• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kriteria sertifikasi makanan halal dalam perspektif Ibnu Hazm dan MUI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kriteria sertifikasi makanan halal dalam perspektif Ibnu Hazm dan MUI"

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh :

Hasyim Asy’ari

NIM : 106043101297

KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIKIH

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

viii

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ………... ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ………... iii

KATA PENGANTAR ………... iv

DAFTAR ISI………... vi

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang………..……….. 1

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah……… 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.……….. 8

D. Kajian Pustaka………. 9

E. Metode Penelitian………. ……….. 11

F. Sistematika Penulisan……….. 13

BAB II : BIOGRAFI UMUM IBN HAZM DAN MUI A. Sketsa- Biografi dan Metode Ibn Hazm………. 14

1. Riwayat Hidup Ibn Hazm……… 14

2. Karya-karya Ibn Hazm………. 16

3. Kondisi Sosial, Politik, dan Intelektual Pada Masa Ibn Hazm……… 18

(7)

ix

B. Biografi Majelis Ulama Indonesia………... 33

1. Sejarah Pembentukan MUI………. 33

2. Metode Fatwa MUI………. 38

3. Mekanisme Kerja Komisi Fatwa MUI……… 41

BAB III : KRITERIA MAKANAN HALAL MENURUT HUKUM ISLAM

A. Pengertian Makanan Halal Menurut Hukum Islam…45

B. Syarat-syarat Makanan Halal Menurut Hukum

Islam……… 54

BAB IV : ANALISIS KRITERIA SERTIFIKASI MAKANAN HALAL MENURUT IBNU HAZM DAN MUI

A. Pengertian Sertifikasi Makanan Halal Menurut Ibnu

Hazm dan MUI………... 56

B. Syarat-syarat Sertifikasi Halal Menurut Ibnu Hazm dan

MUI……… 60

C. Analisis Kriteria Makanan Halal Menurut Ibn Hazm

dan MUI……… 65

BAB V : PENUTUP

(8)

x

B. Saran………. 72

DAFTAR PUSTAKA ……….. 74

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam kehidupan, manusia selalu membutuhkan makanan

sehari-harinya. Mereka membutuhkan makanan untuk perkembangan jasmani dan

rohani. Dalam memilih makanan yang baik, hendaknya sebagai umat muslim

memilih makanan yang sehat menurut Islam. Dalam ajaran Islam banyak

peraturan yang berkaitan dengan ’’makanan’’, dari mulai mengatur makanan

yang halal dan haram, etika (adab) makanan, sampai mengatur idealitas dan

kuantitas makanan di dalam perut. Salah satu peraturan yang terpenting ialah

larangan menkonsumsi makanan atau minuman yang haram. Menkonsumsi

yang haram atau belum di ketahui kehalalannya akan berakibat serius, baik di

dunia maupun di akhirat kelak sebagaimana hadis Nabi yang artinya, “Setiap

daging yang tumbuh yang di peroleh dari kejahatan (jalan haram),maka

neraka lebih layak baginya.’’ (HR.Imam Ahmad)

Seruan Allah kepada umat manusia agar menkomsumsi makanan yang

halal lagi baik dan menyehatkan tidak lain adalah demi tercapainya

kemaslahatan bagi umat manusia itu sendiri.

(10)





































Artinya; “Hai sekalian umat manusia, makanlah yang halal lagi baik dari

apa yang terdapat di bumi,dan janganlah kamu mengikuti

langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan adalah musuh yang

nyata bagimu’’.(Al-Baqarah:168)

Dan hadis Nabi:

ّﯿﻃ ﻻا ﻞﺒﻘﯾ ﻻ ﺐّﯿﻃ ﻰﻟﺎﻌﺗ ﷲا

ّنا

:

ﷲا لﻮﺳر

لﺎﻗ

:

لﺎﻗ ةﺮﯾﺮھ ﻰﺑا ﻦﻋ

Artinya; “Sesungguhnya Allah itu baik dan menyukai hal-hal yang baik-baik

saja”. (HR. Muslim).

Hikmah di balik perintah itu adalah agar agama, jiwa, akal serta

keturunan, dan harta dapat terjaga dan terpelihara dengan baik. Dengan

terjaganya kemaslahatan tersebut seorang mukallaf diharapkan akan sanggup

menjalankan tugasnya sebagai khalifah di muka bumi dan akan memperoleh

kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Perkembangan globalisasi, ilmu pengetahuan, dan perkembangan di

(11)

berbagai varian dalam hal barang dan jasa yang dapat diperoleh dan

dikonsumsi secara cepat dan mudah. Dampak dari perkembangan tersebut

terutama sekali terlihat pada hal makanan dengan berbagai cara pengelolaan

dan pembuatannya. Agar hasil olahannya terlihat baik, tahan lama, dan unggul

dari kompetitifnya dunia perdagangan tetapi praktis dan dengan biaya murah,

banyak dari pengelola makanan menggunakan dan mencampur zat adiktif

berupa pewarna, perasa, dan pengawet makanan, tanpa banyak berpikir dan

memperhatikan dampak dari campuran bahan kimiawi tersebut bagi

kesehatan.

Beberapa hari belakangan masyarakat di hebohkan dengan

pemberitaan seputar di temukannya sejumlah bahan makanan yang

mengandung formalin. Formalin yang sebenarnya di gunakan sebagai

pengawet mayat ternyata juga di gunakan oleh masyarakat sebagai pengawet

makanan.

Departemen Kesehatan dan BPOM menjelaskan bahwa akibat dari

menkonsumsi formalin menyebabkan iritasi pada saluran pernapasan,

muntah-muntah, batuk kronis, pusing-pusing dan rasa terbakar pada tenggorokan,

sukar konsentrasi, mudah lupa. Apabila digunakan secara terus-menerus

dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan kanker, kerusakan hati,

(12)

Dari penjelasan di atas, persoalan formalin bukanlah persoalan yang

bisa dianggap ringan. Karena dampaknya yang sangat besar terhadap

kesehatan manusia. Kemungkinan besar formalin sudah bersemayam di

sebagian besar tubuh rakyat Indonesia mengingat terungkapnya kasus baru

ini sekarang. Setelah sekian lama produsen nakal ini tanpa pengawasan telah

menyebarkan hasil produksinya ke seluruh wilayah Indonesia.

Dalam konteks Indonesia, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai

lembaga keagaman, sudah mencoba memfungsikan perannya di tengah

kehidupan masyarakat yang beragama sebagai penjaga nilai moral, baik

secara horizontal maupun secara vertikal. Peranan Majelis Ulama Indonesia

(MUI) sebagaimana tujuan awal pendiriannya adalah sebagai penyambung

lidah masyarakat kepada pemerintah, dan pemerintah kepada masyarakat.

Selain Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai organisasi para ulama yang

merupakan warosat al-anbiya harus memiliki optimisme kearah tersebut.

Seperti misalnya, dalam mengeluarkan fatwa mengenai produk makanan yang

akan dikonsumsi oleh umat muslim Indonesia, Majelis Ulama Indonesia

(MUI) mempunyai lembaga independen yaitu LP POM Majelis Ulama

Indonesia (MUI) (Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan, dan Kosmetika

Majelis Ulama Indonesia). Lembaga ini semenjak didirikan sampai sekarang

(13)

sertifikat halal pada setiap produk makanan di Indonesia. (bagi produsen yang

mengajukan permohonan).

Terlepas dari latar belakang, LP POM Majelis Ulama Indonesia (MUI)

telah membuktikan kepercayaannya kepada umat Islam, dan yang paling

penting adalah kepada produsen makanan yang mengajukan permohonan

sertifikat halal. LP POM Majelis Ulama Indonesia (MUI) mempercayakan

kepada berbagai pakar yang berbeda latar belakangnya, yaitu: kalangan

ulama, para fukoha, ahli pangan dan ahli kesehatan.dalam mekanisme

kerjanya, para pakar tersebut akan mengadakan pemeriksaan terhadap bahan

dan proses produksi bahan-bahan makanan, minuman dan kosmetik yang

meliputi: penelitian jenis-jenis bahan dan substansi bahan yang mengandung

unsur haram, termasuk didalamnya membahas status hukum bahan-bahan

yang akan diteliti karena proses kimiawi dan biologi strukturnya berubah.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam menentukan hukum halal dan

haramnya suatu permasalahan, dilakukan melalui proses ijtihad yang panjang

dengan segala perangkat hukum yang ada. Sudah barang tentu konsep

penerapannya pun berbeda. Hanya saja yang jadi permasalahan ini adalah

bagaimana Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam mencetuskan hukum suatu

masalah dapat diketahui secara transparan dan dapat dipertanggung jawabkan

(14)

Dalam syari’at Islam, Allah SWT menghalalkan semua makanan yang

mengandung mashlahat dan manfaat, baik yang kembalinya kepada ruh

maupun jasad, baik kepada individu maupun masyarakat. Demikian pula

sebaliknya Allah SWT mengharapkan semua makanan yang memudharatkan

atau lebih besar mudharat daripada manfaatnya.

Terkait dengan makanan yang haram dalam Islam ada dua jenis:

1. Ada yang diharamkan karena dzatnya. Maksudnya asal dari makanan

tersebut memang sudah haram, seperti: bangkai, darah, babi, anjing dan

selainnya.

