• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sistem Penetapan Nilai Jual Objek Pajak Dalam Pajak Bumi Dan Bangunan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Sistem Penetapan Nilai Jual Objek Pajak Dalam Pajak Bumi Dan Bangunan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Buku Bacaan

Andriani P.J.A seperti dikutip R.Santoso, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Jakarta : Penerbit PT.Eresco, 1981

B Boediono, Perpajakan Indonesia, Jakarta: Penerbit Diadit media, 2000

Diana, Anastasia dan Lilis Setiawati, Perpajakan Indonesia. Konsep, aplikasi dan penuntun praktis, Yogjakarta : Penerbit Andi, 2004

Ilyas, Wirawan B dan Richard Burton, Hukum Pajak, Jakarta : Penerbit Salemba Empat, 2004

Ismawan, Indra, Memahami Reformasi Perpajakan 2000, Jakarta : Penerbit PT Elex Media Komputindo kelompok Gramedia, 2001

Mardiasmo, Perpajakan Edisi Revisi 2006, Yogyakarta : Penerbit Andi, 2006 Munawir, S, Perpajakan, Yogyakarta : Penerbit Liberty, 1992

Pelly, Zainul, Pengantar Hukum Pajak, Medan : Penerbit USU Press, 1993

Purwadarminta, W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : Penerbit PT Balai Pustaka, 1987

Saidi, Muhammad Djafar, Pembaruan Hukum Pajak, Jakarta : Penerbit PT RajaGrafindo Persada, 2007

Samudra, Azhari A, Perpajakan di Indonesia, Keuangan Pajak dan Retribusi, Jakarta : Penerbit PT Hecca Mitra Utama, 2005

Siahaan, Marihot Pahala, Pajak Bumi dan Bangunan di Indonesia, Yogyakarta : Penerbit Andi, 2009

Soekanto, Soerjono, Penelitiaan Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta : Penerbit PT.RajaGrafindo Persada, 1994

Soemitro, Rochmat, Dasar-dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan, Jakarta : Penerbit PT.Eresco, 1977

---, Pajak Bumi dan Bangunan, Jakarta : Penerbit PT Eresco, 1986

(2)

Tim Penyuluhan Perpajakan Ditjend Pajak, Petunjuk Praktis Perpajakan, Jakarta : Peberbit Berita Pajak, 1996

Tim Penyusun, Pajak bumi dan bangunan 2000, Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2000 Tim Penyusun Ditjen Pajak dan Yayasan Bina Bangunan, Buku Panduan PBB, Edisi

Revisi, Jakarta : Penerbit Bina Rena Pariwara, 1992

Waluyo dan Wirawan B. Ilyas, Perpajakan Indonesia, Jakarta : Penerbit Salemba Empat, 1999

Peraturan PerUndang-undangan

Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

Undang-Undang Nomor 16 tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan

PP Nomor 46 Tahun 2000 tentang Penetapan Besarnya Nilai Jual Objek Pajak untuk Penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan

Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1959 tentang Pajak Hasil Bumi

Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan

Keputusan Menteri Keuangan R.I Nomor : 523/KMK. 04/1998 tentang Penentuan Klasifikasi dan Besarnya Nilai Jual Objek Pajak sebagai Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan

Keputusan Menteri Keuangan R.I Nomor 273/KMK.04/1995 tentang Perubahan atas Lampiran III(tiga), IV(empat),V(lima) dan VI(enam) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 174/KMK.04/1993 tentang Penentuan Klasifikasi dan Besarnya Nilai Jual Objek Pajak sebagai Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 196/KMK.04/1994

(3)

Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. 50/PJ/2008 tentang Pengenaan pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perkebunan

Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP - 16/PJ.6/1998 tentang Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan

Artikel

Ali, Muchtar, PBB pertambangan non migas selain pertambangan energi panas bumi

dan galian C, 20 Mei 2008, diperoleh dari

terakhir kali diakses pada tanggal 25 Oktober 2009

Ajeng, Seputar Sistem Pemungutan Pajak di Indonesia, 09 November 2008, diperoleh dari Oktober 2009

Ayu, Lisa Pratiwi, Pokok-pokok aturan tentang Pajak yang perlu anda ketahui, tanggal 2 September 2009

Astridutanet, Dasar hukum pajak bumi dan bangunan, 20 Maret 2007, diperoleh dari www.scribd.com, terakhir kali diakses pada tanggal 2 Oktober 2009

Ezar’s weblog , 22 Januari 2008, diperoleh dari www. bradoks.wordpress.com, terakhir kali di akses tanggal 30Agustus 2009

Juliana, Pengenaan PBB Bidang usaha perikanan, 2 Maret 2008, diperoleh dari www.google.com

Kusuma, Aji, Tata cara Pengurangan PBB, tanggal 22 April 2008, diperoleh dari , tanggal 05November 2009

---, Mekanisme penetapan NJOP, 22 April 2008, diperoleh dari

Muladi, Tugas Pembinaan Wilayah KPPBB, 16 september 2008, diperoleh dari

Nugroho, Erianto, Tugas Pokok dan Fungsi KPP, 23 Maret 2005, diperoleh dari Agustus 2009

(4)

Suparman, Raden, Pengurangan PBB, 12 Juli 2009, diperoleh dari www. pajaktaxes.blogspot.com

Surawiguna, Hilman, Klasifikasi Penggolongan dan Ketentuan NJOP dalam kelompok A dan B, 20 Januari 2008 diperoleh dari

, terakhir kali diakses pada tanggal 03 November 2009

kali diakses pada tanggal 10 Oktober 2009

---, Tata cara pengajuan keberatan, 20 Januari 2008, diperoleh melalui

---, Pengurangan PBB, 20 Januari 2008 data diperoleh dari terakhir kali diakses pada tanggal 10 Oktober 2009

Suryono, Suatu Tugas dari Kantor Pelayanan Pajak, 12 Septemeber 2994, Suyudi, PBB Kehutanan, dan tata caranya, 27 Juni 2007, diperoleh dari

Oktober 2009

Wibowo, Tri, Penetapan NJOP sebagai dasar perhitungan PBB dan BPHTB, 17 Mei 2008, diperoleh dari tanggal 20 Oktober 2009

(5)

BAB III

Faktor-faktor Penentu Nilai Jual Obyek Pajak

A. Dasar-dasar hukum klasifikasi NJOP

Menurut Pasal 6 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994 dasar pengenaan pajak adalah NJOP serta besarnya NJOP ditetapkan setiap tiga tahun oleh Menteri Keuangan, kecuali untuk daerah tertentu ditetapkan setiap tahun sesuai perkembangan daerahnya. Namun demikian untuk daerah tertentu yang karena perkembangan pembangunan mengakibatkan kenaikan nilai jual obyek pajak cukup besar, maka dalam menetapkan nilai jual, Menteri Keuangan banyak mendengar pertimbangan Gubernur setempat.

