• Tidak ada hasil yang ditemukan

halal haram dalam islam oleh yusuf qardhawi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "halal haram dalam islam oleh yusuf qardhawi"

Copied!
342
0
0

Teks penuh

(1)

HALAL DAN HARAM DALAM ISLAM

OLEH SYEKH MUHAMMAD YUSUF

QARDHAWI

(2)

MUQADDIMAH

TIADA kata yang paling indah dalam memuqaddimahi buku "Halal dan Haram Dalam Islam" ini selain kata SYUKUR atas segala rahmat dan ma'unah yang diberikan Allah s.w.t. kepada kami. Sehingga dengannya terjemahan ini dapat kami selesaikan, tanpa suatu aral.

Menterjemahkan satu buku dari bahasa ke bahasa lain yang uslub dan gramatikanya berbeda, bukan satu hal yang mudah. Padahal syarat terjemahan itu harus dapat menyesuaikan dengan bahasa penterjemah, tanpa mengurangi isi. Sedang untuk ini atau katakanlah apa yang dimaksud oleh penulis dengan penterjemah sebagai orang yang memahami suatu tulisan, sering terjadi persilangan, tidak seratus persen sama.

Justeru itu apa yang kami gambarkan di atas, tidak mustahil akan dijumpai dalam buku ini, sekalipun usaha untuk menyesuaikannya itu telah kami usahakan dengan seluruh kemampuan yang ada. Namun bagian-bagian mana kekurangan dan kejanggalan itu, orang lainlah -tegasnya pembacalah- yang lebih mengetahui. Sebab seperti kata pepatah kita: "kuman di seberang lautan tampak, gajah di kelopak mata tidak tampak."

Lebih tidak mustahil lagi, karena penterjemah ini adalah manusia yang serba dhaif yang tidak luput dari khilaf.

Untuk itu, tegur-sapa serta kontrol dari pembaca sangat kami harapkan, demi menjaga dari keberlarutan kesalahan yang justeru akan membawa kepada kesalahan orang lain.

Kemudian tidak lupa pula terimakasih kepada para ustadz kami yang mulia masing-masing Ustadz Ahmad Yazid, Ustaz Abdul Qadir Hassan dan Ustaz A. Rahman Bahalwan yang bersedia memberikan bantuan kepada kami dalam menterjemah buku ini, baik mengenai istilah-istilah maupun arti yang tepat, dalam beberapa hal yang kami sendiri tidak mampu.

Juga sangat berterimakasih kepada yang terhormat Bapak M. Natsir ketua DDII Pusat yang telah memberikan restu dan dorongan penterjemahan buku ini.

Kepada Allah s.w.t. semua itu kami kembalikan. Semoga Ia berkenan melimpahkan jaza'nya dengan jazaan hasanan.Akhirnya, semoga buku ini bermanfaat bagi kaum muslimin umumnya dalam rangka meningkatkan amal saleh dan taqwa kepada Allah s.w.t.

(3)

PENDAHULUAN

Direktorat Jenderal Urusan Kebudayaan Islam Universitas Al-Azhar meminta kepada saya untuk memenuhi keinginan Universitas, agar saya menyusun buku-buku kecil yang sederhana untuk diterjemah ke dalam bahasa Inggris, guna memperkenalkan Islam kepada masyarakat Eropah dan Amerika, khususnya ummat Islam di sana; di camping sebagai usaha da'wah untuk orang luar Islam.

Rencana penyusunan buku-buku kecil sebagai tersebut, sangat baik sekali yang sudah seharusnya direalisir sejak lama, sebab masyarakat Islam di Eropah dan Amerika mengenal Islam hanya sedikit sekali. Sedang yang sedikit itupun tidak lepas dari kekeliruan dan kesalahan.

Dalam waktu dekat, seorang rekan lulusan Al-Azhar yang dikirim ke salah satu negara bagian USA mengirimkan surat kepada saya, ia mengatakan: "Bahwa kebanyakan ummat Islam di negara ini mencari pencaharian dengan membuka bar-bar dan memperdagangkan arak dengan tidak merasa bahwa hal tersebut suatu dosa besar dalam pandangan hukum Islam."

Dalam suratnya itu dikatakan pula: "Bahwa laki-laki muslim di negara tersebut banyak yang mengawini perempuan-perempuan Kristen dan Yahudi --mungkin juga penyembah berhala-- dengan meninggalkan perempuan-perempuan muslimah, mereka ini banyak yang tidak laku, dan sebagainya ..."

Kalau demikian keadaannya ummat Islam, bagaimana lagi gerangan yang bukan muslim? Mereka tidak mengenal hanya bentuk muka yang jahat tentang Islam, Nabi Muhammad dan para pengikutnya dikenal dengan sifat-sifat yang tidak baik. Bentuk mana merupakan usaha-usaha propagandis Kristen dan kaum penjajah yang berbisa, yaitu dengan merendahkan Islam dalam berbagai seginya. Hal ini justeru terjadi di saat kita sedang lengah dan lalai.

Kini telah tiba waktunya untuk memulai rencana itu serta merealisir cita-cita yang sangat dibutuhkan demi berda'wah kepada Islam dan hal ini meminta diperhatikan dengan serius. Untuk mencapai langkah yang sangat baik ini, harus kita bentuk suatu kelompok yang benar-benar sanggup mempertahankan dan melaksanakannya baik di kalangan Al-Azhar sendiri maupun di luar Azhar, dengan suatu permintaan kepada mereka ini supaya mau menghadapi lebih serius diiringi suatu doa semoga mereka selalu beroleh taufiq dari Allah.

(4)

Barangkali nampaknya persoalan "HALAL DAN HARAM" untuk pertama kalinya amat mudah, tetapi kenyataannya sangat sukar. Pengarang-pengarang di masa-masa yang telah lalu maupun yang belakangan ini belum ada yang menulis secara khusus persoalan tersebut. Akan tetapi penulis sendiri menjumpainya berserakan dalam beberapa bab di kitab-kitab Fiqih, dan juga sebagiannya di kitab-kitab Tafsir dan Hadis.

Persoalan inilah yang mendorong penulis dengan serius untuk memperhatikan beberapa persoalan yang oleh ulama-ulama dahulu diperselisihkan hukumnya dan ditentang pula oleh pendapat-pendapat ahli Hadis tentang persoalannya maupun alasan-alasannya.

Untuk mentarjih suatu pendapat lainnya dalam masalah halal dan haram diperlukan suatu pembahasan dan penelitian yang lama sekali; disamping penulis sendiri harus mengikhlaskan diri kepada Allah guna mencari yang benar, sebagai suatu keharusan yang harus ditempuh manusia.

Saya melihat kebanyakan para penyelidik Islam di zaman modern ini hampir-hampir terbagi dalam dua golongan:

Golongan Pertama: pandangannya disambar oleh kilauan kebudayaan barat; dan berhala yang besar ini ditakuti mereka sehingga kebudayaan itu disembahnya. Dan untuk ini mereka lakukan dengan penuh pengorbanan serta berdiri di hadapannya dengan menundukkan pandangannya dengan penuh kerendahan. Cara berfikir dan tradisi barat ini mereka jadikan sebagai suatu persoalan yang diterima yang tidak perlu ditentang dan diperdebatkan. Kalau Islam itu sesuai dengan fikiran dan tradisi barat, mereka menyambutnya; tetapi kalau bertentangan, mereka berusaha mencari jalan untuk mendekatkan, atau beralasan dan menjelaskan, atau mentakwil dan merubahnya, yang seolah-olah Islam itu diharuskan tunduk kepada kebudayaan barat, filsafat barat dan tradisi barat.

Demikian menurut apa yang dapat kami tangkap dari pembicaraan mereka tentang sesuatu yang diharamkan oleh Islam, misalnya: patung, lotre, rente (riba), free love, penonjolan anggota wanita, laki-laki memakai emas dan sutera dan sebagainya.

Dan begitu juga dalam pembicaraannya tentang sesuatu yang dihalalkan Islam, misalnya: masalah talaq dan poligami. Yang seolah-olah apa yang disebut halal dalam pandangan mereka; yaitu sesuatu yang dianggap halal oleh Barat. Dan yang dikatakan haram, yaitu sesuatu yang dianggap haram oleh Barat.

(5)

Firman Allah:

"Andaikata kebenaran itu mengikuti hawa nafsu mereka, niscaya langit dan bumi ini serta makhluk yang didalamnya akan rusak!" (al-Mu'minun: 71)

"Katakanlah Muhammad! Apakah di antara sekutu-sekutumu ada yang dapat menunjukkan ke jalan yang benar? Katakanlah: Allahlah yang menunjukkan ke jalan yang benar. Apakah Dzat yang menunjukkan ke jalan yang benar itu yang lebih patut diikuti ataukah orang yang tidak dapat memimpin kecuali (sesudah) dia dipimpin (itu yang lebih patut diikuti)? Bagaimana kamu berbuat begitu? Bagaimana kamu mengambil keputusan?" (Yunus: 35)

Golongan Kedua: terlalu apatis, fikirannya beku dalam menilai beberapa masalah halal dan haram, karena mengikuti apa yang sudah ditulis dalam kitab-kitab, dengan suatu anggapan, bahwa itu adalah Islam. Pendapatnya samasekali tidak mau bergeser, kendati seutas rambut; tidak mau berusaha untuk menguji kekuatan dalil yang dipakai oleh madzhabnya untuk dibandingkan dengan dalil-dalil yang dipakai orang lain, guna mengambil suatu kesimpulan yang benar sesudah ditimbang dan diteliti.

Apabila mereka ditanya tentang hukumnya musik, nyanyian, catur, mengajar perempuan, perempuan membuka wajah dan tangannya dan sebagainya, maka omongan yang paling mudah keluar dari mulutnya ataupun penanya yang bergores, adalah kata-kata haram.

Golongan ini lupa etika yang dipakai oleh salafus-shalih (orang-orang dulu yang saleh), dimana mereka samasekali tidak pernah mengatakan haram, kecuali setelah diketahuinya dalil yang mengharamkannya dengan positif. Sedang yang belum begitu jelas, mereka mengatakan: "Kami membenci", "Kami tidak suka", dan sebagainya.

Saya sendiri berusaha untuk tidak termasuk pada salah satu dari dua golongan di atas.

Saya tidak rela --demi membela agamaku-- untuk menjadikan Barat sebagai suatu persembahan, sesudah saya menerima Allah sebagai Tuhanku, Islam sebagai agamaku dan Muhammad sebagai Rasul!

(6)

Benar! Memang saya tidak akan berusaha untuk mengikatkan diriku pada salah satu madzhab fiqih yang ada di dunia ini. Sebab kebenaran itu bukan dimiliki oleh satu madzhab saja. Dan imam-imam madzhab itu sendiri tidak pernah menganjurkan demikian. Mereka hanya berijtihad untuk mengetahui yang benar. Jika ternyata ijtihad mereka itu salah, akan mendapat satu pahala; dan jika benar, akan mendapat dua pahala.

Imam Malik r.a. berkata: "Setiap orang, omongannya boleh diambil dan boleh juga ditolak, kecuali Nabi Muhammad s.a.w."

Imam Syafi'i r.a. berkata: "Apa yang saya anggap benar, mungkin juga salah; dan yang saya anggap salah, mungkin juga benar."

