• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2 Analisis Keragaman Genetik

Gambar 4. Elektroforegram Hasil Amplifikasi DNA pada Primer CIRAD3TeakE06 AJ968939, CIRAD3TeakB02 AJ968937 dan CIRAD2TeakB07 AJ968934.

Keterangan: 1-12= sampel jati

Hasil amplifikasi DNA dengan menggunakan primer CIRAD1TeakF05 AJ968931, CIRAD4TeakH09 AJ98943, dan primer CIRAD2TeakC03 AJ968935 pada Gambar 4 menghasilkan pita polimorfik. Primer CIRAD3TeakE06 AJ968939 pada Gambar 4 memperlihatkan pita yang tidak dapat digunakan untuk keseluruhan sampel jati karena pita yang dihasilkan tidak terlihat jelas dan terang sehingga sulit untuk dilakukan analisis. Primer yang diperoleh pada penelitian ini mempunyai dua primer yang sama dengan primer pada penelitian Zulfiana (2017), yaitu primer CIRAD1TeakF05 AJ968931 dan primer CIRAD4TeakH09 AJ98943 yang memperlihatkan alel yang polimorfik.

Keberhasilan suatu primer ditentukan dengan kesamaan sekuen antara genom dan primer. Tidak terbacanya pita pada primer jati dapat disebabkan oleh tidak sesuainya templat jati dengan primer yang digunakan meskipun primer yang digunakan merupakan primer khusus jati (Cintamulya, 2013).

dihitung menggunakan program GenAlEx 6.5 (Peakall dan Smouse, 2012).

Parameter tersebut diperoleh dari hasil skoring keseluruhan amplifikasi PCR secara manual dan ditabulasi kedalam program GenAlEx 6.5 dan program online Polymorphism Information Content Calculator (PIC) yang menghasilkan data

informasi pada Tabel 4.

Tabel 4. Parameter yang Mencirikan Keragaman Genetik antar Populasi Jati

Keterangan : Na = Jumlah Alel

HO = Nilai Heterozigozitas Observasi HE = Nilai Heterozigozitas Harapan

Parameter yang mencirikan keragaman genetik antar populasi jati pada Tabel 4 menunjukkan jumlah alel, nilai heterozigozitas harapan pada setiap provenansi anakan jati. Jumlah alel yang terdeteksi pada keenam provenansi berkisar 4-9 alel. Provenansi Kaliaren memiliki jumlah alel paling tinggi yaitu 9 alel, sedangkan provenansi Madendra memiliki jumlah alel yang paling rendah yaitu 4 alel. Pita yang dihasilkan dari setiap primer berkisar 1-4 pita setiap provenansi. Provenansi Madendra hanya menghasilkan 1 pita pada primer AJ968931, menunjukkan pita yang dihasilkan bersifat monomorfik sehingga primer ini tidak bisa digunakan untuk provenansi Madendra.

No. Provenansi

Primer 3 AJ968935

Primer 2 AJ968943

Primer 1

AJ968931 Juml

ah Na

Rata-Rata HE

Na HE Ho Na HE Ho Na HE Ho

1 Kaliaren 4 0,643 0,143 3 0,406 0,000 2 0,469 0,000 9 0,506

2 Bansone 2 0,444 0,000 3 0,640 0,000 2 0,420 0,000 7 0,501

3 Madendra 0 0,000 0.000 3 0,370 0,000 1 0,000 0.000 4 0,123

4 Ngawenan 2 0,490 0,000 3 0,571 0,000 2 0,480 0,000 7 0,514

5 Nepo 2 0,198 0,000 2 0,198 0,000 3 0,660 0,000 7 0,352

6 Gelong 3 0,625 0,000 3 0,531 0,000 2 0,219 0,000 8 0,458

Rata-Rata 2 0,4 0,024 2,834 0,453 0,000 2 0,375 0,000 7 0,409

Jumlah alel anakan jati pada enam provenansi di ASDG BPTH, Gowa menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah alel jati pada enam provenansi di Kebun Pangkas BPTH Wil. II, Gowa. Jumlah alel yang terdeteksi pada enam provenansi jati di Kebun Pangkas BPTH Wil. II, Kabupaten Gowa berkisar 5-7 alel (Larekeng, dkk., 2016).