Berdasarkan pengertian NJOP pada Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994, bahwa pengertian nilai-nilai yang disebutkan nilai perbandingan harga dengan obyek lain sejenis, nilai perolehan baru, dan NJOP pengganti, disini harus memperhatikan kondisi wajib pajak serta kondisi perekonomian nasional yang berfluktuasi keadaannya.

(6)

juga tinggi. Sedangkan dilihat dari prinsip manfaat, dalam sistem penetapan NJOP tinggi rendahnya, ditentukan diantaranya oleh fasilitas-fasilitas dan jasa-jasa yang diberikan pemerintah. Karenanya pula, wajar apabila NJOP di daerah perkotaan lebih tinggi daripada daerah yang kurang atau belum terjamah oleh sarana dan prasarana dari pemerintah.

Sedangkan dasar hukum Penetapan Klasifikasi Nilai Jual Obyek Pajak adalah Keputusan Menteri Keuangan R.I Nomor : 523/KMK. 04/1998 tanggal 18 Desember 1998, di mana klasifikasi terdahulu dengan Keputusan Menteri Keuangan R.I Nomor 273/KMK.04/1995 pada intinya ada perubahan yaitu ditambahnya kelompok B untuk klasifikasi bumi dan bangunan.

Dengan berlakunya KMK Nomor : 523/KMK. 04/1998, maka dasar klasifikasi Penggolongan dan Ketentuan NJOP dalam kelompok A dan B menjadi42

Kelas

:

1. Klasifikasi Penggolongan dan ketentuan Nilai Jual Objek Bumi Kelompok A, adalah:

Penggolongan Nilai Jual Permukaan Bumi (Rp/m2)

NJOP Bumi (Rp/m2) 1 > 3.000.000 s/d 3.200.000 3.100.000 2 > 2.850.000 s/d 3.000.000 2.925.000 3 > 2.708.000 s/d 2.850.000 2.779.000 4 > 2.573.000 s/d 2.708.000 2.640.000 5 > 2.444.000 s/d 2.573.000 2.508.000 6 > 2.261.000 s/d 2.444.000 2.352.000 7 > 2.091.000 s/d 2.261.000 2.176.000 8 > 1.934.000 s/d 2.091.000 2.013.000 9 > 1.789.000 s/d 1.934.000 1.862.000 10 > 1.655.000 s/d 1.789.000 1.722.000 11 > 1.490.000 s/d 1.655.000 1.573.000 12 > 1.341.000 s/d 1.490.000 1.416.000 13 > 1.207.000 s/d 1.341.000 1.274.000

42

Hilman Surawiguna, “Klasifikasi Penggolongan dan Ketentuan NJOP dalam kelompok A

dan B” 20 Januari 2008 diperoleh dari

(7)

14 > 1.086.000 s/d 1.207.000 1.147.000 15 > 977.000 s/d 1.086.000 1.032.000 16 > 855.000 s/d 977.000 916.000 17 > 748.000 s/d 855.000 802.000 18 > 655.000 s/d 748.000 702.000 19 > 573.000 s/d 655.000 614.000 20 > 501.000 s/d 573.000 537.000 21 > 426.000 s/d 501.000 464.000 22 > 362.000 s/d 426.000 394.000 23 > 308.000 s/d 362.000 335.000 24 > 262.000 s/d 308.000 285.000 25 > 223.000 s/d 262.000 243.000 26 > 178.000 s/d 223.000 200.000 27 > 142.000 s/d 178.000 160.000 28 > 114.000 s/d 142.000 128.000 29 > 91.000 s/d 114.000 103.000 30 > 73.000 s/d 91.000 82.000 31 > 55.000 s/d 73.000 64.000 32 > 41.000 s/d 55.000 48.000 33 > 31.000 s/d 41.000 36.000 34 > 23.000 s/d 31.000 27.000 35 > 17.000 s/d 23.000 20.000 36 > 12.000 s/d 17.000 14.000 37 > 8.400 s/d 12.000 10.000

38 > 5.900 s/d 8.400 7.150

39 > 4.100 s/d 5.900 5.000

40 > 2.900 s/d 4.100 3.500

41 > 2.000 s/d 2.900 2.450

42 > 1.400 s/d 2.000 1.700

43 > 1.050 s/d 1.400 1.200

44 > 760 s/d 1.050 910

45 > 550 s/d 760 660

46 > 410 s/d 550 480

47 > 310 s/d 410 350

48 > 240 s/d 310 270

49 > 170 s/d 240 200

50 > 170 140

2. Klasifikasi Penggolongan dan ketentuan Nilai Jual Objek Bumi Kelompok B, adalah:

Kelas Penggolongan Nilai Jual Permukaan Bumi (Rp/m2)

(8)
(9)

49 > 3,550,000 s/d 3,940,000 3,745,000 50 > 3,200,000 s/d 3,550,000 3,375,000

3. Klasifikasi Penggolongan dan ketentuan Nilai Jual Objek Bangunan Kelompok A, adalah:

Kelas Penggolongan Nilai Jual Bangunan (Rp/m2)

NJOP Bangunan (Rp/m2) 1 > 1,034,000 s/d 1,366,000 1,200,000 2 > 902,000 s/d 1,034,000 968,000 3 > 744,000 s/d 902,000 823,000 4 > 656,000 s/d 744,000 700,000 5 > 534,000 s/d 656,000 595,000 6 > 476,000 s/d 534,000 505,000 7 > 382,000 s/d 476,000 429,000 8 > 348,000 s/d 382,000 365,000 9 > 272,000 s/d 348,000 310,000 10 > 256,000 s/d 272,000 264,000 11 > 194,000 s/d 264,000 225,000 12 > 188,000 s/d 194,000 191,000 13 > 136,000 s/d 188,000 162,000 14 > 128,000 s/d 136,000 132,000 15 > 104,000 s/d 128,000 116,000 16 > 92,000 s/d 104,000 98,000 17 > 74,000 s/d 92,000 83,000 18 > 68,000 s/d 74,000 71,000 19 > 52,000 s/d 68,000 60,000

20 > 52,000 50,000

4. Klasifikasi Penggolongan dan ketentuan Nilai Jual Objek Bangunan Kelompok B, adalah:

Kelas Penggolongan Nilai Jual Bangunan (Rp/m2)

(10)

