• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS KERAGAMAN GENETIK ANAKAN JATI (Tectona grandis Linn. f.) PADA BERBAGAI PROVENANSI BERDASARKAN PENANDA MIKROSATELIT Oleh:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ANALISIS KERAGAMAN GENETIK ANAKAN JATI (Tectona grandis Linn. f.) PADA BERBAGAI PROVENANSI BERDASARKAN PENANDA MIKROSATELIT Oleh:"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KERAGAMAN GENETIK ANAKAN JATI (Tectona grandis Linn. f.) PADA BERBAGAI

PROVENANSI BERDASARKAN PENANDA MIKROSATELIT

Oleh:

ANDIS M111 13 001

PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2018

(2)
(3)

ABSTRAK

Andis (M111 13 001). Analisis Keragaman Genetik Anakan Jati (Tectona grandis Linn. f.) pada Berbagai Provenansi Berdasarkan Penanda Mikrosatelit, di bawah bimbingan Muhammad Restu dan Gusmiaty.

Jati (Tectona grandis Linn. f.) merupakan salah satu jenis kayu yang telah dikenal sejak lama di dunia sebagai kayu perdagangan dan merupakan salah satu tanaman unggulan di Indonesia yang memiliki struktur kayu yang baik, kelas kuat dan kelas awet yang tinggi, serta nilai ekonominya sangat tinggi. Permintaan kayu jati yang berlebihan telah meningkat selama beberapa tahun terakhir. Untuk menjaga eksistensi kayu jati, strategi konservasi genetik melalui pendekatan penanda mikrosatelit sangat dibutuhkan. Tujuan dari penelitian ini untuk menentukan primer yang tepat untuk digunakan dalam mengevaluasi tingkat keragaman genetik anakan jati dari berbagai provenansi dengan menggunakan penanda mikrosatelit. Analisis dilakukan dengan menggunakan 60 sampel DNA anakan jati dari enam provenansi yang berbeda. Seleksi primer menggunakan 12 sampel DNA yang dipilih secara acak menghasilkan tiga primer polimorfik dari sepuluh primer Simple Sequence Repeat (SSR) jati. Tingkat karagaman genetik dari sampel yang dievaluasi tergolong rendah, yaitu Nilai Heterozigositas Harapan (HE ) sebesar 0,409. Persentase keragaman genetik antar individu dalam provenansi tergolong rendah sebesar 1%. Selain itu, keragaman genetik antar provenansi sebesar 22%, sedangkan keragaman genetik antar individu pada keseluruhan provenansi tergolong tinggi sebesar 77%.

Kata kunci : Jati, Penanda Mikrosatelit, Keragaman Genetik, Provenansi.

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas anugrah dan kasih yang melimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul “Analisis Keragaman Genetik Anakan Jati (Tectona grandis Linn. f.) pada Berbagai Provenansi Berdasarkan Penanda Mikrosatelit”.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini banyak kekurangan yang disebabkan keterbatasan penulis. Namun dengan adanya arahan dan bimbingan dari berbagai pihak berupa pengetahuan, dorongan moril dan bantuan materil, maka penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Penghargaan yang tulus dan ucapan terima kasih dengan penuh keikhlasan juga penulis ucapkan kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Ir. H. Muh. Restu, M.P. dan Ibu Gusmiaty, SP., MP.

selaku pembimbing I dan pembimbing II yang selalu mengarahkan dan membantu penulis mulai penentuan judul hingga selesainya skripsi ini.

2. Bapak Prof. Dr. Ir. Samuel A. Paembonan, Bapak Dr. Ir. Beta Putranto, M.Sc., dan Bapak Ir. Budirman Bachtiar, M.S., selaku penguji yang telah memberikan masukan dan saran-saran guna penyempurnaan skripsi ini.

3. Ibu Dr. Siti Halimah Larekeng, SP.,MP., Kak Yuni Fitri Cahyaningsih, SP.,M.Si., Kak Harlina, S.Si., Kak Mirza A. Arsyad, SP., M.Si., dan Kak Siti Aminah, A.Md.P., yang telah bersedia membantu penulis selama melaksanakan penelitian di Laboratorium Bioteknologi dan Pemuliaan Pohon.

4. Seluruh Dosen Pengajar dan Staf Administrasi Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin.

5. Teman-teman sepenelitian Andi Sifa Sulfiana,Wanti Mustika S., Asmawati, Dwi Sulastri, Khodijah Nurutami, Andi Sri Nurul F., Indriyani Astuti, Sri Wahyuni Jufri, Defky, Meylinda Sandodo, Jefrianto Sapan L., Kak Mis’al, Kak Erwin, Kak Kevin, Regita Cahyani, Nur Reski Immalasari, Dian Anggraeni, Andi Fahriadi dan adik-adik sepenelitian

(5)

terima kasih telah membantu dan menemani penulisan di Laboratorium Bioteknologi dan tak henti-hentinya memberikan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Terima kasih untuk sahabatku Sabaruddin, Asrul, Muhammad irfan, Kidung Tirtayasa Putra Pangestu, Muh. Agung, Ihram Amir, Nurul Anuqrah Wati dan Ni Putu Sry Febry Susanti atas doa dan semangatnya kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Teman-teman seperjuangan kelas A, terima kasih atas kerjasamanya dan semangat yang kalian berikan

8. Teman-teman Gemuruh 2013, terima kasih atas kerjasamanya dan semangat yang kalian berikan.

9. Terima kasih untuk teman-teman KKN SUIJI 2016, Adit, Irham, Apip, Sahrir, Candra, Azhar, Aulia, Hikma, Puput, Ika, Novi, Wiwi dan Aii atas doa dan semangat yang kalian berikan.

10. Terima kasih untuk teman-teman Magang KPH Biak Numfor, Iswahyudi, Anni Safitri dan Khaerum Nisa atas doa dan semangat yang kalian berikan.

Rasa hormat dan terima kasih yang sedalam-dalamnya saya persembahkan kepada kedua orangtua saya, Ayahanda Suardi dan Ibu Rosmiati yang senantiasa mendoakan dan memberikan perhatian, kasih sayang, nasehat dan semangat kepada penulis. Serta kepada adik-adik terkasih Ardi dan Anjas terimakasih atas doa dan dukungannya selama ini. Semoga dihari esok penulis kelak menjadi anak yang membanggakan.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini, masih banyak terdapat kekurangan yang perlu diperbaiki, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi penyempurnaan skripsi ini. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan dan khususnya kepada penulis sendiri.

Makassar, Februari 2018

Penulis

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

ABSTRAK ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan dan Kegunaan ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1 Tanaman Jati (Tectona grandis Linn. f.) ... 4

2.1.1 Taksonomi ... 4

2.1.2 Deskripsi Botani ... 4

2.1.3 Habitat dan penyebaran ... 5

2.2 Provenansi ... 6

2.3 Keragaman Genetik ... 7

2.4 Penanda Genetik ... 8

2.5 Mikrosatelit ... 9

III. METODE PENELITIAN ... 12

3.1 Waktu dan Tempat ... 12

3.2 Alat dan Bahan ... 13

3.3 Prosedur Penelitian ... 15

3.3.1 Pengambilan Sampel ... 15

3.3.2 Isolasi DNA Jati ... 15

3.3.3 Seleksi Primer ... 16

3.3.4 Analisis Keragaman Genetik Menggunakan Mikrosatelit ... 17

3.4 Analisis Data ... 18

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 21

4.1 Seleksi Primer ... 21

4.2 Analisis Keragaman Genetik ... 24 4.3 Hubungan Kekerabatan Keseluruhan Individu pada Semua Provenansi . 28

(7)

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 31

5.1 Kesimpulan ... 31

5.2 Saran ... 31

DAFTAR PUSTAKA ... 32

LAMPIRAN ... 36

(8)

DAFTAR TABEL

Tabel Judul Halaman

Tabel 1. Alat dan Bahan Analisis Molekuler SSR ... 14

Tabel 2. Nama Primer dan Sekuen Primer SSR Jati yang Diseleksi ... 17

Tabel 3. Hasil Gradien Suhu Annealing pada Primer yang telah Diseleksi ... 22

Tabel 4. Parameter Keragaman Genetik antar Populasi Anakan Jati ... 25

(9)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Judul Halaman

Gambar 1. Peta Lokasi Peneliti di Areal Sumber Daya Genetik (ASDG)

Kabupaten Gowa ... 13 Gambar 2. Prosedur Analisis Keragaman Genetik ... 20 Gambar 3. Elektroforegram hasil amplifikasi DNA pada Primer

CIRAD1TeakF05 AJ968931, CIRAD4TeakH09 AJ98943 dan CIRAD2TeakC03 AJ968935. ... 23 Gambar 4. Elektroforegram Hasil Amplifikasi DNA pada Primer

CIRAD3TeakE06 AJ968939, CIRAD3TeakB02 AJ968937 dan CIRAD2TeakB07 AJ968934. ... 24 Gambar 5. Diagram Analysis of Molecular Variance (AMOVA) Enam

Provenansi Anakan Jati Berdasarkan Tiga Primer SSR Jati ... 27 Gambar 6. Dendogram Kekerabatan Genetik Enam Povenansi Jati

Menggunakan Tiga Primer Mikrosatelit ... 30

(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Judul Halaman

Lampiran1. Dokumentasi Pengambilan Sampel Daun Anakan Jati ... 36 Lampiran2. Dokumentasi Alat yang digunakan ... 37 Lampiran 3. Dokumentasi Proses Penelitian Molekuler di Laboratorium

Bioteknologi dan Pemuliaan Pohon ... 39

(11)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Jati (Tectona grandis Linn. f.) merupakan salah satu jenis kayu yang telah dikenal sejak lama oleh masyarakat di dunia sebagai kayu perdagangan yang kualitas kayunya tidak diragukan dan nilai ekonomisnya sangat tinggi. Hingga saat ini, jati masih komoditas mewah dikarenakan kualitasnya yang tinggi.

