• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMETAAN TINGKAT RESIKO TSUNAMI DI KABUPATEN SIKKA NUSA TENGGARA TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PEMETAAN TINGKAT RESIKO TSUNAMI DI KABUPATEN SIKKA NUSA TENGGARA TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS"

Copied!
128
0
0

Teks penuh

(1)

PEMETAAN TINGKAT RESIKO TSUNAMI DI KABUPATEN SIKKA NUSA TENGGARA TIMUR DENGAN

MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

Oleh :

Ernawati Sengaji C64103064

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul :

”PEMETAAN TINGKAT RESIKO TSUNAMI DI KABUPATEN SIKKA NUSA TENGGARA TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS”

adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Januari 2009

Ernawati Sengaji C64103064

(3)

RINGKASAN

ERNAWATI SENGAJI. PEMETAAN TINGKAT RESIKO TSUNAMI DI

KABUPATEN SIKKA NUSA TENGGARA TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS. DIBIMBING OLEH BISMAN NABABAN dan SYAMSUL BAHRI AGUS.

Penelitian dengan judul “Pemetaan Tingkat Resiko Tsunami di Kabupaten Sikka Nusa Tenggara Timur dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografis”

dilaksanakan dalam beberapa tahap yaitu penyusunan basis data awal pada bulan Agustus 2007, survei lapang bulan Oktober 2007, pengolahan citra, penyusunan basis data akhir dan pengolahan data spasial sampai bulan

November 2008. Fokus daerah penelitian adalah wilayah Kabupaten Sikka yang berada pada daratan Pulau Flores. Secara administratif Kabupaten Sikka terletak pada 08º22'-08º50' Lintang Selatan dan 121º55'40"-122º41'30º Bujur Timur.

Penelitian ini bertujuan untuk memetakan tingkat resiko tsunami di wilayah Kabupaten Sikka dengan menggunakan sistem informasi geografis. Metode yang diterapkan adalah metode Cell Based Modelling (CBM). Analisis spasial pada data raster merupakan dasar dari metode CBM.

Pada penelitian ini, pemetaan resiko tsunami ditentukan oleh faktor

kerawanan (hazard) dan kerentanan (vulnerability). Parameter kerawanan yang digunakan adalah data run up Tsunami Flores Tahun 1992. Sedangkan

parameter kerentanan terhadap tsunami meliputi elevasi daratan, slope, morfometri pantai, landuse, jarak dari garis pantai dan jarak dari sungai.

Berdasarkan metode CBM keseluruhan parameter tersebut diubah ke dalam format data raster menjadi layer-layer raster. Selanjutnya seluruh data tersebut dioverlay dengan metode Weighted Overlay sehingga didapatkan model peta tingkat resiko tsunami Kabupaten Sikka. Pada penelitian ini, dibuat lima (5) kelas tingkat resiko berdasarkan studi literatur dan konsultasi pakar serta pembimbing.

Selang kelas untuk masing-masing tingkat resiko tsunami adalah sebagai berikut : kelas resiko sangat tinggi (R5) = 4,201-5,000; kelas resiko tinggi (R4) = 3,401- 4,200; kelas resiko sedang = 2,601-3,400; kelas resiko rendah (R2) = 1,801- 2,600; dan kelas resiko sangat rendah (R1) = 1,000-1,800.

Berdasarkan hasil analisis spasial dengan metode CBM dapat diketahui bahwa luasan daerah yang beresiko sangat tinggi dan tinggi terhadap bahaya tsunami adalah relatif lebih kecil dari total luas wilayah Kabupaten Sikka (1,7086% pada run up 10 m dan 4% pada run up 20 m). Akan tetapi, lokasi kemungkinan kejadian tsunami tersebut berada pada daerah pemukiman padat penduduk dan banyak terdapat infrastruktur penting sehingga perlu

dikembangkan mitigasi tsunami yang komprehensif di Kabupaten Sikka, terutama pada wilayah-wilayah yang beresiko tinggi dan sangat tinggi terhadap tsunami.

(4)

© Hak cipta milik Ernawati Sengaji, tahun 2009 Hak cipta dilindungi

Dilarang memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanan Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm dan sebagainya.

(5)

PEMETAAN TINGKAT RESIKO TSUNAMI DI KABUPATEN SIKKA NUSA TENGGARA TIMUR DENGAN

MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor

Oleh:

Ernawati Sengaji C64103064

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009

(6)

SKRIPSI

Judul Skripsi : PEMETAAN TINGKAT RESIKO TSUNAMI DI KABUPATEN SIKKA NUSA TENGGARA TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

Nama : Ernawati Sengaji

NRP : C64103064

Disetujui,

Pembimbing I,

Dr. Ir. Bisman Nababan, M.Sc.

NIP. 131 953 477

Pembimbing II,

Syamsul Bahri Agus, S.Pi., M.Si.

NIP. 132 311 912

Mengetahui,

Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc.

NIP. 131 578 849

Tanggal Lulus : 27 Januari 2009

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan ke hadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis bisa menyelesaikan skripsi dengan judul “Pemetaan Tingkat Resiko Tsunami di Kabupaten Sikka Nusa Tenggara Timur dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografis”.

Selama penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak, Mama, Ade Nia dan Ade Muchlas yang telah memberikan kasih sayang, semangat, motivasi dan dukungan tak terhingga kepada penulis hingga detik ini.

2. Dr. Ir. Bisman Nababan, M.Sc. dan Syamsul Bahri Agus, S.Pi., M.Si.

selaku pembimbing yang banyak sekali memberikan bimbingan, arahan, masukan dan motivasi semangat kepada penulis selama penyusunan skripsi ini.

3. Muhammad Helmi, M.Si. dan Wiwin, S.Si. atas bimbingan, arahan dan kritik mengenai Cell Based Modelling.

4. Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc. dan Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc.

atas masukan ilmu tentang tsunami bagi penulis.

5. Dr. Ir. Subandono Diposaptono, M.Eng. dan Firdaus Agung yang banyak memberikan masukan dalam metode penentuan resiko tsunami.

6. Drs. M. Taufik Gunawan, Dipl.Seis., Drs. Budi Waluyo, Dipl.Seis., Indra Gunawan, S.Si. serta segenap staf Earthquake and Tsunamy BMG atas masukan ilmu kegempaan dan tsunami serta data run up tsunami.

7. Ir. Djoko Hartoyo, Dr. Ir. Fadhli Syamsudin, M.Sc., Dr. Ir. Nawa Suwedi, M.Sc., Yudi Wahyudi, DEA., Dr. Ir. Agus Wibowo, M.Sc. dan Dr. Ir.

(8)

Udrekh, M.Sc. dari BPPT Jakarta serta Dr. Ir. Widjongkoko, M.Sc. dan Dr.

Ir. Chaeroni, M.Sc. dari BPDP-BPPT Yogyakarta atas masukan ilmu tsunami bagi penulis.

8. A.A.G. Conterius S. Sos. dan Mauritius Minggo, ST., MT. dari Bappeda Sikka atas arahan dan bantuan data spasial Kab.Sikka kepada penulis.

9. Kapten Dede Yuliadi, Serka Edi Gunadi dari Dishidros TNI AL atas penjelasan ilmu batimetri dan data pasut.

10. Teman-teman Geologi UNPAD atas literatur geologi bagi penulis.

11. Seluruh dosen, segenap staf Tata Usaha, dan teman-teman (khususnya ITK Angkatan 40) atas bantuan, motivasi, dan kebersamaannya selama ini.

Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Bogor, Januari 2009

Ernawati Sengaji

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ...xii

DARTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

1. PENDAHULUAN ...1

1.1 Latar belakang ...1

1.2 Tujuan ...2

2. TINJAUAN PUSTAKA ...3

2.1 Tsunami ...3

2.1.1 Karakteristik tsunami ...3

2.1.2. Penyebab tsunami ...5

2.1.2.1 Gempa tektonik ...5

2.1.2.2 Letusan vulkanik ...6

2.1.2.3 Longsoran (Landslide) ...7

2.1.3 Klasifikasi tsunami ...8

2.1.3.1 Tsunami lokal (near field/local field tsunami) ...8

2.1.3.2 Tsunami jarak jauh (far field tsunami) ...8

2.2 Penilaian tingkat resiko tsunami (tsunami tisk assesment) ...9

2.2.1 Analisis daerah rawan tsunami ...11

2.2.2 Analisis kerentanan terhadap tsunami ...12

2.2.2.1 Batimetri wilayah pantai ...12

2.2.2.2 Morfometri pantai ...14

2.2.2.3 Keberadaan pulau-pulau penghalang ...16

2.2.2.4 Ekosistem pesisir ...16

2.2.2.5 Penggunaan lahan ...17

2.2.2.6 Kepadatan pemukiman ...18

2.2.3 Pengurangan resiko bencana tsunami ...18

2.3 Pemetaan resiko tsunami dengan metode Cell Based Modelling ...19

2.3.1 Penginderaan jauh sebagai penunjang riset tsunami ...19

2.3.2 Aplikasi Cell Based Modelling untuk kajian resiko tsunami ...22

2.3.2.1 Sistem informasi geografis (SIG) ...22

2.3.2.2 Pemodelan spasial dengan Cell Based Modelling ...24

2.4. Keadaan umum lokasi penelitian ...26

3. METODE PENELITIAN ...27

3.1 Waktu dan lokasi penelitian ...27

3.2 Alat dan bahan ...28

3.2.1 Alat ...28

3.2.2 Bahan ...28

3.3 Survei lapang ...29

3.4 Metode penelitian ...29

(10)