2. Ada yang diharamkan karena suatu sebab yang tidak berhubungan dengan

dzatnya. Maksudnya asal makanannya adalah halal, akan tetapi dia

menjadi haram karena adanya sebab yang tidak berkaitan dengan makanan

tersebut. Misalnya: makanan dari hasil mencuri, upah perzinaan dan lain

sebagainya.

Berkenaan dengan makanan halal dan haram dalam Islam, ulama juga

banyak yang mengomentarinya. Salah satunya adalah pernyataan Ibnu Hazm

dalam kitabnya (al-Muhalla) “Setiap binatang yang diperintahkan oleh

(15)

melarang dari menyia-nyiakan harta dan tidak halal membunuh binatang

yang dimakan”.1

Ibnu Hazm adalah ulama yang kebetulan minhaj yang ditempuhnya

sama dengan minhaj yang ditempuh oleh Daud al-Dzahiri yang di dalam

meletakkan hukum banyak berbeda dengan ulama pada umumnya. Hal ini

disebabkan karena Ibnu Hazm mempunyai metode tersendiri dalam

memahami nash al-Qur’an maupun al-Hadis, yaitu minhaj al-Dzahiri yang

jauh berbeda dengan kebanyakan Ushuliyin.2

Ringkasnya dalam menetapkan hukum, beliau berpegang kepada

Kitabullah, Sunah Rasul dan ijma’ (harus semua sepakat).3

Berdasarkan hal-hal yang telah dipaparkan di atas dan untuk meneliti

tentang perilaku konsumsi yang baik dalam pandangan Islam dan secara

khusus dalam pandangan Ibnu Hazm, maka dari itu penulis tertarik untuk

menulis skripsi yang berjudul Kriteria Sertifikasi Makanan Halal dalam

Perspektif Ibnu Hazm dan MUI”.

1 Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm al-Andalusi, Muhalla bi

al-Atsar, (Beyrut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, TT), h. 63.

2 H. M. Al-Hamid al-Husaini, Riwayat Sembilan Imam Fiqh, (Bandung: Pustaka

Hidayah, 2000), H. 562

3 M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h.

(16)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Dalam penulisan skripsi ini, penulis membatasi masalah dalam skripsi

ini berkisar tentang perilaku konsumsi makanan dan minuman yang halal

berhubungan dengan sertifikasi halal dalam Majelis Ulama Indonesia (MUI)

dan pandangan Ibnu Hazm tentang sertifikasi halal dalam konsumsi, serta

kajian persamaan dan perbedaan sertifikasi halal menurut MUI dan Ibnu

Hazm.

Berdasarkan latar belakang yang telah di jelaskan sebelumnya, penulis

membatasi pembahasannya dengan rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pandangan dan metode istinbath hukum Majelis Ulama

Indonesia (MUI) tentang sertifikasi makanan halal?

2. Bagaimanakah pandangan dan metode istinbath hukum Ibnu Hazm

tentang sertifikasi makanan halal?

3. Bagaimanakah perbedaan pandangan dan metode istinbath hukum Ibnu

Hazm dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang sertifikasi makanan

halal?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Dari pembatasan dan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari

(17)

1. Untuk mengetahui pandangan dan metode istinbath hukum Majelis Ulama

Indonesia (MUI) tentang sertifikasi halal.

2. Untuk mengetahui pandangan dan metode istinbath hukum Ibnu Hazm

tentang sertifikasi halal.

3. Untuk mengetahui perbedaan pandangan dan metode istinbath hukum

Ibnu Hazm dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang sertifikasi halal.

Penulis pun berharap, dengan penulisan skripsi ini maka akan mampu

memberi manfaat, yakni:

1. Secara teoritis yaitu untuk menambah wawasan sekaligus pengembangan

ilmu pengetahuan mengenai pemikiran Ibnu Hazm tentang sertifikasi halal

dan juga metode-metode istinbath hukum yang digunakan oleh Majelis

Ulama Indonesia (MUI).

2. Secara praktis, dapat dijadikan sebagai dasar atau bandingan bagi para

peminat studi ini untuk mengkajinya lebih mendalam lagi dan

menambah khazanah kepustakaan.

D. Kajian pustaka

Dalam penelitian yang telah lalu, ada penulisan skripsi yang terkesan

(18)

1. Skripsi yang ditulis oleh Nopianto, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

Fakultas Syariah Dan Hukum, Jurusan Perbandingan Madzhab Dan

Hukum Tahun 2006 yang berjudul “Penerapan Fatwa MUI Dalam

Melahirkan Produk Halal (Studi Kasus McDonald Indonesia)”.

Pada penulisan skripsi ini, penulis membahas tentang lahirnya label

halal yang dikeluarkan MUI terhadap McDonald, sehingga objek dari

penelitian ini adalah McDonald yang ada di Indonesia.

2. Tinjauan Hukum Islam Tentang Penggunaan Formalin Sebagai

Pengawet Bahan Makanan, skripsi ini ditulis oleh Kholid Hidayatullah,

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Syariah Dan Hukum, Jurusan

Perbandingan Madzhab Dan Hukum Tahun 2006.

Dalam skripsi ini, penulis lebih membahas kepada hukum Islam

secara keseluruhan tentang penggunaan formalin sebagai bahan

pengawet makanan.

Berbeda dengan skripsi-skripsi tersebut, dalam penulisan skripsi

penulis Kriteria Sertifikasi Makanan Halal Dalam Perspektif Ibnu Hazm

dan MUI.” penulis lebih mendiskripsikan tentang metode istinbath hukum

yang digunakan oleh Ibnu Hazm dan MUI dalam menetapkan hukum,

(19)

E. Metode Penelitian

Metode penelitian yang akan di gunakan oleh penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini adalah metode-metode yang dapat mempermudah

dan berlaku dalam penelitian, yaitu:

1. Jenis penelitian

Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif yaitu suatu penelitian

yang di maksudkan data yang setiliti mungkin.4

2. Pendekatan Penelitian

Mengingat penelitian yang bersifat kualitatif, maka pendekatan yang

akan di gunakan adalah pendekatan doktrinal atau normatif. Pendekatan

hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara

meneliti bahan pustaka.

3. Jenis Data

Jenis data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder,

yaitu data-data yang memberikan penjelasan yang mengenai data primer

yang mencakup buku-buku, literatur-literatur yang berhubungan dengan

sertifikasi makanan halal menurut pandangan Ibnu Hazm dan Majelis

Ulama Indonesia (MUI).

(20)

4. Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini

adalah study dokumen (Library Research). Penulis melakukan

pengumpulan data dengan cara menelusuri buku-buku dan literatur yang

berhubungan dengan permasalahan yang dibahas.

5. Pengelolaan dan Analisa data

Setelah data tersebut diolah dengan cara dikumpulkan, dibaca, dikaji,

dan dikelompokkan, lalu penulis menganalisanya dengan metode-metode

sebagai berikut:

a. Metode induktif; yaitu suatu cara dalam menganalisa yang bertitik

tolak dari data yang bersifat khusus kemudian ditarik atau diambil

kesimpulan yang bersifat umum.

b. Metode deduktif; yaitu logika yang bertitik tolak dari pengetahuan

yang bersifat umum, kemudian dijadikan titik tolak dalam menilai

suatu fakta yang bersifat khusus dan konkrit.

6. Teknik Penulisan

Sedangkan teknik yang digunakan dalam menyusun skripsi ini, penulis

memakai acuan dari ”Pedoman menulis skripsi, yang diterbitkan oleh UIN

(21)

F. Sistematika Penulisan

Supaya mudah dipahami, maka penulis membagi bahasan ini menjadi

lima bab, yaitu sebagai berikut:

Bab I ; Bab ini mengenai pendahuluan yang memuat latar belakang masalah,

perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka, metode

penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II ; Bab ini tentang biografi umum tentang Ibn Hazm dan MUI. Diawali

dengan riwayat hidup Ibn Hazm, karya-karya Ibn Hazm, situasi politik,

intelektual dan sosial pada masa Ibn Hazm, metode Ibn Hazm, sejarah

terbentuknya MUI, matode fatwa MUI, serta mekanisme Kerja Komisi Fatwa

MUI.

Bab III ; Penyusun mencoba menerangkan study kepustakaan yang

memaparkan tentang konsep makanan dalam Islam untuk mewujudkan

kemaslahatan manusia, kemudian diperinci dengan penjelasan-penjelasan

mengenai hukum Islam tentang perilaku menkonsumsi makanan, definisi dan

kriteria halal dan haram, dampak makanan halal dan haram terhadap perilaku

konsumsi.

Bab IV ; Menerangkan tentang analisis kriteria sertifikasi makananan halal

pemikiran Ibnu Hazm dan MUI.

