BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Erosi merupakan proses alami yang terjadi melalui proses tumbukan antara air hujan dengan permukaan tanah. Air hujan memiliki energi kinetik yang mampu memecah tanah menjadi partikel-partikel kecil yang terpisah. Partikel-partikel tersebut akan terangkut oleh aliran permukaan, sehingga mengakibatkan pengikisan tanah. Penggunaan lahan yang tidak memperhatikan kaidah konservasi terhadap tanah dan air akan meningkatkan laju erosi.
Laju erosi yang dipengaruhi oleh kegiatan manusia yang dikatakan sebagai erosi dipercepat (accelerated erosion) berdampak langsung terhadap pengikisan permukaan tanah atau lapisan tanah teratas. Lapisan tanah teratas (topsoil) mengandung banyak nutrisi penting untuk tanaman, karena dekomposisi serasah dan organisme umumnya terjadi di atas permukaan tanah. Akibatnya, suatu lahan yang tererosi dapat mengalami penurunan kesuburan tanah. Horizon tanah atas akan semakin menipis dan terjadi perubahan struktur tanah. Dampak erosi selain kerusakan pada tempat terjadinya erosi adalah juga kerusakan pada tempat lain, yaitu pengendapan dan pendangkalan pada sungai, serta kerusakan lahan pertanian di bagian hilir.
Di lahan berhutan peran penutupan lahan oleh vegetasi yaitu dengan memperlambat gerakan jatuhnya air hujan, sehingga mengurangi energi kinetik tetesan air hujan. Semakin beragam strata hutan maka gerakan turunnya butiran hujan dapat semakin lambat.
Kawasan Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) merupakan kawasan yang didominasi oleh lahan berhutan (Citra Google Earth 2010). Aliran air sungai tidak keruh ketika hujan turun, sehingga diduga erosi aktual di kawasan HPGW kecil. Namun demikian, kondisi fisik kawasan (tanah dan morfologi) bervariasi yang diduga memiliki erosi potensial tinggi.
Pemetaan indeks bahaya erosi potensial dan tingkat bahaya erosi aktual di kawasan Hutan Pendidikan Gunung Walat penting dilakukan sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam kegiatan perencanaan penggunan kawasan untuk mengurangi dampak negatifyang terjadi dari suatu penggunaan lahan di Kawasan Hutan Pendidikan Gunung Walat.
1.2 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menduga sebaran ruang indeks bahaya erosi potensial dan tingkat bahaya erosi aktual di kawasan Hutan Pendidikan Gunung Walat.
1.3 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini:
1. Memberikan informasi mengenai indeks dan tingkat bahaya erosi di kawasan HPGW sebagai bahan pertimbangan bagi pengelola HPGW, pemerintah, dan pihak lain dalampengelolaan kawasan HPGW.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Erosi
Erosi adalah peristiwa terangkutnya tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain oleh media alami. Pengikisan dan pengangkutan tanah tersebut terjadi oleh media alami, yaitu air dan angin (Arsyad 2006).
Menurut Hakim et al. (1986), erosi yang terjadi pada kondisi alami, yaitu lahan yang tertutup oleh vegetasi asli tanpa campur tangan manusia, disebut erosi alami (erosi geologi atau erosi normal). Prosesnya berlangsung lambat dan tidak henti-hentinya karena laju pembentukan tanah masih mampu mengimbangi besarnya kehilangan lapisan atas tanah, tetapi ketika vegetasi dibabat dan padang rumput dibakar, erosi menjadi dipercepat. Erosi yang melampaui kecepatan normal, akibat ulah manusia sehingga merusak karena menghilangkan lapisan tanah, prosesnya disebut erosi tanah. Hal ini juga dijelaskan oleh Jacks (1939), proses penggundulan tanah yang dipercepat dikenal sebagai erosi tanah. Erosi tanah hampir tak terelakkan mengurangi batas bawah tertentu kesuburan alami tanah.
Erosi tanah yang terjadi merupakan erosi aktual karena sudah ada campur tangan menusia di dalamnya, sedangkan erosi yang terjadi tanpa faktor manusia (penanaman vegetasi dan pengolahan lahan) disebut erosi potensial.
2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Erosi
Erosi sebagai suatu proses alami terjadi akibat faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor yang mempengaruhi erosi, yaitu iklim, kondisi tanah, topografi, vegetasi, dan aktifitas manusia. Menurut Bennett (1955), iklim memiliki pengaruh yang besar pada pengembangan dan distribusi tanah. Hal ini paling mudah dipahami dengan mempertimbangkan cara bagaimana tanah terbentuk. Melalui proses kimia dan pelapukan fisik, pembekuan, pencairan, batuan yang retak teroksidasi, terpecah, terpisah, dan larut oleh air hujan, sehingga membentuk suatu massa dari bahan yang terutama terdiri dari fragmen batuan. Kondisi klimatis sebagian besar menentukan seberapa cepat dan dengan cara apa proses pelapukan primer berlangsung. Oleh karena itu, kondisi iklim dapat mempengaruhi perubahan baik kualitas maupun kuantitas tanah.
Salah satu unsur klimatis yang dapat mempengaruhi kualitas dan kuantitas tanah adalah hujan. Hujan akan menimbulkan erosi jika intensitasnya cukup tinggi dan jatuhnya dalam waktu relatif lama. Ukuran butir hujan juga sangat berperan dalam menentukan erosi. Hal tersebut disebabkan karena dalam proses erosi, energi kinetik merupakan penyebab utama dalam penghancuran agregat-agregat tanah. Besarnya energi kinetik hujan bergantung pada jumlah hujan, intensitas, dan kecepatan jatuhnya hujan. Kecepatan jatuhnya butir-butir hujan itu sendiri ditentukan ukuran butir-butir hujan dan angin (Rahim 2006). Menurut Lakitan (1994), butiran yang berukuran besar akan jatuh dengan kecepatan yang lebih tinggi dibanding butiran yang lebih kecil, sehingga dalam proses jatuhnya butiran yang lebih besar ini akan menabrak dan bergabung dengan butiran yang lebih kecil. Oleh karena itu energi kinetik hujan pun akan semakin besar.
Kondisi tanah berpengaruh terhadap erosi dengan ketahanannya. Tanah memiliki kemampuan untuk menahan tumbukan butiran hujan. Ketahanan tanah tersebut disebut erodibilitas tanah. Penyebab mendasar dari erosi tanah dan kerusakan berikutnya menurut Eden (1964) adalah rusaknya struktur tanah. Beberapa tanah yang lebih mudah tererosi daripada yang lain adalah karena lebih rentan kehilangan struktur remahnya. Satu struktur remah hancur, perkolasi air terhambat, lapisan permukaan menjadi jenuh, dan partikel menjadi berongga, basah, licin, sehingga mudah terangkut oleh air yang telah mengalir di atas permukaan, yang seharusnya masuk sampai kedalaman lebih rendah dan outlet yang normal.
Menurut Wischmeier dan Smith (1978), perbedaan dalam kerentanan alami terhadap erosi tanah sulit untuk diukur dari pengamatan lapangan. Bahkan tanah dengan faktor erodibilitas relatif rendah mungkin menunjukkan tanda-tanda erosi yang serius bila terjadi pada lereng curam, panjang atau di lokasi dengan hujan intensitas tinggi. Tanah dengan faktor erodibilitas tinggi alami, di sisi lain, bisa menunjukkan bukti kecil mengenai erosi aktual dengan curah hujan yang rendah yang terjadi di lereng pendek dan halus, atau ketika manajemen yang terbaik dipraktekkan.
Wischmeier dan Smith (1965) menjelaskan bahwa tingkat erosi tanah oleh air sangat dipengaruhi oleh panjang lereng dan gradien (persentase kemiringan). Panjang lereng didefinisikan sebagai jarak dari titik asal aliran ke salah satu dari titik berikut; (1) titik di mana lereng menurun sejauh pengendapan dimulai atau (2) titik di mana limpasan memasuki saluran yang jelas yang mungkin menjadi bagian dari jaringan drainase atau saluran yang dibentuk seperti teras atau pengalihan aliran air. Hubungan kehilangan tanah untuk gradien dipengaruhi oleh kepadatan tutupan tumbuhan dan ukuran partikel tanah.
penutup mencegah pembentukan lapisan permukaan ini padat (Stallings 1957). Tanaman penutup tanah juga dapat memecah aliran air, selain oleh batu dan jalanan batu, serta rumput dan semak kecil (Morgan 2005). Dalam hutan yang tidak terganggu, tingkat infiltrasi dan kandungan bahan organik tanah tinggi, dan sebagian besar atau seluruh permukaan biasanya ditutupi oleh lapisan padat sampah hutan atau serasah yang membusuk beberapa inci tebalnya. Semacam lapisan pelindung, sampah tanah mengurangi dampak dari kekuatan erosi dan limpasan dan sangat efektif terhadap erosi tanah (Wischmeier dan Smith 1978). Sedangkan menurut Ristic dan Macan (1997), pembentukan tegakan hutan yang stabil (pada lahan gundul dan bukan hutan rusak atau padang rumput) harus dilihat sebagai kunci bagi tindakan yg tidak erosif untuk melindungi reservoir dari sedimentasi. Umumnya, vegetasi hutan meningkatkan transpirasi dan intersepsi tetapi mengurangi kehilangan air oleh penguapan. Hal ini juga mempengaruhi perkembangan tanah, dan terutama kapasitas infiltrasi. Kehilangan air secara khusus lebih rendah namun menyebabkan durasi limpasan yang lebih lama.
Pengaruh aktivitas manusia terhadap kehilangan tanah dijelaskan oleh Kartasapoetra et al. (2005). Faktor kegiatan manusia selain dapat mempercepat terjadinya erosi karena perlakuan-perlakuannya yang negatif, dapat pula memegang peranan yang penting dalam usaha pencegahan erosi yaitu dengan perlakuan-perlakuan yang positif. Perlakuan negatif dan positif tersebut bergantung terhadap penerapan kaidah konservasi dalam pengolahan tanahnya..