Nilai heterozigozitas harapan (HE) yang terdeteksi untuk keenam provenansi berkisar antara 0,123-0,514 setiap provenansi. Provenansi Ngawenan memiliki nilai HE yang paling besar yaitu 0,514 dan Provenansi Madendra memiliki nilai HE yang paling rendah yaitu 0,123. Nilai HE yang terdeteksi untuk ketiga primer memiliki nilai rata-rata berkisar 0,375-0,453 per lokus. Primer AJ968931 menunjukkan nilai HE yang paling rendah dan primer AJ968943 menunjukkan nilai HE yang tinggi. Nilai HE yang diperoleh pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian Larekeng, dkk. (2016) pada enam provenansi jati di Kebun Pangkas BPTH Wil. II, Gowa menunjukkan nilai HE berkisar 0-0,119 dengan rata-rata HE yaitu 0,019, namun lebih rendah dibanding penelitian Zulfiana (2017) di ASDG BPTH, Gowa menunjukkan nilai HE berkisar antara 0,453-0,645 setiap provenansi.

Perbedaan nilai HE antara jati Kebun Pangkas dan jati ASDG disebabkan oleh populasi jati Kebun Pangkas yang merupakan hasil kultur jaringan sehingga memiliki kemiripan genetik yang tinggi, sedangkan penelitian yang dilakukan pada keenam provenansi jati di ASDG BPTH, Gowa diperoleh dari anakan hasil perkembangan secara generatif. Nilai HE pada enam provenansi anakan jati di ASDG BPTH, Gowa yaitu 0,409. Nilai keragaman genetik merujuk pada Nurtjahjaningsih, dkk.(2013) menyatakan bahwa nilai keragaman genetik tinggi apabila nilai HE ≥ 0,5 dan keragaman genetik rendah apabila nilai HE < 0,5.

Nilai heterozigozitas harapan (HE) yang terdeteksi untuk keenam provenansi berkisar antara 0,123-0,506 setiap provenansi. Provenansi Kaliaren memiliki nilai HE yang paling besar yaitu 0,506 dan Provenansi Madendra memiliki nilai HE yang paling rendah yaitu 0,123. Nilai HE yang terdeteksi untuk ketiga primer memiliki nilai rata-rata berkisar 0,375-0,453 per lokus. Primer AJ968931 menunjukkan nilai HE yang paling rendah dan primer AJ968943 menunjukkan nilai HE yang tinggi. Primer AJ968935 memiliki nilai HE sebesar 0,412. Penelitian

Zulfiana. (2017) pada sampel daun jati yang diambil dari tujuh populasi dan 70 sampel di ASDG BPTH, Kabupaten Gowa menunjukkan nilai HE berkisar 0,453-0,645 dengan rata-rata HE yaitu 0,540.

Nilai Polymorphism Information Content (PIC) pada ketiga primer yaitu primer AJ968931 sebesar 0,424, primer AJ968943 sebesar 0,519 dan primer AJ968935 sebesar 0,599, mennjukkan bahwa ketiga primer tersebut informatif untk menganalisis keragaman genetik anakan jati. Penetapan nilai informatif suatu primer merujuk pada Robert, dkk. (2016) yang menyatakan bahwa primer tergolong informatif apabila memiliki PIC ≥ 0.3.

Gambar 5. Diagram Analysis of Molecular Variance (AMOVA) Enam Provenansi Anakan Jati Berdasarkan tiga Primer SSR Jati

Diagram AMOVA pada Gambar 5 menunjukkan keragaman antar individu pada keseluruhan sampel sebesar 77%. Keragaman genetik antar provenansi satu dengan yang lain diperoleh sebesar 22%. Nilai tersebut menunjukkan bahwa keragaman genetik anakan jati pada keenam provenansi tergolong rendah sesuai dengan nilai HE rata-rata sebesar 0,409. Hasil analisis AMOVA jati pada enam provenansi di Kebun Pangkas BPTH Wil. II, Gowa menunjukkan nilai yang berbanding terbalik dengan keragaman genetik anakan jati pada enam provenansi di ASDG BPTH, Gowa yaitu sebesar 63% antar provenansi yang menunjukkan

Among Pops 22%

Among Indiv 77%

Within Indiv 1%

nilai yang lebih besar dibandingkan keragaman genetik antar individu sebesar 36% (Larekeng, dkk., 2016).