3.5 Pengolahan citra satelit ...30

3.5.1 Pengolahan citra awal (Pre processing) ...30

3.5.2 Penajaman citra (Image enhancement) ...32

3.5.2.1 Penajaman citra untuk terumbu karang ...32

3.5.2.2 Penajaman citra untuk ekosistem mangrove ...34

3.6 Klasifikasi citra ...34

3.7 Metode penentuan tingkat resiko tsunami ...35

3.7.1 Penentuan kerawanan tsunami ...35

3.7.1.1 Pemetaan seismisitas ...35

3.7.1.2 Pemetaan daerah rawan tsunami ...35

3.7.2 Penentuan tingkat kerentanan terhadap tsunami ...37

3.8 Pengolahan data dengan Cell Based Modelling ...40

3.9 Matriks tingkat resiko tsunami Kabupaten Sikka ...43

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ...47

4.1 Pengolahan data spasial dari citra satelit ...47

4.1.1 Pengolahan citra awal ...47

4.1.2 Ekstraksi data citra ...48

4.2 Analisis kerawanan tsunami di Kabupaten Sikka ...52

4.2.1 Seismisitas di Kabupaten Sikka ...52

4.2.2 Tingkat kerawanan tsunami di Kabupaten Sikka ...54

4.3 Analisis tingkat kerentanan tsunami di Kabupaten Sikka ...58

4.3.1 Elevasi daratan ...59

4.3.2 Kemiringan daratan (slope) ...63

4.3.3 Morfometri pantai ...66

4.3.4 Penggunaan lahan ...69

4.3.5 Jarak dari garis pantai ...74

4.3.6 Jarak dari sungai ...76

4.4 Faktor-faktor pendukung tingkat kerentanan tsunami ...78

4.4.1 Batimetri ...78

4.4.2 Ekosistem pesisir alami Kabupaten Sikka ...80

4.4.3 Pulau-pulau kecil penghalang ...80

4.5 Analisis spasial tingkat resiko tsunami di Kabupaten Sikka ...81

4.6 Pemodelan resiko tsunami pada run up tsunami 20 Meter ...91

5. KESIMPULAN DAN SARAN ...95

5.1 Kesimpulan ...95

5.2 Saran ...95

DAFTAR PUSTAKA ...96

LAMPIRAN ...101

RIWAYAT HIDUP ...113

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Kajian resiko tsunami ...10

2. Efektivitas peredaman tsunami hutan pantai ...17

3. Karakteristik Citra Landsat 7 ETM+ ...21

4. Hubungan tingkat kerusakan dengan tinggi run up tsunami ...37

5. Matriks resiko tsunami ... 43

6. Luasan ekosistem pesisir Kabupaten Sikka dari citra satelit ... 51

7. Luasan daerah kerawanan tsunami ...58

8. Luasan wilayah tingkat kerentanan elevasi ...62

9. Luasan wilayah kerentanan slope ...65

10. Luasan jenis landuse di Kabupaten Sikka ...70

11. Luasan tingkat kerentanan landuse ... 73

12. Jumlah sel per parameter hasil klasifikasi ...83

13. Jumlah sel hasil weighted overlay ... 83

14. Tingkat resiko tsunami per kecamatan ... 86

15. Luasan wilayah tingkat resiko tsunami pada run up 20 meter ... 93

(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Hubungan panjang, kecepatan, dan tinggi tsunami di laut ... 4

2. Proses terjadinya tsunami akibat gempa tektonik ... 5

3. Lingkar api di daerah Pasifik ... 7

4. Tinggi gelombang tsunami saat memasuki teluk ... 13

5. Contoh kawasan pesisir yang menyerupai gigi gergaji ...15

6. Pengurangan resiko bencana ... 18

7. Konfigurasi Satelit Landsat 7/ETM+ ...20

8. Perbandingan antara data raster dan data vektor ...23

9. Ilustrasi operasi piksel ... 25

10. Peta daerah penelitian ...27

11. Diagam alir penelitian ... 30

12. Diagam alir pengolahan citra untuk pemetaan ekosistem pesisir ...33

13. Desain penentuan tingkat resiko tsunami ...42

14. Peta ekosistem pesisir Kabupaten Sikka ...51

15. Peta seismisitas Kabupaten Sikka ...53

16. Peta tinggi run up Tsunami Flores tahun 1992 di berbagai lokasi di Pantai Utara Kabupaten Sikka ...55

17. Peta kerawanan tsunami berdasarkan data run up Tsunami Flores tahun 1992...56

18. Peta kerentanan elevasi terhadap tsunami ... 61

19. Peta kerentanan slope terhadap tsunami ...64

20. Peta kerentanan morfologi terhadap tsunami ... 68

21. Peta jenis landuse di Kabupaten Sikka ... 70

(13)

22. Peta kerentanan landuse terhadap tsunami ...72

23. Peta jarak dari garis pantai ...75

24. Peta jarak dari sungai ... 77

25. Peta 3D batimetri Kabupaten Sikka ... 79

26. Peta pulau penghalang yang ada di Kabupaten Sikka ... 81

27. Peta tingkat resiko tsunami Kabupaten Sikka ... 85

28. Grafik resiko tsunami per kecamatan ...87

29. Peta resiko infrastruktur terhadap tsunami ... 88

30. Peta resiko pemukiman terhadap tsunami ... 90

31. Peta tingkat resiko tsunami pada run up 20 meter ... 92

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Posisi pengamatan di lapanga ...101

2. Foto-foto hasil survei lapang ...102

3. Data run up Tsunami Flores tahun 1992 ...103

4. Root mean square error koreksi Citra Landsat 7/ETM+ 2006 ...108

5. Hasil analisis statistik Transformasi Lyzenga ...109

6. Peta tingkat resiko tsunami per kecamatan ...110

(15)

1.PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Indonesia merupakan salah satu negara dengan kondisi geologis yang secara tektonik sangat labil karena merupakan daerah pertemuan Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia, Lempeng Pasifik, dan Lempeng Laut Filipina (Diposaptono dan Budiman, 2005). Kondisi ini menyebabkan wilayah Indonesia memiliki tingkat kejadian gempa yang tinggi di dunia dan sangat rawan

mengalami tsunami. Hampir 90% kejadian tsunami di Indonesia disebabkan oleh gempa tektonik dan sekitar 85% dari kejadian tsunami tersebut terjadi di wilayah Indonesia Timur, termasuk daerah Kabupaten Sikka (Diposaptono dan Budiman, 2006).

Kabupaten Sikka yang termasuk dalam wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan kawasan dengan tingkat resiko tsunami yang cukup tinggi karena daerah ini berada dekat dengan zona subduksi lempeng tektonik Australia dan Eurasia serta dipengaruhi oleh sesar-sesar aktif di sepanjang Pulau Flores (Fauzi, 2006).

Bencana tsunami merupakan bencana yang bersifat destruktif dan menimbulkan banyak kerugian. Misalnya Tsunami Flores 12 Desember 1992 telah menyebabkan kerugian materi hingga milyaran rupiah dan korban jiwa sekitar 2100 orang. Oleh karena itu, penting sekali dilakukan suatu upaya mitigasi bencana tsunami, yaitu proses mengupayakan berbagai tindakan preventif untuk meminimalkan dampak negatif bencana tsunami yang

diperkirakan akan terjadi. Salah satu langkah mitigasi adalah dengan membuat peta resiko tsunami (Soegiharto, 2006).

Pemetaan tingkat resiko tsunami harus dilakukan dengan pendekatan multikriteria sesuai dengan daerah kajian. Untuk itu, diperlukan suatu perangkat

(16)

analisis yang tepat untuk membuat peta tersebut. Sistem informasi geografis (SIG) merupakan perangkat yang memiliki kemampuan untuk memvisualisasikan tingkat resiko tsunami. Salah satu metode aplikasi SIG yang sering digunakan saat ini adalah metode Cell Based Modelling (CBM). Analisis spasial pada data raster adalah dasar dari CBM, sehingga luasan area hasil analisis dengan metode ini cukup akurat karena tidak mengalami generalisasi (ESRI, 2002).

Kajian mengenai pemetaan tingkat resiko tsunami di Kabupaten Sikka dengan metode CBM belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan dan pertimbangan dalam pengambilan keputusan (Decision support system) oleh stake holders dalam kerangka mitigasi bencana tsunami di Kabupaten Sikka.

1.2. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah memetakan dan menentukan tingkat resiko tsunami dengan menggunakan sistem informasi geografis di Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur.

(17)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tsunami

2.1.1 Karakteristik tsunami

Tsunami merupakan gelombang laut dengan periode panjang yang ditimbulkan oleh gangguan impulsif pada medium laut yang bersifat transien (gelombangnya bersifat sesar) dan nondispersive (fasa gelombang tidak

bergantung pada panjang gelombang). Gangguan impulsif tersebut disebabkan oleh aktivitas gempa tektonik, erupsi vukanik atau longsoran bawah laut

(Diposaptono dan Budiman, 2006).

