• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kondisi Kemiskinan dan Tindakan Kolektif Masyarakat Pemulung Studi Deskriptif Pada Masyarakat Pemulung yang Berdomisili di Kelurahan Bantan Kecamatan Medan Tembung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Kondisi Kemiskinan dan Tindakan Kolektif Masyarakat Pemulung Studi Deskriptif Pada Masyarakat Pemulung yang Berdomisili di Kelurahan Bantan Kecamatan Medan Tembung"

Copied!
118
0
0

Teks penuh

(1)

Daftar Gambar

Gambar 1. Jalan Tirtosari Ujung yang diambil dari pertengahan Jalan Tirtosari Ujung dari sisi Kiri ( Terlihat ibu R. Sirait sedang mempersiapkan makanan ternaknya. Sebuah Becak di depan rumah itu adalah milik anaknya untuk mencari barang bekas dan makanan sisa setiap hari)

(2)
(3)
(4)

Gambar 5. Kondisi interior rumah pemulung di Jalan Tirtosari Ujung

*Ruang Tamu Sekaligus RUANG Keluarga

(5)

Gambar 7. Sumur, Toilet, Kamar Mandi dan Tempat Mencuci Pemulung

(6)
(7)

Gambar 10. Ibu Dewi Aritonang sedang akan membuat keranjang belanja untuk dijual

(8)

Daftar Pustaka

*Buku

Alfian, Mely G. Tan, Selo Soemardjan. 1980. Kemiskinan Struktural, Suatu Bunga Rampai. Jakarta : Yayasan Ilmu Persada

Bungin, Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana Prenada Media Group

Doyle, Paul Johnson. 1986. Teori Sosiologi Klasik Dan Modern. Diterjemahkan oleh: Robert MZ Lawang. Jakarta: PT Gramedia

Jellinek. 1994. “Seperti Roda yang Berputar”. Bogor: LP3ES

Lewis, Oscar. 1988. Kisah Lima Keluarga. Diterjemahkan oleh: Parsuadi Suparlan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Manning, Chris., Dan Tadjudding Noer Effendi. 1985. Urbanisasi, Pengangguran, dan Sektor Informal Di Kota. Jakarta: PT Gramedia

Moleong, Lexi. 2006. “Metode Penelitian Kualitatif”. Bandung: PT Remaja Rosta Karya

Moeljarto, (1995). Politik Pembangunan Sebuah Analisis Konsep, Arah dan Strategi. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana

Ritzer, George. 2014. Teori Sosiologi Modern Ed. Ke 7. Diterjemahkan oleh: Triwibowo B.S. Jakarta: Prenada Media Group

(9)

Soekanto, Soerjono. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Suparlan, Parsudi. 1984. “Geladangan: Sebuah Konsekuensi Perkembangan Kota, Dalam Buku Gelandangan, Pandangan Ilmu Sosial”. Jakart: LP3ES

Suparlan, Parsudi. 1984. “Kemiskinan di Perkotaan”. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan danYayasan Obor Indonesia

Sztompka, Piotr. 2005. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada Media Group

*Karya Ilmiah (Jurnal, Makalah, dll)

Amin, Suryani. 2008. Gerakan Sosial Tinjauan Literatur. Disertasi Pada FISIP UI JAKARTA: tidak diterbitkan

Astrid S Susanto - Sunarto, “Masyarakat Indonesia memasuki abad ke – 21”, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1998, Hal 21

Fadhilla Putra dkk. “Gerakan Sosial, Konsep, Strategi, Aktor, Hambatan dan Tantangan Gerakan Sosial di Indonesia”. Malang: PlaCID’s dan Averroes Press, 2006, Hal 1

(10)

Karjadi Mintaroem,”Penghasilan Pemulung di Kotamadya daerah tingkat II Surabaya” (penelitian, lembaga penelitian universitas airlangga, 1989),

hal 3.

Ketut Sudhana Astika. 2010. “Budaya Kemiskinan Di Masyarakat: Tinjauan Kondisi Kemiskinan dan Kesadaran Budaya Miskin Di Masyarakat”.

Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Udayana, Bali. Vol I

Lucas Ginta Ginting. 2014. Strategi Bertahan Hidup Masyarakat Miskin di Permukiman Kumuh Jalan Tirtosari Ujung Kecamatan Tembung. Skripsi

(S1). Medan: Program Studi Sosiologi Universitas Sumatera Utara

Mansoer Fakih, “Tiada Transformasi Tanpa Gerakan Sosial, Dalam Zaiyardam Zubir, Radikalisme Kaum Terpinggir: Studi tentang ideologi, Isu, Strategi

dan Dampak Gerakan” Yogyakarta: Insist Press, 2002, Hal xxvii

Nunung Nurwati. 2008. “Kemiskinan: Model Pengukuran, Permasalahan, dan Alternatif Kebijakan”. Jurnal Kependudukan Padjajaran, Vol 10

Nurlita. 2014. “Peran Pemerintah Dalam Upaya Pengentasan Kemiskinan Di Indonesia”. Makalah pada ujian akhir semester, Universitas Jember

Rishikesh Pandey. 2004. “A Study On Occupational Health Problems Of Sweepers And Scavengers Of Kathmandu, Nepal”. Department of Human

(11)

Selly Yunelda Meyrizki dan Nurmala K. Pandjaitan. 2011. “Representasi Sosial Tentang Kota Pada Komunitas Miskin Perkotaan”. Jurnal Transdisiplin

Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia, IPB

Sumarno. 1996. Masyarakat Pinggiran Rel. Skripsi (S1). Medan: Program Studi Sosiologi Universitas Sumatera Utara

*Internet

WIB

WIB

Pukul 17.17 WIB

Juni 2016 Pukul 12. 02 WIB

Pukul 13.26 WIB

(12)

9.41 WIB

diakses

23 Juni 2016 Pukul 19.36 WIB

pada tanggal 13 Agustus 2016 Pukul 10.05 WIB

2016 Pukul 21.40 WIB

01 sepetember 2016 Pukul 12.59 WIB

diakses pada tanggal 02 September 2016 Pukul 11.07 WIB

17.49 WIB

(13)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian sosial dengan format deskriptif bertujuan untuk menggambarkan, meringkaskan berbagai kondisi, berbagai situasi, atau berbagai fenomena realitas sosial yang ada dimasyarakat yang menjadi objek penelitian, dan berupaya menarik realitas itu kepermukaan sebagai suatu ciri, karakter, sifat, model, tanda atau gambaran tentang kondisi, situasi, ataupun fenomena tertentu (Bungin, 2007:68).

Penelitian sosial dengan format deskriptif yang akan dilakukan adalah untuk menggambarkan kondisi kemiskinan dan tindakan kolektif masyarakat pemulung di Kota Medan Kecamatan Medan Tembung Kota Medan.

3.2 Lokasi Penelitian

(14)

3.3 Unit analisis dan Informan

3.3.1 Unit analisis

Unit analisis adalah hal-hal yang diperhitungkan menjadi subjek penelitian keseluruhan unsur yang menjadi fokus penelitian (Bungin, 2007). Dalam penelitian ini yang menjadi unit analisis atau objek kajiannya adalah Masyarakat Kampung Pemulung yang berada di Kelurahan Bantan Kecamatan Medan Tembung Kota Medan.

3.3.2 Informan

Peneliti memilih informan dengan teknik Snowball Sampling (Sampling bola salju). Teknik Snowball sampling didefenisikan sebagai teknik untuk memperoleh informan dalam organisasi atau kelompok yang terbatas dan yang dikenal sebagai teman dekat atau kerabat, kemudian informan tersebut bersedia menunjukkan informan lainnya sampai peneliti menemukan konstelasi persahabatan yang berubah menjadi suatu pola - pola sosial yang lebih lengkap (dalam Burhan Bungin, 2007: 138). Maka, yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah Masyarakat Pemulung di Kampung Pemulung di Kelurahan Bantan Kecamatan Medan Tembung dan Kepala lingkungan 12 Kelurahan Bantan Kecamatan Medan Tembung

3.4 Teknik Pengumpulan data

(15)

3.4.1 Data Primer

Data Primer merupakan data yang diperoleh langsung dari sumber informan yang ditemukan di lapangan. Adapun langkah-langkah dalam pengumpulan data primer ini adalah dengan cara :

3.4.2.1Observasi

Metode observasi adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan atau pengindraan (Bungin, 2007: 118). Dalam penelitian ini, peneliti mengamati langsung bagaimana kondisi kemiskinan dan tindakan kolektif masyarakat pemulung di Kampung Pemulung Kelurahan Bantan Kecamatan Medan Tembung.

3.4.1.2 Wawancara Mendalam (In-depth interview)

Wawancara merupakan salah satu elemen penting dalam proses penelitian, yaitu mengadakan tanya jawab langsung secara tatap muka dengan informan di lokasi penelitian. Wawancara yang dilakukan adalah wawancara mendalam (In-depth interview). Wawancara bertujuan untuk mendapatkan informasi (data),

memperoleh keterangan, pendapat secara lisan dari informan dengan berbicara langsung padanya. Agar wawancara lebih terarah maka digunakan instrumen berupa pedoman wawancara (interview guide) yakni urutan - urutan daftar pertanyaan sebagai acuan bagi peneliti untuk memperoleh data yang diperlukan.

3.4.2 Data Sekunder

(16)

3.4.2.1Dokumentasi

Dokumentasi merupakan teknik pengumpulan data yang tidak langsung ditujukan kepada subjek penelitian, namun melalui dokumen. Dokumen yang digunakan dapat berupa laporan, buku, jurnal, majalan, surat kabar dan internet yang berkaitan langsung dan dianggap relevan dengan rumusan masalah yang diteliti, dimana dalam hal ini yang berhubungan dengan kondisi sosial ekonomi dan tindakan kolektif masyarakat pemulung yang tinggal di Kampung Pemulung Kelurahan Bantan Kecamatan Medan Tembung Kota Medan.

3.4.2.2Internet

Internet membantu memudahkan peneliti dalam mencari bahan penelusuran yang berkaitan dengan topik penelitian, salah satunya jurnal - jurnal online.