Bab V ; Penutup yang disertai kesimpulan dan saran yang dibagian akhir

(22)

BAB II

BIOGRAFI UMUM IBNU HAZM DAN MUI

A.Sketsa Biografi dan Metode Ibnu Hazm

1. Riwayat Hidup Ibnu Hazm

Ibnu Hazm lahir pada hari terakhir bulan ramadhan 384 H / 994 M di

Manta Lisyam (Cordova). Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad ‘ali Ibn

Ahmad Ibn Sa’id Ibn Hazm Ibn Galib Ibn Saleh Ibn Khalaf Ibn Mu’az Ibn Sufyan

Ibn Yazid.1 Ibn Hazm merupakan keturunan Persia dari nenek moyangnya yaitu

Maula Yazid Ibn abi Sufyan al-Umawi.2 Masa lahir beliau adalah masa yang

tragis dan krisis bagi umat Islam di Spanyol. Meskipun pada masa itu budaya dan

ilmu pengetahuan sudah cukup maju. Cordova sebagai tempat kelahiran Ibnu

Hazm sebagai Ibu Kota Spanyol telah berkembang menjadi kota administrasi dan

pusat perkembangan ilmu pengetahuan dengan berkembangnya perpustakaan dan

universitas Cordova.

Pada masa kanak-kanak Ibnu Hazm menamatkan pendidikan di

lingkungan keluarga yang serba kecukupan baik dari harta, kehormatan, dan

kedudukan, karena ayahnya adalah seorang wazir (menteri) terkemuka dibawah

Khalifah al-Mansur dan al-Muhaffar. Dengan didasari semangat yang tinggi Ibnu

1 Faruq Abdul Mu’ti,Ibnu Hazm az-zhahiri (Beirut: Dar al-kutub al-‘Ilmiyyah, 1992),

h.7.

2 Ibn Kasir, Al-Bidayah wa an-Nihayah (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), Juz 1, h. 2-3.

(23)

Hazm diarahkan untuk menjadi pengarang yang handal. Setiap ilmu selalu

diperosesnya dengan pemahaman dan hafalan yang sedalam-dalamnya.3

Pada masa remajanya, ia mendapat didikan di lingkungan istana dan

lingkungan harem. Di lingkungan ini ia mendapat pendidikan agama seperti

al-Qur’an, menghafal sya’ir, sastra, menulis ilmu mantik, dan filsafat. Sampai dengan

usia 14 tahun ia menikmati keadaan aman, tentram dan penuh kebahagiaan.4

Tetapi setelah itu di Spanyol terjadi peristiwa-peristiwa politik membuat

kehidupan keluarga Ibnu Hazm berganti suasana, yakni terjadi bentrokan antara

pribumi Spanyol, Barbar dan Siav.

Dalam huru-hara politik itu, itulah dinasti ‘Amiri yang kemudian di

gantikan oleh Hisyam II ( Muhammad al-Mahdi 366-399 H / 976-1009 M ) dari

keturunan Umayyah, hingga jatuhlah kekuasaan Ahmad (ayah Ibnu Hazm). Dalam

situasi itu. Ayahnya berjuang di pihak al-Mahdi untuk mengusir orang-orang Siav

sambil berusaha mempertahankan istananya yang terletak di Madinah Zahira.

Tetapi keadaan ini tidak dapat dibendung lagi, karena keluarganya mendapat

tekanan politik sehingga ayahnya meninggal dunia (402 H/ 1012 M). Di saat itulah

Ibnu Hazm menempuh kehidupan yang keras.5

Dalam kaitannya dengan pendidikan, keluarganya mulai mengarahkan

Ibnu Hazm pada majlis ilmu yang terdapat di masjid Cordova. Beliau bertatap

3 Ibn Hazm az-zahiri, al-Ihkam fi Usul al-Ahkam, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah,

t.t.h.) Juz I, h.2-3.

(24)

muka dan berdialog dengan beberapa gurunya.6 Berbagai macam disiplin ilmu dan

berbagai orang guru telah membentuk kerangka berfikir Ibnu Hazm yang

dilaluinya dengan berpindah-pindah kota yakni seperti Cordova, Murcia, Jativa,

dan Valencia. Keadaan inilah yang membentuk dan mengubah karakter Ibnu

Hazm menjadi sangat keras.

Adapun anak-anak Ibnu Hazm adalah Abu Rafi’ al-Fadl, Abu Usamah

Ya’qub, abu Sulaiman al-Mus’ab, mereka ini telah belajar kepada ayahnya

berbagai macam ilmu. Mereka termasuk sebagai orang yang alim dan termasuk

musannif yang tersebar ke berbagai pelosok penjuru dunia. Adapun

murid-muridnya yang terkenal yakni Muhammad Ibn Futuh bin ‘Aid dan Abu “Abdullah

al-Hamidi al-Andalusi, dia adalah pengarang kitab al-Jam’u baina as-Sahihain.7

Ibnu Hazm meninggal pada tahun 454 H/ 1064 M di Manta Lisyam.

2. Karya-karya Ibnu Hazm

Mengenai karya-karya Ibnu Hazm dalam muqaddimah kitab al-Fisal fi

al-Milal wa al-Ahwa’ an-Nihal yang ditulis oleh Ibnu Khalikan, dinyatakan bahwa

6 Adapun guru-guru Ibn Hazm yairu: Abu Qasim ‘Abdurrahman ibn Abi Yazid al-Azdi,

beliau guru dalam bidang ilmu hadis, nahwu, cara menyusun kamus, logika, dan ilmu kalam.

Sedangkan Abu Khiyar al-Lugawi adalah gurunya dalam bidang fiqh dan peradilan. Kemudian

Abu Sa’id al-Fata al-Ja’fari adalah gurunya mengenai komentar atau usulan sya’ir. Dibidang hadis

beliau belajar kepada Ahmad bin Muhammad Ibn al-Jasar, mengenai tafsir ia membaca tafsir yang

ditulis Abi Abdurrahman Baqi ibn Muqallid, baik dalam bidang filsafat, purbakala dan masih

banyak lagi ilmu yang dipelajari oleh Ibn hazm, ibid.

(25)

jumlah karangan Ibnu Hazm meliputi bidang fiqh, ushul fiqh, hadis, mustala

al-hadis, aliran-aliran agama, agama-agama, sejarah, sastra, silsilah, dan karya

apologetik yang berjumlah sekitar 400 jilid yang terdiri dari 80.000 lembar yang

ditulis dengan tangan sendiri.8 Tetapi karya-karya Ibnu Hazm tidak dapat

diketahui semuanya, sebab sebagian besar karyanya musnah terbakar oleh

penguasa dinasti al-Mu’tadi al-Qadi ‘An al-Qasim Muhammad Ibn Isma’il Ibn

‘Ibad.

Ada tiga alasan pembakaran karya-karya Ibnu Hazm, pertama, bahwa

mazhab resmi yang di akui oleh pemerintah Spanyol pada waktu itu adalah

mazhab Maliki, sedangkan Ibnu Hazm seorang pelopor mazhab az-Zahiri, oleh

karena itu Ibnu Hazm dan pengikut-pengikutnya tidak restui di kalangan penguasa

pada masa itu. Dan secara politis Ibnu Hazm dan karya-karyanya tidak dapat hak

hidup dan berkembang di Spanyol. Kedua, secara politik Ibnu Hazm pendukung

utama dinasti Umayyah dan berkali-kali menjabat menteri, keadaan ini yang

mengundang kecurigaan berat dari penguasa baru (al-Mu’tadi). Ketiga, Ibnu Hazm

dikenal sebagai sejarawan, tulisan-tulisannya yang menyangkut

peristiwa-peristiwa politik Spanyol pada waktu itu dinilai sangat berbahaya karena

peristiwa-peristiwa tersebut dapat diketahui oleh umum dan generasi berikutnya.9

Adapun karya-karya Ibnu Hazm yang dapat diketahui antara lain:

1. Tauq al-Hamamah

8 Ibn Hazm, al-Fisal fi al-Milal wa al-Ahwa’wa an-Nihal (Beirut: t.p., 1897), Juz I, h. 1.

9

(26)

2. Naqt al-‘Arusi fi Tawarikh al-Khulafa’

3. Jumrat al-Ansab

4. Al-Fisal fi al-Milal wa al-Ahwa’ wa an-Nihal

5. Tabdil al-Yahud wa an-Nasara fi al-Taurat wa al-Injil

6. An-Naskh Murji’ah min Fadaikh Mukhziyah wa

Qabaikh Murdiyah min Aqwali Ahli Bida’i min Firaq

al-Arba’

7. Al-Abt al berisi argumentasi mazhab az-Zahiri

8. At-Talkhis wa at-tarikh

9. As-Sadi’ wa ar-Radi

10.Ar-Rad’ala Ibn al-Nugirilyah al-Yahudi wa Rasaika Ukhra

11.Al-Muhalla bi al-Asar

12.Al-Ihkam fi Usul al-Ahkam

13.Fadl al-Andalusi

14.Risalat fi Fadl al-Andalus

15.Al-Akhlaq wa as-Sair fi Mudawamat an-Nufus

16.Al-Imam ah wa al-Khilafah al-Fihrasah

17.Jamharat an-Nasab al-‘Arabi

3. Situasi Politik Pada Masa Ibnu Hazm

Kaum muslimin di bawah pimpinan ‘Abdurrahman ad-Dakhil mulai

memasuki Spanyol. Di bawah kekuasaannya, kekuatan Islam tertanam kokoh di

Spanyol. Puncak kejayaan Islam di negeri itu tercapai di bawah kepemimpinan

keturunannya yaitu ‘Abdurrahman an-Nasir yang mendirikan kekhalifahan

(27)

kekuasaan Islam Spanyol meluas sampai ke Negara-negara Barat (Eropa),

termasuk Perancis yang juga tunduk dan takut kepada kekuatan Islam Spanyol.10

Abdurrahman an-Nasir kemudian digantikan oleh putranya yaitu Hakam

yang mengikuti segala jejak dan metode pemerintahan ayahnya, meskipun ia

hanya memerintah 16 tahun, tidak seperti ayahnya yang menjadi raja dan khalifah

selama 50 tahun. Setelah al-Hakam wafat, ia digantikan oleh putranya yang masih

berusia 9 tahun yaitu Hisyam al-Muayyad. Penasehatnya adalah al-Mansur Ibn

Abi ‘Amir yang sering kali memerintah secara sewenang-senang. Al-Mansur

memiliki keahlian dan kecakapan yang tinggi dalam mengendalikan jalannya

pemerintah, sehingga khalifah Hisyam yang masih muda tidak mempunyai

kekuasaan apapun. Pada masa inilah kedua orang tua Ibnu Hazm hidup. Setelah

al-Mansur wafat, mulailah Spanyol dilanda kekacauan politik.

