• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS KRITERIA SERTIFIKASI MAKANAN HALAL MENURUT IBN HAZM DAN MUI

A.PengertianSertifikasi Makanan Halal Menurut Ibn Hazm

Sebagian orang menganggap bahwa Ibnu Hazm tidak berpegang pada akal dalam kajian-kajiannya.1 Karena menurutnya yang halal dan yang haram itu sudah jelas dan hal-hal yang shubhat bukanlah berarti haram, dan yang bukan haram berarti halal.2 Selain itu juga, ia mengatakan bahwa untuk mengetahuinya harus menggunakan akal dan pancaindra, akal berfungsi memahami perintah dan larangan Allah swt, menetapkan kebenaran Allah dan kebenaran risalah Nabi Muhammad dan kemujizatannya.3 Tetapi semuanya itu tetap berpegang pada Nas dan Ibnu Hazm memahaminya secara tekstual (dzahir), ia tidak memperbolehkan ta’wil pada Nas-Nas yang bersifat aqidah ataupun ta’lil pada Nas-Nas syar’i.4

Adapun Ibnu Hazm mengemukakan dalam kitab Al-muhalla bahwa suatu kehalalan makanan adalah berdasarkan teks-teks yang termaktub dalam Al-Qur’an dan Hadist untuk menyatakan kehalalan makanan sebagai bukti yang sudah jelas,

1 Hal ini disebabkan karna Ibn Hazm menolak qiyas, az- zari’ah ihtisan, istinbath

dengan ra’yu dan ta’wil.

2 Ibid., h. 183.

3 Ibnu Hazm, Al-Ihkam fi Usul Al-Ahkam , (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah t.t), Jilid 1.

H. 29-65

4 Faruq Abdul Mu’ti, h. 89

karena sesuatu yang sudah jelas dan tampak halal, maka boleh untuk dikonsumsinya. Hal ini berdasarkan seperti penjelasan yang terdapat dalam surat Al-Maidah ayat 3 juz 5:





























































































































Artinya : Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah[396], (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. pada hari ini orang-orang kafir Telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. pada hari Ini Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa Karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S Al Maidah : 03)

Ibnu Hazm mengumakan dalam kitabnya yang berjudul Almuhalla Bil Atsar Juz 6 bahwa syarat-syarat makanan halal, yaitu:5

a. Tidak mengandung babi dan bahan yang berasal dari babi.

b. Tidak mengandung bahan yang diharamkan seperti; bahan-bahan yang berasal dari organ manusia, darah, kotoran-kotoran dan lain sebagainya.

c. Semua bahan yang berasal dari hewan halal yang disembelih harus di awali dengan membaca “Bismillahirrohmanirrohim”.

d. Tidak halal memakan dari suatu makanan yang tampak darah mengalir ataupun tidak mengalir

5 Abu Muhammad Ali Ibn Ahmad Ibn Said Ibn Hazm Andalusi, Almuhalla Bil Atsar Juz

e. Semua tempat penyimpanan, tempat penjualan, pengolahan dan transportasinya tidak boleh digunakan untuk babi. Jika pernah digunakan untuk babi barang yang tidak halal lainnya terlebih dahulu harus dibersihkan dengan tata cara yang diatur dalam Syari’at Islam. f. Semua makanan yang tidak mengandung khamar.

g. Sertifikat yang sudah berakhir masa berlakunya, termasuk fotocopinya tidak boleh digunakan atau dipasang untuk maksud-maksud tertentu.

B.PengertianSertifikasi Halal Menurut MUI

Dalam upaya memenuhi harapan masyarakat Muslim Khususnya terhadap kepastian kehalalan produk makanan (POM), maka LP POM MUI mengeluarkan rekomendasi sertifikat halal bagi setiap produsen yang berniat mencantumkan label halal pada kemasan produknya.