3.5 Interpretasi Data

(17)

BAB IV

DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN

4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

4.1.1 Sejarah Singkat Kelurahan Bantan

Kelurahan Bantan merupakan salah satu dari 7 kelurahan yang terdapat di Kecamatan Medan Tembung, Kotamadya Medan, Provinsi Sumatera Utara. Kelurahan Bantan lahir sejak 1953 dimana pada saat itu Kelurahan Bantan masih masuk dalam wilayah Kecamatan Percut Sei Tuan Kab. Deli Serdang. Pada tahun 1974 terjadi perluasan Kota Medan, Kelurahan Bantan masuk dalam wilayah Kecamatan Medan Denai. Seiring berjalannya waktu, pada tahun 1992 terjadi pemekaran kecamatan di Kota Medan sesuai PP No. 50 Tahun 1991, Kelurahan Bantan masuk dalam wilayah Kecamatan Medan Tembung Kota Medan. (Sumber: Kantor Kelurahan Bantan 2016)

(18)

Kelurahan Bantan sendiri mempunyai Seorang Lurah, 7 orang pejabat fungsional kelurahan yang terdiri dari satu orang sekretaris kelurahan, bagian pemerintahan, pembangunan, bagian ketentraman dan ketertiban, 3 orang staf, dan 12 orang kepala lingkungan. Saat ini, Kelurahan Bantan dipimpin oleh seorang lurah berjenis kelamin perempuan bernama Ibu Nila Juwita, S.Sos yang telah menjabat menjadi lurah selama empat setengah tahun. Kelurahan Bantan memiliki 14 lingkungan. Lokasi penelitian dalam penelitian ini berada pada pada lingkungan 12 tepatnya di Jalan Tirtosari Ujung yang berbatasan dengan Rel Kereta Api dan Sungai Parit Merak. Lingkungan 12 di pimping oleh seorang kepala lingkungan (Kepling) bernama Bapak Wahidin. Beliau sudah menjabat sebagai kepling selama 4 tahun.

(19)

4.1.2 Letak Geografis dan Batas Wilayah Kelurahan Bantan

Letak geografis merupakan salah satu faktor yang mendukung perkembangan sosial ekonomi suatu wilayah, termasuk Kelurahan Bantan. Berdasarkan data yang ditemukan dari kantor Kelurahan Bantan tahun 2016, secara geografis Kelurahan Bantan merupakan kawasan permukiman yang mempunyai luas wilayah ± 150,50 hektar. Kawasan permukiman tersebut termasu beberapa didalamnya kawasan rawan banjir, kawasan perdagangan, kawasan saluran listrik tegangan tinggi (sutet), kawasan industri rumah tangga, kawasan industri pabrik dan kawasan kumuh.

Ada pun batas - batas wilayah Kelurhan Bantan adalah sebagai berikut :

1.Sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Bandar Selamat dan Kelurahan Medan Tembung

2.Sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Tegal Sari Mandala II Kecamatan Medan Denai dan Kecamatan Percut Sei Tuan Deli Serdang 3. Sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Tembung

4.Sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Bantan Timur

Sumber : Kantor Kelurahan Bantan 2016

4.1.3 Gambaran Penduduk Kelurahan Bantan

(20)

kewarganegaraan dan jenis pekerjaan. Kelurahan Bantan memilik penduduk sebanyak 36.241 jiwa yang tersebar di 12 lingkungan dengan jumlah kepala keluarga (KK) sebanyak 6.429 jiwa.

4.1.3.1 Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin

Dari gambaran struktur penduduk berdasarkan jenis kelamin akan terlihat perbandingan antara jumlah penduduk laki - laki dengan jumlah penduduk perempuan. Di Kelurahan Bantan penduduk perempuan jumlahnya lebih banyak dibandingkan julmlah penduduk laki – laki. Perbandingan tersebut dapat dilihat dalam bentuk tabel sebagai berikut :

Tabel 1

Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin

No. Jenis Kelamin Jumlah (Jiwa) Persentase (%)

1 Laki – laki 17.989 49.64

2 Perempuan 18.252 50.36

JUMLAH 36.241 100.00

Sumber : Kantor Kelurahan Bantan Tahun 2016

Dari tabel diatas terlihat bahwa gambaran jumlah penduduk laki - laki lebih sedikit jumlahnya dibanding jumlah penduduk perempuan yaitu 17.989 jiwa atau 49,64%, sedangkan perempuan 18.252 jiwa atau 50,36%.

4.1.3.2Penduduk Berdasarkan Kewarganegaraan

(21)

berjumlah 36.193 jiwa. Sebab menurut sekretaris Kelurahan Bantan yaitu Bapak Makmur Hasibuan, bahwasannya tidak ada penduduk Warga Negara Asing (WNA) yang melapor ke Kelurahan. Jadi, berdasarkan data yang terdapat di Kantor Kelurahan Bantan Tahun 2016 seluruh penduduk Kelurahan Bantan 100% WNI.

4.1.3.3Penduduk Berdasarkan Agama

Agama di Indonesia memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Hal ini sepadan dengan ideologi bangsa Indonesia yang terkandung dalam pancasila yang pertama, yakni “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kepercayaan masyarakat terhadap agama berpengaruh secara kolektif terhadap politik, ekonomi, sosial dan budaya Agustus 2016 Pukul 08.32 WIB).

(22)

Tabel 2

Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama

No. Agama Jumlah (Jiwa) Persentase (%)

1. Islam 23.821 66.28

2. Kristen 5.056 14.07

3. Hindu 22 0.06

4. Budha 6.907 19.21

5. Kong Hu Chu 137 0.38

JUMLAH 35.943 100.00

Sumber : Kantor Kelurahan Bantan Tahun 2016

Dari data komposisi penduduk berdasarkan agama di atas, terlihat bahwa ternyata di Kelurahan Bantan ada dua agama yang paling banyak penganutnya. Pertama, Agama Islam yang berjumlah 23.821 jiwa atau 66,28%. Kedua, Agama Budha yang berjumlah 6.907 jiwa atau 19.21%. menyusul penganut agama Kristen yang berjumlah 5.056 jiwa atau 14,07%. Kemudian penganut agama Kong Hu Chu 137 Jiwa atau 0,38% dan yang terakhir dengan penganut agama terendah di Kelurahan Bantan adalah penganut agama Hindu yang berjumlah 22 jiwa atau 0,06%.

(23)

yang bersuku Batak Toba, Simalungun, Nias dan Warga Negara Asing dan untuk agama hindu banyak dianut oleh masyarakat bersuku bangsa Tamil.

4.1.3.4Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Pendidikan adalah salah kunci untuk mencapai kesejahteraan sosial. Pendidikan juga berperanbesar membentuk karakter dan mental masyarakat, baik secara formal, informal maupun non formal. Bila ditinjau dari segi pendidikannya, penduduk Kelurahan Bantan cukup bervariasi tingkatannya, sebagaimana terlihat dalam tabel di bawah ini :

Tabel 3

Komposisi Penduuduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan

No. Tingkat Pendidikan Jumlah (jiwa) Persentase (%)

1. SD 951 5.31

2. SMP 5.124 28,60

3. SMA/SMK 11.434 63.84

4. Perguruan Tinggi 399 2.22

JUMLAH 17.908 100.00

Sumber : Kantor Kelurahan Bantan 2016

(24)

dengan tingkat pendidikan SD, SMP, terlebih Perguran tinggi yang hanya berjumlah 399 jiwa atau 2,22%.

4.1.3.5Penduduk Berdasarkan Jenis Pekerjaan/Mata Pencaharian

Mata pencaharian merupakan aktivitas manusia untuk memperoleh taraf hidup yang layak dimana antara daerah yang satu dengan daerah lainnya berbeda sesuai dengan taraf kemampuan penduduk dan keadaan demografinya (Daldjoni, 1987:89). Masyarakat kelurahan Bantan merupakan kelompok masyarakat yang tinggal di daerah perkotaan. Dimana potensi sumber daya alam sangat terbatas. Sehingga masyarakat perkotaan di Kelurahan Bantan umumnya bermatapencaharian pegawai negeri sipil (PNS), POLRI/TNI, Pedagang, Wiraswasta, Pemulung, Buruh dan Pensiunan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 4

Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Mata Pencaharian No. Mata Pencaharian Jumlah (Jiwa) Persentase (%) 1. Pegawai Negeri Sipil 268 1.23

2. POLRI/TNI 26 0.11

3. Wiraswasta 13.061 60.07

4. Pedagang 2.622 12.06

5. Pemulung 242 1.11

6. Buruh 5.154 23.70

7. Pensiunan 368 1.69

JUMLAH 21. 741 100.00

(25)

Dilihat dari tabel jenis mata pencaharian diatas, terlihat bahwa jenis pekerjaan yang paling banyak dilakoni oleh masyarakat Kelurahan Bantan adalah wiraswasta yaitu berjumlah 13.061 jiwa atau 60.07 %. Disusul oleh jenis pekerjaan sebagai buruh dengan jumlah masyarakat 5.154 jiwa atau 23,70%. Adapun yang menjadi kajian dalam penelitian ini adalah penduduk dengan jenis pekerjaan pemulung dengan jumlah penduduk yang melakoninya sejumlah 242 jiwa atau 1,11%.

Melihat tabel diatas dapat tergambar bahwa secara jenis pekerjaaan keadaan masyarakat Kelurahan Bantan mulai membaik. Namun melihat bahwa jumlah buruh tidak kalah banyak jauhnya dibanding wirawasta dan masih lebih banyak dari penduduk yang bekerja disektor formal, terlihat bahwa masih rendahnya skill dan tingkat pendidikan yang dimiliki oleh masyarakat Kelurahan Bantan.

4.1.4 Gambaran Sarana dan Prasarana Kelurahan Bantan

Sarana adalah fasilitas umum yang digunakan untuk menampung kegiatan sosial dan ekonomi penduduk. Prasarana adalah komponen - komponen pelayanan publik yang berfungsi untuk mendukung kegiatan - kegiatan publik. Meskipun sifatanya mendukung, prasarana memiliki peran agar suatu kegiatan dapat

berlangsung dengan optimal

(26)

4.1.4.1 Sarana di Bidang Kesehatan

Untuk mencapai pembangunan yang berkualitas tentunya diperlukan sumber daya yang berkualitas pula. Sehingga perlu diupayakan kegiatan dan strategi peningkatan kualitas kesehatan melalui sarana kesehatan diantaranya sebagai berikut :

Tabel 5

Keadaan Sarana Kesehatan di Kelurahan Bantan

Sumber : Kantor Kelurahan Bantan 2016

Apabila dibandingkan dengan sarana kesehatan yang ada dengan luas wilayah Kelurahan Bantan ±150,50 ha dengan jumlah penduduk sebanyak 36.241 jiwa, sarana kesehatan tersebut masih dikatakan kurang memadai. Sebab pada umumnya masyarakat yang sakit melakukan pertolongan pertamanya ke pusekesmas ataupun bidan. Sedangkan berdasarkan data yang diperoleh dari kantor Kelurahan Bantan dan survei lapangan jumlah puskesmas yang hanya berjumlah 1 unit dan bersifat pembantu.