Oleh karena itu tidak pantas seorang muslim yang berpengetahuan (alim) dan memiliki peralatan untuk menimbang dan menguji, bahwa dia akan menjadi tahanan oleh suatu madzhab, atau tunduk kepada pendapat seorang ahli fiqih. Tetapi seharusnya dia mau menjadi tawanan hujjah dan dalil. Selama dalil itu sah dan hujjahnya kuat, maka dialah yang lebih patut diikuti. Kalau sanadnya itu lemah dan hujjahnya pun tidak kuat, dia harus ditolak tidak memandang siapapun yang mengatakannya. Justeru itulah sejak pagi-pagi Ali r.a. mengatakan: "Jangan kamu kenali kebenaran itu karena manusianya, tetapi kenalilah kebenaran itu, maka kamu akan kenal orangnya."

Saya berusaha akan memenuhi permintaan Direktorat Jenderal Kebudayaan itu semaksimal mungkin. Dalam hal ini saya akan selalu menjuruskan kepada masalah dalil, alasan dan partimbangan dengan bantuan analisa ilmiah dan pengetahuan modern yang mutakhir. Dan alhamdulillah, bahwa Islam memancar dengan membawa sejumlah dalil, karena Islam adalah agama universal dan abadi, yaitu seperti dikatakan Allah:

"(Islam) adalah ciptaan Allah, dan siapakah yang lebih baik ciptaannya selain Allah?" (al-Baqarah: 138)

HALAL DAN HARAM sudah lama dikenal oleh tiap-tiap ummat, sekalipun masing-masing berbeda dalam ukurannya, macamnya dan sebab-sebabnya. Kebanyakan dikaitkan dengan kepercayaan primitif, khurafat dan dongeng-dongeng.

(7)

Dalam agama Yahudi misalnya, ada beberapa hal yang diharamkan yang bersifat preventif sebagai suatu hukuman Allah terhadap Bani Israel karena kezaliman mereka. Hukum ini tidak dimaksudkan untuk berlaku selama-lamanya. Justeru itu al-Quran menuturkan perkataan Isa al-Masih kepada Bani Israel sebagai berikut:

"(Bahwa aku) membenarkan kitab yang sebelumnya yaitu Taurat, dan supaya aku menghalalkan kepadamu sebagian yang pernah diharamkan atas kamu." (ali-Imran: 50)

Setelah Islam datang, keadaan ummat manusia sudah makin meluncur, maka sudah tepat pada waktunya Allah menurunkan agamaNya yang terakhir itu. Hukum yang berlaku di kalangan ummat manusia ini ditutupnya dengan syariat Islam yang komplit, menyeluruh dan abadi (universal).

Dalam hal ini dapat kita baca firman Allah yang berhubungan dengan masalah haramnya makanan-makanan sebagai tersebut dalam surah al-Maidah, yaitu sebagai berikut:

"Pada hari ini Aku telah sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Aku sempurnakan atas kamu nikmatKu, dan Aku telah rela untukmu Islam sebagai agama." (al-Maidah: 3)

Cara berfikirnya Islam dalam persoalan halal dan haram sangat sederhana dan jelas. Cara berfikir ini merupakan satu bagian dari amanat yang besar yang tidak diterima oleh langit, bumi dan gunung dengan dalih semua tidak sanggup memikulnya, tetapi kemudian manusia sanggup.

Amanat kewajiban Allah serta pertanggungan jawab manusia sebagai khalifah di permukaan bumi ini, adalah merupakan suatu pertanggungan jawab yang membawa konsekwensi dan merupakan dasar tindakan suatu hukum bagi manusia apakah dia itu diberi pahala atau disiksa. Untuk itulah maka manusia diberinya akal (rasio) dan berkehendak serta diutusnya para Rasul dengan membawa kitab. Oleh karena itu dia tidak akan ditanya: mengapa ada halal dan haram? Mengapa saya tidak membiarkan kendali itu tetap lepas?

Ini benar-benar merupakan suatu ujian khusus untuk manusia mukallaf, dan kiranya dengan itu manusia dapat berbeda dengan makhluk-makhluk Allah yang semata-mata Roh seperti Malaikat dan yang semata-mata syahwat seperti binatang, Dengan demikian manusia adalah makhluk tengah-tengah yang dapat meningkat menjadi Malaikat atau lebih, atau meluncur seperti binatang dan lebih rendah dari binatang.

(8)

Perundang-undangan Islam tetap menegakkan prinsip menghilangkan mafsadah dan mendatangkan maslahah untuk segenap ummat manusia, baik jasmaninya, jiwanya, rasionya, masyarakat keseluruhannya, yang kaya, yang miskin, penguasa, rakyat, laki-laki, perempuan; dan maslahah untuk seluruh macam manusia baik jenisnya, kulitnya, kebangsaannya, pada setiap masa dan generasi.

Oleh karena itu tepat kalau agama ini datang dengan membawa rahmat yang meliputi seluruh hamba Allah sampai pada akhir perkembangan manusia. Hal ini telah dinyatakan Allah sendiri dalam firmanNya:

"Kami tidak mengutusmu (Muhammad) melainkan membawa rahmat bagi segenap makhluk." (al-Anbia': 107)

Dan telah dinyatakan juga oleh Rasulullah s.a.w. dalam Hadisnya yang berbunyi sebagai berikut:

"Saya hanya diutus sebagai rahmat dan membimbing. " (Riwayat al-Hakim, dan disahkan oleh adz-Dzahabi)

Salah satu daripada bentuk rahmatNya ini ialah: dengan meniadakan dari ummat ini semua macam penekanan, dosa-dosa karena melakukan yang halal seperti yang diada-adakan oleh kaum watsaniyin dan ahli kitab, sehingga mereka berani mengharamkan yang baik dan menghalalkan yang jelek.

Firman Allah:

"... RahmatKu meliputi segala sesuatu, maka akan Kutetapkan dia itu untuk orang-orang yang taqwa dan mengeluarkan zakat serta orang-orang yang mau beriman dengan ayat-ayatKu. Yaitu orang-orang yang mau mengikuti Rasul, Nabi yang ummi yang telah mereka jumpainya tertulis di sisi mereka dalam kitab Taurat dan Injil. Nabi tersebut akan memerintah mereka untuk beramar ma'ruf dan nahi mungkar, dan menghalalkan yang baik, dan mengharamkan yang jelek dan menghilangkan dari mereka beban yang berat dan belenggu yang ada atas mereka." (al-A'raf: 156-157)

Undang-undang Dasar Islam tercermin dalam dua ayat yang kami bawakan juga dalam kitab ini, yaitu:

"Katakanlah:Siapakah yang berani mengharamkan perhiasan Allah yang telah dikeluarkan untuk hambaNya dan rezeki-rezeki yang baik itu?" (al-A'raf: 32)

(9)

Saya yakin, bahwa pentingnya persoalan Halal dan Haram menjadikan kitab ini betapapun kecilnya telah dapat mengisi kekosongan literatur Islam yang baru dan dapat memecahkan problema-problema yang kini sedang dihadapi oleh ummat Islam, baik dalam kehidupannya sebagai perseorangan, rumah tangga maupun masyarakat luas. Dan kiranya telah dapat menjawab seluruh pertanyaan: apa yang dihalalkan buat saya? Dan apa pula yang diharamkan atas diri saya? Apa hikmah diharamkannya ini dan dihalalkannya itu?

Akhirnya, tidak ada yang mampu saya katakan dalam mengakhiri muqaddimah ini, melainkan saya harus berterimakasih kepada Syaihul Azhar dan Direktorat Jenderal Kebudayaan Islam yang telah memberi kepadaku suatu kepercayaan untuk menulis persoalan tersebut pada pagi-pagi buta.

Dan saya pun mengharap: semoga apa yang saya tulis ini berarti saya telah menunaikan kepercayaan itu dan merealisir apa yang dimaksud.

Dan kepada Allah jua saya memohon semoga kitab ini besar manfaatnya dan memberinya kepadaku perkataan dan perbuatan yang benar, serta menjauhkan saya dari fikiran dan pena yang melampaui batas, dan mempersiapkan untuk suatu pimpinan dalam persoalanku ini. Sesungguhnya Dia selalu mendengarkan doa!

(10)

MUQADDIMAH PENDAHULUAN

BAB PERTAMA. POKOK-POKOK AJARAN ISLAM TENTANG HALAL DAN HARAM

1.1Asal Tiap-Tiap Sesuatu Adalah Mubah

1.2Menentukan Halal Haram Semata-mata Hak Allah

1.3 Mengharamkan yang Halal dan Menghalalkan yang Haram Sama dengan Syirik

1.4Mengharamkan yang Halal akan Berakibat Timbulnya Kejahatan dan Bahaya

1.5Setiap yang Halal Tidak Memerlukan yang Haram

1.6Apa Saja yang Membawa Kepada Haram adalah Haram

1.7Bersiasat Terhadap Hal yang Haram, Hukumnya adalah Haram

1.8Niat Baik Tidak Dapat Melepaskan yang Haram

1.9Menjauhkan Diri dari Syubhat Karena Takut Terlibat dalam Haram

1.10Sesuatu yang Haram Berlaku Untuk Semua Orang

1.11Keadaan Terpaksa Membolehkan yang Terlarang Catatan Kaki

BAB KEDUA. MAKANAN, PAKAIAN DAN RUMAH 2.1Makanan dan Minuman

2.1.1 Menyembelih dan Makan Binatang dalamPandangan Agama Hindu

2.1.2 Binatang yang Diharamkandalam Pandangan Yahudi dan Nasrani

2.1.3 Menurut PandanganOrang Arab Jahiliah

2.1.4Islam Menghalalkan yang Baik

2.1.5Diharamkan Bangkai dan Hikmahnya

2.1.6Haramnya Darah yang Mengalir

2.1.7Daging Babi

2.1.8Binatang yang Disembelih Bukan Karena Allah

2.1.9Macam-Macam Bangkai

2.1.10Hikmah Diharamkannya Macam-Macam Binatang di Atas

2.1.11Binatang yang Disembelih untuk Berhala

2.1.12Ikan dan Belalang Dapat Dikecualikan dari Bangkai

2.1.13Memanfaatkan Kulit Tulang dan Rambut Bangkai

2.1.14Keadaan Darurat dan Pengecualiannya

2.1.15Daruratnya Berobat

2.1.16 Perseorangan Tidak Boleh Dianggap Darurat Kalau Dia Berada Dalam Masyarakat yang di Situ Ada Sesuatu yang Dapat Mengatasi Keterpaksaannya Itu

2.1.17Penyembelihan Menurut Syara'

2.1.17.1Binatang Laut Semua Halal

2.1.17.2Menyembelih Sebagai Syarat Halalnya Binatang

2.1.17.3Syarat-Syarat Penyembelihan Menurut Syara'

2.1.17.4Rahasia Penyembelihan dan Hikmahnya

(11)

2.1.17.6Sembelihan Ahli Kitab

2.1.18Berburu

2.1.18.1Syarat yang Berlaku Untuk Pemburu

2.1.18.2Syarat yang Berkenaan dengan Binatang yang Diburu

2.1.18.3Alat yang Dipakai Untuk Berburu

2.1.19Khamar (Arak)