Tsunami bergerak keluar dari daerah pembangkitannya dalam bentuk serangkaian gelombang. Kecepatannya bergantung pada kedalaman perairan, akibatnya gelombang tersebut mengalami percepatan atau perlambatan sesuai dengan bertambah atau berkurangnya kedalaman dasar laut. Proses ini menyebabkan arah pergerakan gelombang berubah dengan energi gelombang bisa menjadi terfokus atau menyebar (UNESCO-IOC, 2006).

Tsunami bersifat unik karena bentuk gelombangnya memanjang sampai ke seluruh kolom air yaitu dari permukaan sampai ke dasar lautan. Karakteristik inilah yang menjadi penyebab gelombang tsunami berbeda dengan gelombang laut yang terjadi karena terpaan angin dan pasang surut yang hanya

mengganggu permukaan laut. Hal ini juga yang merupakan penyebab dasar besarnya jumlah tenaga yang dibentuk oleh suatu gelombang tsunami (UNESCO-IOC, 2006).

Pada laut dalam, gelombang tsunami dapat bergerak pada kecepatan 500 sampai 1.000 kilometer per jam. Periode tsunami (waktu untuk siklus satu gelombang) bisa berkisar dari beberapa menit hingga satu jam. Saat mendekati pantai, kecepatan gelombang melambat menjadi beberapa puluh kilometer per

(18)

jam dan tinggi tsunami bisa mencapai hingga puluhan meter pada garis pantai seperti yang terlihat pada Gambar 1 (UNESCO-IOC, 2006).

Gambar 1. Hubungan panjang, tinggi, dan kecepatan tsunami di laut (UNESCO-IOC, 2006)

Tinggi tsunami tersebut disebabkan karena terjadi konversi energi kinetik gelombang menjadi energi potensial. Artinya, kehilangan energi akibat berkurangnya kecepatan ditransfer ke dalam bentuk pembesaran tinggi gelombang (run up) (Diposaptono dan Budiman, 2006). Kecepatan run up ke daratan bisa mencapai 25-100 km/jam. Kecepatan gelombang tsunami ini yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa, rusaknya lahan pertanian, sarana prasarana wilayah, dan dataran rendah menjadi tergenang membentuk lautan baru.

Kembalinya air ke laut setelah mencapai puncak gelombang (run-down) juga bersifat merusak karena menyeret segala sesuatu kembali ke laut (Diposaptono dan Budiman, 2006).

(19)

2.1.2 Penyebab tsunami

Secara umum faktor penyebab terjadinya tsunami adalah gempa tektonik letusan vulkanik, dan longsoran (landslide) (BMG, 2007; Fauzi dan Wandono, 2005; Diposaptono dan Budiman, 2006).

2.1.2.1 Gempa tektonik

Gempa tektonik merupakan gempa yang diakibatkan oleh aktivitas tektonik, yaitu pergerakan, pergeseran dan tumbukan lempeng tektonik (Diposaptono dan Budiman, 2006). Gempa ini merupakan penyumbang terbesar terjadinya

tsunami.yang biasanya terjadi di zona subduksi atau zona tumbukan

antarlempeng tektonik. Pada zona ini, lempeng yang mempunyai berat jenis yang lebih tinggi (lempeng samudera) akan menyusup di bawah lempeng yang berat jenisnya lebih ringan (lempeng benua). Apabila akumulasi tegangan lempeng benua di sekitar tumbukan mencapai batas maksimum maka ujung lempeng samudera akan melenting ke atas yang mengakibatkan terjadinya patahan (sesar) dan selanjutnya menimbulkan tsunami (UNESCO-IOC, 2006;

Gambar 2).

Gambar 2. Proses terjadinya tsunami akibat gempa tektonik (UNESCO-IOC, 2006)

(20)

Secara umum karakteristik gempa yang dapat menimbulkan terjadinya tsunami adalah sebagai berikut :

1. Lokasi pusat gempa (episenter) berada di laut dengan magnitudo lebih besar dari 6.0 SR.

2. Kedalaman pusat gempa (hiposenter) kurang dari 60 km dari permukaan bumi (gempa dangkal).

3. Mekanisme patahan gempa tektonik bertipe sesar naik (reverse fault) atau sesar turun (normal fault) (BMG, 2007; International Tsunami Information Center, 2006; Himpunan Ahli Geologi Indonesia, 2006 dan Diposaptono dan Budiman, 2006).

Wilayah NTT merupakan kawasan aktif gempa tektonik karena berada dekat lempeng Australia yang menyusup ke lempeng Eurasia. Selain itu, terdapat sesar busur muka dan sesar busur belakang di bagian utara Pulau Flores dan sesar lokal yang memotong Pulau Flores. Sesar busur muka (fore arc) merupakan daerah yang berbatasan langsung dengan zona tumbukan atau sering di sebut sebagai zona aktif akibat patahan yang biasa terdapat di darat maupun di laut. Sesar busur belakang (back arc) merupakan bagian paling belakang dari rangkaian busur tektonik. Sesar atau patahan merupakan

perpanjangan gaya yang ditimbulkan oleh gerakan-gerakan lempeng utama yang akan menghasilkan gempa bumi di daratan dan tanah longsor (Wah, 2006).

2.1.2.2 Letusan vulkanik

Aktivitas erupsi vulkanik dapat juga menyebabkan tsunami, namun

frekuensinya sangat jarang terjadi karena kekuatan aktivitas vulkanik biasanya tidak terlalu besar dan hanya bersifat lokal (Diposaptono dan Budiman, 2006).

Untuk Indonesia, daerah yang berpotensi mengalami tsunami akibat letusan

(21)

vulkanik merupakan bagian dari lingkar api pasifik (The Pasific Ring of Fire) yang bermula dari Kamchatka Alaska, Jepang, Sumatera, Jawa, Bali, Lombok, Flores, Sulawesi dan berakhir di Filipina (Gambar 3; USGS, 2006).

Gambar 3. Lingkar api di daerah Pasifik (USGS, 2006)

Menurut data historis, sejak tahun 1814 sampai tahun 2006, dari 25 kali kejadian tsunami di wilayah NTT, hanya dua kejadian yang dipicu oleh letusan gunung berapi yakni meletusnya Gunung Rokatenda tahun 1928 dan longsornya Gunung Werung tahun 1979 (Wah, 2006).

2.1.2.3 Longsoran (Landslide)

Longsoran (landslide) dapat mengakibatkan terjadinya tsunami dan biasanya longsoran ini terjadi akibat gempa bumi yang kuat, letusan vulkanik, longsor di dasar laut dan longsor di atas permukaan laut (sea level) (Diposaptono dan Budiman, 2006).

(22)

2.1.3 Klasifikasi tsunami

Berdasarkan jaraknya, tsunami diklasifikasikan menjadi 2, yaitu: tsunami lokal (near field/local field tsunami) dan tsunami jarak jauh (far field tsunami) (Puspito, 2007 dan ITIC, 2006).

2.1.3.1 Tsunami lokal (near field/local field tsunami)

Tsunami lokal adalah tsunami yang terjadi bilamana jarak antara pusat gempa dan daerah bencana tsunami kurang dari 100 km (ITIC, 2006). Dari segi waktu terjadinya tsunami, tsunami lokal terjadi antara 5 sampai 40 menit setelah gempa utamanya. Hal ini menyebabkan bahwa secara teoritis kejadian tsunami lebih mudah diprediksi dibandingkan dengan kejadian gempa (Puspito, 2007).

Adanya tenggang waktu antara terjadinya gempa dan tibanya tsunami di pantai memungkinkan tindakan untuk dapat menganalisis karakteristik apakah suatu gempa dapat menimbulkan tsunami atau tidak.

Secara umum tsunami yang terjadi di Indonesia adalah tsunami lokal dan mengingat sistem informasi di Indonesia belum memadai maka biasanya

sebelum informasi kejadian tsunami sampai ke masyarakat, gelombang tsunami telah menyapu pantai. Hal ini menyebabkan Indonesia belum bisa

memaksimalkan sistem peringatan dini tsunami (Tsunami Early Warning System) (Puspito, 2007).

2.1.3.2 Tsunami jarak jauh (far field tsunami)

Tsunami jarak jauh (far field tsunami) adalah tsunami yang diakibatkan oleh gempa laut yang jaraknya ribuan kilometer dari pantai (ITIC, 2006). Waktu datang tsunami berkisar antara beberapa jam sampai 24 jam setelah gempa utamanya. Contoh tsunami jarak jauh ini adalah tsunami Aceh yang terjadi tahun 2004, dimana gelombang tsunami tersebut merambat menyebrangi Samudera Hindia sampai ke Pantai Afrika Selatan.

(23)

2.2 Penilaian tingkat resiko tsunami (Tsunami Risk Assesment)

Hakekat dari mitigasi bencana tsunami adalah menekan hingga seminimal mungkin resiko bencana tsunami. Pada dasarnya, resiko sebuah bencana memiliki tiga variabel, yaitu : (1) aspek jenis ancaman, (2) aspek kerentanan, dan (3) aspek kemampuan menanggulangi (Diposaptono dan Budiman, 2006).