2.3 Metode Pengukuran Erosi
Besarnya erosi dapat diketahui secara tepat dengan melakukan pengukuran langsung di lapangan. Arsyad (2006) mengemukakan beberapa metode dalam mengukur erosi, yaitu:
1. Kotak penampung tanah tererosi, digunakan untuk menampung erosi pada setiap kejadian hujan.
2. Petak percobaan di lapangan, berukuran satu meter persegi yang digunakan untuk mendapatkan hubungan antara besarnya erosi dengan sifat-sifat fisik tanah atau penutup tanah untuk suatu tipe tanah dengan tanaman penutup tertentu.
3. Pengukuran kandungan sedimen sungai, yaitu dengan mengukur banyaknya sedimen tersuspensi yang terbawa oleh air sungai pada suatu DAS.
4. Survei sedimentasi reservoir, ditentukan dengan memperkirakan tebalnya endapan di berbagai tempat dalam reservoir. Endapan pada reservoir berasal dari sedimen yang terbawa oleh air sungai.
5. Tongkat pengukur, digunakan untuk mengukur besarnya erosi yang terjadi untuk suatu massa tertentu. Pengukuran ini bersifat kasar (kurang akurat) dalam pembacaan skala.
6. Survei tanah, ditentukan berdasarkan tebalnya horizon tanah A atau lapisan atas tanah yang hilang.
2.4 Metode Pendugaan Erosi
Wischmeier dan Smith (1978) menjelaskan suatu metode untuk menduga erosi di suatu lahan. Model tersebut merupakan model parametrik yang dapat digunakan untuk menduga erosi dalam suatu DAS, yaitu persamaan Universal Soil Loss Equation (USLE), dengan rumus sebagai berikut:
... (1) Sedangkan, erosi potensial dihitung dengan persamaan berikut:
... (2) keterangan:
A : Erosi aktual (ton/ha/tahun) Ap : Erosi potensial (ton/ha/tahun)
K : Indeks kepekaan tanah terhadap erosi (erodibilitas tanah) LS : Indeks panjang dan kemiringan lereng
C : Indeks penutup oleh tanaman (vegetasi) P : Indeks tindakan pencegahan erosi (konservasi)
2.4.1 Indeks Erosivitas Hujan
Persamaan yang digunakan untuk menghitung indeks erosivitas hujan beragam, antara lain menurut Bols (1978) diacu dalam Hardiyatmo (2006) khusus untuk Kepulauan Jawa dan Madura dihitung dengan persamaan berikut:
, , 0, , ... (3)
Perbandingan nilai erosivitas yang dihitung tanpa data hujan harian maksimum dan jumlah hari hujan dijelaskan oleh Lenvain (1989) diacu dalam Asdak (2007) dengan persamaan berikut:
, , ... (4) ∑ ... (5) keterangan:
Rm : indeks erosivitas hujan bulanan Pm : hujan bulanan (cm)
HH : jumlah hari hujan dalam satu bulan
Pmax :hujan harian maksimum pada bulan yang bersangkutan (cm) R : indeks erosivitas hujan tahunan
i : bulan ke-
Wischmeier dan Smith (1965) menyatakan bahwa kehilangan tanah oleh percikan air hujan berhubungan dengan erosivitas air hujan dan intensitas hujan maksimum dalam 30 menit, sedangkan menurut Hudson erosi hampir seluruhnya disebabkan oleh hujan dengan intensitas lebih besar dari 25 mm/jam (Morgan 2005).
Wischmeier dan Smith (1965) menjelaskan indeks erosivitas dalam persamaan berikut:
0 8 ... (6)
∑ ... (7)
∑ ... (8) keterangan:
EI30 : indeks interaksi energi kinetik hujan dengan intensitas hujan maksimum 30 menit
I30 : intensitas hujan maksimum dalam 30 menit (cm/jam) R : indeks erosivitas hujan tahunan
Sedangkan menurut Hudson (1965) dalam Morgan (2005), untuk menghitung indeks erosivitas di daerah hujan tropis menggunakan persamaan berikut:
0, 8 , ... (9)
keterangan:
Ek : energi kinetik air hujan (MJ/ha/mm) I : intensitas hujan (mm/jam)
2.4.2 Indeks Erodibilitas Tanah
Erodibilitas adalah kemampuan tanah untuk menahan energi kinetik air hujan. Indeks erodibilitas menyatakan laju erosi per indeks erosivitas hujan. Indeks erodibilitas tanah dihitung dengan persamaan Wischmeier dan Smith (1978) berikut:
K , , , , ,
...
(10) keterangan:K : indeks erodibilitas tanah
M : (% debu + % pasir sangat halus) x (100 - % lempung) a : persentase bahan organik (% C-organik x 1,724) (Tabel 2.1) b : kode struktur tanah (Tabel 2.2)
c : kelas permeabilitas profil tanah (Tabel 2.3) Tabel 2.1 Nilai bahan organik
Pisahan Organik (%)
Kelas Nilai C-Organik Bahan Organik
< 1 < 1,724 Sangat rendah 0
1,0 - 2,0 1,724 – 3,650 Rendah 1
2,1 – 3,0 4,024 – 5,574 Sedang 2
3,1 – 5,0 5,766 – 11,444 Tinggi 3
> 5 > 11,444 Sangat tinggi 4
Sumber: Purwowidodo (2002)
Tabel 2.2 Kode struktur tanah
Kelas Struktur Tanah Kode
Granuler sangat halus (<1 mm) 1
Granuler halus (1 sampai 2 mm) 2
Granuler sedang sampai kasar (2 sampai 10 mm) 3 Berbentuk blok, blocky, plat, massif 4
Tabel 2.3 Kode permeabilitas profil tanah
Kelas Permeabilitas Kecepatan (cm/jam) Kode
Sangat lambat < 0,5 6
Lambat 0,5 sampai 2,0 5
Lambat sampai sedang 2,0 sampai 6,3 4
Sedang 6,3 sampai 12,7 3
Sedang sampai cepat 12,7 sampai 25,4 2
Cepat > 25,4 1
Sumber: Arsyad (2006)
Nilai K dapat diklasifikasikan ke dalam enam kelas, yang dijelaskan pada Tabel 2.4.
Tabel 2.4 Klasifikasi indeks K tanah
Kelas Nilai K Harkat
1 0,00 – 0,10 Sangat Rendah
2 0,11 – 0,21 Rendah
3 0,22 – 0,32 Sedang
4 0,33 – 0,44 Agak Tinggi
5 0,45 – 0,55 Tinggi
6 0,56 – 0,64 Sangat Tinggi
Sumber: Dangler dan El Swaify (1976) diacu dalam Arsyad (2006)
2.4.3 Indeks Panjang dan Kemiringan Lereng
Indeks panjang dan kemiringan lereng dihitung dengan persamaan Wischmeier dan Smith (1978) berikut:
LS 5, ,5 0,0 5 ... (11) keterangan:
LS : indeks panjang dan kemiringan lereng λ : panjang lereng (m)
;
;
d adalah jarak datarBeda tinggi (ΔT) = ∑ garis kontur x IC; Interval Kontur (IC) = 1/2000 x faktor skala m : konstanta
m = 0,5 jika s ≥ 5 %
m = 0,4 jika 3,5 ≥ s ≥ 4,5 % m = 0,3 jika 3 ≥ s ≥ 1 %
m = 0,2 jika s ≤ 1 % : kemiringan lereng (0)
/ α , 0,5 α , α , ... (12) keterangan:
LS : indeks panjang dan kemiringan lereng m : 0,5 untuk lereng 5 % atau lebih
0,4 untuk lereng 3,5 - 4,9 % 0,3 untuk lereng 3,5% C : 34,71
α : sudut lereng l : panjang lereng (m)
Persamaan lain yang digunakan untuk mengukur panjang dan kemiringan lereng terutama dalam aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG), yaitu persamaan Moore et al. (1993) diacu dalam Gitas et al. (2009) berikut:
, / , , / 0.08 , ... (13)
keterangan:
LS : indeks panjang dan kemiringan lereng As : akumulasi aliran (m2/m)
β : kemiringan lereng (0)
2.4.4 Indeks Penutupan Tanah oleh Tanaman
Penutupan tanah oleh tanaman berpengaruh terhadap erosi aktual. Menurut USDA (1978) yang diacu dalam Asdak (2007), faktor penutupan tanah (nilai C) dapat ditentukan berdasarkan persentase penutupan tajuk, kondisi penutupan tumbuhan bawah, dan tinggi jatuh air hujan dari tajuk pohon ke permukaan tanah. Faktor penutupan tanah (nilai C) dijelaskan dalam Tabel 2.5 dan Tabel 2.6. Tabel 2.5 Faktor VM (C) untuk daerah berhutan yang tidak terganggu
Tajuk Efektif* (%) Serasah Hutan** (%) Nilai VM***
100 – 75 100 – 90 0,0001 – 0,001
75 – 40 85 – 75 0,002 – 0,004
35 - 20 70 - 40 0,003 – 0,009
Keterangan: * = Bila luas tajuk efektif kurang dari 20 % daerah tersebut dapat dianggap sebagai padang rumput atau tanah kosong/tidak produktif
** = Serasah hutan diasumsikan mempunyai ketebalan 2,5 cm pada daerah naungan. *** = Nilai VM berkaitan dengan daerah naungan . Tajuk yang rendah efektif dalam
mengurangi dampak negatif air hujan terhadap permukaan tanah dengan menurunkan nilai VM. Tajuk yang tinggi, lebih dari 13 meter, kurang efektif dalam mengurangi dampak negatif air hujan, dan dengan demikian tidak berpengaruh terhadap besarnya nilai VM.
2.4.5 Indeks Tindakan Konservasi Tanah
Faktor tindakan konservasi tanah (nilai P) merupakan nisbah antara besarnya erosi dari tanah dengan suatu tindakan konservasi tertentu terhadap besarnya erosi yang diolah menurut arah lereng. Nilai tindakan konservasi tanah disajikan dalam Tabel 2.7.
