• Tidak ada hasil yang ditemukan

Metode penentuan tingkat resiko tsunami .1 Penentuan kerawanan tsunami.1 Penentuan kerawanan tsunami

3. METODE PENELITIAN

3.7 Metode penentuan tingkat resiko tsunami .1 Penentuan kerawanan tsunami.1 Penentuan kerawanan tsunami

Penentuan tingkat kerawanan tsunami dilakukan dengan tujuan mengetahui daerah-daerah yang berpotensi terhadap bencana tsunami. Penentuan tingkat kerawanan dilakukan dengan dua tahap yaitu : (1) membuat peta seismisitas dan (2) membuat peta rawan tsunami.

3.7.1.1 Pemetaan Seismisitas

Peta seismisitas adalah peta yang menggambarkan tectonic setting plate dan sebaran titik-titik gempa di suatu wilayah. Peta ini merupakan peta pendukung penting untuk melihat sebaran titik gempa dan tsunami yang pernah terjadi di suatu wilayah, dalam hal ini adalah Kabupaten Sikka.

Pada penelitian ini, data yang dipakai untuk membuat peta seismisitas adalah data kegempaan dari BMG selama 107 tahun terakhir. Berdasarkan kumpulan data tersebut, kemudian dipetakan titik-titik gempa dan plate tectonic setting sehingga dapat diketahui dan dianalisis sebaran pusat-pusat gempa bumi dan tsunami yang pernah terjadi di Kabupaten Sikka. Seismisitas merupakan parameter penting dalam pemetaan resiko tsunami karena merupakan

preliminary analysis daerah-daerah yang berpotensi terkena tsunami serta untuk mengetahui hubungan antara tektonik setting, kegempaan dan kejadian tsunami.

3.7.1.2 Pemetaan daerah rawan tsunami

Untuk analisis tingkat kerawanan tsunami harus dilakukan pemetaan daerah rawan tsunami yaitu dengan memetakan data tinggi run up tsunami. Peta run up merupakan parameter penting dalam menentukan tingkat resiko tsunami. Peta run up yang ideal adalah peta run up yang ditunjang dengan data lapang yang lengkap dan data hasil pemodelan. Akan tetapi, pada penelitian ini data run up yang digunakan adalah hanya dari data survei lapang tsunami Flores tahun 1992

dari BPPT (Lampiran 3). Data tersebut juga sudah dibandingkan dengan data run up dari BMG dan DKP.

Data run up yang diperoleh adalah data titik ketinggian tsunami. Untuk mendapatkan data spasial run up, maka harus dibuat poligon daerah run up, yang nantinya dapat dikelaskan dan dioverlay untuk mendapatkan peta resiko tsunami.

Adapun pengolahan data run up dilakukan secara sebagai berikut.

- Buat data spasial run up yaitu berupa point ketinggian run up tsunami.

- Buat poligon area dengan ketinggian topografi 10 m dari permukaan laut (sesuai dengan tinggi run up maksimum tsunami di Sikka, yaitu 10 m) - Display dan autolabel data titik run up pada poligon area tersebut,

sehingga titik-titik run up akan menempel di sepanjang garis pantai daerah penelitian

- Antara dua titik run up tarik garis sejajar yang menghubungkan kedua titik tersebut dan tentukan batas tengah dari kedua titik run up tersebut.

- Selanjutnya, tarik garis tegak lurus ke arah darat sehingga terbentuk poligon daerah run up tsunami

- Untuk mendapatkan data run up yang lebih baik, pada waktu membuat poligon run up, dioverlay dengan data DEM sehingga bisa dilihat daerah yang flat dan daerah yang tinggi. Ketinggian data di DEM dapat dilihat dengan menggunakan tools identify.

- Poligon run up tersebut di atas kemudian diberi skor dan dikonvert ke raster dan di reklasifikasi sesuai matriks. Sehingga akhirnya dapat diperoleh data spasial run up tsunami.

Menurut Iida (1963) hubungan tingkat kerusakan dengan tinggi run up disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Hubungan tingkat kerusakan dengan tinggi run up tsunami No. Tinggi run up (m) Daya rusak Skala

1 >16 Sangat besar 5

2 6-16 Besar 4

3 2-6 Menengah 3

4 0.75-2 Kecil 2

5 <0.75 Sangat kecil 1

Klasifikasi di atas adalah acuan yang digunakan untuk mengkelaskan tingkat kerawanan tsunami. Pada pembuatan peta run up di atas memang tidak

menggambarkan secara detail, kondisi run up yang sebenarnya. Akan tetapi, setelah dioverlay dengan algoritma, baru menunjukkan suatu peta resiko tsunami yang komprehensif.

3.7.2 Penentuan tingkat kerentanan terhadap tsunami

Analisis kerentanan yang dikaji pada penelitian ini adalah kerentanan lingkungan, infrastruktur dan kerentanan sosial kependudukan. Akan tetapi, parameter yang dikelaskan dalam matriks, hanya parameter kerentanan lingkungan karena dapat dispasialkan. Sedangkan parameter kerentanan infrastruktur dan sosial kependudukan, tidak dikelaskan dalam matriks tetapi akan dioverlay dengan peta resiko tsunami untuk mendapatkan peta resiko kependudukan terhadap tsunami dan peta resiko infrastruktur terhadap tsunami.

Parameter yang digunakan untuk menentukan tingkat kerentanan lingkungan terhadap tsunami adalah elevasi daratan, slope (kemiringan), morfometri pantai, penggunaan lahan, jarak dari garis pantai dan jarak dari sungai.

