TINJAUAN PUSTAKA
3.3 Pengumpulan Data 1 Jenis Data
3.3.2 Metode Pengumpulan Data
1. Data curah hujan
Data curah hujan yang digunakan diperoleh dari stasiun penakar curah hujan 12A Sekarwangi, Kecamatan Cibadak, Kabupaten Sukabumi yang berjarak dua kilometer dari base camp HPGW. Data curah hujan yang digunakan adalah data selama lima tahun yaitu tahun 2006-2010.
2. Data jenis dan sifat fisik tanah
Data jenis tanah diperoleh dari analisis peta digital jenis tanah HPGW skala 1: 25000 (1983). Sifat fisik tanah diperoleh dengan menganalisis sifat fisik contoh tanah. Contoh tanah diambil dari setiap jenis tanah di lima kelas kemiringan lereng menurut Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 837/Kpts/Um/11/1980 , yaitu 0-8 %, 8-15 %, 15-25 %, 25-40 %, dan lebih dari 40 %.
Penentuan titik pengambilan contoh tanah dilakukan dengan tahapan berikut:
a. Menggabungkan peta kelas kemiringan lereng dengan peta jenis tanah melalui operasi spasial intersect.
b. Menentukan titik contoh tanah yang mewakili setiap kelas lereng di masing- masing jenis tanah.
c. Menentukan koordinat titik contoh tanah di peta dan menemukan koordinatnya di lapangan menggunakan GPS.
Tahapan pengambilan contoh tanah di lapangan, sebagai berikut: a. Membersihkan permukaan tanah.
b. Meletakkan ring yang akan digunakan tegak lurus permukaan tanah, kemudian meletakkan balok kayu di atas ring, lalu dipukul menggunakan palu secara hati-hati, hingga seluruh bagian ring masuk ke dalam tanah.
c. Menggali tanah di sekitar ring tanpa merusak tanah yang berada di atas dan bagian bawah ring.
d. Meratakan tanah di bagian atas dan bawah ring dengan mengiris tanah yang berlebih, lalu metutup ring tersebut.
Setiap contoh tanah dianalisis untuk memperoleh sifat fisik yang mencakup struktur, tekstur tanah, permeabilitas dan bahan organik tanah. Jumlah contoh tanah yang diambil sebanyak 20 contoh. Sejumlah 16 contoh tanah diambil di lapangan, sedangkan 4 sampel tanah menggunakan data dari hasil penelitian Hutapea (2011). Contoh tanah diambil di permukaan tanah di kedalaman 0-10 cm. Analisis sifat fisik tanah dilakukan di Laboratorium Fisika Tanah, Balai Penelitian Tanah, Bogor.
3. Data panjang dan kemiringan lereng
Data panjang dan kemiringan lereng HPGW diperoleh dari hasil analisis peta topografi digital HPGW skala 1:25000 (1983) dengan menggunakan software ArcGIS 9.3. Tahapan analisis data panjang dan kemiringan lereng adalah sebagai berikut:
a. Mengaktifkan program ArcGIS 9.3.
b. Mengaktifkan extension Spatial Analyst dan 3D Analyst.
c. Menampilkan data kontur yang akan dianalisis.
d. Membuat Digital Elevation Model (DEM) dengan menggunakan Sub Menu
Create TIN From Features dalam Menu 3D Analyst.
e. Mengolah data DEM menjadi bentuk grid/raster dengan menggunakan Sub Menu Convert|TIN to Raster dalam Menu 3D Analyst.
f. Menentukan spesifikasi output dalam bentuk grid, yaitu dengan memilih Attribute Elevation dan ukuran grid 50 meter.
g. Mengaktifkan output DEM grid.
h. Membuat kelas lereng dengan menggunakan Sub Menu Slope dalam Menu
Spatial Analyst.
i. Menentukan spesifikasi output grid kelas lereng, yaitu dengan memilih
Input Surface: output DEM grid, satuan output: Percent, dan ukuran grid: 50 meter.