Dewasa ini banyak terminologi yang digunakan untuk menjelaskan pengertian rawan, rentan dan resiko bencana. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, ancaman adalah suatu kejadian atau peristiwa yang bisa menimbulkan bencana.

Istilah ini sering disebut juga sebagai kerawanan.

Kerentanan (vulnerability) adalah sekumpulan kondisi dan atau suatu akibat keadaan (faktor fisik, sosial, ekonomi dan lingkungan) yang berpengaruh buruk terhadap upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan bencana (Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana, 2007).

Resiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau

kehilangan harta dan gangguan kegiatan masyarakat (UU RI No.24 Tahun 2007) Hubungan antara kerawanan (hazard), kerentanan (vulnerability), kapasitas penanggulangan (capacity) dan resiko (risk) dirumuskan pada Persamaan 1 di bawah ini (Diposaptono dan Budiman, 2006) :

) (

) ( tan )

) ( (

Re Kapasitas Penanggulangan C V an Keren x H Kerawanan R

siko  ... (1)

dimana : R = Resiko; H = kerawanan; V = Kerentanan; dan C = Kapasitas penanggulangan.

(24)

Parameter kapasitas penanggulangan tidak dikaji dalam penelitian ini karena terkait dengan kemampuan pemerintah dan sumber daya masyarakat dalam penanggulangan bencana tsunami.

Resiko berbanding lurus dengan ancaman atau bahaya (kerawanan) dan tingkat kerentanan terhadap tsunami, serta berbanding terbalik dengan

kemampuan (kapasitas) dalam menghadapi tsunami. Semakin besar kerawanan dan kerentanan terhadap tsunami, serta semakin rendah kemampuan

penanggulangan dalam menghadapi tsunami, maka akan semakin besar resiko tsunami yang timbul. Bilamana jenis kerawanan tsunaminya sama antara satu daerah dengan daerah lainnya, namun jika tingkat kerentanan dan kapasitas penanggulangan yang berbeda-beda, akan mengakibatkan dampak tsunami yang berbeda, antara satu daerah dengan daerah lainnya (Siahaan, 2008).

Salah satu contoh analisis resiko tsunami selengkapnya disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Kajian Resiko Tsunami (Latief, 2005)

Risk = Hazard x Vulnerability

Catatan sejarah tsunami Lingkungan bangunan

Surat kabar (berita) Infrastruktur

Tide gauge Peta topografi

Tinggi gelombang Peta hidrografi

Level run up Potensi kerusakan

Stastistik Kerusakan ikutan (collateral damage)

Sosial ekonomi

Tsunami katalog Perencanaan bencana (Disaster

management)

Sumber pembangkit tsunami Emergency management Peta waktu tiba tsunami Local response

TSUNAMI RISK ASSESMENT - TSUNAMI ZONATION MAP MITIGATION

POLICY FOR TSUNAMI WARNING

(25)

Tsunami termasuk salah satu jenis ancaman yang bersifat alami (natural hazard) dan mempunyai kemungkinan untuk terjadi lagi pada suatu periode tertentu dan pada suatu area geografis tertentu (Damen, 2005 in Melianawati, 2006). Oleh karena itu, untuk melakukan penilaian tingkat resiko tsunami di suatu wilayah tertentu harus dilakukan analisis potensi bahaya tsunami (kerawanan) dan kerentanan terhadap tsunami.

2.2.1 Analisis daerah rawan tsunami

Menurut Diposaptono dan Budiman (2006), identifikasi daerah yang berpotensi mengalami bencana tsunami dilakukan dengan beberapa cara yaitu identifikasi jalur pertemuan lempeng (tectonic setting plate) yang berpotensi menyebabkan gempa dan tsunami baik near field maupun far field tsunami, analisis aspek historis kejadian gempa yang berpotensi tsunami, analisis historis kejadian tsunami dan pemodelan tsunami terutama pemodelan run up tsunami.

Run up tsunami adalah elevasi air laut vertikal yang dapat dicapai oleh tsunami ke arah darat diukur dari muka air laut rata-rata (mean sea level) atau dari garis pantai pada saat tsunami (Diposaptono dan Budiman, 2006).

Data run up merupakan data yang penting sebagai parameter kerawanan dalam kajian resiko tsunami. Pembuatan peta resiko tsunami dapat dibuat melalui tiga pendekatan (Diposaptono dan Budiman, 2006), yaitu :

1. Menggunakan data historis genangan dan run up tsunami yang pernah terjadi sebelumnya. Metode ini digunakan jika ada data historis yang lengkap. Sebagai alternatif, digunakan data citra detail sebelum dan sesudah tsunami untuk membandingkan topografi dan landuse sebelum dan sesudah tsunami.

2. Menggunakan simulasi pemodelan matematik untuk pembangkitan, penjalaran, run up dan inundasi tsunami di wilayah pesisir. Pendekatan

(26)

matematik ini masih mengalami kendala utama yaitu menyangkut ketelitian data batimetri dan topografi yang kurang detail.

3. Menggunakan asumsi gelombang tsunami yang mencapai pantai mempunyai ketinggian yang sama diukur dari permukaan laut (metode kesamaan ketinggian). Cara terakhir inilah yang paling mudah ditempuh.

Berdasarkan analisis kontur wilayah, maka distribusi luas dan tinggi genangan secara spasial dapat diperoleh dengan mudah. Hasilnya kita bisa menentukan daerah potensi rawan tsunami yang kemudian dioverlay dengan peta infrastruktur, ekosistem pesisir, tataguna lahan dan kondisi sosial ekonomi, sehingga bisa diperoleh peta resiko tsunami seperti yang pernah diterapkan untuk daerah Padang.

2.2.2 Analisis kerentanan terhadap tsunami

Kerentanan tsunami dapat dikaji dari berbagai faktor antara lain kerentanan fisik (misalnya jenis bahan dan kekuatan struktur bangunan), kerentanan lingkungan (ketinggian dan morfologi), kerentanan infrastruktur (sarana dan prasarana penting), kerentanan sosial kependudukan (jumlah penduduk dan kepadatan penduduk, struktur penduduk lanjut usia dan balita), kerentanan sosial ekonomi (jumlah/proporsi penduduk miskin dan pengangguran), dan kerentanan kelembagaan (Diposaptono dan Budiman, 2006).

Pada penelitian ini, analisis kerentanan yang dikaji adalah lingkungan dan sosial kependudukan. Parameter yang dikaji tingkat kerentanannya terhadap tsunami secara rinci dijelaskan sebagai berikut.

2.2.2.1 Batimetri wilayah pantai

Kondisi batimetri sangat mempengaruhi pembelokan atau penerusan gelombang tsunami yang menjalar ke pantai. Pada saat memasuki perairan dangkal, gelombang mengalami gesekan dengan dasar laut.

(27)

Hal ini menyebabkan kecepatan dan energi gelombang menurun drastis dengan berkurangnya kedalaman tetapi tinggi gelombang semakin meningkat

(Gambar 4; Diposaptono dan Budiman, 2006).

Tsunami yang menjalar ke pantai yang sempit dan dangkal akan mengalami proses yang kompleks, yaitu shoaling, refraksi, difraksi dan refleksi. Shoaling adalah proses pembesaran tinggi gelombang karena pendangkalan dasar laut.

Tsunami yang terjadi di laut dalam selama penjalarannya ke pantai atau laut yang lebih dangkal akan teramplifikasi karena adanya efek shoaling

(Diposaptono dan Budiman, 2006).

Refraksi merupakan transformasi (perubahan) gelombang akibat adanya perubahan geometri dasar laut yaitu perubahan kedalaman laut. Sedangkan difraksi adalah transformasi gelombang yang diakibatkan oleh adanya bangunan atau struktur yang menghalangi rambatan tsunami. Rintangan tersebut dapat berupa bangunan pantai atau adanya pulau-pulau kecil (Diposaptono dan Budiman, 2006).

Gambar 4. Tinggi gelombang tsunami saat memasuki teluk (Diposaptono dan Budiman, 2006)

(28)

Tinggi gelombang tsunami berubah sesuai dengan perubahan kedalaman.

Jika tinggi gelombang lebih kecil daripada panjang gelombangnya maka perubahan tinggi gelombang akan sesuai dengan Hukum Green yaitu perbandingan tinggi tsunami pada posisi di pantai yang lebih dangkal (H1) dengan tinggi tsunami di pantai yang lebih dalam (H0) sama dengan pangkat ¼ dari perbandingan perubahan kedalaman air laut (h0 / h1) dikalikan dengan akar dari perbandingan lebar teluk di titik yang lebih dalam (b0) dan lebar teluk di titik yang lebih dangkal (b1). Secara matematis ditulis sebagai berikut (Diposaptono dan Budiman, 2006) :

...(2) Keterangan

H1 : Tinggi gelombang tsunami pada laut dangkal H0 : Tinggi gelombang tsunami pada laut dalam ho/h1 : Perbandingan perubahan kedalaman air laut b0 : Lebar teluk di titik yang lebih dalam

b1 : Lebar teluk di titik yang lebih dangkal

2.2.2.2 Morfometri pantai

Morfometri pantai menunjukkan bentuk dan topografi garis pantai.

