• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMETAAN TINGKAT BAHAYA EROSI DENGAN METODE RUSLE DI SUB DAS GARANG HULU TUGAS AKHIR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMETAAN TINGKAT BAHAYA EROSI DENGAN METODE RUSLE DI SUB DAS GARANG HULU TUGAS AKHIR"

Copied!
169
0
0

Teks penuh

(1)

PEMETAAN TINGKAT BAHAYA EROSI

DENGAN METODE RUSLE DI SUB DAS GARANG HULU

TUGAS AKHIR

Untuk memperoleh gelar Ahli Madya (A.Md)

Oleh : Danny Pamungkas

NIM 3212316014

JURUSAN GEOGRAFI

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2020

(2)
(3)
(4)
(5)

v

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

 Pray, patient, passion and vision. Vision berarti pandangan atau impian yang ingin dicapai, tentu saja setiap orang memiliki impian masing-masing, maka dari itu penting bahwa seseorang perlu memiliki impian dalam hidup. Impian tentunya sebisa mungkin diwujudkan dengan penuh semangat (passion). Ketika dalam perjalanan untuk mewujudkan impian hidup terkadang ada kendala atau masalah yang menimpa, maka dari itu perlu bersikap sabar (patient). Selain membutuhkan semangat dan kesabaran, beribadah dan berdoa kepada Allah SWT juga penting agar dimudahkan segala urusan. (Penulis)

 Ojo adigang, adigung, adiguna. Jika diberi amanah kekuasaan janganlah bertindak semena-mena terhadap orang lain. Jika memiliki sesuatu janganlah bertindak sombong. Ketika ilmu yang dimiliki melebihi dari teman ataupun orang lain, berbagilah ilmu yang dimiliki jangan justru menghina dan merendahkan orang lain. (Anonim)

 Percaya pada diri sendiri. Ketika suatu tantangan datang, terkadang kita merasa berkecil hati untuk menghadapi tantangan tersebut. Tetapi hal tersebut tidaklah baik, percaya akan kemampuan diri harus dimiliki. Percaya akan diri sendiri dapat meningkatkan kapasitas diri kita, dengan menghadapi tantangan yang ada maka diri kita akan dapat berkembang / improve. (Penulis)

Persembahan:

Karya ini dipersembahkan untuk :

 Bapak Riyoto dan Ibu Sri Sulastri, S.Pd.I, selaku orang tua saya yang selalu memberikan semangat saat menemui kendala serta selalu mendukung segala usaha dan pilihan saya.

 Adinda Febriana yang selalu memberikan semangat dan mengingatkan untuk segera menyelesaikan Tugas Akhir ini. Juga telah menemani ketika melakukan survei lapangan dan mengerjakan Tugas Akhir saya.

(6)

vi

Kata Kunci : Erosi, Tingkat Bahaya Erosi, Indeks Bahaya Erosi, RUSLE (Revised Universal Soil Loss Equation).

Erosi adalah peristiwa pindahnya atau terangkutnya tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain oleh media alami (Arsyad 2010). Erosi yang terjadi di sub DAS Garang Hulu diakibatkan oleh adanya perubahan penggunaan lahan, kegiatan pertanian dan perkebunan sehingga tampak jelas pada saat turunnya hujan sungai menjadi berwarna keruh. Kegiatan pertanian dan perkebunan pada lahan yang miring banyak ditemukan tidak mengindahkan tindakan konservasi tanah, seperti di Desa Lempuyang, Kecamatan Bergas. Hal ini perlu diadakannya penelitian dan pemetaan untuk mengetahui daerah yang memiliki tingkat erosi tinggi untuk selanjutnya dapat dilakukan evaluasi oleh pemerintah.

Metode pemetaan tingkat bahaya erosi pada penelitian ini menggunakan metode RUSLE (Revised Universal Soil Loss Equation), RUSLE memiliki lima faktor yang digunakan sebagai parameter yaitu, erosivitas hujan, erodibilitas tanah, panjang dan kemiringan lereng, pengelolaan tanaman, serta tindakan konservasi. Erosivitas hujan dipetakan dari hasil pengolahan data curah hujan, erodibilitas tanah dipetakan dari data jenis tanah yang kembali di survei secara kualitatif, panjang dan kemiringan lereng dipetakan dari data SRTM V3, faktor pengelolaan tanaman menggunakan data citra landsat 8 yang diolah menjadi peta tutupan lahan, serta faktor tindakan konservasi menggunakan data DEMNAS dengan membaginya menjadi beberapa kelas lereng.

Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini berupa peta indeks bahaya erosi diketahui seluas 1191,56 hektar (14,14%) erosi yang terjadi masih dibawah batas erosi yang diperbolehkan, sedangkan area seluas 7232,67 hektar (85,86%) erosi yang terjadi diatas batas nilai erosi yang diperbolehkan. Laju erosi di Sub DAS Garang Hulu berkisar antara 5,4 - 751,29 ton/ha/tahun. Kelas TBE dari sangat ringan hingga sedang, seluas 5381,49 Ha. Pada kelas berat hingga sangat berat seluas 3042,72 Ha. Berdasarkan hasil pemetaan tingkat bahaya erosi menggunakan metode RUSLE, dapat disimpulkan bahwa wilayah sub DAS Garang Hulu memiliki tingkat erosi yang berat dibuktikan dengan wilayah seluas 7232,67 hektar diatas ambang erosi yang diperbolehkan. Hal ini juga menandakan bahwa kegiatan pertanian dan perkebunan pada lahan miring serta perubahan penggunaan lahan di lereng Gunung Ungaran menyebabkan erosi yang terjadi sangat tinggi.

(7)

vii

PRAKATA

Segala puji dan syukur bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, rezeki dan hidayah-Nya. Sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan Tugas Akhir dengan judul “Pemetaan Tingkat Bahaya Erosi Dengan Metode RUSLE di Sub DAS Garang Hulu”. Tugas akhir ini disusun berdasarkan hasil penelitian dilapangan dan pengolahan data spasial, bukan hasil menjiplak dari karya manapun. Tugas Akhir ini disusun sebagai salah satu pemenuhan syarat untuk menyelesaikan pendidikan D3 Program Studi Survei dan Pemetaan Wilayah Universitas Negeri Semarang. Melalui tugas akhir ini penulis dianggap telah selesai dalam menempuh pendidikan dan mendapatkan gelar Ahli Madya (A.Md).

Dalam menyelesaikan Tugas Akhir ini, penulis mendapatkan banyak bantuan dari berbagai pihak. Baik secara moril maupun materil. Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Fathur Rokhman, M.Hum. Selaku Rektor Universitas Negeri Semarang.

2. Bapak Dr. Moh Solehatul Mustofa, M.A. Selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang.

3. Bapak Dr. Tjaturahono Budi Sanjoto, M.Si. Selaku Ketua Jurusan Geografi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang.

4. Bapak Dr. Ir. Ananto Aji, M.S. Selaku Ketua Program Studi Survei dan Pemetaan Wilayah Jurusan Geografi FIS Universitas Negeri Semarang.

5. Bapak Fahrudin Hanafi, S.Si., M.Sc. Selaku dosen pembimbing yang telah membimbing dan memberikan masukan kepada penulis dalam menyelesaikan Tugas Akhir.

6. Segenap Dosen Jurusan Geografi FIS UNNES yang telah memberikan ilmu dalam bidang pemetaan.

7. Bapak Ir. Suratman, M.Si. Selaku Kepala Balai Pengelolaan DAS dan Hutan Lindung (BPDASHL) Pemali Jratun dan Bapak Ir. H. Ruhban Ruzziyatno, MT. Selaku Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Pemali Juana, yang telah

(8)
(9)

ix

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN KELULUSAN ... iii

PERNYATAAN ... iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... v

SARI ... vi

PRAKATA ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Rumusan Masalah ... 3 1.3 Tujuan... 3 1.4 Manfaat... 3 1.5 Batasan Istilah ... 3

BAB II LANDASAN TEORI ... 5

2.1 Pemetaan ... 5

2.2 Tingkat Bahaya Erosi ... 6

2.3 Metode RUSLE ... 11

(10)

x

3.3 Fokus Penelitian ... 28

3.4 Variabel ... 28

3.5 Sumber Data ... 29

3.6 Metode Pengumpulan Data ... 30

3.7 Analisis Data ... 31

3.8 Diagram Alir ... 37

BAB IV HASIL PEMETAAN DAN PEMBAHASAN ... 38

4.1 Kondisi Umum Daerah Penelitian... 38

4.2 Model dan Perhitungan Faktor-faktor Erosi... 40

4.3 Erosi Menurut Satuan Medan ... 61

4.4 Pembuatan Peta ... 66 BAB V PENUTUP ... 100 5.1 Kesimpulan... 100 5.2 Saran ... 100 DAFTAR PUSTAKA ... 102 LAMPIRAN ... 107

