BAB II SISTEM PENETAPAN NILAI JUAL OBJEK PAJAK DALAM
E. Analisis Langkah-langkah yang Dapat Ditangani
Untuk mengatasi permasalahan yang timbul sehubungan dengan penetapan NJOP dalam PBB perlu kiranya diambil langkah-langkah sebagai berikut41
Langkah kedua, apabila hal tersebut diatas telah melembaga di tengah-tengah :
Langkah pertama yang dapat ditempuh adalah, penentuan suatu nilai (Obyek Pajak) khususnya bumi/tanah untuk berbagai kepentingan. Dalam hal ini pemerintah diharapkan dapat menentukan satu nilai yang dapat dipergunakan untuk berbagai kepentingan yang secara formal mempunyai kekuatan mengikat secara hukum baik keluar maupun ke dalam. Artinya, baik masyarakat, pihak swasta, pemerintah dalam hal melaksanakan transaksi jual beli, maupun perbuatan hukum lainnya yang berhubungan dengan penentuan nilai suatu harta (Obyek Pajak) agar berpedoman kepada nilai tersebut (Objek Pajak). Namun apabila terjadi transaksi di atas dari nilai yang telah ditetapkan maka atas kelebihan transaksi tersebut dimungkinkan dikenakan pajak tertentu.
41
Andri Simanjuntak, “Solusi untuk mengatasi permasalahan penetapan NJOP dalam PBB” 25 April 2005, www.ortax.com, terakhir kali diakses pada tanggal 10 September 2009
masyarakat, secara bertahap penentuan NJOP dapat sepenuhnya diserahkan kepada masyarakat/wajib pajak sesuai mekanisme pasar, dengan konsekuensi sebagaimana yang dikemukakan di atas. Secara bertahap maksudnya, atas obyek-obyek pajak yang ternilai tinggi/mempunyai kriteria atau karakteristik tertentu NJOP-nya dapat ditentukan secara individual oleh wajib pajak yang bersangkutan (bisa dengan mempergunakan jasa penilai), sedangkan obyek pajak lainnya nilai jualnya masih ditentukan secara masal oleh pemerintah.
Langkah ketiga, membuat perangkat peraturan yang secara tegas mengatur tentang kewajiban para pejabat yang dalam tugasnya berhubungan baik langsung maupun tidak langsung dengan obyek pajak, dan sanksi yang dapat diterapkan. Apabila pejabat di maksud tidak memberikan laporan yang sebenarnya.
Seperti yang di maksud dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994 pada Pasal 21 yang berbunyi : Pejabat yang dalam jabatannya atau tugas pekerjaannya berkaitan langsung dengan obyek pajak, wajib :
a. Menyampaikan laporan bulanan mengenai semua mutasi dan perubahan keadaan obyek pajak secara tertulis kepada Dirjen Pajak yang wilayah kerjanya meliputi letak obyek pajak.
b. Memberikan keterangan yang diperlukan atas permintaan Dirjen Pajak.
Menurut penjelasan Pasal 21 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994, pejabat yang tugas pekerjaannya berkaitan langsung dengan obyek pajak adalah :
Camat sebagai pejabat pembuat akta tanah, notaris pembuat akta tanah, dan pejabat pembuat akta tanah. Sedangkan laporan tertulis tentang mutasi obyek pajak misalnya antara lain jual beli, hibah, warisan harus disampaikan kepada Dirjen Pajak yang
wilayah kerjanya meliputi letak obyek pajak. Mekanisme dan enforcement di atas dimaksudkan agar pejabat yang dimaksudkan di atas ikut juga menjaga kondisi yang telah diterapkan oleh pemerintah dalam penetapan NJOP.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pemilihan Judul
Di Indonesia, pajak atas tanah dan hasil bumi mempunyai sejarah yang panjang dan dalam jangka panjang pula telah mengakibatkan apa yang disebut trauma dan sindroma pajak. Karena sejarahnya begitu, jenis pajak-pajak tadi boleh dikatakan tidak pernah ditangani secara mendasar setelah kita merdeka. Akibatnya justru menimbulkan pajak berganda dan tumpang tindih1
Tumpang tindih disini dilihat dari perkembangannya pada tahun 1959 melalui Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1959 tentang Pajak Hasil Bumi, diberlakukan Pajak Bumi dan Bangunan. Undang-Undang ini semula hanya mengatur tentang pungutan pajak atas tanah adat, yaitu tanah yang dimiliki/dikuasai oleh orang-orang Indonesia asli, dan tidak termasuk tanah hak barat. Karena tanah Barat tersebut telah diatur didalam ordonansi verponding Indonesia tahun 1923 dan Ordonansi Verponding tahun 1928. Namun kemudian pada tahun 1960 dikeluarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria yang mengemukakan bahwa hak atas tanah berlaku atas semua tanah di Indonesia. Hal itu dipertegas lagi dengan Keputusan Presidium Kabinet tanggal 10 Februari 1967 No. 87/Kep/U/4/1967. Dengan demikian Peraturan Pemerintah tahun pergantian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1959 yang menjadi landasan Pajak Hasil Bumi harus ditafsirkan bahwa semua tanah di Indonesia dipungut Pajak Hasil Bumi, termasuk tanah-tanah yang diatur dalam ordonansi Verponding Indonesia tahun
.