12 > 5,150,000 s/d 5,850,000 5,500,000 13 > 4,500,000 s/d 5,150,000 4,825,000 14 > 3,900,000 s/d 4,500,000 4,200,000 15 > 3,350,000 s/d 3,900,000 3,625,000 16 > 2,850,000 s/d 3,350,000 3,100,000 17 > 2,400,000 s/d 2,850,000 2,625,000 18 > 2,000,000 s/d 2,400,000 2,200,000 19 > 1,666,000 s/d 2,000,000 1,833,000 20 > 1,366,000 s/d 1,666,000 1,516,000

B. Faktor-faktor Penentu Klasifikasi NJOP

Dalam penentuan Klasifikasi NJOP dalam PBB, tanah dan bangunan yang banyak macamnya itu tidak mungkin nilainya disamaratakan. Untuk kategori Bumi ada 50 klasifikasi, sedangkan untuk kategori Bangunan ada 20 klasifikasi. Untuk itu tanah dan bangunan perlu dikategorikan dan diklasifikasikan.

Sebagaimana telah disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994 Pasal 2 ayat (2) dalam penjelasannya yang dimaksud dengan klasifikasi bumi dan bangunan adalah pengelompokan bumi dan bangunan menurut nilai jualnya dan digunakan sebagai pedoman serta untuk memudahkan perhitungan pajak yang terhutang43

Dalam penentuan klasifikasi bumi/tanah harus diperhatikan faktor-faktor sebagai berikut

.

44

43

Penjelasan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994

44

Rochmat Soemitro,Op Cit. Hal. 13 :

1. Letak tanah/bangunan 2. Peruntukan tanah/bangunan 3. Pemanfaatan

(11)

Pada faktor-faktor di atas bisa ditambahkan: 5. Luas tanah, bumi dan bangunan

6. Kesuburan atau hasil tanah/bangunan

7. Adanya irigasi atau tidak dan lain sebagainya.

Dalam penentuan klasifikasi bangunan yang harus diperhatikan faktor-faktor sebagai berikut45

Untuk menciptakan keharmonisan dalam penentuan Klasifikasi NJOP, maka Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan telah melakukan langkah-langkah dalam penentuan Klasifikasi NJOP sebagai basis data kepada Wajib Pajak (WP). Dengan

:

1. Bahan yang digunakan 2. Rekayasa

3. Letak

4. Kondisi lingkungan dan lain-lain.

Bersamaan dengan ini pemerintah melalui Menteri Keuangan yang berwenang menurut Undang-Undang, maka dikeluarkanlah Keputusan Menteri Keuangan R.I. Nomor 523/KMK.04/1998 tanggal 18 Desember 1998 tentang Penentuan Klasifikasi dan Besarnya Nilai Jual Obyek Pajak sebagai Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan.

Di dalam keputusan ini, pada Pasal 7 menyatakan bahwa Keputusan Menteri Keuangan R.I. Nomor 174/KMK.04/1993 dan Keputusan Menteri Keuangan No. 273/KMK.04/1995 tentang Klasifikasi dan Besarnya NJOP sebagai Dasar Pengenaan PBB, dinyatakan tidak berlaku.

45

(12)

Prosedur sebagai berikut46

2. Petugas peneliti, dalam hal ini Kepala Sub Seksi Klasifikasi dan Pemutakhiran data atau pejabat lain yang ditunjuk, setelah menerima berkas permohonan WP berikut formulir pelayanan wajib pajak dari petugas pemroses masalah, melakukan kegiatan antara lain: meneliti kelengkapan persyaratan dan bahan-bahan yang diperlukan serta memutuskan perlu tidaknya diadakan penelitian lapangan untuk memproses permohonan WP yang diterima dari petugas pemroses

:

1. Bahwasannya setelah WP memasukkan permohonannya maka petugas pemroses masalah (dalam hal ini petugas seksi pendataan dan penilaian), setelah menerima berkas permohonan dari WP petugas penerima berkas melakukan kegiatan sebagai berikut:

a. Menatausahakan permohonan WP tersebut kepada petugas yang ditunjuk menangani data grafis/peta untuk mengecek kebenaran posisi relatif dari obyek pajak pada peta kerja dan berdasarkan data yang diterima dari WP atau hasil penelitian lapangan oleh tenaga fungsional atau pembina wilayah melalui petugas peneliti;

b. Menatausahakan perubahan/pemecahan obyek pajak tersebut pada peta kerja sesuai dengan ketentuan yang berlaku;

c. Meneruskan berkas permohonan WP yang telah diproses tersebut di atas berikut formulir pelayanan wajib pajak kepada petugas peneliti, dalam hal ini kepala sub seksi klasifikasi dan pemutakhiran data atau pejabat lain yang ditunjuk, untuk diteliti lebih lanjut.

46

(13)

masalah, dalam hal permasalahan yang diteliti tersebut diperlukan keputusan oleh pejabat atasannya (Kepala Seksi Pendataan dan Penilaian dan/atau Kepala Kantor Pelayanan PBB), meneruskan berkas permohonan WP yang telah diputuskan oleh pejabat atasannya, meneruskan berkas permohonan WP yang telah diputuskan oleh pejabat yang berwenang berikut formulir pelayanan wajib pajak kepada koordinator tempat pelayanan.

3. Koordinator Tempat Pelayanan setelah menerima berkas permohonan WP, melakukan kegiatan antara lain:

a. Meneliti seperlunya dan mencatat pada buku penjagaan berkas permohonan WP yang telah diputuskan kemudian diteruskan ke seksi pengolahan data dan informasi untuk diproses lebih lanjut;

b. Menerima dan meneliti hasil keluaran dari seksi pengolahan data dan informasi, serta meneruskan kepada kepala kantor pelayanan PBB untuk ditandatangani. Dari sini diteruskan kepada petugas penyampai hasil keluaran dan meneruskan hasil keluaran lainnya berupa STTS dan DHKP kepada seksi penetapan untuk diproses lebih lanjut dan ditandatangani WP bersangkutan ke seksi penetapan untuk ditatausahakan.

4. Petugas penyampai hasil keluaran, setelah menerima hasil keluaran dari koordinator tempat pelayanan melakukan kegiatan antara lain :

a. Mencatat pada buku penjagaan atau merekam pada komputer pelayanan tanggal penyelesaian permohonan WP;

(14)

c. menghimpun tanda terima SPPT dan formulir pelayanan WP yang telah ditandatangani oleh WP yang bersangkutan, serta meneruskan kepada koordinator tempat pelayanan pajak.