Pada prinsipnya semua bahan makanan dan minuman adalah halal, kecuali yang diharamkan Allah adalah bangkai, darah, babi, dan hewan yang disembelih dengan nama selain Allah. Sedangkan minuman yang diharamkan Allah adalah semua bentuk khamar (minuman berakhohol)6

6 Prof. Dr. Hj. Aisjah Girinda “Dari Sertifikasi Menuju Labelisasi Halal” (Jakarta:

Adapun keberadaan fatwa sangat dibutuhkan oleh umat Islam karena fatwa memuat penjelasan tentang kewajiban agama, batasan-batasan, serta menyatakan tentang halal atau haramnya sesuatu. Menurut Ma’ruf Amin, ketua Komisi Fatwa MUI, “fatwa merupakan pedoman dalam melaksanakan ajaran agamanya. Demikian pula dengan fatwa kehalalan suatu produk. Melalui fatwa tersebut umat Islam memiliki panduan atau pedoman berbagai produk yang dapat ia konsumsi. Sehingga fatwa halal tentang suatu produk berperan sangat penting dalam memberikan perlindungan dan ketenangan bagi umat Islam dalam menkomsumsi suatu produk.”7 Namun hal yang terpenting adalah bahwa fatwa ini ditetapkan oleh lembaga yang memiliki kompetensi untuk itu.

Adapun mengenai sertifikat halal adalah fatwa yang ditulis oleh Majelis Ulama Indonesia untuk menyatakan kehalalan suatu produk sesuai syari’at Islam. Sertifikat Halal ini merupakan syarat untuk mendapatkan ijin pencantuman label halal pada kemasan produk dari instansi pemerintah yang berwenang,. Tujuan pelaksanaan sertifikasi halal pada produk pangan, obat-obatan dan kosmetika adalah untuk memberikan kepastian kehalalan suatu produk, sehingga dapat menentramkan batin yang menkonsumsinya. Selain itu bagi produsen, sertifikasi

7 Ma’ruf Amin, “Pengurusan Fatwa di Indonesia,” dalam kolej Universitas Islam

Malaysia, ed., Prinsip dan Pengurusan Fatwa di Negara-Negara ASEAN, cet I, (Institut Pengurusan dan Penyelidikan Fatawa Se-Dunia KUIM, 2006), h. 81.

halal akan dapat mencegah kesimpangsiuran status kehalalan produk yang dihasilkan.8

Dalam pratiknya penetapan fatwa produk halal dilakukan melalui rapat penetapan dilakukan bersama antara Komisi Fatwa MUI dengan lembaga pemeriksa yaitu LP POM MUI. Lembaga pemeriksa terlebih dahulu melakukan penelitian dan audit ke pabrik atau perusahaan yang telah mengajukan permohonan sertifikasi halal. Suatu produk yang masih mengandung bahan yang diragukan kehalalannya atau terdapat bukti-bukti pembelian bahan produk yang dipandang tidak transparan oleh rapat komisi, dikembalikan kepada lembaga pemeriksa untuk dilakukan penelitian atau auditing ulang ke perusahaan yang bersangkutan. Produk yang telah diyakini kehalalannya oleh rapat komisi, jelas ma’ruf, diputuskan fatwa halalnya oleh rapat komisi. Kemudian hasil rapat dituangkan dalam surat keputusan fatwa produk halal yang ditandatangani oleh Ketua dan Sekretaris Komisi Fatwa. Setelah itu sertifikat halal yang ditandatangani oleh Ketua Komisi Fatwa, Direktur LP POM MUI dan Ketua Umum MUI diterbitkan.9

Untuk lebih jelasnya, standarisasi MUI dalam menetapkan fatwa tentang makanan mengenai kehalalan suatu produk makanan menurut MUI harus sesuai dengan Syari’at Islam yaitu :

8 Prof. Dr. Hj. Aisjah Girindra,“Dari Sertifikasi Menuju Labelisasi Halal” (Jakarta:

pustaka jurnal halal, 2008), h. 99-100.