1
1923 dan tahun 1928. Dengan adanya tuntutan pembangunan yang terus meningkat, ordonansi/UU yang mengatur pungutan atas obyek yang sama, terlalu banyak sehingga membingungkan masyarakat2
Menyadari keadaan seperti itu, pemerintah bersama dengan DPR pada akhir tahun 1985 membuat suatu Undang-Undang, yang dikenal dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (UUPBB)
.
3
Dengan dibuatnya Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan ini, sebagai pengganti dari 7 (tujuh) ordonansi/UU yang dulu pelaksanaannya tumpang tindih. Tujuh ordonansi/UU itu adalah sebagai berikut
yang kemudian disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994.
4
5. Ordonansi Pajak Jalan Tahun 1942, sebagaimana telah diubah beberapa kali, :
1. Pajak Rumah Tangga 1908 sebagaimana telah beberapa kali diubah. Terakhir diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 19 Tahun 1959, yang dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1961 telah ditetapkan menjadi Undang-undang;
2. Ordonansi Verponding Indonesia Tahun 1923, sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Staatblad 1931 Nomor 168;
3. Ordonansi Verponding Indonesia Tahun 1928, sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959;
4. Ordonansi Pajak Kekayaan Tahun 1932, sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1967;
2
Hilman Surawiguna, “Sejarah Pajak Bumi dan Bangunan”, 20 Januari 2008 diperoleh dari
3
Tim Penyusun Ditjen Pajak dan Yayasan Bina Bangunan, Buku Panduan PBB, Edisi Revisi, (Jakarta : Penerbit Bina Rena Pariwara, 1992), hal. 9.
4
terakhir dengan Rechtspleging Oorlogmisdrijven Staatsblad 1946 Nomor 47; 6. Undang-undang Darurat No. 11 Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak
Daerah, Pasal 14 huruf j, k, dan l, yang dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1961 telah ditetapkan menjadi Undang-undang;
7. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 11 Tahun 1959 tentang Pajak Hasil Bumi yang dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 telah ditetapkan menjadi Undang-Undang.
UU PBB merupakan langkah penyederhanaan hukum perpajakan khususnya dalam Pajak Bumi dan Bangunan. Tujuan tersebut tidaklah berlebihan mengingat ruang lingkup UU PBB yang luas. Puluhan juta rakyat di Indonesia akan terlibat di dalamnya. Oleh sebab itu dengan penanganan yang tepat, akan membuat kejelasan bagi wajib pajak dalam melaksanakan pembayaran pajaknya serta menghapuskan trauma dan sindroma pajak warisan zaman penjajahan.