Tabel 2.7 Nilai faktor P untuk berbagai tindakan konservasi tanah khusus Tindakan khusus konservasi tanah Nilai P Teras Bangku*
Konstruksi baik 0,04
Konstruksi sedang 0,15
Konstruksi kurang baik 0,35
Teras tradisional 0,40
Strip tanaman rumput Bahia 0,40
Pengolahan tanah dan penanaman menurut garis kontur
Kemiringan 0 – 8% 0,50
Kemiringan 9 – 20% 0,75
Kemiringan lebih dari 20% 0,90
Tanpa tindakan konservasi 1,00
Keterangan: * = Konstruksi teras bangku dinilai dari kerataan dasar teras dan keadaan talud teras
Sumber: Arsyad (2006)
2.5 Tingkat Bahaya Erosi
Departemen Kehutanan (1986) diacu dalam Hardjowigeno (2007) menggunakan pendekatan tebal solum tanah dan besarnya erosi sebagai dasar untuk menentukan tingkat bahaya erosi (TBE). Semakin dangkal solum tanah, maka semakin sedikit tanah yang boleh tererosi. Penentuan tingkat bahaya erosi disajikan dalam Tabel 2.8.
Tabel 2.8 Tingkat bahaya erosi tanah
Tebal Solum (cm) Kelas Bahaya Erosi
I II III IV V
Laju Erosi Tanah
(ton/ha/tahun) < 15 15-60 60-180 180–480 > 480
Tebal (> 90) Sangat
Ringan Ringan Sedang Berat
Sangat Berat
Sedang (60-90) Ringan Sedang Berat Sangat Berat
Sangat Berat
Tipis (30-60) Sedang Berat Sangat Berat
Sangat Berat
Sangat Berat
Sangat tipis (< 30) Berat Sangat Berat Sangat Berat Sangat Berat Sangat Berat
Bahaya erosi menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) adalah perkiraan jumlah tanah yang hilang maksimum yang akan terjadi pada suatu lahan bila pengelolaan tanah tidak mengalami perubahan, sedangkan tingkat bahaya erosi (TBE) ditentukan berdasarkan atas perbandingan antara jumlah tanah yang tererosi dengan kedalaman (efektif) tanah tanpa memperhatikan jangka waktu kelestarian yang diharapkan, jumlah erosi yang diperbolehkan maupun kecepatan proses pembentukan tanah (Hardjowigeno 2007).
2.6 Penentuan Erosi yang Dibolehkan
Penetapan batas tertinggi laju erosi yang masih dapat dibiarkan atau ditoleransikan adalah perlu oleh karena tidaklah mungkin menekan laju erosi menjadi nol dari tanah-tanah yang berlereng. Akan tetapi suatu kedalaman tanah tertentu harus dipelihara agar terdapat suatu volume tanah yang cukup dan baik bagi tempat berjangkarnya akar tanaman dan untuk tempat menyimpan air serta unsur hara yang diperlukan oleh tanaman, sehingga tanaman atau tumbuhan dapat tumbuh dengan baik (Arsyad 2006).
Menurut Kartasapoetra et al. (2005), karena adanya pengaruh iklim (hujan dan angin) dan pergeseran-pergeseran dalam tanah (tektonis) serta perbuatan-perbuatan manusia yang tidak memperhatikan ketentuan pengawetan tanah dan air, maka dapat ditentukan bahwa sangat sulit untuk meniadakan dan atau mencegah terjadinya erosi sama sekali. Penetapan nilai erosi yang diperbolehkan dapat menggunakan deskripsi dalam Tabel 2.9.
Tabel 2.9 Pedoman penetapan nilai erosi yang dibolehkan (T)
Sifat Tanah Nilai T
(ton/ha/th)
1. Tanah dangkal di atas batuan 1,12
2. Tanah dalam, di atas batuan 2,24
3. Tanah dengan lapisan bawah (subsoil) padat, di atas substrata
yang tidak berkonsolidasi (telah mengalami pelapukan) 4,48 4. Tanah dengan lapisan bawahnya berpermeabilitas lambat, di
atas bahan yang tidak terkonsolidasi 8,96 Tanah dengan lapisan bawahnya berpermeabilitas sedang, di
atas bahan yang tidak terkonsolidasi 11,21 6. Tanah dengan lapisan bawahnya permeable (agak cepat), di
atas bahan yang tidak terkonsolidasi 13,45
Menurut Utomo (1989) diacu dalam Hardjowigeno (2007), nilai erosi yang diperbolehkan (T) yang dikemukakan oleh Thompson (1957) adalah terlalu rendah dan mungkin tidak akan pernah dapat tercapai melalui pengelolaan tanah di Indonesia. Oleh karena itu Arsyad (1989) menyatakan bahwa T maksimum dapat mencapai sekitar 25 ton/ha/tahun (Tabel 2.10).
Tabel 2.10 Pedoman penetapan nilai erosi yang dibolehkan (T) di Ifndonesia
Sifat Tanah Nilai T
(ton/ha/th) 1. Tanah sangat dangkal di atas batuan melapuk (tidak
terkonsolidasi) 4,0
2. Tanah dangkal di atas bahan telah melapuk 8,0 3. Tanah dengan kedalaman sedang di atas batuan telah melapuk 12,0 4. Tanah dalam dengan lapisan bawah kedap air di atas substrata
yang telah melapuk 14,0
5. Tanah dengan lapisan bawahnya berpermeabilitas lambat, di atas
substrata telah melapuk 16,0
6. Tanah dengan lapisan bawahnya berpermeabilitas sedang, di atas
substrata telah melapuk 20,0
7. Tanah dengan lapisan bawahnya permeable (agak cepat), di atas
substrata telah melapuk 25,0
Sumber: Arsyad (1989) diacu dalam Hardjowigeno (2007)
2.7 Indeks Bahaya Erosi
Nilai indeks bahaya erosi (IBE) berguna untuk mengetahui seberapa besar laju erosi yang terjadi akan membahayakan kelestarian keproduktifan tanah yang bersangkutan (Purwowidodo 2002). Nilai IBE dihitung merupakan perbandingan antara erosi potensial dengan erosi yang diperbolehkan. Erosi potensial merupakan erosi yang dihitung dengan persamaan USLE tanpa memperhitungkan faktor vegetasi dan tindakan konservasi tanah. Manfaat dari indeks bahaya erosi adalah untuk mengetahui erosi maksimum yang dapat terjadi dengan memperhatikan kelestarian tanah.
Indeks bahaya erosi dihitung dengan persamaan Hammer (1981) diacu dalam Arsyad (2006) sebagai berikut:
... (14) keterangan:
IBE : indeks bahaya erosi
Ap : erosi potensial (ton/ha/tahun)
Tabel 2.6 Faktor Penutupan tanah oleh tanaman (Nilai C) Tipe dan tinggi tajuk Penutup tajuk (%) Jenis penutup tumbuhan bawah*
Nilai C untuk tipe tajuk tertentu dan kondisi tumbuhan bawah tanah penutup permukaan tanah Persentase tumbuhan bawah dan serasah
0 20 40 60 80 95-100
Tak ada tajuk yang
berarti
- G 0.45 0.20 0.10 0.042 0.013 0.003
W 0.45 0.24 0.15 0.090 0.043 0.011
Tajuk rumput liar tinggi atau semak pendek (tinggi jatuh 0.5) 25
G 0.36 0.17 0.09 0.038 0.012 0.003
W 0.36 0.20 0.13 0.082 0.041 0.011
50
G 0.26 0.13 0.07 0.035 0.012 0.003
W 0.26 0.16 0.11 0.075 0.039 0.011
75
G 0.17 0.10 0.06 0.031 0.011 0.003
W 0.17 0.12 0.09 0.067 0.038 0.011
Banyak
semak-semak (tinggi jatuh 2 m)
25
G 0.40 0.18 0.09 0.040 0.013 0.003
W 0.40 0.22 0.14 0.085 0.042 0.011
50
G 0.34 0.16 0.09 0.38 0.012 0.003
W 0.34 0.19 0.13 0.81 0.041 0.011
75
G 0.28 0.14 0.08 0.036 0.012 0.003
W 0.28 0.17 0.12 0.077 0.040 0.011
Pohon-pohonan tapi sedikit
semak (tinggi jatuh 4 m)
25
G 0.42 0.19 0.10 0.041 0.013 0.003
W 0.42 0.23 0.14 0.087 0.042 0.011
50
G 0.39 0.18 0.09 0.040 0.013 0.003
W 0.39 0.21 0.14 0.087 0.042 0.011
75
G 0.36 0.17 0.09 0.039 0.012 0.003
W 0.36 0.20 0.13 0.083 0.14 0.011
Keterangan: *G = penutup permukaan adalah rumput, hancuran tuff dipadatkan, atau sampah kedalaman minimum 5 cm
*W = penutup permukaan seperti rumput dengan sedikit akar lateral di dekat permukaan, dan/atau residu tidak membusuk
Sumber: USDA (1978) dalam Hardiyatmo (2006)
Tabel 2.11 Kelas-kelas indeks bahaya erosi
Indeks Bahaya Erosi Kelas
0,00 – 1,00 Rendah
1,01 – 4,00 Sedang
4,01 – 10,00 Tinggi
≥ 10,00 Sangat Tinggi
Sumber: Hammer (1981) diacu dalam Arsyad (2006)
2.8 Pendugaan Erosi dengan Aplikasi Sistem Informasi Geografis
Beberapa Alasan penggunaan SIG menurut Prahasta (2002), antara lain: 1. SIG menggunakan data spasial dan atribut secara terintegrasi sehingga
sistemnya dapat menjawab baik pertanyaan spasial (berikut pemodelannya) maupun spasial – memiliki kemampuan analisis spasial dan non-spasial.
2. SIG dapat memisahkan dengan tegas antara bentuk presentasi dengan data-datanya (basisdata) sehingga memiliki kemampuan untuk merubah presentasi dalam berbagai bentuk.
3. SIG memiliki kemampuan-kemampuan untuk menguraikan unsur-unsur yang terdapat di permukaan bumi ke dalam bentuk beberapa layer atau coverage data spasial. Dengan layers ini permukaan bumi dapat “direkonstruksi” kembali atau dimodelkan dalam bentuk nyata (real world tiga dimensi) dengan menggunakan data ketinggian berikut layers tematik yang diperlukan.
