• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN

4.4 Gambaran Kemiskinan Pada Masyarakat Pemulung yang Tinggal di Jalan

4.4.1 Analisis Kemiskinan Masyarakat Pemulung di Jalan Tirtosar

Kemiskinan merupakan fenomena yang masih begitu mudah dijumpai dimana - mana termasuk di daerah perkotaan. Di balik kemewahan gedung - gedung pencakar langit di Kota, terdapat permukiman kumuh yang terasingkan. Permukiman yang berderet di bantaran sungai maupun jalur perlintasan kereta api. Menurut Chambers (dalam Nasikun), mengatakan bahwa kemiskinan adalah suatu integrated concept yang memiliki lima dimensi, yaitu :

1. Kemiskinan (proper)

2. Ketidakberdayaan (powerless)

3. Kerentanan menghadapi situasi darurat (state of emergency) 4. Ketergantungan (dependence)

5. Keterasingan (isolation) baik secara geografis maupun sosiologis.

Hidup dalam kemiskinan bukan hanya hidup dalam kekurangan uang dan tingkat pendapatan rendah, tetapi juga banyak hal lain yang menjadi indikatornya, seperti : tingkat kesehatan, pendidikan rendah, perlakuan tidak adil dalam hukum, kerentanan terhadap ancaman tindak kriminal, ketidakberdayaan menghadapi kekuasaan, dan ketidakberdayaan dalam menentukan jalan hidupnya sendiri.

Deepa Narayan dalam karyanya Voices Of The Poor, Deepa Narayan,dkk memberikan empat dimensi utama dari defenisi kemiskinan yang dirumuskan oleh masyarakat miskin sendiri, yaitu sebagai berikut :

a. Aset Fisik (Physical Capital)

Pada dasarnya masyarakat miskin memang praktis tidak memiliki benda - benda fisik yang diperlukan sebagai modal hidup mereka seperti tanah yang memadai, rumah/tempat tinggal yang layak, perabotan rumah tangga, kendaraan, peralatan kerja dan benda - benda fisik lainnya. Masyarakat pemulung yang tinggal di Jalan Tirtosari Ujung tidak memiliki tanah. Tanah yang mereka tempati merupakan tanah milik PJKA. Sedangkan rumah ada yang milik pribadi ada yang menyewa. Hal ini senada dengan penuturan salah satu informan Ibu Sitio (Pr, 44 tahun), yang mengatakan :

“Rumah udah milik sendiri sih tapi tanahnya punya PJK. Semua yang di pinggir rel ini tanahnya punya PJKA. Kami nompang aja, kalo di gusur ya udah siap kan gitu.” (Wawancara 14 Agustus 2016)

Penjelasan yang sama juga diutarakan oleh informan lain bernama Ibu Dewi Aritonang (Pr, 38 tahun) yang mengatakan :

“Tv gak ada, rusak pas mau tahun baru itu. Belum ada uangnya untuk betulkan, ya gini la gak nonton duduk - duduk di depan pintu” (Wawancara 04 Agustus 2016)

b. Aset Kemanusiaan (Human Capital)

Pada dasarnya masyarakat miskin juga tidak memiliki kualitas sumber daya manusia yang cukup baik yang dapat menjamin keberhasilan hidup mereka, mencakup tingkat kesehatan, pendidikan, tenaga kerja, dsb. Belum lagi kualitas manusia yang lain seperti etos kerja yang ulet, jiwa

kewirausahaan, kepemimpinan, dsb. Pemulung di Kota Medan khususnya yang berada di Jalan Tirtosari Ujung mayoritas adalah kaum migran. Mereka datang ke Kota Medan dengan pendidikan dan skill yang rendah. Mereka hanya berharap bahwa di Medan akan banyak hal yang bisa dilakukan untuk memperoleh uang. Tidak seperti di kampung yang kehidupan hanya menjadi petani dan buruh tani.. Hal ini sama seperti yang dijelaskan oleh salah satu informan, Ibu Rani Butar - butar (Pr, 49 tahun) yang mengatakan :

“Dulu kan kakakku di Medan kian, pas tamat aku sekolah SMP ayok la ke Medan katanya. Ku pikir iya lah biar ga bertani lagi kan ga pegang tanah. Nyatanya gini juga di pegang lebih parah pun kotornya.” (Wawancara 11 Agustus 2016)

Ibu Rosminda, (Pr, 43 tahun), juga menjelaskan dengan mengatakan :

“Orang kan berlomba ke Kota. Tapi karena ga ada sekolah ya kek gini la kerja. Melihara Babi, Cari parnap, nasi busuk, botot. Semua dikerjakan asal bisa makan.” (Wawancara 11 Agustus 2016)

Hal ini sepadan dengan teori yang dikemukakan Gavin Jones dalam Jurnal Ketut Sudhana Astika bahwa bagaimana pun orang desa bermigrasi membandingkan bahwa ada peluang atau kesempatan kerja yang lebih besar dan lebih panjang dikota, walau harus tinggal diperkampungan seperti pinggiran Kota. Tepatnya di daerah pinggiran jalur perlintasan kereta api di Jalan Tirtosari Ujung Kelurahan Bantan.