Sejalan dengan itu masyarakat memerlukan pelayanan yang bermutu dan profesional. Sampai sejauh mana wajib pajak mendapat pelayanan yang memadai guna mendapatkan kemudahan dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
Seiring dengan tuntutan dari masyarakat tersebut di atas, Direktur Jenderal Pajak menetapkan suatu sistem pemungutan pajak yang paling cocok untuk Indonesia yaitu sistem “self assessment” yang merupakan suatu sistem, dimana wajib pajak diberi kepercayaan untuk menghitung, memperhitungkan dan membayar sendiri pajak yang terhutang5
5
Ajeng, “Seputar Sistem Pemungutan Pajak di Indonesia”, 09 November 2008 diperoleh dari . Sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang No. 6 Tahun
1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang kemudian di sempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994. Khusus pada Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) serta klasifikasinya dalam kegiatan pemungutan pajak bumi dan bangunan (PBB) masih menggunakan asas official assessment yang berupa sistem tempat pembayaran (SISTEP), dimana sistem ini tidak kalah pentingnya menyangkut penyetoran serta penagihan PBB, pelayanan cepat pada suatu tempat bagi wajib pajak yang memerlukan layanan keberatan serta pengurangan. Sebenarnya pada prinsipnya Ditjen Pajak berupaya memberikan pelayanan terpadu, sebagai proyeksi dari kesederhanaan, kemudahan dan lebih penting adalah kepastian hukum.
Sebagai realisasi dari amanat GBHN 1983, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang PBB yang disahkan pada tanggal 31 Desember 1985 yang kemudian disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 merupakan paket pembaharuan sistem perpajakan nasional.
Bertitik tolak dari Undang-Undang tersebut di atas, maka penulis akan menelusuri seluk beluk sistem penetapan NJOP dalam PBB dimana ini semua berkaitan dengan wajib pajak (WP) itu sendiri dalam pajak terhutang yang menjadi kewajiban serta hak sebagai pembayar pajak. Sedangkan NJOP itu sendiri mempunyai faktor-faktor dan klasifikasi tersendiri bagi WP untuk memenuhi kewajibannya sebagai pembayar pajak.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas serta sesuai dengan judul skripsi ini, yaitu: “Sistem Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Dalam Pajak Bumi dan Bangunan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994”, maka ada beberapa
permasalahan yang akan dibahas, antara lain :
1. Apa yang dijadikan dasar sistem penetapan NJOP?
2. Faktor-faktor apa yang menentukan sistem klasifikasi NJOP? 3. Bagaimana penyelesaian Kasus Wajib Pajak atas penetapan NJOP?
C. Tujuan Penulisan
Penulisan dalam rangka penyusunan skripsi ini mempunyai tujuan yang hendak dicapai, sehingga penulisan ini akan lebih terarah serta dapat mengenai sasarannya. Tujuan utama daripada penulisan skripsi ini adalah sebagai sarana untuk melengkapi tugas akhir dan syarat untuk memperoleh gelar ‘Sarjana Hukum’ dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Selain itu, adapun tujuan lain daripada penulisan ini adalah:
1. Untuk mengetahui pelaksanaan sistem penetapan NJOP.
2. Memberikan kejelasan factor-faktor apa yang menetukan sistem klasifikasi NJOP bagi wajib pajak.
3. Untuk memperjelas kepastian hukum wajib pajak dalam penyelesaian kasus atas penetapan NJOP.
Selain tujuan daripada penulisan skripsi, perlu pula diketahui bersama bahwa manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Secara teoritis
Skripsi ini diharapkan dapat memberikan masukan yang cukup berarti bagi perkembangan almu pengetahuan secara umum, dan ilmu hokum pada khususnya, dan lebih khususnya lagi adalah di bidang hokum perpajakan. Selain itu, skripsi
ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan perangkat ketentuan di bidang hokum perpajakan.
2. Secara praktis
Melalui penulisan skripsi ini, diharapkan dapat memberikan masukan dan pemahaman yang lebih mendalam bagi aparat penegak hukum dan masyarakat sehingga akan lebih mengetahui bagaimanakah system penetapan NJOP dalam PBB di Indonesia.
D. Keaslian Penulisan
Karya tulis ini merupakan karya tulis asli, dimana dalam hal ini penulis berupaya untuk menuangkan segenap gagasan dan sudut pandang tentang Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang ada di dalam Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Sepanjang yang ditelusuri dan diketahui di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara bahwa penulisan tentang “Sistem Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Dalam Pajak Bumi dan Bangunan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994” belum pernah ditulis sebelumnya. Walaupun dalam beberapa penulisan sebelumnya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, khususnya Departemen Hukun Ekonomi dapat dijumpai kesamaan dari segi substansi dasar mengenai kajian Perpajakan, akan tetapi penulisan skripsi yang memfokuskan dalam penetapan Nilai Jual Objek Pajak di dalam Pajak Bumi dan Bangunan belumlah dijumpai.