2.1.19.1Setiap yang Memabukkan Berarti Arak

2.1.19.2Minum Sedikit

2.1.19.3Memperdagangkan Arak

2.1.19.4Seorang Muslim Tidak Boleh Menghadiahkan Arak

2.1.19.5Tinggalkan Tempat Persidangan Arak

2.1.19.6Khamar Adalah Penyakit Bukan Obat

2.1.20Narkotik

2.1.20.1Setiap yang Berbahaya Dimakan atau Diminum, Tetap Haram

2.2Pakaian dan Perhiasan

2.2.1Islam Agama Bersih dan Cantik

2.2.2Emas dan Sutera Asli Haram Untuk Orang Laki-Laki

2.2.3Hikmah Diharamkannya Emas dan Sutera Terhadap Laki-Laki

2.2.4Hikmah Dibolehkannya Untuk Wanita

2.2.5Pakaian Wanita Islam

2.2.6Laki Menyerupai Perempuan dan Perempuan Menyerupai Laki-Laki

2.2.7Pakaian Untuk Berfoya-Foya dan Kesombongan

2.2.8Berlebih-Lebihan Dalam Berhias dengan Mengubah Ciptaan Allah

2.2.9Tatoo, Kikir Gigi dan Operasi Kecantikan Hukumnya Haram

2.2.10Menipiskan Alis

2.2.11Menyambung Rambut

2.2.12Semir Rambut

2.2.13Memelihara Jenggot

2.3Dalam Rumah

2.3.1Lambang-Lambang Kemewahan dan Kemusyrikan

2.3.2Bejana Emas dan Perak

2.3.3Islam Mengharamkan Patung

2.3.4Hikmah Diharamkannya Patung

2.3.5Bimbingan Islam dalam Mengabadikan Orang Besar

2.3.6Rukhsah dalam Permainan Anak-Anak

2.3.7Patung yang Tidak Sempurna dan Cacat

2.3.8Lukisan dan Ukiran

2.3.9Gambar yang Terhina Adalah Halal

2.3.10Photografi

2.3.11Subjek Gambar

2.3.12Kesimpulan Hukum Gambar dan yang Menggambar

2.3.13Memelihara Anjing Tanpa Ada Keperluan

2.3.14Memelihara Anjing Pemburu dan Penjaga, Hukumnya Mubah

2.3.15Pengetahuan Ilmu Modern Tentang Memelihara Anjing

(12)

2.4.1Diamnya Orang yang Mampu Bekerja adalah Haram

2.4.2Bilakah Minta-Minta Itu Diperkenankan? 2.4.3Jaga Harga Diri dengan Bekerja

2.4.4Bekerja dengan Jalan Bercocok-Tanam

2.4.5Bercocok-Tanam yang Diharamkan

2.4.6Perusahaan dan Mata-Pencaharian

2.4.7Beberapa Usaha dan Mata-Pencaharian yang Diberantas oleh Islam

2.4.7.1Melacur

2.4.7.2Tarian dan Seni Tubuh

2.4.7.3Perusahaan Melukis, Membuat Salib dan Sebagainya

2.4.7.4Perusahaan Minuman Keras dan Narkotik

2.4.8Bekerja dengan Jalan Berdagang

2.4.9Pendirian Gereja Tentang Masalah Dagang

2.4.10Perdagangan yang Dilarang

2.4.11Bekerja Sebagai Pegawai

2.4.12Kepegawaian yang Diharamkan

2.4.13Pedoman Secara Umum Tentang Bekerja Catatan Kaki

BAB KETIGA.GHARIZAH, PERNIKAHAN DAN KELUARGA

3.1Lapangan Gharizah

3.1.1Jangan Dekat-dekat pada Zina

3.1.2Pergaulan Bebas adalah Haram

3.1.3Melihat Jenis Lain dengan Bersyahwat

3.1.4Haram Melihat Aurat

3.1.4.1Batas dibolehkannya MelihatAurat Laki-Laki atau Perempuan 3.1.4.2Perhiasan Perempuanyang Boleh Tampak dan yang Tidak Boleh 3.1.4.3Aurat Perempuan

3.1.5Perempuan Masuk Pemandian

3.1.6Menampak-nampakkan Perhiasan adalah Haram

3.1.7 Beberapa Hal yang Dapat Mengeluarkan Perempuan dari Batas Tabarruj

3.1.8Isteri yang Melayani Tamu-Tamu Suaminya

3.1.9Hubungan Kelamin yang Tidak Normal adalah Berdosa Besar

3.1.10Hukumnya Onani (Masturbatio) 3.2Perkawinan

3.2.1Tidak Ada Pembujangan Dalam Islam

3.2.2Melihat Tunangan

3.2.3Pinangan yang Diharamkan

3.2.4Perawan Harus Diminta Izin dan Jangan Dipaksa

3.2.5Perempuan yang Haram Dikawin

3.2.5.1 Perempuan yang Haram DikawinKarena Ada Hubungan Susuan

3.2.5.2 Perempuan yang Haram Dikawin Karena Ada Hubungan KekeluargaanBerhubungan dengan Perkawinan

3.2.5.3Memadu Antara Dua Saudara

(13)

3.2.5.5Perempuan-Perempuan Musyrik

3.2.6Kawin dengan Perempuan Ahli Kitab

3.2.7Perempuan Muslimah Kawin dengan Laki-Laki Lain

3.2.8Perempuan Zina

3.2.9Kawin Mut'ah

3.2.10Poligami

3.2.10.1Adil Adalah Syarat Dibolehkan Poligami

3.2.10.2Hikmah Dibolehkannya Poligami

3.2.11Hubungan Suami-Isteri

3.2.12Jalinan Perasaan Antara Suami-Isteri

3.2.13Jangan Bersetubuh di Dubur

3.2.14Menjaga Rahasia Isteri

3.2.15Keluarga Berencana

3.2.15.1Alasan yang Mendorong Keluarga Berencana

3.2.16Pengguguran(Aborsi)

3.2.17Hak dan Kewajiban dalam Pergaulan Antara Suami-Isteri

3.2.18Suami-Isteri Harus Sabar

3.2.19Ketika Nusyuz dan Bersengketa

3.2.20Cerai

3.2.20.1Talaq Sebelum Islam

3.2.20.2Talaq dalam Pandangan Agama Yahudi

3.2.20.3Talaq dalam Pandangan Agama Kristen

3.2.20.4Pertentangan Sekte Kristen dalam Persoalan Talaq

3.2.20.5Effek Pengekangan Agama Kristen dalam Persoalan Talaq

3.2.20.6Penolakan Farid Dalam Persoalan Ini

3.2.20.7 Agama Kristen Hanya Obat Sementara, Bukan Syariat yang Universal

3.2.20.8Islam Membatasi Persoalan Talaq

3.2.20.9Mencerai Perempuan Waktu Datang Bulan

3.2.20.10Bersumpah Untuk Mencerai Hukumnya Haram

3.2.20.11Perempuan yang Dicerai Tetap Tinggal di Rumah Suami Selama dalam Iddah

3.2.20.12Talaq Harus Dijatuhkan Bertahap

3.2.20.13Kembali dengan Baik atau Melepas dengan Baik

3.2.20.14 Tidak Boleh Menghalang-Halangi Perempuan yang Dicerai, Untuk Kawin dengan Laki-Laki Lain

3.2.21Hak Isteri yang Tidak Suka

3.2.22Menyusahkan Isteri Hukumnya Haram

3.2.23Bersumpah Untuk Menjauhi Isteri, Hukumnya Haram

3.3Hubungan Antara Orang Tua Dan Anak

3.3.1Islam Memelihara Nasab

3.3.2Ayah Tidak Boleh Mengingkari Nasab Anaknya

3.3.3Mengambil Anak Angkat Hukumnya Haram dalam Islam

(14)

3.3.3.3Mengangkat Anak dengan Arti Mendidik dan Memelihara

3.3.4Pencangkokan Sperma(Bayi Tabung)

3.3.5 Menisbatkan Anak Kepada Selain Ayahnya Sendiri Menyebabkan Laknat

3.3.6Jangan Membunuh Anak

3.3.7Persamaan dalam Pemberian Kepada Anak-anak

3.3.8Menegakkan Hukum Waris dalam Batas Ketentuan Allah

3.3.9Durhaka Kepada Dua Orang Tua, Dosa Besar

3.3.9.1 Membuat Gara-Gara yang Menyebabkan Dicacinya Dua Orang Tua, Termasuk Dosa Besar

3.3.9.2Pergi ke Medan Jihad Tanpa Izin Orang Tua, Tidak Boleh

3.3.9.3Dua Orang Tua yang Musyrik Catatan Kaki

BAB KEEMPAT. KEPERCAYAAN DAN TRADISI, MU'AMALAH, HIBURAN, KEMASYARAKATAN, ANTAR-UMAT

4.1Masalah Kepercayaan dan Tradisi

4.1.1Nilai Sunnatullah dalam Alam Semesta

4.1.2Memberantas Ramalan dan Khurafat

4.1.3Percaya Kepada Tukang Tenung, Kufur

4.1.4Mengadu Nasib dengan Azlam

4.1.5Sihir

4.1.6Bertangkal

4.1.7Tathayyur(Merasa Sial) 4.1.8Memerangi Tradisi Jahiliah

4.1.9Tidak Ada Ashabiyah dalam Islam

4.1.10Tidak Boleh Ada Pertentangan Lantaran Nasab dan Warna Kulit

4.1.11Meratapi Orang yang Sudah Mati

4.2Bagian Mu'amalah(Hubungan Pekerjaan)

4.2.1Menjual Sesuatu yang Haram, Hukumnya Haram

4.2.2Menjual Barang yang Masih Samar, Terlarang

4.2.3Mempermainkan Harga

4.2.4Penimbun Dilaknat

4.2.5Mencampuri Kebebasan Pasar dengan Memalsu

4.2.6Makelar Itu Sendiri Hukumnya Halal

4.2.7Perkosaan dan Penipuan, Hukumnya Haram

4.2.8Siapa yang Menipu, Bukan dari Golongan Kami

4.2.9Banyak Sumpah

4.2.10Mengurangi Takaran dan Timbangan

4.2.11Membeli Barang Rampokan dan Curian sama dengan Perampas dan Pencuri

4.2.12Riba adalah Haram

4.2.12.1Hikmah Diharamkannya Riba

4.2.12.2Pemberi Riba dan Penulisnya

4.2.12.3Rasulullah Selalu Minta Perlindungan pada Allah dari Berhutang

(15)

4.2.12.5Salam

4.2.13Kerjasama dalam Suatu Pekerjaan dan Tentang Masalah Kapital

4.2.14Syirkah antara Pemilik-Pemilik Modal

4.2.15Asuransi

4.2.15.1Apakah Asuransi dapat Digolongkan Yayasan Dana Bantuan

4.2.15.2Sesuaikan dengan Islam

4.2.15.3Asuransi Menurut Aturan Islam

4.2.16Memanfaatkan Tanah Pertanian

4.2.16.1Cara Pemanfaatannya

4.2.16.2Muzara'ah yang Tidak Dibenarkan

4.2.16.3 Qias yang dapat Menetapkan Dilarangnya Menyewakan dengan Uang

4.2.17Syirkah dalam Memelihara Binatang

4.3Tentang Hiburan

4.3.1Sekedarnya Saja

4.3.2Rasulullah s.a.w. adalah Manusia

4.3.3Hati Itu Bisa Bosan

4.3.4Macam-Macam Hiburan yang Halal

4.3.4.1Perlombaan Lari Cepat

4.3.4.2Gulat

4.3.4.3Memanah

4.3.4.4Main Anggar

4.3.4.5Menunggang Kuda(Berpacu Kuda) 4.3.4.6Berburu

4.3.4.7Main Dadu

4.3.4.8Main Catur

4.3.4.9Menyanyi dan Muzik

4.3.5Judi adalah Kawan Arak

4.3.6Undian, Salah Satu Macam Judi

4.3.7Nonton Film

4.4Hubungan Masyarakat

4.4.1Tidak Halal Seorang Muslim Menjauhi Kawannya

4.4.2Mendamaikan Persengketaan

4.4.2.1Jangan Ada Suatu Golongan Memperolokkan Golongan Lain

4.4.2.2Jangan Mencela Diri-Diri Kamu

4.4.2.3Jangan Memberi Gelar dengan Gelar-Gelar yang Tidak Baik

4.4.2.4Su'uzh-Zhan(Berburuk Sangka) 4.4.2.5Tajassus(Memata-matai)

