• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Konsep Pengelolaan Lanskap Tegakan Bambu

III. METODOLOGI PENELITIAN

4.7 Analisis Konsep Pengelolaan Lanskap Tegakan Bambu

campuran seperti yang dijumpai di hulu DAS Kali Bekasi merupakan suatu pola tumpang sari yang memadukan antara jenis tanaman hutan seperti pohon termasuk bambu dengan tanaman pertanian seperti pisang, talas, dan singkong. Adanya perpaduan pola pertanian dan kehutanan seperti dalam sistem agroforestri bagi kalangan kehutanan merupakan suatu pendekatan baru dalam rangka pelestarian hutan dan pembangunan untuk wilayah-wilayah dimana perlindungan secara total tidak mungkin bisa dilakukan. Sedangkan bagi pembangunan pertanian, agroforestri merupakan model pertanian komersil yang asli, menguntungkan, berkesinambungan, dan sesuai dengan keadaan petani kecil (de Foresta et al., 2000).

Menurut Atmojo (2008), pola agroforestri merupakan pilihan yang tepat untuk dikembangkan dalam pengelolaan DAS dengan berbagai pertimbangan antara lain:

1. Tutupan tajuk rapat mampu menutup permukaan tanah dengan baik, sehingga efektif untuk menekan infiltrasi dan cadangan air tanah.

2. Variasi tanaman tebing, membentuk jaringan perakaran yang kuat, baik pada lapisan tanah atas maupun bawah, akan meningkatkan stabilitas tebing, sehingga mengurangi kerentanan terhadap longsor.

3. Terkait rehabilitasi lahan, mampu meningkatkan kesuburan fisika (perbaikan struktur tanah dan kandungan air), kesuburan kimia (peningkatan kadar bahan organik dan ketersediaan hara) dan biologi tanah (meningkatkan aktivitas dan diversitas), morfologi tanah (pembentukan solum).

4. Secara ekonomi meningkatkan pendapatan petani dan menekan resiko kegagalan panen.

5. Mempunyai peran penting dalam upaya rehabilitasi lahan kritis.

Agroforestri sebagai bentuk kearifan lokal yang dimiliki masyarakat dalam memaksimalkan pengelolaan lahan bersumber dari pengetahuan masyarakat setempat yang bersifat lokal (site-spesific). Zhihong (2003) menambahkan meskipun pengetahuan lokal berasosiasi dengan suatu lingkungan yang spesifik, namun pengetahuan lokal juga bersifat fleksibel dan bervariasi terhadap perubahan kondisi dan situasi. Selama ini terdapat dikotomi antara pengetahuan lokal dengan pengetahuan modern, namun menurut Zihong (2003) keduanya adalah saling melengkapi satu sama lain dan bahkan dalam situasi tertentu dapat saling berpindah (transferable).

Pengelolaan agroforestri dalam lingkup DAS juga memerlukan kerjasama diantara berbagai pemangku kepentingan (stakeholders) yang saling terkait. Tiga tokoh utama dalam klasifikasi pengetahuan berbasis ekologi, dalam hal ini pengetahuan pengelolaan bambu dengan sistem agroforestri kebun campuran, menurut van Noorwidjk (2008) adalah petani, peneliti, dan pengambil kebijakan. Petani merupakan pelaku sekaligus penemu pengetahuan yang bersifat lokal atau tradisional yang didasarkan pada pengalaman dan pengamatan yang dilakukan secara terus-menerus (LEK). Sedangkan peneliti berperan dalam membuat suatu model pengetahuan ekologis berdasarkan pengetahuan empiris (MEK). Peran pengambil kebijakan dalam pengetahuan berbasis ekologis dalam hal ini adalah pemerintah adalah menentukan kebijakan-kebijakan terkait pengelolaan sumberdaya alam maupun lingkungan berdasarkan logika yang jelas yang mendasari kebijakan yang ada (PEK).

Konsep pengelolaan lanskap tegakan bambu secara berkelanjutan merupakan upaya dalam memanfaatkan dan menjaga kontinyuitas produksi bambu sehingga tetap tersedia pada masa yang akan datang serta menjaga keberadaan spesies pohon. Menurut Wang et al. (2008), untuk dapat mengembangkan pengelolaan bambu (hutan bambu) secara berkelanjutan bagi masyarakat perdesaan maka dibutuhkan kerjasama pemerintah dalam meningkatkan perannya dalam pengelolaan, proses, hingga jejaring pemasaran

bambu. Selain itu juga dibutuhkan tanggung jawab petani dan masyarakat lokal dalam mengelola hutan bambu serta partisipasi publik berupa pusat penelitian maupun organisasi non-pemerintah dalam mendukung sistem pelayanan.

Untuk dapat menjaga kontinuitas tegakan bambu maka perlu memperhatikan kinerja dari ketersediaan bambu untuk mencapai tingkat optimal baik untuk keberlanjutan fungsi produksi, fungsi ekosistem, maupun fungsi sosial kemasyarakatan (Hendartin, 2004). Lebih lanjut dijelaskan bahwa kinerja yang ingin dicapai menuju konsep keberlanjutan pengelolaan hutan bambu didefinisikan sebagai berikut:

1. Keberlanjutan fungsi produksi; dimana tanaman bambu yang ditebang sebatas pertumbuhannya dan dapat diamankan dari segala jenis gangguan. 2. Keberlanjutan fungsi ekosistem; yaitu apabila teknologi yang digunakan

untuk memanfaatkan bambu memberikan dampak minimum pada kerusakan ekosistem.

3. Keberlanjutan fungsi sosial kemasyarakatan; yaitu apabila dalam proses pemanfaatan bambu mempertimbangkan partisipasi, akses, dan manfaat bagi masyarakat yang berada di sekitar tegakan bambu tersebut.

Berdasarkan hasil pengamatan di lokasi penelitian, konsep keberlanjutan dalam pengelolaan tegakan bambu yang ditemui pada ketiga lokasi untuk kinerja keberlanjutan fungsi produksi dan fungsi ekosistem masih belum terwujud dilihat dari masih kurangnya perhatian petani maupun masyarakat terhadap upaya penanaman bambu kembali pasca pemanenan atau pasca pemanfaatan. Hal ini pada umumnya juga terjadi di wilayah lain seperti di Kabupaten Tasikmalaya yang merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang menjadi pusat produksi serta pemanfaatan bambu (Herdatin, 2004). Dalam upaya konservasi keanekaragaman bambu dengan pengetahuan ekologi lokal maka perlu memperhatikan beberapa aspek terkini dari keberadaan tegakan bambu yang terdapat di hulu DAS Kali Bekasi antara lain:

1. Menjaga keragaman jenis bambu yang sudah ada dan meningkatkan keragaman jenis baru melalui introduksi bambu jenis baru. Diantara enam jenis bambu yang ditemukan di hulu DAS Kali Bekasi, tidak satupun dari jenis bambu tersebut merupakan jenis bambu endemik pulau Jawa. Jenis-

jenis bambu yang merupakan jenis endemik pulau Jawa adalah Bambusa jacobsii, Dinochloa scandens, Dinochloa matmat, Fimbribambusa horsfieldii, Gigantochloa manggong (pring manggong, tiying jahe), Nastus elegantissimus, Schizostachyum aequiramosum, Schizostachyum silicatum, dan Schizostachyum sp (Widjaja, 2001a). Berdasarkan infomasi tersebut mengindikasikan bahwa potensi introduksi jenis baru terutama jenis endemik masih terbuka luas bagi peningkatan keragaman jenis bambu di hulu DAS Kali Bekasi. Introduksi jenis baru pada lahan-lahan milik masyarakat perlu disertai dengan adanya sosialisasi mengenai manfaat dan teknik pemanfaatan maupun informasi mengenai peluang ekonomi dari jenis bambu introduksi tersebut agar dapat meningkatkan pendapatan masyarakat sekaligus memberikan keuntungan secara ekologis bagi lingkungan.

2. Menjaga serta meningkatkan pengetahuan ekologi lokal yang dimiliki masyarakat disertai dengan peningkatan teknologi pengolahan bahan baku bambu. Saat ini, pemanfaatan bambu paling banyak ditemukan di hulu DAS bagian atas mulai dari pemanfaatan bambu sebagai material bangunan hingga kerajinan. Jenis-jenis pemanfaatan bambu yang dijumpai di ketiga lokasi pengamatan adalah pemanfaatan bambu dalam industri pembuatan aci (tepung tapioka) serta pemanfaatan bambu untuk pemakaman. Sedangkan pemanfaatan bambu yang masih ada namun agak jarang ditemui adalah pemanfaatan bambu untuk kerajinan pembuatan dinding/bilik bangunan. Peningkatan teknologi pengolahan bambu sebagai bahan baku industri secara efektif dan efisien akan mendorong masyarakat untuk mengembangkan berbagai produk olahan bambu seperti produk- produk kerajinan bambu sehingga budaya penggunaan produk bambu dapat ditingkatkan.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka pengelolaan tegakan bambu yang berkelanjutan yang berbasis konservasi keanekaragaman hayati dan pengetahuan lokal dalam bentang ekologi DAS perlu dilakukan. Upaya pengelolaan yang komprehensif dan tepat sehingga sesuai dengan kondisi yang ada saat ini yaitu dengan sistem agroforestri kebun campuran, baik itu di hulu DAS bagian atas,

tengah, dan bawah dapat memberi dampak positif baik bagi masyarakat maupun lingkungan (Gambar 41).

Gambar 41. Skenario Pengelolaan Tegakan Bambu Berkelanjutan di Hulu DAS Kali Bekasi

Berikut skenario pengelolaan tegakan bambu yang disarankan berdasarkan lokasi pengamatan di hulu DAS bagian atas, tengah, dan bawah

Di Hulu DAS Bagian Atas

Pengelolaan tegakan bambu di hulu DAS bagian atas dengan luas lahan pengelolaan agroforestri kebun campuran yang masih cukup luas (1000-2000 m2) perlu dipertahankan melalui regulasi pemanfaatan lahan. Adanya tegakan bambu di dalam kebun campuran terbukti dapat mempertahankan keragaman jenis tegakan lainnya yang ada di sekitar bambu (keragaman jenis sedang). Kegiatan konservasi jenis bambu perlu dilakukan dengan memperhatikan keragaman jenis bambu rendah (0,62) dan peningkatan penanaman untuk menghasilkan biomassa yang lebih besar. Sedangkan untuk pohon dengan keragaman sedang (1,67), perlu mempertahankan keragaman jenis yang sudah ada terutama untuk jenis endemik. Konservasi terhadap pengetahuan ekologi lokal petani dan masyarakat di hulu DAS bagian atas dilakukan dengan mengkonservasi budaya pemanfaatan bambu dengan cara menggali lebih jauh budaya-budaya berbagai pemanfaatan bambu yang pernah ada sebelumnya.

Petani dan Masyarakat Lokal

Agroforestri Dengan Tegakan Bambu di Hulu DAS Kali Bekasi LEK: penanaman bambu dan jenis tanaman lainnya

Konservasi keragaman jenis tanaman: bambu, non-bambu, tumbuhan bawah

Produksi dan pemanfaatan:

pemanfaatan sendiri (subsisten) dan komersial LEK: budidaya bambu dengan

kombinasi pohon, cash crops

LEK: penanaman bambu dalam sistem agroforestri Konservasi ekosistem:

Di Hulu DAS Bagian Tengah

Sistem agroforestri kebun campuran yang terdapat di hulu DAS bagian tengah yang memiliki luasan 1000-1500 m2. Kegiatan konservasi tanaman dalam kebun campuran perlu dilakukan. Adanya tegakan bambu dalam kebun campuran terbukti dapat mempertahankan keragaman jenis tegakan lainnya yang ada di sekitar bambu. Untuk keragaman jenis dan biomassa bambu yang paling rendah dibandingkan keragaman jenis dan biomassa bambu di hulu DAS bagian atas dan bawah maka perlu dilakukan kegiatan konservasi dengan menambah keragaman jenis dan jumlah bambu yang ditanam di dalam kebun campuran. Untuk jenis pohon yang memiliki keragaman jenis sedang (1,27) maka perlu mempertahankan keragaman jenis yang sudah ada terutama jenis endemik. Konservasi terhadap pengetahuan ekologi lokal petani dan masyarakat di hulu DAS bagian tengah perlu dilakukan hal ini dilihat dari budaya pemanfaatan bambu yang semakin berkurang. Dengan mengembalikan budaya-budaya pemanfaatan bambu di dalam kehidupan masyarakat, maka akan meningkatkan jumlah dan jenis bambu yang ditanam sehingga akan meningkatkan keragaman jenis dan biomassa bambu yang ada.

Di Hulu DAS Bagian Bawah

Adanya tegakan bambu di dalam sistem agoforestri kebun campuran terbukti dapat mempertahankan keragaman jenis tegakan lainnya yang ada di sekitar bambu. Konservasi bambu dengan keragaman jenis rendah (0,47) perlu dilakukan dengan penambahan jenis bambu yang ditanam dan sekaligus akan meningkatkan biomassa bambu yang dihasilkan. Untuk tegakan non-bambu (pohon) dengan keragaman jenis sedang (1,21), tindakan konservasi dilakukan terutama untuk jenis endemik. Terbatasnya luas lahan kebun campuran di hulu DAS bagian bawah serta pergeseran budaya mengakibatkan perubahan pencitraan masyarakat terhadap bambu. Saat ini, sangat jarang sekali ditemui penggunaan peralatan dapur yang menggunakan bahan baku bambu. Konservasi pengetahuan ekologi lokal petani dan masyarakat terutama dalam pemanfaatan bambu di hulu DAS bagian bawah merupakan hal yang paling perlu dilakukan untuk dapat mempertahankan keberadaan bambu sehingga dapat mengkonservasi keragaman jenis tanaman baik bambu maupun non-bambu (pohon).

V. SIMPULAN DAN REKOMENDASI

Dokumen terkait