Dengan demikian, dilihat dari permasalahan serta tujuan yang hendak dicapai melalui penulisan skripsi ini, maka dapat dikatakan bahwa skripsi ini merupakan karya sendiri yang asli dan bukan jiplakan dari skripsi orang lain, dimana diperoleh melalui pemikiran para pakar dan praktisi, referensi, buku-buku, bahan seminar,
makalah-makalah, media cetak seperti koran-koran, media elektronik seperti internet serta bantuan dari berbagai pihak, berdasarkan kepada asas-asas keilmuan yang jujur, rasional, dan terbuka. Semua ini tidak lain adalah merupakan implikasi atis dari proses penemuan kebenaran ilmiah, sehingga hasil penulisan ini dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya secara ilmiah.
E. Tinjauan Kepustakaan
Uraian dalam penulisan ini adalah seputar masalah Sistem Penetapan Nilai Jual Objek Pajak dalam Pajak Bumi dan Bangunan menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994. Untuk itu, sebagai tahap awal perlu terlebih dahulu diberikan batasan mengenai arti dari Pajak, Pajak bumi dan Bangunan dan Nilai Jual Objek Pajak.
Pajak memiliki manfaat sebagai berikut6 1. Sebagai sumber penerimaan negara.
:
Penerimaan pajak dimasukkan dalam APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara), dalam sisi penerimaan dan dipakai untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Sejak dasawarsa 80-an, peranan pajak jauh di atas pos-pos penerimaan yang lain seperti penerimaan migas dan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak). Deviden atau keuntungan BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yang dimasukkan ke kas pemerintah, tergolong sebagai PNBP.
2. Sebagai alat pemerataan pendapatan.
Untuk mewujudkan keadilan sosial, dibutuhkan instrumen-instrumen yang menjamin pemerataan sosial-ekonomi. Pajak sebagai alat pemerataan pendapatan
6
Indra Ismawan, Memahami Reformasi Perpajakan 2000, (Jakarta : Penerbit PT Elex Media Komputindo kelompok Gramedia, 2001) hal 13-14
dilakukan dengan menerapkam tarif pajak progresif (tarif pajak lebih tinggi untuk golongan masyarakat yang berpendapat tinggi). Akan tetapi secara de facto, tarif pajak progresif hanya bisa efektif sebagai instrumen pemerataan apabila dana yang dikumpulkan kemudian di-alokasikan benar-benar untuk kepentingan golongan masyarakat berpendapat menengah ke bawah. Pengalokasian pajak untuk memperbaiki fasilitas pendidikan dan kesehatan bagi masyarakat kurang mampu,
merupakan contoh betapa pajak progresif efektif sebagai instrumen pemerataan. 3. Alat mendorong investasi.
Apabila realisasi penerimaan pajak dalam APBN ternyata lebih besar dari anggaran pengeluaran rutin, maka ada saldo yang dapat digunakan untuk membiayai investasi pemerintah. Menurut teori ekonomi, investasi akan
meningkatkan pendapatan masyarakat melalui proses pelipatan (multiplying effect).
Untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, saldo tersebut bisa dialokasikan langsung untuk menambah proyek-proyek pembangunan. Akan tetapi, dapat juga saldo anggaran disimpan lebih dahulu dalam tabungan pemerintah (government saving) untuk dialokasikan pada periode anggaran berikutnya.
Pada mulanya pajak diartikan sebagai upeti (pemberian secara cuma-cuma) namun sifatnya merupakan kewajiban yang dapat dipaksakan yang harus dilaksanakan oleh rakyat kepada seorang raja atau penguasa. Rakyat ketika itu memberikan upeti kepada raja atau penguasa berbentuk natura berupa padi, ternak dan hasil tanaman lain seperti pisang, kelapa, dan lain-lain. Pemberian yang diberikan oleh rakyat itu dipergunakan untuk kepentingan raja atau penguasa, sedangkan
imbalan atas prestasi yang dikembalikan kepada rakyat tidak ada.