Dari aspek sumber daya manusia terkait kualitas kesehatan, Ibu Rosminda (Pr, 43 tahun) juga menambahkan dengan mengatakan :

“Ya kalo bicara sehat ya sehat ajanya kami semua disini, karena kan udah kebal la dibilang. Cuma kalo berobat, konsultasi kesehatan aku pribadi sama keluarga ke puskesmas. Karena kan kebetulan kami gratis karena lengkap KK kami.” (Wawancara 11 Agutus 2016)

Hal sama juga terjadi pada salah satu informan Ibu Simarmata yang bekerja sebagai pedagang yang dulunya adalah pemulung. Beliau mengatakan bahwa pada beberapa bulan yang lalu ia mendapat paket pos yang isinya berupa Kartu Indonesia Sehat yang ditujukan untuk dia dan 9 warga lainnya. Ia menjelaskan dengan mengatakan :

“Dulu kan masih muda ya kuat aja, kebal. Sekarang karena udah sakit ga kuat lagi jalan cari botot ya gini la jualan jualan di rumah. Syukur ada kartus kis ku. Datang waktu itu tukang pos yang ngantar. Sepuluh kartunya di dalamnya untuk ku satu.” (Wawancara 14 Agustus 20016)

c. Aset Sosial (Social Capital)

Masyarakat memang selalu bersisi dari pranata sosial yang ada termasuk sistem asuransi sehingga mereka harus membangun sendiri institusi mereka agar mendapakan jaminan sosial (Social Security) yang dibutuhkan untuk mempertahankan hidup mereka (survival) melalui kekerabatan antar mereka, asosiasi penghuni, yang sering kali menjadi sangat kuat oleh sebab rasa senasib sepenanggungan. Berdasarkan observasi, kekerabatan di Jalan Tirtosari Ujung sangat Erat. Terlihat dari adanya Serikat Tolong Menolong dan Kegiatan Ibadah bersama yang rutin diadakan setiap hari Rabu malam bergiliran di rumah warga. Penjelasan ini didukung oleh penuturan salah satu informan, Ibu Sitio (Pr, 44 tahun), yang mengatakan :

“Kami disini ada kumpulan, kami bikin pertemuan sekali seminggu sama sekali sebulan. STM sekali sebulan pas hari minggu. Yang sekali seminggu dari gereja partamiangan namanya” (Wawancara 14 Agustus 2016)

Ibu R. Sirait (Pr, 52 tahun) juga menambahkan dengan mengatakan :

“Kalo disini nang soal kekerabatan kompaknya, kalo ada pesta di bantu, yang susah kalo bisa di tolong ya di tolong. Cuma ga kompaknya disinin kan air bersih belum masuk, mau pemerintah kami serentak mintaknya. Tapi ada yang ga mau, katanya bersih kok sumur kami. Itu ajanya nang, kalo soal soal persaudaraan ya kompak kali disini apalagi sesama orang batak.” (Wawancara 27 Juli 2016)

Masyarakat yang hidup bersama dalam sebuah pranata sosial dan memiliki pekerjaan, agama dan suku yang sama cenderung memiliki kekerabatan yang erat. Adanya perasaan senasib juga membuatnya merasa bersaudara.

d. Aset Lingkungan (Environmental Asset)

Dikutip dari sebuah tulisan di internet

01 sepetember 2016 Pukul 12.59 WIB) bahwa gejala kemiskinan yang sering muncul dari dimensi lingkungan adalah dalam bentuk sikap, perilaku, dan cara pandang yang tidak berorientasi pada pembangunan berkelanjutan sehingga cenderung memutuskan dan melaksanakan kegiatan - kegiatan yang kurang menjaga kelestarian dan perlindungan lingkungan serta permukiman. Sedangkan menurut Narayan, pada umumnya masyarakat miskin diperkotaan memang kurang atau malah tidak memiliki sumber - sumber lingkungan seperti modal hidup mereka seperti air baku, udara bersih, tanaman, lapangan hijau, pohon - pohon, dsb. Di Jalan Tirtosari Ujung tidak semua masyarakatnya memiliki air baku yang layak konsumsi. Terlihat dari 9 informan dalam penelitian ini, hanya 2 informan yang memiliki air air baku layak minum yang diperoleh dari air sumur yang jernih. Selebihnya masyarakat Jalan Tirtosari Ujung memperoleh air baku dengan membeli air bersih layak konsumsi seharga Rp 4.000,- per galon. Sebab