No. Sarana Kesehatan Jumlah

1. Rumah Sakit 1

2. Klinik 2

3. Apotek/Toko Obat 2 4. Dokter Umum/Dokter Gigi 5

5. Bidan 2

6. Posyandu 11

7 Puskesmas pembantu 1

(27)

4.1.4.2Sarana di Bidang Pendidikan

Sarana di Bidang pendidikan berupa lembaga - lembaga pendidikan sangat dibutuhkan untuk menunjang kegiatan belajar anak bangsa.

Tabel 6

Keadaan Sarana di Bidang Pendidikan

No. Sarana Pendidikan Jumlah 1. TK/Play Group/Paud 12 Unit

2. SD 7 Unit

3. SMP 6 Unit

4. SMA/SMK 8 Unit 5. Universitas - 6. Kursus 3 Unit

TOTAL 36 Unit

Sumber : Kantor Kelurahan Bantan Tahun 2016

Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa sarana pendidikan di Kelurahan Bantan sudah cukup memadai. Secara keseluruhan dari tingkat TK sampai pada tingkat SMA sudah mencapai 36 unit. Berdasarkan observasil lapangan jumlah ini sudah cukup untuk melayani masyarakat di bidang pendidikan.

4.1.4.3Sarana di Bidang Agama

(28)

solidaritas. Adapun rumah ibadah yang terdapat di Kelurahan Bantan adalah sebagai berikut :

Tabel 7

Keadaan Sarana Agama di Kelurahan Bantan

No. Sarana Agama Jumlah

1. Mesjid 18

2. Mushollah 1

3. Gereja 6

4. Kelenteng/Kuil/Vihara 1

TOTAL 26

Sumber : Kantor Kelurahan Bantan 2016

(29)

4.1.4.4Sarana di Bidang Perhubungan

Sarana di bidang perhubungan dibutuhkan untuk mempermudah akses masyarakat keluar masuk kelurahan. Terkait memperlancar roda pemerintahan, perekonomian dan jaringan masyarakat. Berdasarkan data yang diperoleh selama observasi, pada umumnya sarana perhubungan berupa jalan di Kelurahan Bantan sudah mulai baik, seperti pada tabel berikut :

Tabel 8

Keadaan Sarana Perhubungan

No. Sarana Perhubungan Jumlah 1. Jalan Lingkungan 14 2. Jalan Protokol 1 3. Jalan Provinsi 1 4. Rel Kereta Api 1

JUMLAH 17

Sumber : Kantor Kelurahan Bantan Tahun 2016

(30)

proses pembangunan 2 jalur sehingga warga jalan tirtosari ujung sedang bersiap - siap untuk membuka teras - teras rumah mereka agar tetap bisa melakukan aktivitas. Sebab jalan dan halaman mereka nantinya akan digunakan PT. KAI sebagai jalur 2.

4.1.4.5Pola Permukiman/Perumahan di Kelurahan Bantan

Rumah merupakan kebutuhan primer setiap manusia. Menurut UU RI No. 4 Tahun 1992, rumah adalah struktur fisik terdiri dari ruangan, halaman, dan area sekitarnya yang dipakai sebagai tempat tinggal dan sarana pembinaan keluarga. Rumah adalah tempat tempat untuk melepaskan lelah, tempat bergaul, dan membina rasa kekeluargaan diantara anggota keluarga, tempat berlindung keluarga dan menyimpan barang berharga dan rumah juga sebagai status lambing sosial (Mukono, 2000).

Menurut Suparno Sastra M. Dan Endi Marlina (2006), pengertian mengenai perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan. Sedangkan permukiman menurut Suparno Sastra M. Dan Endi Marlina (2006), adalah suatu temoat bermukim manusia untuk menunjukkan suatu tujuan tertentu. Dari segi makna permukiman berasal dari terjemahan settlements yang mengandung pengertian suatu proses bermukim.

(31)
[image:31.595.185.478.159.303.2]

Tabel 9

Keadaan Pola Permukiman/Perumahan Masyarakat Kelurahan Bantan

No. Sarana Perumahan Jumlah

1. Rumah Permanen 3.422 Rumah 2. Rumah Semi Permanen 1783 Rumah 3. Rumah Non Permanen -

TOTAL 5.205 Rumah

Sumber : Kantor Kelurahan Bantan Tahun 2016

1. Rumah permanen, memiliki ciri bangunannya dari tembok, berlantai semen atau keramik, dan atapnya berbahan genteng. Berdasarkan observasi di Kelurahan Bantan mayoritas rumah penduduknya tergolong permanen. Hal ini terlihat dari banyaknya jumlah rumah permanen di Kelurahan Bantan yaitu sebanyak 3.422 rumah.

2. Rumah semi permanen, memiliki ciri dinding setengah tembok dan setengah papan/bambu, atapnya terbuat dari genteng maupun seng atau asbes. Rumah - rumah seperti ini banyak dijumpai di lorong – lorong maupun di gang kecil dan permukiman yang terdapat di pinggiran rel kereta api seperti di Jalan Tirtosari Ujung Kelurahan Bantan. Meskipun demikian status tanah yang ditempati bukanlah milik pribadi maupun perorangan, akan tetapi milik PJKA.

(32)

Terbukti dari hasil observasi dan data yang ditemukan peneliti di Kantor Kelurahan Bantan.

4.2 Kondisi Sarana di Jalan Tirtosari Ujung

Jalan Tirtosari Ujung merupakan lokasi penelitian dalam skripsi ini. Jalan Tirtosari Ujung terletak di Lingkungan 14 tepatnya di pinggir jalur perlintasan Kereta Api yang berbatasan dengan Perumnas Mandala, Kelurahan Kenangan dan Kelurahan Tegal Sari Mandala 2. Jalan Tirtosari Ujung di kepalai oleh seorang kepala lingkungan bernama Bapak Wahidin. Beliau sudah menjabat selama 4 tahun.

Pola permukiman masyarakat di Jalan Tirtosari Ujung berjarak sangat dekat dengan rel kereta api yaitu sekitar 3 - 5 meter dari rel kereta api. Berdasarkan observasi mayoritas penduduk yang tinggal di pinggiran rel kereta api tersebut adalah kaum migran yang bersuku batak toba. Dulunya rumah di Jalan Tirtosari Ujung masih sedikit hanya terdapat beberapa rumah saja, selebihnya dipenuhi oleh tanaman lalang. Seperti yang diutarakan oleh salah satu informan yang saya wawancarai yaitu Ibu Rosdiana Br Damanik (Pr, 55 tahun) yang mengatakan :

“Dulu jalan la aku kemari, tau dulu ini apa ini lalang, rumah dulu disini yang dekat rumah kami sana la ada 2 rumah papan. Baru rumah orang si Leo, terus rumah orang ini, ah Cuma 5 rumah la. Itu pun berjarak – jarak la. Masih hutan la pokoknya.” (Wawancara 28 Juli 2016)

(33)

bangunan yang mereka tempati statusnya milik PJKA sehingga jika sewaktu – waktu seperti yang terjadi saat ini ketika PJKA ingin menggusur mereka, mereka sudah pasrah. Sebab mereka menyadari ini bukan haknya dan sudah bersyukur diberi kesempatan menumpang selama ini. Seperti yang di utarakan oleh Ibu R Sirait :

“Dulu ini nang rumah mertua ku, tapi karena suami ku meninggal dikasihnya la ini sama kami gratis. Tapi tanahnya punya PJK, sama ini semua ini tanah PJK ini semua yang punya, jadi kalo pun mau digusur yang ga bisa melawan la. Syukur udah dikasih nompang tanah selama ini ya kan.” (Wawancara 27 Juli 2016)

Dari sisi air bersih, air PDAM belum masuk ke Jalan Tirtosari Ujung hal ini dikarenakan bahwa status tanah yang ditempati oleh warga masyarakat bukan milik mereka pribadi namun milik PJKA. Sehingga untuk kebutuhan sanitasi masyarakat di Jalan Tirtosari Ujung umumnya menggunakan air sumur dan membeli air galon untuk kebutuhan konsumsi. Air galon yang dibeli oleh warga masyarakat seharga Rp 4.000,- per galonnya. Setiap galon bisa digunakan sekitar 2 sampai 3 hari. Namun tidak seluruhnya menerapkan hal tersebut ada sekitar 10 rumah tangga yang juga menggunakan air sumur untuk keperluan konsumsinya. Sebab air sumur di rumahnya tidak keruh seperti air sumur warga lainnya dan layak konsumsi. Seperti yang diutarakan oleh salah satu informan yang saya wawancarai yaitu Bapak Arlensius Haloho (Lk, 55 tahun) yang mengatakan :

(34)

Selain masalah air bersih, kondisi lingkungan sekitar Jalan Tirtosari Ujung cukup kotor. Oleh karena mayoritas pekerjaan masyarakatnya adalah pemulung sehingga terdapat banyak tumpukan – tumpukan barang bekas serta makanan sisa hasil pungutan dari sampah – sampah kota yang terletak di halaman rumah mereka masing - masing. Tak jarang terlihat tikus berkeliaran disana sini. Selain itu, ketika melintas di Jalan Tirtosari Ujung ini tak jarang pula tercium aroma tidak sedap yang sangat menyengat. Namun meskipun demikian masyarakat menganggap itu adalah aroma “duit”. Seperti yang diutarakan oleh salah satu informan bernama ibu R. Sirait (Pr, 52tahun)

“Disini kerjaan orang rata - rata par botot, tengok nang banyakkan botot botot orang di depan rumah. Itu dikumpulkan dulu terus nanti kalo udah banyak dijual. Kalo yang diember - ember itu itu buat makan babi nanti dikasih. Bauk kali memang tapi kekmana la itunya makanan babi yang gratis ha ha haa” (wawancara 28 Juli 2016)

Kondisi listrik di Jalan Tirtosari Ujung sudah memadai. Berdasarkan observasi lapangan, terlihat setiap rumah sudah mempunyai meteran listrik sendiri. Namun berdasarkan wawancara dengan beberapa masyarakat, mereka belum mempunyai tiang listrik sendiri.