Dasar pengambilan parameter tersebut ditentukan berdasarkan penelitian sebelumnya dengan melihat parameter penentu tingkat kerentanan di suatu wilayah yang kemudian dimodifikasi sesuai dengan konsultasi pakar dan pembimbing berdasarkan kondisi daerah penelitian. Beberapa hasil penelitian terdahulu yang dijadikan acuan yaitu penelitian yang pernah dilakukan oleh

Bakosurtanal dan Pusat Studi Bencana Alam UGM (PSBA UGM) (2002);

Papathoma et al., (2003), Diposaptono dan Budiman (2005), dan Agung (2006).

Setiap parameter memilki kontribusi yang berbeda terhadap tingkat kerentanan dan resiko bencana tsunami. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dilakukan sistem penentuan bobot dan skor untuk masing-masing parameter sesuai dengan besarnya pengaruh parameter tersebut. Parameter yang dianggap memiliki pengaruh paling besar terhadap resiko tsunami, diberikan bobot paling besar. Jadi, semakin besar bobot parameter pemicu resiko bencana tsunami, semakin besar kontribusinya terhadap resiko tsunami dan sebaliknya. Penjelasan masing-masing parameter adalah sebagai berikut.

1. Elevasi daratan

Elevasi merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi resiko tsunami yang akan terjadi. Daerah dengan elevasi rendah, akan mudah dihantam gelombang tsunami, dan sebaliknya. Kelas ketinggian daratan menurut Bappeda Kab.Sikka (2003) adalah 0-25 m, 25-100 m, 100-500 m, 500-1000 m, dan > 1000 m. Akan tetapi, dengan melihat data run up maksimum yang terjadi waktu tsunami Flores adalah 26.2 m dan untuk Kabupatan Sikka adalah 10 m serta untuk mempermudah dalam pengolahan dan analisis data raster (karena cakupan daerah yang luas), maka dalam penelitian ini dilakukan pengkelasan ulang elevasi sebagai berikut : ≤10 m;

10-25 m; 25-50 m; 50-100 m dan >100 m.

2. Kemiringan

Kemiringan daratan akan mempengaruhi tinggi run up tsunami di wilayah pesisir. Semakin besar kemiringan daratan (curam), maka tinggi run up semakin rendah, dan sebaliknya. Pengkelasan serta pembobotan kemiringan daratan dalam penelitian ini mengacu pada pembagian

kemiringan wilayah oleh Bappeda Kabupaten Sikka yang kemudian dimodifikasi yaitu 10%; >10-20%; >20-30%; >30-40%; dan >40%.

3. Morfometri pantai

Morfologi pantai sangat berpengaruh besar terhadap tingkat energi tsunami yang akan terhempas ke daratan. Tipe pantai teluk akan mengalami amplifikasi energi gelombang dan tipe tanjung akan mereduksi energi gelombang. Pada penelitian ini digunakan lima kelas tipe morfometri pantai hasil modifikasi berdasarkan penelitian dari Bakosurtanal-PSBA UGM (2002), konsultasi pakar dan pembimbing yaitu tipe teluk V, tipe teluk U, tipe tanjung, tipe pantai lurus dan non teluk atau tanjung.

4. Penggunaan lahan (landuse)

Penggunaan lahan merupakan salah satu parameter yang mempengaruhi tingkat resiko tsunami. Tsunami dapat menyebabkan perubahan tata guna lahan, contohnya Tsunami Aceh 2004 telah menyebabkan beberapa wilayah pemukiman maupun lahan potensial, sekarang berubah menjadi lahan kosong. Oleh karena itu, perlu penataan ruang dengan baik dalam rangka mengurangi resiko tsunami. Acuan penggunaan lahan dalam penelitian ini dibagi berdasarkan klasifikasi Bakosurtanal-PBSA UGM (2002) dan Diposaptono dan Budiman (2006) serta berdasarkan konsultasi pakar.

Pengkelasan untuk landuse dapat dilihat pada matriks resiko tsunami.

5. Jarak dari garis pantai

Tsunami merupakan fenomena alam yang bersifat merusak, sehingga perlu memperhatikan adanya kawasan penyangga (buffer zone). Oleh karena itu, pembangunan kawasan untuk pemukiman dan pusat-pusat kegiatan penting lainnya harus memperhatikan jarak dari garis pantai guna mengurangi resiko tsunami. Acuan dasar untuk pembuatan jarak (buffer) merujuk pada UU RI No.27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil

yaitu sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 (seratus) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat. Pada penelitian ini jarak dari garis pantai diklasifikasi menjadi lima kelas yaitu <200 m; 200-500 m; 500-1000; 1000-1500 m dan >1500 m.

6. Jarak dari sungai

Jarak dari sungai merupakan parameter yang mempengaruhi tingkat resiko tsunami. Tsunami yang memasuki kanal banjir/sungai akan mengakibatkan kerusakan yang lebih besar karena adanya pemusatan energi tsunami sehingga semakin mendorong tsunami masuk lebih jauh ke daratan.

Contohnya Tsunami California yang melewati kanal-kanal pengendali banjir dapat masuk ke daratan sampai 1 mil (1,802 km). Oleh karena itu, perlu dilakukan buffer dari sungai. Pada penelitian ini buffer dari sungai dilakukan pada jarak <100 m; 100-200 m; 200-300 m; 300-500 m; dan >500 m.