Salah satu sebab kekacauan ini adalah kepercayaan orang-orang muslim

terhadap kaum Nasrani ketika mereka baru pertama kali menaklukan Spanyol.

Kaum Kristen yang dilindungi dan dipercaya tersebut seperti duri terpendam

dalam pemerintahan Bani Umayyah, sehingga ketika kondisi pemerintahan

melemah, barulah kekuatan Kristen muncul. Kaum Kristen senantiasa mengamati

umat Islam dan setiap ada kesempatan digunakan sebaik-baiknya yakni setelah

Abu Mansur wafat.

(28)

Ketika Hisyam al-Muayyad dinobatkan menjadi khalifah, yang menjadi

panglima perang adalah Ibnu Abi Mansur al-‘Amin ( putra Abu Mansur ). Ibnu

Mansur sewenang-wenang seperti ayahnya, hanya saja ayahnya seorang politikus

yang cerdik dan bijaksana. Ibnu Mansur mempunyai ambisi merebut kekuasaan

dari Hisyam al-Muayyad. Kemudian terjadi pemberontakan Barbar sehingga

Cordova jatuh ke tangan Barbar.

Tentara Barbar yang telah menguasai Cordova membai’at al-Mahdi

sebagai khalifah. Ulah mereka tidak berhenti sampai disini, mereka juga

mengangkat al-Musta’in sebagai khalifah dan meminta putra Advent (Pembesar

Nasrani) untuk mendukung al-Musta’in, sedangkan al-Mahdi ada dalam dukungan

tentara Barbar sendiri. Perbuatan Barbar ini bertujuan untuk memecah belah

dinasti Umayyah. Kemudian Musta’in diusir dari Cordova dan begitu pula

al-Mahdi dikucilkan dan dibunuh, sehingga pemerintahan kembali ke tangan Hisyam

al-Muayyad.

Keadaan semakin kacau, ketika al-Musta’in kembali ke Cordova beserta

orang-orang Barbar pada tahun 403 H. dan membunuh Hisyam secara diam-diam.

Sejak itu kekuasaan Islam Andalusia terbagi-bagi dalam bentuk kerajaan-kerajaan

kecil, yang didasarkan pada suku dan etnis.11

Ibnu Hazm hanya sedikit menikmati masa kejayaan, kekuasaan politik

umat Islam di Andalusia. Masa mudanya dipenuhi dengan kekacauan dan bencana

(29)

politik sampai dia wafat. Meskipun demikian, karena rasa cinta dan tanggung

jawab terhadap Negara ia pernah terjun dalam bidang politik (seperti orang

tuanya), sekitar tahun 408 H. Ia menjadi menteri pada masa kepemimpinan

Abdurrahman al-Mustazhar dan Hisyam al-Mu’indubillah, tetapi kemudian ia

berhenti dari kiprah politiknya dan menyibukkan diri dalam bidang ilmu. Dan pada

tahun 422 H berakhirlah dinasti Umayyah.

4. Situasi Intelektual Pada Masa Ibnu Hazm

Bidang keilmuan mengalami masa kebangkitan yang pesat pada masa

Ibnu Hazm meskipun terjadi krisis politik. Masa Ibnu Hazm merupakan masa

kejayaan ilmu di Andalusia. Pada masa itu muncul pakar-pakar yang berwawasan

luas yang tidak membatasi kajian pada mazhab-mazhab fiqh, disamping itu

mereka menguasai sastra dan sejarah seperti Abu ‘Amr Ibn Abdul Bar (sahabat

Ibnu Hazm) dan Abu al-Wal’id al-Baji (musuh Ibnu hazm dalam perdebatan

ilmiah). Faktor lain yang mempengaruhi kebangkitan pemikiran di Andalusia

adalah diterjemahkannya ilmu-ilmu filsafat. Gerakan penerjemahan ini

berkembang pada masa al-Ma’mun dan mencakup semua bidang ilmu Yunani,

setelah itu muncul banyak filosof Islam seperti Ibnu Rusyd dan Ibnu Bajah. Pada

(30)

ulama-ulama timur yang migrasi ke Andalusia untuk menyebarkan ilmu pengetahuan

mereka, begitu pula ulama-ulama Andalusia pergi ke timur untuk menuntut ilmu.12

Kondisi keilmuan yang kondusif ini dipengaruhi oleh Abdurrahman

an-Nasir yang memerintah selama 50 tahun (300-350) dia dijuluki Amir al-Mu’minin,

juga dipengaruhi oleh Al-Hakam yang sangat memperhatikan ilmu. Mereka

memanggil ulama-ulama dari timur, mendirikan sekolah-sekolah, mendatangkan

buku-buku dari timur, mengumpulkan buku-buku dalam berbagai bidang ilmu

yang khalifah sebelumnya belum pernah melakukan hal tersebut, membangun

pasar untuk ilmu dan ulama, yang barang dagangannya didatangkan dari berbagai

penjuru. Ulama Anadalusia pada masa itu merupakan kumpulan ulama pada abad

ke-4 dan ke-5 H dan mereka mengadakan forum-forum ilmiah dan menyatukan

antara aqli, naqli, ilmu salaf dan ilmu khalaf.13

Hal ini mendukung Ibnu Hazm menjadi seorang yang alim, ia tumbuh dan

berkembang diantara sumber-sumber ilmu. Sejak kecil dia bergaul dengan

syeh-syeh dan menimba ilmunya.

5. Kondisi Sosial Pada Masa Ibnu Hazm

Masyarakat pada zaman Ibnu Hazm heterogen yang terdiri dari berbagai

macam agama dan bangsa. Terjadi pula akulturasi dan interaksi sosial antara orang

Muslim dan Nasrani. Masing-masing bangsa memiliki kekhususan seperti orang

12

Faruq Abdul Mu’ti, h. 62-63.

(31)

Arab dengan peradabannya, mereka memunculkan seorang ahli sastra dan pemikir.

Bangsa Barbar mempunyai watak yang keras yang terkadang menimbulkan

keributan, tetapi yang terdidik ada pula yang menjadi satrawan. Interaksi Muslim

dan Nasrani semakin kuat, ketika pemerintah Muslim melemah. Orang muslim

meminta pertolongan kepada orang Nasrani dan bersama-sama mencegah

kekacauan. Interaksi tersebut menimbulkan akulturasi pemikiran dan perdebatan.

Penduduk Andalusia terdiri dari berbagai macam kelompok yang

mempunyai sifat dan kekhasan yang berbeda-beda. Orang Arab terkenal dengan

kehormatan dan kemuliaan nashabnya, tinggi cita-citanya, fasih lisannya, baik

jiwanya, murah hati, dan mencegah diri dari hal-hal yang rendah. Orang-orang

Hindia terkenal dengan perhatiannya yang besar terhadap ilmu, mereka menekuni

dan menyebarkannya. Orang-orang Baghdad terkenal dengan kebersihannya,

keteraturan, kehalusan akhlak, kemuliaan, kecerdasan, keindahan rupa, kebagusan,

kehalusan hati, dan ketajaman pikirannya. Orang-orang Yunani terkenal dengan

sistem irigasinya, penanaman (buah-buahan dan pohon), dan pengaturan

kebunnya. Mereka adalah orang-orang yang ahli dalam bidang pertanian, orang

yang paling sabar dalam menekuni pekerjaan untuk menghasilkan yang terbaik,

paling pandai bermain kuda, dan paling sabar dalam menghadapi cobaan. Orang

China terkenal dengan perindustriannya, dan orang Turki terkenal dengan

keahliannya dalam bidang militer.

Perbedaan dan interaksi yang terjadi antara mereka menyebabkan

(32)

lain, tetapi mereka membuat lemah bidang politik, sehingga politik pada masa itu

mengalami krisis, meskipun dalam bidang ilmu, seni, perindustrian dan agama

meningkat. Bahasa Arab menjadi alat pemersatu kelompok tersebut. Penduduk

fasih lidahnya, ke’ajamannya tidak mempengaruhi kemampuan mereka dalam

berbahasa Arab. Hal yang unik di Andalusia adalah banyaknya sastrawan dan

penyair perempuan.