Kemudian, di dalam perkembangannya tidak ada lagi seperti yang disebutkan diatas, pemberian yang dilakukan rakyat kepada raja atau penguasa digunakan untuk kepentingan umum seperti untuk menjaga keamanan rakyat, memelihara jalan, membangun saluran air untuk pengairan sawah, membangun sarana social lainnyaseperti taman serta kepentingan umum lainnya.
Adanya perkembangan masyarakat yang akhirnya membentuk suatu negara dan dengan dilandasi unsure keadilan dalam pemungutan pajak, maka dibuatlah suatu ketentuan berupa Undang-Undang yang mengatur mengenai bagaimana tata cara pemungutan pajak, jenis-jenis pajak apa saja yang dapat dipungut, siapa saja yang harus membayar pajak serta berapa besarnya pajak yang harus dibayar.
Banyak para ahli memberikan batasan tentang pajak, diantaranya pengertian pajak yang dikemukakan oleh P.J.A. Andriani7
R.Soemitro mengartikan, bahwa
, adalah:
“Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat dipungut dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara yang menyelenggarakan pemerintahan.”
8 :
“Pajak sebagai iuran kepada kas negara (peralihan kekayaan dari sector partikelir ke sektor pemerintah) berdasarkan Undang-Undang (dapat dipaksakan) dengan tidak mendapatkan jasa timbale balik(tegen prestatie) yang langsung dapat ditunjuk dan yang digunakan untuk membiayai pengeluaran umum.”
7
P.J.A Andriani seperti dikutip R.Santoso, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, (Jakarta : Penerbit PT.Eresco, 1981), hal 12.
8
Rochmat Soemitro, Dasar-dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan, (Jakarta : Penerbit PT.Eresco, 1977), hal 22.
Adapun defenisi lain tentang pajak, yaitu9
1. Iuran, yang wajib dibayar oleh rakyat sebagai sumbangan kepada Negara (propinsi, kotapraja dan sebagainya) ada banyak macamnya menurut apa yang dipakai dasar pemungutan iuran itu seperti bumi (tanah), jalan, kekayaan, kendaraan, pembayaran, pendapatan (penghasilan, pencarian), peralihan perseroan, radio, rumah tangga, tontonan, upah dan sebagainya; surat misalnya surat izin (senjata api dan sebagainya).
:
2. Hal untuk mengusahakan sesuatu dengan membayar sewa atau uang kepada negara.
Sedangkan Soeparman Soemahadidjaja memberikan defenisi pajak, menurut Beliau, pajak adalah10
Masih banyak lagi defenisi atau pengertian pajak yang dikemukakan oleh para sarjana lainnya, namun secara umum dapat disimpulkan ciri-ciri yang melekat pada
:
“Suatu iuran wajib, berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang dan jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum”
Beliau mencantumkan istilah iuran wajib dengan harapan bahwa pajak dipungut dengan bantuan dan kerjasama dengan WP, sehingga perlu pula dihindari penggunaan istilah “paksaan”. Selanjutnya Beliau berpendapat terlalu berlebihan kalau khusus mengenai pajak ditekankan pentingnya unsure paksaan karena dengan mencantumkan unsur paksaan seakan-akan tidak ada kesadaran masyarakat untuk melakukan kewajibannya.
9
W.J.S Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Penerbit PT Balai Pustaka, 1987), hal 588.
10
pengertian pajak adalah11
1. Pajak di pungut oleh negara (baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah) berdasarkan kekuatan Undang-Undang dan pelaksanaannya.
:
2. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukan adanya prestasi individual oleh pemerintah (tidak ada hubungan antara jumlah pembayaran pajak dengan kontra prestasi secara individual).
3. Pajak diperuntukan bagi pengeluaran pembayaran-pembayaran pemerintah yang bila dari pemasukannya masih terdapat surplus dipergunakan untuk membiayai “public investment”.
4. Tujuan utama dari pemungutan pajak adalah sebagai sumber pemasukan keuangan negara (budgeter), selain itu juga berfungsi mengatur (untuk mendukung kebijakan Negara)
5. Pajak dipungut karena suatu keadaan, kejadian dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu pada seseorang sebagai WP.
