• Tidak ada hasil yang ditemukan

BIOGRAFI NASKAH

F. Kandungan Kitab Minhajul Abidin

Syarah Minhajul Abidin yang berbentuk dalam kitab kuning diterbitkan oleh daru „ilmi dari Surabaya yang terdiri dari sembian puluh lima(95) halaman. Halaman isi dan penutup terdiri dari sembilan puluh satu (91) halaman. Dan sisanya empat halaman adalah halaman yang berisi muqaddimah dari Imam al-Ghazali. Dalam muqaddimah, beliau berharap kitab ini dapat bermanfaat bagi umat. Kemudian kitab Minhajul Abidin versi terjemah dalam bahasa Indonesia, diterjemahkan oleh Abul Hiyadh dan diterbitkan oleh Mutiara Ilmu Surabaya pada tahun 2009.

Kitab Minhajul Abidin adalah kitab yang berisi tentang pedoman atau petunjuk seorang hamba dalam melalui kehidupan agar mampu dekat dengan Allah SWT. Berisi tentang tujuh tahapan-tahapan seorang ahli ibadah. Menurut Imam al-Ghazali, masalah ibadah cukup menjadi bahan pemikiran, dari awal hingga tujuan akhirnya yang sangat dicita-citakan oleh para penganutnya yakni muslimin. Ternyata perjalanan yang sangat sulit, penuh liku-liku, banyak halangan dan rintangan yang harus dilalui, banyak musuh, serta sedikit kawan dan orang yang mau menolong

Ditambah lagi dengan kenyataan, bahwa manusia adalah makhluk lemah, sedangkan zaman sulit, urusan agama mundur, kesempatan kurang, manusia disibukkan denga urusan dunia, dan umur relatif pendek,

25

sedangkan penguji sangat teliti, kematian semakin dekat, perjalanan yang harus ditempuh sangat panjang. Maka, satu-satunya bekal adalah taat (al-Ghazali, 2009: 252).

Orang-orang yang menempuh jalan itu, sangat sedikit yang sampai kepada tujuannya dan mencapai yang dikejarnya. Dan yang berhasil itulah orang-orang mulia pilihan Allah untuk makrifat dan mahabbah kepada-Nya. Allah memelihara dan memberikan taufik kepada mereka, serta keridaan dan surga-Nya. Kita berharap, semoga Allah memasukkan kita ke dalam golongan orang yang beruntung dengan memperoleh rahmat-Nya.

Oleh sebab itu, imam al-Ghazali berusaha mengulas beberapa kitab

jalan ke arah itu dan cara menempuhnya. Antara lain, kitab ihya‟, Al -Qurbah, dan sebagainya. Akan tetapi, kitab-kitab tersebut membahas masalah-masalah yang sangat halus dan mendalam, sehingga sulit dimengerti oleh manusia. akibatnya, menimbulkan kritik dan celaan, mereka mengecam apa saja yang belum mereka pahami dalam kitab-kitab tersebut.

Hal ini tidak mengherankan. Sebab, tiada satupun kitab yang lebih baik dan mulia dibanding al-Qur‟an. Tetapi, ia pun tidak luput dari celaan

orang-orang yang tidak mau menerimanya. Dikatakan oleh mereka, bahwa al-qur‟an hanyalah dongeng kuno belaka. Kenyataan yang demikian

menuntut para ulama agar mengasihi mereka tanpa perselisihan. Oleh sebab itu, penyusun (Imam al-Ghazali) berdo‟a kepada Allah, agar diberi

26

Kiranya Allah SWT. mengabulkan do‟a penyusun sehingga dapat menulis sebuah kitab dengan susunan yang sistematis, yang belum pernah tercipta dalam karangan sebelumnya. Kitab tersebut adalah kitab Minhajul Abidin.

