• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAN RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN IBADAH

A. Analisis Konsep Ikhlas dalam Kitab Minhajul Abidin Karya Imam al- al-Ghazali

Imam al-Ghazali merupakan seorang ulama yang produktif dalam menulis. Selain itu beliau juga dapat dikatakan sebagai pemikir kompleks di zamannya. Bukan sekedar pemikir spesialis karena ia mampu melahirkan pemikiran dan karya yang cukup variatif. Berkat luasnya wawasan dan kecerdasan intelektualnya, beliau juga menuangkan ide-ide tentang pendidikan yang tertuang dalam kitab ayyuhal walad.

Al-ghazali merupakan ulama yang menekankan pemikirannya lebih bersifat olah spiritual dan kurang menekankan pada ilmu pengetahuan umum. Sebab Imam al-Ghazali sendiri merupakan tokoh sufi selepas dirinya menggandrungi dunia filsafat. Meskipun demikian pemikiran Imam al-Ghazali menurut penulis masih sangat relevan dengan kondisi sekarang khususnya terkait dengan pendidik dan peserta didik serta konsistensi antara teori dan praktik. Apalagi ilmu pengetahuan agama, teori hanya bersifat pengetahuan kognitif semata, kematangan spiritual dan amaliyah nyata adalah lebih berarti dan puncaknya adalah dipraktikkan.

51

Imam al-Ghazali memang lebih condong dalam ilmu tasawuf. Beliau mengupas banyak mengenainya. Bahasa yang halus terangkum dalam kitab-kitab yang beliau hasilkan. Akhlak lahir maupun batin serta hubungan kepada manusia maupun kepada Allah SWT selalu beliau utamakan. Seperti wasiat beliau kepada salah satu muridnya agar berpegang teguh pada keikhlasan. Wasiat ini beliau sampaikan hingga beliau wafat. Dapat diartikan bahwa Imam al-Ghazali mendahulukan dalam segala hal agar keikhlasan selalu dijaga.

Konsep ikhlas dalam kitab Minhajul Abidin merupakan niat sepenuhnya menjalankan karena ibadah kepada Allah SWT. Ikhlas yang dimaksudkan adalah sebagai bentuk pengabdian seorang hamba yang melaksanakan perintah dan kewajiban dari-Nya. Kitab Minhajul Abidin yang terdiri dari tujuh bab yang berisi tahapan-tahapan seorang hamba, dari tujuh bab tersebut, yang menyinggung mengenai ikhlas berada dalam bab muqaddimah, bab dua (tahapan taubat), bab lima (tahapan rintangan), bab enam (tahapan celaan), dan bab tujuh (tahapan bersyukur kepada Allah). Adapun konsep ikhlas yang dapat diringkas dalam bentuk tabel seperti dibawah ini:

No. Bab/Tahapan Konsep Ikhlas yang Tercantum 1. Bab

I/Muqaddimah (pembukaan)

ِخٌَِّّْٕا ِشْوِرَٚ ِص َلاْخِ ْلابِث َبِٙعْطَل ٌَِٝا َجَبَزْدبَف

Artinya:”Maka seorang hamba tersebut harus melewati godaan dengan menjaga

52

kemurnian dalam menjalankan ibadahnya.

Ia harus ikhlas dan dzikrul minnah”.

2. Bab I (tahapan ilmu dan ma‟rifat) Halaman 57

بٍَََّْٙعَر َْْا ُتِجَ٠ ِتٍَْمٌْا ِٝعبَسَِ َِٟ٘ ِٝزٌَّا ِخَِٕؽبَجٌْا ِداَدبَجِع

ًُِّوََّٛزٌا َِِٓ

ِصَلاْخِ ْلااَٚ ِخَثَّْٛزٌاَٚ ِشْجَّظٌاَٚبَػِّشٌاَٚ ِغْ١ْفَّزٌاٚ

Artinya: :”Ibadah yang samar yaitu lakunya hati yang

seorang hamba wajib mengerti seperti tawakkal, tafwid, ridho, sabar, taubat, dan ikhlas

