• Tidak ada hasil yang ditemukan

Struktur mikro merupakan makna lokal dari suatu teks yang dapat di amati dari pilihan kata, kalimat, dan gaya yang dipakai oleh suatu teks. Dalam struktur mikro ini akan terlihat bagaimana sesungguhnya makna lokal yang ingin dibangun dalam sinetron ini. Penulis akan mengamati beberapa scene yang menjadi objek kajian dalam struktur ini. Berikut analisis struktur mikro sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series episode 39-440-441.

a. Scene 12 dan 16

Dalam scene 12 dan 16 menggambarkan kesediaan Mali, Tarmiji, Syape’i dan Romi membantu persiapan Imlek keluarga Wan Wan, membawa suatu pemahaman mengenai penerimaan dan dukungan terhadap perayaan tahun baru Imlek keluarga etnis Tionghoa. Sikap Mali, Tarmiji, Syape’i dan Romi sebagai pemeluk Islam yang bersedia membantu berbeda motif dan tujuan; Mali dan

Tramiji membantu keluarga Wan Wan karena berharap ada imbalan upah yang diterima, sedangkan Syape’i dan Romi membantu dengan niat tulus dan ikhlas untuk keluarga Wan Wan dalam penyelenggaraan perayaan tahun baru Imlek. Sebagai penerimaan dan dukungan dapat dilihat dari beberapa adegan Mali, Tarmiji, Syape’i dan Romi pada scene 12 dan 16 seperti analisa berikut ini. Scene 12

Syape’i : Eh selamat siang babah Acong, koh Wan Wan, ci leny, ngomong-ngomong ini kok pada penuh? Dari mana mau kemana to?

Acong : Yah biasa…habis belanja keperluan Imlek

Syape’i : Waaahh Gong Xi Fa Chai? Kalo begitu pasti ada yang bisa saya bantu dong nanti buat acara Imlek?

Makna yang ingin ditampilkan scene 12 episode 439-441 sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series adalah menggambarkan interaksi harmonis antara warga beretnis Tinghoa yang akan merayakan Imlek dengan masyarakat yang beragama Islam. Penempatan kalimat yang menjelaskan bahwa tokoh Syape’i dan Romi bersedia membantu keluarga Acong untuk acara Imlek, memberikan asumsi bahwa perayaan Imlek mendapat sambutan yang baik di lingkungan tempat tinggal keluarga Acong yang mayoritas menganut agama Islam. Kalimat tersebut memberi gagasan bahwa etnis Tionghoa membaur dengan masyarakat yang berbeda suku serta agama.

Berdasarkan uraian scene 12, peneliti dapat menganalisa bahwa cuplikan dialog diatas mengarah pada wacana yang dibangun mengenai dukungan dan penerimaan etnis Tionghoa dan beragama Khonghuchu oleh masyarakat khususnya yang beragama Islam. Disisi lain, sinetron ini secara tidak langsung melalui wacana

yang dibangun tersebut memberikan gambaran bagi masyarakat mengenai suatu hubungan interaksi harmonis antar suku dan antar agama untuk mengajarkan pentingnya menghargai dan menghormati meskipun terdapat banyak perbedaan. Selain itu, penggunaan kata “Gong Xi Fa Chai” pada awal cerita tentunya dibuat dengan tujuan tertentu, termasuk untuk membangun pemahaman mendasar tentang topik yang akan disampaikan. Hal tersebut menjelaskan bahwa keluarga beretnis Tionghoa tersebut akan merayakan tahun baru Imlek.

Scene 16

Tarmiji : Wah koh, kayaknya lagi banyak kerjaan nih? Acong : (sambil tersenyum) biasa kan mau imlek. Mali : Maaf koh, kira-kira perlu bantuan gak?

Acong : Boleh, kalo mau bantu. Oek sangat senang, ayo silahkan. Syape’i : Waduh udah pada sibuk aja nih? Bapak Acong, saya

bantu ya?

Acong : Iya, boleh-boleh ayo! Ayo silahkan ayo.

Dari scene 16, makna yang ingin ditampilkan yaitu bahwa perayaan Imlek keluarga Acong juga disambut bahagia oleh masyarakat tempat tinggalnya, meskipun mereka tidak merayakan Imlek. Terlihat dengan kesediaan tokoh Mali, Tarmiji, Syape’i dan Romi membantu menghias rumah dalam keluarga Acong, membawa suatu pemahaman bahwa masyarakat yang tidak merayakan Imlek ikut merasakan kemeriahan tersebut.