4. Data penutupan lahan
Data penutupan lahan diperoleh dari data kerapatan tajuk, persentase tajuk, serta persentase serasah dan tumbuhan bawah. Kerapatan tajuk dianalisis secara visual dari Citra GeoEye Google Earth skala 1:20000. Nilai tutupan tajuk merupakan nilai penutupan tajuk yangdiperoleh dari hasil analisis hemispherical image, yaitu image hasil pemotretan tajuk menggunakan kamera digital dengan lensa Fisheye 4.5 mm. Pemotretan dilakukan di lima kelas kerapatan tajuk yang dibedakan berdasarkan hasil analisis visual terhadap citra HPGW. Analisis
hemispherical image dilakukan menggunakan software HemiView. Persentase serasah dan tumbuhan bawah diperoleh dari hasil pengamatan di lapangan.
Penentuan titik pengambilan hemispherical image dilakukan dengan tahapan berikut:
a. Membagi penutupan lahan berdasarkan citra HPGW ke dalam lima kelas kerapatan, yaitu kelas kerapatan agak jarang (tutupan tajuk 20 %), jarang (tutupan tajuk 40 %), sedang (tutupan tajuk 60 %), rapat (tutupan tajuk 80 %), dan sangat rapat (tutupan tajuk 100 %).
b. Menentukan titik yang mewakili setiap kelas kerapatan.
c. Menentukan koordinat titik pemotretan di peta dan menemukan koordinatnya di lapangan menggunakan GPS.
Tahapan pengambilan hemispherical image di lapangan, sebagai berikut: a. Memasang kamera diatas tripod dengan ketinggian tripod ± 0,5 meter di atas
tanah yang datar.
b. Memposisikan kamera dengan bagian depan (lensa) mengarah ke selatan. c. Memutar posisi lensa kamera ke arah atas, sehingga body kamera tegak
lurus tripod.
d. Memotret tajuk dengan posisi pemotret tepat di bawah kamera.
e. Melakukan pemotretan tajuk sebanyak 3 kali ulangan pada kelas kerapatan yang sama, dengan jarak setiap pemotretan 3-5 meter.
Tahapan analisis hemispherical image menggunakan program Hemiview.
a. Menampilkan hemispherical image yang diperoleh dari hasil pemotretan di lapangan.
c. Mengganti properties image menggunakan Sub Menu Site dalam Menu
Setting.
d. Menentukan nama Site, ketinggian, serta koodinat image yang dianalisis. e. Memilih Menu Calculate untuk menjalankan program analisis image.
f. Membuka Sheet Values pada Workbook Microsoft Excel hasil analisis
image.
g. Menggunakan nilai Ground Cover sebagai persentase penutupan tajuk. 5. Data tindakan konservasi tanah
Data tindakan konservasi tanah diperoleh dari hasil pengamatan terhadap usaha-usaha pencegahan erosi yang dilakukan di HPGW.
3.4 Pengolahan Data
3.4.1 Penentuan Erosi Aktual dan Potensial
Jumlah tanah yang tererosi di HPGW dihitung menggunakan persamaan USLE (Universal Soil Loss Equation). Erosi aktual dihitung dengan persamaan (1), sedangkan erosi potensial dihitung dengan persamaan (2) Indeks Erosivitas hujan bulanan dihitung menggunakan persamaan (3) dan persamaan (4) sebagai perbandingan, sedangkan untuk menghitung erosivitas hujan tahunan menggunakan persamaan (5).
Indeks erodibilitas tanah dihitung dengan persamaan (10). Indeks panjang dan kemiringan lereng dihitung menggunakan dengan persamaan (11). Indeks penggunaan lahan (C) ditentukan berdasarkan persentase penutupan tajuk yang diperoleh dengan melakukan analisis menggunakan software HemiView. Hasil analisis kemudian dibandingkan dengan kriteria nilai C USDA (1978) dalam Tabel 2.5. Indeks tindakan konservasi tanah (P) ditentukan berdasarkan tindakan- tindakan yang dilakukan di HPGW sebagai upaya pencegahan erosi, kemudian dibandingkan dengan deskripsi tindakan konservasi tanah dalam Tabel 2.6.