6. Metode Ijtihad Ibnu Hazm

Sebagian orang menganggap bahwa Ibnu Hazm tidak berpegang pada

akal dalam kajan-kajiannya14 sebenarnya Ibnu Hazm menggunakan akal sebagai

dasar pemahaman dalam bidang-bidang ilmu Islam dan pengetahuan-pengetahuan

hakiki Islam. Dalam kitabnya al-Ihkam fi Usul al-Ahkam, ia mengatakan bahwa

untuk mengetahui harus menggunakan akal dan panca indera, akal berfungsi

memahami perintah dan larangan Allah SWT, menetapkan kebenaran Allah dan

kebenaran risalah Nabi Muhammad dan kemu’jizatannya.15 Tetapi semuanya itu

tetap berpegang pada nas dan Ibnu Hazm memahaminya secara tekstual (zahir). Ia

14 Hal ini disebabkan karena Ibn Hazm menolak qiyas, az-Zari’ah istihsan, istinbat

dengan ra’yu dan ta’wil.

15 Ibn Hazm, Al-Ihkam fi Usul al-Ahkam, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah t.t), Jilid 1.

(33)

tidak memperbolehkan ta’wil.16 Pada nas-nas yang bersifat aqidah ataupun ta’lil17

Pada nas-nas Syar’i.18

Istinbath yang dilakukan Ibnu Hazm berdasarkan firman Allah SWT:

































































Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul (nya),

dan Ulil Amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat

tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan

rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan

hari kemudian.” ( Q.S. An Nisa/4 : 59)

Ayat tersebut mengandung arti bahwa ada tiga sumber hukum bagi

manusia yaitu Al-Qur’an ( ﷲا اﻮﻌﯿﻃأ) khabar dari Rasulullah ( لﻮﺳﺮﻟا اﻮﻌﯿﻃأ و) dan

16

Ta’wil adalah menafsirkan dengan lafaz tidak sesuai dengan teks zahirnya dan mengalihkannya pada makna lain. Jika pena’wilan yang dilakukan sahih dengan argumen-argumen

tertentu maka bisa dikatakan benar, tetapi jika salah maka berarti salah, Ibid, h. 24.

17Ta’lil adalah mencari persamaan ‘illat antara peristiwa atau kejadian yang salah satu

dari keduanya mempunyai dalil nasnya, sedangkan yang lainnya tidak. Ta’lil berkaitan dengan

Qiyas, Ibid, Jilid 2, h. 616.

(34)

Ijma’ ( ﺮﻣﻻا ﻰﻟوأ و) Ibnu Hazm menambahkan satu sumber hukum lagi yaitu dalil,

sehingga menurutnya ada empat sumber hukum bagi umat Islam.19

Menurutnya Al-Qur’an adalah petunjuk Allah SWT yang harus diyakini

dan diamalkan kandungan isinya, yang diriwayatkan secara shahih dan tidak

diragukan lagi, telah ditulis dalam mushaf, dan wajib dijadikan pedoman. Perintah

dan larangan yang ada dalam Al-Qur’an harus dipahami secara tekstual dan

memahaminya sebagai hukum wajib tidak pada pena’wilan lain seperti sunnah.

Dengan kata lain, pengambilan kandungan al-Qur’an harus melalui pengertian

lahir karena mustahil ada ayat yang mempunyai pengertian bathin tanpa ada

penjelasan dari Rasul, sebab berarti Rasul belum menyampaikan risalahnya

sebagaimana yang diperintahkan Allah SWT.

Sumber hukum yang kedua adalah khabar berupa sunnah-sunnah yang

diriwayatkan Rasulullah. Menurutnya khabar terbagi dua yakni:

a. Khabar mutawatir yakni khabar yang diriwayatkan oleh sekelompok

(banyak) pada setiap tingkatan periwayat sampai kepada Nabi, khabar ini

wajib dijadikan pegangan tanpa diperdebatkan lagi.

b. Khabar ahad, yang diriwayatkan oleh satu orang pada tiap tingkatan. Jika

khabar ahad itu bersambung sanadnya sampai kepada Rasul dan

periwayatnya adil dan siqat, maka wajib diamalkan. Al-Qur’an dan

Sunnah Rasulullah saling bersesuaian. Keduanya adalah sesuatu yang

(35)

satu, yang berasal dari Allah SWT, dan keduanya tidak saling

bertentangan. Sunnah dapat mentakhsis Al-Qur’an, karena Sunnah adalah

penjelasan bagi Al-Qur’an. Pandangan Ibn Hazm yang menerima khabar

ahad ini menyebabkan ia menetapkan wajibnya mengimani banyaknya

hal-hal yang ghaib yang ditetapkan berdasarkan hadis ahad dan tidak

berdasarkan hadis muttawatir, seperti tentang azab kubur, turunnya Isa,

adanya al-Masih dan Dajjal, jembatan di hari kiamat dan syafa’at.

Sumber hukum yang ketiga adalah ijma’, menurut Ibn Hazm ijma’ hanya

dapat diterima melalui tauqif, dan arena para sahabat tersebut mencakup

orang-orang mukmin pada masa itu tidak ada satu mukmin pun selain mereka. Maka

dapat dikatakan bahwa ijma’ mereka adalah ijma’ orang-orang mukmin. Adapun

ijma’ yang terjadi pada masa setelah para sahabat adalah kesepakatan sebagian

orang-orang mukmin saja tidak seluruhnya, maka kesepakatan sebagian orang

mukmin tersebut tidak dikatakan sebagai ijma’. Lebih lanjut Ibn Hazm bahwa

ijma’ terbagi dua yakni: (1). Ijma’ dalam sesuatu yang tidak diragukan lagi

meskipun dalam satu orang Islam, bagi yang tidak sepakat dalam hal tersebut

maka berarti ia bukan orang muslim, seperti bersaksi bahwa tiada Tuhan selain

Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, wajibnya shalat lima waktu, puasa

ramadhan, haramnya bangkai, darah, dan babi, meyakini Al-Qur’an dan wajibnya

(36)

Rasulullah atau diyakini bahwa Rasulullah telah memberikan sikap beliau kepada

orang-orang yang tidak menyaksikan langsung peristiwanya.20

Sumber hukum yang keempat adalah dalil21 yang digunakan untuk

memahami nas (Al-Qur’an dan Sunnah) dan Ijma’, sebenarnya dalil-dalil tersebut

adalah makna-makna teks yang tunduk tidak keluar dari teks. Menurutnya dalil

yang diambil dari nas terbagi tujuh yakni.22

1. Dua pernyataan yang menghasilkan suatu kesimpulan yang secara tekstual

tidak eksplisit dalam dua pernyataan tersebut, sebagaimana contoh sabda

Rasulullah23 ( ماﺮﺣ ﺮﻤﺧ ﻞﻛ و ﺮﻤﺧﺮﻜﺴﻣ ﻞﻛ) kesimpulannya adalah ( ﺮﻜﺴﻣ ﻞﻛ

ماﺮﺣ)

Artinya: “setiap yang memabukan adalah khamar dan setiap khamar itu

adalah haram”.(HR.Muslim)

Sabda rasul terdiri dari dua pernyataan tersebut merupakan dalil burhani

bahwa segala sesuatu yang memabukan itu haram.

2. Syarat yang dihubungkan dengan sifat maka sesuatu yang dihubungkan

dengan syarat tersebut menjadi wajib, seperti firman Allah :

20Ibid, h. 555.

21 Dalam hal ini Ibn Hazm menolak istilah Isthilal (ﻞﯿﻟﺪﻟا ﺐﻠﻃ) karena isthilal bukanlah

dalil karena terkadang orang melakukan isthilal tidak berdasarkan dalil ( artinya malah keluar dari

dalil itu sendiri), Ibid, h.102

22Ibid, h. 100-101.

(37)

...

















...

Artinya :…”Jika mereka berhenti (dari kekafirannya) niscaya Allah akan

mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang telah lalu”… (Q.S.

Al-Anfal/8 : 38)

3. Makna yang difahami dari suatu lafadz, maka makna tersebut dapat

ditunjukan dengan lafadz lain, misalnya dalam Firman Allah:

...











...

Artinya: …“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut

hatinya lagi penyantun”… (Q.S. At-Taubat/9 : 114)

Maka dari sini dapat dipahami bahwa Ibrahim bukanlah orang yang jelek

akhlaknya.

4. Segala sesuatu hanya punya satu hukum. Sesuatu yang diharamkan maka

haram hukumnya, sesuatu yang diwajibkan maka hukumnya wajib, dan

sesuatu yang tidak haram dan tidak wajib maka hukumnya mubah.

5. Ketetapan-ketetapan yang disusun bertingkat-tingkat maka berarti

menunjukan hukum yang tertinggi ada di alas derajat yang dibawahnya,

(38)

utama dari Umar dan Umar lebih utama dari Usman”. Maka berarti Abu

Bakar lebih utama dari Usman.

