• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

3.7 Analisis Data

3.7.1 Faktor Erosivitas Hujan

Data curah hujan yang telah disajikan dalam bentuk data tabel perlu dilakukan pengecekan tingkat akurasi data serta pengisian data curah hujan yang mungkin tidak tercatat. Data yang kosong dapat disebabkan oleh alat penakar hujan tidak berfungsi pada periode waktu tertentu atau karena satu dan lain hal pos pengamat hujan ditutup untuk sementara waktu. Data yang kosong dapat dilengkapi dengan memanfaatkan data hujan dari stasiun lain yang berdekatan (Asdak, 2010). Perbaikan data atau melengkapi data yang kosong dalam penelitian ini menggunakan Normal Ratio Method yang dirumuskan oleh Wei dan McGuiness pada tahun 1973. Selain itu, uji konsistensi data perlu dilakukan setelah data curah hujan keseluruhan telah diperbaiki jika terdapat data yang kosong. Penelitian ini menggunakan metode analisis kurva massa ganda untuk mengetahui tingkat keakuratan suatu data curah hujan.

Analisis kurva massa ganda menguji konsistensi hasil-hasil pengukuran pada suatu stasiun dan membandingkan akumulasi hujan tahunan atau musimannya dengan nilai akumulasi rata - rata yang bersamaan untuk suatu kumpulan stasiun di sekitarnya. Konsistensi catatan bagi masing-masing stasiun dasar harus diuji, dan yang tak konsisten harus disesuaikan (Linsley et al., 1986). Pengolahan data curah hujan dilakukan dengan bantuan software Microsoft Excel dan hasilnya di export ke dalam format .csv.

32

Pembuatan peta rerata hujan kawasan pada penelitian ini menggunakan metode IDW (Inverse Distance Weighted). Metode IDW merupakan metode sederhana yang mempertimbangkan titik disekitarnya (NCGIA, 1997). Metode IDW dapat menginterpolasi data sesuai dengan jarak titik lokasi stasiun hujan, dimana jarak terdekat akan memiliki bobot yang lebih besar. Pemetaan data hujan menggunakan metode IDW dirasa sangat cocok, mengingat intensitas turunnya hujan pada suatu wilayah tidak selalu sama. Interpolasi IDW memanfaatkan data olahan yang telah berbentuk excel. Data tersebut dimasukkan kedalam software Arcgis 10.4 yang selanjutnya diolah menjadi peta curah hujan.

3.7.2 Faktor Erodibilitas Tanah

Peta erodibilitas tanah dihasilkan dari peta jenis tanah dan nomograf nilai erodibilitas tanah untuk beberapa jenis tanah. Nomograf memudahkan peneliti dalam mengolah data erodibilitas tanpa harus melakukan survei dan perhitungan rumit. Nomograf tidak selalu dalam angka yang tetap, ada yang memiliki rentang nilai misalnya dari 0 sampai 1, maka dari itu nomograf dapat ditentukan dari nilai rata-rata dari rentang atau interval nilai yang tersaji dalam bentuk tabel. Tetapi jika hanya ingin mengambil suatu nilai saja entah nilai minimum atau yang maksimum juga tidak disalahkan.

3.7.3 Faktor Panjang dan Kemiringan Lereng

Penentuan panjang dan kemiringan lereng pada penelitian ini berbasis pada digital elevation model yang memungkinkan untuk mendapatkan informasi panjang dan kemiringan lereng melalui pemrosesan data citra untuk memudahkan penelitian. DEM yang digunakan berupa data SRTM V3 (Shuttle Radar Topography Mission) dengan resolusi atau tingkat kedetailan mencapai 30 meter. Data SRTM tersebut diolah menjadi peta kemiringan lereng (radian) dan arah lereng (aspect) menggunakan Acrgis 10.4. Pengolahan data SRTM perlu dilakukan proses filling, yaitu untuk membuat aliran air secara kontinyu bermuara ke sungai, tidak terjebak di cekungan atau sumur.

3.7.4 Faktor Pengelolaan Tanaman

Faktor pengelolaan tanaman pada penelitian ini ditentukan berdasarkan peta penggunaan lahan. Peta penggunaan lahan dibuat dengan data citra landsat, menggunakan metode supervised classification (klasifikasi terbimbing). Klasifikasi terbimbing yang dipilih dengan cara maximum likehood (Sharma et al., 2010). Sebelum data digunakan, terlebih dahulu harus dikoreksi geometrik dan radiometrik. Koreksi geometrik berfungsi untuk memperbaiki kesalahan lokasi geografis, sedangkan radiometrik untuk memperbaiki kesalahan warna pantulan permukaan bumi. Koreksi data citra tersebut menggunakan software ENVI.

Penentuan kelas faktor pengelolaan tanaman yang terdiri atas, badan air, permukiman/lahan terbangun, pertanian, hutan dan tanah kosong menggunakan metode klasifikasi terbimbing (supervised classification) dengan algoritma maximum likehood. Klasifikasi terbimbing dilakukan dengan pengambilan sampel pada piksel yang dianggap mewakili suatu objek, semakin akurat sampel yang dipilih maka akan semakin mendekati benar.