Setelah melihat dasar-dasar penentuan klasifikasi bumi dan bangunan dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 9 tahun 1994 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan sebagai acuan dasar, dalam hal ini menyampaikan faktor-faktor penentu lain di lapangan sebagai hasil penelitian di wilayah KPPBB adalah sebagai berikut47

47

Ida Zuraida “Suatu tinjauan tentang faktor Penentu Klasifikasi NJOP” 26 Febuari 2003, :

1. Dengan telah terbentuknya basis data sistem manajemen informasi obyek pajak (SISMIOP) bumi dan bangunan serta untuk memenuhi 4 (empat) persyaratan informasi yang harus dipenuhi dalam sistem ini, yaitu : relevan, tepat waktu handal, dan mutakhir, maka dipandang perlu basis data yang telah terbentuk tersebut dipelihara semaksimal mungkin. Pemeliharaan basis data dimaksud meliputi data atributik dan data grafis.

2. Pemantauan terhadap perubahan dan atau perkembangan yang terjadi di lapangan baik yang menyangkut obyek dan subyek pajak bumi dan bangunan maupun perkembangan wilayah, merupakan satu hal yang mutlak harus dilaksanakan dalam rangka pemeliharaan basis data SISMIOP PBB guna menunjang sarana pembentukan klasifikasi.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas dan pada hakekatnya Kantor

(15)

Pelayanan PBB, dalam hal pembinaan wilayah meliputi tugas-tugas48

Mengingat cukup luas dan kompleksnya ruang lingkup tugas pembinaan wilayah dan untuk menghindari kemungkinan timbulnya penyalahgunaan wewenang oleh para petugas pembina wilayah, maka pelaksanaan pembinaan wilayah KPPBB diatur sebagai berikut

: 1. Penyuluhan kepada masyarakat dengan dibantu;

2. Pemantauan perubahan obyek/subyek pajak bumi dan bangunan; 3. Pemantauan penyampaian SPPT kepada WP;

4, Pemantauan penerimaan dan penagihan pajak bumi dan bangunan; 5. Pemantauan perkembangan wilayah;

6. Pengumpulan data NJOP;

7. Penelitian lapangan/konfirmasi terhadap informasi adanya perubahan obyek/subyek pajak, perkembangan wilayah, dan informasi lainnya yang berhubungan dengan pengelolaan PBB.

49

b. Petugas pembina wilayah dan koordinator petugas pembina wilayah ditunjuk melalui surat keputusan KPPBB, dan penunjukan tersebut diinformasikan kepada pemerintah daerah TK II.

: 1. Rentang Kendali

a. Setiap petugas pembina wilayah ditugaskan untuk membina minimal satu desa/kelurahan, dan setiap kecamatan dikoordinir oleh seorang tenaga fungsional atau petugas lain yang dinilai cakap oleh kepala kantor pelayanan pajak bumi dan bangunan.

48

Suryono, “Suatu Tugas dari Kantor Pelayanan Pajak”, 12 Septemeber 2994,

49

(16)

c. Petugas pembina wilayah mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada koordinatornya, dan selanjutnya para koordinator petugas pembina wilayah mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas di wilayahnya kepada KPPBB melalui para kepala seksi terkait.

d. Para kepala seksi yang terkait dalam kegiatan pembinaan wilayah secara periodik melaporkan secara tertulis perkembangan pelaksanaan pembinaan wilayah. Laporan tertulis tersebut sebelum disampaikan kepada KPPBB, dikombilir terlebih dahulu oleh kepala sub bagian tata usaha.

2. Mekanisme

a. Para petugas pembina wilayah setiap hari ditugaskan untuk mengadakan koordinasi dengan pihak pemerintah desa/kelurahan mengenai pelaksanaan pembinaan wilayah.

b. Setiap pagi sebelum ke lapangan para petugas pembina wilayah melaporkan semua kegiatan yang dilaksanakan dan informasi-informasi yang diperoleh pada hari sebelumnya kepada koordinatornya, dan selanjutnya oleh koordinator petugas pembina wilayah meneruskan laporan kepada para kepala seksi terkait dalam KPPBB.

(17)

menerbitkan surat tugas kepada petugas lain yang ditunjuk untuk itu.

d. Setiap seminggu sekali diadakan evaluasi atas pelaksanaan pembinaan wilayah. Dalam evaluasi tersebut, para petugas pembina wilayah melaporkan hasil pelaksanaan tugasnya selama satu minggu kepada koordinatornya, dan selanjutnya setelah dihimpun laporan dimaksud, koordinator petugas pembina wilayah melaporkan pelaksanaan pembinaan wilayah di wilayahnya.

e. Masing-masing seksi terkait di KPPBB menanggapi dan memberikan jalan keluar atas permasalahan yang ditemui di lapangan, dan selanjutnya hasil evaluasi mingguan tersebut oleh kepala sub bagian tata usaha dikompilir untuk selanjutnya dilaporkan kepada KPPBB.

f. Untuk mempermudah dalam mengevaluasi hasil pembinaan wilayah, bentuk-bentuk laporan mingguan maupun bulanan perlu distandarisir.

Sesuai dengan ruang lingkup tugasnya, maka secara garis besarnya tugas-tugas pembinaan wilayah di KPPBB antara sebagai berikut50

50

Erianto Nugroho, “Tugas Pokok dan Fungsi KPP”, 23 Maret 2005, :

1. Penyuluhan kepada masyarakat

a. Tanpa mengurangi arti penyuluhan yang dilaksanakan oleh kantor penyuluhan pajak sebagai mitra dari KPPBB, para petugas pembina wilayah diharapkan mampu memberikan penjelasan kepada masyarakat, khususnya bagi WP di daerah kelurahan/kecamatan di wilayah kerja petugas pembina wilayah, tentang beberapa hal antara lain :

(1) Kebijakan pemerintah di bidang perpajakan khususnya PBB;

(18)

(2) Hak-hak dan kewajiban para WP, khususnya yang berkaitan dengan PBB;

(3) Maksud dan tujuan dari peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, khususnya yang menyangkut status hukum atau hak atas bumi. b. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam memberikan penyuluhan kepada

masyarakat, maka KPPBB bekerja sama dengan kantor penyuluhan pajak melakukan beberapa langkah-langkah antara lain :

(1) Identifikasi sasaran, guna mengetahui karakteristik pihak-pihak yang akan diberikan penyuluhan. Sehingga dapat disusun materi penyuluh hak sesuai dengan kemampuan dan daya serap komunikasi/WP;

(2) Formulasi materi penyuluhan yang tepat, singkat dan sederhana, valid, aktual dan tidak membosankan pihak komunikasi/WP;

(3) Pemilihan media penyuluhan yang disesuaikan dengan materi dan sasaran penyuluhan;

(4) Kredibilitas petugas oleh KPPBB harus disesuaikan dengan wilayah kerjanya.