(35)

“Disini ga nyamannya ini la kek adek dengar sendiri, setiap 15 menit sekali lewat kereta api kualanamu. Bising kali rasanya, mulai terganggung kenyamanan itu. Tapi ya mau gimana lagi, disini tempat tinggal awak.” (wawancara 11 agustus 2016)

4.3 Profil Infoman

4.3.1 Informan Kunci (Masyarakat Pemulung yang tinggal di Jalan Tirtosari Ujung Kelurahan Bantan)

1. Nama : R. Sirait

Jenis Kelamin : Perempuan

Usia : 52 tahun

Agama : Kristen Protestan

Pendidikan terakhir : SMA

Pekerjaan : Pemulung dan Peternak

(36)

Ibu Sirait merupakan salah satu warga yang tinggal di Jalan Tirtosari Ujung dan sudah tinggal serta menetap di jalan ini selama 12 tahun. Tepatnya sejak tahun 2004. Hal ini dilatarbelakangi oleh meninggalnya suami dari ibu sirait pada bulan november tahun 2003 akibat penyakit kanker usus. Pada saat itu status rumah tersebut adalah milik mertuanya. Sejak menjadi janda ibu sirait berjuang mencari nafkah sendiri untuk menghidupi keluarganya. Ibu Sirait memilki 5 orang anak yang pada saat itu harus di tanggungnya sendiri. Sehingga alternatifnya adalah menjadi buruh bangunan sampai pada bulan April 2016 lalu. Pada saat itu penghasilan yang diperoleh ibu sirait sekitar Rp 60.000 - Rp 100.000 per harinya, tergantung pada jumlah bangunan yang dikerjakannya. Namun, jika di rata -ratakan ibu Sirait memperoleh upah Rp 60.000 - Rp 75.000 per harinya. Cukup pas pasan untuk menanggung biaya hidup kelima orang anaknya pada saat itu sampai sekarang bersama dirinya.

(37)
(38)

2. Nama : M. Manullang

Jenis Kelamin : Laki - laki

Usia : 63 tahun

Agama : Kristen Protestan

Pendidikan terakhir : SMP

Pekerjaan : Penarik Becak

Bapak M. Manulang adalah kaum migran yang berasal dari Dolok Masihol. Bapak M. Manulang bermigrasi ke Kota Medan bersama istrinya Ibu S. Sitompul. Hal tersebut dilatarbelakangi karena sulitnya memenuhi kehidupan di desa. Pada sat itu Bapak Manulang tidak memiliki lahan untuk bertani. Berupaya dengan menyewa lahan membuatnya rugi karena sering memeroleh gagal panen. Sehingga pada tahun 1977 Bapak M. Manulang bersama keluarganya memutuskan bermigrasi ke Kota Medan. Meskipun mereka bermigrasi tanpa modal namun Pak Manulang dan keluarga yakin kalau di kota Medan banyak hal yang bisa dilakukan di kota untuk memperoleh uang.

(39)

Bapak Manulang dan Ibu Sitompul memiliki 6 orang anak. Anak pertamanya berjenis kelamin perempuan hanya tamatan SMP. Saat ini sedang bekerja di Pulau Kalimantan sebagai pembantu rumah tangga. Anak yang ke dua seseorang berjenis kelamin laki - laki hanya tamat SMP juga. Tetapi saat ini ia sudah memiliki kemahiran menyetir, saat ini bekerja sebagai supir yang sering keluar kota. Anak yang ketiga seorang berjenis kelamin laki - laki hanya tamatan SMP saat ini ia bekerja membantu keluarga mencari barang bekas, Anak yang ke empat seorang berjenis kelamin laki - laki tamatan SMK namun tidak bekerja. Anak kelima pendidikan terakhirnya SMK dan saat ini bekerja di Pulau Kalimantan juga sebagai pembantu rumah tangga. Anak yang keenam seorang berjenis kelamin perempuan tamatan SMK bekerja sebagai buruh pabrik di pabrik pengolahan atom.

Saat ini Bapak Manulang telah memiliki becak sendiri. Ini diperolehnya dari hasil menabung sejak anak - anaknya sudah bekerja. Dimana ia tidak lagi menanggung biaya seluruh anak - anaknya dan anaknya yang bekerja di Kalimantan ada sesekali mengirimnya uang. Saat ini, penghasilan Bapak Manulang dari menarik becak sekitar Rp 50.000 per hari. Jumlah tanggungannya 3 orang yaitu 2 anaknya yang belum bekerja tetap dan istrinya yang sudah sulit berjalan. Istri pak manulang bernama ibu S. Br Sitompul. Ibu Sitompul sudah pernah menjalani operasi daging tumbuh dibagian bokongnya, sehingga membuatnya sulit berjalan jauh dan hanya bisa bekerja ringan dirumah saja.

(40)

35.000 per harinya, belum termasuk biaya untuk membeli air bersih untuk minum Rp 4000 per dua hari. Sehingga dengan penghasilan Rp 50.000 per hari, Pak Manulang mengatakan itu cukup pas - pasan bahkan terkadang sampai berhutang. Sebab terkadang penghasilan becak tidak menentu, dengan kondisi fisik yang sudah lemah terkadang Pak Manulang tidak bekerja seharian penuh.

Anak Pak Manulang yang ketiga dan keempat setiap hari pergi mencari barang bekas dan makanan sisa bersama bersama. Pak Manulang dan keluarga tidak beternak karena belakang rumah mereka terdapat bangunan sekolah dasar. Makanan sisa yang didapat ditumpukan sampah diambil anaknya untuk dijual ke peternak babi sekitaran jalan Tirtosari Ujung dan Perumnas Mandala yang kekurangan makanan ternak. Penghasilan yang diperoleh anaknya juga tidak menentu. Namun jika dikalkulasikan dalam seminggu kedua anaknya memperoleh uang Rp 300.000 – Rp 400.000. Penghasilan tersebut dialokasikan keduanya untuk biaya hidupnya sendiri termasuk rokok dan pulsa. Sisanya digunakan untuk membantu kebutuhan keluarga.

(41)

3. Nama : Arlensius Haloho

Jenis Kelamin : Laki - laki

Usia : 55 tahun

Agama : Kristen Protestan

Pendidikan terakhir : Sarjana Muda

Pekerjaan : Tidak ada

Bapak Arlensius Haloho merupakan kaum migran yang bermigrasi ke Kota Medan pada tahun 1991. Beliau berasal dari Desa Haranggaol Kecamatan Purba Kabupaten Simalungun. Dulunya beliau adalah seorang sarjana muda yang berhasil menyelesaikan studi selama 3 tahun dengan gelar BA (Bachelor Arts). Namun oleh karena sarana dan prasarana di desa terbatas, beliau tidak bisa merealisasikan ilmunya. Sehingga beliau memilih bermigrasi ke Medan untuk mencari kehidupan yang lebih layak. Pada saat itu, sesampai di Kota Medan Bapak Haloho mendapat pekerjaan sebagai guru honor di salah satu Sekolah Mengah Pertama. Namun, pada saat itu penghasilan yang diperoleh sangat minim yakni sekitar Rp 400.000 per bulan, sehingga tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan Pak Haloho pada saat itu yang belum berkeluarga. Untuk mensiasatinya, Pak Haloho mencari alternatif pekerjaan lain yaitu menjadi buruh bangunan. Dari hasil kerjanya menjadi guru dan buruh bangunan ia bisa menyisihkan sebagaian uangnya untuk modal menikah.

(42)

Bapak Haloho sudah tamat sekolah SMA. Sehingga biaya rumah tangga dan sekolah anak Bapak Haloho ditanggung oleh anak - anak Bapak Haloho yang sudah bekerja. Bapak Haloho memiliki 4 orang anak. Anak pertamanya adalah seorang perempuan yang saat ini sedang kuliah di kampus Budi Dharma dan bekerja di sebuah rumah sakit. Penghasilan yang diperolehnya sekitar Rp 2.000.000 per bulan sehingga ia mampu membiayai pendidikannya sendiri. Anak yang kedua seorang perempuan tamatan SMK yang bekerja menjadi Sales Promotion Girl di salah satu Mall di Kota Medan. Dari hasil kerjanya ia

memperoleh penghasilan sama seperti kakaknya yaitu sebesar Rp 2.000.000,-. Anak ketiga Bapak Haloho belum memiliki pekerjaan sebab ia baru saja tamat sekolah SMA. Ia berencana untuk kuliah namun oleh karena kurangnya biaya ia bermaksud mendapatkan pekerjaan terlebih dahulu kemudian kuliah mengambil jadwal malam. Anak terakhir Bapak Haloho sedang duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama kelas VIII.

(43)

sumur yang terdapat di rumah Bapak Haloho tidak keruh seperti warga lainnya. Sehingga layak untuk dikonsumsi.

Rumah yang dihuni oleh Bapak Haloho adalah milik sendiri, namun status tanahnya masih milik PJKA. Meskipun demikian Bapak Haloho tidak was - was, beliau menyadari bahwa itu bukan miliknya. Ia sudah sangat bersyukur sudah diizinkan menggunakan tanah tersebut selama ini. Sehingga jika sewaktu - waktu PJKA meminta untuk pindah ia sudah siap.

4. Nama : Dewi Aritonang

Jenis Kelamin : Perempuan

Usia : 38 tahun

Agama : Kristen Protestan

Pendidikan terakhir : SMA

Pekerjaan : Pengrajin Keranjang Belanja dan Pemulung

(44)

ibu - ibu belanja di pasar. Harga keranjang dengan ukuran medium dijual seharga Rp 10.000 per keranjang. Setiap minggunya Ibu Dewi bisa menghasilkan 15 - 20 keranjang. Sesekali jika kekurangan modal atau penjualan keranjang mengalami penurunan beliau menjadi pemulung. Beliau berangkat pagi hari sekitar pukul 06.00 sampai siang hari pukul 10.00 untuk mencari barang bekas. Dari hasil memulung beliau berhasil mengumpulkan barang bekas senilai jual Rp 20.000 per hari namun hanya sesekali saja dilakukannya. Suami Ibu Dewi bekerja sebagai buruh bangunan tidak tetap. Jika dikalkulasikan penghasilan Ibu Dewi bersama suami sejumlah Rp 300.000 - Rp 500.000 per minggunya.