3.4.2 Penentuan Tingkat Bahaya Erosi
Tingkat atau kelas bahaya erosi aktual ditentukan berdasarkan laju erosi aktual tahunan dan solum tanah sebagaimana disajikan dalam Tabel 2.8.
3.4.3 Penentuan Indeks Bahaya Erosi
Indeks bahaya erosi dihitung dengan persamaan (14), dengan memperhitungkan nilai erosi yang diperbolehkan dalam Tabel 2.10. Kelas indeks bahaya erosi menggunakan klasifikasi dalam Tabel 2.11.
3.4.4 Perhitungan Sediment Delivery Ratio
Besarnya nisbah pelepasan sedimen atau Sediment Delivery Ratio (SDR) dihitung menggunakan persamaan (15).
3.5 Pembatasan Sub DAS
Di Kawasan HPGW terdapat beberapa sub DAS yang merupakan bagian dari DAS Cimandiri. Pembatasan sub DAS perlu dilakukan untuk mengetahui luasan sub DAS tersebut yang akan digunakan dalam Sediment Delivery Ratio
(SDR). Batas sub DAS dapat dibangun dari peta digital topografi HPGW dengan tahapan sebagai berikut:
a. Mengaktifkan program ArcView 3.2.
b. Mengaktifkan extension Spatial Analyst dan 3D Analyst.
c. Menampilkan data kontur yang akan dianalisis.
d. Membuat Digital Elevation Model (DEM) dengan menggunakan Sub Menu
Create TIN From Features dalam Menu Surface.
e. Menentukan spesifikasi output dengan memilih Height Source Elevasi. f. Mengolah data DEM menjadi bentuk grid menggunakan Sub Menu Convert
to Grid dalam Menu Theme.
g. Menentukan spesifikasi output dalam bentuk grid, yaitu dengan menentukan nama DEM dan ukuran grid (6 meter).
h. Mengaktifkan output DEM.
j. Membuat arah aliran menggunakan Sub Menu Map Calculator dalam Menu
Analysis, kemudian mengisi Map Calculator dengan syntax berikut: [DEM].FlowDirection(FALSE)
k. Mengolah hasil operasi tersebut menjadi bentuk grid menggunakan Sub Menu Convert to Grid dalam Menu Theme dengan nama output FlowDir dan spesifikasi yang sama dengan input.
l. Membuat akumulasi aliran menggunakan Sub Menu Map Calculator dalam Menu Analysis, kemudian mengisi Map Calculator dengan syntax berikut: [FlowDir].FlowAccumulation(NIL)
m. Mengolah hasil operasi tersebut menjadi bentuk grid menggunakan Sub Menu Convert to Grid dalam Menu Theme dengan nama output FlowAcc dan spesifikasi yang sama dengan input.
n. Membuat jaringan sungai (streams) menggunakan Sub Menu Map Calculator dalam Menu Analysis, kemudian mengisi Map Calculator
dengan syntax berikut:
([FlowAcc] < 300.AsGrid).SetNull(1.AsGrid)
o. Mengolah hasil operasi tersebut menjadi bentuk grid menggunakan Sub Menu Convert to Grid dalam Menu Theme dengan nama output Streams dan spesifikasi yang sama dengan input.
p. Melakukan deliniasi jaringan sungai (streams link) menggunakan Sub Menu
Map Calculator dalam Menu Analysis, kemudian mengisi Map Calculator
dengan syntax berikut:
([Streams].StreamLink([FlowDir]))
q. Mengolah hasil operasi tersebut menjadi bentuk grid menggunakan Sub Menu Convert to Grid dalam Menu Theme dengan nama output StreamsLink dan spesifikasi yang sama dengan input.
r. Membatasi sub DAS dari hasil deliniasi jaringan sungai menggunakan Sub Menu Map Calculator dalam Menu Analysis, kemudian mengisi Map Calculator dengan syntax berikut:
([FlowDir].watershed([Streamlink]))
s. Mengolah hasil operasi tersebut menjadi bentuk shapefile menggunakan Sub Menu Convert to Shapefile dalam Menu Theme.
t. Melakukan penggabungan beberapa sub DAS kecil sesuai dengan outlet yang telah ditentukan.