1. MUI memberikan pembekalan pengetahuan kepada para auditor LP.POM tentang benda-benda haram menurut syari’at Islam , dalam hal ini benda haram li-zatih dan haram li-gairih yang karena cara penanganannya tidak sejalan dengan syari’at Islam. Dengan arti kata, para auditor harus mempunyai pengetahuan memadai tentang benda-benda tersebut.

2. Para auditor melakukan penelitian dan audit ke pabrik-pabrik (perusahaan) yang meminta sertifikasi halal. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi:

a. Pemeriksaan secara seksama terhadap bahan-bahan produk, baik bahan baku maupun bahan tambahan (penolong).

b. Pemeriksaan terhadap bukti-bukti pembelian bahan produk.

c. Tata cara memotong hewan untuk produk hewan atau mengandung unsur hewan.

3. Bahan-bahan tersebut kemudian diperiksa di laboratium, terutama bahan-bahan yang dicurigai sebagai benda haram atau mengandung benda haram.

4. Pemeriksaan terhadap suatu perusahaan tidak jarang dilakukan lebih dari satu kali; dan tidak jarang pula auditor (LP. POM) menyarankan bahkan mengharuskan agar mengganti suatu bahan yang dicurigai atau diduga mengandung barang yang haram dengan bahan yang diyakini

kehalalannya atau bersitifikat halal dari MUI atau lembaga yang lebih berkompenten.

5. Hasil dari pemeriksaan dan audit LP.POM tersebut kemudian dituangkan dalam sebuah berita, dan kemudian Berita Acara itu diajukan ke Komisi Fatwa MUI untuk disidangkan.

6. Dalam sidang Komisi Fatwa, LP.POM menyampaikan dan menjelaskan isi Berita Acara, dan kemudian dibahas secara teliti dan mendalam oleh Sidang Komisi.

7. Suatu produk yang masih mengandung bahan yang diragukan kehalalannya, atau terdapat bukti-bukti pembelian bahan produk yang dipandang tidak trnsparan oleh siding komisi, dikembalikan kepada LP.POM untuk dilakukan penelitian atau auditing ulang ke perusahaan bersangkutan.

8. Sedangkan produk yang telah diyakini kehalalannya oleh sidang komisi, diputuskan fatwa halalnya oleh sidang komisi.

9. Hasil sidang komisi yang berupa fatwa kemudian dilaporkan kepada Dewan pimpinan MUI untuk di tanfiz-kan dan keluarkan Surat Fatwa Halal dalam bentuk Sertifikat Halal.

Untuk menjamin kehalalan suatu produk yang telah mendapat Sertifikat Halal, MUI menetapkan dan menekankan bahwa jika sewaktu-waktu ternyata diketahui produk tersebut mengandung unsur-unsur barang haram (najis), MUI

berhak mencabut Sertifikat Halal produk bersangkutan.Disamping itu, setiap produk yang telah mendapat Sertifikat Halal diharuskan pula membaharui atau memperpanjang Sertifikat Halal.10

C. Analisis Kriteria Makanan Halal Menurut Ibnu Hazm dan MUI

Sebenarnya Ibnu Hazm menggunakan akal sebagian besar pemahaman dalam bidang-bidang ilmu Islam dan pengetahuan-pengetahuan hakiki Islam. Dalam kitabnya Al-Ihkam fi Usul Al-Ahkam

