• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.2 Penilaian tingkat resiko tsunami (Tsunami Risk Assesment)

2.2.2 Analisis kerentanan terhadap tsunami

Kerentanan tsunami dapat dikaji dari berbagai faktor antara lain kerentanan fisik (misalnya jenis bahan dan kekuatan struktur bangunan), kerentanan lingkungan (ketinggian dan morfologi), kerentanan infrastruktur (sarana dan prasarana penting), kerentanan sosial kependudukan (jumlah penduduk dan kepadatan penduduk, struktur penduduk lanjut usia dan balita), kerentanan sosial ekonomi (jumlah/proporsi penduduk miskin dan pengangguran), dan kerentanan kelembagaan (Diposaptono dan Budiman, 2006).

Pada penelitian ini, analisis kerentanan yang dikaji adalah lingkungan dan sosial kependudukan. Parameter yang dikaji tingkat kerentanannya terhadap tsunami secara rinci dijelaskan sebagai berikut.

2.2.2.1 Batimetri wilayah pantai

Kondisi batimetri sangat mempengaruhi pembelokan atau penerusan gelombang tsunami yang menjalar ke pantai. Pada saat memasuki perairan dangkal, gelombang mengalami gesekan dengan dasar laut.

Hal ini menyebabkan kecepatan dan energi gelombang menurun drastis dengan berkurangnya kedalaman tetapi tinggi gelombang semakin meningkat

(Gambar 4; Diposaptono dan Budiman, 2006).

Tsunami yang menjalar ke pantai yang sempit dan dangkal akan mengalami proses yang kompleks, yaitu shoaling, refraksi, difraksi dan refleksi. Shoaling adalah proses pembesaran tinggi gelombang karena pendangkalan dasar laut.

Tsunami yang terjadi di laut dalam selama penjalarannya ke pantai atau laut yang lebih dangkal akan teramplifikasi karena adanya efek shoaling

(Diposaptono dan Budiman, 2006).

Refraksi merupakan transformasi (perubahan) gelombang akibat adanya perubahan geometri dasar laut yaitu perubahan kedalaman laut. Sedangkan difraksi adalah transformasi gelombang yang diakibatkan oleh adanya bangunan atau struktur yang menghalangi rambatan tsunami. Rintangan tersebut dapat berupa bangunan pantai atau adanya pulau-pulau kecil (Diposaptono dan Budiman, 2006).

Gambar 4. Tinggi gelombang tsunami saat memasuki teluk (Diposaptono dan Budiman, 2006)

Tinggi gelombang tsunami berubah sesuai dengan perubahan kedalaman.

Jika tinggi gelombang lebih kecil daripada panjang gelombangnya maka perubahan tinggi gelombang akan sesuai dengan Hukum Green yaitu perbandingan tinggi tsunami pada posisi di pantai yang lebih dangkal (H1) dengan tinggi tsunami di pantai yang lebih dalam (H0) sama dengan pangkat ¼ dari perbandingan perubahan kedalaman air laut (h0 / h1) dikalikan dengan akar dari perbandingan lebar teluk di titik yang lebih dalam (b0) dan lebar teluk di titik yang lebih dangkal (b1). Secara matematis ditulis sebagai berikut (Diposaptono dan Budiman, 2006) :

...(2) Keterangan

H1 : Tinggi gelombang tsunami pada laut dangkal H0 : Tinggi gelombang tsunami pada laut dalam ho/h1 : Perbandingan perubahan kedalaman air laut b0 : Lebar teluk di titik yang lebih dalam

b1 : Lebar teluk di titik yang lebih dangkal

2.2.2.2 Morfometri pantai

Morfometri pantai menunjukkan bentuk dan topografi garis pantai.

Morfometri merupakan parameter yang sangat penting untuk dikaji karena menentukkan daerah pemusatan atau penyebaran energi gelombang tsunami (Diposaptono dan Budiman, 2006).

Gelombang tsunami yang yang bergerak ke pantai akan mengalami perubahan tinggi gelombang yang semakin besar. Perubahan gelombang tersebut sangat dipengaruhi oleh morfometri pantai sebagai berikut (Hendratno, 2005).

 Geometri pantai (arah horizontal)

Secara umum wilayah pesisir Indonesia memiliki teluk yang berbentuk V (V-shape bays) yang berasosiasi dengan tanjung dan muara sungai yang

2

sangat banyak dan berderet satu dengan yang lainnya, sehingga menyerupai gigi gergaji (sawtooth) (Gambar 5). Morfologi pantai yang berbentuk teluk akan mempengaruhi refraksi gelombang dan

menyebabkan peningkatan kecepatan dan energi gelombang tsunami (Latief, 2005).

Gambar 5. Contoh kawasan pesisir yang menyerupai gigi gergaji (Diposaptono dan Budiman, 2006)

Gelombang tsunami yang menjalar ke teluk, tidak dapat keluar lagi karena sebagian atau seluruh gelombang tersebut akan dipantulkan oleh dinding teluk. Akibatnya gelombang tsunami akan meninggi dan interaksi gelombang tersebut berlangsung dalam waktu yang lama.