PDAM belum memberikan aliran air bersihnya masuk kewilayah ini, selain itu air sumur yang terdapat dirumah mereka airnya sangat keruh. Sehingga tidak bisa digunakan untuk kebutuhan konsumsi. Penjelasan ini di dukung oleh penuturan salah satu informan, Ibu Rosdiana Br. Damanik (Pr, 55 tahun) yang mengatakan :

“Sejak disini aku ga ada air bersih dari pet, pake sumurnya orang semua disini. Dulu mau dimasukkan kian mau dipasang pipanya besar disini, tapi ga kompak semuanya ya ga bisa lah kan. Beli - beli air galon la kami sekarang, untung ada itu. Dulu lebih ngeri lagi, air galon belum ada kek sekarang. Yang kotor itu la diendap endapkan, itu pun masih keruh.” (Wawancara 27 Juli 2016) Ibu Rani Butar - butar (Pr, 49 tahun) juga menambahkan dengan mengatakan :

“Disini kan ga ada air PAM, ya untuk minum kan ada air isi ulang. Itula dibeli 4000 tiap 2 hari sekali, terasa juga memang. Kalo buat mandi kalo rajin orangnya disaring, diendapkan, kan turun nanti yang kotornya itu. Tapi kalo malas ya dimandikan la yang jorok itu”(Wawancara 11 Agustus 2016)

Dengan demikian untuk melihat apakah masyarakat pemulung yang berada di Jalan Tirtosari Ujung termasuk dalam kategori miskin atau tidak, Soeharto (2006 : 148 - 149) mengatakan bahwa ada tiga kategori kemiskinan yang menjadi pusat perhatian pekerjaan sosial, yaitu :

1. Kelompok yang paling miskin (destitute) atau yang sering didefenisikan sebagai fakir miskin. Kelompok ini secara absolut memiliki pendapatan di bawah garis kemiskinan (umumnya tidak memiliki sumber pendapatan sama sekali) serta tidak memiliki akses terhadap berbagai pelayanan sosial)

2. Kelompok miskin (poor). Kelompok ini memiliki pendapatan di bawah garis kemiskinan namun secara relatif memiliki akses terhadap sosial dasar.

3. Kelompok rentan (vunerable group). Kelompok ini dapat dikategorikan bebas dari kemiskinan, karena memiliki kehidupan yang relatif lebih baik ketimbang kelompok destitute maupun kelompok miskin. Namun sebenarnya kelompok yang sering disebut “near poor” (agak miskin) ini masih rentan terhadap berbagai perubahan sosial disekitarnya. Mereka sering kali berpindah status “rentan” menjadi “miskin” dan bahkan “destitute” bila terjadi krisis ekonomi dan tidak mendapat pertolongan sosial.

Jika dilihat dari standar keriteria miskin menurut BPS, terdpaat 14 kriteria untuk menganalisinya, yaitu sebagai berikut :

1. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m² per orang. 2. Jenis lantai tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan

3. Jenis dinding tempat tinggal dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester

4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama - sama dengan rumah tangga lain

5. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik

6. Sumber air minum berasal dari sumur/mata air terlindung/sungai/air hujan 7. Bahan bakar untuk memasak sehari - hari adalah kayu bakar/arang/minyak

tanah

8. Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali seminggu 9. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun

10.Hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari

12.Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah petani dengan luas lahan 500 m², buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan dan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan dibawah Rp 60.000,- per bulan 13.Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga/tidak tamat SD/tamat SD

14.Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan minimal Rp 500.000,- seperti sepeda motor kredit/non kredit, emas, ternak, kapal motor atau barang modal lainnya. **Jika minimal 9 variabel terpenuhi makan suatu rumah tangga miskin. (Sumber tanggal 03 september 2016 Pukul 13.28WIB)

Dengan demikian, jika mengacu pada indikator BPS maka masyarakat pemulunng yang berada di Jalan Tirtosari Ujung tidak termasuk kriteria miskin. Namun jika berdasarkan indikator - indikator yang dikemukakan oleh para ahli diatas yang diikuti dengan hasil observasi dan wawancara lapangan maka secara sosiologis masyarakat pemulung yang berada di Jalan Tirtosari Ujung termasuk terhadap kategori kelompok rentan (vunerable group). Sebab, penghasilan yang di peroleh dari hasil memulung, beternak dan membuat keranjang hanya Rp 50.000 - Rp 70.000 per hari. Dimana penghasilan tersebut terkuras habis untuk biaya kehidupan sehari - hari diantaranya biaya konsumsi pangan, air listrik dan biaya pendidikan anak. Selain itu tidak adanya fasilitas air bersih yang memadai, pendidikan yang rendah, luas bangunan yang hanya berukuran 15 x 5 m dengan rumah semi permanen.

4.5Gambaran Tindakan Kolektif (Colective Action) Masyarakat Pemulung

Dokumen terkait