Provenansi yang memiliki keragaman genetik yang rendah mendapat perlakuan lebih lanjut yaitu dengan melakukan infusi genetik. Penanaman dapat dilakukan dengan melakukan infusi genetik dari provenansi lain terhadap provenansi yang memiliki keragaman genetik rendah. Infusi genetik dilakukan untuk meningkatkan keragaman genetik pada suatu provenansi. Spesies yang memiliki derajat keragaman genetik yang tinggi pada populasinya akan memiliki lebih banyak variasi alel yang dapat diseleksi. Keragaman genetik anakan yang tinggi pada keseluruhan sampel menjadi rujukan dalam melakukan pembangunan hutan tanaman jati (Elfrod dan Stansfield, 2007).

4.3 Hubungan Kekerabatan Keseluruhan Individu pada Semua Provenansi

Hasil amplifikasi dari keseluruhan sampel menunjukkan adanya lima sampel yang tidak teramplifikasi pada seluruh primer yang digunakan sehingga kelima sampel tersebut tidak dilanjutkan untuk analisis keragaman genetik dan hanya 55 sampel yang bisa dianalisis.

Dendogram kekerabatan genetik enam provenansi jati menggunakan tiga primer mikrosatelit pada Gambar 6 menunjukkan bahwa 55 sampel jati dari enam provenansi terbagi dalam tiga kluster besar. Kluster pertama terdiri atas 36 sampel, kluster kedua terdiri atas 9 sampel, dan kluster ketiga hanya terdiri atas 10 sampel. Kluster tersebut tidak terbagi berdasarkan provenansi seperti yang dilihat pada Gambar 6. Setiap kluster terdiri atas individu-individu dari masing-masing provenansi yang memiliki hubungan kekerabatan genetik yang dekat. Hal ini berkaitan dengan Gambar 5 yang menunjukkan keragaman genetik antar provenansi berkisar 22%. Individu-individu antar provenansi yang berada pada kluster yang berbeda menunjukkan adanya keragaman genetik antar individu berkisar 77% .

Kluster 1 dan 3 terbagi menjadi beberapa subkluster. Subkluster memisahkan individu-individu yang memiliki hubungan kekerabatan genetik yang sangat dekat. Setiap kluster memiliki subkluster yang terdiri atas individu satu

provenansi, namun ada juga subkluster yang terdiri atas individu berbeda provenansi, hal ini berkaitan dengan Gambar 5 yang menunjukkan keragaman genetik antar individu di dalam provenansi berkisar 1%. Hal ini sesuai dengan Irmayanti (2011), menyatakan bahwa pengklasteran mengindikasikan bahwa dalam satu klaster memiliki struktur genetik yang hampir sama, sehingga antara klaster yang satu dengan yang lainnya memiliki struktur genetik yang berbeda.

Upaya pemuliaan pohon di masa datang memerlukan variasi genetik di dalam dan antar populasi. Upaya tersebut dilakukan dengan pembangunan kebun benih dengan bahan tanaman berasal dari populasi yang berbeda dengan anak-anakan berasal dari pohon plus yang telah dipilih. Hal ini bertujuan meningkatkan variasi genetik dalam populasi sehingga akan menghasilkan benih yang berkualitas dan unggul secara genetik. Variasi genetik yang tinggi akan mendukung suatu populasi untuk beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi di lingkungan sekitarnya serta keanekaragaman hayati akan terjaga (Mulyadiana, 2010). Hasil analisis dendogram hubungan kekerabatan keseluruhan individu dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Dendogram Kekerabatan Genetik Enam Provenansi Jati Menggunakan Tiga Primer Mikrosatelit

Bansone Madendra Nganwenan

Nepo Kaliaren

Ket. Gelong

Kluster 1

Kluster 2

Kluster 3

Dokumen terkait