3. Bab I (tahapan ilmu dan

ma‟rifat

halaman 71

ٌَُٗ ًََِّعٌا ُص َلاْخِ ْلاَا

Artinya: “Ikhlas beramal karena Alloh”

5. Bab V

(tahapan celaan)

ِداَسِّذَىٌُّْا َِِٓ ِيبَّْعَ ْلاا ُخَ١ِفْظَر ُص َلاْخِ ْلاَا

Artinya:”Ikhlas adalah membersihkan amalan dari sesuatu yang mengeruhkan amal”

Bab

I/Muqaddimah (pembukaan) Halaman 32

ِخٌَِّّْٕا ِشْوِرَٚ ِص َلاْخِ ْلابِث َبِٙعْطَل ٌَِٝا َجَبَزْدبَف

Artinya:”Maka seorang hamba tersebut harus melewati godaan dengan menjaga kemurnian dalam menjalankan

53 Bab V(tahapan celaan) halaman sembilan ratus delapan puluh satu

بٍَُِّٙو ِظُْٛظُذٌْا ُْبَ١ْسَِٔٚ ِخَجَلاَشٌُّْا َُاََٚد ُص َلاْخِ ْلاَا

Artinya:”Ikhlas itu membiasakan diri untuk ber-muraqqabah kepada Allah SWT, serta melupakan

kepentingan pribadinya” Bab II (tahapan taubat) halaman delapan puluh

ٍُِِْعٌْا ِتٍََؽ ِْٟف ِص َلاْخِ ْلاَا

Artinya:”Ikhlas dalam menuntut ilmu”

Dari beberapa ikhlas yang di paparkan oleh Imam al-Ghazali, maka menurut penulis, dalam kitab Minhajul Abidin ditemukan tiga konsep ikhlas yaitu Hubungan antara hamba dan Allah SWT dan hubungan antara sesama makhluk Allah, dan hungan diri sendiri dengan Allah SWT. Dalam ketiga konsep tersebut muncullah keikhlasan yang harus diterapkan menurut beberapa pendapat Imam al-Ghazali.

Beberapa analisis mengenai konsep ikhlas dalam kitab Minhajul Abidin karya Imam al-Ghazali:

54

a. Ikhlas taat kepada Allah SWT (dengan menerima takdir dan tidak menentang perintah-Nya)

Allah SWT memerintahkan hamba-Nya untuk taat dan patuh dengan apa yang Allah perintahkan. Allah SWT memerintah hamba-Nya bukan berrati menyusahkan. Allah memberi perintah agar hamba-Nya berada dalam jalan yang benar. Perintah yang Allah berikan untuk ikhlas dilakukan dan ditaati. Allah mencintai hamba-Nya yang bertaqwa kepada Allah tanpa dihalangi sifat-sifat batin yang buruk semisal sombong tidak mau taat kepada Allah.

Allah SWT mencintai hamba yang mau mengambil hikmah dalam setiap peristiwa yang dilalui. Dengan keyakinan dan keikhlasan menerima bahwa takdir dari Allah SWT adalah yang terbaik walau tidak sesuai dengan harapan hamba-Nya. Allah SWT menakdirkan kepada hamba memang tidak selalu sama dengan harapannya, namun pemberian Allah SWT menjadi ukuran yang pas dengan kemampuan dan kebutuhan hamba. Sebagai makhluk Allah yang berkualitas, manusia harus kuat, tahan, dan tabah menerima semua cobaan yang Allah takdirkan.

Jika takdir Allah yang diberikan kepada hamba kemudian hamba-Nya tidak ikhlas menerima, maka bukanlah kebahagian yang timbul dalam kehidupan. Kesedihan, kemarahan, keangkuhan, kesombongan, dan kelalaian. Dimana seseorang ketika sudah lalai, marah, sombong akan hilang akalnya dan semakin menambah dosa.