(11)

xi

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

Tabel 1. Erosi yang diperbolehkan ... 10

Tabel 2. Nomograf erodibilitas tanah... 15

Tabel 3. Tipe struktur tanah ... 16

Tabel 4. Proporsi fraksi menurut kelas tekstur tanah ... 17

Tabel 5. Kelas faktor pengelolaan tanaman ... 21

Tabel 6. Nilai faktor konservasi lahan ... 22

Tabel 7. Contoh producer’s dan user’s accuracy ... 34

Tabel 8. Tingkat bahaya erosi ... 35

Tabel 9. Jumlah penduduk ... 39

Tabel 10. Data curah hujan ... 42

Tabel 11. Data curah hujan yang hilang... 43

Tabel 12. Melengkapi data curah hujan yang hilang ... 43

Tabel 13. Uji konsistensi ... 45

Tabel 14. Mencari nilai K ... 46

Tabel 15. Curah hujan telah di uji konsistensi ... 48

Tabel 16. Perhitungan nilai erosivitas hujan ... 50

Tabel 17. Nomograf jenis tanah ... 52

Tabel 18. Ciri-ciri tanah kualitatif ... 53

Tabel 19. Kriteria Indeks Keterpisahan ... 56

Tabel 20. Indeks keterpisahan antar piksel ... 56

Tabel 21. Contoh pengisian confusion matrix... 57

Tabel 22. Contoh producer’s dan user’s accuracy ... 58

Tabel 23. Confusion matrix hasil survei tutupan lahan ... 59

Tabel 24. Producer’s dan user’s accuracy hasil survei ... 59

Tabel 25. Nilai koefisien kappa ... 60

Tabel 26. Nilai faktor P ... 61

Tabel 27. Kelas lereng satuan medan ... 62

(12)
(13)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

Gambar 1. Diagram segitiga kelas tekstur tanah (USDA 1997) ... 18

Gambar 2. Siklus hidrologi (Asdak, 2010) ... 23

Gambar 3. Kurva massa ganda... 47

Gambar 4. Data curah hujan setiap stasiun hujan ... 66

Gambar 5. Data curah hujan yang hilang ... 66

Gambar 6. Uji konsistensi data curah hujan ... 66

Gambar 7. Kurva massa ganda... 67

Gambar 8. Rumus Lenvain ... 67

Gambar 9. Hasil perhitungan erosivitas hujan ... 67

Gambar 10. Nilai erosivitas hujan ... 67

Gambar 11. Input data erosivitas ... 67

Gambar 12. Display koordinat x dan y ... 68

Gambar 13. Pilih data x dan y ... 68

Gambar 14. Tampilan data x dan y ... 68

Gambar 15. Pengisian data pada tool IDW ... 69

Gambar 16. Hasil metode IDW ... 69

Gambar 17. Erosivitas hujan dan fungsi int, times ... 70

Gambar 18. Data jenis tanah ... 70

Gambar 19. Persebaran titik survei tanah ... 71

Gambar 20. Nilai nomograf tanah pada attribute table ... 71

Gambar 21. Peta erodibilitas tanah ... 71

Gambar 22. SRTM V3 ... 72

Gambar 23. Raster calculator untuk mengubah derajat ke radian... 72

Gambar 24. Peta kemiringan dan aspect ... 73

Gambar 25. Rumus Moore dan Wilson pada raster calculator ... 73

Gambar 26. Hasil raster calculator rumus Moore dan Wilson ... 73

Gambar 27. Reclassify data faktor LS ... 74

(14)

xiv

Gambar 33. Tampilan citra di Envi 5.1 ... 76

Gambar 34. Proses koreksi geometrik 1 ... 77

Gambar 35. Proses koreksi geometrik 2 ... 77

Gambar 36. Membuat GCP (Ground Control Point) ... 78

Gambar 37. Tingkat RMS Error ... 78

Gambar 38. Warp file untuk menyesuaikan citra dengan koordinat GCP .. 78

Gambar 39. Pilih citra landsat 8 untuk di warp file ... 79

Gambar 40. Simpan citra landsat 8 terkoreksi geometrik ... 79

Gambar 41. Masukkan file MTL ... 79

Gambar 42. Membuat file reflectance ... 80

Gambar 43. Setting untuk FLAASH reflectance (1) ... 80

Gambar 44. Masukkan file radiance ... 80

Gambar 45. Setting untuk FLAASH reflectance (2) ... 81

Gambar 46. Hasil reflectance ... 81

Gambar 47. Compute statistic ... 81

Gambar 48. Histogram nilai sebelum dimasukkan rumus ... 82

Gambar 49. Rumus untuk koreksi radiometrik dengan band math ... 82

Gambar 50. Pilih file reflectance ... 82

Gambar 51. Pilih saluran pada file reflectance ... 83

Gambar 52. Compute statistic hasil FLAASH ... 83

Gambar 53. Histogram citra terkoreksi radiometrik FLAASH ... 83

Gambar 54. Input data shapefile batas DAS (1) ... 84

Gambar 55. Input data shapefile batas DAS (2) ... 84

Gambar 56. Tampilan shapefile batas DAS ... 84

Gambar 57. Subset data via ROI ... 85

Gambar 58. Hasil crop citra landsat sesuai batas DAS ... 85

(15)

xv

Gambar 60. Klik supervised maximum likelihood ... 86

Gambar 61. Pilih citra hasil terkoreksi geometrik dan radiometrik ... 86

Gambar 62. Pilih seluruh kelas titik sampel... 86

Gambar 63. Hasil klasifikasi ... 87

Gambar 64. Peta faktor C hasil penyesuaian luas ... 87

Gambar 65. Titik sampel faktor C... 88

Gambar 66. Input data DEMNAS ... 88

Gambar 67. Tool slope untuk pembuatan peta kemiringan lereng ... 89

Gambar 68. Peta kemiringan lereng untuk faktor P ... 89

Gambar 69. Reclassify data raster kemiringan lereng ... 89

Gambar 70. Raster to polygon ... 90

Gambar 71. Peta faktor P hasil penyesuaian luas ... 90

Gambar 72. Tool intersect ... 90

Gambar 73. Attribute table satuan medan ... 91

Gambar 74. Peta satuan medan ... 91

Gambar 75. Attribute table dan bulk density, kedalaman tanah, dan faktor kedalaman tanah ... 92

Gambar 76. Perhitungan EDP menggunakan raster calculator... 92

Gambar 77. Attribute table hasil perhitungan EDP ... 92

Gambar 78. Perhitungan nilai erosi menggunakan raster calculator ... 93

Gambar 79. Hasil perhitungan erosi... 93

Gambar 80. Attribute table poligon erosi ... 94

Gambar 81. Peta erosi ... 94

Gambar 82. Print and page setup ... 95

Gambar 83. Rectangle dan ruler ... 95

Gambar 84. Tool text ... 95

Gambar 85. Add data ... 96

Gambar 86. Legenda ... 96

Gambar 87. Arah/orientasi peta ... 97

Gambar 88. Skala garis dan angka ... 97

(16)
(17)

xvii

LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Peta Erosivitas Hujan ... 107

2. Peta Erodibilitas Tanah ... 108

3. Peta Panjang dan Kemiringan Lereng ... 109

4. Peta Pengelolaan Tanaman ... 110

5. Peta Praktek Konservasi Lahan ... 111

6. Peta Satuan Medan ... 112

7. Peta Indeks Bahaya Erosi ... 113

8. Peta Tingkat Bahaya Erosi ... 114

9. Tabel Hasil Survei Jenis Tanah ... 115

10. Tabel Hasil Survei Tutupan Lahan ... 119

11. Tabel Satuan dan Kode Medan ... 121

12. Tabel Nilai Erosi Berdasarkan Satuan Medan ... 123

13. Tabel Erosi, EDP, IBE Berdasarkan Satuan Medan Sub DAS Garang Hulu ... 125

14. Form Uji Akurasi Peta Tutupan Lahan ... 135

15. Form Survei Jenis Tanah ... 137

16. Form Survei Geomorfologi ... 140

17. Surat Perijinan Permintaan Data BPDASHL ... 143

18. Surat Perijinan Permintaan Data Dinas PSDA Jateng ... 144

19. Surat Perijinan Kesbangpol ... 145

20. Surat Perijinan Alat Laboratorium ... 146

21. Peta Survei Lapangan ... 148

22. Foto Survei Lapangan ... 149

23. Gambar Diagram Alir Pemetaan Faktor-faktor RUSLE ... 150

24. Gambar Diagram Alir Pemetaan Erosi yang Diperbolehkan ... 151 25. Gambar Diagram Alir Pemetaan Indeks dan Tingkat Bahaya Erosi. 152

(18)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Daerah aliran sungai (DAS) merupakan suatu wilayah yang dibatasi oleh batas alam, seperti punggung bukit atau gunung, maupun batas buatan manusia, seperti jalan atau tanggul, dimana air hujan yang turun pada wilayah tersebut memberi kontribusi aliran ke outlet (Suripin 2001). Lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi, dan vegetasi, faktor-faktor tersebut saling mempengaruhi potensi pengunaannya, termasuk faktor akibat kegiatan manusia, baik pada masa lalu maupun sekarang (Hardjowigeno dkk., 2001). Perubahan penggunaan lahan menjadi faktor serius yang berkaitan dengan masalah erosi tanah. Perubahan tata guna lahan pada subDAS Garang Hulu yang semestinya menjadi kawasan lindung berubah menjadi kawasan budidaya tanaman semusim dan permukiman, menyebabkan terjadinya erosi tanah.

RUSLE adalah model erosi yang dirancang untuk memprediksi kehilangan tanah tahunan rata-rata dalam kurun waktu yang lama terbawa oleh air limpasan dari kemiringan lereng lahan tertentu dalam sistem penanaman dan pengelolaan tertentu dan juga dari luas area. Metode RUSLE adalah model revisi atau penyempurnaan dari model sebelumnya yaitu USLE (Renard et al., 1997). RUSLE menggabungkan beberapa faktor penyebab erosi untuk memprediksi kehilangan tanah dari erosi lembar dan alur yang disebabkan oleh aliran permukaan dan hujan, hasil prediksi erosi dapat membantu perencanaan teknik konservasi (Sinukaban, 1980).

DAS Garang adalah daerah aliran sungai yang berada di tiga wilayah administrasi yaitu Kabupaten Semarang, Kota Semarang dan Kabupaten Kendal. DAS Garang terdiri dari empat bagian daerah aliran sungai, yaitu sub DAS Garang Hulu, Kreo, Kripik, dan Hilir. DAS Garang Hulu secara administrasi berada di sepuluh kecamatan yaitu Kecamatan Ungaran Timur, Kecamatan Gunungpati, Kecamatan Limbangan, Kecamatan Bandungan, Kecamatan Banyumanik,

(19)

2

Kecamatan Bergas, Kecamatan Boja, Kecamatan Gajahmungkur, Kecamatan Sumowono dan Kecamatan Ungaran Barat (Rosyada dkk., 2015).