Kebutuhan masyarakat terhadap kayu jati semakin meningkat dari tahun ke tahun karena jenis tumbuhan ini mempunyai struktur yang indah, tergolong awet, penyusutan kecil dan sangat baik untuk semua pekerjaan konstruksi.

Kebutuhan kayu secara nasional untuk industri yang berbasis kayu, dengan tujuan ekspor maupun untuk kebutuhan masyarakat dalam negeri terus meningkat sementara produksi kayu belum mencukupi kebutuhan. Berdasarkan dengan itu salah satu program Kementerian Kehutanan adalah membuat program untuk pembangunan hutan tanaman jati (Effendi, dkk., 2013).

Peningkatan pembangunan hutan tanaman jati membutuhkan bibit yang berkualitas sehingga dapat diperoleh kayu yang berkualitas. Bibit jati berkualitas saat ini masih sulit karena ketersediaan bibit dengan kualitas unggul masih dalam jumlah terbatas dan harganya mahal. Proses untuk memperoleh bibit berkualitas membutuhkan proses yang panjang melalui program pemuliaan pohon (Kosasih, 2013).

Pemuliaan pohon merupakan suatu upaya yang dapat dilakukan untuk menghasilkan perbaikan genetik dalam arti peningkatan hasil, baik secara kualitas maupun kuantitas dari generasi ke generasi. Program pemuliaan jati dapat terarah dengan baik, sehigga tujuan dapat tercapai, memerlukan strategi pemuliaan yang tepat. Strategi pemuliaan pohon jati disusun berdasarkan parameter tujuan pengusahaan, keragaman secara morfologi dan genetis (Boer, 2007).

Keragaman genetik merupakan faktor yang sangat berpengaruh dalam menyusun strategi pemuliaan pohon. Karakter genetik suatu jenis pohon yang terdapat dalam satu tempat tumbuh maupun yang berbeda provenansi dapat berbeda, hal ini disebabkan karena perbedaan genetik. Hal ini akan menunjukkan

(12)

sifat dan kekhasan suatu tegakan. Sehingga tegakan atau provenansi yang memiliki karakter genetik yang baik dapat menjadi sumber yang tepat untuk kegiatan pemuliaan pohon (Pratama, 2009).

Pengamatan karakter morfologi hanya mengamati sifat yang tampak sehingga sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Pengamatan karakter genetik, sifat yang diamati adalah DNA yang sulit dipengaruhi lingkungan.

Tingkat variasi jati antar provenansi dan di dalam provenansi dapat diketahui dengan pendekatan karakter genetik. Karagaman genetik sangat penting dalam upaya menyediakan informasi bagi kegiatan pengembangan dan peningkatan hasil produksi serta upaya konservasi.

Konservasi sumberdaya genetik merupakan salah satu upaya untuk menghindari kepunahan suatu spesies. Konservasi sumberdaya genetik dapat diupayakan melalui dua strategi, yakni konservasi in situ dan konservasi ex situ.

Konservasi in situ merupakan konservasi yang dilakuakn terhadap spesies pada sebaran alaminya, sedangkan konservasi ex situ merupakan konservasi yang dilakukan terhadap spesies pada areal luar sebaran alaminya. Upaya konservasi ini membutuhkan data keragaman genetik dari suatu spesies (Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan, 2015).

Keragaman genetik merupakan cerminan kemampuan adaptasi tanaman hutan. Populasi dengan keragamaan genetik yang tinggi memiliki adaptasi yang tinggi pula. Keragaman genetik yang tinggi dari suatu populasi dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni mutasi dan aliran gen. Faktor yang menurunkan keragaman genetik adalah seleksi dan hanyutan genetik (Widyastuti, 2010).

Keragaman genetik dapat diketahui dengan penggunaan berbagai penanda molekuler, salah satunya yaitu Simple Sequence Repeat (SSR) atau mikrosatelit.

Marka mikrosatelit dibuat berdasarkan jumlah sekuen DNA sederhana yang berulang-ulang sehingga sering disebut juga dengan Simple Sequence Repeat (SSR). SSR merupakan salah satu penanda DNA yang menggunakan prinsip kerja reaksi polimerisasi berantai dengan menggunakan mesin PCR (Polymerase Chain Reaction), yang dapat mengamplifikasi sekuen DNA tertentu secara in vitro (Temnykh et al., 2000; Boer, 2007).

(13)

Beberapa penelitian sebelumnya tentang keragaman genetik jati telah dilakukan, diantaranya keragaman genetik populasi tanaman jati berdasarkan penanda molekuler RAPD oleh Widyatmoko, dkk. (2013). Analisis keragaman genetik jati pada tujuh provenansi di Sulawesi Tenggara menggunakan penanda mikrosatelit oleh Zulfiana (2017) dan keragaman genetik jati pada berbagai provenansi di kebun pangkas BPTH wilayah dua di Kabupaten Gowa yang meliputi Provenansi BBP BPTH, Perhutani, Muna, Inti, UGM dan Biotrop juga telah dilakukan oleh Larekeng, dkk. (2016). Oleh karena itu, penelitian tentang analisis keragaman genetik jati pada Provenansi Kaliaren, Bensone, Madendra, Ngawenan, Nepo dan Gelong menggunakan penanda mikrosatelit perlu dilakukan untuk melihat tingkat keragaman genetik dalam keberlangsungan populasi dari jenis tersebut.

1.2 Tujuan dan Kegunaan

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menentukan primer yang cocok digunakan untuk mengevaluasi keragaman genetik anakan jati.

2. Menentukan tingkat keragaman genetik anakan jati pada berbagai provenansi.

Kegunaan penelitian ini dapat digunakan sebagai rujukan primer untuk mengevaluasi keragaman genetik anakan jati serta dapat memberikan informasi yang bermanfaat terhadap upaya pelestarian jenis tanaman jati.

(14)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Jati (Tectona grandis Linn. f.)

2.1.1 Taksonomi

Sistematika tanaman jati berdasarkan Sumarna (2012) dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

Divisi : Spermatophyta Kelas : Angiospermae Sub-kelas : Dicotyledoneae Ordo : Verbenales Famili : Verbenaceae Genus : Tectona

Spesies : Tectona grandis Linn.f.

2.1.2 Deskripsi Botani

Tanaman jati merupakan pohon besar yang menggugurkan daun pada musim kemarau. Secara morfologis tinggi pohon dapat mencapai 30-45 m.

Namun di daerah yang subur tinggi pohon bisa mencapai 50 m. Perlakuan pemangkasan menghasilkan batang yang bebas cabang dapat mencapai antara 15-20 m dan diameter dapat mencapai 220 cm (Sumarna, 2003).

Tanaman jati memiliki batang yang bulat (silindris) dan lurus, tajuk rimbun, kulit batang tebal coklat keabu-abuan, beralur dan mudah terkelupas.

Pangkal cabang berbanir, mimiliki akar papan pendek dan bercabang 4. Daun lebar, panjang daun antara 25-50 cm dengan lebar 15-35 cm, letak daun bersalingan, bentuk bulat telur dengan ujung meruncing. Bagian bawah berwarna keabu-abuan tertutup bulu kelenjar warna merah dan bagian atas berwarna hijau tua ke abu-abuan sampai hijau kecoklat-coklatan dengan permukaan kasar (Kosasih, 2013).

Bunga jati majemuk, dengan ukuran kecil, berdiameter antara 6-8 mm, warna ke putih-putihan dan berkelamin ganda yang terdiri dari benang sari dan putik terangkai dalam tandan besar. Jumlah kuncup bunga antara 800-3800 per

(15)

tandan, dan bunga mekar dalam waktu 2-4 minggu (Rahmawati, dan Jober., 2002).