55

Imam al-Ghazali juga menuturkan perumpamaan, bahwa ada seorang yang kaya raya. Ia melarang anak yang disayanginya memakan buah apel dan kurma dikarenakan sedang mengidap penyakit. Larangan sang ayah bukan berarti ia kikir dan membenci anaknya. Melainkan, sang ayah ingin membahagiakan anaknya dengan cara memberi yang terbaik bagi anaknya (al-Ghazali, 2009: 245). Demikian juga Allah. Ia akan memilihkan yang terbaik bagi hamba-hamba-Nya. Jika Allah menunda sesuatu bagi umat-Nya, itu karena Allah menginginkan kemaslahatan baginya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa menyampaikan segala sesuatu. Dia Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

b. Menyembah Allah SWT semata

Ikhlas yaitu memurnikan Tauhid kepada Allah SWT. tidak ada makhluk lain yang dapat disembah selain Allah. Allah SWT merupakan satu-satunya Tuhan yang wajib disembah. Menyembah Allah atau tidak, tidak akan mempengaruhi kekuasaan Allah dan keagungan Allah, karena Allah akan tetap Maha Kuasa sampai kapanpun. Namun menyembah Allah merupakan kewajiban hamba ciptaan Allah agar selamat dunia akhirat. Menyembah Allah harus dijauhkan dari sifat riya‟. Sifat riya merupakan sifat yang meginginkan pujian orang lain, ingin dilihat orang lain. hal tersebut sangat dilarang Allah karena mengeruhkan hati seorang hamba. Justru hal yang harus dilakukan hamba saat menyembah Allah

adalah ikhlas. Agar terasa ni‟matnya mengagungkan Allah, ni‟matnya

56

Meninggalkan sifat riya‟, ujub, dan sombong ketika beramal dan

beribadah. Manusia mampu menjalankan ibadah dengan baik berkat taat menjalankan perintah Allah dan takut akan ancamannya. Maka, ia akan mendapatkan taufik dan petunjuk dari Allah, ia akan mampu melampaui rintangan dengan baik dan selamat. Maka, ia kembali melakukan ibadah dengan sebenar-benarnya sebanyak-banyaknya, tanpa merasa ada yang menghalanginya lagi. Akan tetapi jika merasa adanya gejala-gejala sifat

riya‟ dan ujub dalam beribadah. Suatu saat berpura-pura taat hanya agar

dilihat orang lain. Itu adalah perbuatan riya‟. Jika tidak demikian, akan

merasa mencela dirinya agar tidak berbuat riya‟ tetapi justru berbuat

sombong dan ujub. Dan sifat itu merusak dan menghancurkan ibadah. Ahli ibadah harus berusaha menjaga kemurnian yaitu dengan ikhlas dalam menjalankan ibadahnya (al-Ghazali, 2009:11). Ikhlas yaitu kebalikan dari sifat riya‟dan ujub. Ikhlas artinya tulus, menjalankan

ibadah semata-mata hanya karena Allah.

Dalam al-Qur‟an Surat al-Muzammil ayat 8, Allah berfirman:

لا١ِزْجَر ِْٗ١ٌَِإ ًَّْزَجَرَٚ َهِّثَس َُْسا ِشُوْراَٚ

Artinya: “Sebutlah nama Tuhanmu, dan beribadahlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan”.(Departemen Agama RI, 2009: 575).

Sebutlah nama Tuhanmu dalam arti surat tersebut merupakan makna bahwa dalam setiap tindakan agar diniatkan karena Allah SWT serta selalu menyebut asma-Nya. Beribadah kepada Allah dengan bersungguh-sungguh tanpa menyekutukan-Nya dengan perilaku riya‟ dan

57

2. Hubungan dengan manusia (sesama makhluk)

a. Membersihkan segala amalan dari sifat batin buruk (riya‟)

Perbuatan manusia dinilai dari niatnya terlebih dahulu. Apabila beramal niat ikhlas hanya karena Allah SWT semata tanpa ada hal lain yang menyelimuti hatinya termasuk keruh niat karena ingin dipuji, mendapatkan harta, pangkat, dan kedudukan. Maka, yang ada hanyalah kehancuran.