Metode uji akurasi perlu diterapkan untuk mengetahui seberapa akurat peta yang dihasilkan, dalam penelitian ini untuk uji akurasi menggunakan metode yang disampaikan oleh Liliesand et al. (2008), dengan mempertimbangkan akurasi dari kedua sisi, yaitu dari sisi pembuat peta (producer’s accuracy) dan sisi pengguna peta (user’s accuracy).

Akurasi penghasil atau pembuat diperoleh dari hasil bagi jumlah piksel yang terklasifikasi secara benar untuk setiap kategori dengan jumlah piksel pada tiap training set. Akurasi menurut pengguna dihitung dengan cara membagi jumlah piksel yang terklasifikasi secara benar di tiap kategori dengan jumlah keseluruhan piksel yang diklasifikasi pada kategori tersebut. Perbedaan pada kedua sisi tersebut disebut omisi (untuk pembuat peta) dan komisi (untuk pengguna peta). Pengecekan titik piksel yang ada pada penelitian ini dengan cara survei lapangan.

34

Tabel 7. Contoh producer’s accuracy dan user’s accuracy

Kelas

Producer’s Accuracy User’s Accuracy

Akurasi Omisi Kesalahan Akurasi Komisi Kesalahan A 70/73 = 96% 4% 70/88 = 80% 20% B 55/60 = 92% 8% 55/58 = 95% 5% C 99/103 = 96% 4% 99/117 = 85% 15% D 37/59 = 63% 37% 37/41 = 90% 10% E 121/130 = 93% 7% 121/121 = 100% 0% Sumber: Liliesand et al., 2008

3.7.5 Faktor Praktek Konservasi Lahan

Metode penentuan konservasi lahan pada penelitian ini berbasis dari data kemiringan lereng (slope). Peta kemiringan lereng dibuat dengan sumber data DEMNAS dengan dilakukan pengelompokan menjadi beberapa kelas, yaitu 0-2 %, 2-12 %, 12-16%, 16-20%, dan 20-25% (Sharma et al., 2010).

3.7.6 Indeks Bahaya Erosi

Erosi tidak bisa dihilangkan sama sekali atau tingkat erosinya nol, khususnya untuk lahan-lahan pertanian. Tindakan yang dilakukan adalah dengan mengusahakan supaya erosi yang terjadi masih dibawah ambang batas yang maksimum (soil loss tolerance), yaitu besarnya erosi yang tidak melebihi laju pembentukan tanah (Suripin, 2001). Perkiraan erosi tahunan rata-rata dan kedalaman tanah dipertimbangkan untuk menentukan tingkat bahaya erosi untuk setiap satuan lahan. Dari data hasil perkiraan erosi tahunan RUSLE dan kedalaman tanah maka dapat diperoleh tingkat bahaya erosi (Peraturan Menteri Kehutanan

2009). Klasifikasi tingkat bahaya erosi yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut.

Tabel 8. Tingkat bahaya erosi Tebal Solum Tanah

(CM) Erosi (Ton/Ha/Tahun) < 15 15 – 60 60 – 180 180 – 480 >480 Dalam (>90) SR R S B SB Sedang (60-90) R S B SB SB Dangkal (30-60) S B SB SB SB Sangat Dangkal (<30) B SB SB SB SB

Sumber: Kementerian Kehutanan (1998) Keterangan: SR : Sangat Ringan R : Ringan S : Sedang B : Berat SB : Sangat Berat

Jika tingkat bahaya erosi dihitung berdasarkan nilai erosi dengan kedalaman tebal tanah, indeks bahaya erosi dihitung dengan membagi nilai erosi dengan erosi yang diperbolehkan. Erosi yang diperbolehkan didapatkan dari hasil pengolahan data kedalaman efektif tanah, faktor kedalaman tanah, dan kepadatan tanah (bulk density) ketiga data tersebut didapatkan dari Soilgrids dengan resolusi 250 meter. Proses pemetaan dilakukan dengan mengubah resolusi data raster tersebut ke 30 meter sesuai dengan peta-peta yang lainnya, serta perlu diubah proyeksnya ke satuan UTM 49 selatan (Universal Transverse Mercator). Rumus EDP dan IBE sebagai berikut.

36

𝑇 = 𝐷𝐸

𝐺𝑇× 𝐵𝐷 × 10 Keterangan :

T = Erosi yang diperbolehkan (EDP) (ton/ha/tahun)

DE = Kedalaman ekivalen (kedalaman efektif x faktor kedalaman tanah) (mm) BD = Bulk Density (gr/cm3)

GT = Umur Guna Tanah (300 Tahun) 𝐼𝐵𝐸 =𝐴

𝑇

Keterangan :

IBE = Indeks bahaya erosi

A = Nilai erosi pada satuan medan T = Erosi yang diperbolehkan

Dokumen terkait