Tanaman jati memiliki kelas awet I dan kelas kuat II dengan berat jenis rata-rata 0,7, cocok digunakan untuk keperluan kayu perkakas dan pertukangan.

Berdasarkan sifat fisiknya memiliki berat jenis antara 0,62-0,75 dengan penysutan pada kering tanur antara 2,8%-5,2%. Berdasarkan sifat mekaniknya memiliki keteguhan lentur static 718 kg/cm2 dengan tegangan batas patah 1031 kg/cm2 ).

Serta keteguhan tekan sejajar arah serat maksimum 550 kg/cm2 (Kosasih, 2013).

Kayu jati memiliki sifat kimia dengan kandungan kadar celulosa 45,5%, lignin 29,9%, pentosan 14,4%, abu 1,4 % dan silica 0,4%, dengan nilai kalori 5.081 kal/gram. Menurut Sumarna (2003) sifat fisik dan kimia tanaman jati Konvensional akan sangat ditentukan oleh kondisi lahan, iklim serta lingkugan tempat tumbuhnya. Habitat kawasan hutan daratan rendah dengan kandungan hara optimal, curah hujan 750-1.500 mm/th dan suhu udara nisbi antara 34˚-42˚ C serta kelembaban 70% akan menghasilkan kualitas kayu yang memiliki struktur kambium tebal, warna coklat terang dan bagian teras warna coklat tua keemasan (Kosasih, 2013)

Warna kayu teras coklat muda, coklat kelabu sampai coklat merah tua atau merah coklat sedangkan kayu gubal mempunyai warna putih dan kelabu kekuningan. Kayu jati mempunyai tekstur agak kasar dan tidak merata, seratnya mempunyai arah yang lurus, kadang-kadang agak terpadu. Kesan raba pada permukaan kayu jati licin , kadang-kadang seperti berminyak. Gambar lingkaran tumbuh pada kayu jati nampak dengan jelas pada bidang transversal dan radial dan memberi gambar yang indah sehingga kayu jati banyak digemari masyarakat (Effendi, dkk., 2013).

2.1.3 Habitat dan Penyebaran

Jati telah dikenal sejak lama oleh masyarakat dunia sebagai kayu perdagangan yang kualitas kayunya baik dan nilai ekonominya sangat tinggi.

Jenis ini termasuk tanaman unggulan dan andalan Indonesia, walaupun bukan tanaman asli Indonesia. Secara geografis, populasinya mulai dari benua Asia, Afrika, Amerika dan Australia, yang terletak pada 25˚ garis Lintang Utara

(16)

(Burma) dan batas selatannya pada 9˚ garis Lintang Utara (India) serta 7˚

Lintang Selatan Indonesia yang membujur pada 7˚ -100˚ garis Bujur Timur.

Penyebaran terputus-putus, terpisah oleh pegunungan tanah pertanian dan tipe hutan lainnya. Fenotipe jati yang berasal dari Laos memiliki hubungan dengan yang berasal dari Thailand. Jati yang berasal dari India dekat keturunannya/

sifatnya dengan yang berasal dari Indonesia , dan yang berasal dari Thailand.

Penyebaran pohon jati di Indonesia terdapat di beberapa daerah, seperti Jawa, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, NTB, Maluku, Lampung, dan Bali. Jati termasuk tanaman tropika dan subtropika yang sejak abad ke-9 telah dikenal sebagai pohon yang memiliki kualitas tinggi, bernilai jual tinggi dan digolongkan sebagai kayu mewah, memiliki kelas awet tinggi yang tahan terhadap gangguan rayap serta jamur, juga mampu bertahan hingga 500 tahun. Tanaman jati di Jawa tumbuh pada ketinggian kurang dari 700 m dpl dan tumbuh baik pada tanah-tanah vulkanis muda, juga dapat tumbuh pada tanah yang kurang air serta formasi kapur tua dan margalit dengan pH 6 pada suhu optimum 32ºC – 42º C dan kelembaban nisbi berkisar 70-80 % (Kosasih, 2013).

2.2 Provenansi

Provenansi merupakan sumber (geografis) asal dari biji atau benih. Sumer biji adalah tempat tumbuh dimana biji dikumpulkan. Istilah ini biasa digunakan oleh para pemulia pohon untuk menerangkan tempat asal benih atau sumber benih alami suatu jenis pohon (Jumani, 2010). Benih alami (provenansi) memerlukan proses aklimatisasi, naturalisasi dan domestikasi. Proses ini dikaitkan dengan percobaan program provenansi untuk menghindari kerugian dan kegagalan serta untuk menilai keberhasilan pertumbuhan disuatu tempat tertentu (Suhendi, 1995;

Zulfiana, 2017).

Provenansi merupakan asal tempat tumbuh yang dijadikan dasar untuk menunjukkan adanya keragaman genetic suatu jenis. Provenansi disebabkan oleh suatu jenis tanaman yang mempunyai sebaran alami pada beberapa tempat ddengan kondisi lingkungan yang spesifik. Percobaan provenansi adalah percobaan benih-benih yang berasal dari tegakan alami yang disebar luas

(17)

dikumpulkan dari anakan yang tumbuh dari benih tersebut dan dipelihara dalam keadaan lingkungan yang sama (Wright, 1976).

2.3 Keragaman Genetik

Keragaman pohon di hutan terlihat jelas antara jenis yang satu dengan jenis yang lainnya. Jenis yang sama juga terdapat perbedaan sifat antara provenansi atau tempat asal tegakan. Pohon dalam satu tegakan dan keragaman dalam individu pohon. Variasi dapat diamati dalam perbedaan bentuk, pertumbuhan, percabangan, ketahanan terhadap hama dan penyakit, warna daun, ukuran buah dan sebagainya. Keragaman ini dapat terjadi karena perbedaan genotip, lingkungan dan interaksi antar genotip dan lingkungan (Ramdhanil, 2002).

Keragaman genetik terdistribusi pada jenis pohon yang mempunyai tempat tumbuh yang berkeragaman dan sering berasosiasi dengan gradient topografis.

Besarnya jumlah keragaman genetik antar pohon dalam populasi merupakan respon terhadap seleksi ruangdan waktu pada lingkungan yang heterogen. Jenis dangan keragaman dalam populasi yang besar, mempunyai potensi untuk berpindah dan beradaptasi pada lingkungan yang baru. Pohon -pohon dalam pertumbuhannya memperlihatkan sifat -sifat yang berbeda (variasi) seperti kelurusan, percabangan, morfologi dan lain-lain. Variasi tersebut dapat terjadi diantara geografik (provenansi), diantara tempat tumbuh, diantara individu dalam tegakan, maupun variasi di dalam pohon itu sendiri (Ramdhanil, 2002).

Pengetahuan keragaman genetik suatu jenis dalam suatu populasi merupakan suatu langkah yang penting dalam rangka upaya konservasi sumber daya genetik. Upaya konservasi dan pemuliaan tanaman memerlukan informasi keragaman genetik yang digunakan oleh pemulia tanaman untuk meningkatkan produksi tanaman serta mengkonservasi tanaman yang keberadaannya terancam punah (Boer, 2007).

Pendekatan yang sering digunakan untuk mengukur besarnya variasi genetik, yaitu dengan menggunakan penanda genetik (genetic marker) dan sifat kuantitatif. Pendekatan penanda genetik dapat dipisahkan menjadi dua yaitu penanda genetik secara morfologi dan penanda genetik molekuler. Pendekatan

(18)

penanda molekuler yang mampu dalam mendeteksi gen dan sifat-sifat tertentu, evaluasi keragaman dan evolusi pada tingkat genetik (Hoon-Lim, dkk., 1999;

Zulfiana, 2017)

Variasi genetik merupakan dasar untuk program pemuliaan tanaman.

Menurut Siregar dan Olivia (2012), variasi genetik yang tinggi berpengaruh terhadap kemampuan suatu jenis untuk beradaptasi. Variasi genetik yang tinggi akan menghasilkan sifat resisten atau tahan terhadap kondisi lingkungan yang ekstrim, sehingga serangan hama dan penyakit dapat dihindari. Penanda molekuler sudah digunakan secara luas untuk identifikasi keragaman genetik, pemetaan genetik dan hubungan kekerabatan. Penanda mikrosatelit yang didasarkan pada PCR dengan primer acak tidak dipengaruhi oleh lingkungan dan efektif untuk analisis keragaman genetik (Boer, 2007).

2.4 Penanda Genetik

Penanda genetik adalah bagian yang mudah diidentifikasi dari material genetik, digunakan untuk membedakan sel, individu, populasi, atau spesies.

Penggunaan penanda genetik dimulai dengan mengambil protein atau bahan kimia untuk penanda biokimia atau DNA dan penanda molekuler serta jaringan tanaman. Penanda genetik merupakan alat bantu mengidentifikasi genotip suatu individu (Semagun, dkk., 2006).