Misalnya ketika seseorang yang mempunyai harta cukup untuk berangkat haji. Bahkan haji tidak hanya sekali seumur hidup. Karena

ingin mendapatkan sebutan “Pak Haji” atau “Bu Haji” rela pergi

berangkat haji berkali-kali. Ibadah haji yang dilakukan semata-mata hanya karena sebutan duniawi. Yang sebenarnya haji adalah ibadah yang tidak semua orang mendapatkan kesempatan untuk melaksanakannya, harusnya bersyukur dengan cara ikhlas menjalankan ibadah haji hanya karena memenuhi panggilan Allah SWT.

Contoh berikutnya, seorang yang ingin melakukan sedekah dengan tidak diperlihatkan kepada orang lain agar dirinya terhindar dari sifat riya, bukan malah di perlihatkan dengan sengaja bahwa dia lah orang yang dermawan dengan memberi makan orang miskin, bahwa dia orang yang mampu. Seseorang hamba tidak boleh mengungkit-ungkit apa yang telah ia berikan kepada orang lain agar ikhlas yang dimiliki tidak terhapus. Jika orang yang diberinya tersebut sakit hati, maka hilanglah pahala ikhlas selama ini. Perlu berhati-hati dalam menjaga ikhlas. Agar

58

hati tidak merasa bahwa dirinya lah yang kuasa memberi, kuasa melakukan, kuasa mempunyai. Namun, Allah lah Sang Pemberi karunia, sebagai hamba hanya-lah perantara yang tiada artinya.

b. Tidak menyembah hawa nafsu

Allah berfirman dalam al-Qur‟an Surat al-Ahqaf ayat 28, yang berbunyi:

اٍَُّٛػ ًَْث ًخٌَِٙآ بًٔبَثْشُل ِ َّالله ُِْٚد ِِْٓ اُٚزَخَّرا َٓ٠ِزٌَّا َُُُ٘شَظَٔ لاٍََْٛف

َُْٚشَزْفَ٠ اُٛٔبَو بََِٚ ُُُْٙىْفِإ َهٌَِرَٚ َُُْْٕٙع

Artinya: “Maka mengapa yang mereka sembah selain Allah sebagai Tuhan untuk mendekatkan diri (kepada Allah) tidak dapat menolong mereka. Bahkan tuhan-tuhan itu telah lenyap dari mereka? Itulah akibat kebohongan mereka dan apa yang dahulu mereka ada-adakan.” (Departemen Agama RI, 2009: 506).

Ikhlas dalam ayat diatas, adalah memurnikan tauhid hanya kepada Allah. Dalam kitab Minhajul Abidin, telah dijelaskan bahwa godaan berupa makhluk, hawa nafsu, setan, dan dunia seisinya bisa saja menggoda manusia untuk menyembah selain kepada-Nya. Maka dari itu, manusia perlu waspada.

Seperti dalam al-Qur‟an Surat at-Taubah ayat 58, Allah berfirman:

ِْْإَٚ اُٛػَس بَِِْٕٙ اُٛطْعُأ ِْْئَف ِدبَلَذَّظٌا ِٟف َنُضٍَِّْ٠ َِْٓ َُُِِْْٕٙٚ

َُْٛطَخْسَ٠ ُُْ٘ اَرِإ بَِِْٕٙ اَْٛطْعُ٠ ٌَُْ

Artinya: “Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (pembagian) zakat; jika mereka diberi sebahagian daripadanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebahagian

daripadanya, dengan serta merta mereka menjadi marah.”(Departemen Agama RI, 2009: 197)

Terlalu banyak keinginan duniawi yang harus dituruti juga merupakan salah satu bentuk penyembahan terhadap hawa nafsu. Hingga melupakan kewajiban utama yaitu menyembah Allah. Membanggakan diri sendiri karena sudah merasa bahwa dirinya beribadah, menyembah

59

kepada Allah membuat rusaknya makna ibadah yang ikhlas. Jika sudah ikhlas dalam beribadah maka ikhlas itu sendiri tidak tampak dan tidak dirasakan.