Mengenai dengan makanan halal, bahwa Ibnu Hazm berpendapat sesuatu yang tampak (dzahir) yang dianggap sudah najis, maka tidak boleh dikonsumsinya. Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa metode istinbath Ibnu Hazm dan MUI tentang kriteria makanan halal terdapat persamaan yang signifikan, yakni Ibnu Hazm dan MUI sama-sama beristidlal kepada al-Quran, Sunnah dan Ijma dalam menetapkan hukum, begitu juga dalam hal penetapan kehalalan makanan. Perbedaannya adalah bahwa Ibnu Hazm menempatkan Dalil sebagai dalil keempat setelah Quran, Sunnah dan Ijma. Sedangkan MUI selain beristidlal kepada al-Quran, Sunnah dan Ijma ulama juga beristidlal dengan qiyas, istihsan, mashalah mursalah, dan sadd az-Zari’at serta pendapat-pendapat para imam-imam mazhab terdahulu. Dalam masalah yang terjadi khilafiyyah di kalangan mazhab, maka yang difatwakan adalah hasil tarjih setelah memperhatikan fiqh muqaran dengan

10 Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa majelis ulama indonesia (Jakarta, majelis

menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqh muqaran yang berhubungan dengan

pentarjihan. Setelah melewati itu semua baru diambil pandangan tenaga ahli dalam bidang masalah yang akan diambil keputusan fatwanya. Tenaga ahli yang dimaksud adalah para pakar dalam bidangnya masing-masing. Dari semua keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa MUI dengan Komisi Fatwanya ketika menetapkan fatwanya akan memutuskan suatu permasalahan berdasarkan kemaslahatan umat, dengan merujuk kepada metode para alim ulama terdahulu.

Menurut penulis, metode istinbath yang ditetapkan oleh Ibnu Hazm tentang makanan halal tidak tepat dan bahkan mempunyai kecenderungan yang tidak akurat seiring dengan permasalahan kontemporer yang semakin kompleks. Permasalahan yang timbul tentang kehalalan makanan sering sekali tidak dapat terselesaikan dengan hanya beristidlal dengan Al-Qur’an, Sunnah, Ijma, dan dalil. Banyak persoalan tentang kehalalan makanan yang tidak tercantum serta dijelaskan secara eksplisit didalam Al-Qur’an dan Sunnah, maka tidak hanya menetapkan hukum kehalalan makanan hanya berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah, Ijma dan dalil. Hal ini sering menimbulkan kerancuan, dan dapat mengakibatkan makanan yang tidak dijelaskan secara terperinci dalam Nash yang tidak diketahui hukum yang pasti.

Selain itu, penulis juga berpendapat bahwa ketika Ibnu Hazm tidak menggunakan Ta’wil dan Ta’lil dalam menetapkan hukum maka akan ditemukan banyak sekali kerancuan dan problematika tentang kehalalan makanan yang

semakin kompleks dan tidak dirumuskan secara ekplisit dalam al-Quran dan Sunnah.

Ketika Ibnu Hazm hanya menghukumi sesuatu yang tampak saja dari makanan, maka penulis berpendapat bahwa hal itu akan menghasilkan pendapat hukum yang tidak tepat. Seperti makanan yang tampak halal tetapi bisa saja sebenarnya mengandung unsur-unsur yang haram. Seiring dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih, terkadang penetapan hukum tidak hanya cukup dengan menggunakan sesuatu yang tampak saja tetapi sangat perlu menggunakan metode yang sistematis, terukur dan terarah seperti yang diterapkan oleh MUI sehingga Islam akan dapat beradaptasi dan relevan disetiap zaman.

Penulis berpendapat, sikap Ibn Hazm yang menolak atau mengecam kehati-hatian ekstrim dalam konteks kekinian mengingat permasalahan tentang kehalalan makanan yang dihadapi sudah semakin canggih. Sebab itu, penulis berpendapat bahwa sikap kehati-hatian yang ekstrim sangat perlu dalam menetapkan kehalalan makanan yang sangat kompleks seperti yang dilakukan MUI.

Penulis lebih cenderung sepakat dengan metode istinbath MUI tentang kehalalan makanan, permasalahan kontemporer tentang kehalalan makanan yang tidak dijelaskan secara eksplisit dalam Al-Qur’an dan Sunnah, maka diperlukan metode istinbath yang tersusun secara sistematis dan relevan dengan perkembangan zaman, sehingga permasalahan yang semakin kompleks dapat terselesaikan secara akurat dan memenuhi kemaslahatan ummat.