3.6 Pemetaan Erosi
Data hasil pendugaan erosi aktual dan erosi potensial HPGW dipetakan menggunakan software ArcView 3.2, yaitu dengan melakukan overlay peta-peta
faktor penyebab erosi. Peta tersebut dibuat dalam bentuk vektor. Peta-peta faktor penyebab erosi diolah dari hasil perhitungan indeks parameter erosi yang kemudian dikalkulasikan dengan bantuan Field Calculator untuk mendapatkan laju erosi aktual dan potensial.
Skema prosedur kerja analisis dan pengolahan data menggunakan aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) disajikan pada gambar berikut:
Gambar 3.2 Skema alur urutan kerja pemetaan erosi.
Kalkulasi
Laju erosi aktual
Peta Tingkat Bahaya Erosi Peta Indeks Bahaya Erosi
Laju erosi potensial
RxKxLSxCxP RxKxLS
Peta K Data
curah hujan
Data jenis dan sifat fisik
tanah
Data kerapatan tajuk dan penutupan tanah
Peta LS Peta C Indeks P
Indeks R Data tindakan konservasi tanah Data panjang dan kemiringan lereng dan
BAB IV
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Lokasi dan Luas
Kawasan Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) terletak 2,4 km dari poros jalan Sukabumi - Bogor. HPGW berjarak 46 km dari simpang Ciawi dan 12 km dari Sukabumi. Secara Geografis Hutan Pendidikan Gunung Walat berada pada koordinat 106°48'27'' BT sampai 106°50'29'' BT dan -6°54'23'' LS sampai - 6°55'35'' LS. Secara administrasi pemerintahan HPGW terletak di wilayah Kecamatan Cibadak, Kabupaten Sukabumi, sedangkan secara administrasi kehutanan termasuk dalam wilayah Dinas Kehutanan Kabupaten Sukabumi.
Luas kawasan Hutan Pendidikan Gunung Walat adalah 359 Ha, yang dibagi menjadi tiga blok, yaitu Blok Timur (Cikatomang) seluas 120 Ha, Blok Barat (Cimenyan) seluas 125 Ha, dan Blok Tengah (Tangkalak) seluas 114 Ha (Fahutan IPB 2009).
4.2 Iklim
Curah hujan tahunan selama lima tahun di HPGW berkisar antara 1500 – 4400 m. Iklim HPGW menurut sistem klasifikasi Schmidt dan Ferguson termasuk zona B yaitu basah. Klasifikasi iklim HPGW menurut Schmidt dan Ferguson termasuk tipe B, dengan dengan nilai Q = 14,3 % - 33 % dan banyaknya curah hujan tahunan berkisar antara 1600 – 4400 mm. Suhu udara maksimum di siang hari 29° C dan minimum 19° C di malam hari (Fahutan IPB 2009).
4.3 Topografi
HPGW terletak pada ketinggian 460-715 mdpl. Topografi bervariasi dari landai sampai bergelombang terutama di bagian selatan, sedangkan ke bagian utara mempunyai topografi yang semakin curam. Pada punggung bukit kawasan ini terdapat dua patok triangulasi KN 2.212 (670 m dpl.) dan KN 2.213 (720 m dpl.). Kemiringan lereng di HPGW dibagi menjadi lima kelas yang disajikan dalam Gambar 4.1 dan Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Distribusi luas kemiringan kereng
Sumber: Hasil analisis peta digital topografi HPGW (1983)
4.4 Tanah
Tanah HPGW adalah jenis podsolik, latosol dan litosol dari batu endapan dan bekuan daerah bukit, sedangkan bagian di barat daya terdapat areal peralihan dengan jenis batuan Karst, sehingga di wilayah tersebut terbentuk beberapa gua alam Karst (gamping). Kelas tanah menurut tingkat kepekaannya di HPGW terdiri dari kelas tanah agak peka, peka,dan sangat peka. Distribusi luas jenis dan kelas kepekaan tanah disajikan dalam Tabel 4.2.