(45)

iuran listriknya tidak terlalu mahal. Karena alat perlengkapan rumah tangga yang elektronik hanyalah rice cooker, dispenser dan lampu. Ibu Dewi tidak mempunyai televisi (TV). Televisinya sudah rusak sejak awal tahun baru 2016 lalu dan belum ada uang yang cukup untuk memperbaikinya. Hal ini dikarenakan rumah yang ditempatinya saat ini merupakan rumah sewa. Sehingga ia harus berhemat agar mampu membayar biaya sewa rumahnya seharga Rp 2.000.000 setiap tahunnya.

5. Nama : Rosminda Br. Siringo - ringo

Jenis Kelamin : Perempuan

Usia : 43 tahun

Agama : Kristen Protestan

Pendidikan terakhir : SD

Pekerjaan : Pemulung dan Peternak

Ibu Rosminda adalah warga masyarakat yang tinggal di Jalan Tirtosari Ujung sejak tahun 2001. Beliau adalah kaum migran yang berasal dari Kota Pinang. Beliau bermigrasi bersama suaminya. Alasan beliau bermigrasi karena pada saat itu banyak orang - orang yang berlomba ke Kota untuk mengadu nasib. Ibu Rosminda yang pada saat itu bersama suami tidak memiliki lahan sendiri mencoba untuk ikut bermigrasi. Sebab menjadi buruh perkebunan sawit tidak cukup membiayai kebutuhan keluarga termasuk pendidikan anaknya pada saat itu.

(46)

tersebut membantu keduaorangtuanya untuk mencari barang bekas dan makanan - makanan sisa dari tumpukan sampah kota. Anak ketiga ibu Rosminda saat ini sedang duduk di sekolah menengah pertama kelas VIII.

(47)

tabungan untuk membayar sewa dan keadaan darurat lainnya. Misalnya biaya pendidikan, sakit atau pun hal lainnya.

6. Nama : Simarmata

Jenis Kelamin : Perempuan

Usia : 44 tahun

Agama : Kristen Protestan

Pendidikan terakhir : SMA

Pekerjaan : Pemulung dan Peternak

Ibu Simarmata adalah salah satu warga Jalan Tirtosari Ujung sejak tahun 1984. Beliau merupakan kaum migran yang berasal dari Tongging. Pertama kali beliau datang ke Medan bertujuan untuk sekolah. Ia mengenyam pendidikan SMA di Kota Medan.

(48)

Saat ini Ibu Simarmata berprofesi sebagai pedagang klontong di Jalan Tirtosari Ujung. Sebelumnya beliau bersama suami berprofesi sebagai pemulung. Namun sudah berhenti sejak kondisi kesehatan keduanya menurun. Setiap 2 hari sekali tepatnya pukul 05.30 WIB, ibu simarmata bersama suami pergi ke pasar pagi untuk belanja bahan - bahan masakan seperti ikan, sayur, bumbu - bumbu masak, dll untuk dijual kembali di warung klontongnya. Ukuran warung Ibu Simarmata kecil dan barang dagangannya masih terbatas. Penghasilan harian ibu Simarmata bersama suami sekitar Rp 45.000 - Rp 50.000 tergantung hasil penjualan setiap hari. Layaknya warga sekitarnya, Ibu Simarmata juga memiliki hewan ternak Babi. Namun tidak banyak, hanya 3 ekor yang terdiri dari 1 induk Babi dan 2 ekor anaknya yang saat ini masih berusia 2 bulan. Anak ternak tersebut dibesarkan dan dijual setiap 5 sampai 6 bulan sekali. Hewan ternak tersebut biasanya memiliki harga jual sekitar 3 sampai 5 juta. Tergantung pada ukuran berat hewan tersebut. Penghasilan yang diperoleh oleh ibu Simarmata dialokasikan untuk biaya hidup keluarga Ibu Simarmata termasuk biaya listrik, air bersih dan biaya sewa rumah.

(49)

adalah rumah sewa, Setiap tahuunya Ibu Simarmata harus membayar sebesar Rp 2.500.000 untuk itu.

7. Nama : Rani Butar - butar

Jenis Kelamin : Perempuan

Usia : 49 tahun

Agama : Kristen Protestan

Pendidikan terakhir : SMP

Pekerjaan : Pemulung dan Peternak

Ibu Rani adalah seorang migran yang berasal dari dari Kecamatan Tanah Jawa Kabupaten Simalungun. Beliau pertama sekali bermigrasi ketika beliau baru saja menyelesaikan studi SMPnya yaitu sekitar tahun 1983. Dulunya beliau diajak oleh kakaknya untuk bekerja di salah satu pabrik di Kota Medan. Alasannya beliau tidak ingin lagi bekerja sebagai petani yang setiap hari bergelut dengan tanah. Selain itu ia bercita - cita ingin mengubah nasibnya dan membanggakan orang tuanya.

(50)

Asalkan masih bisa berjalan mudah - mudahan bisa memperoleh barang bekas dari tumpukan - tumpakan sampah di Kota Medan ini, minimal sekitaran kelurahan bantan dan kelurahan tembung.

Ibu Rani mempunyai 4 orang anak. Saat ini, anak pertamanya sudah menikah. Anaknya yang kedua sedang merantau ke Kalimantan bersama anaknya yang ketiga. Hanya anak keempatnya yang saat ini tinggal dirumah bersama Ibu Rani dan suami. Dengan penghasilan yang diperoleh Ibu Rani selama menjadi pemulung, Ibu Rani berhasil menyekolahkan anaknya sampai ke jenjang SMA dan SMK.

Penghasilan yang diperoleh ibu Rani bersama suami tidak menentu, umumnya Rp 30.000,- samapai Rp 35.000 per hari terkadang juga bisa mencapai Rp 50.000. Karena tergantung pada barang bekas temuannya yang bernilai jual. Ia mengatakan bahwa dulu ketika anak - anaknya masih sekolah dan tinggal bersamanya penghasilan dengan jumlah itu cukup pas - pasan untuk semua biaya hidup. Terlebih tidak adanya air bersih Di Jalan Tirtosari Ujung membuatnya harus membeli air untuk kebutuhan konsumsi. Tak jarang beliau harus mengutang ke tetangga atau pun sanak saudara terdekat. Ia bersyukur setiap kali ia meminjam tidak pernah mendapat penolakan sebab beliau mengatakan bahwa hubungan kekerabatan di jalan tirtosari ujung sangat erat. Ditambah lagi ia selalu membayar hutangnya tepat waktu. Sehingga tetangga dan saudara selalu mempercayainya.

(51)

kulkas, dll ibu Rani dibantu oleh anak - anaknya yang bekerja di Kalimantan. Meskipun demikian ibu Rani mengatakan ia belum sejahtera. Sebab harga kebutuhan pokok kian mahal, namun harga jual barang bekas relatif tidak mengalami kenaikan. Sehingga dengan penghasilan yang rata - rata hanya Rp 30.000 sampai Rp 35.000 per hari masih pas pasan. Ibu Rani menuturkan bahwa untuk biaya makan saja per hari mencapai Rp 20.000 ditambah lagi biaya untuk membeli air besih untuk kebutuhan konsumsi senilai Rp 4.000 per hari. Dari hasil ternak ibu Rani memperoleh penghasilan Rp 2.000.000 sampai Rp 5.000.000 per enam bulan tergantung pada besar hewan ternak yang dijualnya. Hewan ternak tersebut dianggap ibu Rani sebagai tabungan untuk tambahan biaya sewa rumah, menyambut hari besar dan apabila mengalami sakit.

8. Nama : R. Br. Sitio

Jenis Kelamin : Perempuan

Usia : 44 tahun

Agama : Kristen Protestan

Pendidikan terakhir : SMA

Pekerjaan : Pemulung dan Peternak

(52)

tinggal di Kota Medan karerna jauh dari orang tua, namun karena itu kehendak suaminya, ia terpaksa mengikutinya.

Sejak tahun 1988, Ibu sitio berprofesi sebagai peternak sekaligus pemulung. Pada mulanya yang menjadi pemulung dan beternak adalah suaminya, Ibu Sitio hanya membantu saja. Namun seiring berjalannya waktu suami Ibu Sitio membuka bengkel sepeda motor dan becak kecil - kecilan. Sehingga Ibu Sitio yang melanjutkan pekerjaan suaminya. Ibu Sitio mengatakan bahwa pemulung dan beternak Babi merupakan pekerjaan satu paket. Sebab ketika pemulung mencari barang bekas di tumpukan sampah banyak ditemukan sisa - sisa makanan yang sayang jika tidak dimanfaatkan. Sehingga sisa makanan tersebut dimanfaatkan untuk makanan sehari - hari hewan ternaknya. Alasan ibu Sitio mau menjadi mau menjadi peternak sebab warga sekitar Ibu sitio umumnya beternak. Beliau ingin merasakan dan menikmati hal yang sama dengan tetangganya. Agar terlihat kompak dan bisa berbagi cerita sesama peternak.

(53)

Ibu Sitio memiliki 4 orang anak. Anak pertama dan anak keduanya sudah tamat STM dan SMK Perhotelan. Anak Ibu Sitio yang ketiga sedang sekolah SMK jurusan perhotelan juga. Dengan penghasilan yang dianggapnya pas - pasan, belum tentu ia mampu melanjutkan pendidikan anaknya ke perguruan tinggi. Oleh sebab itu ia menyarakan anakya agar sekolah di SMK saja agar memperoleh lebih banyak keterampilan di banding di SMA. Anak Ibu Sitio yang keempat saat ini sedang sekolah kelas IX SMP.