DNA adalah suatu molekul, kumpulan atom yang bersatu membentuk unsur baru yang berbeda dari unsur dasar dan merupakan substansi dasar penyusun gen.

Gen berada dalam setiap tubuh makhluk hidup yang berfungsi sebagai unit dasar hereditas. Gen terdapat pada untaian rantai yang disebut dengan kromosom dalam sel. DNA digunakan sebagai alat untuk menyeleksi sifat dan karakter dengan penanda molekuler (Rimbawanto, 2008).

Na’iem (2000) menyatakan ada dua macam teknik penanda DNA yaitu : 1. RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphism) adalah penanda DNA

yang pertama kali dikembangkan menjelang akhir tahun 1970an. Penanda ini dikembangkan karena ditemukannya enzim restiksi atau lebih dikenal dengan restriction enzyme. Enzin ini berfungi sebagai guntung yang memotong DNA

(19)

pada sekuens tertentu (recognition sequence). Potongan DNA hasil pemotongan ini disebut sebagai fragmen restriksi (Restriction fragment).

2. Penanda berbasi PCR (Polymerase Chain Reaction), yaitu :

a. RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA), adalah modifikasi dari PCR yang dikembangka pada tahun 1990 oeh J.Williams. Perbedaan pokok dari PCR adalah digunakannya satu primer pendek berukuran 10 basa (PCR menggunakan primer ganda berukuran panjang 20 basa).

b. AFLP (Amplified Fragment Lengt Polymorphism), penanda DNA yang tergolong paling mutakhir, yang merupakan penggabungan teknik RFLP dan teknik PCR.Penanda ini dikembangkan pada tahun 1995 oleh Vos et al, menggunakan enzim restriksi dan amplifikasi. Tahapan prosedur AFLP secara ringkas yaitu, Reaksi dengan enzim restriksi, Ligasi adaptor, Amplifikasi PCR dan Elektroforesis dan analisi.

c. Mikrosatellites adalah penanda DNA yang tergolong sangat efektif juga berbasis PCR. Penanda Mikrosatellites juga disebut Simple Sequence Repeat (SSR), yaitu segmen DNA yang berisi tandem repeats dari urutan basa yang sederhana, dengan panjang basa 1 hingga 5.

2.5 Mikrosatelit

Mikrosatelit merupakan penanda DNA yang mempunyai sekuen sederhana, terdiri atas satu sampai enam basa yang diulang, dan banyak dijumpai pada genom tanaman. Tingkat polimorfisme yang tinggi menyebabkan penanda mikrosatelit mampu membedakan jenis dan individu yang berkerabat secara genetik (Burke and Long, 2012).

Mikrosatelit merupakan alat bantu yang sangat akurat untuk membedakan genotipe, evaluasi kemurnian benih, pemetaan, dan seleksi genotip utuk karakter yang diinginkan. Penanda ini tergolong sebagai penanda molekuler yang sangat efektif, sekuen DNA yang bermotif pendek dan diulang secara tandem dengan 2 sampai 5 unit basa nukleotida atau dikenal sebagai motif dan tersebar pada seluruh genom. Motif dengan urutan ATT (tri nukleotida) dapat diulang 9 – 30 kali ganti ATTATTATTATTATTATTATTATTATTATT. Kelebihan marka ini yaitu bersifat kodominan sehingga tingkat heterozigositasnya tinggi, memiliki

(20)

daya pembeda antar individu serta dapat diketahui lokasinya pada DNA sehingga dapat mendeteksi keragaman alel pada level yang tinggi, dan ekonomis dalam pengaplikasiannya karena menggunakan proses PCR (Prasetiyono dan Tasliah, 2004).

Metode screening primer mikrosatelit adalah salah satu metode untuk menyediakan karakterisasi dan aplikasi penanda mikrosatelit pada beberapa penanda mikrosatelit. Metode ini dipandang lebih menghemat waktu, tenaga dan biaya dibandingkan dengan metode penyusunan pustaka DNA. Kemiripan susunan basa pada jenis yang berkerabat mendasari dikembangkannya metode ini (McCulloch and Stevens, 2011).

Mikrosatelit telah digunakan untuk melihat tingkat keragaman genetik yang ada di kebun benih semai Acacia mangium di Sumatera Selatan, dengan memperhatikan genetik, analisis tetua, kontaminasi serbuk sari dan system perkawinan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat keragaman genetik tetua yang merupakan generasi pertama dan anakannya sebagai generasi kedua.

Dua belas primer dari penanda mikrosatelit digunakan dalam penelitian ini.

Analisis keragaman genetik penanda mikrosatelit terhadap jumlah alel yang terdeteksi pada tetua dan anakan di kebun benih semai A. mangium di Sumatera Selatan menunjukkan rata – rata jumlah alel tetua lebih banyak dibandingkan anakan (Yuskianti, 2014).

Marka mikrosatelit mempunyai sifat seperti halnya marka RFLP.

Mikrosatelit adalah motif sederhana urutan basa nitrogen yang terdapat pada kromosom suatu organisme. Urutan itu berulang-ulang sebagai motif yang unik.

Para ilmuwan memanfaatkannya dengan memetakan urutan tersebut pada kromosom suatu organisme, sehingga penggunaan marka mikrosatelit memiliki kemampuan mendeteksi suatu populasi segregasi seakurat RFLP (Zane, dkk., 2002).

Penggunaan marka mikrosatelit relatif mudah karena menggunakan teknik PCR, terdistribusi pada seluruh kromosom sehingga diharapkan semakin tinggi kemungkinan untuk mendapatkan marka yang terpaut dengan suatu sifat tertentu yang menjadi sekuen target. Pembukaan peta keterpautan mikrosatelit didalam

(21)

merakit varietas baru juga dapat menghemat waktu, tenaga, dan dana (Jannati, dkk., 2009).

Analisis variasi genetik menggunakan penanda mikrosatelit adalah analog dengan metode lama yakni elektroforesis protein. Sejumlah mikrosatelit diaplikasikan untuk mendeteksi sejumlah alternatif alel pada lokus genetik spesifik. Alel-alel individu mencerminkan frekuensi yang berbeda antar populasi yang berbeda (Bradley, dkk., 1998 ; Cintamulya, 2013).

Mikrosatelit sebagai penanda DNA digunakan dalam melihat variasi genetik varian jati arboretum yang digunakan sebagai dasar dalam seleksi tetua. Hasil seleksi variasi jati digunakan untuk program breeding terkait sifat-sifat tertentu dengan tujuan peningkatan produksi dan kualitas kayu jati (Cintamulya, 2013).

(22)

III. METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2017 hingga November 2017.

Pelaksanaan penelitian terdiri atas dua tahap yaitu pengambilan sampel penelitian dan analisis keragaman genetik. Pengambilan sampel dilaksanakan di Areal Sumber Daya Genetik (ASDG) Balai Perbenihan Tanaman Hutan (BPTH), Desa Bellabori, Kecamatan Parangloe, Kabupaten Gowa. Analisis keragaman genetik dilakukan di Laboratorium Bioteknologi dan Pemuliaan Pohon, Fakultas Kehutanan, Universitas Hasanuddin, Makassar.

Jarak kampus Universitas Hasanuddin ke lokasi ASDG kurang lebih 30 km.

Lokasi tersebut dapat dicapai dengan menggunakan kendaraan roda dua dan roda empat dengan waktu tempuh kurang lebih 1 jam 15 menit dari Kota Makassar.

Berdasarkan kedudukan geografis ASDG jati terletak pada 5˚11’15,6” Lintang Selatan dan 119˚38’55” Bujur Timur dengan luas areal sebesar 9 ha.

Kawasan ASDG umumnya memiliki topografi datar hingga bergunung.

Berdasarkan peta topografi, keadaan lapangan dapat digambarkan sebagai berikut:

1. Daerah datar dengan kemiringan 0-8% terdapat pada sebelah barat hingga barat daya desa dan sekitar jalan raya.

2. Daerah landai dengan kemiringan 8-15% terdapat pada sebelah Barat Laut, Utara, Timur Laut, Timur, Tenggara dan Selatan Desa.

3. Daerah berbukit dengan kemiringan 15-25% terdapat pada sebelah Utara, Tengah dan Timur Desa serta sekitar plot provenansi jati.

4. Daerah bergunung dengan kemiringan 25-40% terdapat pada sebelah Utara Desa.

Berdasarkan data statistik dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Gowa, iklim di Kabupaten Gowa tergolong iklim tropis basah dengan curah hujan rata-rata sekitar 319,4 mm setiap bulannya, dengan jumlah hari hujan berkisar 148 hari selama tahun 2013.

Tanah pada Desa Bellabori ada dua jenis tanah yaitu dystropepts dan tropudults. Jenis tanah tersebut merupakan jenis tanah yang masuk dalam ordo

(23)

inceptisol. Umumnya mempunyai horison kambik. Khusus ASDG jati tergolong jenis tanah dystropepts.