Morfometri merupakan parameter yang sangat penting untuk dikaji karena menentukkan daerah pemusatan atau penyebaran energi gelombang tsunami (Diposaptono dan Budiman, 2006).

Gelombang tsunami yang yang bergerak ke pantai akan mengalami perubahan tinggi gelombang yang semakin besar. Perubahan gelombang tersebut sangat dipengaruhi oleh morfometri pantai sebagai berikut (Hendratno, 2005).

 Geometri pantai (arah horizontal)

Secara umum wilayah pesisir Indonesia memiliki teluk yang berbentuk V (V-shape bays) yang berasosiasi dengan tanjung dan muara sungai yang

2 / 1

1 0 4 / 1

1 0 0

1 

 

 

 



b b h

h H H

(29)

sangat banyak dan berderet satu dengan yang lainnya, sehingga menyerupai gigi gergaji (sawtooth) (Gambar 5). Morfologi pantai yang berbentuk teluk akan mempengaruhi refraksi gelombang dan

menyebabkan peningkatan kecepatan dan energi gelombang tsunami (Latief, 2005).

Gambar 5. Contoh kawasan pesisir yang menyerupai gigi gergaji (Diposaptono dan Budiman, 2006)

Gelombang tsunami yang menjalar ke teluk, tidak dapat keluar lagi karena sebagian atau seluruh gelombang tersebut akan dipantulkan oleh dinding teluk. Akibatnya gelombang tsunami akan meninggi dan interaksi gelombang tersebut berlangsung dalam waktu yang lama.

 Kelandaian pantai (arah vertikal)

Kelandaian pantai sangat mempengaruhi run-up maksimum ke daratan.

Pada pantai yang terjal, tsunami tidak terlalu jauh mencapai daratan karena tertahan dan dipantulkan kembali oleh tebing pantai. Sementara pada pantai relatif landai, gelombang tsunami yang tiba akan semakin membesar dan bertambah cepat (Hendratno, 2005).

(30)

 Kekasaran pantai

Kekasaran pantai dapat berfungsi sebagai peredam energi gelombang tsunami. Pantai yang kasar (berbukit-bukit, berbatu cadas, berkarang, dan atau ditutupi oleh vegetasi) dapat meredam energi gelombang tsunami, sedangkan pantai yang halus (berupa endapan aluvial dan pasir berukuran sedang sampai halus) kurang efektif dalam meredam energi gelombang tsunami (Hendratno, 2005).

2.2.2.3 Keberadaan pulau-pulau penghalang

Pulau-pulau penghalang berperan penting dalam meredam energi

gelombang tsunami. Energi gelombang tsunami akan tereduksi dengan adanya pendangkalan kedalaman perairan pada pulau penghalang. Sehingga, energi gelombang yang akan dirasakan oleh pulau-pulau di belakangnya akan menjadi lebih kecil dari energi awal (Hajar, 2006).

2.2.2.4 Ekosistem pesisir

Ekosistem pesisir terutama mangrove dan hutan pantai memegang peranan sebagai greenbelt pelindung pantai dalam mereduksi energi gelombang tsunami.

Hutan pantai sangat efektif dalam meredam energi gelombang tsunami seperti dilaporkan Harada dan Imamura (2003) (Tabel 2).

Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa semakin lebat hutan maka tingkat peredaman energi gelombang tsunami semakin besar. Contohnya gelombang tsunami setinggi 3 m yang menerjang hutan pantai dengan lebar 50 m, maka jangkauan run-up yang masuk ke daratan tinggal 81%, tinggi genangan tinggal 82%, arus setelah melewati pantai tinggal 54 % dan gaya hidrolis tsunami tinggal 39%, sehingga daerah pantai yang mempunyai vegetasi pesisir yang rapat dan tebal, mempunyai resiko kerusakan lebih kecil dibandingkan daerah

(31)

pantai yang mempunyai kerapatan dan ketebalan yang lebih rendah (Harada dan Imamura, 2003).

Keberadaan terumbu karang di wilayah pesisir juga sangat penting. Selain memiliki fungsi ekologis, terumbu karang juga berfungsi sebagai pelindung pantai dari hempasan gelombang dan arus kuat yang berasal dari laut (Diposaptono dan Budiman, 2006).

Tabel 2. Efektivitas peredaman tsunami oleh hutan pantai (Harada dan Imamura, 2003)

Tinggi tsunami (m) 1 2 3

Hutan pantai (Shuto, 1985) Mitigasi kerusakan, menghentikan benda yang hanyut dan meredam tsunami

Jarak run up Lebar hutan 50 m 0,98 0,86 0,81

100 m 0,83 0,80 0,71

200 m 0,79 0,71 0,64

400 m 0,78 0,65 0,57

Tinggi genangan Lebar hutan 50 m 0,86 0,86 0,82

100 m 0,76 0,74 0,66

200 m 0,46 0,55 0,50

400 m - 0,11 0,18

Arus Lebar hutan 50 m 0,71 0,58 0,54

100 m 0,57 0,47 0,44

200 m 0,56 0,39 0,34

400 m - 0,31 0,24

Gaya hidrolis Lebar hutan 50 m 0,53 0,48 0,39

100 m 0,33 0,32 0,17

200 m 0,01 0,13 0,08

400 m - 0,02 0,01

2.2.2.5 Penggunaan lahan

Kawasan pesisir termasuk dalam kerentanan yang tinggi terhadap bencana tsunami. Konsep penggunaan lahan harus melihat jarak dari garis pantai agar dapat melindungi daratan dari hantaman gelombang tsunami. Penggunaan lahan pada kawasan pesisir harus memperhitungkan antara tata guna lahan dan tingkat hunian penduduk dengan besar kecilnya resiko bahaya tsunami.

(32)

Penggunaan lahan yang berkaitan dengan berbagai aktivitas manusia seharusnya tidak dibangun pada daerah yang sangat rawan tsunami (Irfani, 2005).

2.2.2.6 Kepadatan pemukiman

Sebaran dan kepadatan pemukiman menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi resiko bencana tsunami yang akan terjadi. Pemukiman penduduk menggambarkan tingkat kepadatan penduduk dan sebaran tempat hunian yang akan mempengaruhi tingkat kerugian akibat tsunami baik dari segi kerugian jiwa maupun harta benda. Penempatan area pemukiman pada zona paling aman dari bahaya tsunami adalah prioritas utama sehingga diletakkan jauh dari laut (Irfani, 2005).

Pratikno (2007) menyatakan bahwa pembangunan area pemukiman kurang padat yang efektif adalah minimal dalam radius 500 m dari garis pantai.

2.2.3 Pengurangan resiko bencana tsunami

Bencana tsunami tidak dapat dicegah dan mempunyai kemungkinan kejadian berulang, sedangkan kerentanan merupakan aspek yang relatif dapat dilakukan perubahan. Oleh karena itu, untuk mengurangi resiko bencana, hanya dapat dilakukan dengan cara memperkecil kerentanan (Gambar 6).

Resiko 1 > Resiko 2

Gambar 6. Pengurangan Resiko Bencana (Bakornas Penanggulangan Bencana, 2007)

(33)

Pembuatan dan analisis tingkat resiko tsunami di suatu daerah merupakan masukan penting dalam rancangan tata ruang wilayah pesisir. Di Indonesia, pedoman resmi untuk pembuatan peta resiko tsunami belum ada. Akan tetapi, pada tanggal 14 April 2008 yang lalu, telah diadakan “Rapat Pedoman

Pembuatan Peta Resiko Tsunami” yang dihadiri oleh wakil-wakil dari LIPI, BPPT, PKSPL-IPB, LAPAN, KLH, BMG, ITB, DEPKOMINFO, DEPDAGRI, Artwork dan RISTEK. Salah satu hasil penting dalam rapat tersebut adalah segera

menyelesaikan “Pedoman Pembuatan Peta Resiko Tsunami” agar dapat segera didistribusikan kepada pemerintah daerah melalui Departemen Dalam Negeri (Pusat Riset Informasi Bencana Alam, 2008).

2.3 Pemetaan resiko tsunami dengan metode Cell Based Modelling 2.3.1 Penginderaan jauh sebagai penunjang riset tsunami

Penginderaan jauh adalah ilmu, seni dan teknologi untuk memperoleh informasi tentang objek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1990).

Untuk riset tsunami, citra satelit baik secara global, visual, digital dan multi temporal dapat memberikan informasi mengenai dinamika yang terjadi di daerah pesisir, baik sebelum, sewaktu maupun sesudah tsunami (Diposaptono dan Budiman, 2006). Oleh karena itu, penginderaan jauh (remote sensing) merupakan salah satu alat mutakhir yang sangat menunjang kegiatan riset tsunami, terutama jika diintegrasikan dengan SIG. Data penginderaan jauh seperti citra satelit merupakan input yang terpenting bagi SIG karena

ketersediaannya secara berkala dan mencakup area yang relatif luas. Kita bisa memperoleh berbagai jenis citra satelit untuk beragam tujuan pemakaian karena

(34)

saat ini terdapat bermacam-macam satelit di ruang angkasa dengan spesifikasinya masing-masing (GIS Konsorsium, 2007).