(54)

9. Nama : Rosdiana Br. Damanik

Jenis Kelamin : Perempuan

Usia : 55 tahun

Agama : Kristen Protestan

Pendidikan terakhir : SMA

Pekerjaan : Pemulung dan Peternak

Ibu Rosdiana merupakan warga yang sudah lama tinggal di Jalan Tirtosari Ujung. Ibu Rosdiana sudah tinggal di Jalan Tirtosari Ujung sejak tahun 1989. Dulunya pada saat ia dan keluraga pindah ke Jalan Tirtosari Ujung, rumah masih sedikit. Hanya ada 5 rumah yang jaraknya berjauhan dan dikerumuni oleh tumbuhan lalang. Beliau merupakan warga Medan yang lahir di Medan tepatnya di Jalan Pertiwi Kelurahan Bantan.

(55)

Saat ini Ibu Rosdiana hanya tinggal berdua bersama anaknya yang keenam dirumah. Ibu Rosdiana bekerja menjadi pemulung dan beternak. Dari beternak ia memperolah sekitar Rp 3.000.000 – Rp 5.000.000 dengan jumlah ternak 3 - 5 ekor per enam bulannya. Sedangkan dari hasil memulung ia memperoleh Rp 300.000 sampai Rp 400.000 per minggu. Ia mengatakan bahwa saat ini hidupnya tidak sesusah yang dulu. Dimana ia dulu hidup berdelapan bersama anak - anaknya. Segala pekerjaan sudah ia geluti bersama suami. Dimulai dari juru parkir, pedagang pakaian keliling, grosir sembako, calo tiket bus ALS, toke botot, pengrajin dan pedagang keranjang, sampai pada saat ini menjadi pemulung dan peternak. Ia mengatakan bahwa dulu penghasilan sangat pas – pasan. Tak jarang modal untuk jualan digunakan untuk biaya makan dan pendidikan anak. Sehingga membuatnya berganti - ganti profesi.

Di Jalan Tirtosari Ujung Ibu Rosdiana sudah tinggal dirumah yang dibangunnya sendiri sejak tahun 1991. Namun tanahnya milik PJKA. Ibu Rosdiana mengatakan bahwa dengan penghasilan yang diperolehnya sendiri sudah cukup untuk biaya makan, air, listrik, dan pendidikan anak terakhirnya. Ia mengatakan bahwa ia tidak berharap anaknya yang sudah bekerjan membantunya. Sebab ia tidak mau membebani anaknya. Ia lebih bahagia melihat anaknya sejahtera terlebih bisa membiayai kuliahnya sendiri.

4.3.2 Infoman tambahan (Kepala lingkungan 12 Jalan Tirtosari Ujung Kelurahan Bantan)

1. Nama : Wagimin

(56)

Usia : 46 tahun Agama : Islam Pendidikan terakhir : SMA

Pekerjaan : Kepala Lingkungan 12 Kelurahan Bantan (Pegawai Non PNS)

Pak Wagimin merupakan warga asli Kelurahan Bantan. Sejak kecil ia tinggal di Jalan Pertiwi Kelurahan Bantan. Saat ini tinggal di Jalan Tirtosari Gang Sentosa No. 104 bersama keluarganya. Pak Wagimin telah mejabat sebagai Kepala Lingkungan 12 di Kelurahan Bantan sejak tahun 2012.

Pak Wagimin menjelaskan bahwa di Jalan Tirtosari Ujung tepatnya kawasan pinggiran rel kereta api terdapat 100 KK dengan status kependudukan yang jelas. Pada dasarnya jumlah keluarga di Jalan Tirtosari Ujung lebih dari 100 KK. Namun oleh karena tidak adanya kejelasan administrasi surat menurat terkait kependudukan mereka. Mereka lantas menjadi tak terdata. Mayoritas pekerjaan mereka adalah menjadi pemulung dan peternak. Namun sebagaian warga yang rumahnya berdekatan dengan Sekolah Dasar sehingga dilarang untuk beternak. Sebab, bau tidak sedap dari kotoran ternak Babi tersebut sangat menyengat. Sehingga dianggap akan mengganggu proses belajar dan mengajar siswa di SD tersebut.

(57)

pekerjaan mereka adalah pemulung dan peternak. Pekerjaan lainnya adalah pekerjaan tambahan untuk tetap bertahan hidup.

Pak Wagimin menambahkan bahwa masyarakat pemulung tersebut sangat kompak dalam hal kekerabatan. Setiap satu minngu sekali dan satu bulan sekalu mereka mengadakan pertemuan untuk mempeerat silaturahmi diantara mereka. Selain itu sejak menjadi kepala lingkungan Pak Wagimin tidak pernah menemukan kasus perselisihan yang fatal diantara mereka.

4.4 Gambaran Kemiskinan Pada Masyarakat Pemulung yang Tinggal di Jalan Tirtosari Ujung Kelurahan Bantan

Kemiskinanan merupakan fenomena global yang terjadi di Indonesia, khususnya wilayah perkotaan seperti Kota Medan. Kemiskinan adalah keadaaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan Masalah kemiskinan bukan hanya masalah kesejahteraan kaum miskin tetapi masalah latar belakang mengapa mereka menjadi miskin.

Moeljarto (1995: 98) mengemukakan tentang poverty profile sebagaimana berikut : masalah kemiskinan bukan hanya masalah welfare akan tetapi mengandung enam buah alasan antara lain :

1. Masalah kemiskinan adalah masalah kerentanan

(58)

- terusan berisi barang bekas yang bernilai jual. Selain itu kondisi fisiki yang lemah membuatnya rentan terkena penyakit. Kedua hal tersebut membuat penghasilan pemulung tidak menentu dan rentan untuk tidak memperoleh penghasilan yang memadai.

2. Kemiskinan berarti tertutupnya akses kepada berbagai peluang kerja karena hubungan produksi dalam masyarakat tidak memberi peluang kepada mereka untuk berpartisipasi dalam program produksi.

Pendidikan yang rendah, keterampilan terbatas, akses informasi yang terbatas serta modal materi yang terbatas adalah empat hal yang mengakibatkan kaum migran tidak berhasil memperoleh pekerjaan layak di Kota Medan. Sehingga menjadi pemulung adalah alternatif untuk mengupayakan diri tetap bertahan hidup di kota. Seperti yang utarakan oleh salah satu infoman dalam penelitian ini, Bapak Manulang (Lk, 63 tahun) bahwa :

“Dulu ke Medan ini nekat - nekatannya. Di kampung sakit kali, tanah ga punya. Di sewa ladang orang gagal terus. Ke Medan modal “hosa” la, ga ada apa - apa. Modal nekat, disini kan bisa jadi tukang botot, narik becak dapat uang.” (Wawancara 14 Agustus 2016)

3. Masalah ketidakpercayaan, perasaan impotensi, emosional dan sosial dalam menghadapi elit kelurahan dan para birokrat yang menentukan keputusan menyangkut dirinya tanpa memberi kesempatan untuk mengaktualisasikan diri, sehingga membuatnya tidak berdaya.

(59)

dikarenakan lupa membawa surat pindah dari domisili sebelumnya. Hal senada ini diperkuat oleh salah satu informan dalam penelitian ini, Ibu Dewi Aritonang (Pr, 38 tahun) yang mengatakan :

“Payahnya jadi orang susah ya gini la, tamatan rendah. Suami mau masuk kerja diminta KTP sama KK. KK kami ga ada dek. Udah coba di urus ke kantor lurah, harus ada surat pindah katanya. Dulu kami sempat tinggal di Jakarta sama mertua, katanya mau urus itu harus kesana kami lagi, ongkos kesana pun ga ada. Bisa makan aja disini syukur. Ha gitu la” (Wawancara 04 Agustus 2016)

(60)

“Penghasilan kan ga nentu, ya pas pasan buat makan kami aja. Kami dirumah 5 orang yang makan. Belum lagi bayar lampu, air kan beli 4000 satu galon nang. Kalo biaya sekolah adek mu ada tulangnya yang bantu, kalo engga ya mana bisa ku kuliahkan dia” (Wawancara 27 Juli 2016)

Ibu Rosmina Br. Siringo - ringo (Pr, 43 tahun) juga menambahkan dengan mengatakan :

“Sebenarnya enggak cukup, mau kekmana la 20 ribunya dapat sehari kalo di perkirakan. Makanya pelihara B2 la kami, itu la tambahan sekalian simpanan. Kadang dapat 3 juta per ekor sekali menjual.” (Wawancara 11 Agustus 2016)

5. Tingginya rasio ketergantungan, karena jumlah keluarga yang besar. Jumlah keluarga yang besar sangat mempengaruhi daya beli, khususnya kebutuhan pangan. Dengan penghasilan yang rendah, masyarakat miskin cenderung memiliki daya beli yang rendah pula terhadap bahan pangan. Hal ini tentunya akan mempengaruhi tingkat konsumsi makanan yang akan mengganggu kecerdasan dan kekuatan tubuh anggota keluarga. Sehingga dalam kompetensi dalam merebut peluang dan kesempatan, masyarakat miskin beserta anak - anaknya berada pihak yang lemah. Hal demikian seperti yang diutarakan oleh Ibu Sirait (Pr, 52 tahun) yang mengatakan :

“Makan kami ya biasa - biasa aja. Apalagi kami banyak kalo mewah - mewah jarang la nang. Daging sekali sebulan belum tentu. Tempe sambal sama kangkung paling sering, udah enak murah lagi kan.” (Wawancara 27 Juli 2016)

Ibu Rani Butar - butar (Pr, 49 tahun) juga menambahkan dengan mengatakan bahwa :

(61)

Selain itu, Ibu Sitio (Pr, 44 tahun) juga mempertegas dengan mengatakan bahwa :

“Kalo disini yang penghasilan di bawah 50 ribu masih banyak. Ada yang pas pasan untuk kebutuhan, tapi lebih banyak yang minim - minim gitu. Sebenarnya ya perlu uluran tangan juga.” (Wawancara 14 Agustus 2016)

Ibu Rani Butar - butar menyampaikan bahwa ia lebih dominan belanja di warung dekat rumahnya. Sebab kesehariannya ia sibuk mencari barang bekas. Ia menyadari bahwa apa yang dibelinya dari warung tidak sesegar jika dibeli di pasar langsung.