3. Hubungan dengan diri sendiri

a. Menuntut ilmu untuk menyempurnakan ibadah dan akhlak

Ilmu adalah cahaya. Cahaya yang membawa manusia dari kegelapan menuju terang benderang. Dalam kegelapan, manusia tidak akan mampu melihat dengan jelas, membedakan dengan benar, dan memahami dengan seksama. Dengan ilmu, manusia mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.

Dalam menuntut ilmu, berniatkan beribadah kepada Allah dengan ikhlas. Menuntut ilmu yang dilandasi dan dengan tujuan ibadah pada Allah pasti ditempuh dengan cara yang diridhai-Nya. Perintah Allah SWT dan Rasul-Nya dilaksanakan dengan ikhlas. Jika ikhlas sudah melekat pada seseorang yang menuntut ilmu, maka muncul beberapa perilaku yang berkaitan dalam menuntut ilmu, yaitu: jujur, menghargai

waktu, berlaku tawadhu‟, bersabar, bercita-cita dan bersemangat dalam menuntut ilmu, konsisten pada tuntunan Rasulullah, sadar selalu diawasi oleh Allah, berpaling dari tempat yang sia-sia, menghindari hura-hura, bersikap lemah lembut, dan lain-lain.

Akhlak yang baik dari pengamalan menuntut ilmu yang ikhlas diniatkan karena ibadah kepada Allah, patuh kepada aturan-Nya maka akan menghasilkan kebahagiaan dunia akhirat. Walaupun, seperti yang

60

Imam al-Ghazali pernah tuturkan yaitu bahwa semua harus dijalani dengan ikhlas. Yang perlu ditekankan, jika seseorang menuntut ilmu ikhlas berniatkan ibadah karena Allah, maka tidaklah menuntut ilmu karena ingin mendapatkan pekerjaan yang mapan, ingin menjadi orang yang kaya karena ilmunya, orang yang disanjung karena kepandaiannya, ingin menyaingi teman karena ilmunya, semua tidak diperbolehkan. Karena ilmu yang bermanfaat adalah salah satu amal yang menjadi teman dalam Kubur nanti.

b. Membiasakan diri dekat dengan Allah

Taqarrub kepada Allah disimpan diri sendiri sebagai pengalaman yang indah. Dekat dengan Allah untuk memperbaiki kualitas diri. Bagi hamba yang membiasakan diri dekat dengan Allah tidak akan memperdulikan apakah akan dipuji orang lain, dilihat orang lain, dipermalukan orang lain. karena baginya hanya Allah yang pantas menilai bagaimana pun yang dilakukan. Orang yang dekat dengan Allah tidak mudah mengagumi suatu hal yang akan binasa dikemudian hari. Ia hanya kagum kepada Allah, kagum akan ciptaan-Nya, kekuasaan-Nya, dan kagum akan kedahsyatan anugerah-Nya.

Seorang hamba Allah yang dekat dengan Allah akan senantiasa ikhlas dalam mengerjakan amal dan ibadah. Karena baginya, Allah lah yang patut untuk dijadikan tujuan. Ibadahnya, perilakunya, hidup dan matinya hanya milik Allah semata. Dalam kitab Minhajul Abidin, banyak dituangkan hal-hal yang mempengaruhi kedekatan hamba dengan Allah.

61

salah satunya godaan berupa setan. Setan akan selalu menggoda manusia yang semakin taat kepada-Nya. Hamba yang mampu melewatinya, akan merasakan betapa indahnya berdekatan dengan Allah.

B. Relevansi Konsep Ikhlas dalam Kitab Minhajul Abidin Karya Imam