Lokasi di sekitar ASDG merupakan areal hutan tanaman industri dan kebun milik masyarakat Desa Bellabori. Vegetasi yang terdapat pada hutan tanaman industri didominasi oleh jenis Eucalyptus, sedangkan kebun milik masyarakat ditanami dengan padi dan palawija pada musim tanam. Sistem agroforestry juga diterapkan pada lokasi ASDG jati dengan tanaman pertaniannya adalah kacang tanah. Lokasi penelitian secara geografis, dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Peta Lokasi Peneliti di Areal Sumber Daya Genetik (ASDG) Kabupaten Gowa

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam pengambilan sampel adalah cutter, plastik klip, spidol, label, isolasi, gunting, coolerbox, dan alat tulis menulis. Bahan yang digunakan adalah ice gel dan sampel daun jati yang diambil dari enam populasi anakan sebanyak 60 sampel di ASDG BPTH, Kabupaten Gowa.

Alat dan bahan yang digunakan untuk analisis molekuler dengan penanda mikrosatelit terbagi dalam tiga tahap pekerjaan, yaitu tahap ekstraksi DNA, amplifikasi DNA, dan separasi hasil amplifikasi DNA. Alat dan bahan yang digunakan untuk analisis molekuler dapat dilihat pada Tabel 1 dan lampiran 2.

(24)

Tabel 1. Alat dan Bahan Analisis Molekuler SSR

Tahapan Pekerjaan (Analisis DNA/Mikrosatelit)

Ekstraksi DNA PCR Elektroforesis Visualisasi DNA

Alat:

1) Sarung tangan karet 2) Gunting

3) Lumpang porseline 4) Spatula

5) Timbangan analitik 6) Mikropipet dan tip 7) Tube eppendorf

(1,5 ml) 8) Centrifuge 9) Waterbath 10) Vortex mixer 11) Freezer

Alat:

1) Sarung tangan karet

2) Mikropipet dan tip

3) Centrifuge 4) Tube PCR (0,3

ml)

Alat:

1) Sarung tangan karet

2) Cetakan agar 3) Gelas

erlenmeyer (500 ml)

4) Microwave 5) Mesin

elektroforesis

Alat:

1) Sarung tangan karet

2) UV

Transiluminator (Gel Doc) 3) Kamera digital

Bahan:

1) Buffer CTAB 500 µl 2) Isopropanol 800 µl 3) Fenol 100 µl 4) Buffer TE 500 µl 5) Kloroform 200 µl 6) Isoamil-alkohol 100 µl 7) ddH2O 100 µl

8) RNase 4 µl

9) Natrium asetat 100 µl+800µl isopropanol 10) Aquades

11) Sampel daun jati

Bahan:

1) DNA working2 µl

2) Primer SSR 1,25 µl (primer F 0,625 µl dan primer R0,625 µl)

3) PCR kit kappa 2G fast 6,25 µl 4) ddH2O 3 µl

Bahan:

1) Agar SFR 3% 6 g

2) BufferTAE 200 µl

3) DNA hasil PCR 3 µl

4) DNA ladder 3 µl 5) Gel red 1,5 µl

Bahan:

1) Cetakan agar yang berisi DNA dari hasil elektroforesis

Keterangan: Jumlah takaran larutan di atas hanya untuk satu kali reaksi

(25)

3.3 Prosedur Penelitian

3.3.1 Pengambilan Sampel

Daun yang digunakan sebagai sampel berasal dari anakan jati pada enam provenansi yang terdiri atas Provenansi Kaliaren (Jawa Tengah), Bansone (Nusa Tenggara Timur), Madendra (Sulawesi Selatan), Ngawenan (Jawa Tengah), Nepo ( Sulawesi Selatan) dan Gelong (Jawa Timur). Setiap provenansi diambil secara acak 10 individu, sehingga total sampel yang digunakan sebanyak 60 sampel.

Setiap individu yang dijadikan sampel diambil sehelai daunnya menggunakan gunting yang dipotong pada tangkai daun seperti pada Lampiran 1 dan dimasukkan dalam plastik klip yang diberikan kode berdasarkan provenansi.

Sampel kemudian dimasukkan kedalam coolerbox berisi ice gel agar sampel tetap segar untuk dilakukan ekstraksi DNA di laboratorium.

3.3.2 Isolasi DNA Jati

a. Proses Lisis Dinding Sel

1. Sampel daun jati yang masih muda ditimbang sebanyak 200 mg tanpa tulang daun, tambahkan buffer CTAB (Cetyl Trimentyl Ammonium Bromide) sebanyak 500 µl.

2. Daun digerus hingga menjadi halus dan divorteks hingga larutan tercampur rata.

3. Tube yang berisi larutan diinkubasi dalam waterbath pada suhu 65oC selama 90 menit.

4. Sampel yang telah diinkubasi ditambahkan kloroform: isomi-alkohol 100 µl.

5. Tube disentrifugasi pada 10.000 rpm selama 10 menit.

6. Supernatant dipindahkan ke tube kemudian ditambahkan isopropanol 800 µl.

7. Lalu, disentrifugasi dengan kecepatan 10.000 rpm selama 5 menit.

8. Hasil supernatant dibuang dari tube lalu dikeringkan selama semalaman.

(26)

b. Proses Pemisahan DNA dengan Komponen Lainnya

1. Ditambahkan buffer TE 500 µl ke dalam tube yang telah dikeringkan selama semalaman kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 10.000 rpm selama 10 menit.

2. Hasil supernatan dipindahkan ke tube baru kemudian ditambahkan kloroform 100 µl lalu disentrifugasi dengan kecepatan 10.000 rpm selama 10 menit.

3. Hasil supernatant dipindahkan ke tube baru kemudian ditambahkan natrium asetat 100 µl + isopropanol 800 µl lalu disentrifugasi dengan kecepatan 10.000 rpm selama 10 menit.

4. Kemudian supernatan dibuang, diambil endapan lalu dikeringkan semalaman.

5. Selanjutnya ditambahkan ddH2O 100 µl ke dalam tube yang sudah dikeringkan semalaman kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 10.000 rpm selama 1 menit.

6. Dilanjutkan dengan penambahan RNase 4 µl lalu di disentrifugasi dengan kecepatan 10.000 rpm selama 1 menit.

7. Hasil supernatant (DNA master) di simpan kedalam freezer.

3.3.3 Seleksi Primer

Seleksi primer dilakukan dengan cara membuat beberapa reaksi PCR terhadap beberapa primer yang berbeda pada kondisi yang sama dan menggunakan sampel DNA yang sama untuk setiap primer, sehingga dapat diketahui kondisi optimum serta tingkat variasi pita yang dihasilkan dari setiap primer. Sampel DNA yang digunakan sebanyak 12 sampel dari keseluruhan provenansi yang dipilih secara acak dari setiap provenansi. Seleksi primer dilakukan pada 10 pasang primer SSR khusus jati yang dikembangkan oleh Verhaegen, dkk. (2010). Seleksi primer dilakukan untuk memilih primer-primer yang bersifat polimorfik, dapat teramplifikasi dengan baik dan menentukan suhu annealing (temperature malting) yang tepat. Primer-primer yang diseleksi dapat

(27)

dilihat pada Tabel 2. Primer yang menghasilkan pita, baik dari jelasnya pita maupun kemudahan dalam melakukan skoring menjadi pertimbangan untuk dijadikan primer spesifik (Larekeng, dkk., 2015).

Tabel 2. Nama Primer dan Sekuen Primer SSR jati yang Diseleksi

No. Nama Lokus Motif

Pengulangan Urutan Primer (5’ – 3’) Tm (0C)

Ukuran Alel (bp) 1

CIRAD1Teak F05

AJ968931

(ga)20 gt (ga)3 F:CTTCTGCAACCCTTTTTCAC

R:AGCCATATCTTCCTTTCTCT 51,3 589 2

CIRAD4Teak H09 AJ968943

(ga)14 F:GCAAACCAACCTTACT

R:CCGTTAGCACTCCATT 47,4 421 3

CIRAD2Teak C03 AJ968935

(ga)17 F:AGGTGGGATGTGGTTAGAAGC R:AAATGGTCATCAGTGTCAGAA

54,3

5 805

4

CIRAD1Teak H10 AJ968933

(tc)16 F:CGATACCTGCGATGCGAAGC

R:CGTTGAATACCCGATGGAGA 56,5 643 5

CIRAD4Teak D12 AJ968941

(ga)4 tgaag (ga)11 a (ga)4

F:CGCACACCAGTAGCAGTAGCC R:GCCGGAAAAAGAAAAACCAAA

56,4

5 374

6

CIRAD1Teak B03 AJ968930

(tc)5 tg (tc)8 (ac)5 (n)65 (ac)14

F:AACAACCCCTCCTCTCTTCACT A

R:CACTACCACTCATCATCAACAC A

55,9

5 342

7

CIRAD3Teak A11 AJ968936

(ga)16 F: AAACCATGACAGAAACGAATC

R: TTGGGAATGGGAGGAGAAGT 53,4 598 8

CIRAD3Teak E06

AJ968939

(ga)10 ca (ga)2

F:GCGTCAACCACTTCAACCACCA G

R:CCTATTTTCTTCCCCTCCCTTCT 58,3

5 518

9

CIRAD3Teak B02 AJ968937

(tc)11 gc (tc)4 (n)62 (ac)7

F:ATGAAGACAAGCCTGGTAGCC

R:GGAAGACTGGGGAATAACACG 56,2 438 10

CIRAD2Teak B07 AJ968934

(tc)14 F:GGGTGCTGATGATTTTGAGTT

R:CTAAGGAGTGAGTGGAGTTTT 52,6 709 Tm : Temperature malting

Sumber : (Verhaegen, dkk., 2010)