2. Pemantauan Perubahan Obyek atau Subyek Pajak Bumi dan Bangunan

a. Mencatat perubahan obyek pajak yang terjadi di lapangan, antara lain: mengenai perubahan luas, nilai jual, fisik, penggunaan atau pemanfaatan di wilayah kerja pembinaan.

b. Mencatat perubahan status pemilikan dan/atau penguasaan atas obyek pajak dalam kaitannya dengan penentuan WP atas obyek dimaksud di lapangan. c. Mengadakan koordinasi dengan para pejabat yang diwajibkan untuk

(19)

dimaksud pejabat tersebut di atas di dalam penjelasan UU No. 9/1994 tentang PBB pasal 21 ayat 1 yaitu : Camat sebagai pejabat pembuat akte tanah, notaris pejabat pembuat akte tanah, dan pejabat pembuat akte tanah.

3. Pemantauan penyampaian SPPT kepada wajib pajak

a. Memantau secara aktif penyampaian SPPT kepada wajib pajak, baik yang disampaikan oleh pihak kelurahan, Dipenda, maupun kantor pelayanan pajak bumi dan bangunan dengan jalan antara lain :

(1) Mengadakan koordinasi dan menghimbau kepada instansi terkait yang berkompeten dalam penyampaian SPPT untuk segera menyampaikan SPPT kepada wajib pajak yang bersangkutan;

(2) Membuat laporan mingguan perkembangan penyampaian SPPT kepada WP;

(3) Dalam hal ditemukan WP yang belum menerima SPPT agar segera mengimformasikan ke kantor KPPBB untuk penerbitan salinan SPPT; (4) Menginfentarisir segala permasalahan yang ditemui di lapangan

sehubungan dengan penyampaian SPPT.

b. Meneliti dan mengkonfirmasikan laporan atau usulan tentang pembetulan dan/atau pembatalan SPPT, yang diajukan WP yang bersangkutan, apakah telah memenuhi syarat-syarat formal yang berlaku.

c. Mencari informasi alamat/domisili WP yang belum diketahui pada waktu pengumpulan data dalam kegiatan pembentukan basis data sistim informasi manajemen obyek pajak (SISMIOP).

4. Pemantauan Penerimaan dan Penagihan PBB

(20)

masing-masing kelurahan.

b. Pemantauan pelaksanaan sistem tempat pembayaran (SISTEP):

(1) Mencatat dan menginventarisir nama-nama Bank Pemerintah yang ada atau yang berdekatan dengan kelurahan yang bersangkutan.;

(2) Mencari informasi dari masyarakat atau kantor kelurahan, bank tempat pembayaran mana yang dirasa dekat atau dijangkau oleh masyarakat yang tinggal di kelurahan bersangkutan;

(3) Mencatat berbagai informasi dari masyarakat tentang pelayanan bank-bank tempat pembayaran.

5. Pemantauan Perkembangan Wilayah

a. Mencatat setiap perkembangan wilayah yang terjadi di lapangan;

b. Mencatat jumlah kompleks-kompleks pemukiman, perindustrian, perdagangan dan lain sebagainya baik yang dibangun pemerintah maupun swasta serta mengadakan koordinasi dengan pihak developernya.

c. Mengadakan koordiansi dengan instansi terkait dalam hal terjadi perubahan wilayah administrasi pemerintahan yang baru, khususnya Badan Pertanahan Nasional (BPHN).

6. Pengumpulan data Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP)

a. Menginventarisir data harga jual obyek pajak baik yang berasal dari instansi terkait, media masa, developer, dan WP.

b. Menginventarisir data harga jual bahan material bangunan dan standar upah yang terjadi di lapangan setiap 6 bulan terakhir.

(21)

berhubungan dengan pengelolaan pajak bumi dan bangunan.

a. Atas perintah KPPBB, para petugas pembina wilayah bersama-sama dengan petugas lain yang ditunjuk, melaksanakan penelitian di lapangan terhadap permohonan keberatan atas ketetapan PBB atau pengurangan PBB yang diajukan oleh WP.

b. Pengawasan terhadap kegiatan pembinaan wilayah meliputi 3 (tiga) aspek, yaitu: pengawasan operasional, pengawasan teknis, dan pengawasan administratif:

(1) Pengawasan operasional dimaksudkan untuk mengetahui apakah petugas pembina wilayah benar-benar melaksanakan tugas di lapangan, dengan peninjauan langsung di lapangan.

(2) Pengawasan teknis dimaksudkan untuk mengetahui pelaksanaan penyelesaian dan pembinaan masalah yang mungkin timbul antara petugas pembina wilayah dengan komunikan/WP dengan berpedoman dengan petunjuk teknis yang telah ditetapkan.

(3) Pengawasan adminsitratif dilaksanakan dengan mengevaluasi laporan-laporan yang disampaikan oleh para petugas pembina wilayah. Untuk laporan produksi petugas yang bersangkutan, sedangkan laporan mingguan dan laporan bulanan melalui laporan yang disampaikan secara periodik oleh para petugas pembina wilayah melalui koordiantornya.

(22)

C. Sektor-sektor penentu klasifikasi

1. Nilai Jual Objek Pajak sektor Perkebunan

Sesuai dengan KMK 523/KMK.04/1998 jo KEP DJP 16/PJ.6/1998 Pasal 3 .Besarnya Nilai Jual Objek Pajak atas Objek Pajak Sektor Perkebunan ditentukan sebagai berikut :

a. Areal kebun adalah sebesar Nilai Jual Objek Pajak berupa tanah ditambah dengan Jumlah Investasi Tanaman Perkebunan sesuai dengan Standar Investasi menurut umur tanaman.

b. Areal emplasemen51

51

Areal emplasemen adalah areal yang diatasnya terdapat bangunan dan atau pekarangan. Dikutip dari Suyudi, “PBB Kehutanan, dan tata caranya”, 27 Juni 2007,

dan areal lainnya dalam kawasan perkebunan, adalah sebesar Nilai Jual Objek Pajak berupa tanah sekitarnya dengan penyesuaian seperlunya.

c. Objek Pajak berupa bangunan adalah sebesar Nilai Jual Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 angka 15.

Menurut Pasal 2 ayat (1) Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER – 50/PJ/2008, PBB sektor perkebunan adalah hasil antara perkalian luas areal perkebunan dengan NJOP Bumi per meter persegi dan perkalian luas bangunan dengan NJOP bangunan per meter persegi.