Tabel 4.2 Distribusi luas jenis dan kelas kepekaan tanah
Jenis Tanah Kelas Tanah Luas
Ha % Latosol coklat Agak peka 104,97 29,24 Latosol merah kuning Agak peka 189,52 52,79 Litosol Sangat peka 53,85 15,00 Podsolik merah kuning Peka 10,63 2,96
Total 359,00 100,00
Sumber: Hasil analisis peta digital jenis tanah HPGW (1983)
4.5 Hidrologi
Kawasan HPGW terletak di hulu DAS Cimandiri yang bermuara di Laut Selatan. Jaringan sungainya merupakan jaringan sungai berordo-1 sampai dengan ordo-5. Kawasan HPGW merupakan sumber air bersih yang penting bagi masyarakat sekitarnya terutama di bagian selatan yang mempunyai anak sungai yang mengalir sepanjang tahun, yaitu anak sungai Cipeureu, Citangkalak, Cikabayan, Cikatomas, Legok Pusar, dan Cimenyan.
Kelas Kemiringan Lereng Luas
Ha % 0 - 8 44,44 12,38 8 - 15 16,33 4,55 15 - 25 61,64 17,17 25 - 40 133,98 37,32 > 40 102,60 28,58 Total 359,00 100,00
Gambar 4.2 Peta Jenis Tanah
0
500
10
LEGENDA Jenis TanahPETA JENIS
TANAH
0 0,5 1 Km U Latosol Coklat Latosol Merah Kuning LitosolPodsolik Merah Kuning
Sumber: Hasil analisis peta digital topografi HPGW (1983)
Gambar 4.3 Peta Hidrologi
PETA
HIDROLOGI
310
0 0,5 1 Km500
10
U LEGENDA Sungai Kawasan HPGW4.6 Vegetasi
Kawasan HPGW didominasi oleh hutan tanaman yang berumur > 30 tahun. Jenis tanaman dominan adalah damar (Agathis lorantifolia), pinus (Pinus merkusii), dan puspa (Schima wallichii), dan jenis lainnya mahoni (Swietenia macrophylla), kayu afrika (Maesopsis eminii), rasamala (Altingia excelsa), sonokeling (Dalbergia latifolia), gamal (Gliricidae sp) meranti (Shorea sp), dan mangium (Acacia mangium). Di HPGW paling sedikit terdapat 44 jenis tumbuhan, termasuk 2 jenis rotan dan 13 jenis bambu. Selain itu terdapat jenis tumbuhan obat sebanyak 68 jenis Potensi tegakan hutan ± 10.855 m3 kayu damar,
9.471 m3 kayu pinus, 464 m3 puspa, dan 88 m3 kayu mahoni. Pohon damar dan pinus juga menghasilkan getah kopal dan getah pinus. Di HPGW juga ditemukan lebih dari 100 pohon plus damar, pinus, kayu afrika sebagai sumber benih dan bibit unggul (Fahutan IPB 2009).
4.7 Satwa
Di kawasan HPGW terdapat beraneka ragam jenis satwa liar yang meliputi jenis-jenis mamalia, reptilia, burung, dan ikan. Dari kelompok jenis mamalia terdapat babi hutan (Sus scrofa), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), kelinci liar (Nesolagus sp), musang (Paradoxurus hermaphroditic). Dari kelompok jenis burung (Aves) terdapat sekitar 20 jenis burung, antara lain Elang Jawa, Emprit, Kutilang, dll. Jenis-jenis reptilia antara lain biawak, ular, bunglon. Terdapat berbagai jenis ikan sungai seperti ikan lubang dan jenis ikan lainnya. Ikan lubang adalah ikan sejenis lele yang memiliki warna agak merah. Selain itu terdapat pula lebah hutan (odeng, tawon gung, Apis dorsata) (Fahutan IPB 2009).