Sikap yang ditunjukkan Mali, Tarmiji, Syape’i dan Romi dalam membantu persiapan Imlek keluarga Acong merupakan bukti bahwa sebagai anggota masyarakat muslim mengamalkan ajaran agama mengenai toleransi dengan sikap dan perilakunya terhadap warga non muslim. Terlebih seperti apa yang dilakukan oleh Syapei

dan Romi membantu dengan niat tulus dan ikhlas seperti yang terlihat dalam scene 16 ketika keluarga Acong memberikan imbalan dalam membantu persiapan perayaan Imlek, namun ditolak oleh mereka yang terlihat pada teks kalimat Syape’i: “Nda k usah Ci Leny, terima kasih. Maaf bukannya kami ndak mau trima, tapi kami membantu ini dengan tulus kok”. Yang kemudian diperjelas dengan jawaban Romi: “Iya, kami ikhals Ci”.

Berdasarkan analisa peneliti, pada scene 16 memberikan makna mengenai ketulusan dalam membantu, sebagai bentuk sikap toleransi terhdap etnis Tionghoa meskipun berbeda latar belakang baik suku, agama, dan budaya.

b. Scene 35 dan 39 Scene 35

Wan Wan : Sebelumnya saya minta maaf pak Haji, sama semua yang ada disini. Saya mohon bicara sebentar.

Ki Dawud : Iya silahkan aja ngomong…. H. Muhidin: Iya silahkan….

Wan Wan : Begini, menyambut perayaan Imlek, saya mau minta ijin untuk merayakan pertunjukkan barongsai di rumah saya. H. Muhidin : (dengan nada marah) Kagak bisa!!! Enak aja mau ngadain gituan!!

Wan Wan : Jadi? Gak boleh pak haji? Waduh gimana ya, Kebetulan saya sudah terlanjur memesan barongsainya.

Dari cuplikan dialog diatas dapat dilihat bahwa tujuan keluarga Wan Wan selain meminta ijin juga sebagai pemberitahuan kepada H. Muhidin yang menjabat sebagai ketua RW di kampung tersebut, bahwa keluarga Wan Wan akan mengadakan pementasan barongsai saat perayaan tahun baru Imlek.

Berdasarkan analisa peneliti pada dialog yang diugkapkan oleh tokoh Wan Wan diatas memberikan makna, bahwa keluarga Wan Wan sebagai masyarakat minoritas menunjukkan etika dengan meminta ijin dan pemberitahauan mengenai pementasan barongsai yang akan diselenggarakan sebagai bentuk menghormati ketua RW yaitu H. Muhidin. Hal tersebut membawa suatu pemahaman bahwa nilai-nilai etika merupakan hal penting dalam kehidupan bermasyarakat, karena manusia sebagai makhluk sosial akan selalu bersinggungan dengan manusia lain.

Ki Da wud : Eh Din, lo harus kasih ijin. Emang kenape sih kagak boleh? Itu kan hak nye dia, mau bikin acara menyambut perayaan hari besarnye dia. Kalo lo kagak kasih ijin, gue tambahin hukuman lo, mau? Si Acong kan temen gue.

Wacana yang ingin ditampilkan yaitu sikap toleransi yang ditunjukkan Ki Dawud, salah satu sikapnya yang mencerminkan toleransi terlihat pada kalimat yang terdapat scene 35 ketika Ki Dawud menegur dan akan menambah hukuman H. Muhidin agar keluarga Wan Wan diberikan ijin menyelenggarakan pertunjukkan barongsai saat perayaan Imlek. Sikap yang ditunjukkan oleh Ki Dawud mengungkapkan bahwa perayaan Imlek yang dirayakan oleh etnis Tionghoa dan beragama Khong Hu Chu merupakan hak mereka dalam menyelenggarakan perayaan hari besar.

Berdasarkan analisa peneliti pada dialog diatas membawa suatu pemahaman, jika perayaan Imlek yang dirayakan oleh etnis Tionghoa sebagai kaum minoritas di Indonesia perlu diberikan kebebasan sebagai bentuk hak asasi manusia.