NJOP bumi dan bangunan per meter persegi sebesar hasil konversi nilai tanah atau bangunan per meter persegi ke dalam klasifikasi, penggolongan dan ketentuan nilai jual permukaan bumi (tanah) atau bangunan sebagaimana dimaksud pada tabel klasifikasi menurut Keputusan mentri Keuangan No.523/KMK.04/1998.

(23)

2. Nilai Jual Objek Pajak sektor Kehutanan atas Hak Pengusahaan Hutan, Hak Pengusahaan Hasil Hutan, Izin Pemanfaatan Kayu serta Izin Sah Lainnya

Sesuai dengan KMK 523/KMK.04/1998 jo KEP DJP 16/PJ.6/1998 Pasal 4. besarnya Nilai Jual Objek Pajak atas Objek Pajak sektor Kehutanan atas hak Pengusahaan Hutan. Hak Pengusahaan Hasil Hutan, Izin Pemanfaatan Kayu serta Izin Sah Lainnya selain Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri ditentukan sebagai berikut:

a. Areal Produktif 52

b. Areal belum

sebesar 8,5x hasil bersih setahun sebelum tahun pajak berjalan

53

/ tidak produktif54

c. Objek Pajak berupa bangunan adalah sebesar Nilai Jual Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 angka 15.

, emplasemen dan areal lainnya, adalah sebesar Nilai Jual Objek Pajak berupa tanah sekitarnya dengan penyesuaian seperlunya.

3. Nilai Jual Objek Pajak sektor Kehutanan atas Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri.

Sesuai dengan KMK 523/KMK.04/1998 jo KEP DJP 16/PJ.6/1998 Pasal 5 Ayat (1). Besarnya Nilai Jual Objek Pajak atas Objek Pajak Sektor Kehutanan atas Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri ditentukan sebagai

52

Areal produktif adalah Areal Hutan blok tebangan. Data dikutip dari Suyudi, “PBB

Kehutanan, dan tata caranya”, 27 Juni 2007,

pada tanggal 25 Oktober 2009

53

Areal belum produktif adalah areal hutan non blok tebangan. Data dikutip dari Suyudi,

PBB Kehutanan, dan tata caranya”, 27 Juni 2007,

diakses pada tanggal 25 Oktober 2009

54

Areal tidak produktif adalah areal hutan yang tidak ada tegakannya, seperti areal rawa, payau, waduk/danau, atau yang digunakan pihak ketiga secara tidak sah. Data dikutip dari Suyudi,

PBB Kehutanan, dan tata caranya”, 27 Juni 2007,

(24)

berikut :

a. Areal hutan adalah sebesar Nilai Jual Objek Pajak berupa tanah ditambah dengan Jumlah Biaya Pembangunan Hutan Tanaman Industri menurut umur tanaman.

b. Areal emplasemen dan areal lainnya dalam Kawasan Hutan Tanaman Industri, adalah sebesar Nilai Jual Objek Pajak berupa tanah sekitarnya dengan penyesuaian seperlunya.

c. Objek Pajak berupa bangunan adalah sebesar Nilai Jual Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 angka 15.

4. Nilai Jual Objek Pajak sektor Pertambangan Minyak dan Gas bumi

Sesuai dengan KMK 523/KMK.04/1998 jo KEP DJP 16/PJ.6/1998 Pasal 6. Besarnya Nilai Jual Objek Pajak atas Objek Pajak Sektor Pertambangan Minyak dan Gas bumi ditentukan sebagai berikut :

a. Areal produktif55

b. Areal belum

adlah 9,5x hasil penjualan minyak bumi dan gas bumi dalam satu tahun sebelum tahun pajak berjalan

56

/ tidak produktif57

55

Areal produktif adalah areal yang telah dieksplotasi / menghasilkan galian tambang (tahap eksploitasi). Data diperoleh dari Muchtar Ali, “PBB pertambangan non migas selain pertambangan energi panas bumi dan galian C” 20 Mei 2008,

, emplasemen dan areal lainnya di dalam atau diluar wilayah kuasa pertambangan, adalah sebesar Nilai Jual Objek Pajak berupa tanah sekitarnya dengan penyesuaiaan seperlunya.

diakses pada tanggal 25 oktober 2009

56

Areal belum produktif adalah areal belum menghasilkan tapi sewaktu waktu akan menghasilkan galian tambang (tahap penyelidikan umum, eksplorasi dan konstruksi). Data diperoleh dari Muchtar Ali, “PBB pertambangan non migas selain pertambangan energi panas bumi dan galian C” 20 Mei 2008, 2009

57

(25)

c. Objek Pajak berupa Bangunan adalah sebesar Nilai Jual Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 angka 15

5. Nilai Jual Objek Pajak sektor Pertambangan Energi Panas bumi

Sesuai dengan KMK 523/KMK.04/1998 jo KEP DJP 16/PJ.6/1998 Pasal 7. Besarnya Nilai Jual Objek Pajak atas Objek Pajak Sektor Pertambangan Energi Panas bumi ditentukan sebagai berikut :

a. Areal produktif adlah 9,5x hasil penjualan energi panas bumi dalam satu tahun sebelum tahun pajak berjalan

b. Areal belum / tidak produktif, emplasemen dan areal lainnya di dalam atau diluar wilayah kuasa pertambangan, adalah sebesar Nilai Jual Objek Pajak berupa tanah sekitarnya dengan penyesuaiaan seperlunya.

c. Objek Pajak berupa Bangunan adalah sebesar Nilai Jual Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 angka 15

6. Nilai Jual Objek Pajak sektor Pertambangan Non Migas

Sesuai dengan KMK 523/KMK.04/1998 jo KEP DJP 16/PJ.6/1998 Pasal 8. Besarnya Nilai Jual Objek Pajak atas Objek Pajak Sektor Pertambangan Non Migas ditentukan sebagai berikut :

a. Areal produktif adlah 9,5x hasil bersih galian tambang dalam satu tahun sebelum tahun pajak berjalan

b. Areal belum / tidak produktif, emplasemen dan areal lainnya di dalam atau diluar wilayah kuasa pertambangan, adalah sebesar Nilai Jual Objek Pajak berupa tanah sekitarnya dengan penyesuaiaan seperlunya.