6. Adanya kemiskinan yang diwariskan secara terus menerus. Hal ini seperti budaya kemiskinan yang diwariskan antar generasi. Dimana budaya tersebut cenderung menghambat motivasi untuk melakukan mobilitas ke atas, yaitu menghambat kemajuan dan harapan - harapan mereka di masa depan. Oleh karena rendahnya penghasilan yang diperoleh pemulung sehari - harinya, berdasarkan hasil wawancara bahwa rata - rata pendidikan terakhir anak mereka adalah SMA/SMK. Mereka menganggap bahwa mengenyam perguruan tinggi hanya untuk orang - orang kaya. Selain itu, ketika ada salah satu dari anak mereka yang malas – malasan dalam belajar, pemulung langsung memberhentikan anaknya sekolah. Ia mengganggap bahwa sekolah itu sangat mahal biayanya. Kalau tidak berminat sekolah lebih baik berhenti saja. Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh informan bernama Bapak Manulang (Lk, 63 tahun), yang mengatakan :

(62)

Dari sini terlihat bahwa adanya budaya kemiskinan yang diwariskan. Sebagai orang tua Bapak Manulang tidak mau berusaha bagaimana agar anaknya tetap bersekolah. Ia menyadari bahwa sekolah adalah salah satu jalan untuk keluar dari kemiskinan. Namun ternyata upayanya untuk mengatasi hal tersebut masih rendah.

4.4.1 Analisis Kemiskinan Masyarakat Pemulung di Jalan Tirtosari Ujung Kelurahan Bantan menggunakan analisa Narayan, dkk.

Kemiskinan merupakan fenomena yang masih begitu mudah dijumpai dimana - mana termasuk di daerah perkotaan. Di balik kemewahan gedung - gedung pencakar langit di Kota, terdapat permukiman kumuh yang terasingkan. Permukiman yang berderet di bantaran sungai maupun jalur perlintasan kereta api. Menurut Chambers (dalam Nasikun), mengatakan bahwa kemiskinan adalah suatu integrated concept yang memiliki lima dimensi, yaitu :

1. Kemiskinan (proper)

2. Ketidakberdayaan (powerless)

3. Kerentanan menghadapi situasi darurat (state of emergency) 4. Ketergantungan (dependence)

5. Keterasingan (isolation) baik secara geografis maupun sosiologis.

(63)

Deepa Narayan dalam karyanya Voices Of The Poor, Deepa Narayan,dkk memberikan empat dimensi utama dari defenisi kemiskinan yang dirumuskan oleh masyarakat miskin sendiri, yaitu sebagai berikut :

a. Aset Fisik (Physical Capital)

Pada dasarnya masyarakat miskin memang praktis tidak memiliki benda - benda fisik yang diperlukan sebagai modal hidup mereka seperti tanah yang memadai, rumah/tempat tinggal yang layak, perabotan rumah tangga, kendaraan, peralatan kerja dan benda - benda fisik lainnya. Masyarakat pemulung yang tinggal di Jalan Tirtosari Ujung tidak memiliki tanah. Tanah yang mereka tempati merupakan tanah milik PJKA. Sedangkan rumah ada yang milik pribadi ada yang menyewa. Hal ini senada dengan penuturan salah satu informan Ibu Sitio (Pr, 44 tahun), yang mengatakan :

“Rumah udah milik sendiri sih tapi tanahnya punya PJK. Semua yang di pinggir rel ini tanahnya punya PJKA. Kami nompang aja, kalo di gusur ya udah siap kan gitu.” (Wawancara 14 Agustus 2016)

Penjelasan yang sama juga diutarakan oleh informan lain bernama Ibu Dewi Aritonang (Pr, 38 tahun) yang mengatakan :

“Tv gak ada, rusak pas mau tahun baru itu. Belum ada uangnya untuk betulkan, ya gini la gak nonton duduk - duduk di depan pintu” (Wawancara 04 Agustus 2016)

b. Aset Kemanusiaan (Human Capital)

(64)

kewirausahaan, kepemimpinan, dsb. Pemulung di Kota Medan khususnya yang berada di Jalan Tirtosari Ujung mayoritas adalah kaum migran. Mereka datang ke Kota Medan dengan pendidikan dan skill yang rendah. Mereka hanya berharap bahwa di Medan akan banyak hal yang bisa dilakukan untuk memperoleh uang. Tidak seperti di kampung yang kehidupan hanya menjadi petani dan buruh tani.. Hal ini sama seperti yang dijelaskan oleh salah satu informan, Ibu Rani Butar - butar (Pr, 49 tahun) yang mengatakan :

“Dulu kan kakakku di Medan kian, pas tamat aku sekolah SMP ayok la ke Medan katanya. Ku pikir iya lah biar ga bertani lagi kan ga pegang tanah. Nyatanya gini juga di pegang lebih parah pun kotornya.” (Wawancara 11 Agustus 2016)

Ibu Rosminda, (Pr, 43 tahun), juga menjelaskan dengan mengatakan :

“Orang kan berlomba ke Kota. Tapi karena ga ada sekolah ya kek gini la kerja. Melihara Babi, Cari parnap, nasi busuk, botot. Semua dikerjakan asal bisa makan.” (Wawancara 11 Agustus 2016)

Hal ini sepadan dengan teori yang dikemukakan Gavin Jones dalam Jurnal Ketut Sudhana Astika bahwa bagaimana pun orang desa bermigrasi membandingkan bahwa ada peluang atau kesempatan kerja yang lebih besar dan lebih panjang dikota, walau harus tinggal diperkampungan seperti pinggiran Kota. Tepatnya di daerah pinggiran jalur perlintasan kereta api di Jalan Tirtosari Ujung Kelurahan Bantan.

Dari aspek sumber daya manusia terkait kualitas kesehatan, Ibu Rosminda (Pr, 43 tahun) juga menambahkan dengan mengatakan :

(65)

Hal sama juga terjadi pada salah satu informan Ibu Simarmata yang bekerja sebagai pedagang yang dulunya adalah pemulung. Beliau mengatakan bahwa pada beberapa bulan yang lalu ia mendapat paket pos yang isinya berupa Kartu Indonesia Sehat yang ditujukan untuk dia dan 9 warga lainnya. Ia menjelaskan dengan mengatakan :

“Dulu kan masih muda ya kuat aja, kebal. Sekarang karena udah sakit ga kuat lagi jalan cari botot ya gini la jualan jualan di rumah. Syukur ada kartus kis ku. Datang waktu itu tukang pos yang ngantar. Sepuluh kartunya di dalamnya untuk ku satu.” (Wawancara 14 Agustus 20016)

c. Aset Sosial (Social Capital)

Masyarakat memang selalu bersisi dari pranata sosial yang ada termasuk sistem asuransi sehingga mereka harus membangun sendiri institusi mereka agar mendapakan jaminan sosial (Social Security) yang dibutuhkan untuk mempertahankan hidup mereka (survival) melalui kekerabatan antar mereka, asosiasi penghuni, yang sering kali menjadi sangat kuat oleh sebab rasa senasib sepenanggungan. Berdasarkan observasi, kekerabatan di Jalan Tirtosari Ujung sangat Erat. Terlihat dari adanya Serikat Tolong Menolong dan Kegiatan Ibadah bersama yang rutin diadakan setiap hari Rabu malam bergiliran di rumah warga. Penjelasan ini didukung oleh penuturan salah satu informan, Ibu Sitio (Pr, 44 tahun), yang mengatakan :

(66)

Ibu R. Sirait (Pr, 52 tahun) juga menambahkan dengan mengatakan :

“Kalo disini nang soal kekerabatan kompaknya, kalo ada pesta di bantu, yang susah kalo bisa di tolong ya di tolong. Cuma ga kompaknya disinin kan air bersih belum masuk, mau pemerintah kami serentak mintaknya. Tapi ada yang ga mau, katanya bersih kok sumur kami. Itu ajanya nang, kalo soal soal persaudaraan ya kompak kali disini apalagi sesama orang batak.” (Wawancara 27 Juli 2016)

Masyarakat yang hidup bersama dalam sebuah pranata sosial dan memiliki pekerjaan, agama dan suku yang sama cenderung memiliki kekerabatan yang erat. Adanya perasaan senasib juga membuatnya merasa bersaudara.

d. Aset Lingkungan (Environmental Asset)

Dikutip dari sebuah tulisan di internet

(67)

PDAM belum memberikan aliran air bersihnya masuk kewilayah ini, selain itu air sumur yang terdapat dirumah mereka airnya sangat keruh. Sehingga tidak bisa digunakan untuk kebutuhan konsumsi. Penjelasan ini di dukung oleh penuturan salah satu informan, Ibu Rosdiana Br. Damanik (Pr, 55 tahun) yang mengatakan :

“Sejak disini aku ga ada air bersih dari pet, pake sumurnya orang semua disini. Dulu mau dimasukkan kian mau dipasang pipanya besar disini, tapi ga kompak semuanya ya ga bisa lah kan. Beli - beli air galon la kami sekarang, untung ada itu. Dulu lebih ngeri lagi, air galon belum ada kek sekarang. Yang kotor itu la diendap endapkan, itu pun masih keruh.” (Wawancara 27 Juli 2016)

Ibu Rani Butar - butar (Pr, 49 tahun) juga menambahkan dengan mengatakan :

“Disini kan ga ada air PAM, ya untuk minum kan ada air isi ulang. Itula dibeli 4000 tiap 2 hari sekali, terasa juga memang. Kalo buat mandi kalo rajin orangnya disaring, diendapkan, kan turun nanti yang kotornya itu. Tapi kalo malas ya dimandikan la yang jorok itu”(Wawancara 11 Agustus 2016)

Dengan demikian untuk melihat apakah masyarakat pemulung yang berada di Jalan Tirtosari Ujung termasuk dalam kategori miskin atau tidak, Soeharto (2006 : 148 - 149) mengatakan bahwa ada tiga kategori kemiskinan yang menjadi pusat perhatian pekerjaan sosial, yaitu :

1. Kelompok yang paling miskin (destitute) atau yang sering didefenisikan sebagai fakir miskin. Kelompok ini secara absolut memiliki pendapatan di bawah garis kemiskinan (umumnya tidak memiliki sumber pendapatan sama sekali) serta tidak memiliki akses terhadap berbagai pelayanan sosial)

(68)

3. Kelompok rentan (vunerable group). Kelompok ini dapat dikategorikan bebas dari kemiskinan, karena memiliki kehidupan yang relatif lebih baik ketimbang kelompok destitute maupun kelompok miskin. Namun sebenarnya kelompok yang sering disebut “near poor” (agak miskin) ini masih rentan terhadap berbagai perubahan sosial disekitarnya. Mereka sering kali berpindah status “rentan” menjadi “miskin” dan bahkan “destitute” bila terjadi krisis ekonomi dan tidak mendapat pertolongan sosial.