Dalam setiap agama mengajarkan akan pentingnya toleransi, begitu juga dalam ajaran Islam. Hal tersebut terlihat jelas pada Qs. Al-hujarat: 13 (Al-Quran dan terjemahannya: 517), yang menerangkan bahwa Tuhan menghendaki penciptaan manusia beragam. Keberagaman sengaja diciptakan sebagai media untuk saling mengenal, berdialog, dan kerjasama. Karena dengan saluran saling mengenal, kedamaian dan ketentraman, di alam dunia ini.

Dalam konteks sinetron ini, ditampilkan sikap toleransi seperti yang terlihat pada tokoh Ki Dawud dengan menghormati dan menghargai keluarga Acong yang akan beribadah ke klenteng saat perayaan tahun baru Imlek, walaupun di kampung tersebut tdak terdapat klenteng, hal tersebut menunjukkan bahwa keluarga Acong merupakan warga minoritas. Seperti yang dipaparkan dalam scene 39, tokoh Ki Dawud memberikan semangat kepada keluarga Acong dalam merayakan Imlek sebagai bentuk toleransi.

Dalam pemilihan kata dan kalimat yang diproduksi pada sinetron ini memberikan detil mengenai toleransi seperti yang diungkapkan tokoh Ki Dawud dalam kalimat emang kagak ada disini. Ngomong-ngomong kompak banget pake baju merah-merah. Yang semangat ye tahun baru Imlek” terhadap keluarga Acong. Kalimat tersebut memiliki maksud dan mengarah pada suatu pemahaman bahwa perayaan tahun baru Imlek yang dirayakan oleh kaum minoritas di tengah-tengah masyarakat mayoritas merupakan bentuk diterima dan didukungnya perayaan tersebut.

Berdasarkan uraian dari cuplikan dialog diatas, peneliti berkesimpulan jika sinetron ini bermaksud menyampaikan pesan sosial dan membangun wacana toleransi bagi penonton terhadap kehidupan berbangsa dengan beragam suku, budaya, dan agama yang mengedepankan nilai toleransi antar sesama.

Adegan-adegan dalam scene 35 dan 39 yang telah diuraikan di atas memperkuat tema utama dalam sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series episode 439-441, sehingga mudah untuk dipahami maksud dari sinetron tersebut.

c. Scene 41 dan 42

Sinetron Tukang bubur Naik Haji the Series episode 439-441 mengusung tema Imlek melalui produksi pesan sosial pada tokoh- tokoh sinetron yang berlatar belakang agama Islam untuk mengarahakan masyarakat mengenai nilai toleransi dalam kehidupan berbangsa. Dengan mengangkat tema tentang perayaan tahun baru Imlek dalam sinetron ini, merupakan bentuk menghargai tradisi dan kepercayaan masyarakat etnis Tionghoa sebagai bagian dari budaya Indonesia yang diterima oleh masyarakat. Penanaman nilai toleransi yang dikonstruksi pada sinetron ini, mengarahkan masyarakat agar tidak ada lagi sikap diskriminasi dan pembedaan terhadap suku, budaya, serta agama pada masyarakat minoritas seperti etnis Tionghoa. Hal tersebut terlihat pada beberapa adegan dalam sinetron yang dipaparkan berikut ini.

Scene 41

Rumanah, Roby, Ki Dawud, Nini : Assalamuallaikum… H. Muhidin : Nah ini lu juga pada mau kmana sih?

Ki Da wud : Mau ke rumah temen gua si Acong, emang nape? Rumanah : Abah gak mau ikut?

H. Muhidin : Kagak, kagak penting nonton begituan rum, udah sono kalo mau pergi.

Rumanah: Kami pergi ya bah, assalamuallaikum. H. Muhidin : Waalaikumsalam

Ustad Zakaria : Assalamualaikum, pak Haji…. Riyamah, Umi Zakaria : Assalamualaikum… H. Muhidin : Waalaikumsalam….

Ustad Zakaria : Sendirian aja pak Haji? Kagak nonton barongsai? H. Muhidin : Kagak pak ustad, eh Ini mamah ngomong-ngomong

mau nonton barongsai juga? Riyamah : Iya pak Haji….

H. Muhidin : (hening)

Ustad Zakaria : Gimana pak Haji jadi mau nonton kagak?

H. Muhidin : Oh jelas dong, ikut dong! Kan aye ketua RW, Acong sama Wan Wan aje ngundang saya secara khusus. Pak ustad, tunggu sebentar ye? Mamah tunggu ye?