(26)

7. Nilai Jual Objek Pajak sektor Pertambangan Non Migas Galian C.

Sesuai dengan KMK 523/KMK.04/1998 jo KEP DJP 16/PJ.6/1998 Pasal 9. Besarnya Nilai Jual Objek Pajak atas Objek Pajak Sektor Pertambangan Non Migas Galian C ditentukan sebagai berikut :

a. Areal produktif adalah sebesar angka kapitalisasi tertentu dikalikan hasil bersih galian tambang dalam satu tahun sebelum tahun pajak berjalan. b. Areal belum / tidak produktif, emplasemen dan areal lainnya di dalam atau

diluar wilayah kuasa pertambangan, adalah sebesar Nilai Jual Objek Pajak berupa tanah sekitarnya dengan penyesuaiaan seperlunya.

c. Objek pajak berupa bangunan adalah sebesar Nilai Jual Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada pasal 1 angka 15.

8. Nilai Jual Objek Pajak sektor Perikanan Laut

Sesuai dengan KMK 523/KMK.04/1998 jo KEP DJP 16/PJ.6/1998 Pasal 11. Besarnya Nilai Jual Objek Pajak atas Objek Pajak usaha bidang Perikanan laut ditentukan sebagai berikut :

a. Areal penangkapan ikan adalah sebesar 10x hasil bersih ikan dalam satu tahun58

d. Objek pajak berupa bangunan adalah sebesar Nilai Jual Objek Pajak sebelum tahun pajak berjalan.

b. Areal pembudidayaan ikan adalah sebesar 8x hasil bersih ikan dalam satu tahun sebelum tahun pajak berjalan.

c. Areal emplasemen dan areal lainnya adalah sebesar Nilai Jual Objek Pajak berupa tanah sekitarnya dengan penyesuaian seperlunya.

58

(27)

sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 angka 15. 9. Nilai Jual Objek Pajak sektor Perikanan Darat

Sesuai dengan KMK 523/KMK.04/1998 jo KEP DJP 16/PJ.6/1998 Pasal 12. Besarnya Nilai Jual Objek Pajak atas Objek Pajak usaha bidang Perikanan darat ditentukan sebagai berikut :

a. Areal pembudidayaan ikan adalah sebesar Nilai Jual Objek Pajak berupa tanah disekitarnya dengan penyesuaiaan seperlunya ditambah standar biaya investasi tambak menurut jenisnya.

b. Areal emplasemen dan areal lainnya adalah sebesar Nilai Jual Objek Pajak berupa tanah sekitarnya dengan penyesuaian seperlunya.

c. Objek pajak berupa bangunan adalah sebesar Nilai Jual Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 angka 15.

Usaha perikanan laut dan darat juga erat hubungannya dengan pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan sesuai dengan Surat Edaran – 22/PJ.6/1999 sehubungan telah ditetapkannya Keputusan Direktur jendral Pajak No. KEP – 16/PJ.6/1998 Tanggal 30 Desember 1998 tentang Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan.

10.Nilai Jual Objek Pajak atas Objek Pajak yang bersifat khusus.

Sesuai dengan KMK 523/KMK.04/1998 jo KEP DJP 16/PJ.6/1998 Pasal 13. Besarnya Nilai Jual Objek Pajak atas Objek Pajak yang bersifat khusus ditentukan sebagai berikut :

a. Areal tanah adalah sebesar Nilai Jual Objek Pajak berupa tanah disekitarnya dengan penyesuaiaan seperlunya.

(28)

tempat rekreasi adalah sebesar Nilai Jual yang ditentukan berdasarkan korelasi garis lurus kesamping dengan klasifikasi Nilai Jual Objek Pajak permukaan bumi berupa tanah sekitarnya.

c. Areal perairan untuk kepentingan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) adalah sebesar 10x (10% dari hasil bersih dalam satu tahun sebelum tahun pajak berjalan)

d. Objek Pajak berupa bangunan adalah sebesar Nilai Jual Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 angka 15.

(29)

BAB IV

PENYELESAIAAN KASUS WAJIB PAJAK ATAS PENETAPAN NILAI JUAL OBJEK PAJAK

A. Keberatan Atas Penetapan Nilai Jual Objek Pajak

Sebagai dasar hukum pengajuan keberatan adalah Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994 tentang PBB yang menyatakan bahwa Wajib Pajak (WP) dapat mengajukan keberatan pada Direktur Jenderal Pajak atas Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) dan Surat Ketetapan Pajak (SKP). Dengan ini dalam pengajuan keberatannya diajukan masing-masing dalam satu surat keberatan tersendiri untuk setiap tahun pajak.

Surat keberatan adalah surat permohonan Wajib Pajak yang bersangkutan yang ditujukan kepada Direktur Jenderal Pajak atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang berwenang, untuk meminta kebebasan atau pengurangan pajak yang dikenakan kepadanya berdasarkan SPPT atau SKP, dengan alasan Wajib Pajak tidak dapat menyetujui dasar yang digunakan untuk menghitung pajaknya. Syarat keberatan ini didalam penulisannya mempunyai syarat formal yaitu harus dengan jelas menyebutkan nama Wajib Pajak Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), jenis pajak, tahun pajak, jumlah pajak yang menjadi keberatan beserta alasan-alasan yang kuat dan benar. Dan apabila tidak memenuhi syarat formal di atas, tidak dianggap sebagai Surat Keberatan, sehingga tidak dapat dipertimbangkan (dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 9 tahun 1994).

Wajib pajak dapat mengajukan keberatan atas59 1. Surat Ketetapan Pajak kurang Bayar (SKPKB). :

59

(30)

2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT). 3. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB).

4. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN).

5. Pemotongan atau Pemungutan oleh pihak ketiga.

Surat keberatan ini harus sudah diajukan dalam jangka tiga bulan terhitung sejak tanggal diterimanya SPPT atau SKP (Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994). Jangka waktu tiga bulan ini dimaksudkan untuk memberikan cukup waktu bagi wajib pajak untuk mempersiapkan surat keberatan dan alasan-alasan. Dan apabila dalam tiga bulan itu tidak dapat dipatuhi oleh wajib pajak, karena keadaan luar biasa yang ada di luar kekuasaannya (force majeur), maka hal ini harus diberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak (Pasal 15 ayat (3)), apabila diterima maka diajukan secara tertulis dengan menggunakan bahasa Indonesia (Pasal 15 ayat (2)) dan sebagai tanda bukti pemasukan Dirjen Pajak memberikan tanda bukti penerimaan. Dan apabila dikirim melalui pos, maka tanda bukti pengiriman adalah bukti penerimaan surat keberatan (Pasal 15 ayat (4)).