Perkembangan IPTEK serta perubahan sosial yang begitu cepat, terutama dikota-kota besar menyebabkan perubahan pula dalam jenis dan bentuk makanan yang diminta oleh konsumen. Di kota-kota besar dimana penduduknya padat dan terjadinya perubahan gaya hidup modern menyebabkan, konsumen ingin efisien dalam menyediakan makanan. Mereka membutuhkan makanan yang mudah disajikan, berpenampilan yang menimbulkan selera, bertahan segar dengan warna, aroma, rasa, dan tekstur yang diingini.

Dengan IPTEK semua yang diingini tadi dapat disediakan. Dalam hal ini diperlukan berbagai “zat tambahan” untuk memperoses makanan. “zat tambahan” ini dapat dibuat secara kimiawi, atau secara bioteknologi tetapi dapat juga di ekstraksi dari tanaman atau hewan. Disinilah kemungkinan terjadi perubahan makanan dari halal menjadi tidak halal, yaitu jika bahan tambahan berasal dari ekstraksi hewan tidak halal atau dengan permentasi menggunakan media-media tidak halal. Pengaruh IPTEK ini juga dapat melanda makanan secara tradisional. Kue mangkok yang disajikan oleh orang tua kita sekian tahun yang lalu misalnya, tidak sama dengan kue mangkok yang diperoleh dipasar swalayan masa kini yang mungkin telah diberi pemanis buatan, pewarna yang tidak alami dan lain-lain, bahan yang sesuai permintaan konsumen. Lain dari pada yang diungkap diatas sering terjadi, beberapa zat pemberi aroma, zat pemberi rasa, zat pewarna, dan lain-lain sering tidak bisa larut dalam air, karena itu dilarutkan dalam alkohol. Pada produk akhir minuman, alkohol ini sering masih bisa terdeteksi, hal ini menjadikan minuman tadi tidak halal.

Dari pernyataan diatas, penulis berpendapat bahwa metode istinbath yang dirumuskan oleh MUI lebih efektif dan efisien dari pendapat Ibn Hazm tentang kehalalan makanan. Hal ini mengingat dalam arus IPTEK masa kini masalah kehalalan makanan banyak berubah dan sulit untuk dilacak. Bagi ummat Islam semua hal ini menyebabkan sukar membedakan antara yang halal dan yang haram. Apalagi jika makanan itu sudah mengalami proses setengah jadi atau siap untuk dimakan.

Penulis berkeyakinan jika hanya menggunakan metode istinbath Ibnu Hazm maka akan dapat menghasilkan ketetapan hukum makanan yang tidak tepat dan bahkan cenderung hanya menampung aspirasi masyarakat saja. Oleh karena itu, umat Islam sangat berkepentingan untuk mendapat ketegasan tentang status hukum produk-produk tersebut, sehingga apa yang mereka konsumsi tidak akan menimbulkan keresahan dan keraguan bagi umat Islam.

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan penjelasan analisis pada bab-bab sebelunnya tentang kriteria sertifikasi makanan halal dalam perspektif Ibnu Hazm dan MUI, maka penulis dapat memberikan kesimpulan, yaitu:

1. Pandangan dan metode istinbath hukum Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang sertifikasi makanan halal yaitu sebagai berikut:

a. Setiap keputusan fatwa harus mempunyai dasar atas Kitabullah dan Sunnah Rasul yang mu’tabbarah, serta tidak bertentangan dengan kemashlahatan umat. b. Jika tidak terdapat dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul sebagaimana ditentukan

pada pasal 2 ayat 1, keputusan fatwa hendaklah tidak bertentangan dengan ijma’, Qiyas, yang mu’tabar, dan dalil-dalil hukum yang lain, seperti Istihsan, Masalah Mursalah, dan sadd az-Zari’ah.