4.4.2.6Ghibah(Mengumpat)

4.4.2.6.1.1Karena suatu kepentingan

4.4.2.6.1.2Karena suatu niat

4.4.2.7Mengadu Domba

4.4.2.8Melindungi Harga Diri

4.4.2.9Kehormatan Darah

4.4.2.9.1Pembunuh dan yang Terbunuh, Kedua-duanya di Neraka

(16)

4.4.2.9.3Bilakah Kehormatan Darah Itu Gugur? 4.4.2.9.4Bunuh Diri

4.4.2.10Melindungi Harta Benda

4.4.2.10.1Menyuap, Hukumnya Haram

4.5Hubungan antara Ummat Islam dengan Ghairul Islam

4.5.1Tinjauan Khusus untuk Ahli Kitab

4.5.2 Ahludz Dzimmah (Orang Kafir yang Berada di Wilayah Pemerintahan Islam)

4.5.3Bersahabat dengan Golongan Ghairul Islam dan Penganutnya

4.5.4Orang Islam Minta Batuan Kepada Ghairul Islam

4.5.5 Islam Membawa Rahmat untuk Segenap Ummat Manusia Sampai kepada Binatang

Catatan Kaki

(17)

BAB

PERTAMA.

POKOK-POKOK

AJARAN

ISLAM TENTANG HALAL DAN HARAM

PERSOALAN halal-haram adalah seperti halnya soal-soal lain, di mana orang-orang jahiliah pernah tersesat dan mengalami kekacauan yang luarbiasa, sehingga mereka berani menghalalkan yang haram, dan mengharamkan yang halal.

Keadaan yang sama pernah juga dialami oleh golongan penyembah berhala (watsaniyin) dan ahli-ahli kitab.

Kesesatan ini akhirnya dapat menimbulkan suatu penyimpangan yang ekstrimis kanan, atau suatu penyimpangan yang ekstrimis kiri.

Di pihak kanan, misalnya: Kaum Brahmana Hindu, Para Rahib Kristen dan beberapa golongan lain yang berprinsip menyiksa diri dan menjauhi hal-hal yang baik dalam masalah makanan ataupun pakaian yang telah diserahkan Allah kepada hambaNya.

Kedurhakaan para rahib ini sudah pernah mencapai puncaknya pada abad pertengahan. Beribu-ribu rahib mengharamkan barang yang halal sehingga sampai kepada sikap yang keterlaluan. Sampai-sampai di antara mereka ada yang menganggap dosa karena mencuci dua kaki, dan masuk kamar mandi dianggap dapat membawa kepada penyesalan dan kerugian.

Dari golongan ekstrimis kiri, dapat dijumpai misalnya aliran Masdak yang timbul.di Parsi. Golongan ini menyuarakan kebolehan yang sangat meluas. Kendali manusia dilepaskan, supaya dapat mencapai apa saja yang dikehendaki. Segala-galanya bagi mereka adalah halal, sampaipun kepada masalah identitas dan kehormatan diri yang telah dianggapnya suci oleh fitrah manusia.

Bangsa Arab di zaman Jahiliah merupakan contoh konkrit, betapa tidak beresnya barometer untuk menentukan halal-haramnya sesuatu benda atau perbuatan. Oleh karena itu membolehkan minuman-minuman keras, makan riba yang berlipat-ganda, menganiaya perempuan dan sebagainya. Lebih dari itu, mereka juga telah dipengaruhi oleh godaan syaitan yang terdiri dari jin dan manusia sehingga mereka tega membunuh anak mereka dan mengunyah-ngunyah jantungnya. Godaan itu mereka turutinya juga. Perasaan kebapaan yang bersarang dalam hatinya, samasekali ditentang.

"Dan begitu juga kebanyakan dari orang-orang musyrik itu telah dihiasi oleh sekutu-sekutu mereka untuk membunuh anak-anak mereka guna menjerumuskan mereka dan meragu kan mereka agama mereka. " (al-An'am : 137)

(18)

 takut miskin.

 takut tercela, kalau anak yang lahir itu wanita.

 demi bertakarrub kepada Tuhan, yaitu dengan mengorbankan anak.

Satu hal yang mengherankan, yaitu bahwa mereka yang membolehkan membunuh anak, baik dengan dipotong ataupun dengan ditanam hidup-hidup, tetapi justeru mengharamkan beberapa makanan dan binatang yang baik-baik.

Dan yang lebih mengherankan lagi, bahwa itu semua dianggapnya sebagai hukum agama. Mereka nisbatkannya kepada Allah. Tetapi kemudian oleh Allah, anggapan ini dibantah dengan firmanNya:

"Mereka berpendapat: ini adalah binatang-binatang dan tumbuh-tumbuhan yang terlarang, tidak boleh dimakan kecuali orang-orang yang kami kehendaki menurut anggapan mereka dan juga diharamkan untuk dinaiki, dan binatang-binatang yang mereka tidak sebut asma Allah atasnya karena hendak berbuat dusta atas nama Allah. (Begitulah) mereka itu kelak akan dibalas lantaran kedustaan yang mereka perbuat." (al-An'am: 138)

Al-Quran telah menegaskan kesesatan mereka yang berani menghalalkan sesuatu yang seharusnya haram, dan mengharamkan sesuatu yang seharusnya halal; al-Quran mengatakan:

"Sungguh rugilah orang-orang yang telah membunuh anak-anak mereka lantaran kebodohannya dengan tidak mengarti itu, dan mereka yang telah mengharamkan rezeki yang Allah sudah berikan kepada mereka (lantaran hendak) berdusta atas (nama) Allah; mereka itu pada hakikatnya telah sesat, dan mereka itu tidak mau mengikuti pimpinan." (al-An'am: 140)

Kedatangan Islam langsung dihadapkan dengan kesesatan dan ketidak-beresan tentang persoalan halal dan haram ini. Oleh karena itu pertama kali undang-undang yang dibuat guna memperbaiki segi yang sangat membahayakan ini ialah dengan membuat sejumlah Pokok-pokok Perundang-undangan sebagai standard untuk dijadikan landasan guna menentukan halal dan haram. Seluruh persoalan yang timbul, dapat dikembalikan kepadanya, seluruh neraca kejujuran dapat ditegakkan; keadilan dan keseimbangan yang menyangkut soal halal dan haram dapat dikembalikan.

(19)

1.1 Asal Tiap-Tiap Sesuatu Adalah Mubah

DASAR pertama yang ditetapkan Islam, ialah: bahwa asal sesuatu yang dicipta Allah adalah halal dan mubah. Tidak ada satupun yang haram, kecuali karena ada nas yang sah dan tegas dari syari' (yang berwenang membuat hukum itu sendiri, yaitu Allah dan Rasul) yang mengharamkannya. Kalau tidak ada nas yang sah --misalnya karena ada sebagian Hadis lemah-- atau tidak ada nas yang tegas (sharih) yang menunjukkan haram, maka hal tersebut tetap sebagaimana asalnya, yaitu mubah.

Ulama-ulama Islam mendasarkan ketetapannya, bahwa segala sesuatu asalnya mubah, seperti tersebut di atas, dengan dalil ayat-ayat al-Quran yang antara lain:

"Dialah Zat yang menjadikan untuk kamu apa-apa yang ada di bumi ini semuanya." (al-Baqarah: 29)

"(Allah) telah memudahkan untuk kamu apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi semuanya daripadaNya." (al-Jatsiyah: 13)

"Belum tahukah kamu, bahwa sesungguhnya Allah telah memudahkan untuk kamu apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi; dan Ia telah sempurnakan buat kamu nikmat-nikmatNya yang nampak maupun yang tidak nampak." (Luqman: 20)

Allah tidak akan membuat segala-galanya ini yang diserahkan kepada manusia dan dikurniakannya, kemudian Dia sendiri mengharamkannya. Kalau tidak begitu, buat apa Ia jadikan, Dia serahkan kepada manusia dan Dia kurniakannya?

Beberapa hal yang Allah haramkan itu, justeru karena ada sebab dan hikmat, yang --insya Allah-- akan kita sebutkan nanti.

Dengan demikian arena haram dalam syariat Islam itu sebenarnya sangat sempit sekali; dan arena halal malah justeru sangat luas. Hal ini adalah justeru nas-nas yang sahih dan tegas dalam hal-haram, jumlahnya sangat minim sekali. Sedang sesuatu yang tidak ada keterangan halal-haramnya, adalah kembali kepada hukum asal yaitu halal dan termasuk dalam kategori yang dima'fukan Allah.

Untuk soal ini ada satu Hadis yang menyatakan sebagai berikut:

(20)

"Rasulullah s.aw. pernah ditanya tentang hukumnya samin, keju dan keledai hutan, maka jawab beliau: Apa yang disebut halal ialah: sesuatu yang Allah halalkan dalam kitabNya; dan yang disebut haram ialah: sesuatu yang Allah haramkan dalam kitabNya; sedang apa yang Ia diamkan, maka dia itu salah satu yang Allah maafkan buat kamu." (Riwayat Tarmizi dan lbnu Majah)

Rasulullah tidak ingin memberikan jawaban kepada si penanya dengan menerangkan satu persatunya, tetapi beliau mengembalikan kepada suatu kaidah yang kiranya dengan kaidah itu mereka dapat diharamkan Allah, sedang lainnya halal dan baik.

Dan sabda beliau juga,

"Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia." (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi)

Di sini ingin pula saya jelaskan, bahwa kaidah asal segala sesuatu adalah halal ini tidak hanya terbatas dalam masalah benda, tetapi meliputi masalah perbuatan dan pekerjaan yang tidak termasuk daripada urusan ibadah, yaitu yang biasa kita istilahkan dengan Adat atau Mu'amalat. Pokok dalam masalah ini tidak haram dan tidak terikat, kecuali sesuatu yang memang oleh syari' sendiri telah diharamkan dan dikonkritkannya sesuai dengan firman Allah:

"Dan Allah telah memerinci kepadamu sesuatu yang Ia telah haramkan atas kamu." (al-An'am: 119)

Ayat ini umum, meliputi soal-coal makanan, perbuatan dan lain-lain.

Berbeda sekali dengan urusan ibadah. Dia itu semata-mata urusan agama yang tidak ditetapkan, melainkan dari jalan wahyu. Untuk itulah, maka terdapat dalam suatu Hadis Nabi yang mengatakan:

"Barangsiapa membuat cara baru dalam urusan kami, dengan sesuatu yang tidak ada contohnya, maka dia itu tertolak." (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Ini, adalah karena hakikat AGAMA --atau katakanlah IBADAH-- itu tercermin dalam dua hal, yaitu:

1. Hanya Allah lah yang disembah.

(21)

Oleh karena itu, barangsiapa mengada-ada suatu cara ibadah yang timbul dari dirinya sendiri --apapun macamnya-- adalah suatu kesesatan yang harus ditolak. Sebab hanya syari'lah yang berhak menentukan cara ibadah yang dapat dipakai untuk bertaqarrub kepadaNya.