Satelit Landsat 7 ETM+ merupakan satelit milik National Atmospheric and Space Administration (NASA) Amerika yang sistem informasinya dilakukan oleh pihak swasta yaitu EOSAT (Earth Observation Satellite). Landsat 7 ETM+

(Gambar 7) diluncurkan pada tanggal 15 April 1999. Konfigurasi dasar satelit berbentuk kupu-kupu dengan tinggi ± tiga m, bergaris tengah 1.5 m dan panel matahari yang melintang kurang dari empat m (NASA, 2005).

Gambar 7. Konfigurasi Satelit Landsat 7 ETM+ (NASA, 2005)

Satelit Landsat 7 ETM+ merupakan satelit dengan orbit polar sun

synchronous yang memotong garis khatulistiwa ke arah selatan pada waktu lokal pukul 10.00 pagi dengan lebar sapuan 185 km dan resolusi spasial 30 x 30 m.

Khusus untuk band 6 resolusinya 60 x 60 m dan band 8 adalah 15x15 m. Satelit ini berada pada ketinggian 705 km dengan periode edar 99 menit dan resolusi temporalnya 16 hari (NASA, 2005). Sistem pada Landsat 7 ETM+ yang dirancang khusus untuk mengumpulkan energi pantulan elektromagnetik

(35)

dilakukan oleh saluran 1-5, saluran 7 dan saluran 8, sedangkan untuk memancarkan energi dilakukan oleh saluran 6 (Purwadhi, 2001).

Sensor Landsat 7 ETM+ mengkonversi energi pantulan matahari yang diterimanya menjadi suatu radians. Radians adalah fluks energi per satuan sudut ruang yang meninggalkan satu satuan area permukaan pada arah tertentu.

Nilai radians akan dikuantifikasi menjadi nilai kecerahan (brightness values) citra yang tersimpan dalam format digital. Citra satelit Landsat ETM 7+ merupakan citra multispektral sehingga untuk mendapat ketepatan interpretasi citra perlu dipilih saluran yang paling sesuai dengan bidang kajian keadaan ekosistem pesisir (BIOTROP Training and Information Center, 2005). Karakteristik dari Landsat 7 ETM+ selengkapnya disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Karakteristik citra Landsat 7 ETM+ (NASA, 2005)

Kanal Spektrum Resolusi spektral

(µm) Resolusi spasial pada nadir (m) 1 Sinar tampak violet-biru 0,45 – 0,52 30x30

2 Sinar tampak hijau 0,52 – 0,60 30x30

3 Sinar tampak merah 0,63 – 0,69 30x30

4 Infra merah dekat 0,79 - 0,90 30x30

5 Infra merah menengah 1.55-1.75 30x30

6 Infra merah termal 10.40-12.50 60x60

7 Infra merah jauh 2.08-2.35 30x30

8 Pankromatik 0.52-0.90 15x15

Teknologi sensor

Scanning mirror spectrometer

Altitude 705 km

Swath widht (lebar sapuan)

185 km

Resolusi temporal 16 hari Resolusi

radiometrik

Best 8 of 9 bits

Perekaman data 250 image per hari pada 31.450 km2 Orbit dan inklinasi Sun synchronus; 98,20

Peluncuran/operasi 15-April-1999/ 6 tahun

Pada penelitian ini digunakan juga data Digital Elevation Model Shuttle Radar Topographic Mission ( DEM SRTM). Shuttle Radar Topographic Mission

(36)

yang diluncurkan tanggal 11 Februari 2000 merupakan proyek internasional yang dipelopori oleh National Geospatial-Intelegence Agency (NGA) dan National Atmospheric and Space Administration (NASA). SRTM digunakan untuk menghasilkan data topografi digital dan elevasi dari 80% permukaan daratan bumi melalui sensor radar (Hajar, 2007).

Permukaan bumi yang direkam oleh sensor radar tersebut berada pada 600 LU sampai 560 LS. Keunggulan sistem radar SRTM adalah dapat beroperasi siang dan malam karena menggunakan sensor aktif yang tidak tergantung oleh cahaya matahari dan tidak terpengaruh oleh cuaca dan awan. Data hasil

rekaman sensor ini adalah data Digital Elevation Model atau DEM (USGS, 2007).

Data DEM merupakan data digital berformat raster yang memiliki informasi koordinat posisi (x,y) dan elevasi (z) pada setiap pixel atau sel. Data DEM dapat menggambarkan kondisi topografi wilayah penelitian. Hasil pengolahan data DEM harus didukung dengan survei lapang sehingga kenampakan topografi wilayah yang direkam akurat. Akurasi data DEM sangat tergantung pada sumber titik tinggi dan resolusi spasial. Resolusi spasial DEM pada penelitian ini adalah 90 x 90 m. Semakin tinggi resolusi spasial maka semakin tinggi pula akurasi data yang diperoleh. Data DEM merupakan salah satu data penting dalam analisis daerah rawan bencana tsunami (Hajar, 2007).

2.3.2 Aplikasi Cell Based Modelling untuk kajian resiko tsunami 2.3.2.1 Sistem informasi geografis (SIG)

Sistem informasi geografis (SIG) adalah kumpulan yang terorganisir dari perangkat keras, perangkat lunak, data geografi dan personal yang dirancang secara efisien untuk memperoleh, menyimpan, memperbaharui, memanipulasi, menganalisis dan menyajikan semua bentuk informasi yang berefensi geografis (Prahasta, 2002).

(37)

Sebagian besar data yang ditangani dalam SIG merupakan data spasial yaitu sebuah data yang berorientasi geografis, memiliki sistem koordinat tertentu sebagai dasar referensinya dan mempunyai dua bagian penting yang

membuatnya berbeda dari data lain, yaitu informasi lokasi (spasial) dan informasi deskriptif (atribute) (GIS Konsorsium, 2007).

Data spasial ini dapat dibagi menjadi dua format yaitu data raster dan data vektor. Data vektor merupakan objek geografis yang direpresentasikan ke dalam kumpulan garis, area (daerah yang dibatasi oleh garis yang berawal dan berakhir pada titik yang sama), titik dan nodes (merupakan titik perpotongan antara dua buah garis). Pada data raster, obyek geografis direpresentasikan sebagai struktur sel grid yang disebut dengan pixel (picture element). Perbandingan visualisasi antara data raster dan vektordisajikan pada Gambar 8 (GIS Konsorsium, 2007).

Data Vektor Data Raster

Gambar 8. Perbandingan antara data raster dan data vektor

Keuntungan data vektor adalah ketepatan dalam merepresentasikan fitur titik, batasan dan garis lurus, akan tetapi, tidak mampu dalam mengakomodasi perubahan gradual. Data raster sangat baik untuk merepresentasikan batas- batas yang berubah secara gradual, seperti jenis tanah dan vegetasi.

Keterbatasan utama dari data raster adalah besarnya ukuran file; semakin tinggi

(38)

resolusi gridnya semakin besar pula ukuran filenya dan sangat tergantung pada kapasistas perangkat keras yang tersedia (GIS Konsorsium, 2007).

2.3.2.2 Pemodelan spasial dengan Cell Based Modelling

Salah satu analisis spasial dalam SIG yang saat ini banyak digunakan untuk memodelkan keadaan di alam adalah Cell Based Modelling (ESRI, 2001).

Secara umum suatu model mempresentasikan kekompleksitasan dan interaksi di alam dengan suatu penyederhanaan. Permodelan tersebut akan menolong kita untuk mengerti, menggambarkan, dan memprediksi banyak hal di alam. Ada dua model yang dikenal dalam analisis spasial, yaitu model yang merepresentasikan objek atau kenampakan di alam (representation models) dan model yang mensimulasikan proses di alam (process models). Keseluruhan model tersebut akan lebih efisien bila dilakukan pada data raster (ESRI, 2001).

Analisis spasial pada data raster ini disebut metode Cell Based Modelling karena bekerja berdasarkan sel atau piksel. Operasi piksel pada Cell Based Modeling dibagi menjadi lima kelompok (ESRI, 2001) :

1. Local Function adalah operasi piksel yang hanya melibatkan satu sel.

Nilai piksel output ditentukan oleh satu piksel input.

2. Focal Function adalah operasi piksel yang hanya melibatkan beberapa sel terdekat.

3. Zonal Function adalah operasi piksel yang melibatkan suatu kelompok sel yang memiliki nilai atau keterangan yang sama.

4. Global Function yang melibatkan keseluruhan sel dalam data raster dan gabungan antara keempat kelompok tersebut.

5. Application Function adalah gabungan dari keempat operasi di atas yang meliputi Local Function, Focal Function, Zonal Function dan Global Function.

(39)

Ilustrasi dari keempat operasi Cell Based Modeling dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Ilustrasi operasi piksel (Sumber : ESRI, 2002)

Metode Cell Based Modelling memiliki beberapa keunggulan. Menurut Meaden dan Chi (1996), analisis overlay, pembuatan jarak dan pengkelasan parameter lebih mudah dilakukan secara cepat dan teratur pada data raster.