Hasil evaluasi ancaman erosi dan pengukuran erosi dapat dipetakan, sehingga peta erosi dapat berupa peta ancaman erosi (erosion risk atau erosion hazard map) dan peta erosi yang telah terjadi. Peta ancaman erosi menunjukkan penyebaran tingkat ancaman atau besarnya erosi yang dapat terjadi, termasuk bahaya longsor pada suatu wilayah, sedangkan peta erosi yang telah terjadi menunjukkan penyebaran besarnya atau tingkat erosi yang telah terjadi pada suatu wilayah (Arsyad 2006).
yang efektif akan memberikan informasi mengenai erosi yang terjadi sekarang, kecenderungannya, serta analisis skenario yang dibolehkan. Penggabungan antara model erosi yang sudah ada, data lapangan, dan data hasil teknologi remote sensing, melalui penggunaan aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG), akan menjadi nilai penting untuk pemanfaatan selanjutnya (Gitas 2009).
2.9 Daerah Aliran Sungai (DAS)
Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah lahan total dan permukaan air yang dibatasi oleh topografi dan yang dengan salah satu cara memberikan sumbangan terhadap debit suatu sungai pada suatu irisan melintang tertentu (Seyhan 1990).
Menurut Lee (1986), suatu tangkapan air (catchment) atau daerah aliran sungai (watershed) diberi batasan dalam hubungannya dengan suatu titik tertentu, yaitu stasiun penakar (gaging station), sepanjang suatu sungai dimana debit air permukaan diukur sebagai aliran permukaan. Daerah tangkapan meliputi semua titik yang terletak diatas elevasi (ketinggian tempat) stasiun penakar dan di dalam bats topografi atau igir (topographic divine) yang memisahkan daerah-aerah aliran sungai di dekatnya. Batas tofografi atau perimeter DAS, mengikuti garis gigir gunung (ridge line) antara satuan-satuan hidrologi, sebagai garis melintang tertutup yang tidak beraturan dan selalu tegak lurus terhadap garis kontur.
Asdak (2007) menjelaskan bahwa DAS merupakan suatu ekosistem dengan unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam (tanah, air, vegetasi) dan sumberdaya manusia sebagai pemanfaat sumberdaya alam. Karakteristik biofisik DAS dalam merespon curah hujan yang jatuh di wilayah DAS tersebut dapat memberikan pengaruh terhadap besar kecilnya evapotranspirasi, infiltrasi, perkolasi, air larian, aliran permukaan, kandungan air tanah, dan aliran sungai. DAS terdiri dari bagian hulu, tengah dan hilir.
Besarnya proses sedimentasi yang berlangsung di dalam waduk/sungai, tidak hanya mempengaruhi kualitas dan umur pakai waduk, tetapi juga mengakibatkan terjadinya pendangkalan pada saluran-saluran irigasi yang mendapatkan aliran air dari waduk atau sungai tersebut (Asdak 2007).
2.10 Sediment Delivery Ratio (SDR)
Sedimen adalah hasil proses erosi, baik berupa erosi permukaan, erosi parit, atau jenis erosi tanah lainnya. Sedimen umumnya mengendap di bagian bawah kaki bukit, di daerah genangan banjir, di saluran air, sungai, dan waduk. Produksi sedimen umumnya mengacu kepada besarnya laju sedimen yang mengalir melewati satu titik pengamatan tertentu dalam suatu sistem DAS. Tidak semua tanah yang tererosi di permukaan daerah tangkapan air akan sampai ke titik pengamatan. Sebagian tanah tererosi tersebut akan terdeposisi di cekungan-cekungan permukaan tanah, di kaki-kaki lereng dan bentuk-bentuk penampungan sedimen lainnya. Oleh karena itu, diperlukan suatu pengukuran sedimen, untuk mengetahui berapa besar sedimen yang terendapkan di sungai (Asdak 2007).
Nisbah antara jumlah sedimen yang terangkut ke dalam sungai terhadap erosi yang terjadi di dalam DAS disebut Sediment Delivery Ratio (SDR). Nilai SDR dihitung berdasarkan persamaan Auerswald (2002) diacu dalam Arsyad (2006) berikut:
0,0 0, 85 , ... (15)
Besarnya erosi aktual yang terjadi dapat dihitung dari nilai SDR yang diketahui dengan menggunakan persamaan menurut Asdak (2007) berikut:
... (16) keterangan:
SDR : Sediment Delivery Ratio A : Luas DAS (Ha)
E : Erosi total (ton/ha/tahun)
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian lapang dilakukan di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW), Kecamatan Cibadak, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat (Gambar 3.1). Pengumpulan data dilakukan selama Bulan Maret 2011 – Juli 2011.
Gambar 3.1 Peta lokasi penelitian.
3.2 Alat dan Bahan
3.3 Pengumpulan Data
3.3.1 Jenis Data
Data yang dikumpulkan meliputi data curah hujan harian, sifat fisik tanah, panjang dan kemiringan lereng, jenis penutup tanah, kerapatan tajuk, dan tindakan konservasi tanah.
3.3.2 Metode Pengumpulan Data
1. Data curah hujan
Data curah hujan yang digunakan diperoleh dari stasiun penakar curah hujan 12A Sekarwangi, Kecamatan Cibadak, Kabupaten Sukabumi yang berjarak dua kilometer dari base camp HPGW. Data curah hujan yang digunakan adalah data selama lima tahun yaitu tahun 2006-2010.
2. Data jenis dan sifat fisik tanah
Data jenis tanah diperoleh dari analisis peta digital jenis tanah HPGW skala 1: 25000 (1983). Sifat fisik tanah diperoleh dengan menganalisis sifat fisik contoh tanah. Contoh tanah diambil dari setiap jenis tanah di lima kelas kemiringan lereng menurut Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 837/Kpts/Um/11/1980 , yaitu 0-8 %, 8-15 %, 15-25 %, 25-40 %, dan lebih dari 40 %.
Penentuan titik pengambilan contoh tanah dilakukan dengan tahapan berikut:
a. Menggabungkan peta kelas kemiringan lereng dengan peta jenis tanah melalui operasi spasial intersect.
b. Menentukan titik contoh tanah yang mewakili setiap kelas lereng di masing-masing jenis tanah.
c. Menentukan koordinat titik contoh tanah di peta dan menemukan koordinatnya di lapangan menggunakan GPS.
Tahapan pengambilan contoh tanah di lapangan, sebagai berikut: a. Membersihkan permukaan tanah.
c. Menggali tanah di sekitar ring tanpa merusak tanah yang berada di atas dan bagian bawah ring.
d. Meratakan tanah di bagian atas dan bawah ring dengan mengiris tanah yang berlebih, lalu metutup ring tersebut.
Setiap contoh tanah dianalisis untuk memperoleh sifat fisik yang mencakup struktur, tekstur tanah, permeabilitas dan bahan organik tanah. Jumlah contoh tanah yang diambil sebanyak 20 contoh. Sejumlah 16 contoh tanah diambil di lapangan, sedangkan 4 sampel tanah menggunakan data dari hasil penelitian Hutapea (2011). Contoh tanah diambil di permukaan tanah di kedalaman 0-10 cm. Analisis sifat fisik tanah dilakukan di Laboratorium Fisika Tanah, Balai Penelitian Tanah, Bogor.
3. Data panjang dan kemiringan lereng
Data panjang dan kemiringan lereng HPGW diperoleh dari hasil analisis peta topografi digital HPGW skala 1:25000 (1983) dengan menggunakan software ArcGIS 9.3. Tahapan analisis data panjang dan kemiringan lereng adalah sebagai berikut:
a. Mengaktifkan program ArcGIS 9.3.
b. Mengaktifkan extension Spatial Analyst dan 3D Analyst.
c. Menampilkan data kontur yang akan dianalisis.
d. Membuat Digital Elevation Model (DEM) dengan menggunakan Sub Menu
Create TIN From Features dalam Menu 3D Analyst.
e. Mengolah data DEM menjadi bentuk grid/raster dengan menggunakan Sub Menu Convert|TIN to Raster dalam Menu 3D Analyst.
f. Menentukan spesifikasi output dalam bentuk grid, yaitu dengan memilih Attribute Elevation dan ukuran grid 50 meter.
g. Mengaktifkan output DEM grid.
h. Membuat kelas lereng dengan menggunakan Sub Menu Slope dalam Menu
Spatial Analyst.
i. Menentukan spesifikasi output grid kelas lereng, yaitu dengan memilih
4. Data penutupan lahan
Data penutupan lahan diperoleh dari data kerapatan tajuk, persentase tajuk, serta persentase serasah dan tumbuhan bawah. Kerapatan tajuk dianalisis secara visual dari Citra GeoEye Google Earth skala 1:20000. Nilai tutupan tajuk merupakan nilai penutupan tajuk yangdiperoleh dari hasil analisis hemispherical image, yaitu image hasil pemotretan tajuk menggunakan kamera digital dengan lensa Fisheye 4.5 mm. Pemotretan dilakukan di lima kelas kerapatan tajuk yang dibedakan berdasarkan hasil analisis visual terhadap citra HPGW. Analisis
hemispherical image dilakukan menggunakan software HemiView. Persentase serasah dan tumbuhan bawah diperoleh dari hasil pengamatan di lapangan.
Penentuan titik pengambilan hemispherical image dilakukan dengan tahapan berikut:
a. Membagi penutupan lahan berdasarkan citra HPGW ke dalam lima kelas kerapatan, yaitu kelas kerapatan agak jarang (tutupan tajuk 20 %), jarang (tutupan tajuk 40 %), sedang (tutupan tajuk 60 %), rapat (tutupan tajuk 80 %), dan sangat rapat (tutupan tajuk 100 %).
b. Menentukan titik yang mewakili setiap kelas kerapatan.
c. Menentukan koordinat titik pemotretan di peta dan menemukan koordinatnya di lapangan menggunakan GPS.
Tahapan pengambilan hemispherical image di lapangan, sebagai berikut: a. Memasang kamera diatas tripod dengan ketinggian tripod ± 0,5 meter di atas
tanah yang datar.
b. Memposisikan kamera dengan bagian depan (lensa) mengarah ke selatan. c. Memutar posisi lensa kamera ke arah atas, sehingga body kamera tegak
lurus tripod.
d. Memotret tajuk dengan posisi pemotret tepat di bawah kamera.
e. Melakukan pemotretan tajuk sebanyak 3 kali ulangan pada kelas kerapatan yang sama, dengan jarak setiap pemotretan 3-5 meter.