Melalui kitab Minhajul Abidin, Imam al-Ghazali membagi perjalanan seorng ahli ibadah menjadi tujuh tahapan. Kitab ini merupakan risalah wasiat terakhirnya bagi umat, karena tak lama kemudian beliau wafat, menghadap Allah SWT. yang selalu beliau rindukan. Imam al-Ghazali merangkai tips dalam setiap tahapan agar seorang hamba mampu melewati halangan rintangan dn keluar dari perangkap. Hakikat manusia diciptakan hanya untuk beribadah kepada-Nya. Mampu beribadah adalah karunia dari Allah SWT. mendapatkan pahala dan kenikmatan abad. Beribadah merupakan sarana untuk menuju surga yang kekal, surga yang indah seindah hati para ahli ibadah yang menjalaninya dengan ikhlas.

Tujuan kitab Minhajul Abidin adalah mengemukakan cara-cara dan jalan guna mengendalikan dan mengekang hawa nafsu. Jadi, dalam kitab minhajul abidin yang mulia dan singkat penyusun menjelaskan makna-makna pokok, singkat namun mencakup artian yang luas. Serta memuaskan orang yang ingin menempatkan diri pada jalan yang benar.

Adapun beberapa tahapan atau tingkatan dalam kitab Minhajul Abidin:

1. Ilmu dan ma‟rifat

Menurut penulis, dalam tahapan ilmu dan ma‟rifat, Imam al-Ghazali menuturkan bahwa ibadah tanpa ilmu dan ma‟rifat tidak ada

27

artinya. Karena dalam menjalankannya, seseorang hrus tau benar apa yang dikerjakannya. Dan merupakan suatu keharusan meniti tahapan ilmu dan

ma‟rifat, jika tidak ingin mendapat celaka. Artinya, harus belajar(mengaji) guna dapat beribadah dan menempuhnya dengan sebenar-benarnya, kemudian merenungkan dan menghayati segalanya.

Antara ibadah dan ilmu ibarat sebuah pohon, ilmu ibarat pohonnya dan ibadah ibarat buahnya. Maka, jika beribadah tanpa dibekali ilmu,ilmu tersebut akan lenyap bagaikan debu ditiup angin. Di sini, kedudukan pohon lebih utama, sebab pohon merupakan intinya. Akan tetapi buah mempunyai fungsi yang lebih utama. Oleh karena itu, seseorang harus mempunyai keduanya yaitu ilmu dan ibadah (al-Ghazali, 2009: 15).

Diharapkan setelah mengetahui cara ma‟rifat kepada Allah SWT, seseorang akan bersungguh-sungguh dalam mempelajari cara beribadat. Artinya, setelah selelsai mempelajari ilmu tauhid, ia mempelajari ilmu fiqih, bagaimana berwudu, shalat, dan sebagainya yang merupakan fardu beserta syarat-syaratnya. Setelah cukup mendapatkan ilmu yang fardu da ibadah, kini ia benar-benar berniat untuk melakukan ibadah.

2. Taubat

Setelah manusia memahami dan mendalami ilmu dan ma‟rifat

untuk beribadah, maka mulai menyadari bahwa diri banyak akan dosa. Ibadah yang dilakukan akan lebih sempurna bila manusia bersih dari dosa. Semakin tinggi pemahaman seseorang tentang ilmu dan marifatnya, maka semakin lembut pula hatinya. Sungguh aneh bagaimana orang akan taat,

28

sedangkan hatinya keras. Bagaimana akan berkhidmat kepada Allah SWT

jika terus menerus berbuat ma‟siyat dan sombong. Maka, taubat adalah

solusinya. Agar benar-benar ibadah yang dilakukan diterima Allah SWT (al-Ghazali, 2009: 48).

3. Godaan

Menurut penulis, dalam tahapan yang keempat ini, Imam Al-Ghazali menjabarkan empat penghalang (godaan) beribadah, yaitu:

a. Dunia dan isinya b. Makhluk

c. Setan d. Hawa nafsu

Dalam kitab Minhajul Abidin, Imam al-Ghazali menyebut godaan dengan aqabah awaiq atau tahapan penghalang (godaan). Imam al-Ghazali menuturkan ada banyak cara untuk menghindari godaan dalam beirbadah, seperti; zuhud, uzlah, tawadhu‟, dan mengingat kematian.

4. Rintangan

Rintangan memang membuat ahli ibadah sering bimbang. Namun, ahli ibadah harus mampu menahannya. Dalam kitab ini, Imam al-Ghazali menuturkan empat macam rintangan:

a. Rezeki dan tuntutan hawa nafsu.

Cara mengatasi keduanya dengan tawakal. Sejatinya, menjadi seorang hamba lebih baiknya menyerahkan segala urusan terutama masalah rezeki dan tuntutan kepada-Nya serta melakukan

29

sesuatu sesuai kemampuan dan kekuatannya. Tidak sembrono dengan ceroboh begitu saja. Allah berfirman dalam Q.S al-furqon ayat 58, yang berbunyi:

ََٛرَٚ

ِِٗث َٝفَوَٚ ِِٖذَّْذِث ْخِّجَسَٚ ُدَُّٛ٠ لا ِٞزٌَّا َِّٟذٌْا ٍََٝع ًَّْو

اًش١ِجَخ ِِٖدبَجِع ِةُُٛٔزِث

Artinya: “Dan bertawakkallah kepada Allah Yang Hidup (Kekal) Yang tidak mati, dan bertasbihlah dengan memuji-Nya. Dan cukuplah Dia Maha Mengetahui dosa-dosa hamba-hamba-Nya”(Departemen Agama RI, 2002: 365).

b. Ikhlas menerima takdir Allah SWT

Orang yang ragu-ragu dan tidak ikhlas dalam menerima takdir Allah SWT, mengadu kesana kemari, berarti mengadukan Allah, Tuhan yang Maha Mulia. Seperti halnya orang-orang jahilyah terdahulu. Bila ada orang mati, orang-orang dikumpulkan agar menangis bersama demi mendapatkan upah. Ikhlas menerima takdir sama halnya tidak mengeluh dengan takdir (al-Ghazali: 2009: 221). Jikalau yang kita terima takdir kejahatan dan

kem‟siyatan, maka yang harus kita terima kepastian-Nya bukan

kema‟siyatan ataupun kejahatan tersebut.

5. Tahapan kelima yaitu pendorong

Maka ketika seorang ahli ibadah sudah tidak ada lagi godaan dan rintangan, selanjutnya adalah pendorong. Pendorong hamba untuk taat dalam beribadah kepada Allah adalah takut kepada Allah karena takut

30

sombong atas ketaatannya, pendorong ada dua macam yaitu pendorong dalam ketaatan dan pendorong dalam keburukan yaitu nafsu dan syaitan. 6. Celaan

Dalam tahap ini, Imam al-Ghazali bahwa jika ibadah sudah lurus, wajib membedkan mana yang lebih baik dan mana yang kurang baik, serta membuang sesuatu yang sekiranya dapat merusak dan merugikan ibadah. Wajib memegang erat ikhlas dalam hati agar terhindar dari celaan. Beberapa celaan dari seseorang yang sudah mampu baik beribadah yaitu

riya‟ dan ujub.

7. Tahapan yang terakhir yaitu bersyukur kepada Allah

Setelah berhasil melewati enam tahapan dalam beribadah, maka sampailah pada tahap yang terakhir yaitu bersyukur. Bersyukur memuji

Allah atas ni‟mat dan karunia yang tak terhingga. Seorang ahli ibadah harus bersyukur karena dua alasan:

a. Agar kekal keni‟matan yang besar tersebut karena jika tidak disyukuri akan hilang

b. Agar ni‟mat yang didapatkan bertambah. Terus menerus bersyukur

31 BAB III

KONSEP IKHLAS DALAM KITAB MINHAJUL ABIDIN KARYA IMAM