4.8 Sejarah Kawasan
Tahun 1951 : Kawasan Hutan Gunung Walat sudah mulai ditanami pohon damar (Agathis lorantifolia). Hutan yang ditanam pada tahun 1951/1952 tersebut saat ini telah berwujud sebagai tegakan hutan damar yang lebat di sekitar base camp
Tahun 1967 : IPB melakukan penjajakan kerjasama dengan Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Barat dan Direktorat Jenderal
Kehutanan, Departemen Pertanian untuk mengusahakan Hutan Gunung Walat menjadi Hutan Pendidikan.
Tahun 1968 : Direktorat Jenderal Kehutanan memberikan bantuan pinjaman Kawasan Hutan Gunung Walat kepada IPB untuk digunakan seperlunya bagi pendidikan kehutanan yang dikelola oleh Fakultas Kehutanan IPB.
Tahun 1969 : Diterbitkan Surat Keputusan Kepala Jawatan Kehutanan Daerah Tingkat I Jawa Barat No. 7041/IV/69 tertanggal 14 Oktober 1969
Tahun 1973 : SK Menteri Pertanian RI 008/Kpts/DJ/I/73 tentang penunjukan komplek Hutan Gunung Walat menjadi Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW). Pengelolaan kawasan hutan Gunung Walat seluas 359 Ha dilaksanakan oleh IPB dengan status hak pakai sebagai hutan pendidikan dan dikelola Unit Kebun Percobaan IPB dengan jangka waktu 20 tahun. Pada tahun 1973 penanaman telah mencapai 53%. Tahun 1980 : Seluruh wilayah HPGW telah berhasil ditanami berbagai
jenis tanaman, yaitu damar (Agathis lorantifolia), pinus (Pinus merkusii), puspa (Schima wallichii), kayu afrika (Maesopsis eminii), mahoni (Swietenia macrophylla), rasamala (Altingia excelsa), sonokeling (Dalbergia latifolia), gamal (Gliricidae sp), meranti (Shorea sp), dan akasia (Acacia mangium).
Tahun 1992 : Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 687/Kpts-II/1992 tentang Penunjukan Komplek Hutan Gunung Walat sebagai Hutan Pendidikan, pengelolaan kawasan Hutan Gunung Walat sebagai Hutan Pendidikan dilaksanakan bersama antara Fakultas Kehutanan IPB dan Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan/Balai Latihan Kehutanan (BLK) Bogor. Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal 24 Januari 1993.
Tahun 2005 : Status hukum kawasan HPGW pada tahun 2005 dikuatkan oleh diterbitkannya SK Menhut No. 188/Menhut - II/2005, yang menetapkan fungsi hutan kawasan HPGW sebagai Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) dan pengelolaannya diserahkan kepada Fakultas Kehutanan IPB dengan tujuan khusus sebagai Hutan Pendidikan.
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Curah Hujan
Data curah hujan yang terjadi di lokasi penelitian selama 5 tahun, yaitu Januari 2006 hingga Desember 2010 disajikan dalam Gambar 5.1.
Gambar 5.1 Curah hujan di Kawasan HPGW Januari 2006 – Desember 2010. Curah hujan rata-rata bulanan tertinggi terjadi pada bulan Desember, yaitu 349,36 mm per bulan. Curah hujan rata-rata bulanan terendah terjadi pada bulan Agustus, yaitu 67,52 mm per bulan. Rata-rata curah hujan tahunan selama lima tahun yaitu 2399,04 mm/tahun. Curah hujan tahunan maksimum terjadi pada tahun 2008, yaitu 2609,9 mm/tahun, sedangkan curah hujan tahunan minimum terjadi pada tahun 2006, yaitu 1505,1 mm/tahun.
Iklim HPGW menurut sistem klasifikasi Schmidt dan Ferguson termasuk zona B, yaitu basah, dimana rata-rata jumlah bulan kering (curah hujan < 60 mm/bulan) adalah 1,8 bulan dan rata-rata jumlah bulan basah (curah hujan > 100 mm/bulan) adalah 8,6 bulan, dengan nilai Q 0,21. Nilai Q merupakan hasil perbandingan antara jumlah bulan kering dengan jumlah bulan basah.