Dari tahun 1995-2010 terjadi perubahan penggunaan lahan yang cukup signifikan. Luasan hutan yang sebelumnya 23,28 km2 menjadi 18,38 km2, serta

permukiman dari 1,69 km2 menjadi 7,41 km2 (Setyowati, dkk., 2011). Sedangkan

menurut Sucipto (2008) selama kurun waktu 8 tahun (1998-2006) terjadi penurunan fungsi lahan pada area perkebunan sebesar 117 hektar dari 1.511 hektar (1998) menjadi 1.394 hektar (2006), dan setiap tahun nya ada peningkatan alih fungsi lahan untuk permukiman mencapai 8,50 hektar. Pada lahan perkebunan, terutama perkebunan pada lahan miring dan daerah yang tinggi persentase terjadinya erosi sangat tinggi, cara pengolahan lahan yang tidak sesuai seperti menggunakan sistem terasering tanpa adanya pembatas/tanggul yang menahan tanah, menyebabkan tanah dapat tererosi dengan mudah.

Perkebunan dan pertanian di lereng Gunung Ungaran banyak ditemukan terasering tanpa menggunakan tanggul batu tambahan dan bahkan tanpa tanggul, hal tersebut jelas mempengaruhi laju erosi yang terjadi. Menurut Dinas Permukiman dan Tata Ruang Provinsi Jawa Tengah (2005), permasalahan sedimentasi di Sungai kaligarang telah mencapai 20 ton/ha/tahun, tanah yang dominan di Sub DAS Garang Hulu adalah tanah latosol coklat tua dan latosol coklat tua kemerahan yang memiliki kepekaan yang tinggi terhadap erosi (BPDAS Pemali Jratun, 2005)

Metode RUSLE mampu menghitung kehilangan tanah pada daerah dengan aliran permukaan yang signifikan, dan tidak dirancang untuk daerah yang tidak terjadi aliran permukaan (Jones et al., 1996). Berdasarkan hasil penelitian Nugraheni dkk., (2013). Berisi tentang perbandingan prediksi laju erosi menggunakan model USLE, MUSLE dan RUSLE, diketahui bahwa model RUSLE lah yang mendekati nilai hampir sama dengan hasil penelitian sebelumnya. Belum adanya pemetaan erosi menggunakan metode RUSLE serta belum adanya pembaruan mengenai pemetaan erosi yang terjadi di subDAS Garang Hulu, mengingat penggunaan lahan setiap tahunnya berpotensi mengalami perubahan.

(20)

Maka dari itu perlunya saya memetakan ulang erosi yang terjadi melalui penelitian menggunakan model RUSLE.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Seberapa besar total erosi yang terjadi pada sub das garang hulu? 1.2.2 Pada satuan lahan manakah tingkat bahaya erosi yang paling berat?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Mengetahui total erosi yang terjadi pada sub das garang hulu dengan metode RUSLE.

1.3.2 Memetakan tingkat bahaya erosi dengan metode RUSLE.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Dapat memperkaya ilmu bagi dunia pendidikan, khususnya mahasiswa untuk mempelajari model laju erosi dengan metode RUSLE.

1.4.2 Dapat dijadikan sebagai dasar pengambilan keputusan untuk dinas terkait mengenai konservasi di bagian hulu das garang.

1.4.3 Dapat menjadi pengetahuan bagi masyarakat yang bermukim di sub das garang hulu mengenai daerah mana saja yang rawan erosi.

1.5 Batasan Istilah

Adapun penjelasan sekaligus pembatasan istilah terkait judul yaitu : 1.5.1 Pemetaan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pemetaan adalah proses, cara, perbuatan membuat peta. Pengertian lain tentang pemetaan yaitu sebuah tahapan yang harus dilakukan dalam pembuatan peta. Langkah awal yang dilakukan dalam pembuatan data, dilanjutkan dengan pengolahan data, dan penyajian dalam bentuk peta (Juhadi dan Setyowati, 2001).

(21)

4

1.5.2 Tingkat Bahaya Erosi

Menurut Kemenhut (2013), tingkat bahaya erosi adalah perhitungan dengan cara membandingkan tingkat erosi di suatu lahan (land unit) dan kedalaman tanah efektif pada satuan lahan tersebut. Erosi adalah peristiwa pindahnya atau terangkutnya tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain oleh media alami (Arsyad 2010).

1.5.3 Metode

Menurut Rosady Ruslan (2003:24) metode adalah aktivitas ilmiah yang masih berkenaan pada suatu cara kerja yang tersusun (sistematis) di tujukan agar dapat memahami suatu subjek atau objek pada sebuah penelitian, sebagai salah satu cara untuk menemukan jawaban yang bisa di pertanggung jawabkan ilmiah serta keabsahannya.

1.5.4 Rusle

RUSLE (Revised Universal Soil Loss Equation) adalah model erosi yang dirancang untuk memprediksi erosi tahunan rata-rata dalam kurun waktu yang panjang terbawa oleh air limpasan dari kemiringan lereng lahan tertentu dalam sistem penanaman dan pengelolaan tertentu dan juga dari luas area. RUSLE merupakan revisi atau penyempurnaan dari metode sebelumnya yaitu USLE. RUSLE telah digunakan dalam memprediksi besarnya erosi di padang rumput (rangelands) dan lahan non pertanian seperti lahan untuk bangunan (Renard et al., 1997). Sebelum RUSLE, Wischmeier dan Smith (1978) merumuskan suatu model yang bernama USLE (Universal Soil Loss Equation), USLE merupakan model erosi yang dirancang untuk memprediksi rata-rata erosi tanah dalam jangka waktu panjang dari suatu area pertanian dengan sistem penanaman dan pengelolaan tertentu.

(22)

5

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Pemetaan

2.1.1 Pengertian Peta dan Pemetaan

Peta adalah penyajian grafis dari seluruh atau sebagian muka bumi pada suatu skala dan sistem proyeksi tertentu. Peta menampilkan unsur-unsur di muka bumi dengan cara memilih, menseleksi atau generalisasi sesuai dengan maksud dan tujuan dari pembuatan peta. Pemetaan adalah suatu proses yang melalui beberapa tahapan kerja (pengumpulan data, pengolahan data, dan penyajian data) untuk menghasilkan produk akhir peta (Soendjojo dkk., 2012).

2.1.2 Proses Pemetaan

Proses pemetaan adalah langkah-langkah yang harus dilakukan untuk mendapatkan suatu produk peta. Menurut Permanasari (2007) mengemukakan tiga tahapan, yaitu:

2.1.2.1 Tahap Pengumpulan data

Langkah awal dimulai dari pengumpulan data. Data merupakan suatu bahan yang diperlukan dalam proses pemetaan. Keberadaan data sangat penting, dengan adanya data seseorang dapat melakukan analisis dan evaluasi tentang data wilayah tertentu. Data yang dipetakan dapat berasal dari data primer maupun sekunder. Data yang dipetakan adalah data yang bersifat spasial, yaitu data tersebut terdistribusi atau tersebar secara keruangan pada wilayah tertentu. Data yang telah dikumpulkan kemudian dikelompokkan menurut jenisya seperti kelompok data kualitatif atau kuantitatif. Pemahaman akan sifat data penting untuk menentukan simbolisasi atau penentuan bentuk simbol, sehingga simbol tersebut akan mudah dibaca dan dipahami.

2.1.2.2 Tahap Penyajian Data

Tahap ini merupakan upaya menggambarkan data dalam bentuk simbol, agar data tersebut menjadi menarik, mudah dibaca dan dipahami oleh pengguna. Penyajian data pada sebuah peta harus dirancang secara baik dan benar agar tujuan

(23)

6

pemetaan tercapai. Penyajian data meliputi tata letak peta, sistem koordinat, serta informasi tepi peta.

2.1.2.3 Tahap Penggunaan Peta

Tahap penggunaan peta merupakan tahap penting karena menentukan keberhasilan pembuatan peta. Peta yang dirancang dengan baik akan dapat dibaca dengan mudah. Peta merupakan alat untuk melakukan komunikasi, sehingga pada peta harus terjalin interaksi antar pembuat peta (map maker) dengan pengguna peta (map users). Pembuat peta harus dapat merancang peta sedemikian rupa sehingga peta mudah dibaca, diinterpretasi dan dianalisis oleh pengguna peta. Pengguna harus mampu membaca peta dan memperoleh gambaran informasi sebenarnya dilapangan.

2.1.3 Peta Digital

Peta digital merupakan bentuk peta dalam format digital atau softcopy. Peta digital merupakan hasil suatu proses digitasi dari peta kertas (hardcopy) atau proses pemetaan digital. Pemetaan digital merupakan proses akuisisi data dengan menggunakan perangkat pengukuran dan perekaman digital yang mengubah objek nyata ke dalam format gambar virtual. Fungsi utama nya adalah memproduksi peta yang menggambarkan kondisi dan lokasi suatu wilayah dengan akurasi yang tinggi dengan waktu yang relatif singkat (Soendjojo dkk., 2012).

2.2 Tingkat Bahaya Erosi

2.2.1 Pengertian Tingkat Bahaya Erosi

Menurut Kemenhut (2013), tingkat bahaya erosi adalah perhitungan dengan cara membandingkan tingkat erosi di suatu lahan (land unit) dan kedalaman tanah efektif pada satuan lahan tersebut. Analisis tingkat bahaya erosi digunakan untuk mengetahui besarnya laju erosi pada suatu kawasan atau DAS. Perhitungan tingkat bahaya erosi dapat menggunakan beberapa model yang telah ada, contohnya seperti USLE. Faktor-faktor penyebab erosi akan mempengaruhi besarnya erosi yang terjadi.

(24)

Erosi adalah peristiwa pindahnya atau terangkutnya tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain oleh media alami (Arsyad 2010). Perkembangan model perhitungan untuk prediksi erosi telah dimulai sekitar 76 tahun yang lalu ketika Austin Zingg mempublikasikan sebuah hubungan antara erosi tanah (yang disebabkan air) dengan panjang dan kemiringan lereng, tidak lama kemudian diikuti oleh persamaan/rumus yang dirumuskan oleh Dwight Smith yang memperluas persamaan tersebut dengan memasukkan praktik konservasi (Laflen et al., 2013).