3.3.4. Analisis Keragaman Genetik menggunakan Mikrosatelit

Hasil seleksi primer diperoleh primer-primer yang mampu mengamplifikasi DNA jati. Primer tersebut digunakan untuk analisis lebih lanjut pada proses amplifikasi DNA menggunakan mesin PCR. Proses PCR adalah suatu siklus berjangka pendek (30-60) dengan perubahan suhu yang berubah secara cepat dengan tahapan suhu dan fungsinya. Proses PCR dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu:

(28)

a. Amplifikasi DNA dilakukan dengan mesin PCR Sensoquest menggunakan PCR mix Kappa 2G fast sdengan total reaksi 12,5 µl. Reaksi PCR dibuat sebanyak 60 reaksi untuk setiap primer. Enam puluh reaksi sesuai dengan jumlah individu yang digunakan dalam penelitian ini. Satu kali reaksi PCR dengan 2 µl DNA working, 1,25 µl primer (F 0,625 µl dan R 0,625 µl), PCR mix 6,25 µl, dan 3 µl ddH2O untuk setiap reaksi.

b. Reaksi PCR kemudian dimasukkan ke dalam mesin PCR Sensoquest.

Tahapan PCR dimulai dengan denaturasi awal 95 ºC selama 3 menit, tahap denaturasi 95 ºC selama 30 detik, penempelan primer spesifik (suhu disesuaikan dengan masing-masing pasangan primer) selama 50 detik, tahap elongasi 72 ºC selama 1 menit, dan dilakukan pengulangan siklus-siklus tersebut sebanyak 35 kali. Tahap elongasi terakhir pada suhu 72 ºC selama 5 menit. Hasil PCR bisa disimpan pada suhu 4 ºC atau -20 °C untuk pemakaian dalam jangka waktu yang lama.

c. Hasil amplifikasi DNA kemudian dielektroforesis menggunakan Cleaver Scientific Ltd. Proses elektroforesis menggunakan agar SFR 3% dalam buffer TAE 1x (Seng, dkk., 2013). Proses separasi dilakukan pada tegangan 100 V selama 90 menit. Elektroforegram divisualisasi menggunakan UV transiluminator dan didokumentasikan menggunakan kamera digital.

Pemberian skoring setiap genotip dilakukan berdasarkan ukuran alel untuk setiap sampel.

3.4 Analisis Data

Proses separasi hasil amplifikasi DNA akan menghasilkan pita yang muncul pada gel. Ukuran pita yang paling kecil diberi skor 1 dan seterusnya, apabila bila tidak terdapat pita diberi angka 0. Penilaian muncul atau tidaknya pita genetik dilakukan secara manual. Setiap pita DNA yang terbentuk pada marka SSR menunjukkan posisi alel pada lokus tertentu. Satu pasang primer SSR merepresentasikan satu lokus tertentu (Mulsanti, 2011; Fariza, 2014).

Data tersebut ditabulasi kemudian dianalisis dengan menggunakan perangkat lunak. Parameter keragaman genetik berupa jumlah alel yang terdeteksi (Na), nilai heterosigositas observasi (HO), nilai heterosigositas harapan (HE), dan

(29)

persentase keragaman genetik dihitung menggunakan program GenAlEx 6.5 (Peakall dan Smouse, 2012).:

Keterangan: No. Of Hets merupakan jumlah individu heterosigot dalam suatu populasi ; N merupakan jumlah seluruh individu dalam suatu populasi.

Nilai HE menggunakan persamaan:

Keterangan: pi merupakan frekuensi alel ke-i pada suatu populasi.

Program Darwin 6.0 digunakan untuk mengelompokkan individu menggunakan metode Unweighted Pair-Group Methode Arithmetic (UPGMA).

Pengelompokan ini disebut dengan analisis kluster. Hasil analisis kluster tersebut ditampilkan dalam bentuk dendogram yang menunjukkan hubungan kekerabatan suatu individu (Widyatmoko, dkk., 2011).

Kemampuan sebuah lokus dalam membedakan genotip diukur berdasarkan nilai Polymorphism Information Content (PIC). Nilai PIC dihitung menggunakan program online dari Pusat Penelitian Genomik Universitas Liverpool (http://www.genomics.liv.ac.uk/animal/Protocol1.html). Program Online tersebut menggunakan persamaan berikut ini (Hildebrand, 1992 dalam Roberts, dkk., 2016).:

(∑

)

Keterangan: Pi adalah frekuensi alel ke- i

(30)

Interpretasi hasil

Gambar 2. Prosedur Analisis Keragaman Genetik Tahapan Analisis Keragaman Genetik ditunjukkan pada Gambar 2.

Isolasi DNA

Analisis Data menggunakan Darwin 6.0 dan GenAlEx 6.5

Skoring Foto

Elektroforesis Seleksi Primer SSR

PCR

Elektroforesis agar 1% (Amplifikasi DNA dengan Primer Polimorfik

Foto

Teramplifikasi Tidak Teramplifikasi

(31)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Seleksi Primer

Hasil seleksi primer yang dilakukan pada 10 pasang primer SSR yang dikembangkan dari tanaman jati menunjukkan bahwa ada tiga pasang primer yang dapat digunakan untuk analisis keragaman genetik. Sebanyak tujuh primer yang tidak berhasil mengamplifikasikan DNA jati dari 12 sampel yang di uji. Menurut Larekeng dkk (2016), bahwa primer yang menghasilkan pita monomorfik maupun buram tidak digunakan untuk analisis keragaman genetik, hal ini karena primer yang dihasilkan pita monomorfik tidak dapat dibedakan individu satu dengan lainnya sehingga tidak dapat digunakan untk menunjukkan variasi pada individu.

Ketiga primer yang mampu mengamplifikasi DNA jati adalah primer CIRAD1TeakF05 AJ968931, CIRAD4TeakH09 AJ98943 dan CIRAD2TeakC03 AJ968935 . Ketiga pasang primer digunakan karena primer-primer tersebut menghasilkan pita yang jelas, terang dan polimorfik. . Primer yang diperoleh pada penelitian ini mempunyai dua primer yang sama dengan primer pada penelitian Zulfiana (2017), yaitu primer CIRAD1TeakF05 AJ968931 dan primer CIRAD4TeakH09 AJ98943 yang memperlihatkan alel yang polimorfik.

Keberhasilan suatu primer ditentukan dengan kesamaan sekuen antara genom dan primer. Tidak terbacanya pita pada primer jati dapat disebabkan oleh tidak sesuainya templat jati dengan primer yang digunakan meskipun primer yang digunakan merupakan primer khusus jati (Cintamulya, 2013). Ketiga primer yang digunakan untuk analisis keragaman genetik 60 sampel jati disajikan pada Tabel 3.

(32)

Tabel 3. Hasil Gradien Suhu Annealing pada Primer yang telah diseleksi

No. Nama Lokus Tm (0C) Ukuran Alel (bp)

1 CIRAD1TeakF05 AJ968931 57,1 100-200

2 CIRAD4TeakH09 AJ968943 60,2 200-300

3 CIRAD2TeakC03 AJ968935 59,9 200-400 Ket :

Tm: Temperature Malting

Hasil gradien suhu annealing pada Tabel 3 menunjukkan bahwa ketiga primer yang telah diseleksi memiliki suhu yang berbeda. Suhu-suhu annealing (Temperature malting) tersebut merupakan suhu yang menghasilkan pita paling terang pada masing-masing primer dibandingkan dengan suhu yang lainnya, sehingga dilanjutkan penggunaannya dalam menganalisis seluruh sampel.