 Kelandaian pantai (arah vertikal)

Kelandaian pantai sangat mempengaruhi run-up maksimum ke daratan.

Pada pantai yang terjal, tsunami tidak terlalu jauh mencapai daratan karena tertahan dan dipantulkan kembali oleh tebing pantai. Sementara pada pantai relatif landai, gelombang tsunami yang tiba akan semakin membesar dan bertambah cepat (Hendratno, 2005).

 Kekasaran pantai

Kekasaran pantai dapat berfungsi sebagai peredam energi gelombang tsunami. Pantai yang kasar (berbukit-bukit, berbatu cadas, berkarang, dan atau ditutupi oleh vegetasi) dapat meredam energi gelombang tsunami, sedangkan pantai yang halus (berupa endapan aluvial dan pasir berukuran sedang sampai halus) kurang efektif dalam meredam energi gelombang tsunami (Hendratno, 2005).

2.2.2.3 Keberadaan pulau-pulau penghalang

Pulau-pulau penghalang berperan penting dalam meredam energi

gelombang tsunami. Energi gelombang tsunami akan tereduksi dengan adanya pendangkalan kedalaman perairan pada pulau penghalang. Sehingga, energi gelombang yang akan dirasakan oleh pulau-pulau di belakangnya akan menjadi lebih kecil dari energi awal (Hajar, 2006).

2.2.2.4 Ekosistem pesisir

Ekosistem pesisir terutama mangrove dan hutan pantai memegang peranan sebagai greenbelt pelindung pantai dalam mereduksi energi gelombang tsunami.

Hutan pantai sangat efektif dalam meredam energi gelombang tsunami seperti dilaporkan Harada dan Imamura (2003) (Tabel 2).

Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa semakin lebat hutan maka tingkat peredaman energi gelombang tsunami semakin besar. Contohnya gelombang tsunami setinggi 3 m yang menerjang hutan pantai dengan lebar 50 m, maka jangkauan run-up yang masuk ke daratan tinggal 81%, tinggi genangan tinggal 82%, arus setelah melewati pantai tinggal 54 % dan gaya hidrolis tsunami tinggal 39%, sehingga daerah pantai yang mempunyai vegetasi pesisir yang rapat dan tebal, mempunyai resiko kerusakan lebih kecil dibandingkan daerah

pantai yang mempunyai kerapatan dan ketebalan yang lebih rendah (Harada dan Imamura, 2003).

Keberadaan terumbu karang di wilayah pesisir juga sangat penting. Selain memiliki fungsi ekologis, terumbu karang juga berfungsi sebagai pelindung pantai dari hempasan gelombang dan arus kuat yang berasal dari laut (Diposaptono dan Budiman, 2006).

Tabel 2. Efektivitas peredaman tsunami oleh hutan pantai (Harada dan Imamura, 2003)

Tinggi tsunami (m) 1 2 3

Hutan pantai (Shuto, 1985) Mitigasi kerusakan, menghentikan benda yang hanyut dan meredam tsunami

Jarak run up Lebar hutan 50 m 0,98 0,86 0,81

100 m 0,83 0,80 0,71

200 m 0,79 0,71 0,64

400 m 0,78 0,65 0,57

Tinggi genangan Lebar hutan 50 m 0,86 0,86 0,82

100 m 0,76 0,74 0,66

Gaya hidrolis Lebar hutan 50 m 0,53 0,48 0,39

100 m 0,33 0,32 0,17

200 m 0,01 0,13 0,08

400 m - 0,02 0,01

2.2.2.5 Penggunaan lahan

Kawasan pesisir termasuk dalam kerentanan yang tinggi terhadap bencana tsunami. Konsep penggunaan lahan harus melihat jarak dari garis pantai agar dapat melindungi daratan dari hantaman gelombang tsunami. Penggunaan lahan pada kawasan pesisir harus memperhitungkan antara tata guna lahan dan tingkat hunian penduduk dengan besar kecilnya resiko bahaya tsunami.

Penggunaan lahan yang berkaitan dengan berbagai aktivitas manusia seharusnya tidak dibangun pada daerah yang sangat rawan tsunami (Irfani, 2005).

2.2.2.6 Kepadatan pemukiman

Sebaran dan kepadatan pemukiman menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi resiko bencana tsunami yang akan terjadi. Pemukiman penduduk menggambarkan tingkat kepadatan penduduk dan sebaran tempat hunian yang akan mempengaruhi tingkat kerugian akibat tsunami baik dari segi kerugian jiwa maupun harta benda. Penempatan area pemukiman pada zona paling aman dari bahaya tsunami adalah prioritas utama sehingga diletakkan jauh dari laut (Irfani, 2005).

Pratikno (2007) menyatakan bahwa pembangunan area pemukiman kurang padat yang efektif adalah minimal dalam radius 500 m dari garis pantai.