Dimensi ketiga analisis wacana yang diungkapkan oleh Van Dijk adalah konteks sosial. Wacana adalah bagian dari wacana yang berkembang di masyarakat, sehingga untuk meneliti teks diperlukan analsis intertekstual dengan meneliti bagaimana wacana tentang suatu hal dipoduksi dan dikonstruksi dalam masyarakat. Menurut Van Dijk dalam analisis mengenai masyarakat ada dua poin penting yaitu kekuasaan (power) dan akses (acess) (Eriyanto,2011:272).
Dalam penelitian ini akan diuraikan penelitian bagaimana dimensi sosial masyarakat mampu menjawab wacana apa yang muncul dalam sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series episode 439-441 terkait wacana toleransi dengan konsep Imlek yang diangkat dalam sinetron ini.
1. Praktik kekuasaan
Van Dijk mendefinisikan kekuasaan sebagai kepemilikan yang dimiliki oleh suatu kelompok (atau anggotanya), satu kelompok untuk mengontrol kelompok lain. Kekuasaan ini umumnya didasarkan pada kepemilikan atas sumber-sumber yang bernilai seperti uang, status, dan pengetahuan. Selain berupa kontrol yang bersifat langsung dan fisik, kekuasaan dipahami oleh Van Dijk juga berbentuk persuasif, tindakan seseorang secara tidak langsung mengontrol dengan mempengaruhi kondisi mental seperti kepercayaan, sikap, dan pengetahuan (Eriyanto, 2011:272). Analisis wacana memberikan perhatian yang besar terhadap apa yang disebut sebagai dominasi, juga memberi perhatian atas produksi lewat legitimasi melalui bentuk kontrol pikiran. Secara umum dianalisis bagaimana proses produksi itu secara umum dipakai untuk membentuk kesadaran dan konsensus.
Seperti yang telah diuraikan oleh Van Dijk, kekuasaan dipahami juga berbentuk persuasif, tindakan seseorang secara tidak langsung mengontrol dengan mempengaruhi kondisi mental, tentu dalam kajian ini yang dimaksudkan adalah respon masyarakat yang dominan pemeluk agama Islam terhadap keberadaan keluarga yang beretnis Tionghoa sebagai penganut Konghuchu yang merayakan perayaan tahun baru Imlek. Dengan mengangkat konsep Imlek pada episode 439-441, memberikan gambaran kepada masyarakat, khususnya anggota masayarakat yang beragama Islam memandang pentingnya tentang toleransi didalam kehidupan bermasyarakat, dengan berbeda budaya, berbeda etnis, dan berbeda agama tetapi saling menghormati satu sama lain. Hal tersebut terlihat dari penggambaran perayaan Imlek dalam masyarakat di lingkungan tempat tinggal keluarga Wan Wan yang mayoritas pemeluk agama Islam, dimana dalam sinetron tersebut muncul sikap antusias masyarakat untuk membantu persiapan penyelenggaraannya maupun antusias di dalam menonton pertunjukkan barongsai. Sehingga sinetron ini menggambarkan bentuk toleransi dengan sikap dominasi masyarakat yang beragama Islam terhadap etnis Tionghoa yang merayakan Imlek sebagai minoritas. Hal tersebut dikarenakan ingin menekankan nilai-nilai sosial yang menyangkut toleransi bagi masyarakat khususnya yang beragama Islam untuk mencontoh Nabi Muhammad SAW dalam hal bagaimana realisasi tentang toleransi.
Disisi lain, kekuasaan yang terdapat pada sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series episode 439-441 juga bersifat koersif. Komunikasi instruktif/ koersif adalah memaksa dengan menggunakan sanksi-sanksi (Widjaja, 2002:32). Koersif dapat berbentuk perintah atau instruksi. Akibat dari kegiatan koersif adalah perubahan sikap, pendapat dan tingkah laku dengan perasaan terpaksa karena diancam, yang menimbulkan rasa tidak senang (Effendy, 2008:21). Dalam konteks sinetron, toleransi yang bersifat koersif terlihat pada tokoh H. Muhidin ketika mendapat tekanan dari Ki Dawud
untuk memberikan ijin kepada keluarga Wan Wan menyelenggarakan pementasan barongsai untuk perayaan tahun baru Imlek. Tekanan Ki Dawud terhadap H. Muhidin dengan ancaman akan menambah hukuman jika tidak memberikan ijin. Hal tersebut menandakan bahwa sikap M. Muhidin memberikan ijin kepada keluarga Wan Wan dengan perasaan terpaksa.
Berdasarkan dari uraian diatas, konsep Imlek yang digambarkan pada episode 439-441 sebenarnya merupakan praktik kekuasaan media dalam memberikan pembelajaran kepada masyarakat mengenai pentingnya toleransi. Wacana yang ditekankan dalam sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series episode 439-441 sebagai upaya menumbuhkan rasa toleransi, menghargai, dan menghormati antar etnis dan antar pemeluk agama lain bagi masyarakat dan mengamalkan ajaran Islam.