Tahapan analisis hemispherical image menggunakan program Hemiview.
a. Menampilkan hemispherical image yang diperoleh dari hasil pemotretan di lapangan.
c. Mengganti properties image menggunakan Sub Menu Site dalam Menu
Setting.
d. Menentukan nama Site, ketinggian, serta koodinat image yang dianalisis. e. Memilih Menu Calculate untuk menjalankan program analisis image.
f. Membuka Sheet Values pada Workbook Microsoft Excel hasil analisis
image.
g. Menggunakan nilai Ground Cover sebagai persentase penutupan tajuk. 5. Data tindakan konservasi tanah
Data tindakan konservasi tanah diperoleh dari hasil pengamatan terhadap usaha-usaha pencegahan erosi yang dilakukan di HPGW.
3.4 Pengolahan Data
3.4.1 Penentuan Erosi Aktual dan Potensial
Jumlah tanah yang tererosi di HPGW dihitung menggunakan persamaan USLE (Universal Soil Loss Equation). Erosi aktual dihitung dengan persamaan (1), sedangkan erosi potensial dihitung dengan persamaan (2) Indeks Erosivitas hujan bulanan dihitung menggunakan persamaan (3) dan persamaan (4) sebagai perbandingan, sedangkan untuk menghitung erosivitas hujan tahunan menggunakan persamaan (5).
Indeks erodibilitas tanah dihitung dengan persamaan (10). Indeks panjang dan kemiringan lereng dihitung menggunakan dengan persamaan (11). Indeks penggunaan lahan (C) ditentukan berdasarkan persentase penutupan tajuk yang diperoleh dengan melakukan analisis menggunakan software HemiView. Hasil analisis kemudian dibandingkan dengan kriteria nilai C USDA (1978) dalam Tabel 2.5. Indeks tindakan konservasi tanah (P) ditentukan berdasarkan tindakan-tindakan yang dilakukan di HPGW sebagai upaya pencegahan erosi, kemudian dibandingkan dengan deskripsi tindakan konservasi tanah dalam Tabel 2.6.
3.4.2 Penentuan Tingkat Bahaya Erosi
3.4.3 Penentuan Indeks Bahaya Erosi
Indeks bahaya erosi dihitung dengan persamaan (14), dengan memperhitungkan nilai erosi yang diperbolehkan dalam Tabel 2.10. Kelas indeks bahaya erosi menggunakan klasifikasi dalam Tabel 2.11.
3.4.4 Perhitungan Sediment Delivery Ratio
Besarnya nisbah pelepasan sedimen atau Sediment Delivery Ratio (SDR) dihitung menggunakan persamaan (15).
3.5 Pembatasan Sub DAS
Di Kawasan HPGW terdapat beberapa sub DAS yang merupakan bagian dari DAS Cimandiri. Pembatasan sub DAS perlu dilakukan untuk mengetahui luasan sub DAS tersebut yang akan digunakan dalam Sediment Delivery Ratio
(SDR). Batas sub DAS dapat dibangun dari peta digital topografi HPGW dengan tahapan sebagai berikut:
a. Mengaktifkan program ArcView 3.2.
b. Mengaktifkan extension Spatial Analyst dan 3D Analyst.
c. Menampilkan data kontur yang akan dianalisis.
d. Membuat Digital Elevation Model (DEM) dengan menggunakan Sub Menu
Create TIN From Features dalam Menu Surface.
e. Menentukan spesifikasi output dengan memilih Height Source Elevasi. f. Mengolah data DEM menjadi bentuk grid menggunakan Sub Menu Convert
to Grid dalam Menu Theme.
g. Menentukan spesifikasi output dalam bentuk grid, yaitu dengan menentukan nama DEM dan ukuran grid (6 meter).
h. Mengaktifkan output DEM.
j. Membuat arah aliran menggunakan Sub Menu Map Calculator dalam Menu
Analysis, kemudian mengisi Map Calculator dengan syntax berikut: [DEM].FlowDirection(FALSE)
l. Membuat akumulasi aliran menggunakan Sub Menu Map Calculator dalam Menu Analysis, kemudian mengisi Map Calculator dengan syntax berikut: [FlowDir].FlowAccumulation(NIL)
m. Mengolah hasil operasi tersebut menjadi bentuk grid menggunakan Sub Menu Convert to Grid dalam Menu Theme dengan nama output FlowAcc dan spesifikasi yang sama dengan input.
n. Membuat jaringan sungai (streams) menggunakan Sub Menu Map Calculator dalam Menu Analysis, kemudian mengisi Map Calculator
dengan syntax berikut:
([FlowAcc] < 300.AsGrid).SetNull(1.AsGrid)
o. Mengolah hasil operasi tersebut menjadi bentuk grid menggunakan Sub Menu Convert to Grid dalam Menu Theme dengan nama output Streams dan spesifikasi yang sama dengan input.
p. Melakukan deliniasi jaringan sungai (streams link) menggunakan Sub Menu
Map Calculator dalam Menu Analysis, kemudian mengisi Map Calculator
dengan syntax berikut:
([Streams].StreamLink([FlowDir]))
q. Mengolah hasil operasi tersebut menjadi bentuk grid menggunakan Sub Menu Convert to Grid dalam Menu Theme dengan nama output StreamsLink dan spesifikasi yang sama dengan input.
r. Membatasi sub DAS dari hasil deliniasi jaringan sungai menggunakan Sub Menu Map Calculator dalam Menu Analysis, kemudian mengisi Map Calculator dengan syntax berikut:
([FlowDir].watershed([Streamlink]))
s. Mengolah hasil operasi tersebut menjadi bentuk shapefile menggunakan Sub Menu Convert to Shapefile dalam Menu Theme.
t. Melakukan penggabungan beberapa sub DAS kecil sesuai dengan outlet yang telah ditentukan.
3.6 Pemetaan Erosi
faktor penyebab erosi. Peta tersebut dibuat dalam bentuk vektor. Peta-peta faktor penyebab erosi diolah dari hasil perhitungan indeks parameter erosi yang kemudian dikalkulasikan dengan bantuan Field Calculator untuk mendapatkan laju erosi aktual dan potensial.
Skema prosedur kerja analisis dan pengolahan data menggunakan aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) disajikan pada gambar berikut:
Gambar 3.2 Skema alur urutan kerja pemetaan erosi.
Kalkulasi
Laju erosi aktual
Peta Tingkat Bahaya Erosi Peta Indeks Bahaya Erosi
Laju erosi potensial
RxKxLSxCxP RxKxLS
Peta K Data
curah hujan
Data jenis dan sifat fisik
tanah
Data kerapatan tajuk dan penutupan tanah
Peta LS Peta C Indeks P
Indeks R
Data tindakan konservasi
tanah Data panjang
BAB IV
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Lokasi dan Luas
Kawasan Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) terletak 2,4 km dari poros jalan Sukabumi - Bogor. HPGW berjarak 46 km dari simpang Ciawi dan 12 km dari Sukabumi. Secara Geografis Hutan Pendidikan Gunung Walat berada pada koordinat 106°48'27'' BT sampai 106°50'29'' BT dan 6°54'23'' LS sampai -6°55'35'' LS. Secara administrasi pemerintahan HPGW terletak di wilayah Kecamatan Cibadak, Kabupaten Sukabumi, sedangkan secara administrasi kehutanan termasuk dalam wilayah Dinas Kehutanan Kabupaten Sukabumi.
Luas kawasan Hutan Pendidikan Gunung Walat adalah 359 Ha, yang dibagi menjadi tiga blok, yaitu Blok Timur (Cikatomang) seluas 120 Ha, Blok Barat (Cimenyan) seluas 125 Ha, dan Blok Tengah (Tangkalak) seluas 114 Ha (Fahutan IPB 2009).
4.2 Iklim
Curah hujan tahunan selama lima tahun di HPGW berkisar antara 1500 – 4400 m. Iklim HPGW menurut sistem klasifikasi Schmidt dan Ferguson termasuk zona B yaitu basah. Klasifikasi iklim HPGW menurut Schmidt dan Ferguson termasuk tipe B, dengan dengan nilai Q = 14,3 % - 33 % dan banyaknya curah hujan tahunan berkisar antara 1600 – 4400 mm. Suhu udara maksimum di siang hari 29° C dan minimum 19° C di malam hari (Fahutan IPB 2009).
4.3 Topografi
Tabel 4.1 Distribusi luas kemiringan kereng
Sumber: Hasil analisis peta digital topografi HPGW (1983)
4.4 Tanah
Tanah HPGW adalah jenis podsolik, latosol dan litosol dari batu endapan dan bekuan daerah bukit, sedangkan bagian di barat daya terdapat areal peralihan dengan jenis batuan Karst, sehingga di wilayah tersebut terbentuk beberapa gua alam Karst (gamping). Kelas tanah menurut tingkat kepekaannya di HPGW terdiri dari kelas tanah agak peka, peka,dan sangat peka. Distribusi luas jenis dan kelas kepekaan tanah disajikan dalam Tabel 4.2.
Tabel 4.2 Distribusi luas jenis dan kelas kepekaan tanah
Jenis Tanah Kelas Tanah Luas
Ha % Latosol coklat Agak peka 104,97 29,24 Latosol merah kuning Agak peka 189,52 52,79 Litosol Sangat peka 53,85 15,00 Podsolik merah kuning Peka 10,63 2,96
Total 359,00 100,00
Sumber: Hasil analisis peta digital jenis tanah HPGW (1983)
4.5 Hidrologi
Kawasan HPGW terletak di hulu DAS Cimandiri yang bermuara di Laut Selatan. Jaringan sungainya merupakan jaringan sungai berordo-1 sampai dengan ordo-5. Kawasan HPGW merupakan sumber air bersih yang penting bagi masyarakat sekitarnya terutama di bagian selatan yang mempunyai anak sungai yang mengalir sepanjang tahun, yaitu anak sungai Cipeureu, Citangkalak, Cikabayan, Cikatomas, Legok Pusar, dan Cimenyan.
