• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Koefisien Determinasi

Hipotesis merupakan jawaban sementara atas suatu rumusan masalah yang masih harus dibuktikan kebenarannya secara empiris, sistematis dan

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

3. Analisis Jalur

5.3.4. Analisis Koefisien Determinasi

Analisis koefisien determinasi dilakukan untuk mendeteksi kekuatan variabel lain didalam menjelaskan variabel terikatnya. Variabel lain dimaksud dalam penelitian ini adalah variabel – variabel diluar desentralisasi fiskal dan fiskal stress. Hasil analisis koefisien determinasi ditunjukkan pada Tabel 5.1.4 dan 5.16. dibawah ini.

Tabel 5.14. Hasil Analisis Koefisien Determinasi Pengaruh Desentralisasi Fiskal dan Fiskal Stress terhadap Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota se-Propinsi Aceh

R Square

Adjusted R Square

.357a .128 .110

Sumber : Tabel 5.7.

Tabel 5.15. Hasil Analisis Koefisien Determinasi Pengaruh Desentralisasi Fiskal dan Fiskal Stress terhadap Kinerja Keuangan Kabupaten/Kota se- Propinsi Aceh

R Square

Adjusted R Square

.333a .111 .093

Sumber : Tabel 5.7.

Tabel 5.14. di atas menunjukkan bahwa variabel desentralisasi fiscal dan fiscal stress memiliki kekuatan sebesar 11.00% didalam menjelaskan pertumbuhan ekonomi, sedangkan sisanya sebesar 89.00% lagi, pertumbuhan ekonomi dijelaskan oleh variabel lain diluar variabel desentralisasi fiskal dan fiscal stress. Tabel 5.15. menunjukkan bahwa variabel desentralisasi fiskal dan fiscal stress memiliki kekuatan sebesar 9.30% didalam

menjelaskan kinerja keuangan, sedangkan sisanya sebesar 90.70% lagi, kinerja keuangan dijelaskan oleh variabel lain diluar variabel desentralisasi fiskal dan fiscal stress.

5.4. Pembahasan

Pembicaraan indikator makro ekonomi : pertumbuhan ekonomi tidak henti-hentinya menarik dibicarakan dan diteliti, terutama penelitian – penelitian bidang sektor publik. Todaro (2003) pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan kapasitas dalam jangka panjang dari negara bersangkutan untuk menyediakan berbagai barang ekonomi kepada penduduknya. Kenaikan kapasitas ditentukan oleh salah satunya kemajuan atau penyesuaian institusional terhadap tuntutan keadaan yang ada.

Berbicara tentang institusional dalam konteks sektor publik, dalam hal ini negara ataupun daerah, maka tidak terlepas dari peran serta Pemerintahan suatu Negara sebagai pengatur Kebijaksanaan dan pembuat Undang – Undang. Menyikapi fenomena ini, pada tahun 1999 Pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang – Undang No. 22 dan Undang – Undang No. 25 tentang Pemerintah Daerah dan Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Selanjutnya pada tahun 2004, Pemerintah kembali menerbitkan UU No, 32 dan 34 Tahun 2004 sebagai pengganti kedua Undang – Undang tersebut. Hakekat kedua Undang – Undang tersebut itu sendiri adalah adanya kewenangan daerah, bukan pendelegasian (Saragih 2003), dan desentralisasi fiskal merupakan implikasi langsung dari kewenangan/fungsi yang diserahkan kepada daerah yaitu menyangkut kebutuhan dana yang cukup besar, sehingga perlu diatur dan diupayakan

perimbangan keuangan secara vertikal antara pusat dan daerah yang dimaksudkan untuk membiayai tugas yang menjadi tanggung jawabnya.

Kebijakan ini menjadi tantangan sekaligus peluang bagi pemerintah daerah untuk mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif. Bagi daerah-daerah yang memiliki potensi sumber daya yang dapat diandalkan, baik sumber daya manusia maupun sumber daya alam, kebijakan ini disambut baik, mengingat lepasnya campur tangan pemerintah akan memberikan kesempatan yang lebih cepat untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan sebaliknya. Namun demikian, dalam prakteknya, cita – cita sebagaimana yang diamanahkan oleh desentralisasi fiskal tidak selamannya sejalan dengan pertumbuhan ekonomi. Disisi lain bagi beberapa daerah, otonomi bisa jadi menimbulkan persoalan tersendiri mengingat adanya tuntutan untuk meningkatkan kemandirian daerah. Daerah mengalami peningkatan tekanan fiskal (fiscal stress) yang lebih tinggi dibanding era sebelum otonomi. Daerah dituntut untuk mengoptimalkan setiap potensi maupun kapasitas fiskalnya dalam rangka untuk mengurangi tingkat ketergantungan terhadap pemerintah pusat. Seperti, Mello dalam Wibowo (2008) dalam penelitiannya menemukan desentralisasi mendorong ketidakseimbangan fiskal. Davoodi dan Zou (1998) dengan data panel 46 negara berkembang dan maju pada 1970-1989 menemukan desentralisasi menyebabkan pertumbuhan ekonomi rendah, juga pada studi Xie et. al. (1999). Untuk Indonesia, Swasono (2005) menemukan dampak negatif desentralisasi terhadap pertumbuhan ekonomi.

Penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini juga membuktikan kembali bahwa desentralisasi fiskal berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi Kabupaten/Kota se-Propinsi Aceh. Hasil penelitian juga memberikan bukti bahwa fiscal stress berpengaruh negatif signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Kabupaten/Kota se-Propinsi Aceh.

Davoodi dan Zou (1998) mengemukakan bahwa terdapat beberapa faktor yang menyebabkan desentralisasi fiskal dalam beberapa hal menjadi kurang menguntungkan bagi pembangunan. Faktor tersebut antara lain komposisi pengeluaran pemerintah, penetapan pendapatan yang kurang tepat oleh pemerintah daerah, keuntungan efisiensi desentralisasi fiskal yang kurang materiil di negara-negara berkembang dan ketidakcakapan aparatur daerah. Shamsub & Akoto (2004) menyebutkan salah satu penyebab timbulnya fiscal stress adalah kondisi ekonomi seperti pertumbuhan yang menurun dan resesi.

Fenomena efek negatif desentralisasi fiskal di Propinsi Aceh yang terungkap dalam penelitian ini dapat dijelaskan dengan dua argumen berikut. Pertama, kompetensi dan kapasitas pemimpin daerah yang kurang dapat mengakomodir preferensi dan kebutuhan masyarakat, sehingga penetapan sumber-sumber penerimaan daerah menjadi blunder bagi pembangunan. Lewis (2003) mengungkapkan bahwa retribusi daerah yang dipungut oleh beberapa Pemda terkait dengan pelayanan publik, ternyata merupakan pajak tersembunyi. Artinya, retribusi yang dikenakan sebenarnya tidak secara langsung terkait dengan manfaat yang diperoleh para pembayar retribusi, sehingga pungutan

pusat dalam menentukan pajak dan retribusi daerah bisa jadi menjadi faktor yang memperlambat pertumbuhan ekonomi daerah. Hal ini dapat terjadi karena pemerintah pusat tidak memiliki keunggulan komparatif dalam menyusun instrumen penghasilan daerah dibandingkan dengan Pemda. Sedangkan fiscal stress yang terjadi di Propinsi Aceh dikarenakan pemulihan ekonomi pasca Tsunami dan konflik separatisme.

Govindarajan dalam Lucyanda (2001), diperlukan upaya untuk merekonsiliasi ketidakkonsistenan hubungan desentralisasi fiskal dan tekanan fiskal dengan pertumbuhan ekonomi, yaitu dengan cara mengidentifikasikan faktor-faktor kondisional antara kedua variabel tersebut dengan pendekatan kontijensi. Penggunaan pendekatan kontijensi tersebut memungkinkan adanya variabel-variabel lain yang bertindak sebagai variabel moderating atau variabel intervening. Lebih lanjut Govindarajan dalam Lucyanda (2001) mengatakan pendekatan kontijensi berdimensi variabel intervening mempengaruhi hubungan antara desentralisasi fiskal dan fiscal stress dengan pertumbuhan ekonomi pada saat hubungan antara desentralisasi fiskal dan fiskal stress dengan pertumbuhan ekonomi tidak searah atau berbanding terbalik. Martinez dan Robert (2005) menemukan bahwa hubungan antara desentralisasi fiskal dengan pertumbuhan ekonomi belum tentu mempunyai dampak secara langsung. Desentralisasi fiskal dan fiskal stress akan mempunyai dampak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi yang tinggi bergantung pada kinerja keuangan.

Hamzah (2006) menemukan bahwa secara langsung antara kinerja keuangan terhadap pertumbuhan ekonomi menunjukkan rasio kemandirian1, rasio kemandirian2,

sedangkan rasio efektifitas tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Purnaninthesa (2006) membuktikan bahwa fiscal stress berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja keuangan pemerintah kabupaten/kota di Jawa Tengah.

Purnaninthesa (2006) menyimpulkan bahwa fiscal stress pada suatu daerah dapat menyebabkan motivasi bagi daerah untuk meningkatkan pendapatan asli daerahnya yang pada akhirnya akan bermuara pada bertumbuhnya perekonomian suatu daerah.

Hasil penelitian ini memberikan bukti bahwa desetralisasi fiskal berpengaruh negatif signifikan terhadap kinerja keuangan Kabupaten/Kota se-Propinsi Aceh. Temuan ini sejalan dengan Brodjonegoro dan Dartanto (2003) yang mengatakan bahwa setelah pelaksanaan desentralisasi fiskal kesenjangan keuangan antar wilayah semakin besar antar daerah di Indonesia. Sedangkan untuk fiscal stress, penelitian ini menemukan bahwa fiscal stress berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja keuangan Kabupaten/Kota se-Propinsi Aceh, hal ini sejalan dengan temuan Purnaninthesa (2006) menyimpulkan bahwa fiscal stress pada suatu daerah dapat menyebabkan motivasi bagi daerah untuk meningkatkan pendapatan asli daerahnya yang pada akhirnya akan bermuara pada bertumbuhnya perekonomian suatu daerah. Sedangkan kinerja keuangan berpengaruh positif terhadap Kabupaten/Kota se-Propinsi Aceh . Temuan ini memperkuat temuan Hamzah (2006) keuangan keuangan rasio efisiensi berpengaruh positif secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, sedangkan rasio efektifitas tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.

BAB VI

Dokumen terkait