Keunggulan lain yaitu struktur data raster lebih sederhana sehingga

memudahkan dalam pemodelan dan analisis, kompatibel dengan data satelit serta memiliki variabilitas spasial yang tinggi dalam merepresentasikan suatu kondisi di alam. Metode ini juga memiliki beberapa kelemahan, yaitu diantaranya membutuhkan space komputer yang besar dan secara spasial memiliki tampilan yang kurang estetik karena berupa data raster yang berbentuk sel (ESRI, 2001).

(40)

2.4. Keadaan umum lokasi penelitian

Kabupaten Sikka adalah salah satu kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan ibu kotanya adalah Maumere. Secara geografis Kabupaten Sikka terletak antara 08022'- 08050' LS dan 121055'40"- 122041'’30" BT.

Secara administrasi Kabupaten Sikka berbatasan dengan Laut Flores di sebelah utara, Kabupaten Flores Timur di timur, Laut Sawu di sebelah selatan dan Kabupaten Ende di sebelah barat. Luas wilayah Kabupaten Sikka adalah 2.253,24 km2dengan rincian luas wilayah daratan adalah 1.731, 91 km2yang terdiri dari daratan di Pulau Flores seluas 1.618,89 km2dan daratan pulau-pulau kecil seluas 113,02 km2; luas laut 521.33 km2dan panjang garis pantai adalah 379 km (Poling, 2005).

Penduduk Kabupaten Sikka berjumlah sekitar 300.000 jiwa dan tersebar di 12 kecamatan. Kawasan berpenduduk padat adalah di kawasan utara yang berbatasan dengan Laut Flores, sedang kawasan selatan yang berbatasan dengan Laut Sawu atau Lautan Hindia berpenduduk jarang. Konsentrasi penduduk perkotaan ada di Kota Maumere (Kecamatan Alok) dan kawasan Geliting di Kewapante (Poling, 2005).

Kondisi topografis Kabupaten Sikka secara umum merupakan daerah perbukitan. Topografis daerah didominasi oleh wilayah dengan ketinggian >500 m, yakni 42,91% dari luas wilayah daratan. Kondisi kemiringan tanah (lereng) sangat bervariasi, berkisar dari 0 s/d >40% dan didominasi oleh kemiringan tanah yang lebih besar 40% dengan luas 81,641 Ha (Poling, 2005).

Pada 12 Desember 1992 Maumere dilanda gempa tsunami 7,8 SR (USGS, 2007) dan mengakibatkan kerusakan harta benda dan lebih dari 2000 penduduk meninggal dunia. Gempa tsunami tersebut disebabkan oleh aktivitas sesar busur belakang yang terletak di sisi utara Maumere, yakni Laut Flores (Poling, 2005).

(41)

3. METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan lokasi penelitian

Lokasi penelitian terletak di Kabupaten Sikka, Propinsi Nusa Tenggara Timur yang terletak antara 08º22'-08º50' Lintang Selatan dan 121º55'40"-122º41'30º Bujur Timur (Gambar 10). Pada penelitian ini, fokus daerah penelitian adalah daerah Kabupaten Sikka yang berada pada gugus Pulau Flores (hillshade).

Gambar 10. Peta daerah penelitian

Penelitian ini dimulai dengan penyusunan basis data awal pada bulan Agustus 2007, survei lapang bulan Oktober 2007 dan pengolahan citra, penyusunan basis data akhir serta pengolahan data spasial sampai bulan

November 2008 yang dilakukan di Laboratorium Komputer, Departemen Ilmu dan

(42)

Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Alat dan bahan 3.2.1 Alat

Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Perangkat lunak ER Mapper 6.4 2. Perangkat lunak ArcView 3.2 3. Perangkat lunak ArcGIS 9.1

4. Perangkat lunak Global Mapperv10.00 5. Perangkat lunak Golden Software Surfer 8.0 6. Perangkat lunak Mapsource 6.3

7. Perangkat lunak Slava ITBD (Integrated Tsunami Data Base) 2006 8. GPS (Global Positionig System) Garmin eTrex v3.0

9. Kamera digital untuk dokumentasi di lapangan

3.2.2 Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu :

1. Citra Landsat 7/ETM+ Kabupaten Sikka akuisisi tanggal 27 September 2001 dan 27 Oktober 2006 path/row 112/66 BTIC BIOTROP

2. Peta batimetri Kab.Sikka 1 : 200.000 tahun 2001 dari DISHIDROS TNI AL 3. Peta rupabumi Kab.Sikka 1 : 25000 tahun 2006 dari Bakosurtanal

4. Data tinggi run up Tsunami Flores 1992 dari BPPT

5. Data seismik Kab.Sikka tahun 1904-2007 dari USGS dan BMG 6. Data kependudukan dari BPS Kab.Sikka tahun 2006

7. Data spasial Kab.Sikka dari Bappeda Sikka tahun 2006

8. Data Digital Elevation Model (DEM) SRTM dari NASA tahun 2005 yang didapat dari : http://srtm.csi.cgiar.org/SELECTION/inputCoord.asp

(43)

3.3 Survei lapang

Survei lapang yang dilakukan pada tanggal 20-26 Oktober 2007 bertujuan untuk mengetahui kondisi daerah penelitian sekaligus verifikasi pemetaan.

Survei dilakukan pada 10 daerah pesisir utara Kabupaten Sikka. Posisi dan koordinat titik pengamatan selengkapnya disajikan pada Lampiran 1.

Titik pengamatan tersebut merupakan daerah bekas tsunami dengan tingkat kerugian materi dan korban jiwa yang cukup besar akibat Tsunami 1992.

Pengamatan yang dilakukan waktu survei lapang adalah melihat dan melakukan pengamatan terhadap kondisi pemukiman pesisir, kondisi sarana prasarana penting, ekosistem mangrove dan kondisi perairan yang dapat dilihat pada Lampiran 2.

3.4 Metode penelitian

Pada penelitian ini dilakukan pengintegrasian data penginderaan jauh dan SIG. Alur penelitian ini meliputi input data (data citra, survei lapang dan data sekunder yang terkumpul), pemrosesan dan analisis. Selanjutnya dilakukan penyusunan basis data (baik spasial maupun non spasial) berdasarkan data yang terkumpul, lalu dibuat peta-peta tematik baik untuk parameter kerawanan dan parameter kerentanan. Keseluruhan parameter tersebut berformat raster dan kemudian dioverlay dengan menggunakan metode Weighted Overlay.

Selanjutnya dilakukan proses reklasifikasi untuk menentukan tingkat kelas resiko tsunami dengan menggunakan metode Cell Based Modelling seperti terlihat pada diagram alir penelitian (Gambar 11).

(44)

Diterima

Tidak Diterima

Gambar 11. Diagam alir penelitian

3.5 Pengolahan citra satelit

3.5.1 Pengolahan citra awal (Pre processing)

Langkah awal dalam pengolahan citra adalah melakukan penggabungan band dilanjutkan dengan pemotongan citra (cropping/subset) dengan tujuan untuk membatasi area penelitian. Setelah pemotongan citra, dilakukan proses pemulihan citra (image restoration) yang bertujuan untuk memulihkan data citra yang mengalami distorsi akibat proses-proses di atmosfer. Distorsi yang terjadi pada citra dapat dipulihkan dengan melakukan koreksi radiometrik dan koreksi geometrik.

Data kegempaan Mulai

Koreksi Radiometrik Koreksi Geometrik

Terumbu karang dan derivat Vegetasi

mangrove

Komposit citra

Data spasial Kab. Sikka

Cropping citra

Pengumpulan data

Citra Landsat 7/ETM 2006

Data Batimetri

Basis data spasial

Selesai Pemodelan spasial Cell Based Modelling Konsultasi

pakar

Peta tingkat resiko tsunami Verifikasi &

editing

Parameter resiko tsunami

(45)

Koreksi radiometrik dilakukan untuk menghilangkan faktor-faktor yang menurunkan kualitas citra. Metode koreksi radiometrik yang digunakan adalah penyesuaian histogram (histogram adjustment). Teknik ini didasarkan pada pengurangan nilai digital number sebesar bias dari masing-masing band. Nilai bias adalah nilai digital number minimum pada setiap band. Nilai bias

diasumsikan sama dengan besarnya pengaruh atmosfer terhadap gelombang cahaya.

Pada metode ini ditetapkan bahwa respon spektral terendah pada setiap band nilainya adalah nol, sesuai dengan bit coding sensor. Apabila nilai terendah pixel bukan nol, maka nilai penambah tersebut dianggap sebagai hamburan atmosfer. Oleh karena itu, dilakukan pengurangan nilai digital setiap pixel pada semua band sesuai dengan besarnya nilai penambah, sehingga nilai minimum pada semua band sama yaitu nol. Secara matematis, koreksi

pengaruh atmosfer dengan pengaturan histogram dapat dilihat pada Persamaan 3 berikut.

bias DN

DNijk(output terkoreksi)ijk (input asli)  ... (3)

dimana:

DN = Nilai digital number

i = Baris

j = Kolom

k = Input nilai

Bias = Nilai digital terendah

Selanjutnya dilakukan koreksi geometrik yang bertujuan untuk memperbaiki distorsi posisi atau letak objek agar mempunyai koordinat yang benar. Distorsi ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah variasi tinggi satelit, ketegakan dan kecepatan satelit (Lillesand dan Kiefer, 1990). Koreksi geometrik dilakukan dengan metode rektifikasi, yaitu menggunakan Ground Control Points (GCPs) dengan distribusi penyebaran titik lokasi harus merata.