5.2 Indeks Erosivitas Hujan
Hujan berperan penting terhadap pemecahan agregat tanah yang menyebabkan pengangkutan dan perpindahan tanah. Energi kinetik hujan
0 100 200 300 400 500 600
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
CH (mm) 2006 2007 2008 2009 2010
mempunyai sifat perusak. Sifat tersebut yang dikenal sebagai erosivitas hujan. Indeks erosi dapat dihitung berdasarkan data hujan harian dan hujan bulanan.
Hasil perhitungan indeks erosivitas rata-rata tahunan menggunakan persamaan Bols (1978) yaitu 1893,39 sedangkan indeks erosivitas berdasarkan persamaan Lenvain (1989) yaitu 1744,06. Indeks erosivitas hujan disajikan dalam Tabel 5.1.
Tabel 5.1 Rata-rata curah hujan dan indeks erosivitas hujan (R) Tahun Curah hujan (per tahun) Erosivitas hujan
Bols (1978) Lenvain (1989) 2006 1505,1 1010,84 985,424 2007 2130,2 1680,01 1508,05 2008 2609,9 2293,55 1929,88 2009 2071 1521,50 1401,51 2010 3679 2961,04 2895,46 Rata-rata 2399,04 1893,39 1744,06
Persamaan Bols (1978) menggunakan data jumlah hari hujan, dan hujan harian maksimum pada setiap bulan, selain jumlah hujan bulanan, sedangkan persamaan Lenvain (1989) hanya menggunakan data jumlah hujan bulanan. Persamaan yang menghitung indeks erosivitas yang menggunakan data bulanan hanya digunakan jika data curah hujan sangat terbatas. Secara teoritis, semakin detail data hujan yang digunakan akan menghasilkan perhitungan yang lebih baik, sehingga dalam penelitian ini, indeks erosivitas hujan yang digunakan selanjutnya adalah hasil perhitungan menggunakan persamaan Bols (1978), yaitu sebesar 1893,39 mm/tahun.
5.3 Indeks Erodibilitas Tanah
Energi kinetik hujan yang bersifat merusak tidak sepenuhnya menjadi penyebab terjadinya erosi. Erosi dipengaruhi faktor lain, yaitu ketahanan tanah. Tanah memiliki ketahanan yang berbeda-beda dalam menahan kerusakan yang disebabkan energi kinetik hujan.
Di wilayah penelitian terdapat empat jenis tanah yaitu, latosol merah kuning, latosol coklat, podsolik merah kuning, dan litosol. Di setiap jenis tanah dihitung indeks erodibilitas (K) berdasarkan pembagian lima kelas kemiringan
lereng yang bertujuan untuk mengetahui keragaman nilai erodibilitas. Keragaman nilai erodibilitas tanah disajikan pada Tabel 5.2.
Tabel 5.2 Indeks erodibilitas tanah (K)
Jenis Tanah Kemiringan (%) Tekstur (%) Struktur Bahan Organik (%) Permeabilitas (cm/jam) K
Debu Pasir Sangat
Halus Liat Latosol Merah Kuning 0-8 12,95 4,76 30,76 GSK 3,155 11,33 0,141 8-15 3,6 3,60 48,41 GSK 5,913 7,03 0,063 15-25 1,12 1,12 76,58 GSK 8,258 13,45 0,012 25-40 1,24 1,24 79,15 GSK 9,482 19,49 0,012 >40 52 1,22 40 GSK 1,396 1,48 0,428 Litosol 0-8 10 10,49 21 GSK 0,828 4,04 0,223 8-15 51 2,89 30 GSK 2,068 2,92 0,431 15-25 13 7,60 37 GSK 1,172 4,95 0,190 25-40 9 9,42 29 GSK 2,121 5,04 0,181 >40 10 10,79 19 GSK 2,534 4,42 0,217 Latosol Coklat 0-8 24 5,93 37 GSK 0,948 1,96 0,283 8-15 43 0,46 54 GSK 2,896 0,88 0,279 15-25 19 0,61 77 GSK 2,931 0,54 0,138 25-40 18 1,37 73 GSK 2,345 0,99 0,144 >40 20 8,06 27 GSK 1,362 3,19 0,268 Podsolik Merah Kuning 0-8 18 8,66 25 GSK 1,465 3,22 0,263 8-15 21 4,86 47 GSK 1,293 2,16 0,197 15-25 23 8,36 22 GSK 1,069 5,12 0,312 25-40 51 0,61 45 GSK 2,276 2,01 0,332 >40 22 8,06 25 GSK 0,759 3,54 0,291
Keterangan: GSK = Granuler sedang-kasar
Indeks K tertinggi adalah 0,431 yang terdapat di jenis tanah litosol dan di kemiringan tanah 8-15 %, sedangkan nilai K terendah adalah 0,012 terdapat di jenis tanah latosol merah kuning dan di kemiringan tanah 15-40 %.