Pemilihan kalimat dalam scene 41, menggambarkan para warga yang mayoritas muslim berbondong-bondong datang ke rumah keluarga Wan Wan untuk menonton pertunjukkan barongsai, menunjukkan adanya toleransi yang terlihat pada kesediaan dan partisipasi mereka datang menonton pertunjukkan barongsai yang diselenggarakan oleh keluarga Wan Wan sebagai bagian dari perayaan tahun baru Imlek, hal teresbut memberikan makna jika perayaan tahun baru Imlek yang dirayakan oleh etnis Tionghoa juga dirasakan dengan sikap senang menonton barongsai oleh masyarakat non Tionghoa terlebih tontonan tersebut baru pertama kali diselenggarakan dikampungnya. Selain menghormati perayaan keluarga beretnis Tionghoa yang di lingkungan tersebut, pertunjukkan barongsai yang diselenggarakan juga sebagai media hiburan bagi para warga yang beragama lain.

Berdasarkan dari analisa peneliti, scene 41 menjelaskan bahwa perayaan Imlek mendapat dukungan dari masyarakat sebagai bentuk tidak adanya pembedaan bagi etnis Tionghoa dan beragama

Khonghuchu sebagai etnis dan agama minoritas. Selain memberikan arahan nilai sosial bagi penonton atau pemirsa juga untuk dapat menghargai budaya etnis Tionghoa sebagai bagian dari kekayaan budaya Bangsa Indonesia. Dalam pemaparan lain, terlihat bagaimana hasil pertunjukkan barongsai yang diselenggarakan oleh keluarga Wan Wan terhadap masyarakat, yaitu hubungan yang harmonis antar etnis dan agama. Rasa ketertarikan yang ditunjukkan masyarakat beragama Islam terhadap pertunjukkan barongsai memberikan keuntungan tersendiri bagi keluarga beretnis Tionghoa yaitu rasa senang dan bahagia karena keberadaannya dapat diterima oleh masyarakat dilingkungannya.

Perwujudan toleransi masyarakat yang beragama Islam dilakukan sebagai bukti dalam kerangka hubungan sosial, diperlukan sikap toleransi tanpa memandang suku, budaya, dan agama. Disisi lain kehadiran masyarakat menonton pertunjukkan barongsai menunjukkan adanya hubungan harmonis yang terjalin dan memberikan keuntungan bagi etnis Tionghoa untuk mengekspresikan kebudayaan Tionghoanya dan sebagai media untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa barongsai merupakan kebudayaan etnis Tionghoa.

Barongsai yang di kemas dalam sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series episode 439-441 ditempatkan sebagai bagian yang penting dalam perayaan tahun baru Imlek. hal tersebut menunjukkan bahwa barongsai tidak lagi dianggap sebagai budaya etnis Tionghoa yang dilarang seperti yang selama ini diberlakukan pada masa pemerintahan presiden Soeharto yang melarang berbagai hal berbau Tionghoa. Sehingga pertunjukkan barongsai tidak lagi dianggap sebagai suatu hal yang dilarang, bahkan sekarang ini

kebudayaan etnis Tionghoa tersebut diterima oleh masyarakat dari berbagai suku dan agama.

Scene 42

Tarmiji : Gong Xi Fa Chai

Acong :Eh, terima kasih ya. Doain keluarga gue a wet, sukses merayakan Imlek ini!

Tarmiji : Iya koh, mudah-mudahan keluarga koh rejekinya makin banyak.Gong Xi Fa Chai, Gong Xi Fa Chai

Mali : (bersalaman dengan keluarga Wan Wan) Gong Xi Fa Chai, Gong Xi Fa Chai

Penggunaan kata ”Gong Xi Fa Chai” pada dialog scene 42 mengarah pada pesan mengenai ucapan pada perayaan Imlek. Hal tersebut pula yang terlihat pada sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series episode 439-441 yang diucapkan tokoh Mali dan Tarmiji kepada keluarga Acong. Dari cuplikan dialog pada scene 42 diatas memberikan makna adanya toleransi masyarakat yang beragama Islam terhadap keluarga beretnis Tionghoa sebagai minoritas yang merayakan tahun baru Imlek.