Penelitian Indriani (2014) menyatakan bahwa resolusi setiap pita DNA hasil amplifikasi tidak selalu terlihat jelas. Jelas tidaknya hasil resolusi ditentukan oleh jumlah fragmen DNA yang diamplifikasi pada genom tanaman. Makin banyak fragmen DNA yang diamplifikasi, maka resolusi pita DNA yang dihasilkan akan makin jelas. Weising, dkk. (1995) menyatakan pada genom tanaman kurang lebih 90% dari DNA genom merupakan urutan yang berulang. Selain itu adanya kompetisi tempat penempelan primer pada DNA genom menyebabkan suatu fragmen akan diamplifikasi dalam jumlah yang banyak dan fragmen lainnya dalam jumlah yang sedikit. Konsentrasi DNA yang terlalu kecil juga sering menghasilkan pita yang kabur dan tidak jelas.

Ukuran alel jati pada ketiga primer berkisar antara 100-400 bp. Ukuran alel yang diperoleh pada penelitian ini sama dengan ukuran alel pada penelitian Asmawati (2017) dan Zulfiana (2017), Ukuran alel yang dihasilkan jati tersebut jauh lebih kecil dari alel yang dihasilkan oleh Verhaegen, dkk (2010) sebesar 342- 805 bp. Ukuran alel yang dihasilkan pada penelitian ini cukup bervariasi sehingga primer yang digunakan dapat dikatakan polimorfik. Fragmen DNA dengan ukuran berbeda yang diperoleh pada setiap primer menunjukkan bahwa primer yang digunakan bersifat polimorfik Finkeldey (2005). Hal tersebut juga sesuai dengan

(33)

penelitian Asmawati (2017) dimana ukuran pita yang dihasilkan bervariasi antara primer yang satu dengan primer yang lainnnya.

Jumlah primer yang digunakan pada penelitian jati seperti pada Tabel 3 di atas lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah primer yang digunakan oleh Zulfiana (2017) yang menggunakan empat pasang primer dan Larekeng (2016) menggunakan lima primer SSR jati untuk menguji keragaman genetik jati. Hal tersebut membuktikan bahwa meskipun menggunakan primer spesifik yang berasal dari spesies yang sama tidak menjamin bahwa primer tersebut lebih banyak yang teramplifikasi. Mariette dkk., (2001) melaporkan pada Pinus pinaster, bahwa metode seleksi primer tidak selalu berhasil meskipun pada species yang sama karena selain kedekatan secara taksonomi, ukuran dan kompleksitas susunan DNA juga merupakan faktor penting dalam keberhasilan seleksi primer.

Hasil amplifikasi PCR pada masing-masing primer terdapat pada Gambar 3 dan 4, yang menunjukkan pita terang dan polimorfik.

Gambar 3. Elektroforegram hasil amplifikasi DNA pada Primer CIRAD1TeakF05 AJ968931, CIRAD4TeakH09 AJ98943 dan CIRAD2TeakC03 AJ968935.

Keterangan: 1-12= sampel jati

M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 M

Primer CIRAD1TeakF05 AJ931

68931

CIRAD4TeakH09 AJ98943 CIRAD4TeakH09 AJ98943

M 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 M

CIRAD4TeakH09 AJ98943 68931

CIRAD4TeakH09 AJ98943 68931

CIRAD2TeakC03 AJ968935

68931

CIRAD4TeakH09 AJ98943 CIRAD4TeakH09 AJ98943

M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 M

(34)

Gambar 4. Elektroforegram Hasil Amplifikasi DNA pada Primer CIRAD3TeakE06 AJ968939, CIRAD3TeakB02 AJ968937 dan CIRAD2TeakB07 AJ968934.

Keterangan: 1-12= sampel jati

Hasil amplifikasi DNA dengan menggunakan primer CIRAD1TeakF05 AJ968931, CIRAD4TeakH09 AJ98943, dan primer CIRAD2TeakC03 AJ968935 pada Gambar 4 menghasilkan pita polimorfik. Primer CIRAD3TeakE06 AJ968939 pada Gambar 4 memperlihatkan pita yang tidak dapat digunakan untuk keseluruhan sampel jati karena pita yang dihasilkan tidak terlihat jelas dan terang sehingga sulit untuk dilakukan analisis. Primer yang diperoleh pada penelitian ini mempunyai dua primer yang sama dengan primer pada penelitian Zulfiana (2017), yaitu primer CIRAD1TeakF05 AJ968931 dan primer CIRAD4TeakH09 AJ98943 yang memperlihatkan alel yang polimorfik.

Keberhasilan suatu primer ditentukan dengan kesamaan sekuen antara genom dan primer. Tidak terbacanya pita pada primer jati dapat disebabkan oleh tidak sesuainya templat jati dengan primer yang digunakan meskipun primer yang digunakan merupakan primer khusus jati (Cintamulya, 2013).

4.2 Analisis Keragaman Genetik

Parameter keragaman genetik berdasarkan jumlah alel yang terdeteksi (Na), nilai heterozigozitas observasi (HO), dan nilai heterozigozitas harapan (HE) M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 M

M 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 M CIRAD3TeakE06 AJ968939

68931

CIRAD4TeakH09 AJ98943 CIRAD4TeakH09 AJ98943

CIRAD2TeakB07 AJ968934

68931

CIRAD4TeakH09 AJ98943 CIRAD4TeakH09 AJ98943 CIRAD3TeakB02 AJ968937

68931

CIRAD4TeakH09 AJ98943 CIRAD4TeakH09 AJ98943

CIRAD3TeakB02 AJ968937

68931

CIRAD4TeakH09 AJ98943 CIRAD4TeakH09 AJ98943

(35)

dihitung menggunakan program GenAlEx 6.5 (Peakall dan Smouse, 2012).

Parameter tersebut diperoleh dari hasil skoring keseluruhan amplifikasi PCR secara manual dan ditabulasi kedalam program GenAlEx 6.5 dan program online Polymorphism Information Content Calculator (PIC) yang menghasilkan data

informasi pada Tabel 4.

Tabel 4. Parameter yang Mencirikan Keragaman Genetik antar Populasi Jati

Keterangan : Na = Jumlah Alel

HO = Nilai Heterozigozitas Observasi HE = Nilai Heterozigozitas Harapan

Parameter yang mencirikan keragaman genetik antar populasi jati pada Tabel 4 menunjukkan jumlah alel, nilai heterozigozitas harapan pada setiap provenansi anakan jati. Jumlah alel yang terdeteksi pada keenam provenansi berkisar 4-9 alel. Provenansi Kaliaren memiliki jumlah alel paling tinggi yaitu 9 alel, sedangkan provenansi Madendra memiliki jumlah alel yang paling rendah yaitu 4 alel. Pita yang dihasilkan dari setiap primer berkisar 1-4 pita setiap provenansi. Provenansi Madendra hanya menghasilkan 1 pita pada primer AJ968931, menunjukkan pita yang dihasilkan bersifat monomorfik sehingga primer ini tidak bisa digunakan untuk provenansi Madendra.

No. Provenansi

Primer 3 AJ968935

Primer 2 AJ968943

Primer 1

AJ968931 Juml

ah Na

Rata- Rata HE

Na HE Ho Na HE Ho Na HE Ho

1 Kaliaren 4 0,643 0,143 3 0,406 0,000 2 0,469 0,000 9 0,506

2 Bansone 2 0,444 0,000 3 0,640 0,000 2 0,420 0,000 7 0,501

3 Madendra 0 0,000 0.000 3 0,370 0,000 1 0,000 0.000 4 0,123

4 Ngawenan 2 0,490 0,000 3 0,571 0,000 2 0,480 0,000 7 0,514

5 Nepo 2 0,198 0,000 2 0,198 0,000 3 0,660 0,000 7 0,352

6 Gelong 3 0,625 0,000 3 0,531 0,000 2 0,219 0,000 8 0,458

Rata-Rata 2 0,4 0,024 2,834 0,453 0,000 2 0,375 0,000 7 0,409

(36)

Jumlah alel anakan jati pada enam provenansi di ASDG BPTH, Gowa menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah alel jati pada enam provenansi di Kebun Pangkas BPTH Wil. II, Gowa. Jumlah alel yang terdeteksi pada enam provenansi jati di Kebun Pangkas BPTH Wil. II, Kabupaten Gowa berkisar 5-7 alel (Larekeng, dkk., 2016).

Nilai heterozigozitas harapan (HE) yang terdeteksi untuk keenam provenansi berkisar antara 0,123-0,514 setiap provenansi. Provenansi Ngawenan memiliki nilai HE yang paling besar yaitu 0,514 dan Provenansi Madendra memiliki nilai HE yang paling rendah yaitu 0,123. Nilai HE yang terdeteksi untuk ketiga primer memiliki nilai rata-rata berkisar 0,375-0,453 per lokus. Primer AJ968931 menunjukkan nilai HE yang paling rendah dan primer AJ968943 menunjukkan nilai HE yang tinggi. Nilai HE yang diperoleh pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian Larekeng, dkk. (2016) pada enam provenansi jati di Kebun Pangkas BPTH Wil. II, Gowa menunjukkan nilai HE berkisar 0-0,119 dengan rata-rata HE yaitu 0,019, namun lebih rendah dibanding penelitian Zulfiana (2017) di ASDG BPTH, Gowa menunjukkan nilai HE berkisar antara 0,453-0,645 setiap provenansi.