Adapun masalah Adat atau Mu'amalat, sumbernya bukan dari syari', tetapi manusia itu sendiri yang menimbulkan dan mengadakan. Syari' dalam hal ini tugasnya adalah untuk membetulkan, meluruskan, mendidik dan mengakui, kecuali dalam beberapa hal yang memang akan membawa kerusakan dan mudharat.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: "Sesungguhnya sikap manusia, baik yang berbentuk omongan ataupun perbuatan ada dua macam: ibadah untuk kemaslahatan agamanya, dan kedua adat (kebiasaan) yang sangat mereka butuhkan demi kemaslahatan dunia mereka Maka dengan terperincinya pokok-pokok syariat, kita dapat mengakui, bahwa seluruh ibadah yang telah dibenarkannya, hanya dapat ditetapkan dengan ketentuan syara' itu sendiri."

Adapun masalah Adat yaitu yang biasa dipakai ummat manusia demi kemaslahatan dunia mereka sesuai dengan apa yang mereka butuhkan, semula tidak terlarang. Semuanya boleh, kecuali hal-hal yang oleh Allah dilarangnya Demikian itu adalah karena perintah dan larangan, kedua-duanya disyariatkan Allah. Sedang ibadah adalah termasuk yang mesti diperintah. Oleh karena itu sesuatu, yang tidak diperintah, bagaimana mungkin dihukumi terlarang.

Imam Ahmad dan beberapa ahli fiqih lainnya berpendapat: pokok dalam urusan ibadah adalah tauqif (bersumber pada ketetapan Allah dan Rasul). Oleh karena itu ibadah tersebut tidak boleh dikerjakan, kecuali kalau ternyata telah disyariatkan oleh Allah. Kalau tidak demikian, berarti kita akan termasuk dalam apa yang disebutkan Allah:

"Apakah mereka itu mempunyai sekutu yang mengadakan agama untuk mereka, sesuatu yang tidak diizinkan oleh Allah?" (as-Syura: 21)

Sedang dalam persoalan Adat prinsipnya boleh. Tidak satupun yang terlarang, kecuali yang memang telah diharamkan. Kalau tidak demikian, maka kita akan termasuk dalam apa yang dikatakan Allah:

"Katakanlah! Apakah kamu sudah mengetahui sesuatu yang diturunkan Allah untuk kamu daripada rezeki, kemudian kamu jadikan daripadanya itu haram dan halal? Katakanlah! Apakah Allah telah memberi izin kepadamu, ataukah kamu memang berdusta atas (nama) Allah?" (Yunus: 59)

(22)

dan pakaian. Agama membawakan beberapa etika yang sangat baik sekali, yaitu mana yang sekiranya membawa bahaya, diharamkan; sedang yang mesti, diwajibkannya. Yang tidak layak, dimakruhkan; sedang yang jelas membawa maslahah, disunnatkan.

Dengan dasar itulah maka manusia dapat melakukan jual-beli dan sewa-menyewa sesuka hatinya, selama dia itu tidak diharamkan oleh syara'. Begitu juga mereka bisa makan dan minum sesukanya, selama dia itu tidak diharamkan oleh syara', sekalipun sebagiannya ada yang oleh syara' kadangkadang disunnatkan dan ada kalanya dimakruhkan. Sesuatu yang oleh syara' tidak diberinya pembatasan, mereka dapat menetapkan menurut kemutlakan hukum asal.3

Prinsip di atas, sesuai dengan apa yang disebut dalam Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, dari Jabir bin Abdillah, ia berkata:

"Kami pernah melakukan 'azl'4, sedang waktu itu al-Quran masih turun; kalau hal tersebut dilarang, niscaya al-Quran akan melarangnya."

Ini menunjukkan, bahwa apa saja yang didiamkan oleh wahyu, bukanlah terlarang. Mereka bebas untuk mengerjakannya, sehingga ada nas yang melarang dan mencegahnya.

Demikianlah salah satu daripada kesempurnaan kecerdasan para sahabat.

Dan dengan ini pula, ditetapkan suatu kaidah: "Soal ibadah tidak boleh dikerjakan kecuali dengan syariat yang ditetapkan Allah; dan suatu hukum adat tidak boleh diharamkan, kecuali dengan ketentuan yang diharamkan oleh Allah."

1.2 Menentukan Halal-Haram Semata-Mata Hak Allah

DASAR kedua: Bahwa Islam telah memberikan suatu batas wewenang untuk menentukan halal dan haram, yaitu dengan melepaskan hak tersebut dari tangan manusia, betapapun tingginya kedudukan manusia tersebut dalam bidang agama maupun duniawinya. Hak tersebut semata-mata ditangan Allah.

Bukan pastor, bukan pendeta, bukan raja dan bukan sultan yang berhak menentukan halal-haram. Barangsiapa bersikap demikian, berarti telah melanggar batas dan menentang hak Allah dalam menetapkan perundang-undangan untuk ummat manusia. Dan barangsiapa yang menerima serta mengikuti sikap tersebut, berarti dia telah menjadikan mereka itu sebagai sekutu Allah, sedang pengikutnya disebut "musyrik".

(23)

"Apakah mereka itu mempunyai sekutu yang mengadakan agama untuk mereka, sesuatu yang tidak diizinkan Allah?" (as-Syura: 21)

Al-Quran telah mengecap ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) yang telah memberikan kekuasaan kepada para pastor dan pendeta untuk menetapkan halal dan haram, dengan firmannya sebagai berikut:

"Mereka itu telah menjadikan para pastor dan pendetanya sebagai tuhan selain Allah; dan begitu juga Isa bin Maryam (telah dituhankan), padahal mereka tidak diperintah melainkan supaya hanya berbakti kepada Allah Tuhan yang Esa, tiada Tuhan melainkan Dia, maha suci Allah dari apa-apa yang mereka sekutukan." (at-Taubah: 31)

'Adi bin Hatim pada suatu ketika pernah datang ke tempat Rasulullah --pada waktu itu dia lebih dekat pada Nasrani sebelum ia masuk Islam-- setelah dia mendengar ayat tersebut, kemudian ia berkata: Ya Rasulullah Sesungguhnya mereka itu tidak menyembah para pastor dan pendeta itu.

Maka jawab Nabi s.a.w.:

"Betul! Tetapi mereka (para pastor dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka." (Riwayat Tarmizi)

"Memang mereka (ahli kitab) itu tidak menyernbah pendeta dan pastor, tetapi apabila pendeta dan pastor itu menghalalkan sesuatu, mereka pun ikut menghalalkan juga; dan apabila pendeta dan pastor itu mengharamkan sesuatu, mereka pun ikut mengharamkan juga."

Orang-orang Nasrani tetap beranggapan, bahwa Isa al-Masih telah memberikan kepada murid-muridnya --ketika beliau naik ke langit-- suatu penyerahan (mandat) untuk menetapkan halal dan haram dengan sesuka hatinya. Hal ini tersebut dalam Injil Matius 18:18 yang berbunyi sebagai berikut: "Sesungguhnya aku berkata kepadamu, barang apa yang kamu ikat di atas bumi, itulah terikat kelak di sorga; dan barang apa yang kamu lepas di atas bumi, itupun terlepas kelak di sorga."

Al-Quran telah mengecap juga kepada orang-orang musyrik yang berani mengharamkan dan menghalalkan tanpa izin Allah, dengan kata-katanya sebagai berikut:

(24)

Dan firman Allah juga:

"Dan jangan kamu berani mengatakan terhadap apa yang dikatakan oleh lidah-lidah kamu dengan dusta; bahwa ini halal dan ini haram, supaya kamu berbuat dusta atas (nama) Allah, sesungguhnya orang-orang yang berani berbuat dusta atas (nama) Allah tidak akan dapat bahagia." (an-Nahl: 116)

Dari beberapa ayat dan Hadis seperti yang tersebut di atas, para ahli fiqih mengetahui dengan pasti, bahwa hanya Allahlah yang berhak menentukan halal dan haram, baik dalam kitabNya (al-Quran) ataupun melalui lidah RasulNya (Sunnah). Tugas mereka tidak lebih, hanya menerangkan hukum Allah tentang halal dan haram itu. Seperti firmanNya:

"Sungguh Allah telah menerangkan kepada kamu apa yang Ia haramkan atas kamu." (al-An'am: 119)

Para ahli fiqih sedikitpun tidak berwenang menetapkan hukum syara' ini boleh dan ini tidak boleh. Mereka, dalam kedudukannya sebagai imam ataupun mujtahid, pada menghindar dari fatwa, satu sama lain berusaha untuk tidak jatuh kepada kesalahan dalam menentukan halal dan haram (mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram).

Imam Syafi'i dalam al-Um5 meriwayatkan, bahwa Qadhi Abu Yusuf, murid Abu Hanifah pernah mengatakan: "Saya jumpai guru-guru kami dari para ahli ilmu, bahwa mereka itu tidak suka berfatwa, sehingga mengatakan: ini halal dan ini haram, kecuali menurut apa yang terdapat dalam al-Quran dengan tegas tanpa memerlukan tafsiran.

Kata Imam Syafi'i selanjutnya, Ibnu Saib menceriterakan kepadaku dari ar-Rabi' bin Khaitsam --dia termasuk salah seorang tabi'in yang besar-- dia pernah berkata sebagai berikut: "Hati-hatilah kamu terhadap seorang laki-laki yang berkata: Sesungguhnya Allah telah menghalalkan ini atau meridhainya, kemudian Allah berkata kepadanya: Aku tidak menghalalkan ini dan tidak meridhainya. Atau dia juga berkata: Sesungguhnya Allah mengharamkan ini kemudian Allah akan berkata: "Dusta engkau, Aku samasekali tidak pernah mengharamkan dan tidak melarang dia."

Imam Syafi'i juga pernah berkata: Sebagian kawan-kawanku pernah menceriterakan dari Ibrahim an-Nakha'i --salah seorang ahli fiqih golongan tabi'in dari Kufah-- dia pernah menceriterakan tentang kawan-kawannya, bahwa mereka itu apabila berfatwa tentang sesuatu atau melarang sesuatu, mereka berkata: Ini makruh, dan ini tidak apa-apa. Adapun yang kalau kita katakan: Ini adalah halal dan ini haram, betapakah besarnya persoalan ini!

(25)

dengan apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Muflih dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: "Bahwa ulama-ulama salaf dulu tidak mau mengatakan haram, kecuali setelah diketahuinya dengan pasti."6

Kami dapati juga imam Ahmad, misalnya, kalau beliau ditanya tentang sesuatu persoalan, maka ia menjawab: Aku tidak menyukainya, atau hal itu tidak menyenangkan aku, atau saya tidak senang atau saya tidak menganggap dia itu baik.