6. Kita menetapkan bahwa segala sesuatu yang memabukan adalah haram,

maka ini juga berarti bahwa sebagian yang haram adalah memabukan.

7. Suatu lafadz dapat mengandung makna banyak, contohnya Firman Allah:











...

Artinya: “Segala sesuatu yang bernyawa akan merasakan mati”… (Q.S.

Ali Imron/ 3 : 185)

Maka berarti Zaid, Hindun dan segala sesuatu yang beryawa akan

mati.

Ibnu Hazm juga mengecam orang-orang yang menetapkan suatu

hukum berdasarkan keragu-raguan, kehati-hatian yang ekstrim, dan tidak

meyakininya, atau menetapkannya karena takut terjerumus ke dalam

kejelekan. Maka ia berarti telah menetapkannya dengan perasangka dan

menetapkannya atas kebohongan dan kebatilan.

Menurutnya yang halal dan yang haram itu sudah jelas dan hal-hal

yang syubhat bukanlah berarti haram, dan yang bukan haram berarti

halal.24 Ini merupakan penafsirannya terhadap hadits nabi yang berbunyi:

(39)

ﺮﯿﺸﺑ ﻦﺑ نﺎﻤﻌﻨﻟا ﻦﻋ

ﻰﻠﺻ ﷲا لﻮﺳر ﺖﻌﻤﺳ لﻮﻘﯾ ﮫﺘﻌﻤﺳ لﺎﻗ

لﻮﻘﯾ ﻢﻠﺳو ﮫﯿﻠﻋ ﷲا

ﻦﻤﻓ ءﺎﺴﻨﻟا ﻦﻣ ﺮﯿﺜﻛ ﻦﮭﻤﻠﻌﯾ ﻻ تﺎﮭﺒﺘﺸﻣ ﺎﻤﮭﻨﯿﺑ و ﻦﯿﺑ ماﺮﺤﻟا نإ و ﻦﯿﺑ لﻼﺤﻟا نإ

ماﺮﺤﻟا ﻰﻓ ﻊﻗو تﺎﮭﺒﺸﻟا ﻰﻓ ﻊﻗو ﻦﻣ و ﮫﺿﺮﻋ و ﮫﻨﯾﺪﻟ أﺮﺒﺘﺷا تﺎﮭﺒﺸﻟا ﻰﻘﺗا

ﻚﻠﻣ ﻞﻜﻟ ناوﻻا ﮫﯿﻓ ﻊﺗﺮﯾ نأ ﻚﺷﻮﯾ ﻰﻤﺤﻟا لﻮﺣ ﻰﻋاﺮﻟﺎﻛ

ﷲا ﻰﻤﺣ ناوﻷا ﻰﻤﺣ

ﮫﻣرﺎﺤﻣ

)

ﻢﻠﺴﻣ ﮫﺟﺮﺧأ

(

25

Artinya: “Dari Nu’man Bin Basyir berkata: aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya yang halal sudah jelas dan yang haram pun sudah jelas. Diantara keduanya itu ada beberapa perkara yang belum jelas (Syubhat), banyak orang yang tidak tahu, apakah dia itu masuk bagian yang halal ataukah yang haram?, maka barang siapa yang menjauhinya karena hendak membersihkan agama dan kehormatannya maka dia akan selamat, dan barang siapa yang mengerjakan sedikit pun daripadanya hampir-hampir dia akan jatuh kedalam haram, sebagaimana orang menggembala kambing disekitar daerah larangan, dia hampir-hampir akan jatuh kepadanya. Ingatlah bahwa tiap-tiap raja mempunyai daerah larangan, ingat pula bahwa daerah larangan Allah itu semua yang di haramkan”. (HR. Muslim)

Oleh karena itu, ia menentang penetapan hukum dengan metode Ihtiyat

dan Sadz az-Zari’ah.

Ibnu Hazm juga menolak penetapan hukum dengan metode istihsan

seperti yang dilakukan oleh Malikiyah dan Hanafiah. Karena menurutnya segala

sesuatu harus berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah (yang ini merupakan ijma’ yang

diyakini oleh setiap orang muslim), dan istihsan tidaklah diperintahkan Allah

SWT.26 Begitu pula ia menolak metode qiyas, menurutnya dalam agama hanya ada

hukum wajib, haram, dan mubah, semua hukum agama adalah ushul bukan furu’

25

Muslim, Shahih Muslim bi Syarh an-Nawawi (Beirut: Dar al-Fikr, 983), juz 4, h. 228.

(40)

yang semuanya telah ada dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Ia juga mengecam ikhtilaf

dan taqlid, karena menurutnya segala sesuatu hukum ada dalam Al-Qur’an, setiap

muslim wajib mengikuti Al-Qur’an dan as-Sunnah bukan pada perbedaan

pendapat ulama yang ada.27

Ibnu Hazm mempunyai corak fiqh yang membedakannya dari

imam-imam lain misalnya pendapatnya tentang: (1). Bahwa orang yang sakit keras

mempunyai kewajiban yang sama seperti orang sehat. (2). Seorang istri boleh

bersedekah dengan harta suaminya. (3). Hakim boleh melaksanakan wasiat kepada

sebagian kerabat yang lemah dari orang yang meninggal yang mereka tidak

mempunyai hak waris. Ibnu Hazm (seperti yang dijelaskan diatas) juga berbeda

dengan imam-imam empat mazhab yang lain dalam metode istidlal.28 Seperti

diketahui selain kesepakatan terhadap sumber hukum al-Qur’an, sunnah, dan

ijma’, asy-Syafi’I menggunakan qiyas, Abu Hanifah, Malik dan Ibnu Hanbal

menggunakan istihsan,’urf dan qiyas.

B.Biografi Majelis Ulama Indonesia (MUI)

1. Sejarah Pembentukan MUI

Majelis Ulama Indonesia (MUI) merupakan suatu wadah musyawarah

para ulama, zu’ama dan cendekiawan muslim yang mempunyai tugas sebagai

27Ibid, h. 61 dan 233.

28 Faruq Abdul Mu’ti, Ibn Hazm az-Zahiri, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.t). h.

(41)

pengayom bagi seluruh umat muslim Indonesia untuk menjawab setiap masalah

sosial keagamaan yang senantiasa timbul dan dihadapi oleh masyarakat.

Selain itu juga, Majelis Ulama Indonesia merupakan lembaga yang

mewakili umat Islam Indonesia bila ada pertemuan-pertemuan ulama-ulama

internasional, atau bila ada tamu dari luar negeri yang ingin bertukar pikiran

dengan ulama Indonesia. Disisi lain, Majelis Ulama Indonesia adalah sebuah

organisasi kemasyarakatan yang bersifat keagamaan dan independen, dalam arti

terikat atau menjadi bagian dari pemerintah atau kelompok manapun.

Selanjutnya, sejarah pembentukan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sangat

erat kaitannya dengan peran para ulama pada waktu itu. Pada masa revolusi

(1945-1949) para ulama menjalankan peranan yang sangat penting dalam aksi

mobilisasi masa untuk bertempur melawan Belanda. Banyak diantara para

komandan kaum gerilya yang bertempur berasal dari para ulama dari berbagai

tingkatan. Di bawah sistem demokrasi parlementer yaitu pada masa 1950-1959,

peranan politik para ulama menjadi makin penting, karena sebagian besar partai

politik berdasarkan keagamaan dan dipimpin oleh para prmuka agama. Jadi,

rapat dikatakan bahwa dalam kurun waktu tersebut, para ulama bukan hanya

sebagai pemimpin dalam soal keagamaan saja tetapi juga dalam soal politik.

Begitu juga pada masa pemerintahan Soeharto, peranan ulama semakin

dibatasi hanya persoalan keagamaan. Bahkan partai politik yang masih

berasaskan keagamaan tidak diperbolehkan lagi, sebaliknya seluruh partai

(42)

ini telah menghambat para ulama dari kepemimpinan partai politik dan

membuat mereka mundur dari kegiatan politik. Mereka pun lebih memilih

kembali ke pesantren masing-masing untuk kembali mengajar ilmu agama dan

sebagian lagi ada yang mengubah kegiatannya menjadi seorang mubaligh.29

Dengan semakin berkurangnya peranan ulama dalam politik formal,

timbulah sebuah gagasan untuk mencari bentuk peranan baru bagi para ulama

dalam masyarakat. Gagasan ini bermula pada konferensi para ulama di Jakarta

yang diselenggarakan oleh Pusat Dakwah Islam Indonesia (PDII)30 pada tanggal

30 september – 4 oktober 1970 yang mengajukan saran untuk memejukan

kesatuan kaum muslimin dalam kegiatan sosial dengan membentuk sebuah

majelis bagi para ulama Indonesia yang akan diberi tugas untuk memberikan

fatwa-fatwa.

Namun, saran tersebut baru mendapat tanggapan pada tahun 1974 ketika

Pusat Dakwah Islam Indonesia (PDII) mengadakan letak nasional bagi juru

dakwah muslim Indonesia. Dari pertemuan itu disepakati bahwa pembentukan

majelis ulama harus diprakasai ditingkat daerah. Dan hal ini mendapat

29 Mudzar, Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi Tentang Pemikiran

Hukum Islam di Indonesia 1975-1988, Penerjemah Soedarso Soekarno, (Jakarta: INIS, 1993), h. 54.