(46)

Pada koreksi ini, perubahan posisi pixel juga mencakup perubahan informasi spektralnya. Untuk mengatasi hal ini maka diperlukan interpolasi nilai spektral selama transformasi geometri. Proses interpolasi ini disebut resampling.

Algoritma pada koreksi ini meliputi algoritma relokasi pixel sekaligus

algoritma interpolasi nilai spektral. Untuk relokasi pixel, algoritma berupa fungsi polynomial dan untuk interpolasi nilai spektral dipakai nearest neighbour karena tidak mengubah nilai spektral. Setelah rektifikasi akan diperoleh posisi citra yang sesuai dengan koordinat sebenarnya di bumi (real world coordinate system).

Citra Landsat yang digunakan pada penelitian ini sudah dikoreksi baik secara geometri maupun radiometrik. Akan tetapi, untuk keakuratan data dilakukan koreksi ulang terhadap citra tersebut.

3.5.2 Penajaman citra (Image Enhancement)

Proses penajaman citra dapat didefinisikan sebagai pemilihan manipulasi kontras kenampakan suatu citra sehingga informasi tersebut dapat lebih mudah diinterpretasikan untuk suatu tujuan tertentu. Penajaman citra bertujuan untuk meningkatkan informasi yang ada dalam citra dengan meningkatkan kekontrasan citra. Penajaman citra dilakukan dengan menggunakan komposit warna (colour composite) dan algoritma yang sesuai dengan objek yang ingin diperjelas informasinya. Pada penelitian ini penajaman citra dilakukan untuk mengetahui kondisi ekosistem pesisir.

3.5.2.1 Penajaman citra untuk terumbu karang

Terumbu karang merupakan ekosistem pesisir yang penting sebagai peredam energi gelombang tsunami. Pemetaan terumbu karang (Gambar 12) dilakukan dengan pendekatan algoritma Lyzenga (1978) yang dikenal dengan

”standart exponential attenuation model” yang sering digunakan dalam pemetaan-pemetaan terumbu karang (Engel, 1988 in Siregar et al., 1995).

(47)

Algoritma Lyzenga menggunakan band 1 dan band 2 karena kedua band ini diasumsikan memiliki penetrasi yang baik ke kolom air. Persamaan algoritma Lyzenga tersebut yaitu :

2 ln

* / 1

lnTM ki kj TM

Y   ... (4)

dimana :

Y = citra hasil ekstraksi TM1 = band 1 Landsat 7/ETM+

TM2 = band 2 Landsat 7/ETM+

ki/kj = koofisien atenuasi, yang diperoleh dari :

= a a21 dengan,

2 1 var

* 2

2 1

TM TM Co

VarTM VarTM

a  ...………. (5)

Gambar 12. Diagram alir pengolahan citra untuk pemetaan ekosistem pesisir

Citra Landsat 7/ETM+

2006 (corrected and cropped)

Citra hasil penerapan algoritma

Peta tematik terumbu karang dan derivatnya

Komposit 421

Training area

Hitung nilai varian band 1 dan band 2

Hitung covar band 1/2

Hitung nilai a

Hitung nilai ki/kj

Penajaman dengan algoritma Lyzenga : Ln TM1+ki/kj ln TM2

Klasifikasi

Training area Komposit 543

Citra klasifikasi supervised

Peta tematik vegetasi mangrove Vegetasi

mangrove

(48)

3.5.2.2 Penajaman citra untuk ekosistem mangrove

Pada penelitian ini dilakukan juga pemetaan ekosistem mangrove, karena mangove merupakan vegetasi pantai yang berperan penting dalam meredam energi gelombang tsunami. Pada komposit citra 453, vegetasi mangrove akan terlihat berwarna merah. Hal ini karena klorofil dalam daun mangrove menyerap dengan kuat sinar merah dan memantulkan kuat sinar infra merah (Earth

Observatory NASA, 2007). Setelah dilakukan training area, terbentuk kelas mangrove. Berdasarkan pengolahan data dapat diketahui sebaran dan juga luasan mangrove di Kabupaten Sikka.

Selain data terumbu karang dan mangrove, secara visual pada citra dengan komposit citra 321 bisa didapatkan juga data keberadaan pulau-pulau kecil penghalang. Ekosistem pesisir dan pulau penghalang merupakan data pendukung penting dalam mengurangi tingkat resiko tsunami di suatu daerah.

3.6 Klasifikasi citra

Citra yang telah ditransformasikan dengan algoritma yang sesuai kemudian diklasifikasi. Klasifikasi merupakan suatu proses pengelompokkan nilai

reflektansi dari setiap objek ke dalam kelas-kelas tertentu sehingga mudah dikenali. Pada penelitian ini klasifikasi yang digunakan untuk terumbu karang dan mangrove adalah klasifikasi supervised dengan metode maximum likehood karena metode ini mampu menganalisis fungsi peluang multidimensional untuk menentukan suatu pixel tertentu lebih berpeluang masuk ke dalam suatu kelas tertentu (Pasek, 2007). Tahap ekstraksi keseluruhan data citra dapat dilihat secara lengkap pada Gambar 12.

(49)

3.7 Metode penentuan tingkat resiko tsunami 3.7.1 Penentuan kerawanan tsunami

Penentuan tingkat kerawanan tsunami dilakukan dengan tujuan mengetahui daerah-daerah yang berpotensi terhadap bencana tsunami. Penentuan tingkat kerawanan dilakukan dengan dua tahap yaitu : (1) membuat peta seismisitas dan (2) membuat peta rawan tsunami.

3.7.1.1 Pemetaan Seismisitas

Peta seismisitas adalah peta yang menggambarkan tectonic setting plate dan sebaran titik-titik gempa di suatu wilayah. Peta ini merupakan peta pendukung penting untuk melihat sebaran titik gempa dan tsunami yang pernah terjadi di suatu wilayah, dalam hal ini adalah Kabupaten Sikka.

Pada penelitian ini, data yang dipakai untuk membuat peta seismisitas adalah data kegempaan dari BMG selama 107 tahun terakhir. Berdasarkan kumpulan data tersebut, kemudian dipetakan titik-titik gempa dan plate tectonic setting sehingga dapat diketahui dan dianalisis sebaran pusat-pusat gempa bumi dan tsunami yang pernah terjadi di Kabupaten Sikka. Seismisitas merupakan parameter penting dalam pemetaan resiko tsunami karena merupakan

preliminary analysis daerah-daerah yang berpotensi terkena tsunami serta untuk mengetahui hubungan antara tektonik setting, kegempaan dan kejadian tsunami.

3.7.1.2 Pemetaan daerah rawan tsunami

Untuk analisis tingkat kerawanan tsunami harus dilakukan pemetaan daerah rawan tsunami yaitu dengan memetakan data tinggi run up tsunami. Peta run up merupakan parameter penting dalam menentukan tingkat resiko tsunami. Peta run up yang ideal adalah peta run up yang ditunjang dengan data lapang yang lengkap dan data hasil pemodelan. Akan tetapi, pada penelitian ini data run up yang digunakan adalah hanya dari data survei lapang tsunami Flores tahun 1992

Referensi

Dokumen terkait

Korelasi antara Imunoekspresi LMP-1 Virus Epstein-Barr dengan Respon Kemoterapi CHOP pada Limfoma Maligna Non-Hodgkin Tipe Diffuse Large B Cell.. Inas Susanti,

Varietas cabai yang digunakan adalah TM 99 memiliki umur simpan 5 - 7 hari di dalam suhu ruang, memiiki warna buah muda hijau tua dan warna buah tua yaitu merah.. Adapun tebal

Berdasarkan hasil evaluasi kestabilan kebaikan koleksi inti dalam pemilihan koleksi inti pada pengambilan contoh acak berlapis sebanyak 10% dari seluruh koleksi

Pendekatan Picture Exchange Communication System (PECS) terhadap kemampuan bicara dan komunikasi program kebutuhan khusus pada siswa autis, dengan perhitungan

Menggabungkan pengetahuan dan kemahiran menyelesaikan masalah harian yang melibatkan nilai wang dalam situasi baharu dengan mengikut cara yang betul, kreatif dan boleh

Etika merupakan suatu ilmu yang membahas perbuatan baik dan buruk manusia sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia.Dan etika profesi terdapat suatu kesadaran

Hasil analisis jalur menunjukkan rata-rata persentase alokasi waktu kegiatan mahasiswa dari yang paling besar hingga yang paling kecil pengaruhnya terhadap

Perbaikan yang direkomendasikan dalam melakukan revitalisasi SIA pada siklus pendapatan Susu Sapi Mulia adalah penempatan orang yang berbeda pada bagian order entry, billing,