Cara seperti ini dilakukan juga oleh imam-imam yang lain seperti Imam Malik, Abu Hanifah dan lain-lain.7

1.3 Mengharamkan yang Halal dan Menghalalkan yang Haram Sama dengan Syirik

KALAU Islam mencela sikap orang-orang yang suka menentukan haram dan halal itu semua, maka dia juga telah memberikan suatu kekhususan kepada mereka yang suka mengharamkan itu dengan suatu beban yang sangat berat, karena memandang, bahwa hal ini akan merupakan suatu pengungkungan dan penyempitan bagi manusia terhadap sesuatu yang sebenarnya oleh Allah diberi keleluasaan. Di samping hal tersebut memang karena ada beberapa pengaruh yang ditimbulkan oleh sementara ahli agama yang berlebihan.

Nabi Muhammad sendiri telah berusaha untuk memberantas perasaan berlebihan ini dengan segala senjata yang mungkin. Di antaranya ialah dengan mencela dan melaknat orang-orang yang suka berlebih-lebihan tersebut, yaitu sebagaimana sabdanya:

"Ingatlah! Mudah-mudahan binasalah orang-orang yang berlebih-lebihan itu." (3 kali). (Riwayat Muslim dan lain-lain)

Dan tentang sifat risalahnya itu beliau tegaskan:

"Saya diutus dengan membawa suatu agama yang toleran." (Riwayat Ahmad)

Yakni suatu agama yang teguh dalam beraqidah dan tauhid, serta toleran (lapang) dalam hal pekerjaan dan perundang-undangan. Lawan daripada dua sifat ini ialah syirik dan mengharamkan yang halal. Kedua sifat yang akhir ini oleh Rasulullah s.a.w. dalam Hadis Qudsinya dikatakan, firman Allah:

(26)

kepada mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan padanya." (Riwayat Muslim)

Oleh karena itu, mengharamkan sesuatu yang halal dapat dipersamakan dengan syirik. Dan justeru itu pula al-Quran menentang keras terhadap sikap orang-orang musyrik Arab terhadap sekutu-sekutu dan berhala mereka, dan tentang sikap mereka yang berani mengharamkan atas diri mereka terhadap makanan dan binatang yang baik-baik, padahal Allah tidak mengizinkannya. Diantaranya mereka telah mengharamkan bahirah (unta betina yang sudah melahirkan anak kelima), saibah (unta betina yang dinazarkan untuk berhala), washilah (kambing yang telah beranak tujuh) dan ham (Unta yang sudah membuntingi sepuluh kali; untuk ini dikhususkan buat berhala).

Orang-orang Arab di zaman Jahiliah beranggapan, kalau seekor unta betina beranak sudah lima kali sedang anak yang kelima itu jantan, maka unta tersebut kemudian telinganya dibelah dan tidak boleh dinaiki. Mereka peruntukkan buat berhalanya. Karena itu tidak dipotong, tidak dibebani muatan dan tidak dipakai untuk menarik air. Mereka namakan unta tersebut al-Bahirah yakni unta yang dibelah telinganya.

Dan kalau ada seseorang datang dari bepergian, atau sembuh dari sakit dan sebagainya dia juga memberikan tanda kepada seekor untanya persis seperti apa yang diperbuat terhadap bahirah itu. Unta tersebut mereka namakan saibah.

Kemudian kalau ada seekor kambing melahirkan anak betina, maka anaknya itu untuk yang mempunyai; tetapi kalau anaknya itu jantan, diperuntukkan buat berhalanya. Dan jika melahirkan anak jantan dan betina, maka mereka katakan: Dia telah sampai kepada saudaranya; oleh karena itu yang jantan tidak disembelih karena diperuntukkan buat berhalanya. Kambing seperti ini disebut washilah.

Dan jika seekor binatang telah membuntingi anak-anaknya, maka mereka katakan: Dia sudah dapat melindungi punggungnya. Yakni binatang tersebut tidak dinaiki, tidak dibebani muatan dan sebagainya. Binatang seperti ini disebut al-Haami.

Penafsiran dan penjelasan terhadap keempat macam binatang ini banyak sekali, juga berkisar dalam masalah tersebut

Al-Quran bersikap keras terhadap sikap pengharaman ini, dan tidak menganggap sebagai suatu alasan karena taqlid kepada nenek-moyangnya dalam kesesatan ini. Firman Allah:

(27)

apakah (mereka tetap akan mengikutinya) sekalipun nenek-nenek moyangnya itu tidak berpengetahuan sedikitpun dan tidak terpimpin?" (al-Maidah : 103-104)

Dalam surah al-An'am ada semacam munaqasyah (diskusi) mendetail terhadap prasangka mereka yang telah mengharamkan beberapa binatang, seperti: unta, sapi, kambing biri-biri dan kambing kacangan.

Al-Quran membawakan diskusi tersebut dengan suatu gaya bahasa yang cukup dapat mematikan, akan tetapi dapat membangkitkan juga.

Kata al-Quran:

"Ada delapan macam binatang; dari kambing biri-biri ada dua, dan dari kambing kacangan ada dua pula; katakanlah (Muhammad): Apakah kedua-duanya yang jantan itu yang diharamkan, atau kedua-duanya yang betina ataukah semua yang dikandung dalam kandungan yang betina kedua-duanya? (Cobalah) beri penjelasan aku dengan suatu dalil, jika kamu orang-orang yang benar! Begitu juga dari unta ada dua macam,- dan dari sapi ada dua macam juga; katakanlah (Muhammad!) apakah kedua-duanya yang jantan itu yang diharamkan, ataukah kedua-duanya yang betina?" (al-An'am: 143-144)

Di surah al-A'raf pun ada juga munaqasyah tersebut dengan suatu penegasan keingkaran Allah terhadap orang-orang yang suka mengharamkan dengan semaunya sendiri itu; di samping Allah menjelaskan juga beberapa pokok binatang yang diharamkan untuk selamanya. Ayat itu berbunyi sebagai berikut:

"Katakanlah! Siapakah yang berani mengharamkan perhiasan Allah yang telah diberikan kepada hamba-hambaNya dan beberapa rezeki yang baik itu? Katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadanya dan apa yang tersembunyi dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui." (al-A'raf: 32-33)

Seluruh munaqasyah ini terdapat pada surah-surah Makiyyah yang diturunkan demi mengkukuhkan aqidah dan tauhid serta ketentuan di akhirat kelak. Ini membuktikan, bahwa persoalan tersebut, dalam pandangan al-Quran, bukan termasuk dalam kategori cabang atau bagian, tetapi termasuk masalah-masalah pokok dan kulli.

(28)

Di antara ayat-ayat itu berbunyi sebagai berikut:

"Hai orang-orang yang beriman: Janganlah kamu mengharamkan yang baik-baik (dari) apa yang Allah telah halalkan buat kamu, dan jangan kamu melewati batas, karena sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang suka melewati batas. Dan makanlah sebagian rezeki yang Allah berikan kepadamu dengan halal dan baik, dan takutlah kamu kepada Allah zat yang kamu beriman dengannya." (al-Maidah: 87-88)

1.4 Mengharamkan yang Halal akan Berakibat Timbulnya Kejahatan dan Bahaya

DI ANTARA hak Allah sebagai Zat yang menciptakan manusia dan pemberi nikmat yang tiada terhitung banyaknya itu, ialah menentukan halal dan haram dengan sesukanya, sebagaimana Dia juga berhak menentukan perintah-perintah dan syi'ar-syi'ar ibadah dengan sesukanya. Sedang buat manusia sedikitpun tidak ada hak untuk berpaling dan melanggar.

Ini semua adalah hak Ketuhanan dan suatu kepastian persembahan yang harus mereka lakukan untuk berbakti kepadaNya. Namun, Allah juga berbelas-kasih kepada hambaNya. Oleh karena itu dalam Ia menentukan halal dan haram dengan alasan yang ma'qul (rasional) demi kemaslahatan manusia itu sendiri. Justeru itu pula Allah tidak akan menghalalkan sesuatu kecuali yang baik, dan tidak akan mengharamkan sesuatu kecuali yang jelek.

Benar! Bahwa Allah pernah juga mengharamkan hal-hal yang baik kepada orang-orang Yahudi. Tetapi semua itu merupakan hukuman kepada mereka atas kedurhakaan yang mereka perbuat dan pelanggarannya terhadap larangan Allah. Hai ini telah dijelaskan sendiri oleh Allah dalam firman Nya:

"Dan kepada orang-orang Yahudi kami haramkan semua binatang yang berkuku, dan dari sapi dan kambing kami haramkan lemak-lemaknya, atau (lemak) yang terdapat di punggungnya, atau yang terdapat dalam perut, atau yang tercampur dengan tulang. Yang demikian itu kami (sengaja) hukum mereka lantaran kedurhakaan mereka, dan sesungguhnya kami adalah (di pihak) yang benar." (al-An'am: 146)

Di antara bentuk kedurhakaannya itu telah dijelaskan Allah dalam surah lain, yang antara lain berbunyi sebagai berikut:

(29)

dan sebab mereka memakan harta manusia dengan cara yang batil." (an-Nisa': 160-161)

Setelah Allah mengutus Nabi Muhammad, sebagai Nabi terakhir dengan membawa agama yang universal dan abadi, maka salah satu di antara rahmat kasih Allah kepada manusia, sesudah manusia itu matang dan dewasa berfikir, dihapusnya beban haram yang pernah diberikan Allah sebagai hukuman sementara yang bermotif mendidik itu, di mana beban tersebut cukup berat dan menegangkan leher masyarakat.

Kerasulan Nabi Muhammad ini telah disebutkan dalam Taurat, dan namanya pun sudah dikenal oleh ahli-ahli kitab, yaitu seperti yang disebutkan dalam al-Quran:

"Mereka (ahli kitab) itu mengetahui dia (nama Muhammad) tertulis di sisi mereka dalam Taurat dan Injil --dengan tugas-- untuk mengajak kepada kebajikan dan melarang daripada kemungkaran, dan menghalalkan kepada mereka yang baik-baik, dan mengharamkan atas mereka yang tidak baik-baik, serta mencabut dari mereka beban mereka dan belenggu yang ada pada mereka." (al-A'raf: 157)

Di dalam Islam caranya Allah menutupi kesalahan, bukan dengan mengharamkan barang-barang baik yang lain, tetapi ada beberapa hal yang di antaranya ialah:

1. Taubat dengan ikhlas (taubatan nasuha). Taubat ini dapat menghapuskan dosa bagaikan air jernih yang dapat menghilangkan kotoran.

2. Dengan mengerjakan amalan-amalan yang baik, karena amalan-amalan yang baik itu dapat menghilangkan kejelekan.

3. Dengan bersedekah (shadaqah) karena shadaqah itu dapat menghapus dosa, bagaikan air yang dapat memadamkan api.

4. Dengan ditimpa oleh beberapa musibah dan percobaan, dimana musibah dan percobaan itu dapat meleburkan kesalahan-kesalahan, bagaikan daun pohon kalau sudah kering akan menjadi hancur.

Dengan demikian, maka dalan Islam dikenal, bahwa mengharamkan sesuatu yang halal itu dapat membawa satu keburukan dan bahaya. Sedang seluruh bentuk bahaya adalah hukumnya haram. Sebaliknya yang bermanfaat hukumnya halal. Kalau suatu persoalan bahayanya lebih besar daripada manfaatnya, maka hal tersebut hukumnya haram. Sebaliknya, kalau manfaatnya lebih besar, maka hukumnya menjadi halal.