Perbedaan nilai HE antara jati Kebun Pangkas dan jati ASDG disebabkan oleh populasi jati Kebun Pangkas yang merupakan hasil kultur jaringan sehingga memiliki kemiripan genetik yang tinggi, sedangkan penelitian yang dilakukan pada keenam provenansi jati di ASDG BPTH, Gowa diperoleh dari anakan hasil perkembangan secara generatif. Nilai HE pada enam provenansi anakan jati di ASDG BPTH, Gowa yaitu 0,409. Nilai keragaman genetik merujuk pada Nurtjahjaningsih, dkk.(2013) menyatakan bahwa nilai keragaman genetik tinggi apabila nilai HE ≥ 0,5 dan keragaman genetik rendah apabila nilai HE < 0,5.

Nilai heterozigozitas harapan (HE) yang terdeteksi untuk keenam provenansi berkisar antara 0,123-0,506 setiap provenansi. Provenansi Kaliaren memiliki nilai HE yang paling besar yaitu 0,506 dan Provenansi Madendra memiliki nilai HE yang paling rendah yaitu 0,123. Nilai HE yang terdeteksi untuk ketiga primer memiliki nilai rata-rata berkisar 0,375-0,453 per lokus. Primer AJ968931 menunjukkan nilai HE yang paling rendah dan primer AJ968943 menunjukkan nilai HE yang tinggi. Primer AJ968935 memiliki nilai HE sebesar 0,412. Penelitian

(37)

Zulfiana. (2017) pada sampel daun jati yang diambil dari tujuh populasi dan 70 sampel di ASDG BPTH, Kabupaten Gowa menunjukkan nilai HE berkisar 0,453- 0,645 dengan rata-rata HE yaitu 0,540.

Nilai Polymorphism Information Content (PIC) pada ketiga primer yaitu primer AJ968931 sebesar 0,424, primer AJ968943 sebesar 0,519 dan primer AJ968935 sebesar 0,599, mennjukkan bahwa ketiga primer tersebut informatif untk menganalisis keragaman genetik anakan jati. Penetapan nilai informatif suatu primer merujuk pada Robert, dkk. (2016) yang menyatakan bahwa primer tergolong informatif apabila memiliki PIC ≥ 0.3.

Gambar 5. Diagram Analysis of Molecular Variance (AMOVA) Enam Provenansi Anakan Jati Berdasarkan tiga Primer SSR Jati

Diagram AMOVA pada Gambar 5 menunjukkan keragaman antar individu pada keseluruhan sampel sebesar 77%. Keragaman genetik antar provenansi satu dengan yang lain diperoleh sebesar 22%. Nilai tersebut menunjukkan bahwa keragaman genetik anakan jati pada keenam provenansi tergolong rendah sesuai dengan nilai HE rata-rata sebesar 0,409. Hasil analisis AMOVA jati pada enam provenansi di Kebun Pangkas BPTH Wil. II, Gowa menunjukkan nilai yang berbanding terbalik dengan keragaman genetik anakan jati pada enam provenansi di ASDG BPTH, Gowa yaitu sebesar 63% antar provenansi yang menunjukkan

Among Pops 22%

Among Indiv 77%

Within Indiv 1%

(38)

nilai yang lebih besar dibandingkan keragaman genetik antar individu sebesar 36% (Larekeng, dkk., 2016).

Provenansi yang memiliki keragaman genetik yang rendah mendapat perlakuan lebih lanjut yaitu dengan melakukan infusi genetik. Penanaman dapat dilakukan dengan melakukan infusi genetik dari provenansi lain terhadap provenansi yang memiliki keragaman genetik rendah. Infusi genetik dilakukan untuk meningkatkan keragaman genetik pada suatu provenansi. Spesies yang memiliki derajat keragaman genetik yang tinggi pada populasinya akan memiliki lebih banyak variasi alel yang dapat diseleksi. Keragaman genetik anakan yang tinggi pada keseluruhan sampel menjadi rujukan dalam melakukan pembangunan hutan tanaman jati (Elfrod dan Stansfield, 2007).

4.3 Hubungan Kekerabatan Keseluruhan Individu pada Semua Provenansi

Hasil amplifikasi dari keseluruhan sampel menunjukkan adanya lima sampel yang tidak teramplifikasi pada seluruh primer yang digunakan sehingga kelima sampel tersebut tidak dilanjutkan untuk analisis keragaman genetik dan hanya 55 sampel yang bisa dianalisis.

Dendogram kekerabatan genetik enam provenansi jati menggunakan tiga primer mikrosatelit pada Gambar 6 menunjukkan bahwa 55 sampel jati dari enam provenansi terbagi dalam tiga kluster besar. Kluster pertama terdiri atas 36 sampel, kluster kedua terdiri atas 9 sampel, dan kluster ketiga hanya terdiri atas 10 sampel. Kluster tersebut tidak terbagi berdasarkan provenansi seperti yang dilihat pada Gambar 6. Setiap kluster terdiri atas individu-individu dari masing-masing provenansi yang memiliki hubungan kekerabatan genetik yang dekat. Hal ini berkaitan dengan Gambar 5 yang menunjukkan keragaman genetik antar provenansi berkisar 22%. Individu-individu antar provenansi yang berada pada kluster yang berbeda menunjukkan adanya keragaman genetik antar individu berkisar 77% .

Kluster 1 dan 3 terbagi menjadi beberapa subkluster. Subkluster memisahkan individu-individu yang memiliki hubungan kekerabatan genetik yang sangat dekat. Setiap kluster memiliki subkluster yang terdiri atas individu satu

(39)

provenansi, namun ada juga subkluster yang terdiri atas individu berbeda provenansi, hal ini berkaitan dengan Gambar 5 yang menunjukkan keragaman genetik antar individu di dalam provenansi berkisar 1%. Hal ini sesuai dengan Irmayanti (2011), menyatakan bahwa pengklasteran mengindikasikan bahwa dalam satu klaster memiliki struktur genetik yang hampir sama, sehingga antara klaster yang satu dengan yang lainnya memiliki struktur genetik yang berbeda.

Upaya pemuliaan pohon di masa datang memerlukan variasi genetik di dalam dan antar populasi. Upaya tersebut dilakukan dengan pembangunan kebun benih dengan bahan tanaman berasal dari populasi yang berbeda dengan anak- anakan berasal dari pohon plus yang telah dipilih. Hal ini bertujuan meningkatkan variasi genetik dalam populasi sehingga akan menghasilkan benih yang berkualitas dan unggul secara genetik. Variasi genetik yang tinggi akan mendukung suatu populasi untuk beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi di lingkungan sekitarnya serta keanekaragaman hayati akan terjaga (Mulyadiana, 2010). Hasil analisis dendogram hubungan kekerabatan keseluruhan individu dapat dilihat pada Gambar 6.

(40)

Gambar 6. Dendogram Kekerabatan Genetik Enam Provenansi Jati Menggunakan Tiga Primer Mikrosatelit

Bansone Madendra Nganwenan

Nepo Kaliaren

Ket. Gelong

Kluster 1

Kluster 2

Kluster 3

Referensi

Dokumen terkait

Untuk rnenguji dan mernbuktikan pasangan primer yang telah didesain dapat digunakan untuk mengarnpliikasi suatu lokus mikrosatelii pada tanaman jati perlu dilakukan analisis

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi kualitas kayu jati unggul terpadatkan setelah lebih dahulu diawetkan, dengan membandingkan nilai kerapatan dan

tifikasi keragaman genetik sebelas kultivar padi hitam lokal koleksi Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta dan dibanding dengan dua varietas padi beras putih

KERAGAMAN SALAK ( SALACCA ZALACCA ) DARI BERBAGAI DAERAH BERDASARKAN PENANDA GENETIK RAPD ” ini tidak termasuk karya yang pernh diajukan untuk memperoleh gelar

Pada penelitian ini, untuk menentukan lokus RAPD yang dapat membedakan klon dan bukan klon ditempuh melalui dua kali proses screening primer yaitu screening

Disertasi ini disusun berdasarkan empat topik penelitian yaitu: (1) Analisis kemiripan genetik (genetic similarity) tanaman jati Sulawesi Tenggara menggunakan marka mikrosatelit,

Penelitian molekular genetik dengan menggunakan penanda mikrosatelit ini, bertujuan mempelajari (1) kemiripan genetik (genetic similarity) individu di dalam populasi tanaman jati,

Tujuan dari studi ini adalah untuk seleksi primer SSR yang polimorfik, mencari primer SSR yang memiliki alel spesifik untuk Pisifera dan mengevaluasi keragaman genetik