Berdasarkan dari analisa peneliti, penggunaan kata “Gong Xi Fa Chai“ yang biasa diberikan oleh masyarakat selama ini, hanya bersifat ikut-ikutan. Karena penggunaan kata selamat tanpa pemahaman mengenai arti kata”Gong Xi Fa Chai” sebagai ucapan selamat tahun baru Imlek. Sebenarnya arti dari kata “Gong Xi Fa Chai” sendiri yaitu “selamat semoga murah rezeki”. Kebiasaan memberikan ucapan tersebut, selama ini digunakan oleh masyarakat non etnis Tionghoa dalam memberikan ucapan selamat kepada etnis Tionghoa pada perayaan tahun baru Imlek. Tetapi sebenarnya “Gong Xi Fa Chai” bukanlah ucapan yang berkaitan langsung dengan tahun baru, karena ucapan yang tepat adalah “Xin Nien

Kuai Lok” yang artinya selamat tahun baru. Ucapan pada perayaan Imlek lebih lengkapnya “Gong Xi Fa Chai, Xin Nien Kuai Lok” yang berarti “selamat semoga murah rezeki dan selamat tahun baru”. Tetapi penggunaan “Gong Xi Fa Cahi” dalam cerita ini bermaksud memberikan makna pesan bahwa agama Islam memiliki sikap toleransi terhadap etnis Tionghoa dengan mengucapkan kalimat tersebut.

d. Scene 50

H. Muhidin : Assalamualaikum…. Rumanah, Roby : Waalaikumsalam…..

H. Muhidin : Wah udah pulang seneng-seneg yah? Anak jaman sekarang bukannya banyak istighfar, dzikir, sholat, eh hobinya seneng-seneng doang, kalo ada tontonan heboh, pengen nonton terus.

Rumanah : Bah, abah kenapa sih suka banget berprasangka yang enggak-enggak dari dulu? Kenapa sih bah? Lagian kan apa yang kita lakuin tadi juga gak dosa, nggak menyebabkan kemusyrikan kan? Karena itu semua sifatnya hanya hiburan semata bah.

H. Muhidin : Yaa.. tapi baiknya itu kan tenang di rumah. Kesana itu kagak ada manfaatnya nonton begituan.

Rumanah : Ya mungkin buat abah sama sekali gak ada manfaatnya, tapi buat keluarga babah Acong, mereka punya kebahagiaan sendiri bah.

H. Muhidin : Ah sok tau lu

Rumanah : Ya… Rum bukan sok tau bah. Ya udah terserah deh bah kalo abah nilainya seperti itu, yang jelas kedatangan kita tadi tujuannya baik.

Berdasarkan penggunaan kalimat dalam scene 50, peneliti menganalisa bahwa cuplikan dialog pada tokoh Rumanah, membawa suatu pemahaman tentang makna toleransi antar etnis dan agama. Atas dasar hubungan sosial, ditunjukkan sikap toleransi dengan mengahdiri pertunjukkan barongsai yang merupakan bagian dari perayaan Imlek. Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk empati dan penghormatan dari masyarakat yang beragama Islam terhadap perayaan Imlek etnis Tionghoa sebagai warga minoritas di lingkungan mereka. Selain itu menonton barongsai juga tidak menimbulkan dosa menurut ajaran agama Islam, karena hanya bersifat hiburan saja.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada struktur mikro, peneliti menganalisa bahwa secara keseluruhan, dari semua teks dalam sinetron episode 439-441 menampilkan pesan sosial secara eksplisit. Dalam menampilkan teks tersebut mengesankan pada penonton untuk paham dan mengarahkan penonton mengenai makna pesan sosial yang disampaikan. Karena sinetron ini menggambarkan toleransi tidak hanya melalui dialog saja, namun juga menonjolkan melalui visual (gambar) sebagai pendukung isi pesan yang disampaikan.

Dari seluruh uraian di atas, peneliti berkesimpulan bahwa dialog dalam sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series episode 439-441 tidak menggunakan bahasa Indonesia sebagaimana mestinya. Sinteron ini menggunakan bahasa betawi dan sisipan bahasa mandarin pada beberapa tokoh yang mudah dimengerti dan dipahami. Dengan demikian meskipun menggunakan bahasa betawi dan sedikit bahasa mandarin, akan tetapi masih mudah dipahami oleh penonton dan lebih menekankan maksud dari sinetron, yang membedakan hanya gaya bicara dan intonasi.

4.3.2 Analisis Kognisi Sosial Sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series di

Dokumen terkait