30 Lembaga ini berdiri tanggal 8 september 1969 di Jakarta dengan ketua Letnan Jenderal

Sudirman, Badan ini merupakan badan setengah resmi di mana tokoh-tokohnya berasal dari

pemerintah, organisasi Islam serta ilmuwan. Dibentuk atas dasar keputusan suatu seminar da’wah

(43)

dukungan dari presiden Soeharto bertepat pada tanggal 24 mei 1975

menemukakan alasan bahwa pemerintah menginginkan kaum muslimin bersatu

dan adanya kesadaran bahwa masalah yang dihadapi bangsa tidak dapat

diselesaikan tanpa keikutsertaan ulama.

Sehingga, pada tahun 1975 majelis-majelis daerah telah terbentuk hampir

seluruh daerah dari 26 propinsi di Indonesia.31 Akhirnya pada masa orde baru

desakan untuk membentuk semacam majelis ulama nasional nampak sangat

jelas. Pada tanggal 1 Juli 1975, pemerintah dengan diwakili Departemen Agama

mengumumkan penunjukan sebuah panitia persiapan pembentukan majelis

ulama tingkat nasional. Panitia itu terdiri dari Jenderal (Purn) H. Sudirman,

selaku ketua, dan tiga orang ulama selaku penasihat, yitu : Dr. Hamka, K.H.

Abdullah Syafi’i dan K.H. Syukri Ghazali. Tepat pada tanggal 21-27 Juli

1975/12-18 Rajab 1395, dilangsungkan Muktamar Nasional Ulama. Para

peserta terdiri wakil-wakil majelis ulama daerah yang baru dibentuk, para wakil

pengurus pusat sepuluh organisasi Islam yang ada di Indonesia, sejumlah ulam

bebas (yang tidak mewakili organisasi tertentu) dan empat orang wakil

rohaniawan Islam ABRI. Dan pada akhir Muktamar, tanggal 26 Juli 1975

terbentuk sebuah deklarasi yang ditandatangani oleh 53 peserta, yang

31 Mudzhar, Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi Tentang Pemikiran

(44)

mengumumkan terbentuknya MUI sebagai ketua pertama adalah seorang

penulis Dr. Hamka.32

Ketika itu ada dua alasan mengapa Hamka menerima baik kedudukan

sebagai ketua umum MUI. Pertama, Hamka untuk menghadapi ideologi

komunis Indonesia, orang harus menggunakan ideologi yang lebih kuat, yakni

Islam. Untuk mencapai hal ini, umat Islam seharusnya dapat bekerja sama

dengan pemerintah Soeharto, yang juga bersikap antikomunis. Kedua,

pemerintah telah senantiasa bersikap tidak percaya terhadap kaum muslimin,

betapapun luhur maksud kaum muslimin. Menurut Hamka dengan terbentuknya

MUI, maka keadaan demikian akan dapat diperbaiki. Akan tetapi pernyataan

Hamka ini, tidak semua orang Islam setuju. Sehingga sejumlah pemuda Islam

mendatangi kediaman Hamka dan menurut ia agar menolak pengakatannya

sebagai ketua umum MUI, tetapi dia tetap kepada keputusannya.33

Sebelum terbentuknya MUI, sedikitnya telah terjadi tiga peristiwa politik

penting di Indonesia. Pertama, pemilihan umum tahun 1971, yang dimenangkan

oleh Golkar, telah mengecewakan umat Islam. Apalagi partai Islam terbesar

yaitu Masyumi tidak diperkenankan pemerintah untuk dihidupkan kembali,

akibat dari pemilu yang kurang sehat itu hanya memperoleh suara 26% dari 360

kursi, sedangkan Golkar mendapatkan 65 % dan ini menjadi pukulan yang amat

berat bagi partai-partai Islam. Kedua, pengurangan jumlah partai-partai politik

(45)

Islam menjadi satu tanpa menyandang sebutan Islam. Ketiga, diajukannya

rancangan Undang-undang Perkawinan pada tanggal 31 Juli 1973, yang

pasal-pasalnya dianggap bertentangan dengan doktrin-doktrin hukum Islam mengenai

perkawinan yang umumnya diterima di Indonesia.34

Demikian peristiwa yang terjadi menjelang terbentuknya Majelis Ulama

oleh pemerintah. Dengan mengikuti peristiwa-peristiwa yang mengiringi

kemunculan Majelis Ulama itu dapat dimaklumi jika kemudian penolakan dan

kecurigaan menjadi sebab kenapa umat sulit menerima kehadiaran mejelis

tersebut.

2. Metode Fatwa MUI

Dalam ilmu ushul fiqh, fatwa berarti pendapat yang dikemukakan seorang

mujtahid atau faqih atas jawaban yang diajukan peminta fatwa dalam suatu

kasus yang sifatnya tidak mengikat. Fatwa yang dikemukakan mujtahid atau

faqih tidak mesti diikuti oleh orang yang meminta fatwa, dan fatwa tersebut

tidak mempunyai daya ikat.35 Hal ini disebabkan, fatwa seorang mufti atau

ulama di suatu tempat bisa saja berbeda darifatwa ulama lain di tempat yang

sama. Fatwa biasanya cenderung dinamis karena merupakan tanggapan

34Ibid., h. 58-62.

35 Abdul Azis Dahlan, dkk, ed., Ensiklopedia Hukum Islam, jilid I, cet III, (Jakarta: PT.

(46)

terhadap perkembangan baru yang sedang dihadapi masyarakat peminta fatwa.

isi fatwa itu sendiri belum tentu dinamis, tetapi minimal responsif.36

Fatwa muncul karena adanya suatu perkara dan juga bisa disebabkan

akibat dari perkembangan sosial yang dihadapi oleh umat. Karena itu, fatwa

mensyaratkan adanya orang yang meminta atau kondisi yang memerlukan

adanya pandangan atau keputusan fatwa.37 Pada dasarnya fatwa memberikan

suatu reaksi terhadap isu-isu dalam mereflesikan intelektualisme dan politik

pada masa itu.38

Tindakan memberi fatwa disebut futya atau ifta’, suatu istilah yang

merujuk pada frofesi pemberi nasehat. Pihak yang memberi fatwa disebut mufti,

sedangkan pihak yang meminta disebut al-Mustfti. Peminta Fatwa bisa berupa

perorangan, lembaga, ataupun siapa saja yang membutuhkannya.39

Mayoritas ulama ushul mengatakan bahwa mufti boleh saja memfatwakan

pendapat mujtahid yang masih hidup, dengan syarat mufti tersebut mengetahui

landasan hukum serta jalan pikiran yang dipergunakan mujtahid tersebut.

Sejak berdirinya tahun 1975 sampai saat ini, MUI telah banyak

mengeluarkan fatwa yang mencangkup bidang kehidupan, yaitu ibadah,

36

Kafrawi Ridwan, dkk, ed., Ensiklopedia Islam, jilid II cet. IV, (Jakarta: PT, Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001), h. 16.

37 M. B. Hooker, Islam Mazhab Indonesia; Fatwa-Fatwa dan Perubahan Sosial,

Penerjemah Iding Rosyidin Hasan, (Jakarta: Teraju, 2002), h. 16.

38 Ibid., h. 21.

39 Kafrawi Ridwan, dkk, ed., Ensiklopedi Islam, jilid II cet. IV, (Jakarta: PT, Ichtiar Baru

(47)

perkawinan dan keluarga, makanan, kebudayaan, soal hubungan antar agama,

ilmu kedokteran, keluarga berencana, gerakan Islam dan lain sebagainya.

Adapun metode yang digunakan oleh MUI dalam menetapkan fatwanya,

seperti yang tercantum dalam dasar-dasar umum penetapan fatwa adalah

sebagai berikut:40

a. Setiap keputusan fatwa harus mempunyai dasar atas Kitabullah dan

Sunnah Rasul yang mu’tabbarah, serta tidak bertentangan dengan

kemashlahatan umat.

b. Jika tidak terdapat dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul sebagaimana

ditentukan pada pasal 2 ayat 1, keputusan fatwa hendaklah tidak

bertentangan dengan ijma’, Qiyas, yang mu’tabar, dan dalil-dalil

hukum yang lain, seperti Istihsan, Masalah Mursalah, dan sadd

az-Zari’ah.

c. Sebelum pengambilan keputusan fatwa hendaklah ditinjau

pendapat-pendapat para imam mazhab terdahulu, baik yang berhubungan

dengan dalil-dalil hukum maupun yang berhubungan dengan dalil

yang dipergunakan oleh pihak yang berbeda pendapat.

d. Pandangan tenaga ahli dalam bidang masalah yang akan diambil

keputusan fatwanya dipertimbangkan.

40

Bagian Proyek Sarana dan Prasarana Produk Halal, Himpunan Fatwa Majelis Ulama

(48)

Dari dasar-dasar umum penetapan fatwa yang dikeluarkan oleh MUI,

dapat diambil kesimpulan bahwa yang digunakan oleh MUI dalam menetapkan

fatwanya adalah pertama dengan merujuk kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul.