Pengukuran erosi pertama kali dilakukan di Amerika Serikat pada tahun 1915 oleh Dinas Kehutanan AS di Utah (Forsling, 1931) dan oleh Ray W. McClure, seorang mahasiswa sarjana jurusan tanah di Universitas Missouri (Miller, 1946). Ilmu empiris pertama yang dikembangkan untuk prediksi erosi adalah USLE. Zingg pada tahun 1940 mengemukakan rumus untuk perhitungan erosi, diikuti selanjutnya oleh Smith (1941), Browning (1947), Musgrave (1947), Wischmeier and Smith (1965), Wischmeier and Smith (1978). Rumus USLE banyak dipakai dalam pengembangan perhitungan model erosi seperti RUSLE, EPIC, AGNPS, SLEMSA, MUSLE, SOILOSS (Laflen et al., 2013).

2.2.2 Jenis-jenis Erosi

Erosi tanah dapat terjadi melalui tiga tahap, yaitu tahap pelepasan partikel tunggal dari massa tanah dan tahap pengangkutan oleh media yang erosif seperti aliran air dan angin. Pada kondisi dimana energi yang tersedia tidak lagi cukup untuk mengangkut partikel, maka akan terjadi tahap yang ketiga yaitu pengendapan (Suripin 2001:30).

Pelepasan partikel dapat terjadi akibat percikan air hujan dimana percikan air hujan jatuh mengenai tanah menyebabkan tanah berpindah dari tempatnya, tanah yang terus berpindah karena percikan air hujan terbawa oleh aliran air diatas permukaan tanah menuju sungai. Sungai akan membawa partikel-partikel tanah yang hanyut dan terendapkan pada sungai yang relatif datar dan berlanjut hingga ujung daerah aliran sungai. Hardiyatmo (2012:369-376) mengungkapkan bentuk-bentuk erosi akibat air hujan sebagai berikut.

(25)

8

2.2.2.1 Erosi Percikan

Erosi percikan adalah erosi hasil dari percikan atau benturan air hujan secara langsung pada partikel tanah dalam keadaan basah. Besarnya curah hujan, intensitas, dan distribusi hujan menentukan kekuatan penyebaran hujan ke permukaan tanah, kecepatan aliran permukaan serta kerusakan erosi yang ditimbulkannya. Tidak semua air hujan mengakibatkan erosi, tapi bergantung pada intensitasnya. Jika intensitas hujan lebih besar dari 100 (seratus) mm/jam, maka umumnya akan menimbulkan erosi.

Walaupun intensitas hujan besar, namun jika berlangsungnya tidak terlalu lama, sehingga tidak mengakibatkan aliran permukaan, maka hujan tidak berakibat erosi. Kecepatan jatuh butiran hujan ditentukan oleh gravitasi, tahanan udara dan angin. Kekuatan tumbukan tetes hujan, mengakibatkan pecahnya tanah menjadi butiran-butiran lebih kecil. Butiran tanah yang lebih kecil ini akan terangkat dan hanyut oleh run-off (aliran limpasan), sedangkan sebagian mengikuti infiltrasi air yang cenderung akan menutup pori-pori tanah, sehingga infiltrasi air ke tanah lebih dalam menjadi terhambat.

2.2.2.2 Erosi Lembar

Erosi lembaran (sheet erosion) adalah erosi akibat terlepasnya tanah dari lereng dengan tebal lapisan yang tipis. Erosi tidak tampak oleh mata, karena secara umum hanya kecil saja terjadi perubahan bentuk permukaan tanah. Pengangkutan atau pemindahan tanah terjadi merata pada seluruh permukaan tanah. Awal kejadian erosi dapat diamati bila terjadi penurunan produksi tanaman. Selain itu, daun-daunan mengalami perubahan warna. Pada bagian puncak dan tengah lereng daun-daunan agak pucat dibandingkan dengan daun-daunan yang di kaki lereng.

Hal ini karena bahan-bahan organik dan unsur hara di bagian atas dan tengah lereng telah banyak hanyut atau hilang dibandingkan dengan kaki lereng yang relatif masih utuh. Pencucian lereng adalah bentuk dari erosi lembaran. Pencucian lereng terjadi ketika lapisan permukaan tanah yang bertekstur kasar mengering dan kehilangan kohesi nampaknya (apparent cohesion), yaitu saat hujan

(26)

mengerosi tanah tanpa menyebabkan terbentuknya parit-parit atau selokan akibat erosi.

2.2.2.3 Erosi Alur

Erosi alur (rills erosion) adalah erosi akibat pengikisan tanah oleh aliran air yang membentuk parit atau saluran kecil, di mana pada bagian tersebut telah terjadi konsentrasi aliran air hujan di permukaan tanah. Aliran air menyebabkan pengikisan tanah, lama-kelamaan membentuk alur-alur dangkal pada permukaan tanah yang arahnya dari atas memanjang ke bawah. Erosi alur ini banyak terjadi bila manusia melakukan pengolahan tanah dan melakukan penanaman yang searah dengan kemiringan lahan. Untuk mengurangi erosi alur, maka dapat dilakukan dengan mengolah tanah dan cara penanaman yang sejajar garis kontur atau menyilang arah kemiringan lahan.

2.2.2.4 Erosi Parit

Erosi parit (gully erosion) adalah kelanjutan dari erosi alur yaitu terjadi bila alur-alur menjadi semakin lebar dan dalam yang membentuk parit dengan kedalaman yang dapat mencapai 1 sampai 2,5 meter atau lebih. Parit-parit cenderung berbentuk menyerupai huruf V dan U, di mana aliran limpasan dengan volume besar terkonsentrasi dan mengalir ke bawah lereng terjal pada tanah yang mudah tererosi. Bila tanah tahan terhadap erosi, maka alurnya berbentuk V, bila tidak tahan erosi (tanah-tanah tak berkohesi) berbentuk U. Erosi parit tidak selalu terbentuk dari erosi alur, contohnya pada bagian outlet drainase (box culvert) yang tidak dilindungi pasangan batu/beton sering terbentuk erosi-erosi parit.

2.2.2.5 Erosi Sungai

Erosi sungai/saluran (stream/channel erosion) adalah erosi yang terjadi akibat dari terkikisnya permukaan tanggul sungai dan gerusan sedimen di sepanjang dasar saluran. Erosi ini dipengaruhi oleh variabel hidrologi/hidrolik yang mempengaruhi sistem sungai. Menurut Supirin (2001:38) menyimpulkan erosi tebing sungai adalah erosi yang terjadi akibat pengikisan tebing oleh air yang mengalir dari bagian atas tebing atau oleh terjangan arus air sungai yang kuat

(27)

10

terutama pada tikungan-tinkungan. Erosi tebing akan lebih hebat jika tumbuhan penutup tebing telah rusak atau pengolahan lahan terlalu dekat dengan tebing. 2.2.3 Erosi yang Diperbolehkan

Erosi adalah hal yang tidak dapat dihindari karena merupakan proses alamiah yang terjadi, tetapi erosi dapat diperlambat dengan pengolahan tanah yang baik dengan begitu erosi dapat diusahakan dibawah atau tidak melebihi batas toleransi maksimum kehilangan tanah atau (soil loss tolerance). Soil loss tolerance yaitu besarnya erosi yang terjadi tidak melebihi laju pembentukan tanah (Suripin 2001). Besarnya erosi tanah yang masih dapat dibiarkan atau ditoleransi berdasarkan kondisi tanah menurut (SCS-USDA) sebagai berikut.

Tabel 1. Erosi yang diperbolehkan

Kondisi Tanah

Laju Erosi (kg/m2/th)

Sumber

Skala makro (misal DAS) 0,2 Morgan (1980)

Skala meso (misal lahan pertanian):

Tanah berlempung tebal dan subur

(Mid-West, USA) 0,6-1,1

Wischmeier & Smith (1978) Tanah dangkal yang mudah tererosi

0,2-0,5

Hudson (1971) Smith & Stamey (1965) Tanah yang mempunyai kedalaman:

0-25 cm 0,2 Arnoldus (1977) 25-50 cm 0,2-0,5 50-100 cm 0,5-0,7 100-150 cm 0,7-0,9 >150 cm 1,1 Morgan (1980) Tanah tropika yang sangat mudah tererosi 2,5

Skala mikro (misal daerah terbangun) 2,5

Tanah dangkal diatas batuan 0,112

Thomson, 1957;

Suwardjo, dkk 1975

Tanah dalam diatas batuan 0,224

Tanah lapisan dalam padat diatas batuan

lunak 0,448

Tanah dengan permeabilitas lambat diatas

batuan lunak 1,121

Tanah yang permeabel diatas batuan lunak 1,341 Sumber: Suripin 2001

(28)

2.3 Metode RUSLE 2.3.1 Pengertian RUSLE

Secara keseluruhan USLE merupakan model yang sangat luas dipakai oleh departemen kehutanan AS dan banyak negara lainnya, penelitian yang dimulai dari sekitar tahun 1970 telah menghasilkan sebuah pengembangan teknologi dari USLE, yaitu RUSLE. USLE dikembangkan oleh W. H. Wischmeier, D. D. Smith, dan beberapa orang lainnya yaitu Departemen Pertanian AS (USDA), Agricultural Research Service (ARS), Soil Conservation Service (SCS), dan Universitas Purdue di akhir tahun 1950. Penelitian ini dimulai di Midwest pada tahun 1960.

Pada tahun 1965, Agriculture Handbook 282 telah diterbitkan, yang mana menjadi bahan acuan untuk penelitian menggunakan metode USLE, sampai akhirnya direvisi pada tahun 1978 dengan judul Agriculture Handbook 537. Pada satu dekade setelah publikasi dari Handbook 537, para peneliti telah mengembangkan USLE secara signifikan. Tahun 1987 ARS, SCS dan beberapa peneliti lainnya memulai sebuah penelitian dari pengembangan USLE yaitu RUSLE. RUSLE mengalami penyempurnaan faktor, akan tetapi masih berdasar dari metode USLE (Renard et al., 1991).

RUSLE adalah model erosi yang dirancang untuk memprediksi kehilangan tanah tahunan rata-rata dalam kurun waktu yang lama terbawa oleh air limpasan dari kemiringan lereng lahan tertentu dalam sistem penanaman dan pengelolaan tertentu dan juga dari luas area. Penggunaan yang tersebar luas telah membuktikan kegunaan dan validitas rusle untuk tujuan erosi. Ini juga berlaku untuk kondisi nonpertanian seperti situs konstruksi/bangunan (USDA 1997).

Rumus metode rusle adalah sebagai berikut. A = R x K x LS x C x P

R = Erosivitas Hujan K = Erodibilitas Tanah

(29)

12

C = Pengelolaan Tanaman P = Tindakan Konservasi 2.3.2 Faktor Erosivitas Hujan

Presipitasi adalah peristiwa klimatik yang bersifat alamiah yaitu perubahan bentuk dari uap air di atmosfer menjadi curah hujan sebagai akibat proses kondensasi. Presipitasi merupakan faktor utama yang mengatur proses siklus hidrologi di suatu DAS (Asdak, 2010). Faktor erosi hujan menggabungkan komponen energi dan intensitas hujan ke dalam satu angka. Faktor R menyatakan faktor fisik hujan yang dapat menyebabkan timbulnya proses erosi (disebut erosivitas hujan). Erosivitas hujan tahunan yang dapat dihitung dari data curah hujan yang diperoleh dari pengukur hujan (Hardiyatmo, 2012:382). Erosivitas hujan merupakan fungsi dari energi kinetik total hujan, dengan intensitas hujan maksimum selama 30 menit. Erosivitas hujan yang dirumuskan oleh Lenvain (1989) sebagai berikut.

R = 2,21 (Rt)1,36 Keterangan:

R = Indeks erosivitas hujan Rt = Curah hujan tahunan (cm)

Data presipitasi seringkali ditemukan data yang tidak tercacat atau kosong. Data yang kosong dapat disebabkan oleh alat penakar hujan tidak berfungsi pada periode waktu tertentu atau karena satu dan lain hal pos pengamat hujan ditutup untuk sementara waktu. Data yang kosong dapat dilengkapi dengan memanfaatkan data hujan dari stasiun lain yang berdekatan (Asdak, 2010). Beberapa metode yang dapat digunakan untuk mengisi data hujan yang kosong yaitu Normal Ratio Method, “Inversed Square Distance” dan rata – rata aljabar (Martha, 1983). Dalam penelitian ini pencarian data curah hujan yang kosong menggunakan Normal Ratio Method. Rumus metode Normal Ratio untuk mencari data curah hujan yang hilang sebagai berikut (Wei and McGuiness, 1973):

(30)

𝑝𝑥 𝑁𝑥 =1 𝑛{ 𝑝1 𝑁1 +𝑝2 𝑁2 +𝑝3 𝑁3 … +𝑝𝑛 𝑁𝑛 } Keterangan:

Px = Hujan yang hilang di stasiun x

P1+P2…Pn = Data hujan di stasiun sekitarnya pada periode yang sama

Nx = Hujan tahunan di stasiun x

N1+N2+…Nn = Hujan tahunan di stasiun sekitar x

N = jumlah stasiun hujan disekitar x

Data hujan yang akan digunakan perlu di uji konsistensi datanya terlebih dahulu. Agar data hujan yang kita gunakan konsisten, perlu disesuaikan untuk menghilangkan perngaruh perubahan tempat alat ukur atau gangguan lainnya terhadap konsistensi data yang dihasilkan (Asdak, 2010). Dalam penelitian ini uji konsistensi data yang dipilih menggunakan analisis kurva massa ganda. Analisis kurva massa ganda dikembangkan oleh beberapa ahli, yaitu C. F. Merriam yang merupakan penyumbang pemikiran terbanyak dalam penyusunan kurva massa ganda, beliau merupakan pensiunan dari Pennsylvania Water & Power Co. W. B. Langbein dan beberapa peneliti lainnya mendeskripsikan secara jelas tentang analisis kurva massa ganda dengan beberapa revisi. Hasil karya tersebut telah digunakan oleh USGS (U.S. Geological Survey) sejak tahun 1948.

Teori kurva massa ganda didasarkan pada fakta bahwa grafik akumulasi satu kuantitas terhadap akumulasi kuantitas lain selama periode yang sama akan ter-plot sebagai garis lurus selama data proporsional; kemiringan garis akan mewakili konstanta proporsionalitas antar jumlah (USGS, 1984). Analisis kurva massa ganda menguji konsistensi hasil-hasil pengukuran pada suatu stasiun dan membandingkan akumulasi hujan tahunan atau musimannya dengan nilai akumulasi rata - rata yang bersamaan untuk suatu kumpulan stasiun di sekitarnya. Konsistensi catatan bagi masing-masing stasiun dasar harus diuji, dan yang tak konsisten harus disesuaikan (Linsley et al., 1986). Uji konsistensi data dimaksudkan

(31)

14

untuk mengetahui kebenaran data lapangan yang dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut ini (Kamiana, 2011):

1) Spesifikasi alat penakar berganti 2) Tempat alat ukur berpindah posisi

3) Perubahan lingkungan disekitar alat penakar hujan

Koefisien deterministik dapat menunjukkan seberapa jauh kesalahan dalam memperkirakan besarnya variabel terikat y yang dapat direduksi menggunakan informasi yang dimiliki variabel bebas x. Model regresi dikatakan sempurna apabila r2 = 1 (Asdak, 1995). Adapun koefisien deterministik antara variabel x dan y dapat dicari dengan persamaan :

𝑟2 = [∑(𝑥𝑖𝑦𝑖) − {∑(𝑥𝑖) ∑(𝑦𝑖)}/𝑛] 2 [∑(𝑥𝑖)2− {(∑ 𝑥𝑖)2/𝑛}][∑(𝑦𝑖)2− {(∑ 𝑦𝑖)2/𝑛}] Keterangan: i = data keberapa n = jumlah data

Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan variabel x adalah jumlah kumulatif data hujan satu stasiun, sedangkan variabel y adalah jumlah kumulatif rata-rata data hujan semua stasiun. Data hujan stasiun dapat dikatakan konsisten apabila r2~1.

2.3.3 Faktor Erodibilitas Tanah

Kemudahan tererosi dinyatakan dalam istilah erodibilitas (erodibility). Beberapa tanah seperti lanau/lumpur lebih mudah tererosi dari yang lain. Umumnya, bertambahnya kandungan organik dan fraksi ukuran lempung dari tanah, maka erodibilitas akan berkurang. Erodibilitas juga bergantung pada: tekstur tanah, kadar air, angka pori, pertukaran ion-ion, pH, dan kekuatan komposisi atau ionik dari air yang menyebabkan erosi (Hardiyatmo, 2012).

(32)

Faktor erodibilitas tanah adalah indeks kuantitatif kerentanan tanah terhadap erosi air. Indeks erodibilitas tanah ini ditentukan untuk tiap satuan lahan. Indeks ini memerlukan data ukuran partikel tanah, persen bahan organik, struktur tanah, dan permeabilitas tanah. Data tersebut didapat dari hasil analisis laboratorium contoh-contoh tanah yang diambil di lapangan, atau dari data dalam laporan survei tanah yang dilampirkan pada peta tanah. Selain data yang diperoleh dari hasil kegiatan lapangan, nilai erodibilitas juga dapat didapatkan dari nomograf yang telah tersedia (Peraturan Menteri Kehutanan, 2009). Pada penelitian ini, saya menggunakan nomograf K dari (Lembaga Ekologi, 1979; Hardjiowigeno, 1987 dan Kironoto, 2000) sebagai berikut.

Tabel 2. Nomograf erodibilitas tanah

Jenis Tanah Nilai K

Latosol merah 0,12

Latosol merah kuning 0,26

Latosol coklat 0,23 Latosol 0,31 Grumusol 0,21 Aluvial * 0,47 Regosol 0,16 Hydromorf abu-abu 0,20 Mediteran ** 0,21

Sumber: Lembaga Ekologi (1979); Kironoto (2000)* dan Hardjiowigeno (1987)** 2.3.3.1 Struktur Tanah

Struktur merupakan kenampakan bentuk atau susunan partikel-partikel primer tanah (pasir, debu dan liat) hingga gabungan partikel-partikel primer yang disebut ped atau gumpalan yang membentuk agregat (bongkah). Struktur tanah

(33)

16

memiliki fungsi memodifikasi pengaruh tekstur terhadap kondisi drainase atau aerasi tanah, karena susunan antar agregat tanah menghasilkan ruang yang lebih besar ketimbang susunan antarpartikel primer (Hanafiah, 2005). Foth (1988) mengemukakan mengenai deskripsi tipe-tipe struktur tanah sebagai berikut.

Tabel 3. Tipe struktur tanah

Tipe Struktur Deskripsi Lokasi Horizon

Granular Ped yang relatif tidak porous, kecil dan agak bulat: tidak untuk menggabungkan ped

Horison A

Remah Ped yang relatif porous, kecil dan agak bulat: tidak sesuai untuk menggabungkan ped.

Horison A

Lempeng

Ped seperti piringan. Piringan-piringan saling tumpang tindih dan melelahkan.

Horizon F, di hutan dan tanah liat padat horison Bt

Balok

Ped seperti balok yang diikat oleh ped lainnya yang sisi-sisi nya bersudut tajam dan membentuk tolakan ped. Ped sering patah menjadi ped berbentuk balok dengan ukuran lebih kecil.

Horison Bt

Balok agak persegi

Ped seperti balok diikat oleh ped lainnya yang sisi-sisinya bulat agak persegi yang membentuk tolakan ped.

Horison Bt

Prisma

Ped seperti pilar tanpa tutup yang melingkar. Ped prisma lainnya membentuk tolakan ped. Beberapa ped prisma pecah membentuk ped balok yang lebih kecil.

(34)

Columnar

Ped seperti pilar dengan tutup yang melingkar diikat secara lateral oleh ped pilar lainnya yang membentuk tolakan ped.

Horison Bt

Sumber: Foth (1988) 2.3.3.2 Tekstur Tanah

Tekstur tanah menunjukkan komposisi partikel penyusun tanah (separat) yang dinyatakan sebagai perbandingan proporsi (%) relatif antara fraksi pasir (sand) berdiameter 2,00 – 0,20 mm, debu (silt) berdiameter 0,20 – 0,002 mm dan liat (clay) kurang dari 2 µm (Hanafiah, 2005).

Tabel 4. Proporsi fraksi menurut kelas tekstur tanah.

Kelas tekstur tanah

Proporsi (%) fraksi tanah

Pasir Debu Liat

Pasir (sandy) >85 <15 <10

Pasir berlempung (loam sandy) 70-90 <30 <15 Lempung berpasir (sandy loam) 40-87,5 <50 <20

Lempung (loam) 22,5 – 52,5 30-50 10-30

Lempung liat berpasir (sandy-clay

loam) 45-80 <30 20-37,5

Lempung liat berdebu (sandy-silt

loam) <20 40-70 27,5-40

Lempung berliat (clay loam) 20-45 15-52,5 27,5-40 Lempung berdebu (silty loam) <47,5 50-87,5 <27,5

Debu (silt) <20 >80 <12,5

(35)

18

Liat berdebu (silty-clay) <20 40-60 40-60

Liat (clay) <45 <40 >40

Sumber: Hanafiah (2005)

Gambar 1. Diagram segitiga kelas tekstur tanah (USDA 1997) 2.3.3.3 Permeabilitas Tanah

Permeabilitas adalah kemampuan media (tanah) untuk mengalirkan air melalui porinya. Masing-masing jenis tanah memiliki permeabilitas yang berbeda tergantung dari besar dan bentuk butiran, angka pori, serta bentuk dan susunan porinya (Budi, 2011).

2.3.3.4 Bahan Organik

Bahan organik adalah kumpulan beragam senyawa-senyawa organik kompleks yang sedang atau telah mengalami proses dekomposisi, baik berupa humus hasil humifikasi maupun senyawa-senyawa anorganik hasil mineralisasi (biontik), termasuk mikrobia heterotrofik dan ototrofik yang terlibat (biotik) (Hanafiah, 2005).

(36)

2.3.4 Faktor Panjang dan Kemiringan Lereng

Erosi secara normal akan meningkat jika kecuraman kemiringan dan panjang kemiringan juga meningkat, ini sebagai hasil dari peningkatan kecepatan dan volume air aliran permukaan (surface runoff). Lebih lanjut, suatu tetesan air hujan di permukaan datar akan memercik secara acak ke segala jurusan, di permukaan yang lebih miring tetes hujan akan memercik lebih ke arah bawah (downslope) dibanding ke arah atas (upslope), hal itu lebih meningkatkan seperti tingkat erosi. (Morgan,2005:57)

Awal mulanya perhitungan panjang dan kemiringan lereng dirumuskan oleh Wischmeier dan Smith (1978), kemudian Renard, et,al., (1997) melakukan pembaharuan mengenai nilai faktor LS untuk model rusle berdasarkan usle. Rumus LS disini diartikan sebagai fungsi antara nilai faktor panjang (L) dengan kemiringan lereng (S). Kemiringan lereng dibagi menjadi 2 (dua) kelas, yaitu < 9% dan ≥ 9%. Perhitungan faktor panjang dan kemiringan lereng adalah sebagai berikut.

LS = L x S L = (l/22,1)m

S = 10,8 sin α + 0,03 (untuk kemiringan lereng < 9%) S = 16,8 sin α – 0,5 (untuk kemiringan lereng ≥ 9%) Keterangan:

LS = faktor panjang dan kemiringan lereng L = faktor panjang lereng

l = panjang lereng (m) m = variabel panjang lereng S = faktor kemiringan lereng α = kemiringan lereng ( ° )

(37)

20

Kemajuan dunia pemetaan melahirkan teknologi baru dalam interpretasi panjang dan kemiringan lereng melalui data penginderaan jauh. Melalui citra tersebut peneliti mendapat kemudahan pada perolehan data topografi. Pengolahan data topografi untuk RUSLE didapatkan dari data DEM (Digital Evelation Model) menjadi nilai panjang dan kemiringan lereng. Erdogan (2006) telah mengembang suatu persamaan untuk mencari nilai LS dengan memanfaatkan data DEM pada SIG. Adapun persamaan itu adalah:

𝐿𝑆 = (𝑋 ∗ 𝐶𝑍 22,13⁄ )0,4∗ (𝑠𝑖𝑛𝜃 0,0896 )1,3 Keterangan: LS = Faktor Lereng X = Akumulasi Aliran CZ = Ukuran pixel θ = Kemiringan lereng (%)

Selain itu adapun rumus perhitungan untuk kemiringan dan panjang lereng yang dirumuskan oleh Moore dan Wilson (1992) sebagai berikut.

𝐿𝑆 = (𝐴𝑠⁄22,13)𝑚× (sin 𝛽 0,0896⁄ )𝑛

As = Peta Aspect

Sin β = Kemiringan Lereng (Degree) m = 0,4

(38)

2.3.5 Faktor Pengelolaan Tanaman

Faktor C digunakan dalam Universal Soil Loss Equation (USLE) dan Revised USLE (RUSLE) untuk membandingkan pengaruh penanaman dan praktik pengelolaan terhadap laju erosi, dan merupakan faktor yang paling sering digunakan untuk membandingkan dampak relatif dari opsi-opsi pengelolaan tentang rencana konservasi. Faktor C menunjukkan bagaimana rencana konservasi akan mempengaruhi kehilangan tanah tahunan rata-rata dan bagaimana potensi kehilangan tanah akan didistribusikan dalam waktu selama kegiatan konstruksi, rotasi tanaman, atau skema pengelolaan lainnya (Renard et al., 1997).

Faktor pengelolaan tanaman pada penelitian ini ditentukan berdasarkan peta penggunaan lahan. Peta penggunaan lahan dibuat dengan data citra landsat, menggunakan metode supervised classification (klasifikasi terbimbing). Klasifikasi terbimbing yang dipilih dengan cara Maximum Likehood (Sharma et al., 2010). Tabel 5. Kelas Faktor Pengelolaan Tanaman

Kelas Nilai C Badan Air 1,000 Permukiman 0,002 Pertanian 0,320 Hutan 0,004 Tanah Kosong 0,100

Sumber: Sharma et al., (2010)

2.3.6 Faktor Praktek Konservasi Lahan

Praktek konservasi lahan juga dipertimbangkan dalam metode RUSLE dimana peran manusia dalam mencegah besarnya nilai erosi memiliki nilai. Nilai faktor tindakan manusia dalam konservasi tanah adalah nisbah antara besarnya erosi dari lahan dengan suatu tindakan konservasi tertentu terhadap besarnya erosi pada lahan tanpa tindakan konservasi. Termasuk dalam tindakan konservasi tanah

(39)

22

adalah penanaman dalam strip, pengolahan tanah menurut kontur, guludan dan teras. Nilai dasar P adalah satu yang diberikan untuk lahan tanpa tindakan konservasi (Suripin, 2001). Faktor konservasi lahan dapat ditentukan nilainya dengan nilai slope atau kemiringan lereng (Sharma et al., 2010).

Tabel 6. Nilai faktor konservasi lahan.

Kemiringan Lereng (%) Nilai P

0-2 0,5 2-12 0,6 12-16 0,7 16-20 0,8 20-25 0,9 >25* 0,95

Sumber: Sharma et al., (2010) ; Panagos et al., (2015)* 2.4 Daerah Aliran Sungai (DAS)

2.4.1 Pengertian Daerah Aliran Sungai

Secara umum DAS dapat didefinisikan sebagai suatu wilayah, yang dibatasi oleh batas alam, seperti punggung bukit-bukit atau gunung, maupun batas buatan, seperti jalan atau tanggul, dimana air hujan yang turun di wilayah tersebut memberi kontribusi aliran ke titik kontrol/outlet (Suripin, 2001). Menurut Asdak (2010), DAS memiliki suatu ekosistem yang terbagi menjadi tiga daerah, yaitu hulu, tengah dan hilir. Daerah hulu dicirikan oleh beberapa hal: merupakan daerah konservasi, memiliki kerapatan drainase yang tinggi, daerah yang memiliki kemiringan lereng curam (lebih dari 15%), bukan daerah banjir, pengaturan pemakaian air ditentukan oleh pola drainase, dan jenis vegetasi umumnya merupakan hutan.

(40)

Sedangkan daerah hilir dapat dicirikan sebagai berikut: merupakan daerah budidaya, kerapatan drainase lebih kecil, daerah yang memiliki kemiringan lereng kecil sampai dengan dibawah 8%, beberapa wilayah merupakan daerah banjir, pengaturan pemakaian air ditentukan oleh bangunan irigasi, dan jenis vegetasi didominasi tanaman pertanian kecuali daerah estuaria yang didominasi hutan bakau/gambut. Pada bagian tengah merupakan daerah transisi dari kedua karakteristik bagian DAS diatas.

2.4.2 Siklus Hidrologi

Siklus hidrologi adalah perjalanan air dari permukaan laut ke atmosfer kemudian ke permukaan tanah dan kembali lagi ke laut yang tidak pernah berhenti, dalam perjalanannya kembali ke laut, air tersebut akan tertahan sementara di sungai, danau/waduk, dan di dalam tanah, sehingga dapat dimanfaatkan oleh manusia dan makhluk hidup lainnya (Asdak, 2010).

Gambar 2. Siklus Hidrologi (Asdak, 2010)

Dalam daur hidrologi, energi panas matahari dan faktor-faktor iklim lainnya menyebabkan terjadinya proses evaporasi pada permukaan vegetasi dan tanah, di laut atau badan-badan air lainnya. Uap air sebagai hasil proses evaporasi akan terbawa oleh angin melintasi dataran yang bergunung maupun datar, dan

(41)

24

apabila keadaan atmosfer memungkinkan, sebagian dari uap air tersebut akan terkondensasi dan turun sebagai air hujan. Sebelum mencapai permukaan tanah, air hujan tersebut akan tertahan oleh tajuk vegetasi. Sebagian dari air hujan tersebut akan tersimpan di permukaan tajuk/daun selama proses pembasahan tajuk, dan sebagian lainnya akan jatuh ke atas permukaan tanah melalui sela-sela daun (throughfall) atau mengalir ke bawah melalui permukaan batang pohon (stemflow).