Kelas Kemiringan Lereng Luas
Ha % 0 - 8 44,44 12,38
Gambar 4.2 Peta Jenis Tanah
0
500
10
LEGENDA
Jenis Tanah
PETA JENIS
TANAH
0 0,5 1 Km
U
Latosol Coklat
Latosol Merah Kuning
Litosol
Podsolik Merah Kuning
[image:31.842.102.738.121.452.2]
Sumber: Hasil analisis peta digital topografi HPGW (1983)
Gambar 4.3 Peta Hidrologi
PETA
HIDROLOGI
31
0
0 0,5 1 Km500
10
U
LEGENDA
Sungai
4.6 Vegetasi
Kawasan HPGW didominasi oleh hutan tanaman yang berumur > 30 tahun. Jenis tanaman dominan adalah damar (Agathis lorantifolia), pinus (Pinus merkusii), dan puspa (Schima wallichii), dan jenis lainnya mahoni (Swietenia macrophylla), kayu afrika (Maesopsis eminii), rasamala (Altingia excelsa), sonokeling (Dalbergia latifolia), gamal (Gliricidae sp) meranti (Shorea sp), dan mangium (Acacia mangium). Di HPGW paling sedikit terdapat 44 jenis tumbuhan, termasuk 2 jenis rotan dan 13 jenis bambu. Selain itu terdapat jenis tumbuhan obat sebanyak 68 jenis Potensi tegakan hutan ± 10.855 m3 kayu damar,
9.471 m3 kayu pinus, 464 m3 puspa, dan 88 m3 kayu mahoni. Pohon damar dan pinus juga menghasilkan getah kopal dan getah pinus. Di HPGW juga ditemukan lebih dari 100 pohon plus damar, pinus, kayu afrika sebagai sumber benih dan bibit unggul (Fahutan IPB 2009).
4.7 Satwa
Di kawasan HPGW terdapat beraneka ragam jenis satwa liar yang meliputi jenis-jenis mamalia, reptilia, burung, dan ikan. Dari kelompok jenis mamalia terdapat babi hutan (Sus scrofa), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), kelinci liar (Nesolagus sp), musang (Paradoxurus hermaphroditic). Dari kelompok jenis burung (Aves) terdapat sekitar 20 jenis burung, antara lain Elang Jawa, Emprit, Kutilang, dll. Jenis-jenis reptilia antara lain biawak, ular, bunglon. Terdapat berbagai jenis ikan sungai seperti ikan lubang dan jenis ikan lainnya. Ikan lubang adalah ikan sejenis lele yang memiliki warna agak merah. Selain itu terdapat pula lebah hutan (odeng, tawon gung, Apis dorsata) (Fahutan IPB 2009).
4.8 Sejarah Kawasan
Tahun 1951 : Kawasan Hutan Gunung Walat sudah mulai ditanami pohon damar (Agathis lorantifolia). Hutan yang ditanam pada tahun 1951/1952 tersebut saat ini telah berwujud sebagai tegakan hutan damar yang lebat di sekitar base camp
Kehutanan, Departemen Pertanian untuk mengusahakan Hutan Gunung Walat menjadi Hutan Pendidikan.
Tahun 1968 : Direktorat Jenderal Kehutanan memberikan bantuan pinjaman Kawasan Hutan Gunung Walat kepada IPB untuk digunakan seperlunya bagi pendidikan kehutanan yang dikelola oleh Fakultas Kehutanan IPB.
Tahun 1969 : Diterbitkan Surat Keputusan Kepala Jawatan Kehutanan Daerah Tingkat I Jawa Barat No. 7041/IV/69 tertanggal 14 Oktober 1969
Tahun 1973 : SK Menteri Pertanian RI 008/Kpts/DJ/I/73 tentang penunjukan komplek Hutan Gunung Walat menjadi Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW). Pengelolaan kawasan hutan Gunung Walat seluas 359 Ha dilaksanakan oleh IPB dengan status hak pakai sebagai hutan pendidikan dan dikelola Unit Kebun Percobaan IPB dengan jangka waktu 20 tahun. Pada tahun 1973 penanaman telah mencapai 53%. Tahun 1980 : Seluruh wilayah HPGW telah berhasil ditanami berbagai
jenis tanaman, yaitu damar (Agathis lorantifolia), pinus (Pinus merkusii), puspa (Schima wallichii), kayu afrika (Maesopsis eminii), mahoni (Swietenia macrophylla), rasamala (Altingia excelsa), sonokeling (Dalbergia latifolia), gamal (Gliricidae sp), meranti (Shorea sp), dan akasia (Acacia mangium).
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Curah Hujan
[image:35.595.108.510.81.665.2]Data curah hujan yang terjadi di lokasi penelitian selama 5 tahun, yaitu Januari 2006 hingga Desember 2010 disajikan dalam Gambar 5.1.
Gambar 5.1 Curah hujan di Kawasan HPGW Januari 2006 – Desember 2010. Curah hujan rata-rata bulanan tertinggi terjadi pada bulan Desember, yaitu 349,36 mm per bulan. Curah hujan rata-rata bulanan terendah terjadi pada bulan Agustus, yaitu 67,52 mm per bulan. Rata-rata curah hujan tahunan selama lima tahun yaitu 2399,04 mm/tahun. Curah hujan tahunan maksimum terjadi pada tahun 2008, yaitu 2609,9 mm/tahun, sedangkan curah hujan tahunan minimum terjadi pada tahun 2006, yaitu 1505,1 mm/tahun.
Iklim HPGW menurut sistem klasifikasi Schmidt dan Ferguson termasuk zona B, yaitu basah, dimana rata-rata jumlah bulan kering (curah hujan < 60 mm/bulan) adalah 1,8 bulan dan rata-rata jumlah bulan basah (curah hujan > 100 mm/bulan) adalah 8,6 bulan, dengan nilai Q 0,21. Nilai Q merupakan hasil perbandingan antara jumlah bulan kering dengan jumlah bulan basah.
5.2 Indeks Erosivitas Hujan
Hujan berperan penting terhadap pemecahan agregat tanah yang menyebabkan pengangkutan dan perpindahan tanah. Energi kinetik hujan
0 100 200 300 400 500 600
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
CH (mm)
mempunyai sifat perusak. Sifat tersebut yang dikenal sebagai erosivitas hujan. Indeks erosi dapat dihitung berdasarkan data hujan harian dan hujan bulanan.
Hasil perhitungan indeks erosivitas rata-rata tahunan menggunakan persamaan Bols (1978) yaitu 1893,39 sedangkan indeks erosivitas berdasarkan persamaan Lenvain (1989) yaitu 1744,06. Indeks erosivitas hujan disajikan dalam Tabel 5.1.
Tabel 5.1 Rata-rata curah hujan dan indeks erosivitas hujan (R)
Tahun Curah hujan (per tahun) Erosivitas hujan
Bols (1978) Lenvain (1989)
2006 1505,1 1010,84 985,424 2007 2130,2 1680,01 1508,05 2008 2609,9 2293,55 1929,88 2009 2071 1521,50 1401,51 2010 3679 2961,04 2895,46 Rata-rata 2399,04 1893,39 1744,06
Persamaan Bols (1978) menggunakan data jumlah hari hujan, dan hujan harian maksimum pada setiap bulan, selain jumlah hujan bulanan, sedangkan persamaan Lenvain (1989) hanya menggunakan data jumlah hujan bulanan. Persamaan yang menghitung indeks erosivitas yang menggunakan data bulanan hanya digunakan jika data curah hujan sangat terbatas. Secara teoritis, semakin detail data hujan yang digunakan akan menghasilkan perhitungan yang lebih baik, sehingga dalam penelitian ini, indeks erosivitas hujan yang digunakan selanjutnya adalah hasil perhitungan menggunakan persamaan Bols (1978), yaitu sebesar 1893,39 mm/tahun.
5.3 Indeks Erodibilitas Tanah
Energi kinetik hujan yang bersifat merusak tidak sepenuhnya menjadi penyebab terjadinya erosi. Erosi dipengaruhi faktor lain, yaitu ketahanan tanah. Tanah memiliki ketahanan yang berbeda-beda dalam menahan kerusakan yang disebabkan energi kinetik hujan.
lereng yang bertujuan untuk mengetahui keragaman nilai erodibilitas. Keragaman nilai erodibilitas tanah disajikan pada Tabel 5.2.
Tabel 5.2 Indeks erodibilitas tanah (K)
Jenis Tanah Kemiringan (%) Tekstur (%) Struktur Bahan Organik (%) Permeabilitas
(cm/jam) K
Debu Pasir Sangat
Halus Liat
Latosol Merah Kuning
0-8 12,95 4,76 30,76 GSK 3,155 11,33 0,141
8-15 3,6 3,60 48,41 GSK 5,913 7,03 0,063
15-25 1,12 1,12 76,58 GSK 8,258 13,45 0,012
25-40 1,24 1,24 79,15 GSK 9,482 19,49 0,012
>40 52 1,22 40 GSK 1,396 1,48 0,428
Litosol
0-8 10 10,49 21 GSK 0,828 4,04 0,223
8-15 51 2,89 30 GSK 2,068 2,92 0,431
15-25 13 7,60 37 GSK 1,172 4,95 0,190
25-40 9 9,42 29 GSK 2,121 5,04 0,181
>40 10 10,79 19 GSK 2,534 4,42 0,217
Latosol Coklat
0-8 24 5,93 37 GSK 0,948 1,96 0,283
8-15 43 0,46 54 GSK 2,896 0,88 0,279
15-25 19 0,61 77 GSK 2,931 0,54 0,138
25-40 18 1,37 73 GSK 2,345 0,99 0,144
>40 20 8,06 27 GSK 1,362 3,19 0,268
Podsolik Merah Kuning
0-8 18 8,66 25 GSK 1,465 3,22 0,263
8-15 21 4,86 47 GSK 1,293 2,16 0,197
15-25 23 8,36 22 GSK 1,069 5,12 0,312
25-40 51 0,61 45 GSK 2,276 2,01 0,332
>40 22 8,06 25 GSK 0,759 3,54 0,291
Keterangan: GSK = Granuler sedang-kasar
Indeks K tertinggi adalah 0,431 yang terdapat di jenis tanah litosol dan di kemiringan tanah 8-15 %, sedangkan nilai K terendah adalah 0,012 terdapat di jenis tanah latosol merah kuning dan di kemiringan tanah 15-40 %.