Kaidah ini diperjelas sendiri oleh al-Quran, misalnya tentang arak, Allah berfirman:

(30)

Dan begitu juga suatu jawaban yang tegas dari Allah ketika Nabi Muhammad ditanya tentang masalah halal dalam Islam. Jawabannya singkat Thayyibaat (yang baik-baik). Yakni segala sesuatu yang oleh jiwa normal dianggapnya baik dan layak untuk dipakai di masyarakat yang bukan timbul karena pengaruh tradisi, maka hal itu dipandang thayyib (baik, bagus, halal). Begitulah seperti yang dikatakan Allah dalam al-Quran:

"Mereka akan bertanya kepadamu (Muhammad) tentang apa saja yang dihalalkan untuk mereka? Maka jawablah: semua yang baik adalah dihalalkan buat kamu." (al-Maidah: 4)

Dan firmanNya pula:

"Pada hari ini telah dihalalkan untuk kamu semua yang baik." (al-Maidah: 5)

Oleh karena itu tidak layak bagi seorang muslim yang mengetahui dengan rinci tentang apa yang disebut jelek dan bahaya yang justeru karenanya hal tersebut diharamkan Allah, kemudian kadang-kadang dia akan menyembunyikan sesuatu yang mungkin nampak pada orang lain. Sebab kadang-kadang ada juga sesuatu kejelekan yang tidak tampak pada suatu masa, tetapi di waktu lain dia akan tampak. Waktu itu setiap mu'min harus mengatakan Sami'na Wa'athanaa (kami mendengarkan dan kami mematuhi).

Tidaklah kamu mengetahui, bahwa Allah telah mengharamkan daging babi, tetapi tidak seorang Islam pun yang mengerti sebab diharamkannya daging babi itu, selain karena kotor. Tetapi kemudian dengan kemajuan zaman, ilmu pengetahuan telah menyingkapkan, bahwa di dalam daging babi itu terdapat cacing pita dan bakteri yang membunuh.

Kalau sekiranya ilmu pengetahuan tidak membuka sesuatu yang terdapat dalam daging babi itu seperti tersebut di atas atau lebih dari itu, niscaya sampai sekarang ummat Islam tetap berkeyakinan, bahwa diharamkannya daging babi itu justeru karena najis (rijsun).

Contoh lain, misalnya Hadis Nabi yang mengatakan:

"Takutlah kamu kepada tiga pelaknat (tiga perkara yang menyebabkan seseorang mendapat laknat Allah), yaitu: buang air besar (berak) di tempat mata air, di jalan besar dan di bawah pohon (yang biasa dipakai berteduh)." (Riwayat Abu Daud, Ibnu Majah, Hakim dan Baihaqi)

(31)

bagi kesehatan umum. Dia merupakan pangkal berjangkitnya wabah penyakit anak-anak, seperti anchylostoma dan bilharzia.

Begitulah, setelah sinar ilmu pengetahuan itu dapat menembus dan meliputi lapangan yang sangat luas, maka kita menjadi makin jelas untuk mengetahui halal dan haram serta rahasia setiap hukum. Bagaimana tidak! Sebab dia adalah hukum yang dibuat oleh Zat yang Maha Tahu, Maha Bijaksana dan Maha Berbelas-kasih kepada hambaNya. Yaitu seperti yang difirmankan Allah dalam al-Quran:

"Allah mengetahui orang yang suka berbuat jahat dari pada orang yang berbuat baik; dan jika Allah mau, niscaya Ia akan beratkan kamu, karena sesungguhnya Allah Maha Gagah dan Maha Bijaksana." (al-Baqarah: 220)

1.5 Setiap yang Halal Tidak Memerlukan yang Haram

SALAH satu kebaikan Islam dan kemudahannya yang dibawakan untuk kepentingan ummat manusia, ialah "Islam tidak mengharamkan sesuatu kecuali di situ memberikan suatu jalan keluar yang lebih baik guna mengatasi kebutuhannya itu." Hal ini seperti apa yang diterangkan oleh Ibnul Qayim dalam A'lamul Muwaqqi'in 2: 111 dan Raudhatul Muhibbin halaman 10. Beliau mengatakan: Allah mengharamkan mereka untuk mengetahui nasib dengan membagi-bagikan daging pada azlam,8 tetapi di balik itu Ia berikan gantinya dengan doa istikharah. Allah mengharamkan mencari untung dengan menjalankan riba; tetapi di balik itu Ia berikan ganti dengan suatu perdagangan yang membawa untung. Allah mengharamkan berjudi, tetapi di balik itu Ia berikan gantinya berupa hadiah harta yang diperoleh dari berlomba memacu kuda, unta dan memanah. Allah juga mengharamkan sutera, tetapi di balik itu Ia berikan gantinya berupa aneka macam pakaian yang baik-baik, yang terbuat dari wool, kapuk dan cotton. Allah telah mengharamkan berbuat zina dan liwath, tetapi di balik itu Ia berikan gantinya berupa perkawinan yang halal. Allah mengharamkan minum minuman keras, tetapi dibalik itu Ia berikan gantinya berupa minuman yang lezat yang cukup berguna bagi rohani dan jasmani. Dan begitu juga Allah telah mengharamkan semua macam makanan yang tidak baik (khabaits), tetapi di balik itu Ia telah memberikan gantinya berupa makanan-makanan yang baik (thayyibat).

(32)

"Allah berkehendak akan menerangkan kepadamu dan memberikan petunjuk kepadamu tentang cara-cara (sunnah) yang dilakukan orang-orang sebelum kamu, dan Allah juga berkehendak untuk menerima taubatmu, dan Allah adalah Zat yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana. Allah berkehendak untuk menerima taubatmu, tetapi orang-orang yang mengikuti keinginan hawa nafsunya itu berkehendak untuk berpaling dengan palingan yang sangat. Allah (juga) berkehendak untuk memberikan keringanan kepadamu, sebab manusia itu dicipta dengan keadaan yang lemah." (an-Nisa': 26-27)

1.6 Apa Saja yang Membawa Kepada Haram adalah Haram

SALAH satu prinsip yang telah diakui oleh Islam, ialah: apabila Islam telah mengharamkan sesuatu, maka wasilah dan cara apapun yang dapat membawa kepada perbuatan haram, hukumnya adalah haram.

Oleh karena itu, kalau Islam mengharamkan zina misalnya, maka semua pendahuluannya dan apa saja yang dapat membawa kepada perbuatan itu, adalah diharamkan juga. Misalnya, dengan menunjukkan perhiasan, berdua-duaan (free love), bercampur dengan bebas, foto-foto telanjang (cabul), kesopanan yang tidak teratur (immoral), nyanyian-nyanyian yang kegila-gilaan dan lain-lain.

Dari sinilah, maka para ulama ahli fiqih membuat suatu kaidah: Apa saja yang membawa kepada perbuatan haram, maka itu adalah haram.

Kaidah ini senada dengan apa yang diakui oleh Islam; yaitu bahwa dosa perbuatan haram tidak terbatas pada pribadi si pelakunya itu sendiri secara langsung, tetapi meliputi daerah yang sangat luas sekali, termasuk semua orang yang bersekutu dengan dia baik melalui harta ataupun sikap. Masing-masing mendapat dosa sesuai dengan keterlibatannya itu. Misalnya tentang arak, Rasulullah s.a.w. melaknat kepada yang meminumnya, yang membuat (pemeras), yang membawanya, yang diberinya, yang menjualnya dan seterusnya. Nanti insya Allah akan kami sebutkan.

Begitu juga dalam soal riba, akan dilaknat orang yang memakannya, yang memberikannya, penulisnya dan saksi-saksinya.

(33)

1.7 Bersiasat Terhadap Hal yang Haram, Hukumnya adalah Haram

SEBAGAIMANA Islam telah mengharamkan seluruh perbuatan yang dapat membawa kepada haram dengan cara-cara yang nampak, maka begitu juga Islam mengharamkan semua siasat (kebijakan) untuk berbuat haram dengan cara-cara yang tidak begitu jelas dan siasat syaitan (yakni yang tidak nampak).

Rasulullah pernah mencela orang-orang Yahudi yang membuat suatu kebijakan untuk menghalalkan perbuatan yang dilarang (haram).

Maka sabda Rasulullah s.a.w.:

"Jangan kamu berbuat seperti perbuatan Yahudi, dan jangan kamu menganggap halal terhadap larangan-larangan Allah walaupun dengan siasat yang paling kecil."9

Salah satu contoh, misalnya, orang-orang Yahudi dilarang berburu pada hari Sabtu, kemudian mereka bersiasat untuk melanggar larangan ini dengan menggali, sebuah parit pada hari Jum'at supaya pada hari Sabtunya ikan-ikan bisa masuk ke dalam parit tersebut, dan akan diambilnya nanti pada hari Ahad.

Cara seperti ini dipandang halal oleh orang-orang yang memang bersiasat untuk melanggar larangan itu, tetapi oleh ahli-ahli fiqih dipandangnya suatu perbuatan haram, karena motifnya justeru untuk berburu baik dengan jalan bersiasat maupun cara langsung.

Termasuk bersiasat (helah), yaitu menamakan sesuatu yang haram dengan nama lain, dan merubah bentuk. padahal intinya itu juga. Sebab suatu hal yang tidak diragukan lagi, bahwa sedikitpun tidak, berarti untuk merubah hukum hanya cukup dengan merubah nama, sedang bendanya itu-itu juga; atau dengan merubah bentuk, padahal hakikat bendanya itu-itu juga.

Oleh karena itu pula, siapapun yang merubah bentuk dengan niat sekedar siasat supaya dapat makan riba, atau membuat nama baru dengan niat supaya dapat minum arak, maka dosa riba dan arak tidak dapat hilang.

Untuk itulah, maka dalam beberapa Hadis Nabi disebutkan:

"Sungguh akan ada satu golongan dari ummatku yang menganggap halal minum arak dengan memberikan nama lain."10(Riwayat Ahmad)

(34)

Adalah salah satu keganjilan di zaman kita sekarang ini banyak orang menamakan tarian porno dengan nama seni tari, arak dinamakan minuman rohani dan riba dinamakan keuntungan dan sebagainya.

1.8 Niat Baik Tidak Dapat Melepaskan yang Haram

ISLAM memberikan penghargaan terhadap setiap hal yang dapat mendorong untuk berbuat baik, tujuan yang mulia dan niat yang bagus, baik dalam perundang-undangannya maupun dalam seluruh pengarahannya. Untuk itulah maka Nabi Muhammad s.a.w. bersabda:

"Sesungguhnya semua amal itu harus disertai dengan niat (ikhlas karena Allah), dan setiap orang dinilai menurut niatnya." (Riwayat Bukhari)

Niat yang baik itu dapat menggunakan seluruh yang mubah dan adat untuk berbakti dan taqarrub kepada Allah. Oleh karena itu siapa yang makan dengan niat untuk menjaga kelangsungan hidupnya dan memperkuat tubuh supaya dapat melaksanakan kewajibannya untuk berkhidmat kepada Allah dan ummatnya, maka makan dan minumnya itu dapat dinilai sebagai amal ibadah dan qurbah.

Begitu juga, barangsiapa yang melepaskan syahwatnya kepada isterinya dengan niat untuk mendapatkan anak, atau karena menjaga diri dan keluarganya dari perbuatan maksiat, maka pelepasan syahwat tersebut dapat dinilai sebagai ibadah yang berhak mendapat pahala. Untuk itu pula, maka Rasulullah s.a.w. pernah menyabdakan:

"Pada kemaluanmu itu ada sadaqah. Para sahabat kemudian bertanya: Apakah kalau kita melepaskan syahwat juga mendapatkan pahala? Jawab Nabi: Apakah kalau dia lepaskan pada yang haram, dia juga akan beroleh dosa? Maka begitu jugalah halnya kalau dia lepaskan pada yang halal, dia pun akan beroleh pahala." (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Dan dalam satu riwayat dikatakan:

"Barangsiapa mencari rezeki yang halal dengan niat untuk menjaga diri supaya tidak minta-minta, dan berusaha untuk mencukupi keluarganya, serta supaya dapat ikut berbelas kasih (membantu tetangganya), maka kelak dia akan bertemu Allah (di akhirat) sedang wajahnya bagaikan bulan di malam purnama." (Riwayat Thabarani)

(35)

Adapun masalah haram tetap dinilai haram, betapapun baik dan mulianya niat dan tujuan itu. Bagaimanapun baiknya rencana, selama dia itu tidak dibenarkan oleh Islam, maka selamanya yang haram itu tidak boleh dipakai alat untuk mencapai tujuan yang terpuji. Sebab Islam selamanya menginginkan tujuan yang suci dan caranya pun harus suci juga. Syariat Islam tidak membenarkan prinsip apa yang disebut al-ghayah tubarrirul wasilah (untuk mencapai tujuan, cara apapun dibenarkan), atau suatu prinsip yang mengatakan: al-wushulu ilal haq bil khaudhi fil katsiri minal bathil (untuk dapat memperoleh sesuatu yang baik, boleh dilakukan dengan bergelimang dalam kebatilan). Bahkan yang ada adalah sebaliknya, setiap tujuan baik, harus dicapai dengan cara yang baik pula.

Oleh karena itu, barangsiapa mengumpulkan uang yang diperoleh dengan jalan riba, maksiat, permainan haram, judi dan sebagainya yang dapat dikategorikan haram, dengan maksud untuk mendirikan masjid atau untuk terlaksananya rencana-rencana yang baik lainnya, maka tujuan baiknya tidak akan menjadi syafaat baginya, sehingga dengan demikian dosa haramnya itu dihapus. Haram dalam syariat Islam tidak dapat dipengaruhi oleh tujuan dan niat.

Demikian seperti apa yang diajarkan kepada kita oleh Rasulullah s.a.w., sebagaimana disabdakan:

"Sesungguhnya Allah itu baik, Ia tidak mau menerima kecuali yang baik pula. Allah pun memerintah kepada orang mu'min seperti halnya perintah kepada para Rasul."

Kemudian Rasulullah membacakan ayat:

"Hai para Rasul! Makanlah dari yang baik-baik (halal) dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya aku Maha Mengetahui apa saja yang kamu perbuat." (al-Mu'minun: 51)

"Hai orang-orang yang beriman! Makanlah dari barang-barang baik yang telah Kami berikan kepadamu." (al-Baqarah: 172)

"Kemudian ada seorang laki-laki yang datanq dari tempat yang jauh, rambutnya tidak terurus penuh dengan debu, dia mengangkat kedua tangannya ke langit sambil berdoa: yaa rab, yaa rab (hai Tuhanku, hai Tuhanku), padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan diberi makan dengan barang yang haram pula, maka bagaimana mungkin doanya itu dikabulkan?" (Riwayat Muslim dan Tarmizi)

Dan sabdanya pula:

(36)

Dan sabdanya pula:

"Tidak seorang pun yang bekerja untuk mendapatkan kekayaan dengan jalan haram kemudian ia sedekahkan, bahwa sedekahnya itu akan diterima; dan kalau dia infaqkan tidak juga mendapat barakah; dan tidak pula ia tinggalkan di belakang punggungnya (sesudah ia meninggal), melainkan dia itu sebagai perbekalan ke neraka. Sesungguhnya Allah tidak akan menghapuskan kejahatan dengan kejahatan, tetapi kejahatan dapat dihapus dengan kebaikan. Kejelekan tidaklah dapat menghapuskan kejelekan." (Riwayat Ahmad dan lain-lain)

1.9 Menjauhkan Diri dari Syubhat Karena Takut Terlibat dalam Haram

SALAH satu daripada rahmat Allah terhadap manusia, yaitu: Ia tidak membiarkan manusia dalam kegelapan terhadap masalah halal dan haram, bahkan yang halal dijelaskan sedang yang haram diperinci.

FirmanNya:

"Dan sungguh Allah telah menerangkan kepadamu apa-apa yang Ia haramkan atas kamu." (al-An'am: 119)

Masalah halal yang sudah jelas, boleh saja dikerjakan. Dan soal haram pun yang sudah jelas, samasekali tidak ada rukhsah untuk mengerjakannya, selama masih dalam keadaan normal.

Tetapi di balik itu ada suatu persoalan, yaitu antara halal dan haram. Persoalan tersebut dikenal dengan nama syubhat, suatu persoalan yang tidak begitu jelas antara halal dan haramnya bagi manusia. Hal ini bisa terjadi mungkin karena tasyabbuh (tidak jelasnya) dalil dan mungkin karena tidak jelasnya jalan untuk menerapkan nas (dalil) yang ada terhadap suatu peristiwa.

Terhadap persoalan ini Islam memberikan suatu garis yang disebut Wara' (suatu sikap berhati-hati karena takut berbuat haram). Dimana dengan sifat itu seorang muslim diharuskan untuk menjauhkan diri dari masalah yang masih syubhat, sehingga dengan demikian dia tidak akan terseret untuk berbuat kepada yang haram.

Cara semacam ini termasuk menutup jalan berbuat maksiat (saddudz dzara'i) yang sudah kita bicarakan terdahulu. Disamping itu cara tersebut merupakan salah satu macam pendidikan untuk memandang lebih jauh serta penyelidikan terhadap hidup dan manusia itu sendiri.

(37)

"Yang halal sudah jelas dan yang haram pun sudah jelas, di antara keduanya itu ada beberapa perkara yang belum jelas (syubhat), banyak orang yang tidak tahu: apakah dia itu masuk bagian yang halal ataukah yang haram? Maka barangsiapa yang menjauhinya karena hendak membersihkan agama dan kehormatannya, maka dia akan selamat,. dan barangsiapa mengerjakan sedikitpun daripadanya hampir-hampir ia akan iatuh ke dalam haram, sebagaimana orang yang menggembala kambing di sekitar daerah larangan, dia hampir-hampir akan jatuh kepadanya. Ingatlah! Bahwa tiap-tiap raja mempunyai daerah larangan. Ingat pula, bahwa daerah larangan Allah itu ialah semua yang diharamkan." (Riwayat Bukhari, Muslim dan Tarmizi, dan riwayat ini adalah lafal Tarmizi).

1.10 Sesuatu yang Haram Berlaku Untuk Semua Orang

HARAM dalam pandangan syariat Islam mempunyai ciri menyeluruh dan mengusir. Oleh karena itu tidak ada sesuatu yang diharamkan untuk selain orang Arab (ajam) tetapi halal buat orang Arab. Tidak ada sesuatu yang dilarang untuk orang kulit hitam, tetapi halal, buat orang kulit putih. Tidak ada sesuatu rukhsah yang diberikan kepada suatu tingkatan atau suatu golongan manusia, yang dengan menggunakan nama rukhsah (keringanan) itu mereka bisa berbuat jahat yang dikendalikan oleh hawa nafsunya. Mereka yang berbuat demikian itu sering menamakan dirinya pendeta, pastor, raja dan orang-orang suci. Bahkan tidak seorang muslim pun yang mempunyai keistimewaan khusus yang dapat menetapkan sesuatu hukum haram untuk orang lain, tetapi halal buat dirinya sendiri.

Sekali-kali tidak akan begitu! Allah adalah Tuhannya orang banyak, syariatNya pun untuk semua orang. Setiap yang dihalalkan Allah dengan ketetapan undang-undangnya, berarti halal untuk segenap ummat manusia. Dan apa saja yang diharamkan, haram juga untuk seluruh manusia. Hal ini berlaku sampai hari kiamat. Misalnya mencuri, hukumnya adalah haram, baik si pelakunya itu seorang muslim ataupun bukan orang Islam; baik yang dicuri itu milik orang Islam ataupun milik orang lain. Hukumnya pun berlaku untuk setiap pencuri betapapun keturunan dan kedudukannya. Demikianlah yang dilakukan Rasulullah dan yang dikumandangkannya.

Kata Rasulullah dalam pengumumannya itu:

"Demi Allah! Kalau sekiranya Fatimah binti Muhammad yang mencuri, pasti akan kupotong tangannya." (Riwayat Bukhari)

(38)

berusaha untuk mengelakkan tuduhan terhadap rekannya yang beragama Islam itu, padahal dialah pencurinya, sehingga dia bermaksud untuk mengadukan hat tersebut kepada Nabi dengan suatu keyakinan, bahwa dia akan dapat bebas dari segala tuduhan dan hukuman. Waktu itu turunlah ayat yang menyingkap kejahatan ini dan membebaskan orang Yahudi tersebut dari segala tuduhan. Rasulullah s.a.w. mencela orang Islam tersebut dan menjatuhkan hukuman kepada pelakunya.

Wahyu Allah berbunyi sebagai berikut:

"Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu kitab dengan benar, supaya kamu menghukum diantara manusia dengan (faham) yang Allah beritahukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi pembela orang-orang yang khianat. Dan minta ampunlah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan betas-kasih. Dan janganlah kamu membela orang-orang yang mengkhianati dirinya itu, karena sesungguhnya Allah tidak suka berkhianat dan berbuat dosa. Mereka bersembunyi (berlindung) kepada manusia, tetapi tidak mau bersembunyi kepada Allah, padahal Dia selalu bersama mereka ketika mereka mengatur siasatnya itu di waktu malam, yaitu sesuatu yang tidak diridhai dari perkataan itu, dan Allah maha meliputi semua apa yang mereka perbuat. Awaslah! Kamu ini adalah orang-orang yang membela mereka di dalam kehidupan dunia ini, maka siapakah yang akan membela mereka dari hukuman Allah kelak d

Referensi

Dokumen terkait

Sekalipun di Indonesia secara politik era reformasi itu sudah berjalan sekitar 10 tahun sejak lengsernya Presiden Suharto pada tahun 1998, namun dalam penyelenggaraan pela-

Tabel diatas merupakan tabel hasil pengukuran intensitas cahaya dari lampu kombinasi: dua buah lampu Metal Halide dan Tiga Buah Lampu Light-Emitting Diode (LED) dengan medium

Abstrak: Pengetahuan berjilbab merupakan salah satu pengetahuan yang dapat dimiliki oleh setiap individu dan merupakan salah satu pengetahuan yang dianggap

fleksibilitas panggul terhadap hasil kecepatan panjat tebing kategori speed. Dengan rumusan masalah penelitian

– Tentukan fungsi luas taman yang dinyatakan dengan panjang salah satu sisinya.. – Tentukan luas taman jika diketahui panjang salah satu sisinya sebesar

Changes in the size and number of contracts induced by financial innovations result in more disperse interest rates, as rates for low risk borrowers decline while high risk

Rahardja dan Afnan (2014) Menyatakan bahwa ukuran dewan komisaris yanag kecil lebih efektif dalam melakukan tindakan pengwasan dan lebih mudah dalam memonitor manajemen,

Subyek penelitian adalah kepala sekolah, guru dan siswa sebagai responden, menggunakan teknik wawancara langsung untuk mengetahui pengembangan pembelajaran berbasis