Sebagian air hujan tidak akan pernah sampai di permukaan tanah, melainkan terevaporasi kembali ke atmosfer (dari tajuk dan batang) selama dan setelah berlangsungnya hujan (interception loss). Air hujan yang dapat mencapai permukaan tanah, sebagian akan masuk (terserap) ke dalam tanah (infiltration). Sedangkan air hujan yang tidak terserap ke dalam tanah akan tertampung sementara dalam cekungan-cekungan permukaan tanah (surface detention) untuk kemudian mengalir di atas permukaan tanah ke tempat yang lebih rendah (runoff), untuk selanjutnya masuk ke sungai. Air infiltrasi akan tertahan di dalam tanah oleh gaya kapiler yang selanjutnya akan membentuk kelembaban tanah.

Apabila tingkat kelembaban air tanah telah cukup jenuh maka air hujan yang baru masuk ke dalam tanah akan bergerak secara lateral (horizontal) untuk selanjutnya pada tempat tertentu akan keluar lagi ke permukaan tanah (subsurface flow) dan akhirnya mengalir ke sungai. Alternatif lainnya, air hujan yang masuk ke dalam tanah tersebut akan bergerak vertikal ke tanah yang lebih dalam dan menjadi bagian dari air tanah (groundwater). Air tanah tersebut, terutama pada musim kemarau, akan mengalir pelan-pelan ke sungai, danau atau tempat penampungan air alamiah lainnya (baseflow).

Tidak semua air infiltrasi (air tanah) mengalir ke sungai atau tampungan air lainnya, melainkan ada sebagian air infiltrasi yang tetap tinggal dalam lapisan tanah bagian atas (top soil) untuk kemudian diuapkan kembali ke atmosfer melalui permukaan tanah (soil evaporation) dan melalui permukaan tajuk vegetasi (transpiration). Untuk membedakan proses intersepsi hujan dari proses transpirasi, dapat dilihat dari asal air yang diuapkan ke atmosfer. Apabila air yang diuapkan

(42)

oleh tajuk berasal dari hujan yang jatuh di atas tajuk tersebut, maka proses penguapannya disebut intersepsi.

Apabila air yang diuapkan oleh tajuk berasal dari dalam tanah melalui mekanisme fisiologi tanaman, maka proses penguapannya disebut transpirasi. Dengan kata lain, intersepsi terjadi selama dan segera setelah berlangsungnya hujan. Sementara proses transpirasi berlangsung ketika tidak ada hujan. Gabungan kedua proses penguapan tersebut disebut evapotranspirasi. Besarnya angka evapotranspirasi umumnya ditentukan selama satu tahun, yaitu gabungan antara besarnya evaporasi musim hujan (intersepsi) dan musim kemarau (transpirasi). 2.4.3 Karakteristik Pola Aliran Sungai

Daerah Aliran Sungai (DAS) tentunya memiliki karakteristik pola aliran yang bermacam-macam. Mengetahui karakteristik pola aliran sebuah DAS sangat bermanfaat terkait dengan langkah konservasi, menghitung laju erosi, hidrologi, dan lain sebagainya. Sungai pada DAS selalu bercabang-cabang membenuk suatu pola aliran tertentu, Djauhari Noor (2010:31-33) menyatakan beberapa pola aliran sungai sebagai berikut:

2.4.3.1 Pola Aliran Dendritik

Pola aliran dendritik adalah pola aliran yang cabang-cabang sungainya menyerupai struktur pohon. Pada umumnya pola aliran sungai dendritik dikontrol oleh litologi batuan yang homogen. Pola aliran dendritik dapat memiliki tekstur/kerapatan sungai yang dikontrol oleh jenis batuannya. Sebagai contoh sungai yang mengalir diatas batuan yang tidak/kurang resisten terhadap erosi akan membentuk tesktur sungai yang halus (rapat) sedangkan pada batuan yang resisten (seperti granit) akan membentuk tekstur kasar (renggang).

2.4.3.2 Pola Aliran Radial

Pola aliran radial adalah pola aliran sungai yang arah alirannya menyebar secara radial dari suatu titik ketinggian tertentu, seperti puncak gunung api atau bukit intrusi. Pola aliran radial juga dijumpai pada bentuk-bentuk bentang alam

(43)

26

kubah (domes) dan lakolit. Pada bentang alam ini pola aliran sungainya kemungkinan akan merupakan kombinasi dari pola radial dan annular.

2.4.3.3 Pola Aliran Rectangular

Pola rectangular umumnya berkembang pada batuan yang resistensi terhadap erosinya mendekati seragam, namun dikontrol oleh kekar yang mempunyai dua arah denngan sudut saling tegak lurus. Kekar pada umumnya kurang resisten terhadap erosi sehingga memungkinkan air mengalir dan berkembang melalui kekar-kekar membentuk suatu pola pengaliran dengan saluran-salurannya lurus-lurus mengikuti sistem kekar. Pola aliran rectangular dijumpai di daerah yang wilayahnya terpatahkan.

Sungai-sungainya mengikuti jalur yang kurang resisten dan terkonsentrasi di tempat-tempat dimana singkapan batuannya lunak. Cabang-cabang sungainya membentuk sudut tumpul dengan sungai utamanya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pola aliran rectangular adalah pola aliran sungai yang dikendalikan oleh struktur geologi, seperti struktur kekar (rekahan) dan sesar (patahan). Sungai rectangular dicirikan oleh saluran-saluran air yang mengikuti pola dari struktur kekar dan patahan.

2.4.3.4 Pola Aliran Trellis

Geometri dari pola aliran trellis adalah pola aliran yang menyerupai bentuk pagar yang umum dijumpai di perkebunan anggur. Pola aliran trellius dicirikan oleh sungai yang mengalir lurus disepanjang lembah dengan cabang-cabangnya berasal dari lereng yang curam dari kedua sisinya. Sungai utama dengan cabang-cabangnya membentuk sudut tegak lurus sehingga menyerupai bentuk pagar. Pola aliran trellis adalah pola aliran sungai yang berbentuk pagar (trellis) dan dikontrol oleh struktur geologi berupa perlipatan sinklin dan antiklin. Sungai trellis dicirikan oleh saluran-saluran air yang berpola sejajar, mengalir searah kemiringan lereng dan tegak lurus dengan saluran utamanya. Saluran utama berarah searah dengan sumbu lipatan.

(44)

2.4.3.5 Pola Aliran Sentripetal

Pola aliran sentripetal merupakan pola aliran yang berlawanan dengan pola radial, dimana aliran sungainya mengalir ke suatu tempat yang berupa cekungan (depresi). Pola aliran sentripetal merupakan pola aliran yang umum dijumpai di bagian barat dan barat laut Amerika, mengingat sungai-sungai yang ada mengalir ke suatu cekungan, dimana pada musim basah cekungan menjadi danau dan mengering ketika musim kering. Dataran garam terbentuk ketika air danau mengering.

2.4.3.6 Pola Aliran Annular

Pola aliran annular adalah pola aliran sungai yang arah alirannya menyebar secara radial dari suatu titik ketinggian tertentu dan ke arah hilir aliran kembali bersatu. Pola aliran annular biasanya dijumpai pada morfologi kubah atau intrusi lakolit.

2.4.3.7 Pola Aliran Paralel (Pola Aliran Sejajar)

Sistem pengaliran paralel adalah suatu sistem aliran yang terbentuk oleh lereng yang curam/terjal. Dikarenakan morfologi lereng yang terjal maka bentuk aliran-aliran sungainya akan berbentuk lurus-lurus mengikuti arah lereng dengan cabang-cabang sungainya yang sangat sedikit. Pola aliran paralel terbentuk pada morfologi lereng dengan kemiringan lereng yang seragam. Pola aliran paralel kadangkala mengindikasikan adanya suatu patahan besar yang memotong daerah yang batuan dasarnya terlipat dan kemiringan yang curam. Semua bentuk dari transisi dapat terjadi antara pola aliran trellis, dendritik, dan paralel.

(45)

28

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi Penelitian

DAS Garang adalah daerah aliran sungai yang berada di tiga wilayah administrasi yaitu Kabupaten Semarang, Kota Semarang dan Kabupaten Kendal. DAS Garang terdiri dari empat bagian daerah aliran sungai, yaitu sub daerah aliran sungai Garang Hulu, Kreo, Kripik dan Hilir. DAS Garang Hulu secara administrasi berada di sepuluh kecamatan yang terdiri atas Kecamatan Ungaran Timur, Gunungpati, Limbangan, Bandungan, Banyumanik, Bergas, Boja, Gajahmungkur, Sumowono dan Ungaran Barat (Rosyada dkk., 2015).

Berdasarkan peta topografi Jawa dan Madura skala 1:50.000, berupa lembar Semarang No.5021-1 dan lembar Ambarawa No.5021-1 AMS tahun 1964, sub daerah aliran sungai Garang Hulu secara astronomis terletak antara 110°22ʹ - 110°28ʹ BT dan 07°00ʹ - 07°12ʹ LS serta ketinggian sub daerah aliran sungai Garang Hulu antara 342 meter hingga 2.050 meter di atas permukaan air laut, sub daerah aliran sungai Garang Hulu memiliki luasan mencapai 6.157,29 hektar atau 61,57 km2 (Setyowati dkk., 2014).

3.2 Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang dibutuhkan yang dibutuhkan: 1. GPS Handheld 2. Laptop 3. Handphone / Kamera 4. Program Arcgis 10.4 5. Sekop 3.3 Fokus Penelitian

Fokus penelitian ini bertujuan untuk mengetahui erosi yang terjadi di sub daerah aliran sungai garang hulu dengan menerapkan metode RUSLE.