Keragaman indeks K dipengaruhi oleh tekstur tanah, kandungan bahan organik, serta kecepatan permeabilitas. Tekstur menunjukkan proporsi ukuran butir-butir tanah, yaitu liat, debu dan pasir. Ukuran butir-butir tanah berpengaruh terhadap besarnya erosi yang mungkin terjadi. Pasir memiliki ukuran butir yang paling besar (kasar), sehingga diperlukan tenaga yang besar untuk mengangkutnya. Oleh karena itu, hanya fraksi terkecilnya yang berpengaruh terhadap kepekaan tanah, yaitu pasir sangat halus yang lebih mudah terangkut aliran permukaan.
terhadap erosi. Hal ini disebabkan karena debu dan pasir sangat halus sulit membentuk struktur yang mantap. Dibandingkan dengan debu dan pasir sangat halus, liat yang memiliki ukuran butir yang lebih kecil lebih sulit terangkut aliran permukaan, karena liat mempunyai daya kohesi yang kuat, sehingga gumpalan-gumpalannya sukar dihancurkan (Hardjowigeno 2007)
Struktur tanah menunjukkan susunan butir-butir tanah. Kemantapan struktur tanah dapat menentukan pemecahan agregat tanah menjadi mudah atau sulit. Hasil analisis tanah untuk nilai K menunjukkan tingkat struktur yang sama untuk tanah di seluruh kawasan, yaitu granuler sedang-kasar, sehingga struktur tanah tidak berpengaruh terhadap nilai K pada tanah di HPGW.
Bahan organik merupakan lapisan tanah yang dapat berfungsi sebagai pelindung dari erosivitas air hujan. Menurut hasil penelitian Copley et al. (1944) diacu dalam Arsyad (2006), semakin besar penambahan bahan organik, maka laju erosi semakin kecil. Sedangkan permeabilitas tanah merupakan tingkat kemampuan tanah untuk melewatkan air dalam kondisi jenuh. Nilai permeabilitas tanah yang rendah menunjukkan lambatnya air masuk ke dalam tanah, yang merupakan penyebab erosi yang tinggi, karena kecepatan infiltrasi akan menurun dan menyebabkan aliran permukaan.
Klasifikasi indeks nilai K menurut Dangler dan El-Swaify (1976) diacu dalam Arsyad (2006) disajikan dalam Tabel 5.3.
Tabel 5.3 Nilai Indeks K berdasarkan klasifikasi Dangler dan El-Swaify (1976) Nilai K Kelas Luas
Ha % 0 – 0,1 Sangat Rendah 118,00 32,87
0,11 – 0,21 Rendah 113,19 31,53 0,22 – 0,32 Sedang 80,49 22,42 0,33 – 0,44 Agak Tinggi 47,28 13,17
Total 359,00 100,00
Gambar 5.2 Peta indeks erodibilitas tanah.
PETA INDEKS ERODIBILITAS
TANAH
U
0 0,5 1 Km
LEGENDA Indeks K
0,012 0,063 0,138 0,141 0,144 0,181 0,190 0,217 0,197 0,223
0,263 0,268 0,279 0,283 0,291 0,312 0,332 0,431 0,428
5.4 Indeks Panjang dan Kemiringan Lereng
Panjang lereng dalam perhitungan laju erosi merupakan jarak dari mulai terjadinya aliran air hingga terjadinya endapan akibat kemiringan lereng yang melandai, sedangkan kemiringan lereng merupakan besarnya sudut lereng yang menentukan kecepatan laju erosi yang terjadi. Dalam perhitungan nilai LS, besarnya nilai LS dipengaruhi oleh nilai L dan S. Semakin besar nilai L maka nilai indeks LS akan semakin besar, begitu juga semakin besar nilai S maka nilai indeks LS akan semakin besar. Panjang lereng berpengaruh terhadap indeks LS karena semakin panjang lereng maka tanah yang tererosi akan terbawa semakin jauh dari tempat asalnya yang akan menyebabkan pengendapan di tempat lain. Sedangkan kemiringan lereng akan mempengaruhi kecepatan dari tanah yang terbawa aliran permukaan.
Persamaan USLE tidak memperhitungkan erosi yang terjadi pada saluran-saluran air, sehingga panjang lereng yang digunakan adalah panjang lereng yang kurang dari 122 meter, karena pada batas tersebut aliran permukaan mulai terakumulasi menjadi saluran-saluran air (Trahan 2001). Perhitungan panjang menghasilkan panjang lereng yang lebih dari 122 meter, sehingga indeks LS yang dihasilkan jauh lebih tinggi dari hasil pengukuran di lapangan. Sebaran luas indeks panjang dan kemiringan lereng disajikan dalam Tabel 5.4.
Tabel 5.4 Indeks panjang dan kemiringan lereng (LS)
LS Luas
Ha % 0 – 50 113,95 31,74
50 – 150 188,12 52,40 150 – 300 51,16 14,25 300 – 450 5,35 1,49 > 450 0,43 0,12
Total 359,00 100,00
Gambar 5.3 Peta indeks panjang dan kemiringan lereng.
0 – 50
50 – 150
150 – 300
300 – 450
>450
0 0,5 1 Km
U
PETA INDEKS PANJANG DAN
KEMIRINGAN LERENG
LEGENDA
Indeks LS
5.5 Indeks Penutupan Lahan
[image:42.595.116.515.178.572.2]Indeks penutupan lahan merupakan faktor pengali yang menyebabkan erosi aktual. Jenis penutupan lahan cukup berpengaruh besar tehadap laju erosi yang mungkin terjadi. Jenis tutupan lahan paling baik menurut Arsyad (2006), yaitu di hutan alam dengan serasah banyak dan di tutupan lahan alang-alang murni yang tumbuh subur dengan indeks C 0,001, sedangkan indeks C tertinggi dimiliki oleh tanah kosong (tanpa tutupan lahan), dengan nilai 1. Sehingga, tutupan lahan (C) dapat berpengaruh hingga maksimum seperseribu dalam menentukan erosi aktual. Hasil analisis hemisphericalimage disajikan dalam Tabel 5.5.
Tabel 5.5 Hasil analisis hemisphericalimage dengan perangkat lunak Hemiview
Kelas Kerapatan Titik Penutupan Tajuk (%) Rata-rata (%) Nilai C
1 1.1 0,429 0,20 0,003 1.2 0,160
1.3 0,001
2 2.1 0,217 0,30 0,003 2.2 0,482
2.3 0,215
3 3.1 0,153 0,11 0,003 3.2 0,001
3.3 0,184
4 4.1 0,337 0,28 0,003 4.2 0,148
4.3 0,346
5 5.1 0,465 0,40 0,003 5.2 0,361
5.3 0,380
Tutupan tajuk pohon dapat memperlambat laju air hujan, sehingga energi kinetiknya menjadi lebih kecil, tetapi tidak adanya tumbuhan bawah dan serasah di bawah tegakan tersebut dapat menyebabkan erosi yang lebih besar, karena air hujan yang tertahan oleh tajuk dapat terakumulasi pada ujung daun yang menyebabkan tetesan air hujan dengan butiran yang lebih besar dan energi kinetik yang lebih tinggi berdasarkan tinggi jatuhnya ke permukaan tanah. Erosi pada tegakan pohon yang memiliki tumbuhan bawah dan serasah lebih kecil, karena dapat menyerap energi kinetik air lolos tersebut dan memperlambat aliran pemukaan. Nilai indeks C untuk keseluruhan kawasan HPGW disajikan dalam Tabel 5.6.
Tabel 5.6 Indeks penutupan lahan (C)
Tutupan Lahan C Luas
Ha % Bangunan 0,000 0,83 0,23
Hutan 0,003 358,07 99,74
Rumput 0,011 0,07 0,02
Tanah Kosong 1,000 0,04 0,01
Total 359,00 100,00
Nilai C sebesar 0,000 merupakan nilai dari lahan terbangun, karena tidak adanya tutupan lahan, tetapi air hujan tidak dapat meresap ke dalam tanah, maka indeks C dianggap bernilai 0. Luas keseluruhan dari bangunan yang ada di HPGW yaitu 0,83 Ha atau 0,23 % dari total luas HPGW. Nilai 0,003 merupakan indeks C untuk tutupan lahan berhutan yang tersebar hampir di seluruh total kawasan, yaitu 358,07 Ha atau 99,74 % dari total luas HPGW.
Gambar 5.4 Peta indeks penutupan lahan.
_
PETA INDEKS PENUTUPAN
LAHAN
U
0 0,5 1 Km
0,000 0,003 0,011 1,000
LEGENDA
Indeks C
5.6 Indeks Tindakan Konservasi Tanah
Tindakan konservasi tanah merupakan upaya yang dilakukan dalam pengelolaan tanah dalam rangka menurunkan laju erosi yang mungkin terjadi. Semakin besar indeks tindakan konservasi tanah (P) menunjukkan pengelolaan tanah yang semakin kurang baik, sehingga erosi yang terjadi semakin besar. Nilai P maksimum, yaitu 1 menunjukkan tidak adanya tindakan konservasi yang dilakukan, sedangkan nilai P minimum, yaitu 0,04 menunjukkan tindakan konservasi berupa teras bangku dengan konstruksi yang baik berdasarkan kerataan dasar teras dan keadaan talud teras (Arsyad 2006).
Tindakan konservasi tanah yang dimaksud dalam hal ini adalah tindakan pengolahan lahan menggunakan teras, penanaman dalam strip yang umumnya diterapkan di lahan pertanian, jarang digunakan di lahan berhutan, sehingga di HPGW hampir tidak ditemui tindakan konservasi tanah ini kecuali di lahan bekas persemaian di dekat Base Camp, tetapi luasannya sangat kecil dibandingkan luas keseluruhan kawasan. Dalam penelitian ini, nilai P di HPGW adalah sama dengan satu (P=1). Tidak adanya tindakan konservasi tanah tersebut, maka indeks P tidak berpengaruh terhadap besarnya erosi yang terjadi di HPGW.
5.7 Pendugaan Indeks Bahaya Erosi
Indeks bahaya erosi dihitung berdasarkan perbandingan antara erosi potensial dengan nilai erosi yang diperbolehkan. Erosi potensial merupakan kalkulasi dari indeks erosivitas hujan, erodibilitas tanah, serta panjang dan kemiringan lereng, tanpa memperhitungkan faktor penutupan tanah oleh tanaman.