Dari beberapa definisi pajak yang dikemukakan diatas mengandung unsur- unsur 12
1. Suatu pemungutan yang dapat dipaksakan karena wewenang yang dimiliki pemerintah;
:
2. Harus berdasarkan norma-norma umum dan Undang-undang;
3. Merupakan iuran rakyat kepada pemerintah secara insidentil atau periodik, dimana yang dimaksud dengan rakyat baik perseorangan maupun badan;
4. Prestasi pemerintah diberikan secara umum dan sulit untuk ditunjukkan;
11
Zainul Pelly, Pengantar Hukum Pajak, (Medan : Penerbit USU Press, 1993), hal 4.
12
5. Untuk membiayai pengeluaran umum.
Sedangkan PBB adalah suatu kelanjutan dari pemungutan yang didasari oleh pajak dari tanah yang dimiliki atau digarap oleh rakyat Indonesia, seperti “Contingenten” dan “Verplichte Leverantieen” yang lebih dikenal dengan nama tanam paksa. Namun seiring perkembangannya pajak ini sering berganti nama dan pada tahun 1985 dikeluarkanlah suatu Undang-Undang yang mengatur tentang pajak ini yang diberi nama Pajak bumi dan bangunan yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985.
PBB adalah pajak yang dikenakan atas kepemilikan atau pemanfaatan tanah dan atau bangunan. PBB merupakan Pajak Pusat namun demikian hampir seluruh realisasi penerimaan PBB diserahkan kepada Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota13
Nilai Jual Obyek Pajak merupakan harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual
.
Dasar pengenaan PBB adalah NJOP. NJOP ditentukan per wilayah berdasarkan keputusan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dengan terlebih dahulu memperhatikan :
1. Harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar; 2. Perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis yang letaknya berdekatan dan
telah diketahui harga jualnya; 3. Nilai perolehan baru;
4. Penentuan nilai jual objek pengganti.
13
beli, Nilai Jual Obyek Pajak ditentukan melalui perbandingan harga dengan obyek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau Nilai Jual Obyek Pajak pengganti14
F. Metode Penelitian
. Yang dimaksud dengan:
a. Perbandingan harga dengan obyek lain yang sejenis, adalah suatu pendekatan/ metode penentuan nilai jual suatu obyek pajak dengan cara membandingkan dengan obyek pajak lain yang sejenis yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama dan telah diketahui harga jualnya.
b. Nilai perolehan baru, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu obyek pajak dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh obyek tersebut pada saat penilaian dilakukan, yang dikurangi dengan penyusutan berdasarkan kondisi fisik obyek tersebut.
c. Nilai jual pengganti, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu obyek pajak yang berdasarkan pada hasil produksi obyek pajak tersebut (penjelasan Pasal 1 angka 3 UU PBB No. 12/1994).
Dalam pembahasan masalah, penulis sangat memerlukan data dan keterangan yang akan dijadikan bahan analisis. Untuk mengumpulkan data dan keterangan, penulis menggunakan metode sebagai berikut:
1. Metode pendekatan masalah
Di dalam menyusun skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian yang bersifat normatif. Hal ini ditempuh dengan melakukan penelitian
14
Rico Syahputra, “Penjelasan Umum Tentang Nilai jual Objek Pajak”, 18 januari 2007, diperoleh da
kepustakaan (library research), atau biasa dikenal dengan sebutan studi kepustakaan, walaupun penelitian yang dimaksud tidak lepas pula dari sumber lain selain sumber kepustakaan, yakni penelitian terhadap bahan media massa ataupun dari internet. Penulis juga menggunakan metode pendekatan yuridis, dengan mempelajari ketentuan hukum yang berlaku serta apa yang terjadi dalam kenyataannya dalam masyarakat.
2. Alat pengumpul data
Materi dalam skripsi ini diambil dari data-data seperti yang dimaksud di bawah ini15
a. Bahan hukum primer, yaitu : :
Berbagai dokumen peraturan nasional yang tertulis, sifatnya mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang. Dalam tulisan ini antara lain adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan