• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik lanskap tegakan bamboo di hulu das kali Bekasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Karakteristik lanskap tegakan bamboo di hulu das kali Bekasi"

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISTIK LANSKAP TEGAKAN BAMBU

DI HULU DAS KALI BEKASI

NI WAYAN FEBRIANA UTAMI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “Karakteristik Lanskap Tegakan Bambu di Hulu DAS Kali Bekasi” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Maret 2011

(3)

The Upper Stream of Kali Bekasi Watershed. Under supervision of HADI SUSILO ARIFIN, NURHAYATI, and SYARTINILIA

A high rate of land use change around the upper stream of Kali Bekasi watershed currently causes various environmental problems including threath on biodiversity. Indonesia, which is namely as mega-biodiversity country, has about 143 bamboo species and 60 species was reported that they were planted in Java. Nine of them were endemic species and it has been utilized widely by rural people for daily uses. The objectives of this research were to map a bamboo distribution; to analyse bamboo and non-bamboo stands diversity and biomass; to analyse bamboo utilization and management based on traditional ecological knowledge; and to establish recommendation for sustainable bamboo management. Survey method was used for collecting bamboo data. Data analysis used landcover and bamboo classification by image classification analysis, bamboo and non-bamboo biomass index, diversity index analysis by Shannon’s index, and local ecological analysis. Result showed that bamboo was accupied about 5.360,89 ha or 11,39% of total area with six bamboo species. The highest bamboo diversity index was in the higher part of the upper stream of Kali Bekasi watershed (0,62), however the highest bamboo biomass index was found in the lower part of the upper stream of Kali Bekasi watershed (98,96 ton/ha). About 230 trees and belong to 29 species and 27 above-ground plant species were also found in the surveyed area. Local knowledge about bamboo cultivation and management, their values and uses to environment and daily life were to keep bamboo still exsist. Sustainable bamboo stands management should be done with the agroforestry concept in mixed garden. This option would be better cooperated amongs farmers and local community in order to conserve bamboo and tree species diversity with harmony to local wisdom.

(4)

Hulu DAS Kali Bekasi. Dibimbing oleh HADI SUSILO ARIFIN, NURHAYATI, dan SYARTINILIA

Kawasan hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Kali Bekasi memiliki hulu di sekitar kawasan Gunung Pancar dan Megamendung, Puncak. Kawasan ini memiliki letak yang berdampingan dengan hulu DAS Ciliwung yang merupakan kawasan dengan tingkat alih fungsi lahan yang cukup tinggi yaitu sebesar 30,36% dalam kurun waktu 33 tahun. Perubahan kondisi pola tutupan lahan dapat memberi dampak terhadap terjadinya berbagai permasalahan lingkungan yang mengakibatkan terganggunya ekosistem dengan berbagai keanekaragaman hayati yang dimiliki. Indonesia disebut sebagai negara mega-biodiversity dengan kekayaan genetik menempati urutan ketiga terbesar di dunia setelah negara Brazil dan Kongo. Salah satu keanekaragaman flora yang dimiliki adalah bambu. Terdapat sekitar 1.030 spesies bambu yang tergolong dalam 77 genera yang ada di seluruh dunia. Sebanyak 143 jenis bambu diantaranya tumbuh di di Indonesia dengan penyebaran di pulau Jawa sebanyak 60 jenis dan sembilan diantaranya merupakan spesies endemik di Pulau Jawa.

Keberadaan bambu memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari, terutama bagi kehidupan masyarakat perdesaan di Indonesia seperti untuk memenuhi kebutuhan bahan bangunan, pertanian, maupun kegiatan sosial. Melihat cukup besarnya pemanfaatan bambu dalam kehidupan masyarakat khususnya masyarakat perdesaan di Indonesia, karenanya perlu dilakukan pengkajian karakteristik lanskap tegakan bambu. Tujuan penelitian ini yaitu memetakan pola tutupan lahan dan distribusi tegakan bambu yang terdapat di hulu DAS Kali Bekasi; menganalisis keragaman jenis dan jumlah tegakan bambu dan non-bambu serta potensi pertumbuhannya; menganalisis pengelolaan dan pemanfaatan tegakan bambu berdasarkan pengetahuan ekologi lokal; serta menyusun rekomendasi berupa konsep pengelolaan tegakan bambu dalam rangka mengkonservasi keragaman hayati tanaman dan pengetahuan ekologi lokal yang sesuai untuk kawasan hulu DAS Kali Bekasi.

(5)

hulu DAS Kali Bekasi berdasarkan analisis citra ALOS AVNIR-2 adalah seluas 5.360,89 hektar atau sekitar 11,39% dengan sebaran di hulu DAS bagian atas, tengah, dan bawah masing-masing adalah seluas 154,68 ha, 2.412,56 ha, dan 2.793,59 ha dengan karakter tegakan bambu menerapkan sistem agroforestri kebun campuran maupun pertanaman bambu pagar atau pembatas; b) dijumpai sebanyak enam spesies bambu di Hulu DAS Kali Bekasi dengan jenis bambu andong, bambu tali, bambu hitam, bambu betung, bambu ampel hijau, dan bambu krisik. Indeks keragaman jenis bambu tertinggi terdapat di hulu DAS bagian atas (0,62) sedangkan indeks biomassa bambu tertinggi terdapat di hulu DAS bagian bawah (98,96 ton/ha). Bambu tali memiliki indeks biomasa tertinggi dibandingkan jenis lainnya di ketiga lokasi (139,47 ton/ha); c) dijumpai sebanyak 29 jenis dan 230 individu pohon di dalam tiga plot pengamatan dengan luas total 4.500 m2, enam diantara spesies yang ditemukan adalah spesies endemik, antara lain; mindi, durian, sengon, salam, petai, dan kibangkong. Nilai indeks keragaman jenis non-bambu tertinggi terdapat di hulu DAS bagian atas (1,67) dan indeks biomassa pohon tertinggi terdapat di hulu DAS bagian tengah (248,30 ton/ha). Untuk jenis tumbuhan bawah, dijumpai sebanyak 27 jenis (rumput, herba, semak, dan paku-pakuan); d) pengetahuan ekologi lokal bambu yang diterapkan petani maupun masyarakat lokal terkait budidaya dan pengelolaan, nilai, serta pemanfaatan bambu baik itu bagi lingkungan maupun kehidupan sehari-hari dapat menjaga keberlanjutan keberadaan bambu di hulu DAS Kali Bekasi; e) upaya pengelolaan yang sesuai dengan kondisi yang ada sekaligus rekomendasi yang disarankan adalah dengan menerapkan sistem usaha tani agroforestri kebun campuran bambu dengan kegiatan konservasi bambu dengan mempertahankan jenis yang ada dengan cara mempertahankan budaya dan pemanfaatan bambu yang telah ada serta upaya mengkonservasi pohon utamanya jenis endemik.

(6)

©Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(7)

NI WAYAN FEBRIANA UTAMI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada

Program Studi Arsitektur Lanskap

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Program Studi : Arsitektur Lanskap

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo Arifin, MS. Ketua

Dr. Ir. Nurhayati HS Arifin, M.Sc Dr. Syartinilia, SP., M.Si

Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana Arsitektur Lanskap

Dr. Ir. Siti Nurisyah, MSLA Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr

(10)

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2010 sampai September 2010 adalah lanskap tegakan bambu, dengan judul “Karakteristik Lanskap Tegakan Bambu di Hulu DAS Kali Bekasi” yang merupakan bagian dari penelitian Hibah Kompetensi (HIKOM) Tahun III dengan judul “Manajemen Lanskap Perdesaan Bagi Kelestarian dan Kesejahteraan Lingkungan”.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih disertai penghargaan kepada Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo Arifin MS selaku ketua komisi pembimbing atas bimbingan, saran, dan kesempatan untuk terlibat di dalam penelitian HIKOM pada Tahun III, serta kepada Dr. Ir. Nurhayati HS Arifin, M.Sc dan Dr. Syartinilia, SP. M.Si selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberi saran dan masukan kepada penulis selama penyusunan tesis. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Leti Sundawati, M.Sc.F dan Dr. Ir. Alinda FM. Zain, M.Si selaku dosen luar komisi pada ujian tesis atas masukan dan saran dalam penyempurnaan tesis. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bogor, Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP DAS) Ciliwung-Cisadane, segenap staf desa dan masyarakat di kampung Cimadala, Landeuh, dan Leuwijambe, serta rekan-rekan di lapangan, yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak, Ibu, adik-adik, serta seluruh keluarga dan sahabat atas doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(11)

Penulis dilahirkan di kota Negara, Jembrana, Bali, pada tanggal 7 Februari 1982 dari ayah I Ketut Rudita, BA dan ibu Dra. Umaiyah. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara.

Tahun 2000 penulis lulus dari SMU 1 Negara dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Penulis memilih Program Studi Arsitektur Lanskap, Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian dan lulus pada tahun 2005. Kesempatan untuk melanjutkan studi ke Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor diperoleh penulis melalui beasiswa BPPS dari DIKTI.

(12)

Halaman

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR GAMBAR ... xvii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah Penelitian ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.4 Manfaat Penelitian ... 3

1.5 Kerangka Pemikiran Penelitian ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Bambu ... 5

2.2 Ekosistem Bambu ... 6

2.3 Daerah Aliran Sungai ... 7

2.4 Kearifan Lokal dan Jasa Lingkungan ... 8

2.5 Penginderaan Jauh dan Citra ALOS AVNIR-2 ... 10

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 12

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ... 12

3.2 Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian ... 13

3.3 Bahan dan Alat ... 13

3.4 Jenis dan Sumber Data ... 14

3.5 Teknik Pengumpulan Data ... 15

3.5.1 Observasi Tanaman ... 15

3.5.2 Wawancara ... 16

3.5.3 Penelusuran Literatur ... 18

3.6 Metode Analisis ... 19

3.6.1 Analisis Citra Klasifikasi Tutupan Lahan ... 19

3.6.1.1 Koreksi geometrik ... 20

3.6.1.2 Memotong Image (Subset Image) ... 21

3.6.1.3 Klasifikasi Terbimbing (Supervised classification) 21 3.6.1.4 Pendugaan Tingkat Akurasi (Accuracy Assessment) 22 3.6.2 Analisis Indeks Biomassa ... 23

3.6.2.1 Indeks Biomassa Tegakan Bambu ... 23

3.6.2.1 Indeks Biomassa Tegakan Pohon ... 24

3.6.3 Analisis Indeks Keanekaragaman Shannon’s-Wienner .... 24

3.6.4 Analisis Deskriptif Pengetahuan Ekologi Lokal ... 25

3.7 Teknik Penyajian Data ... 26

(13)

4.1.2 Iklim ... 31

4.1.3 Tanah ... 33

4.1.4 Hidrologi dan Prasarana Pengairan ... 34

4.1.5 Topografi ... 36

4.4.1 Identifikasi Jenis Tegakan Bambu ... 51

4.4.1.1 Bambu Andong (G. pseudoarundiaceae (Steu.) Wid) 53

4.4.2 Indeks Keanekaragaman Jenis Bambu ... 60

4.4.3 Indeks Biomassa Bambu ... 62

4.5 Keanekaragaman Jenis Non-bambu ... 65

4.5.1 Identifikasi Jenis Tegakan Non-bambu ... 65

4.5.2 Indeks Keanekaragaman Jenis Non-bambu ... 69

4.5.3 Indeks Biomassa Non-bambu ... 70

4.6 Pengetahuan Ekologi Lokal Bambu di Hulu Das Kali Bekasi .. 72

4.6.1 Aspek Biofisik dan Sosial-budaya ... 72

4.6.2 Sistem Agroforestri ... 76

4.6.3 Pengelolaan Tegakan Bambu Berbasis Pengetahuan Ekologi Lokal ... 79

(14)

Halaman

1. Karakteristik Citra ALOS AVNIR-2 ... 11

2. Jenis dan Sumber Data Studi ... 14

3. Aspek Dalam Menggali Pengetahuan Ekologi Lokal Bambu ... 17

4. Luas Kecamatan dan Jumlah Desa di Hulu DAS Kali Bekasi ... 30

5. Rataan Curah Hujan Bulanan Periode 2005-2009 (mm) ... 32

6. Prasarana Pengairan di Hulu DAS Kali Bekasi ... 36

7. Kelas Lereng dan Luasannya di Hulu DAS Kali Bekasi ... 37

8. Kepadatan Penduduk per Kecamatan Tahun 2008 ... 38

9. Persentase Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian ... 39

10. Persentase Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 40

11. Objek Wisata dan Jumlah Wisata Kabupaten Bogor ... 41

12. Tutupan Lahan di Hulu DAS Kali Bekasi ... 49

13. Pendugaan Akurasi Dari Tutupan Lahan ... 49

14. Keanekaragaman Jenis Bambu di Hulu DAS Kali Bekasi ... 51

15. Indeks Keanekaragaman Jenis Bambu di Hulu DAS Kali Bekasi ... 61

16. Indeks Biomassa Bambu per Spesies di Hulu DAS Kali Bekasi ... 64

17. Keanekaragaman Jenis Tegakan Non-bambu di Hulu DAS Kali Bekasi 66 18. Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Bawah di Hulu DAS Kali Bekasi . 68 19. Indeks Keanekaragaman Jenis Non-bambu di Hulu DAS Kali Bekasi 70

20. Kondisi Biofisik dan Sosial-budaya di Lokasi Pengamatan ... 73

(15)

Halaman

1. Kerangka Pikir Penelitian ... 4

2. Lokasi Penelitian ... 12

3. Bentuk dan Ukuran Jalur Pengamatan Bambu, Non-bambu, dan Tumbuhan Bawah ... 16

4. Proses Pengolahan Citra ALOS AVNIR-2 ... 20

5. Proses Pemotongan Citra ALOS AVNIR-2 ... 21

6. Kerangka Kerja Penelitian ... 27

7. Peta Elevasi Hulu DAS Kali Bekasi ... 29

8. Gunung Pancar Sebagai Kawasan Hulu Atas DAS Kali Bekasi ... 31

9. Peta Iklim Hulu DAS Kali Bekasi ... 33

10. Peta Jenis Tanah Hulu DAS Kali Bekasi ... 34

11. Peta Sungai di Hulu DAS Kali Bekasi ... 35

12. Peta Sebaran Topografi di Hulu DAS Kali Bekasi ... 36

13. Peta Distibusi Tutupan Lahan di Hulu DAS Kali Bekasi ... 42

14. Perbukitan Tanah Kosong ... 43

15. Tutupan Lahan Semak di Hulu DAS Kali Bekasi ... 43

16. Persawahan di Hulu DAS Kali Bekasi ... 44

17. Ladang Dengan Komoditas Tanaman Sayuran Semusim ... 45

18. Kebun Campuran di Hulu DAS Kali Bekasi ... 45

19. Hutan Konservasi Gunung Pancar ... 46

20. Tegakan Bambu Pagar ... 47

21. Badan Air Empang di Hulu DAS Kali Bekasi ... 47

22. Permukiman di Hulu DAS Kali Bekasi ... 48

23. Peta Distribusi Bambu di Hulu DAS Kali Bekasi ... 50

24. Bambu Andong ... 53

25. Bambu Tali ... 55

26. Bambu Hitam ... 56

27. Bambu Betung ... 57

(16)

31. Perbandingan DBH Bambu Pengamatan Dengan Literatur ... 64

32. Beberapa Jenis Tanaman Bawah ... 69

33. Indeks Biomassa Non-bambu per Plot di Hulu DAS Kali Bekasi ... 71

34. Berbagai Karakter Rumah di Hulu DAS Kali Bekasi ... 74

35. Makam Mbah Mahad ... 75

36. Sistem Agroforestri Kebun Campuran di Hulu DAS Kali Bekasi ... 76

37. Keaneragaman Spesies Tanaman Pada Sistem Agroforestri ... 77

38. Kebun Bambu Dengan Tumbuhan Bawah Pandan ... 78

39. Berbagai Pemanfaatan Bambu di Hulu DAS Kali Bekasi ... 81

40. Sebuah Makam Dalam Kebun Bambu ... 82

(17)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kawasan hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Kali Bekasi memiliki luas area sebesar 47.054,50 hektar yang berhulu di sekitar kawasan Gunung Pancar dan Megamendung, Puncak. Kawasan ini memiliki letak yang berdampingan dengan hulu DAS Ciliwung yang merupakan kawasan dengan tingkat alih fungsi lahan yang cukup tinggi yaitu sebesar 30,36% selama kurun 33 tahun (DCK Kabupaten Bogor, 2010). Perubahan pola tutupan lahan di kawasan hulu DAS Ciliwung dan sekitarnya ini terutama diperuntukkan bagi pengembangan pariwisata maupun permukiman. Perubahan kondisi pola tutupan lahan atau bentang alam pada DAS bagian hulu terutama perubahan pola tutupan lahan tidak terbangun menjadi terbangun secara signifikan dapat memberikan dampak terhadap berbagai permasalahan lingkungan seperti kejadian banjir, tanah longsor, serta terganggunya ekosistem yang mengakibatkan kelangkaan dan kepunahan keragaman hayati baik flora maupun fauna.

Indonesia merupakan negara mega-biodiversity dengan kekayaan genetik berupa keragaman hayati yang menempati urutan ketiga terbesar di dunia setelah negara Brazil dan Kongo. Terdapat lebih dari 38.000 spesies tanaman di Indonesia dan 55% diantaranya merupakan tanaman endemik (LIPI, 2010). Salah satu keragaman hayati flora yang terdapat di Indonesia adalah bambu. Di seluruh dunia terdapat sekitar 1.030 spesies bambu yang tergolong dalam 77 genera. Sekitar 200 spesies dari 20 genera tersebut ditemukan di Asia Tenggara (Dransfield dan Widjaja, 1995) dan sebanyak 143 jenis bambu tumbuh di Indonesia dengan penyebaran di pulau Jawa sebanyak 60 jenis. Sembilan jenis diantara spesies bambu tersebut merupakan spesies endemik (Widjaja, 2001a).

(18)

sebagai tanaman pembatas, tanaman ornamental, maupun tanaman pemecah angin (windbreak); serta kegunaan lainnya seperti bahan baku sumpit, tusuk sate, dan bubu. Berbagai jenis bambu yang sering digunakan oleh masyarakat di Indonesia diantaranya adalah jenis bambu tali, bambu betung, bambu andong, dan bambu hitam (Krisdianto et al., 2007).

Beberapa jenis bambu di Indonesia sudah sejak lama dibudidayakan yang ditanam pada kebun-kebun maupun pekarangan. Pertanaman bambu di Indonesia pada umumnya ditemui dalam bentuk lanskap hutan alami, lanskap hutan buatan, maupun hutan rakyat di banyak kawasan perdesaan terutama di pulau Jawa, Bali, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Irian Jaya, dan Nusa Tenggara (Kartodihardjo, 1997). Pada masyarakat Jawa Barat, khususnya yang ditemui di wilayah Kabupaten Sumedang, bambu pada umumnya dibudidayakan pada lanskap berupa talun bambu atau kebon awi (Irawan et al., 2006).

Pengetahuan lokal atau indigenous knowledge merupakan bentuk dari kearifan lokal yang menerapkan nilai-nilai luhur dalam kehidupan masyarakat untuk melindungi dan mengelola sumberdaya alam secara lestari, termasuk di dalamnya pengelolaan lanskap. Penerapan nilai-nilai kearifan lokal yang berbasis ekologis (local ecological knowledge (LEK) atau traditional ecological knowledge (TEK)) dapat digunakan sebagai upaya mengkonservasi keragaman sumberdaya hayati khususnya tanaman. Hal ini seperti terlihat pada sistem simpukng di Kalimantan Barat (Mulyoutami et al., 2009) maupun pekarangan di Pulau Jawa (Arifin, 2009). Dengan pengelolaan lanskap berdasar pada pengetahuan lokal yang berbasis ekologis diharapkan mampu mengkonservasi keragaman hayati tanaman, utamanya bambu.

(19)

bentuk pengelolaan lanskap pertanaman bambu yang dikaji dalam unit berbasis DAS sebagai bentuk kajian pengelolaan lanskap berkelanjutan. Kerangka pikir dari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.

1.2 Rumusan Masalah Penelitian

Rumusan masalah dari penelitian ini adalah:

1. Bagaimana perubahan keragaman jumlah dan jenis tegakan bambu dan non-bambu di hulu DAS Kali Bekasi.

2. Bagaimana bentuk pengelolaan dari tegakan bambu dan non-bambu serta pengetahuan ekologilokal yang dimiliki masyarakat sekitar.

3. Bagaimana upaya dalam mengkonservasi keragaman jenis flora yang ada di hulu DAS Kali Bekasi.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:

1. Memetakan pola tutupan lahan dan distribusi tegakan bambu yang terdapat di kawasan hulu DAS Kali Bekasi;

2. Menganalisis keragaman jenis dan jumlah dari tegakan bambu dan non-bambu serta potensi pertumbuhannya pada kawasan hulu DAS Kali Bekasi;

3. Menganalisis pengelolaan dan pemanfaatan tegakan bambu berdasarkan pengetahuan ekologi lokal masyarakat di hulu DAS Kali Bekasi;

4. Menyusun rekomendasi berupa konsep pengelolaan tegakan bambu dalam rangka mengkonservasi keragaman hayati tanaman dan pengetahuan ekologi lokal yang sesuai untuk kawasan hulu DAS Kali Bekasi.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini antara lain:

1. Menjadi acuan model pengelolaan lanskap tegakan bambu yang berbasis konservasi keragaman flora dan pengetahuan ekologi lokal.

2. Sebagai penguatan upaya masyarakat (empowerment of social community) terhadap jasa lingkungan, terutama dalam mengkonservasi keragaman jenis flora;

(20)

1.5 Kerangka Pemikiran Penelitian

Melihat kondisi tingginya tingkat perubahan penggunaan lahan di hulu DAS Kali Bekasi yang dapat memberi dampak salah satunya adalah ancaman keragaman hayati flora, khususnya bambu, dimana keberadaan bambu begitu penting bagi kehidupan masyarakat perdesaan, maka perlu dilakukan kajian mengenai karakteristik lanskap tegakan bambu. Secara lebih detil dapat dilihat dalam Gambar 1.

Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian

Pengelolaan Lanskap Tegakan Bambu Berbasis pada Konservasi Keragaman Jenis Tanaman

dan Pengetahuan Ekologi Lokal

Rekomendasi Pengelolaan

Lanskap Tegakan Bambu yang Berkelanjutan di Hulu DAS Kali Bekasi bagian Atas-Tengah-Bawah Pola Tutupan

Lahan dan Distribusi

Bambu

Keragaman Jenis Bambu

dan Non-bambu

Potensi Biomassa Bambu dan Non-bambu

Pengelolaan dan Pemanfaatan Berbasis

Pengetahuan Ekologi Lokal

Penting Untuk Mengetahui Ekosistem Lanskap Tegakan Bambu Hulu DAS bagian Atas – Tengah – Bawah

Potensi dan Permasalahan di Hulu DAS Kali Bekasi

(21)

II.TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bambu

Bambu tergolong kedalam suku poaceae atau gramineae, marga bambuseae, dan anak suku bambusoideae. Bambu dikenal memiliki karakter yaitu tumbuh merumpun, memiliki batang bulat, berlubang, dan beruas-ruas, dengan percabangan kompleks, setiap daun bertangkai dan bunganya terdiri atas sekam, sekam kelopak, dan sekam mahkota, serta 3-6 buah benang sari (Widjaja, 2001b). Lebih lanjut dijelaskan bahwa meskipun jenis rumput-rumputan juga memiliki bentuk daun yang menyerupai bambu, namun adanya fusoid cells dan arm cells pada bambu membedakan jenis ini dengan jenis rumput-rumputan.

Pemanfaatan bambu bagi masyarakat perdesaan di Indonesia sangat luas, mulai dari akar hingga daun. Akar biasanya digunakan untuk bahan ukiran, sedangkan buluh biasanya dimanfaatkan untuk bahan bangunan, jembatan, kerajinan tangan, dan lainnya. Terdapat pula jenis instrumen musik yang dapat dibuat dari bambu, seperti suling dan angklung. Dalam masyarakat perdesaan, daun bambu juga dimanfaatkan sebagai bahan untuk membungkus makanan seperti bacang. Saat ini pengembangan pemanfaatan bambu dalam skala industri sudah mulai diperkenalkan seperti industri pembuatan sumpit dan industri bahan baku pembuatan kertas atau pulp.

(22)

2.2 Ekosistem Bambu

Sekitar 1200-1300 spesies bambu di seluruh dunia yang tumbuh dimana sekitar 143 spesies tumbuh di Indonesia. Di Asia Tenggara, ditemukan sekitar 200 spesies bambu yang tergolong ke dalam 20 genera dan kebanyakan merupakan tanaman asli daerah beriklim muson (Dransfield dan Widjaja, 1995). Habitat bambu di Asia Tenggara ditemukan mulai dari wilayah dataran rendah hingga dataran tinggi, dengan iklim tropis basah sampai kering, daerah kritis, rawa-rawa, serta pinggiran sungai baik yang tergenangi banjir maupun kering (Dransfield dan Widjaja, 1995). Dari segi kesesuaian iklim, bambu dapat tumbuh mulai dari daerah yang memiliki iklim tropis sampai sub-tropis, mulai dari agak lembab sampai agak kering. Di daerah dengan iklim basah seperti Indonesia, Malaysia, dan Thailand selatan, bambu mendominasi suatu lanskap hutan bekas tebangan. Tanah subur dengan drainase yang baik mampu meningkatkan pertumbuhan dan adaptasi bambu (Dransfield dan Widjaja, 1995).

Distribusi pertanaman bambu di Indonesia hampir merata di seluruh kepulauan utama, terutama di pulau Jawa. Menurut Kartodihardjo (1997), bambu dapat hidup pada temperatur mulai dari 9° C sampai dengan 36°C dengan curah hujan 1000 mm. Kesesuaian iklim bambu terdistribusi menyebar pada wilayah dengan tipe iklim Schemid-Fergusson A, B, C, D, E, dan F. Jenis bambu di Indonesia dapat dijumpai pada wilayah yang memiliki ketinggian mulai dari 0 m dpl sampai dengan 3000 m dpl. Lebih lanjut dijelaskan bahwa semakin basah dan semakin tinggi suatu kawasan maka keragaman jenis bambu juga akan semakin tinggi dan hal ini berlaku juga sebaliknya.

(23)

2.3 Daerah Aliran Sungai

Menurut Asdak (1995) dan Notohadiprawiro (1980), daerah aliran sungai (DAS) merupakan suatu bentang alam yang menerima dan menyimpan curah hujan yang jatuh di atasnya, dan kemudian mengalirkannya melalui sungai-sungai kecil menuju sungai utama, dan akhirnya bermuara pada suatu tubuh air bumi berupa danau, waduk, atau lautan. Sedangkan Arsyad, et al. (1985) mendefinisikan DAS sebagai suatu wilayah yang terletak di atas suatu titik pengamatan pada suatu sungai yang oleh batas-batas topografi mengalirkan air yang jatuh di atasnya ke dalam sungai yang sama. Dengan demikian DAS merupakan suatu wilayah daratan yang merupakan kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya yang berfungsi menampung air yang berasal dari curah hujan, menyimpan, dan mengalirkannya melalui sungai dan anak-anak sungai ke danau atau ke laut secara alami.

Batas suatu DAS dapat ditentukan berdasarkan perilaku dari bentang aliran airnya. Biasanya bentang aliran tersebut dibatasi oleh pemisah topografis berupa punggung-punggung bukit, puncak-puncak gunung, dan lapisan kedap air di bawah permukaan tanah. Pemisah-pemisah topografi tersebut secara faktual merupakan batas antara DAS yang satu dengan DAS lainnya. Dengan demikian, batas DAS di darat berupa pemisah topografis dan batas DAS di laut sampai dengan perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan (PP 26/2008). Sebuah DAS dapat terdiri dari sub DAS yang selanjutnya dapat terdiri dari beberapa sub-sub DAS. Suatu pulau atau benua terbagi habis dalam beberapa DAS (Arsyad, et al.,1985).

(24)

kemiringan lereng > 15% dengan konsentrasi kerapatan drainase tinggi, tingkat permukaan air tanah ditentukan pola drainase, dan bukan merupakan daerah banjir. Bagian hilir DAS memiliki ciri-ciri yaitu memiliki tingkat kemiringan < 8% dengan kerapatan drainase tinggi, merupakan daerah pemanfaatan, dan pada beberapa tempat merupakan daerah genangan (banjir). Sedangkan DAS bagian tengah merupakan daerah transisi diantara keduanya (Asdak, 1995).

2.4 Kearifan Lokal dan Jasa Lingkungan

Dalam kehidupan manusia dan interaksinya terhadap lingkungan berlaku suatu sistem tata nilai tentang bagaimana lingkungan tersebut dikelola. Menurut Sartini (2004), kearifan lokal atau local wisdom dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Sedangkan UUPPLH No.32 Tahun 2009 mendefinisikan kearifan lokal sebagai nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari. Dalam pengelolaan lingkungan termasuk di dalamnya pengelolaan lanskap, perlu kiranya mengadopsi nilai-nilai luhur kearifan lokal untuk mencapai suatu lanskap yang berkelanjutan. Nilai-nilai kearifan lokal yang berbasis ekologis selanjutnya disebut sebagai local ecological knowledge (LEK) atau pengetahuan ekologi lokal.

Menurut Berkes (1999) pengetahuan ekologi tradisional (TEK) merupakan ilmu atau pengetahuan berkaitan tentang hubungan antara jasad hidup (termasuk manusia) dan lingkungannya, lintas generasi maupun budaya. TEK meliputi pengetahuan, pengalaman, dan kepercayaan yang terintegrasi satu dengan lainnya, bersifat dinamis, yang melibatkan manusia untuk mengembangkan pengalaman dan pengamatan, uji coba, pengetahuan dari kelompok atau individu lainnya, serta kemampuan beradaptasi terhadap kondisi perubahan lingkungan sepanjang waktu. TEK kadangkala juga bersifat spesifik terhadap tempat dan letak geografis tertentu, yang biasanya ditemukan diantara kelompok masyarakat yang behubungan dengan penggunaan sumberdaya alam setempat (Berkes, 1999).

(25)

baru ini kemudian disebut sebagai pengetahuan ekologi lokal (local ecological knowledge atau LEK). LEK didefinisikan sebagai suatu pengetahuan, kegiatan, atau kepercayaan terkait dengan hubungan yang berbasis ekologis yang diperoleh melalui pengamatan perorangan yang dilakukan secara intensif dan interaksinya dengan ekosistem lokal dan kemudian membagi pengetahuan tersebut dengan pengguna sumberdaya lokal. Pada akhirnya LEK dapat berubah menjadi TEK dimana keduanya memiliki nilai penting dalam konservasi terhadap sumberdaya hayati.

Terkait upaya konservasi keanekaragaman hayati, baik itu keanekaragaman jumlah dan jenis serta pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan merupakan salah satu bentuk jasa lingkungan. Jasa lingkungan didefinisikan sebagai keseluruhan konsep sistem alam yang menyediakan aliran barang dan jasa yang bermanfaat bagi manusia dan lingkungan. Jasa lingkungan dihasilkan oleh suatu proses yang terjadi pada ekosistem alam. Misalnya, dalam suatu ekosistem hutan yang memiliki beragam jenis vegetasi dan plasma nutfah, ekosistem tersebut memiliki fungsi menjaga keanekaragaman hayati. Keberadaan jasa lingkungan dapat dipengaruhi oleh faktor alam dan juga faktor manusia.

(26)

contoh mekanisme pembayaran yang dapat diterapkan dari adanya jasa ini adalah memberikan insentif bagi negara-negara yang dapat mempertahankan stok karbon pada kawasan hutan.

2.5 Penginderaan Jauh dan Citra ALOS AVNIR-2

Penginderaan jauh menurut Jaya (2010) merupakan terjemahan dari remote sensing yang telah dikenal di Amerika Serikat sekitar akhir tahun 1950-an. Kemudian sekitar tahun 1970-an istilah ini diperkenalkan di beberapa Negara Eropa, seperti tèlèdetèction (Perancis), telepercèption (Spanyol) dan fernerkundeung (Jerman). Menurut Manual of Remote Sensing, pengertian remote sensing (penginderaan jauh) merupakan ilmu dan seni pengukuran untuk mendapatkan informasi suatu objek atau fenomena, menggunakan suatu alat perekaman dari suatu kejauhan dimana pengukuran dilakukan tanpa melakukan kontak langsung secara fisik dengan objek atau fenomena yang diukur/diamati.

Lebih lanjut Jaya (2010) menjelaskan bahwa setidaknya terdapat tiga manfaat yang diperoleh dari data yang berbasis penginderaan jauh ini antara lain adalah:

1. Dapat memberikan data yang unik yang tidak bisa diperoleh dengan menggunakan sarana lain,

2. Memudahkan pekerjaan lapangan, dan

3. Memberikan data yang lengkap dalam waktu yang relative singkat dengan biaya yang relatif murah.

Saat ini, penginderaan jauh tidak hanya mencakup kegiatan pengumpulan data mentah tetapi juga mencakup pengolahan data secara otomatis (komputerisasi) dan manual (interpretasi), analisis citra dan penyajian data yang diperoleh. Kegiatan penginderaan dibatasi pada penggunaan energi elektromagnetik (Jaya, 2010).

(27)

digunakan untuk penginderaan jauh, yaitu; PRISM (Panchromatic Remote-sensing Instrument Stereo Mapping), AVNIR-2 (Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type 2), dan PALSAR (Phased Array type L-band Synthetic Aperture Radar). ALOS AVNIR-2 merupakan citra yang digunakan untuk mengobservasi jenis tutupan lahan, yang nantinya dapat menghasilkan peta tutupan lahan. Karakteristik dari citra ALOS AVNIR-2 terdapat pada Tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik Citra ALOS AVNIR-2

No. Karakteristik Keterangan

1. Jumlah Band 4

2. Panjang Gelombang (µm) Band 1: 0,42 – 0,50 µ m Band 2: 0,52 – 0,60 µ m Band 3: 0,61 – 0,69 µ m Band 4: 0,76 – 0,89µ m

3. Resolusi spasial (m) 10

4. Resolusi radiometrik (bit) 8 5. Resolusi temporal (revisit, hari) 46

6. Waktu peluncuran 2006

(28)

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan selama tujuh bulan mulai bulan Maret 2010 sampai dengan bulan September 2010. Lokasi penelitian adalah DAS Kali Bekasi bagian hulu terletak pada koordinat geografis 106°49’0” BT sampai 107°07’00” BT dan 06°26’00” LS sampai 06°41’00” LS. Sebagian besar kawasan hulu DAS Kali Bekasi berada di wilayah administrasi pemerintahan Kabupaten Bogor (sepuluh kecamatan), sisanya berada di wilayah Kabupaten Bekasi (satu kecamatan) dan Kota Depok (satu kecamatan). Luas hulu DAS Kali Bekasi adalah 47.054,50 hektar dengan ketinggian berkisar antara 0 m dpl sampai 1.647 m dpl dengan batas hulu DAS di sebelah utara adalah DAS Kali Bekasi bagian tengah, batas sebelah timur adalah DAS Citarum, sedangkan batas sebelah selatan dan barat adalah DAS Ciliwung (Gambar 2).

(29)

3.2. Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian

Penelitian ini difokuskan pada tiga lokasi pengamatan berdasarkan ketinggian yang berbeda di dalam satuan wilayah kampung sebagai masyarakat pengelola bambu. Lokasi pengamatan hulu DAS bagian atas berada pada ketinggian >700 m dpl, hulu DAS bagian tengah berada pada ketinggian 300-700 m dpl, dan hulu DAS bagian bawah berada pada ketinggian 0-300 m dpl. Penentuan lokasi pengamatan tersebut menggunakan peta DEM SRTM (Digital Elevation Model, Shuttle Radar Topography Mission). Pengambilan lokasi kampung selain mewakili lokasi hulu DAS bagian atas, tengah, dan bawah juga ditentukan berdasarkan keterjangkauan wilayah.

Lokasi pengamatan kampung yang mewakili ketinggian hulu DAS bagian atas adalah Kampung Cimandala yang terletak di Desa Karang Tengah, Kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor. Sedangkan lokasi pengamatan kampung yang mewakili kawasan hulu DAS bagian tengah adalah Kampung Landeuh yang terletak di Desa Karang Tengah, Kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor. Untuk kawasan lokasi pengamatan kampung yang mewakili hulu DAS bagian bawah adalah Kampung Leuwijambe yang terletak di Desa Kadumanggu, Kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor.

Batas DAS Kali Bekasi bagian hulu diperoleh melalui dijitasi peta analog DAS Kali Bekasi lembar A menggunakan perangkat lunak ArcView 3.2. Ruang lingkup kawasan yang diteliti meliputi lanskap tegakan bambu baik berupa kebun bambu, talun bambu, maupun tegakan bambu sebagai tanaman pembatas atau pagar yang diamati dalam plot pengamatan. Ruang lingkup penelitian difokuskan pada pendistribusian pertanaman bambu di hulu DAS Kali Bekasi melalui interpretasi pola tutupan lahan dengan menggunakan citra ALOS AVNIR-2, menganalisis keanekaragaman jenis tegakan bambu dan tegakan non-bambu serta potensi biomassanya, serta mengidentifikasi bentuk pengelolaan bambu dan pemanfaatannya yang telah diterapkan oleh petani maupun masyarakat lokal setempat.

3.3 Bahan dan Alat

(30)

1209-143 (Bogor), dan 1209-144 (Tajur), citra ALOS AVNIR-2 (A D1113730 0 1B2 17 Juli 2009) resolusi 10 m, dan DEM SRTM resolusi 90 m. Adapun alat yang digunakan antara lain GPS, DBH meter, kamera, lembar panduan wawancara, dan perangkat lunak pengolah peta seperti ERDAS IMAGINE 9.1, ArcView 3.2, dan ArcGIS 9.3.

3.4 Jenis dan Sumber Data

Dalam penelitian di lapangan dipandu dengan rincian jenis data, sumber data, dan kegunaannya (Tabel 2). Hal Tersebut memudahkan dalam pengumpulan data.

Tabel 2. Jenis dan Sumber Data Studi

Jenis Data

Indikator

Pengamatan Unit Sumber Data

Metode

cm Pengukuran di lapangan (metode jalur dan metode

(buluh) Observasi, wawancara Indeks

keragaman Shannon’s-Wienner Jenis tumbuhan

bawah

- Observasi di lapangan (metode jalur dan metode

Luas wilayah km2 BPS, potensi desa Analisis

deskriptif

(31)

Lanjutan Tabel 2

Jenis Data

Indikator

Pengamatan Unit Sumber Data

Metode

3.5 Teknik Pengumpulan Data 3.5.1 Observasi Tanaman

Pengumpulan data jumlah dan jenis tegakan bambu maupun non-bambu di lokasi pengamatan dilakukan dengan membuat plot dengan menerapkan metode kombinasi, yaitu menggabungkan antara metode jalur dan metode garis berpetak (Indriyanto, 2006). Terdapat tiga plot ulangan di dalam satu lokasi pengamatan baik itu di hulu DAS bagian atas, tengah, maupun bawah. Plot ditentukan secara purposive acak di dalam kebun campuran yang di dalamnya terdapat pertanaman bambu maupun di dalam lahan yang bukan kebun campuran namun di dalamnya juga terdapat tegakan bambu. Dalam pelaksanaan di lapangan, metode jalur digunakan untuk melakukan observasi jenis tegakan bambu maupun tegakan non-bambu dalam plot pengamatan. Dalam metode jalur dibuat jalur-jalur dengan jarak 10 m yang dibuat sejauh 50 m (Gambar 3).

(32)

Gambar 3. Bentuk dan Ukuran Jalur Pengamatan Bambu, Non-bambu, dan Tumbuhan Bawah

3.5.2 Wawancara

Wawancara dilakukan secara terfokus (focused interviews) dengan metode wawancara semi terstruktur (semi-structured) dan menerapkan metode the knowledge based-systems methodology atau sistem berbasis pengetahuan (SBP) untuk mengumpulkan data pengetahuan lokal berbasis ekologi (Walker et al., 1997; Sinclair dan Walker, 1999; Mulyoutami et al., 2009). Penerapan metode ini dilakukan dengan memilih informan kunci (key informant) yang memiliki pengetahuan mengenai pengelolaan tegakan bambu, serta bersedia dan kooperatif untuk diwawancara. Dalam penelitian ini, jumlah informan kunci yang dipilih adalah sebanyak sembilan orang. Informan kunci yang dipilih merupakan petani maupun masyarakat lokal yang merupakan pemilik kebun bambu atau tegakan bambu, atau petani maupun masyarakat lokal yang mengelola kebun bambu serta memanfaatkan bambu yang tumbuh di sekitar tempat tinggal mereka

Kegiatan wawancara dilakukan dengan disertai kegiatan observasi di lapangan. Hal ini dilakukan sebagai rangkaian kegiatan yang saling terintegrasi dalam aktivitas wawancara. Panduan pertanyaan dalam wawancara meliputi empat aspek pertanyaan terkait kepemilikan, nilai penting tanaman, pengelolaan, dan pengetahuan ekologi lokal (Tabel 3). Untuk aspek kepemilikan lahan, baik berupa kebun bambu atau talun bambu maupun tegakan bambu sebagai tanaman pembatas pertanyaan yang diajukan meliputi lama tinggal dan luasan kebun bambu atau talun bambu yang dimiliki atau dikelola. Selanjutnya pertanyaan mengenai aspek nilai penting dari keberadaan tegakan bambu meliputi pemahaman responden tentang manfaat bambu, baik itu manfaat ekologis bambu bagi lingkungan maupun manfaat sosial bambu bagi masyarakat sekitar.

2

1 3

4

5

Arah jalur pengamatan 50 m

10 m

(33)

Untuk aspek pengelolaan dari tegakan bambu tersebut juga menjadi pertanyaan penting untuk digali terkait pelaku pengelolaan, kegiatan pengelolaan, frekuensi pengelolaan, serta besarnya biaya yang dibutuhkan dalam pengelolaan tersebut. Sedangkan untuk aspek tingkat pengetahuan lokal dalam pengelolaan bambu terkait dengan praktek-praktek yang diterapkan dalam mengelola bambu yang terkait dengan aspek ekologis serta sumber dari pengetahuan yang diterapkan tersebut, apakah merupakan introduksi dari luar atau merupakan warisan pengetahuan.

Tabel 3. Aspek Dalam Menggali Pengetahuan Ekologi Lokal Bambu No. Aspek Yang Diamati Daftar Pertanyaan

1. Kepemilikan 1. Berapa lama anda tinggal di sini?

2. Ada berapa generasi yang telah tinggal di sini?

3. Apakah anda memiliki kebun bambu/kebon awi/tegakan bambu?

4. Jika iya, berapa luasan kebon awi/tegakan bambu yang anda miliki? Jika tidak, siapa pemilik kebon awi/tegakan bambu ini? 2. Nilai penting 1. Apa persepsi anda tentang kebon

awi/tegakan bambu yang anda miliki/kelola?

2. Menurut anda, nilai penting apa saja yang dimiliki dengan adanya kebon awi/tegakan bambu?

3. Menurut anda, apa peran kebon awi/tegakan bambu bagi lingkungan, masyarakat, sumber pendapatan (dalam rupiah, jika ada)?

3. Pengelolaan 1. Siapa yang melakukan kegiatan

pengelolaan terhadap kebon awi/tegakan bambu ini?

2. Apakah anda melakukan kegiatan pengelolaan kebon awi/tegakan bambu? Jika iya, bagaimana anda mengelola kebon awi/tegakan bambu ini?

3. Berapa sering (frekuensi) kebon

awi/tegakan bambu ini dikelola (dipanen, dimanfaatkan, dll)?

(34)

Lanjutan Tabel 3

No. Aspek Yang Diamati Daftar Pertanyaan 4. Tingkat pengetahuan

ekologi lokal atau tradisional

1. Adakah nilai pengetahuan lokal yang diterapkan dalam mengelola kebon awi/tegakan bambu? Jika ada, sebutkan bentuk-bentuk pengelolaan yang diterapkan.

2. Darimanakah asal pengetahuan lokal pengelolaan kebon awi/tegakan bambu tersebut? Apakah pengetahuan tersebut diwariskan/diturunkan?

3. Apakah pengetahuan yang diterapkan di tempat ini mendapat introduksi dari luar (kombinasi pengetahuan tradisional dengan pengetahuan modern)? Atau merupakan pengetahuan asli?

4. Apakah ada kegiatan penyuluhan atau pembinaan (pemerintah/swasta) terkait dengan kegiatan pengelolaan kebon awi/tegakan bambu?

Sumber: Walker et al. (1997), Sinclair dan Walker (1999), Mulyoutami (2009), dengan modifikasi

3.5.3 Penelusuran Literatur

(35)

3.6 Metode Analisis

3.6.1 Analisis Citra Klasifikasi Tutupan Lahan

Dalam melakukan analisis citra, data satelit image yang digunakan adalah ALOS AVNIR-2 yang diambil pada tanggal 17 Juli 2009 menggunakan resolusi spasial 10 m. Kombinasi band yang digunakan adalah kombinasi band 3-2-1. Seluruh proses analisis citra dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak ERDAS IMAGINE 9 dengan melewati beberapa proses kegiatan yang terdiri dari tahap persiapan (pra-proses) yang meliputi kegiatan koreksi geometrik (georeference) dan proses memotong image (subset image) (Gambar 4). Tahap selanjutnya adalah proses analisis yang dimulai dengan ground truthing terhadap image yang telah dikoreksi dan di potong. Tahapan ini kemudian dilanjutkan dengan membuat training area dengan pembuatan AOI (area of interest) dan melakukan klasifikasi terbimbing (supervised classification) menggunakan metode peluang maksimum atau maximum likelihood method.

(36)

Gambar 4. Proses Pengolahan Citra ALOS AVNIR-2

3.6.1.1Koreksi geometrik

Menurut Jaya (2010), koreksi geometrik merupakan proses melakukan transformasi data dari satu sistem grid menggunakan suatu transformasi geometrik. Pertimbangan dilakukannya koreksi geometri ini antara lain bertujuan untuk:

1. Membandingkan dua citra atau lebih untuk lokasi tertentu, 2. Membangun SIG dan melakukan permodelan spasial,

3. Meletakkan lokasi-lokasi pengambilan training area sebelum melakukan klasifikasi,

4. Membuat peta dengan skala yang teliti,

5. Melakukan overlay citra dengan data spasial lainnya,

6. Membandingkan citra dengan data spasial lainnya yang mempunyai skala yang berbeda,

PRAPROSES Citra ALOS AVNIR-2

Georeference

Citra ALOS AVNIR-2 terkoreksi

Penentuan training area

Peta tutupan lahan Supervised classification (Maximum Likelihood Method)

Ground truthing

PROSES

Subset image

Accuracy assessment

(37)

7. Membuat mozaik citra, dan

8. Melakukan analisis yang memerlukan lokasi geografis dengan presisi yang tepat.

Tahapan georeference ini dilakukan dengan memproyeksikan citra dengan menggunakan sistem proyeksi UTM (Universal Transverse Mercator) WGS 84 dengan zona UTM 48S. Keseluruhan proses dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak ERDAS Imagine 9.1.

3.6.1.2Memotong Image (Subset Image)

Proses memotong image suatu citra dengan menggunakan ERDAS disebut dengan subset image. Setelah citra dikoreksi dilanjutkan dengan melakukan pemotongan citra (subset image) sesuai lokasi studi yaitu hulu DAS Kali Bekasi. Pemotongan citra menggunakan peta deliniasi DAS bagian hulu diperoleh dari BPDAS Ciliwung-Citarum yang didijitasi ulang dan disimpan dalam format .aoi file. Proses pemotongan citra dengan perangkat lunak ERDAS Imagine 9.1 dilakukan dengan menggunakan menu DATAPREP-SUBSET IMAGE. Setelah proses subset selesai, maka citra siap dianalisis (Gambar 5).

Gambar 5. Proses Pemotongan Citra ALOS AVNIR-2

3.6.1.3Klasifikasi Terbimbing (Supervised Classification)

Klasifikasi terbimbing merupakan proses klasifikasi yang dilakukan dengan arahan analis (supervised classification). Kriteria pengelompokan kelas

(38)

ditetapkan berdasarkan penciri kelas atau class signature yang diperoleh analis melalui pengamatan area contoh atau training area. Penciri kelas ini merupakan suatu set data yang diperoleh dari suatu training area, ruang fitur (feature space), dan klaster. Penciri kelas diperlukan dalam proses klasifikasi. Penciri kelas dapat berupa penciri kelas parametrik dan penciri kelas non-parametrik. Dalam penciri kelas parametrik didasarkan pada parameter-parameter statistik seperti jumlah band/kanal dalam citra input, nilai minimum dan maksimum masing-masing band dari suatu contoh training area atau klaster, nilai rata-rata masing-masing band pada masing-masing kelas atau klaster, nilai ragam-peragam dari suatu kelas atau klaster, dan jumlah piksel dalam setiap klaster.

Dalam penciri non-parametrik penciri kelas berdasarkan pada area of interest (AOI) yang dibuat pada gambar feature space untuk citra yang akan diklasifikasi. Metode non-parametrik menggunakan penciri kelas non-parametrik untuk mengelompokkan pikselnya ke dalam suatu kelas berdasarkan lokasinya, baik di dalam maupun di luar area feature space. Metode klasifikasi terbimbing yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode peluang maksimum (maximum likelihood classifier) dengan menggunakan penciri non-parametrik AOI. Dalam penelitian ini penciri kelas yang dibuat adalah sebanyak sepuluh kelas dengan masing-masing penciri kelas dibuat sebanyak 4-5 training area secara merata pada seluruh kawasan. Jenis-jenis penciri kelas yang dibuat antara lain tanah terbuka (bare land), semak (shrub and bush), sawah (paddy field), ladang (dry land agriculture), kebun (mix garden), hutan (forest), badan air (water bodies), area terbangun (built area), awan (cloud and shade), serta interpretasi tegakan bambu (bamboo stands)

3.6.1.4Pendugaan Tingkat Akurasi (Accuracy Assessment)

(39)

diukur berdasarkan persentase jumlah piksel yang dikelaskan secara benar dibagi dengan jumlah total piksel yang diklasifikasi. Akurasi tersebut sering disebut dengan overall accuracy atau akurasi umum. Namun, akurasi ini jarang digunakan sebagai indikator yang baik untuk mengukur kesuksesan suatu klasifikasi karena hanya menggunakan piksel-piksel yang terletak pada diagonal suatu matriks kontingensi. Akurasi yang dianjurkan adalah akurasi Kappa. Penelitian ini menggunakan akurasi Kappa dengan ekstensi Jaya’s Kappa & Dendogram V 1.2 pada ArcView 3.2. Akurasi ini menggunakan semua elemen dalam matriks. Persamaan matematis dari akurasi Kappa adalah sebagai berikut:

Keterangan:

Xii = nilai diagonal dari matriks kontingensi baris ke-I dan kolom ke-i

X+i = jumlah piksel dalam kolom ke-i

Xi+ = jumlah piksel dalam baris ke-i

N = banyaknya piksel dalam contoh 3.6.2 Analisis Indeks Biomassa

Biomassa merupakan berat bahan organik per unit area yang ada dalam beberapa komponen ekosistem pada waktu tertentu. Pengukuran terhadap biomassa dilakukan dengan melakukan pengukuran DBH. Pengukuran DBH bambu maupun DBH pohon dilakukan dengan cara mengukur diameter pohon pada ketinggian 1.3 m di atas tanah atau sekitar setinggi dada. Selanjutnya, dari pengukuran DBH dapat diduga biomassanya.

3.6.2.1Indeks Biomassa Tegakan Bambu

Perhitungan indeks biomassa bambu dapat dibedakan menurut usia kemunculan buluh bambu muda (rebung), yaitu indeks biomassa pada bambu yang berusia di atas satu tahun atau lebih (1-year-old and older culms) dan indeks biomassa bambu yang berusia kurang dari satu tahun (current year emerged-culm) (Saroinsong, 2007). Dalam penelitian ini, pengukuran indeks biomassa yang digunakan adalah indeks biomassa bambu yang berusia satu tahun atau lebih dengan asumsi bahwa plot-plot bambu yang dipilih merupakan plot bambu yang permanen yang sudah lama dibudidayakan dan dikelola secara aktif. Indeks

K= ∑ 12 ∑ 1

(40)

biomassa bambu dapat dihitung dengan melihat hubungan antara DBH buluh dengan total berat kering bambu yang berasal dari buluh (culms), cabang (branches), dan daun (leaves). Persamaan indeks biomassa bambu yang digunakan dalam penelitian ini adalah mengikuti persamaan indeks biomassa yang digunakan Saroinsong (2007) sebagai berikut:

Keterangan:

D= Diameter setinggi dada (DBH) BB= Indeks biomassa cabang

BC=Indeks biomassa buluh

BL= Indeks biomassa daun

3.6.2.1 Indeks Biomassa Tegakan Pohon

Indeks biomassa pohon didefinisikan sebagai jumlah total dari total bahan organik yang terdapat di atas tanah atau berat kering dalam ton per unit area (Brown, 1997). Persamaan dalam menentukan volume pohon (biomassa) dengan menggunakan persamaan yang dikembangkan Brown (1997) adalah:

Keterangan: Y = biomassa

D = diameter setinggi dada (cm)

a,b = konstanta untuk daerah tropis lembab, dengan a=0,11 dan b=2,53

3.6.3 Analisis Indeks Keanekaragaman Shannon’s-Wienner

Keanekaragaman spesies merupakan ciri tingkatan komunitas berdasarkan organisasi biologinya. Keanekaragaman spesies dapat digunakan untuk

BC=0,09103(D2)1,1286

BB=0,04469(D2)0,7569

(41)

menyatakan struktur komunitas dan mengukur stabilitas komunitas (Soegianto, 1994). Suatu komunitas dikatakan memiliki keanekaragaman spesies yang tinggi jika disusun oleh banyak spesies. Untuk mengetahui keanekaragaman spesies baik itu keanekaragaman spesies bambu dan non-bambu digunakan perhitungan dengan menggunakan indeks keragaman Shannon-Wienner (Odum, 1993; Soegianto, 1994).

Keterangan:

H’= Indeks keanekaragaman Shannon’s pi = proporsi spesies ke-i dalam komunitas

3.6.4 Analisis Deskriptif Pengetahuan Ekologi Lokal

Pengukuran terhadap pengetahuan ekologi lokal dilakukan dengan mengadaptasi metode yang disampaikan oleh Walker et al. (1997), Sinclair dan Walker, (1999), dan Mulyoutami (2009) yaitu metode sistem berbasis pengetahuan (the knowledge based-sistem methodology). Di dalam penerapan metode ini dilakukan pemilihan individu sebagai informan kunci (key informant). Setelah informan kunci terpilih, kemudian dilakukan wawancara. Selanjutnya, untuk mendapatkan data mengenai keragaman spesies yang ada, maka dilakukan observasi langsung dengan mengidentifikasi jenis-jenis tanaman yang ditemui baik itu untuk jenis bambu maupun non-bambu serta wawancara untuk memperoleh informasi mengenai pengetahuan ekologi lokal yang diterapkan petani maupun masyarakat dalam kegiatan pengelolaan.

Analisis dilakukan secara deskriptif berdasarkan daftar pertanyaan terhadap berbagai aspek yang terkait tentang pengetahuan lokal, seperti tentang latar belakang pemilik dan kepemilikan terhadap tegakan bambu yang dimiliki atau dikelola, nilai penting dari adanya tegakan bambu, pengelolaannya, serta bagaimana tingkat pengetahuan pemilik atau pengelola dalam mengelola tegakan bambu secara ekologi (LEK). Selain melakukan observasi pada jenis tegakan

(42)

bambu, juga dilakukan observasi pada jenis tegakan non-bambu yang tumbuh di sekitar bambu, serta tumbuhan bawah yang terdapat di dalam plot pengamatan. Analisis terhadap bambu, non-bambu, serta tumbuhan bawah dilakukan untuk mengetahui ragam jenis tanaman tersebut.

3.7 Teknik Penyajian Data

Teknik penyajian data dilakukan dengan menggunakan tabel, foto, maupun diagram untuk menampilkan data-data hasil olahan dari literatur, survei lapangan, maupun wawancara. Selain itu terdapat juga penyajian data dalam bentuk peta hasil olahan citra untuk menunjukkan pola tutupan lahan di hulu DAS Kali Bekasi dan sebaran bambu. Tahapan yang dilakukan dalam penelitian meliputi empat tahap utama mulai dari tahap persiapan, tahap pengumpulan data dan klasifikasi data, tahap analisis data, dan tahap sintesis (Gambar 6). Detil tahap kegiatan dijelaskan sebagai berikut:

1. Tahap persiapan

Meliputi kegiatan perumusan permasalahan dan menentukan lokasi studi. Perumusan permasalahan yang terjadi merupakan kondisi dan peran penting hulu DAS Kali Bekasi bagi lingkungan sekitar terutama bagi daerah hilir;

2. Tahap pengumpulan data dan klasifikasi data

Meliputi kegiatan pengumpulan data biofisik, dan data sosial baik yang diperoleh secara langsung maupun melalui penelusuran literatur. Data biofisik seperti pola tutupan lahan, jenis vegatasi, dan potensi pertumbuhan tegakan. Sedangkan data sosial seperti bentuk pengelolaan yang berbasis pengetahuan lokal yang diterapkan;

3. Tahap analisis data

(43)

4. Sintesis

Berupa rekomendasi pengelolaan berdasarkan hasil analisis pada lanskap tegakan bambu secara berkelanjutan.

Gambar 6. Kerangka Kerja Penelitian PERSIAPAN

Lanskap Tegakan Bambu yang Berkelanjutan di Hulu DAS bagian Atas-Tengah-Bawah Peta Tutupan

Pengelolaan Lanskap Tegakan Bambu Berbasis pada Konservasi Keragaman Jenis Tanaman dan

Pengetahuan Ekologi Lokal

Analisis

Klasifikasi Tuplah Analisis LEK

Analisis Shannon’s Index

Analisis Indeks Biomassa

Penting Untuk Mengetahui Ekosistem Lanskap Tegakan Bambu Hulu DAS bagian Atas – Tengah – Bawah

Potensi dan Permasalahan di Hulu DAS Kali Bekasi

(44)

3.8 Batasan Istilah Penelitian

Beberapa istilah yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:

1. Tegakan Bambu: Sekumpulan tanaman dari jenis bambu (rumpun bambu) yang masih dapat berdiri (hidup).

2. Tegakan Non-bambu: Sekumpulan tanaman dari jenis selain bambu yang masih berdiri tegak (hidup) yang terdapat di sekitar tegakan bambu.

3. Lanskap Tegakan Bambu: Suatu bentang alam dengan unsur pembentuk utama berupa sekumpulan tanaman bambu (rumpun) dan tanaman jenis lainnya yang bercampur serta unsur-unsur pembentuk lanskap lainnya baik yang bersifat biofisik maupun sosial.

4. Tumbuhan bawah: Jenis tanaman yang tumbuh di bawah tegakan bambu maupun tegakan non-bambu baik dari jenis rumput-rumputan, herba, perdu, atau semak yang berfungsi sebagai tanaman penutup tanah di dalam suatu lanskap tegakan bambu.

5. Daerah Aliran Sungai (DAS): suatu wilayah daratan yang menerima hujan, menampung dan mengalirkannya melalui satu sungai utama ke laut atau danau dimana satu wilayah DAS dipisahkan dari wilayah DAS lainnya oleh pemisah alam topografi seperti punggung bukit dan gunung (BP DAS Ciliwung-Cisadane, 2007).

6. Keanekaragaman Hayati: Keanekaragaman hayati atau biodiversity merupakan keanekaragaman mahluk hidup yang ada baik itu hewan maupun tumbuhan termasuk wilayah habitatnya.

7. Pengetahuan Ekologi Lokal (LEK): Ilmu pengetahuan yang meliputi pengalaman dan kepercayaan tentang hubungan antara jasad hidup (termasuk manusia) dan lingkungannya yang diperoleh melalui pengamatan yang dilakukan secara intensif dan interaksinya dengan ekosistem lokal.

(45)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Biofosik Hulu DAS Kali Bekasi 4.1.1 Letak Geografis dan Administratif

DAS Kali Bekasi bagian hulu merupakan suatu wilayah ekologis atau ecoregion yang terletak pada koordinat geografis 106°49’0” BT sampai 107°07’0” BT dan 06°26’0” LS sampai 06°41’0” LS. Luas wilayah hulu DAS Kali Bekasi berdasarkan hasil interpretasi citra adalah seluas 47.054,50 hektar dan terletak pada kisaran ketinggian 0 sampai 1.647 m dpl (Gambar 7).

Gambar 7. Peta Elevasi Hulu DAS Kali Bekasi

(46)

Cibinong. Sebagian lagi masuk ke dalam wilayah kecamatan Cibarusah, kabupaten Bekasi dan kecamatan Cimanggis, Kota Depok (Tabel 4).

Tabel 4. Luas Kecamatan dan Jumlah Desa di Wilayah Hulu DAS Kali Bekasi No. Kecamatan Luas Wilayah

(Km2)

Jumlah Desa Kabupaten Bogor

1. Megamendung 39,87 11

2. Sukaraja 42,97 13

3. Babakan Madang 98,71 9

4. Sukamakmur 126,78 10

5. Jonggol 126,86 14

6. Cileungsi 73,79 12

7. Kalapa Nunggal 97,64 9

8. Gunung Putri 56,29 10

9. Citeureup 67,19 14

10. Cibinong 43,37 12

Kota Depok

11. Cimanggis 53,54 13

Kabupaten Bekasi

12 Cibarusah 50,39 13

Sumber: Kabupaten Bogor Dalam Angka 2009, Kabupaten Bekasi Dalam Angka 2009, dan Kota Depok Dalam Angka 2009

Dari dua belas kecamatan yang termasuk ke dalam wilayah hulu DAS Kali Bekasi yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah kecamatan Babakan Madang. Wilayah dengan luasan total 98,71 km2 ini merupakan wilayah penting bagi kawasan hulu DAS. Pada salah satu wilayah desa di kecamatan Babakan Madang, yaitu desa Karang Tengah terdapat kawasan konservasi hutan pinus Gunung Pancar yang meliputi area seluas 1.994 hektar dan berada pada ketinggian 808 m dpl (Gambar 8). Kawasan hutan pinus ini memiliki kontribusi yang cukup besar terhadap luasan wilayah mencapai 67% dari total luasan desa (Potensi Desa Karang Tengah, 2010). Keberadaan area hutan di wilayah hulu DAS Kali Bekasi memiliki peran yang penting dalam rangka mengkonservasi area di sekitar hulu DAS, utamanya dalam mempertahankan fungsi konservasi DAS.

(47)

Gambar 8. Gunung Pancar Sebagai Kawasan Hulu Atas DAS Kali Bekasi

4.1.2 Iklim

Kondisi iklim di kawasan hulu DAS Kali Bekasi menurut sistem klasifikasi Schmidt dan Ferguson sebagian besar termasuk kedalam tipe iklim tropis A yaitu tipe iklim sangat basah untuk wilayah di bagian barat hulu DAS. Sedangkan sebagian lagi atau di wilayah bagian timur memiliki tipe iklim B atau basah. Curah hujan rata-rata bulanan menurut dua stasiun klimatologi terdekat selama periode 2005 sampai 2009 adalah sebesar 339,94 mm/tahun. Curah hujan terendah rata-rata terjadi pada bulan Juli (138,30 mm) sedangkan curah hujan tertinggi rata-rata terjadi pada bulan Januari (504,80 mm). Bulan basah (curah hujan >100 mm) terjadi hampir sepanjang tahun dalam periode tahun tersebut kecuali pada periode bulan Juli sampai September 2006 (49 mm, 16 mm, 33 mm) dan Mei sampai Agustus 2008 (75 mm, 75 mm, 15 mm, 21 mm) untuk pencatatan di Stasiun Bendung Cibongas (Babakan Madang). Sedangkan bulan kering menurut pencatatan Stasiun Ciriung (Cibinong) terjadi pada periode Juni sampai Oktober 2006 (75 mm, 75 mm, 15 mm, 21 mm, 90 mm) dan periode Juni sampai Juli 2008 (82 mm dan 25 mm).

(48)

Tabel 5 memperlihatkan rataan curah hujan bulanan yang terjadi selama periode 2005 sampai 2009. Dengan kondisi iklim yang sangat basah yang terjadi hampir sepanjang tahun dan curah hujan rata-rata tahunan yang mencapai >300 mm perlu mendapat perhatian agar aliran air permukaan dapat diminimalisir sehingga curah hujan yang tinggi tersebut dapat diresapkan secara maksimal pada wilayah hulu DAS.

Tabel 5. Rataan Curah Hujan Bulanan Periode 2005-2009 (mm).

Bulan Stasiun Rataan Bulanan

Bendung Cibongas Ciriung

Januari 594.20 415.40 504.80

Februari 486.60 434.40 460.50

Maret 453.60 499.60 476.60

April 560.00 389.80 474.90

Mei 220.40 397.20 308.80

Juni 275.60 235.40 255.50

Juli 131.40 145.20 138.30

Agustus 150.60 144.20 147.40

September 203.60 196.60 200.10

Oktober 386.00 261.00 323.50

November 360.40 367.20 363.80

Desember 458.20 392.00 425.10

Rataan 356.72 323.17 339.94

Sumber: BMKG Stasiun Klimatologi Darmaga – Bogor, 2010

(49)

Gambar 9. Peta Iklim Hulu DAS Kali Bekasi

4.1.3 Tanah

(50)

lempung berliat, struktur granular dan remah, kedalaman efektif umumnya > 90 cm, dan agak tahan terhadap erosi, serta pH yang agak netral dan kandungan bahan organik yang rendah atau sedang. Secara umum, sifat tanah latosol cukup subur dan hampir cocok untuk kegiatan pertanian termasuk bagi pertumbuhan bambu.

Gambar 10. Peta Jenis Tanah Hulu DAS Kali Bekasi

4.1.4 Hidrologi dan Prasarana Pengairan

(51)

Cikeruh, Cilandak, Cileungsi, Cimalaya, Cimandala, Cipancar, Cipandan, Ciparigi, Cipatujah, Cireundeu, Ciseupan, Ciseuseupan, Ciseyah, Citaringgul, Citatah, Citeureup, Ciukuy, Kali Kiuntang, Kali Demang, Situ Tunggilis, Situ Cibuntu, Situ Citatah, dan Situ Gedong. Seluruhnya sungai dan anak sungai ini nantinya bermuara pada Kali Bekasi. Lokasi pengamatan hulu DAS bagian atas berada di sekitar sungai Cimandala, sedangkan lokasi pengamatan hulu DAS bagian tengah berada di sekitar sungai Cipancar. Untuk lokasi pengamatan hulu DAS bagian bawah berada di sekitar sungai Citaringgul. Ketiga sungai ini kemudian menuju ke sungai Citeureup dan pada akhirnya menyatu menuju sungai Kali Bekasi.

Gambar 11. Peta Sungai di Hulu DAS Kali Bekasi

(52)

Tabel 6. Prasarana Pengairan di Hulu DAS Kali Bekasi

No. Kecamatan Sarana Pengairan

Situ/Danau Bendungan Check Dam

1 2 3 4 5

Kabupaten Bogor

1. Megamendung - - 12

2. Sukaraja - - -

3. Babakan Madang 2 - -

4. Sukamakmur - 1 -

5. Jonggol 3 4 -

6. Cileungsi 6 - -

7. Kalapa Nunggal 2 - -

8. Gunung Putri 18 - 4

9. Citeureup 1 - -

10. Cibinong 6 1 -

Kota Depok

11. Cimanggis 2 - -

Kabupaten Bekasi

12. Cibarusah - - -

Total 40 6 16

Sumber: BP DAS Citarum-Ciliwung, 2007

4.1.4 Topografi

(53)

Berdasarkan bentuk topografinya, wilayah DAS Kali Bekasi bagian hulu memiliki bentuk topografi yang bervariasi mulai dari bentuk datar (0 -8 %), landai (8 – 15 %), bergelombang (15 – 25 %), curam (25 – 40 %), sampai sangat curam (>40 %) (Gambar 12). Secara umum, bentuk topografi di hulu DAS Kali Bekasi didominasi oleh bentuk datar seluas 54,10% dari luas wilayah. Bentuk topografi landai meliputi kawasan sebesar 22,23% dan bergelombang sebesar 12,36%. Untuk kawasan yang memiliki bentuk topografi curam dan sangat curam meliputi kawasan masing-masing sebesar 6,99% dan 4,31% (Tabel 7). Lokasi pengamatan hulu DAS bagian atas berada pada wilayah dengan bentuk topografi sangat curam hingga curam.

Tabel 7. Kelas Lereng dan Luasannya di Hulu DAS Kali Bekasi

No. Kelas Lereng Luas

Kategori (%) Hektar %

1. Datar 0-8 25.458,28 54,10

2. Landai 8-15 10.461,96 22,23

3. Bergelombang 15-25 5.818,23 12,36

4. Curam 25-40 3.289,41 6,99

5. Sangat curam >40 2.026,62 4,31

Total 47.054,50 100

Sumber: Pengolahan DEM SRTM

Kecamatan Babakan Madang dengan luas wilayah 9,871 hektar memiliki sebaran topografi mulai dari kelas lereng datar sebesar 0,03%, landai sebesar 19,61%, bergelombang sebesar 46,05%, dan sangat curam sebesar 34,31%. Dari sebaran tersebut wilayah ini berkontribusi paling luas terhadap kelas lereng sangat curam dibandingkan kecamatan-kecamatan lainnya di wilayah hulu DAS Kali Bekasi yaitu sebesar 49% dari luas total kawasan (BP DAS Ciliwung-Cisadane, 2007). 4.2 Karakteristik Sosial Ekonomi

4.2.1 Kependudukan

(54)

Tabel 8. Kepadatan Penduduk per Kecamatan Tahun 2008

Sumber: Kabupaten Bogor Dalam Angka 2009, Kabupaten Bekasi Dalam Angka 2009, dan Kota Depok Dalam Angka 2009

Dari Tabel 8 dapat dilihat bahwa kepadatan penduduk tertinggi berada di Kecamatan Cimanggis, Kota Depok dengan luas wilayah sebesar 53,54 km2 dan jumlah penduduk sebanyak 421.630 jiwa. Sedangkan kepadatan penduduk terendah terdapat pada wilayah Kecamatan Sukamakmur, Kabupaten Bogor dengan luas wilayah 126,78 km2 dan jumlah penduduk sebanyak 73.078 jiwa. Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa penyebaran penduduk di tiap kecamatan di wilayah hulu DAS Kali Bekasi adalah sebesar 2.197 jiwa/km2. 4.2.2 Mata Pencaharian

(55)

Tabel 9. Persentase Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian Sumber: BP DAS Citarum-Ciliwung, 2007 (dengan pengolahan)

Keterangan:

Pt= Petani Pd= Pedagang Pa= PNS/ABRI

Bt= Buruh Tani Ik= Industri Kecil Tk= Tukang Kayu/Batu

Nl= Nelayan Ak= Angkutan Pn= Peternakan Ll= Lain-lain

Gambar

Tabel 2. Jenis dan Sumber Data Studi Jenis Indikator
Tabel 3. Aspek Dalam Menggali Pengetahuan Ekologi Lokal Bambu No. Aspek Yang Diamati Daftar Pertanyaan
Gambar 4. Proses Pengolahan Citra ALOS AVNIR-2
Gambar 6. Kerangka Kerja Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Temuan pertama penelitian ini adalah terjadi kesenjangan persepsi yang lebar antara pemerintah dengan masyarakat lokal pengguna lahan, terutama kelompok petani sayur, dalam

Perencanaan Ruang di Sub DAS Brantas Hulu dibuat dengan mempertimbangkan kemampuan lahan dan kondisi pemanfaatan lahan eksisting. Perubahan dilakukan pada pemanfaatan lahan

Tingginya eksploitasi lahan di hulu DAS Batang Pane menyebabkan terjadinya pergeseran fungsi yang pada hakikatnya hulu DAS merupakan kawasan konservasi berubah menjadi

Perencanaan Ruang di Sub DAS Brantas Hulu dibuat dengan mempertimbangkan kemampuan lahan dan kondisi pemanfaatan lahan eksisting. Perubahan dilakukan pada pemanfaatan lahan

Tingginya eksploitasi lahan di hulu DAS Batang Pane menyebabkan terjadinya pergeseran fungsi yang pada hakikatnya hulu DAS merupakan kawasan konservasi berubah menjadi

Keragaman sumber pendapatan petani di hulu DAS Sekampung yang berasal dari berbagai vegetasi tanaman penting dalam menjaga tutupan lahan sebagai wilayah tangkapan

Tujuan utama penelitian ini adalah merancang alternatif model usahatani konservasi tanaman sayuran di hulu Sub-DAS Cikapundung, sedangkan tujuan antara ialah (1)

Berdasarkan analisis Indeks Konservasi Po- tensial yang dilakukan, dapat diketahui bahwa Sub DAS Cikapundung Hulu didominasi oleh zona konservasi sangat tinggi dengan