Apabila tidak ditemukan dalil-dalil dari Kitabullah dan Sunnah Rasul, maka

MUI merujuk kepada ijma, qiyas, istihsan, mashalah mursalah, dan sadd

az-Zari’at serta pendapat-pendapat para imam-imam mazhab terdahulu. Dalam

masalah yang terjadi khilafiyyah di kalangan mazhab, maka yang difatwakan

adalah hasil tarjih setelah memperhatikan fiqh muqaran dengan menggunakan

kaidah-kaidah ushul fiqh muqaran yang berhubungan dengan pentarjihan.

Setelah melewati itu semua baru diambil pandangan tenaga ahlidalam bidang

masalah yang akan diambil keputusan fatwanya. Tenaga ahli yang dimaksud

adalah para pakar dalam bidangnya masing-masing. Dari semua keterangan di

atas dapat disimpulkan bahwa MUI dengan Komisi Fatwanya ketika

menetapkan fatwanya akan memutuskan suatu permasalahan berdasarkan

kemaslahatan umat, dengan merujuk kepada metode para alim ulama terdahulu.

3. Mekanisme Kerja Komisi Fatwa MUI

Seperti yang telah dijelaskan, bahwa sebuah fatwa akan dikeluarkan

apabila individu, lembaga, maupun organisasi masyarakat tersebut memintanya

atau sebagai refleksi dari perkembangan sosial pada masa itu. Sidang Komisi

(49)

masyarakat yang oleh Dewan Pimpinan MUI dianggap perlu untuk dibahas dan

diberikan fatwanya atau permintaan dari pemerintah, lembaga sosial

kemasyarakatan, atau MUI sendiri.41

Mekanisme kerja Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, seperti yang

tertuang dalam mekanisme kerja Komisi Fatwa MUI No. U634/MUI/X/199742,

adalah sebagai berikut:

PENYELEKSIAN MASALAH

1. Setiap surat masuk ke Komisi Fatwa yang berisi permintaan fatwa atau

masalah hukum Islam dicatat dalam buku surat masuk, dilengkapi

dengan asal (pengirim) dan tanggal surat, serta pokok masalahnya.

2. Semua surat masuk diseleksi oleh Tim Khusus untuk ditentukan

klasifikasinya;

a. Masalah yang layak dibawa ke dalam Rapat Komisi Fatwa.

b. Masalah-masalah yang dikembalikan ke MUI Daerah Tingkat I.

c. Masalah-masalah yang cukup diberi jawaban oleh Tim Khusus.

d. Masalah-masalah yang tidak petlu diberikan jawaban.

3. a). Masalah sebagaimana dimaksud dalam poin 2.a. dilaporkan

kepada Ketua Komisi Fatwa untuk ditetapkan waktu

pembahasannya sesuai dengan hasil seleksi dari Tim Khusus.

41Ibid., h. 6.

42

(50)

b). Setelah mendapatkan kepastian waktu, masalah tersebut dilaporkan

kepada secretariat MUI untuk dibuatkan undangan rapat.

4. Masalah sebagaimana dimaksud dalam poin 2.b. dilaporka kepada

Sekretariat MUI untuk dibuatkan pengirimannya.

5. a). Masalah sebagaimana dimaksud dalam poin 2.c. dirimuskan

jawabannya oleh Tim Khusus.

b). Jawaban sebagaimana dimaksud dalam poin 5.a. dilaporkan/

dikirimkan kepada Sekretariat MUI untuk dibuatkan surat

pengirimannya kepada yang bersangkutan.

6. Tim Khusus terdiri dari ketua, sekretaris, dan anggota yang berasal

dari unsur Pengurus Harian dan Pengurus Komisi Fatwa MUI,

sebagaimana terlampir.

Setelah surat yang berisi permintaan fatwa masuk dan diseleksi oleh

Komisi Fatwa MUI, maka diadakanlah rapat oleh Komisi Fatwa. Dalam hal ini,

Ketua Komisi Fatwa, atau melalui rapat Komisi, berdasarkan pertimbangan dari

tim khusus menetapkan prioritas masalah yang dibahas dalam rapat Komisi

Fatwa serta menetapkan waktu pembahasannya.

Ketua Komisi atau melalui rapat Komisi, dapat menunjuk salah seorang

atau lebih anggota Komisi untuk membuat makalah mengenai masalah yang

(51)

serta makalah (jika ada) sudah harus diterima oleh anggota Komisi dan peserta

rapat lain (jika ada) selambat-lambatnya tiga hari sebelum tanggal rapat.

Peserta rapat Komisi Fatwa terdiri atas anggota Komisi dan peserta

lainnya yang dipandang perlu. Sedangkan rapat Komisi dipimpin oleh Ketua

Komisi atau Wakilnya. Rapat Komisi dinyatakan sah apabila dihadiri oleh

sekurang-kurangnya setengah dari peserta yang diundang rapat atau jika

dipandang perlu telah memenuhi quarom oleh peserta yang hadir.

Hasil rapat Komisi Fatwa dirumuskan menjadi Keputusan Fatwa oleh

Tim Khusus. Keputusan Fatwa dilaporkan kepada Dewan Pimpinan/ Sekretariat

MUI untuk kemudian ditanfizkan dalam bentuk Surat Keputusan Fatwa MUI.

Kemudian Surat Keputusan Fatwa (SKF) dikirim kepada pihak-pihak yang

terkait dan seluruh anggota Komisi Fatwa, serta MUI daerah Tingkat I,

Keputusan dipublikasikan melalui mimbar ulama dan penjelasannya dalam

bentuk artikel.43

Secara singkat dapat dikatakan, bahwa mekanisme kerja MUI adalah

Majelis Ulama Indonesia dengan Komisi Fatwanya memilih dan

memprioritaskan masalah yang akan dikeluarkan fatwanya. Kemudian masalah

tersebut dirapatkan oleh Ketua dan anggota Komisi Fatwa MUI dan para ahli

dibidangnya (jika diperlukan). Estimasi peserta rapat, adalah dari peserta rapat.

(52)

Hasil dari rapat tersebut, kemudian dipublikasikan kepada publik dalam bentuk

(53)

BAB III

KRITERIA SERTIFIKASI MAKANAN HALAL

A.Pengertian Makanan Halal Menurut Hukum Islam

Kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta

keberhasilan pembangunan akhir-akhir ini telah merambah seluruh aspek bidang

kehidupan umat manusia, tidak saja membawa berbagai kemudahan, kebahagiaan

dan kesenangan, melainkan juga menimbulkan sejumlah persoalan. Aktifitas yang

beberapa waktu lalu tidak pernah dikenal, atau bahkan tidak pernah terbayangkan,

kini hal itu menjadi kenyataan. Di sisi lain, kesadaran keberagamaan umat Islam di

berbagai negeri, termasuk di Indonesia, pada dasawarsa terakhir ini semakin

tumbuh subur dan meningkat. Sebagai konsekuensi logis, setiap timbul persoalan,

penemuan, maupun aktifitas baru sebagai produk dari kemajuan tersebut, umat

senantiasa bertanya-tanya, bagaimanakah kedudukan hal tersebut dalam

pandangan ajaran hukum Islam.

Salah satu persoalan cukup mendesak yang dihadapi umat adalah

membanjirnya produk makanan dan minuman olahan, obat-obatan, dan kosmetika.

Sejalan dengan ajaran Islam, menghendaki agar produk-produk yang akan

dikonsumsi tersebut dijamin kehalalan dan kesuciannya. Menurut ajaran Islam,

menkomsumsi yang halal, suci, dan baik merupakan perintah agama dan

(54)

hukumnya adalah wajib. Cukup banyak ayat dan hadis menjelaskan hal ini sesuai

dengan firman Allah SWT sebagai berikut:1



























Referensi

Dokumen terkait

Keuntungan dari menggunakan efek fotovoltaik ( Photovoltaic/PV ) untuk menghasilkan energi listrik adalah bersih, tidak menimbulkan suara/hening, usia pakai lama dan

sementara wyckof (dalam tjiptono 1996:59) mengartikan kualitas jasa atau layanan, yaitu : tingkat keunggulan yang diharapkan dan pengendalian atas tingkat keunggulan tersebut untuk

Kebutuhan air irigasi adalah jumlah volume air yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan evaporasi, kehilangan air, kebutuhan air untuk tanaman dengan

Bagian utama (naskah karya tulis) diberi nomor halaman menggunakan angka arab yang dimulai dengan nomor halaman 1 (satu) dan diketik di sebelah kanan bawah dengan

fleksibilitas panggul terhadap hasil kecepatan panjat tebing kategori speed. Dengan rumusan masalah penelitian

Dicampurkannya Buah Markisa sebagai bahan baku utama untuk minuman bernutrisi ini tidak mengubah rasa, jauh lebih sehat, jauh lebih alami, jauh memiliki keunggulan yang

SDIT AL uswah Surabaya is one unified Islamic elementary school that has problems ranging from frequent mistake inputting data, loss of data that has been collected, the data is not

(43) and (47), where the psychophysical transformation from stimulus to sensation is followed by a judgment trans- formation mapping the sensation to response. With