentase dimensi adaptasi kegiatan sektor sumber daya dan kualitas air. Gambar 25 menunjukkan bahwa kegiatan adaptasi pada sektor sumber daya dan kualitas air memiliki proposi yang hampir sama untuk dimensi kapasitas adaptif dan aksi adaptasi, yaitu masing-masing adalah 60% dan 40%. Hal ini menjelaskan bahwa para pemangku kepentingan pada sektor ini lebih banyak melakukan kegiatan berupa aksi adaptasi dalam menghadapi dampak perubahan iklim yang telah dan diperkirakan akan terjadi, walaupun aksi tersebut belum ditindaklanjuti menjadi kegiatan pembangunan berlanjut. Namun harapannya hal ini dapat menjadi perhatian penting bagi para pemangku kepentingan pada sektor ini bahwa dalam mengatasi dampak perubahan iklim yang telah dan diperkirakan akan terjadi perlu dilakukan kegiatan aksi adaptasi yang berkelanjutan sehingga dampak perubahan iklim dapat teratasi lebih baik lagi.

Gambar 26 Dimensi adaptasi perubahan iklim kegiatan (a) telah dilakukan; (b) sedang dilakukan; (c) akan dilakukan; (d) semua kegiatan.

Sebagian besar kegiatan adaptasi yang dilakukan oleh 14 kelembagaan di Indonesia memiliki dimensi adaptasi berupa kapasitas adaptif (72%), sementara kegiatan yang berdimensi aksi adaptasi masih tergolong sedikit (<25%), hal ini dikarenakan terbatasnya teknologi dan sarana prasarana yang dapat digunakan untuk mengatasi dampak dari perubahan iklim. Walaupun kegiatan berdimensi pembangunan berlanjut hanya sedikit tetapi kegiatan pada dimensi ini mengalami peningkatan jumlah kegiatan dari tahun yang lalu, sekarang, dan akan datang. Sebelumnya kegiatan adaptasi pembangunan berlanjut hanya ada 4% dari keseluruhan kegiatan adaptasi waktu itu, namun para pemangku kegiatan adaptasi perubahan iklim merasa kegiatan pembangunan berlanjut perlu untuk dilakukan dalam mengatasi dampak perubahan iklim, sehingga saat ini kegiatan adaptasi pembangunan berlanjut meningkat menjadi 15% dan beberapa kelembagaan merencanakan kegiatan berupa pembangunan berlanjut masa yang akan datang mencapai 21%.

Gambar 26 menunjukkan bahwa kegiatan para pemangku adaptasi perubahan iklim ini masih berupa pemikiran ataupun hanya menghasilkan data, belum banyak kegiatan aksi nyata dalam menghadapi/ mengatasi dampak perubahan iklim yang terjadi. Nyatanya, masyarakat lebih membutuhkan kegiatan berupa tindakan spesifik untuk mengatasi risiko iklim yang

spesifik, karena tindakan adaptasi secara langsung dapat mereduksi atau mengelola dampak biofisik dari perubahan iklim serta faktor-faktor non-iklim yang berkontribusi pada kerentanan akibat perubahan iklim. 4.4 Analisis Kegiatan Adaptasi

Berdasarkan Teknologi Adaptasi Perubahan Iklim

Penentuan kegiatan adaptasi sebagai basis ilmiah dapat juga didasarkan pada tipe teknologi yang digunakan. Dalam hal ini, pembagian tipe teknologi adaptasi disesuaikan dengan pendapat dari Suroso

dkk (2010) yaitu teknologi adaptasi lunak (soft adaptation) dan adaptasi keras (hard adaptation).

Sebenarnya penentuan tipe teknologi dapat dilihat berdasarkan tipe dimensi adaptasi suatu kegiatan. Jika suatu kegiatan memiliki dimensi kapasitas adaptasi maka tipe teknologi kegiatan tersebut dapat digolongkan ke dalam teknologi adaptasi lunak, yaitu teknologi untuk pengembangan kebijakan, perencanaan, diseminasi, penilaian, basis data dan informasi dalam konteks adaptasi. Berdasarkan data yang diperoleh dari beberapa sektor kelembagaan di Indonesia, 76% teknologi adaptasi yang telah dilakukan masih berupa adaptasi lunak. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar kegiatan yang telah dilakukan masih berupa pemikiran-pemikiran, pembuatan peta/ pola/ model, atau penyusunan data, belum berupa tindakan secara nyata (aksi).

Gambar 27 Teknologi adaptasi perubahan iklim kegiatan (a) telah dilakukan; (b) sedang dilakukan; (c) akan dilakukan; (d) semua kegiatan.

Sementara sisanya kegiatan yang dilakukan berupa langkah konkret/ aksi yang dilakukan atau disebut dengan teknologi adaptasi keras, mencakup tindakan adaptasi terkait pembangunan konstruksi dalam konteks adaptasi, antara lain, dalam bentuk pembangunan bendungan pencegah banjir maupun penyimpan air. Contoh kegiatan ini adalah panen air dam parit dan aplikasi irigasi yang dilakukan oleh Balitklimat. Sebelumnya teknologi adaptasi keras hanya ada 24%, namun para pemangku kegiatan iklim terus mengupayakan kegiatan menggunakan teknologi keras karena disinyalir dampak perubahan iklim teratasi dengan baik menggunakan teknologi keras, itulah sebabnya saat ini kegiatan adaptasi dengan teknologi keras mencapai 29% dan direncanakan untuk masa yang akan datang kegiatan adaptasi dengan bantuan teknologi keras mencapai 44%.

4.5 Analisis Kegiatan Adaptasi