3.4 Variabel

Variabel dalam penelitian ini yaitu, erosivitas tanah, erodibilitas tanah, panjang dan kemiringan lereng, pengelolaan vegetasi dan tindakan konservasi.

(46)

3.5 Sumber Data

3.5.1 Sumber Data Primer

 Peta Jenis Tanah

Data jenis tanah di uji kebenarannya secara kualitatif dengan survei lapangan.

 Peta Tutupan Lahan

Peta tutupan lahan hasil klasifikasi di uji kebenarannya dengan pengecekan langsung dilapangan.

 Data Curah Hujan

Data curah hujan kurun waktu minimal 10 tahun diperoleh dari permohonan izin permintaan data ke instansi Balai Besar Wilayah Sungai Pemali Juana dan Open Data Jateng. Data hujan yang diminta yaitu data hujan tahunan yang tercatat pada stasiun hujan pada lingkup wilayah DAS garang.

 Citra Landsat 8

Data citra satelit Landsat 8 diperoleh melalui website USGS (Badan Geologi Amerika Serikat).

 DEMNAS (DEM Nasional)

Data DEM (Digital Elevation Model) diperoleh dari website Badan Informasi Geospasial (BIG). Data ini memiliki resolusi spasial sebesar 0,27 arcsecond atau setara dengan 8,16 meter.

 SRTM (Shuttle Radar Topography Mission)

Citra SRTM diperoleh dari website USGS, SRTM yang dipilih yaitu versi ketiga nya atau sering disebut SRTM V3, SRTM tersebut memiliki resolusi spasial 30 meter yang jauh lebih unggul dari citra SRTM sebelumnya yakni hanya 90 meter.

3.5.2 Sumber Data Sekunder  Peta Batas DAS

Peta batas DAS diperoleh melalui permohonan izin permintaan data ke instansi Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Pemali

(47)

30

Jratun. Peta batas DAS yang diminta yaitu mengenai infografis batas DAS garang.

3.6 Metode Pengumpulan Data 3.6.1 Observasi

Observasi merupakan cara dan teknik pengumpulan data dengan melakukan pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap gejala atau fenomena yang ada pada objek penelitian (Tika, 2005). Data yang diperoleh melalui metode observasi yaitu jenis tanah dan tutupan lahan. Data jenis tanah diteliti secara kualitatif menggunakan pedoman buku munsell dengan mencocokan karakteristik warna dan tekstur tanah. Penentuan titik sampel menggunakan teknik stratified random sampling berdasarkan peta satuan medan.

Peta pengelolaan tanaman yang telah dibuat menggunakan klasifikasi terbimbing/terselia (supervised classification) perlu di cek tingkat akurasinya. Pengecekan pertama menggunakan ROI Separability atau indeks keterpisahan piksel, hal ini ditujukan untuk mengetahui seberapa baik sampel yang kita ambil. Pengecekan kedua dilakukan dengan pengambilan titik-titik yang disebar pada setiap jenis penggunaan lahan dengan metode stratified random sampling, kemudian titik-titik yang memiliki koordinat geografis tersebut di catat dan di cek kesesuaian lahannya di lapangan menggunakan alat GPS Hand Held. Hasil dari survei lapangan untuk menentukan nilai omisi dan komisi peta penggunaan lahan. 3.6.2 Pengumpulan Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh seorang peneliti tidak secara langsung dari subjek atau objek yang diteliti, tetapi melalui pihak lain seperti instansi-instansi atau lembaga-lembaga yang terkait, perpustakaan, arsip perorangan, dan sebagainya (Tika, 2005). Pengumpulan data sekunder dalam penelitian ini yaitu terkait data curah hujan pada stasiun di wilayah DAS garang, peta batas DAS garang.

(48)

3.6.3 Pengumpulan Data dengan Penginderaan Jauh

Data yang dapat diperoleh melalui penginderaan jauh yaitu data citra foto dan data digital atau numerik. Pengumpulan data secara manual dilakukan melalui foto udara, yakni dengan melakukan interpretasi secara visual. Sedangkan secara elektronik dapat dilakukan secara manual maupun numerik (Tika, 2005). Pengumpulan data dengan penginderaan jauh pada penelitian ini yaitu secara elektronik, yang berupa data citra landsat 8, SRTM dan DEMNAS. Data tersebut dapat diakses melalui lembaga geologi Amerika Serikat (USGS) untuk landsat 8 dan SRTM, serta Badan Informasi Geospasial (BIG) untuk DEMNAS.

3.7 Analisis Data

3.7.1 Faktor Erosivitas Hujan

Data curah hujan yang telah disajikan dalam bentuk data tabel perlu dilakukan pengecekan tingkat akurasi data serta pengisian data curah hujan yang mungkin tidak tercatat. Data yang kosong dapat disebabkan oleh alat penakar hujan tidak berfungsi pada periode waktu tertentu atau karena satu dan lain hal pos pengamat hujan ditutup untuk sementara waktu. Data yang kosong dapat dilengkapi dengan memanfaatkan data hujan dari stasiun lain yang berdekatan (Asdak, 2010). Perbaikan data atau melengkapi data yang kosong dalam penelitian ini menggunakan Normal Ratio Method yang dirumuskan oleh Wei dan McGuiness pada tahun 1973. Selain itu, uji konsistensi data perlu dilakukan setelah data curah hujan keseluruhan telah diperbaiki jika terdapat data yang kosong. Penelitian ini menggunakan metode analisis kurva massa ganda untuk mengetahui tingkat keakuratan suatu data curah hujan.

Analisis kurva massa ganda menguji konsistensi hasil-hasil pengukuran pada suatu stasiun dan membandingkan akumulasi hujan tahunan atau musimannya dengan nilai akumulasi rata - rata yang bersamaan untuk suatu kumpulan stasiun di sekitarnya. Konsistensi catatan bagi masing-masing stasiun dasar harus diuji, dan yang tak konsisten harus disesuaikan (Linsley et al., 1986). Pengolahan data curah hujan dilakukan dengan bantuan software Microsoft Excel dan hasilnya di export ke dalam format .csv.

(49)

32

Pembuatan peta rerata hujan kawasan pada penelitian ini menggunakan metode IDW (Inverse Distance Weighted). Metode IDW merupakan metode sederhana yang mempertimbangkan titik disekitarnya (NCGIA, 1997). Metode IDW dapat menginterpolasi data sesuai dengan jarak titik lokasi stasiun hujan, dimana jarak terdekat akan memiliki bobot yang lebih besar. Pemetaan data hujan menggunakan metode IDW dirasa sangat cocok, mengingat intensitas turunnya hujan pada suatu wilayah tidak selalu sama. Interpolasi IDW memanfaatkan data olahan yang telah berbentuk excel. Data tersebut dimasukkan kedalam software Arcgis 10.4 yang selanjutnya diolah menjadi peta curah hujan.

3.7.2 Faktor Erodibilitas Tanah

Peta erodibilitas tanah dihasilkan dari peta jenis tanah dan nomograf nilai erodibilitas tanah untuk beberapa jenis tanah. Nomograf memudahkan peneliti dalam mengolah data erodibilitas tanpa harus melakukan survei dan perhitungan rumit. Nomograf tidak selalu dalam angka yang tetap, ada yang memiliki rentang nilai misalnya dari 0 sampai 1, maka dari itu nomograf dapat ditentukan dari nilai rata-rata dari rentang atau interval nilai yang tersaji dalam bentuk tabel. Tetapi jika hanya ingin mengambil suatu nilai saja entah nilai minimum atau yang maksimum juga tidak disalahkan.

3.7.3 Faktor Panjang dan Kemiringan Lereng

Penentuan panjang dan kemiringan lereng pada penelitian ini berbasis pada digital elevation model yang memungkinkan untuk mendapatkan informasi panjang dan kemiringan lereng melalui pemrosesan data citra untuk memudahkan penelitian. DEM yang digunakan berupa data SRTM V3 (Shuttle Radar Topography Mission) dengan resolusi atau tingkat kedetailan mencapai 30 meter. Data SRTM tersebut diolah menjadi peta kemiringan lereng (radian) dan arah lereng (aspect) menggunakan Acrgis 10.4. Pengolahan data SRTM perlu dilakukan proses filling, yaitu untuk membuat aliran air secara kontinyu bermuara ke sungai, tidak terjebak di cekungan atau sumur.

Gambar

Tabel 1. Erosi yang diperbolehkan
Tabel 3. Tipe struktur tanah
Tabel 5. Kelas Faktor Pengelolaan Tanaman
Tabel 6. Nilai faktor konservasi lahan.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Wilayah SPAS Cipeucang terletak pada daerah dengan curah hujan yang tinggi, kemiringan lereng yang curam serta jenis tanah yang memiliki erodibilitas tinggi secara

Parameter yang diamati adalah jenis tanah, kedalaman efektif tanah, permeabilitas tanah, kadar C-organik tanah, tekstur tanah, struktur tanah, kemiringan lereng dan curah

Histogram Curah Hujan Bulanan (mm)... Pengolahan tanah

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah erosivitas hujan (R), erodibilitas tanah (K), kemiringan lereng (S), panjang lereng (L), penutup lahan (C) , dan

Pendugaan laju erosi di HPGW ditentukan berdasarkan erosi aktual, yang merupakan kalkulasi dari indeks erosivitas hujan, erodibilitas tanah, panjang dan kemiringan lereng,

Data-data yang diperlukan untuk menyelesaikan studi ini adalah sebagai berikut: Data curah hujan tahun 2002-2011, peta batas DAS dan jaringan sungai, peta jenis tanah, tekstur tanah

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JEMBER 326 Hasil pada tabel 8 Rekapitulasi nilai erosi DAS Sampean dari data tata guna lahan, perhitungan erosivitas hujan, erodibilitas tanah, nilai c,

P Dimana: A: Jumlah tanah yang hilang rata-rata setiap tahun ton/ha/tahun R: Indeks daya erosi curah hujan erosivitas hujan K: Indeks kepekaan tanah terhadap erosi erodibilitas