c. Sebelum pengambilan keputusan fatwa hendaklah ditinjau pendapat-pendapat para imam mazhab terdahulu, baik yang berhubungan dengan dalil-dalil hukum maupun yang berhubungan dengan dalil yang dipergunakan oleh pihak yang berbeda pendapat.

d. Pandangan tenaga ahli dalam bidang masalah yang akan diambil keputusan fatwanya dipertimbangkan.

khabar dari Rasulullah ( لﻮﺳﺮﻟا اﻮﻌﯿﻃأ و) Ijma’ ( ﺮﻣﻻا ﻰﻟوأ و) dan dalil.

3. Perbedaan pandangan dan metode istinbath hukum Ibnu Hazm dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang sertifikasi makanan halal yaitu dalam pandangan Ibnu Hazm dalam mengistinbathkan hukum Ibnu Hazm tentang kehalalan makanan tidak menggunakan ta’wil. Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa metode istinbath Ibnu Hazm dan MUI tentang kriteria makanan halal terdapat persamaan yang signifikan. Ibnu Hazm dan MUI sama-sama beristidlal kepada Al-Quran, Sunnah dan Ijma dalam menetapkan hukum, begitu juga dalam hal penetapan kehalalan makanan. Perbedaannya adalah bahwa Ibnu Hazm menempatkan Dalil sebagai dalil keempat setelah al-Quran, Sunnah dan Ijma. Sedangkan MUI selain beristidlal kepada al-Quran, Sunnah dan Ijma ulama juga beristidlal dengan qiyas, istihsan, mashalah mursalah, dan sadd az-Zari’at serta pendapat-pendapat para imam-imam mazhab terdahulu. Dalam masalah yang terjadi khilafiyyah di kalangan mazhab, maka yang difatwakan adalah hasil tarjih setelah memperhatikan fiqh muqaran dengan menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqh muqaran yang berhubungan dengan pentarjihan. Setelah melewati itu semua baru diambil pandangan tenaga ahli dalam bidang masalah yang akan diambil keputusan fatwanya. Tenaga ahli yang dimaksud adalah para pakar dalam bidangnya masing-masing. Dari semua keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa MUI dengan Komisi Fatwanya ketika menetapkan fatwanya akan

B. SARAN-SARAN

Adapun saran-saran ini di tujukan kepada beberapa kalangan yang hendak mengkaji persoalan tentang criteria sertifikasi makanan halal bagi umat muslim, diantara yaitu ditujukan kepada:

1. Para Ulama; Adanya perbedaan ulama dalam metode istinbath hukum menujukan bahwa ulama terkadang berbeda dalam memahami, merumuskan dan menetapkan hukum. Ini semua merupakan sebuah rahmat bagi umat muslim yang patut kita tiru. Perbedaan dalam menanggapi sebuah persoalan merupakan sebuah kenyataan yang selalu akan kita hadapi dalam hidup ini. Jadi, sikap yang elegan adalah bagaimana kita menghadapi perbedaan tersebut dengan bijaksana yakni dengan tidak menyalahkan bahkan dengan mudah mengkafirkan orang lain yang berbeda pendapat dengan kita. Apalagi, mengklaim bahwa pendapatnya adalah paling benar dengan menafikan pendapat orang lain. Toleransi adalah solusi terbaik dalam menghadapi setiap perbedaan.

2. Umat muslim pada umumnya; sudah saatnya umat Islam dalam menetapkan hukum tentang kehalalan makanan tetap bersandar kepada metode yang baru, baik dan tidak bertentangan dengan syariat Islam dengan tetap mempertahankan hal-hal yang lama, sehingga hukum Islam tetap dinamis dan relevan disetiap zaman. Sikap jumud dan taklid buta hanya akan membuat umam Islam mundur dan terbelakang, sehingga tidak dapat bersaing ditengah era kemajuan di berbagai bidang yang semakin pesat disaat ini.

Dokumen terkait