Gambar 5.6 Peta indeks bahaya erosi.
PETA INDEKS BAHAYA EROSI
0 0,5 1 Km
LEGENDA
Indeks Bahaya Erosi
U
Rendah Sedang
Tinggi
Sangat Tinggi
Berdasarkan hasil perhitungan, laju erosi potensial tertinggi sebesar 482.170,7 ton/ha/tahun atau setebal 40.180,9 mm/tahun (berat jenis tanah 1,2 gram/cm3). Erosi tertinggi ini terjadi pada kelas lereng lebih dari 40 % (sangat curam). Semakin curam kelas lereng, maka energi dan daya angkut aliran permukaan akan semakin besar, sehingga tanah yang tererosi akan semakin tebal. Total erosi potensial yang terjadi sebesar 13.195.922 ton/tahun. Sebaran luas indeks bahaya erosi menurut Hammer (1981) disajikan dalam Tabel 5.7.
Tabel 5.7 Indeks bahaya erosi (IBE)
Kelas IBE Luas
Ha %
Rendah 28,738 8,005
Sedang 0,004 0,001
Tinggi 0,065 0,018
Sangat Tinggi 330,197 91,977
359,000 100,000
Kelas IBE sangat tinggi mendominasi kawasan HPGW dengan luas 330,197 Ha atau 91,977 % dari total luas kawasan HPGW. Kelas ini paling mendominasi kawasan HPGW yang menunjukkan bahwa dengan memperhitungkan erosi yang diperbolehkan untuk kawasan HPGW, indeks bahaya erosi potensial yang terjadi sangat tinggi.
5.8 Pendugaan Tingkat Bahaya Erosi
kemiringan lereng (LS) memiliki kisaran nilai yang lebih kecil dibandingkan indeks penutupan lahan.
Berdasarkan hasil perhitungan, laju erosi aktual tertinggi yaitu sebesar 2.147,1 ton/ha/tahun atau setebal 178,9 mm/tahun (berat jenis tanah 1,2 gram/cm3). Laju erosi tersebut terjadi pada kelas lereng 8 – 15 % (landai), dan tanpa tutupan lahan (tanah kosong). Erosi tertinggi ini dapat terjadi karena tidak adanya tutupan lahan menyebabkan air hujan dapat secara langsung merusak lapisan tanah atas dan daya angkut aliran permukaan akan besar akibat tidak ada yang menghalangi, walaupun energi angkut alirannya rendah karena lereng yang landai. Total erosi dari keseluruhan total kawasan HPGW adalah sebesar 39.643 ton/tahun.
Tingkat bahaya erosi ditentukan berdasarkan laju erosi aktual dan ketebalan solum tanah. Tingkat bahaya erosi diklasifikasikan berdasarkan solum tanah karena semakin tipis solum maka bahaya erosi yang terjadi dapat semakin berat walaupun laju erosinya sama dengan yang terjadi pada solum yang lebih tebal.
Berdasarkan kedalaman solum tanah, keempat jenis tanah di HPGW memiliki solum yang dalam (lebih dari 90 cm) kecuali jenis tanah litosol yang memiliki solum yang dangkal (kurang dari 20 cm), sehingga untuk jenis tanah litosol hanya memiliki dua kelas tingkat bahaya erosi, yaitu berat (laju erosi < 15 ton/ha/tahun) dan sangat berat (laju erosi > 15 ton/ha/tahun). Sebaran luas tingkat bahaya erosi menurut (Departemen Kehutanan 1986) disajikan dalam Tabel 5.8. Tabel 5.8 Tingkat bahaya erosi (TBE)
Laju Erosi
(ton/ha/tahun) Kelas
Luas
Ha % 0 – 15 Sangat Ringan 212,64 59,23
15 – 60 Ringan 15,04 4,19 60 – 180 Sedang 33,50 9,33 180 – 480 Berat 50,69 14,12
> 480 Sangat Berat 47,14 13,13
Total 359,00 100,00
Gambar 5.5 Peta tingkat bahaya erosi.
PETA TINGKAT BAHAYA EROSI
U
LEGENDA
Tingkat Bahaya Erosi
Sangat Ringan Ringan
Sedang Berat
Sangat berat
0 0,5 1 Km
5.9 Pendugaan Sediment Delivery Ratio (SDR)
Semakin tinggi nilai SDR, maka semakin banyak tanah yang terbawa aliran permukaan ke sungai. Nilai maksimum SDR adalah 1, artinya semua tanah yang tererosi masuk ke dalam sungai, tidak ada yang terendapkan di lahan. Berdasarkan hasil pembatasan sub DAS diperoleh enam sub DAS yang berada di kawasan HPGW. Enam sub DAS tersebut memiliki outlet di luar kawasan HPGW. Laju erosi dan nilai SDR di Sub DAS HPGW disajikan dalam Tabel 5.9.
Tabel 5.9 Laju erosi dan nilai SDR di Sub DAS HPGW Sub DAS Luas Sub DAS
(Ha) SDR
Erosi Potensial (ton/tahun)
Erosi Aktual (ton/tahun)
1 34,26 0,170 997.522,8 2.992,6 2 46,30 0,159 2.436.708,1 7.310,1 3 73,49 0,143 1.924.492,4 5.771,3 4 96,35 0,134 3.660.241,0 10.980,7 5 96,39 0,134 1.696.592,4 5.149,4 6 38,49 0,166 366.161,6 1.098,5
Nilai SDR yang digunakan dalam penelitian ini merupakan fungsi dari luas sub DAS, semakin luas sub DAS, maka nilai SDR akan semakin kecil, hal ini dikarenakan jarak dari tempat terjadinya erosi di atas lereng hingga ke saluran air (sungai) akan bertambah jauh, sehingga sedimen yang terbawa ke sungai akan semakin sedikit. Tabel 5.9 menunjukkan bahwa di kawasan HPGW tersebut sebagian besar tanah yang tererosi terendapkan di lahan atau tidak terbawa ke sungai, terlihat dari rata-rata nilai SDR kurang dari 0,2. Hal tersebut dapat disebabkan oleh topografi HPGW yang mendatar pada daerah dekat sungai, sehingga pengendapan sebagian besar terjadi di kaki lereng.
Gambar 5.7 Peta sub DAS di kawasan HPGW.
_
PETA
SUB DAS
Sub DAS 1 Sub DAS 2 Sub DAS 3 Sub DAS 4 Sub DAS 5 Sub DAS 6 Batas HPGW Jaringansungai Outlet
LEGENDA
U
0 0,5 1 Km
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
1. Sebagian besar (92%) wilayah HPGW memiliki Indeks Bahaya Erosi (IBE) potensial sangat tinggi, yaitu dengan laju erosi potensial tertinggi sebesar 40.180,9 mm/tahun, tetapi dengan adanya penutupan lahan berupa hutan yang baik, sehingga sebagian besar (59%) wilayah HPGW termasuk kelas Tingkat Bahaya Erosi (TBE) aktual Sangat Ringan dengan laju erosi aktual tertinggi sebesar 178,9 mm/tahun.
2. Kurang dari 20 % tanah yang tererosi terbawa masuk ke dalam sungai, dan sisanya terendapkan di lahan yang mendatar.
3. Kecilnya laju erosi aktual dibandingkan dengan laju erosi potensial di HPGW menunjukkan salah satu keberhasilan manajemen HPGW dalam hal pengelolaan lahan.
6.2 Saran
1. Hasil perhitungan indeks-indeks USLE sangat ditentukan oleh model perhitungan indeksnya yang nilainya bervariasi untuk setiap model pendugaan, sehingga diperlukan model baru yang lebih tepat untuk kawasan HPGW dengan memperhatikan kondisi morfologi lahan, jenis vegetasi, dan pengolahan tanahnya..
2. Persamaan USLE menghasilkan nilai pendugaan erosi yang cenderung lebih tinggi (overestimate) dari seharusnya, sehingga diperlukan adanya validasi di lapangan untuk mengetahui berapa besar nilai erosi dengan menggunakan metode-metode pengukuran erosi.
INDEKS DAN TINGKAT BAHAYA EROSI KAWASAN
HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT,
KABUPATEN SUKABUMI
NOVIA INDRIATI
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad S. 2006. Konservasi Tanah dan Air. Bogor: IPB Press.
Asdak C. 2007. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Bennett HH. 1955. Elements of Soil Conservation. Second Edition. USA: McGraw-Hill Book Company Inc.
Carson B. 1989. Soil Conservation Strategies for Upland Areas of Indonesia East-West Environment and Policy Institute. Occasional Paper No. 9.
Eden T. 1964. Elements of Tropical Soil Science. Second Edition. London: Macmillan & Co Ltd.
Trahan N. 2001. Modeling Sediment and Contaminant Pathways to the Cedar
River. ESRI Proceeding [online]. http://gis.esri.com/library/userconf/proc02/pap0785/p0785.htm. [14 Februari 2012]
[Fahutan IPB] Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. 2009. Rencana Pengembangan Hutan Pendidikan Gunung Walat 2009 – 2013. Bogor: Fahutan IPB.
Gitas IZ, Douros K, Minakou1 C, Silleos GN, Karydas CG. 2009. Multi-Temporal Soil Erosion Risk Assessment In N. Chalkidiki Using A Modified Usle Raster Model.EARSeL eProceedings 8. Thessaloniki, Januari 2009. Hakim N, Nyakpa MY, Lubis AM, GN Sutopo, Amin M, Go BH, Bailey HH.
1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Lampung: Universitas Lampung Press. Hardiyatmo HC. 2006. Penanganan Tanah Longsor dan Erosi. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Hardjowigeno. 2007. Ilmu Tanah. Jakarta: Akademika Pressindo.
Hardjowigeno S, Widiatmaka. 2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tata Guna Lahan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Hutapea MCL. Erosi Dan Sedimentasi Di Sub Das Berhutan Dan Tidak Berhutan: Studi Kasus Di Hutan Pendidikan Fakultas Kehutanan IPB Gunung Walat, Sukabumi Jawa Barat [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
Jacks GV. 1939. Soil Erosion. Di dalam: Morgan RPC, editor. Soil Erosion and Its Control. New York: Van Reinhold Company.
Kartasapoetra AG, Kartasapoetra G, dan Sutedjo MM. 2