Jika dilihat dari standar keriteria miskin menurut BPS, terdpaat 14 kriteria untuk menganalisinya, yaitu sebagai berikut :

1. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m² per orang. 2. Jenis lantai tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan

3. Jenis dinding tempat tinggal dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester

4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama - sama dengan rumah tangga lain

5. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik

6. Sumber air minum berasal dari sumur/mata air terlindung/sungai/air hujan 7. Bahan bakar untuk memasak sehari - hari adalah kayu bakar/arang/minyak

tanah

8. Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali seminggu 9. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun

10.Hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari

(69)

12.Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah petani dengan luas lahan 500 m², buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan dan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan dibawah Rp 60.000,- per bulan 13.Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga/tidak tamat SD/tamat SD

14.Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan minimal Rp 500.000,- seperti sepeda motor kredit/non kredit, emas, ternak, kapal motor atau barang modal lainnya. **Jika minimal 9 variabel terpenuhi makan suatu rumah tangga miskin. (Sumber tanggal 03 september 2016 Pukul 13.28WIB)

(70)

4.5Gambaran Tindakan Kolektif (Colective Action) Masyarakat Pemulung yang Tinggal di Kampung Pemulung Kelurahan Bantan Kecamatan Medan Tembung Kota Medan

Michael Useem mendefenisikan gerakan sosial sebagai tindakan kolektif yang terorganisasi, yang dimaksudkan untuk mengadakan perubahan sosial. Gerakan sosial ditandai dengan adanya tujuan jangka panjang, yaitu untuk mengubah ataupun mempertahankan masyarakat atau institusi yang ada didalamnya.

Gerakan sosial memiliki keanekaragaman, maka ahli sosiologi mencoba mengklasifikasikannya dengan menggunakan kriteria tertentu. David Aberle, misalnya menggunakan kriteria tipe perubahan yang dikehendaki (perubahan perseorangan atau perubahan sosial) dan besarnya perubahan yang diinginkan (perubahan untuk sebagian atau perubahan menyeluruh).

Adapun tipologi gerakan sosial menurut Aberle adalah sebagai berikut :

1. Alternative Movement ialah gerakan yang bertujuan mengubah sebagian perilaku perseorangan. Dalam kategori ini dapat kita masukkan berbagai kampanye untuk mengubah perilaku tertentu. Seperti misalnya kampanye agar orang tidak meroko, tidak minum minuman keras, dan tidak menyalahgunakan zat.

(71)

3. Reformative Movement ialah yang hendak diubah bukan perseorangan melainkan masyarakat namun ruang lingkup yang hendak diubah hanya segi - segi tertentu masyarakat. Misalnya gerakan perempuan untuk memperjuangkan persamaan hak dengan laki - laki.

Menurut Sztompka gerakan sosial juga dianggap sebagai salah satu fenomena di era modernitas karena beberapa alasan sebagai berikut :

1. Kepadatan penduduk yang menyebabkan peluang mobilisasi meningkat. 2. Rasa keterasingan yang memunculkan kerinduan terhadap sebuah

komunitas dengan solidaritas dan kebersamaan.

3. Meningkatnya ketimpangan sosial dan adanya transformasi demokratis sistem politik yang membuka peluang bagi tindakan kolektif

4. Adanya keyakinan bahwa perubahan sosial dan kemajuan tergantung pada tindakan manusia.

5. Meningkatnya pendidikan

6. Kemunculan dan menguatnya media massa yang sebagai instrumen yang sangat kuat mengartikulasikan, membentuk, menyatukan keyakinan, merumuskan dan menyebarkan pesan ideologis, serta membentuk pendapat umum.

(72)

“Disini ga masuk air, itu ajanya masalahnya. Jadi beli la kami kalo buat minum sama masak. Pokoknya dari tahun 84 awak disini pake air sumur la.” (Wawancara 14 Agustus 2016)

Untuk memecahkan masalah tersebut, masyarakat Jalan Tirtosari Ujung pernah berembuk untuk meminta kepada pemerintah agar dimasukkan air bersih. Namun oleh pemerintah setempat mendapat penolakan dengan alasan tanah tersebut adalah milik PJKA. Hal ini diperjelas oleh salah satu informan bernama Bapak Haloho (Lk, 55 tahun) yang mengatakan :

“Dulu pernah kami minta ke lurah kan, ke kepling juga. Tapi ga ada tanggapan yang enak gitu. Alasannya ga bisa pasang pipa disitu, karena kan status tanah punya PJKA sewaktu - waktu mau digunakan.” (Wawancara 11 Agustus 2016)

Bapak Haloho (Lk, 63 tahun) juga menambahkan dengan mengatakan :

“Memang kalo lurah sini dulu katanya ga bisa di pasang karena tanah PJKA. Tapi dengar - dengar orang PDAM mau masukkan asalkan seluruh warga setuju di pasangkan pipa besar disini. Tapi memang harus bayar.” (Wawancara 14 Agustus 2016)

Oleh karena adanya isu harus bayar dengan ketentuan tertentu, banyak masyarakat yang tidak mau. Mereka lebih memilih untuk menikmati air sumur dari pada harus membayar. Hal ini senada dengan yang dikatakan oleh Ibu Rosdiana Br. Damanik (Pr, 55 tahun) yaitu :

“Dulu pernah kan dak disini mau dipasang pipa besar buat air masuk. Tapi ga kompak ada yang ga mau. Katanya ga ada uang buat bayar – bayarnya. Sementara kata par air itu harus kompak semua. Ya ga jadi la ujung – ujungnya.” (Wawancara 28 Juli 2016)

Ibu R. Sirait (Pr, 52 tahun) juga menambahkan dengan mengatakan :

(73)

Menurut Anthony Giddens dalam Fadhilla Putra, dkk menyatakan gerakan sosial sebagai upaya kolektif untuk mengejar kepentingan bersama atau gerakan mencapai tujuan bersama melalui tindakan kolektif (collective action) diluar ruang lingkup lembaga - lembaga yang mapan. Sehingga dari berdasarkan hasil observasi dan wawancara gerakan sosial masyarakat pemulung di Jalan Tirtosari Ujung tergolong rendah. Dimana terlihat dari upaya bersama untuk mengejar kepentingan bersama terkait keberadaan air bersih tidak ada kekompakan. Masyarakat masih perhitungan soal biaya pemasangan yang dianggap mahal dan egois terhadap diri karena telah memiliki air sumur yang jernih.

Namun, jika mengacu pada tindakan kolektif yang dilihat dari rasa kebersamaan masyarakat dalam keseharian saja, tindakan kolektif masyarakat pemulung Jalan Tirtosari Ujung cukup baik. Dimana hubungan kekerabatan antar warga berjalan dengan baik. Hal tersebut tercipta melalui kegiatan – kegiatan kemasyarakatan. Kegiatan tersebut berupa kegiatan STM (Serikat Tolong Menolong) yang diadakan sebulan sekali di gereja dan kegiatan ibadah dirumah bersama yang diadakan bergiliran dirumah warga satu minggu sekali. Masyarakat biasa menyebutnya “partamiangan”. Hal senada juga dijelaskan oleh salah satu informan, Ibu R. Sirait (Pr, 52 tahun) yang mengatakan :

“Ya kegiatan kami disini STM sebulan sekali, ibadah mingguan seminggu sekali di rumah - rumah. Partamiangan namanya, ini lah kami mau pigi.” (Wawancara 27 Juli 2016)

Ibu Sitio (Pr, 44 tahun) juga menambahkan dengan mengatakan :

(74)

dirumahnya. Ya awak bantu la masak – masaknya kan gitu.”(Wawancara 14 Agustus 2016)

Berdasarkan observasi dan wawancara, tindakan kolektif diatas mengacu pada perspektif Ferdinand Tonnies tentang kelompok sosial. Masyarakat pemulung yang berada di Jalan Tirtosari Ujung Kelurahan Bantan merupakan sebuah kelompok sosial yang disebutnya gemeinschaft (paguyuban). Dimana bentuk kehidupannya diikat oleh hubungan batin yang murni bersifat nyata dan organis. Seperti ciri - ciri paguyuban yang dikemukakan Ferdinand Tonnies sebagai berikut :

1. Intimate, artinya hubungan menyeluruh yang mesra sekali.

Masyarakat pemulung yang berada di Jalan Tirtosari Ujung memiliki pekerjaan, agama dan suku yang sama. Sehingga mereka seluruhnya merasa satu keluarga dan bersaudara.

2. Private, artinya hubungan pribadi yang terkhusus untuk beberapa orang saja

3. Exclusive, artinya hubungan tersebut hanya untuk mereka dan bukan untuk orang - orang diluar mereka.

Hal ini diperjelas oleh salah satu informan bernama Ibu Rosdiana Br Damanik (Pr, 55 tahun) yang mengatakan :

(75)

Ibu Dewi Aritonang, (Pr, 38 tahun) juga menambahkan dengan mengatakan :

“Anak kakak yang besar ini se

Gambar

Gambar 2. Dari sisi kanan (Kereta Api bandara Kualanamu sedang akan
Gambar 3. Salah satu informan Ibu Rosminda sedang menyiapkan makanan
Gambar 4. Ibu Rani Butar - Butar sedang memilah – milah plastik bekas hasil
Gambar 5. Kondisi interior rumah pemulung di Jalan Tirtosari Ujung
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil desain Pasar Terban yang baru merubah kondisi yang tidak representaive menjadi pasar yang lebih menarik dan lebih representative karena ; Desain Pasar Terban

Stres yang dialami oleh atlet remaja bukan hanya dari tuntutan dan juga perubahan-perubahan itu saja melainkan juga terdapat stres lain yang berasal dari

Penerbangan Indonesia terus berkembang bukan hanya bidang lalu lintas dan angkutan udara saja namun sudah mulai dengan perkembangan industri pembuatan pesawat terbang

[r]

Tahap pelaksanaan, meliputi: (1) Mengambil sampel penelitian dan menentukan jadwal penelitian disesuaikan dengan jadwal belajar IPS di sekolah tempat penelitian;

[r]

general linier model and geographic information system models, used this study aim at obtaining temporal and spatial pattern of the relationships between environmental variables

[r]