Keragaman indeks K dipengaruhi oleh tekstur tanah, kandungan bahan organik, serta kecepatan permeabilitas. Tekstur menunjukkan proporsi ukuran butir-butir tanah, yaitu liat, debu dan pasir. Ukuran butir-butir tanah berpengaruh terhadap besarnya erosi yang mungkin terjadi. Pasir memiliki ukuran butir yang paling besar (kasar), sehingga diperlukan tenaga yang besar untuk mengangkutnya. Oleh karena itu, hanya fraksi terkecilnya yang berpengaruh terhadap kepekaan tanah, yaitu pasir sangat halus yang lebih mudah terangkut aliran permukaan.
Berdasarkan persamaan Wischmeier dan Smith (1978), nilai K tertinggi lebih dipengaruhi oleh persentase debu (0,002 – 0,05 mm) dan pasir sangat halus (0,05 – 0,1 mm). Dalam Tabel 5.2 indeks K tertinggi memiliki jumlah persentase debu dan pasir sangat halus tertinggi, sedangkan indeks K terendah memiliki jumlah persentase debu dan pasir sangat halus terendah. Bryan (1968) diacu dalam Arsyad (2006) menyatakan bahwa debu dan pasir sangat halus lebih peka
terhadap erosi. Hal ini disebabkan karena debu dan pasir sangat halus sulit membentuk struktur yang mantap. Dibandingkan dengan debu dan pasir sangat halus, liat yang memiliki ukuran butir yang lebih kecil lebih sulit terangkut aliran permukaan, karena liat mempunyai daya kohesi yang kuat, sehingga gumpalan- gumpalannya sukar dihancurkan (Hardjowigeno 2007)
Struktur tanah menunjukkan susunan butir-butir tanah. Kemantapan struktur tanah dapat menentukan pemecahan agregat tanah menjadi mudah atau sulit. Hasil analisis tanah untuk nilai K menunjukkan tingkat struktur yang sama untuk tanah di seluruh kawasan, yaitu granuler sedang-kasar, sehingga struktur tanah tidak berpengaruh terhadap nilai K pada tanah di HPGW.
Bahan organik merupakan lapisan tanah yang dapat berfungsi sebagai pelindung dari erosivitas air hujan. Menurut hasil penelitian Copley et al. (1944) diacu dalam Arsyad (2006), semakin besar penambahan bahan organik, maka laju erosi semakin kecil. Sedangkan permeabilitas tanah merupakan tingkat kemampuan tanah untuk melewatkan air dalam kondisi jenuh. Nilai permeabilitas tanah yang rendah menunjukkan lambatnya air masuk ke dalam tanah, yang merupakan penyebab erosi yang tinggi, karena kecepatan infiltrasi akan menurun dan menyebabkan aliran permukaan.
Klasifikasi indeks nilai K menurut Dangler dan El-Swaify (1976) diacu dalam Arsyad (2006) disajikan dalam Tabel 5.3.
Tabel 5.3 Nilai Indeks K berdasarkan klasifikasi Dangler dan El-Swaify (1976) Nilai K Kelas Luas
Ha % 0 – 0,1 Sangat Rendah 118,00 32,87 0,11 – 0,21 Rendah 113,19 31,53