2. Akses Atas Media
Analisis wacana Van Dijk memberi perhatian yang besar pada akses, bagaimana akses di antara masing-masing kelompok dalam masyarakat. Kelompok elit mempunyai akses yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok yang tidak berkuasa. Oleh karena itu, mereka yang berkuasa mempunyai kesempatan lebih besar untuk mempunyai akses pada media, dan kesempatan lebih besar untuk mempengaruhi kesadaran khalayak. Akses yang lebih besar tidak hanya memberi kesempatan untuk mengontrol kesadaran khalayak lebih besar, tetapi juga menentukan topik apa dan isi wacana apa yang dapat disebarkan dan di diskusikan kepada khalayak (Eriyanto, 2011:272). Akses yang lebih besar kan hanya memberi kesempatan untuk mengontrol kesadaran khalayak lebih besar tetapi juga menentukan topik pada isi wacana apa yang dapat disebarkan.
Dari konsep perayaan tahun baru Imlek yang dikemas dalam sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series, bahwa dari beberapa sinetron lainnya, disini peneliti mengkategorikannya sebagai sinetron bertema religi Islam, sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series yang tayang di RCTI lah yang
mengemas tentang toleransi antar suku dan agama, melalui konsep perayaan tahun baru Imlek memberikan gambaran mengenai keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia yang dapat diterima oleh seluruh masyarakat yang mayoritas pemeluk agama Islam.
Sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series melalui episode 439-441, memiliki ruang dan kesempatan untuk mengangkat konsep Imlek tentang toleransi antar suku dan agama. Sehingga dalam penyampaian pesannya pun cenderung menggambarkan tentang sikap toleransi ditunjukkan dengan kehidupan masyarakat yang harmonis dan dapat hidup berdampingan, meskipun berbeda etnis dan agama. Dari pihak masyarakat yang beragama Islam misalnya, menunjukkan sikap penerimaan dan dukungan pada perayaan tahun baru Imlek yang dirayakan oleh warga minoritas di kampung mereka, yaitu keluarga Wan Wan yang beretnis Tionghoa. Penerimaan dan dukungan yang ditunjukkan dengan berbagai bentuk seperti membantu persiapan Imlek, menghadiri acara pertunjukkan barongsai yang diselenggarakan, dan memberikan ucapan selamat tahun baru Imlek serta mendoakan keluarga Wan Wan.
Di lain pihak, yaitu keluarga Wan Wan yang merupakan etnis Tionghoa dan merayakan Imlek juga merasakan penerimaan dan dukungan dari masyarakat sekitar tempat tinggalnya meskipun penuh dengan perbedaan, baik suku, agama, serta budaya. Sehingga melalui episode ini, penonton dapat menangkap pesan bahwa konsep perayaan tahun baru Imlek oleh etnis Tionghoa, tetapi juga dirasakan oleh masyarakat dari suku dan agama lain meskipun hal tersebut bagian dari adat istiadat dan tradisi etnis Tionghoa.
Bagi penonton sinetron ini, dapat dipahami bahwa perayaan tahun baru Imlek sebagai salah satu budaya etnis Tionghoa di Indonesia sekarang ini, karena sebelumnya, pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, masyarakat etnis Tionghoa mendapatkan perlakuaan yang berbeda bahkan segala bentuk praktek keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadat etnis Tionghoa di
Indonesia dilarang. Sehingga etnis Tionghoa yang ada di Indonesia merasa dibatasi ruang geraknya dalam menyelenggarakan kegiatan agama, kepercayaan, dan adat istiadatnya. Berbeda pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid mengembalikan hak etnis Tionghoa dengan mencabut Instruksi Presiden No 6 Tahun 1967. Dengan dicabutnya Instruksi Presiden, maka warga negara Indonesia yang beretnis Tionghoa dapat melakukan kembali kegiatan agama, kepercayaan, dan adat istiadat. Yang sebelumnya dilarang untuk diselenggarakan secara bebas kemudian diperkuat lagi oleh Presiden Megawati Soekarno Putri dengan mengeluarkan Keputusan Presiden No 12 Tahun 2002 yang menetapkan Imlek sebagai hari Nasional Yau Hoon. Oleh karena itu dengan ditetapkannya Imlek sebagai hari Nasional, maka segala bentuk kegiatan agama, kepercayaan, dan adat istiadat etnis Tionghoa dapat dilaksanakan secara bebas serta telah diakui oleh negara.
Dari paparan tersebut diatas, peneliti berkesimpulan bahwa sinetron ini sebagai media memberikan akses karena realitas sosial yang tidak menunjukkan toleransi. Oleh karena itu sinetron ini sebaga media media meluruskan makna toleransi melalui konsep Imlek yang digambarkan pada