Tanda penerimaan Surat Keberatan yang diberikan oleh pejabat Direktorat Jendral Pajak yang ditunjuk untuk itu atau tanda pengiriman Surat keberatan melalui pos tercatat menjadi tanda bukti60

60

Tanda bukti Surat keberatan sangat diperlukan untuk memenuhi ketentuan formal. Diterima atau tidaknya hal mengajukan Surat keberatan dimaksud tergantung dipenuhinya ketentuan batas waktu sebagaimana yang dihitung mulai diterbitkannya sampai saat diterimanya Surat keberatan tersebut. Tanda bukti tersebut oleh WP dapat juga digunakan sebagai alat control baginya, untuk mengetahui sampai kapan batas waktu 12(dua belas) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan.

(31)

menjadi dasar pengenaan, pemotongan atau pemungutan pajak.

Pemasukan surat keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak (Pasal 15 ayat 6), sehingga wajib pajak selama belum ada keputusan surat keberatan yang mengubah SPPT dan SKP, tetap diharuskan membayar pajak yang sudah jatuh temponya.

Sebagai contoh61

61

Lisa Pratiwi Ayu, “Pokok-pokok aturan tentang Pajak yang perlu anda ketahui”, :

SPPT diterima tanggal 1 April 2004, dan harus dibayar paling lambat tanggal 30 September 2004. Wajib pajak berkeberatan atas jumlah pajak yang ditetapkan SPPT. Ia mengajukan keberatan pada tanggal 5 April 2004. Dikarenakan pajak terhutang baru dilunasi pada tanggal 30 September 2004, maka dia masih ada waktu walaupun ditunda. Akan tetapi apabila sebelum tanggal 30 September 2004 belum juga ada keputusan tentang surat keberatannya, maka wajib pajak harus melunasi pajaknya pada tanggal 30 September 2004, karena pemasukan surat keberatan tidak menunda pembayaran pajaknya.

Apabila WP mendapat SKP pada tanggal 1 April 2004, maka jatuh temponya hanya satu bulan dan pajak harus lunas pada tanggal 30 April 2004. Dan apabila pada tanggal 29 April 2004 belum juga ada keputusannya maka wajib pajak harus melunasi pajak-pajak yang dikenakan kepadanya dengan SKP tersebut.

Dari kesemua di atas, surat keberatan akan diputuskan dalam jangka paling lama 12 (dua belas) bulan oleh Dirjen Pajak atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak, sejak diterima surat keberatan. Dengan ini wajib memberikan keputusan atas surat keberatan yang diajukan (Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994).

(32)

Keputusan yang diberikan Dirjen Pajak atas surat keberatan dapat berisi:62

G. Pengajuan Banding

a. Menerima keberatan, seluruhnya atau sebagian; b. Menolak surat keberatan;

c. Menambah besarnya pajak yang terhutang.

Apabila dari pihak Direktur Jenderal Pajak menganggap, bahwa surat keberatan yang diajukan beralasan, maka akan diterima, berarti bahwa pengurangan hutang sesuai dengan permohonan WP. Adakalanya sering terjadi bahwa perohonan surat keberatan yang dilakukan wajib pajak tidak diterima seluruhnya, hanya sebagian, berarti juga hutang pajak dikurangi sebagian. Akan tetapi apabila alasan-alasan yang dikemukakan wajib pajak tidak dapat diterima, maka surat keberatan tersebut ditolak, berarti pajak yang dipertahankan tidak dikurangi. Dan apabila prosedur surat keberatan yang diajukan dalam 12 bulan terlewati, dan tidak diberikan keputusan, maka surat keberatan wajib pajak dianggap diterima Pasal 26 Undang-Undang Nomor 9 tahun 1994.

Bagi wajib pajak yang prosedur surat keberatannya ditolak Direktur Jenderal Pajak, maka penolakan itu harus disertai alasan-alasannya. Dan apabila WP belum puas dengan keputusan tersebut maka masih ada satu upaya lagi yaitu banding.

Dengan dihapuskannya dasar hukum banding dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994 pasal 17, maka acuan banding mengikuti Pasal 27 Undang-Undang Nomor 9 tahun 1994 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran

62

(33)

Negara Tahun 1994 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3984).

Dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 tahun 1994 menyatakan bahwa wajib pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Selanjutnya sebelum badan peradilan pajak dibentuk, permohonan banding diajukan kepada Badan Penyelesaian Sengketa Pajak, yang putusannya bukan merupakan Keputusan Tata Usaha Negara (ayat (2)). Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 9 tahun 1994, maka penyempurnaan Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 terutama pada Pasal 27, ditambah dengan Pasal 27A yang menyatakan bahwa apabila pengajuan keberatan atau permohonan banding diterima sebagian atau seluruhnya, maka kelebihan pembayaran dikembalikan dengan di tambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk selama-lamanya dua puluh empat bulan.

Syarat formal pengajuan banding tersebut antara lain63

Kemudian apabila sudah diputuskan, maka sifat putusan itu bukan merupakan putusan Tata Usaha Negara dan putusan badan peradilan pajak tersebut merupakan

: a. Tertulis dalam bahasa Indonesia

b. Dalam jangka tiga bulan

c. Alasan-alasan yang jelas dan kuat d. Dilampiri salinan Surat Keputusan

e. Tidak menunda kewajiban membayar pajak dan penagihan pajak

63

(34)

putusan akhir dan bersifat tetap. Putusan Pengadilan Pajak atas pengajuan upaya banding yang dilakukan oleh WP dapat berupa64

1. Menolak;

:

2. mengabulkan sebagian atau seluruhnya; 3. Menambah pajak yang harus dibayar; 4. tidak dapat diterima;

5. Membetulkan kesalahan tulis dan atau kesalahan hitung; 6. Membatalkan.

Di dalam penyempurnaan-penyempurnaan mengenai ketentuan banding di atas, akan menghapuskan keragu-raguan wajib pajak yang selama ini akan mengajukan upaya banding. Ini dimaksudkan untuk memberikan keadilan dalam pengenaan pajak dan memperjelas ketentuan mengenai banding ke dalam peradilan pajak. Sebagai contoh:

Pada Undang-Undang lama Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Nomor 6 tahun 1983 Pasal 27 ayat (1) menentukan bahwa surat banding terhadap keputusan Dirjen Pajak harus diajukan dalam jangka waktu tiga bulan terhitung sejak tanggal keputusan ditetapkan, sedangkan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 12 tahun 1985 menentukan bahwa jangka waktu itu adalah tiba bulan sejak diterimanya surat keputusan Dirjen Pajak. Dua ketentuan tentang hal yang sama itu ternyata berlainan. Bila kita berdasarkan asas Lex specialis deorgat lex generalis, Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994 itulah merupakan ketentuan yang lebih khusus.

Pada peraturan yang baru, yaitu pada Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994

64

(35)

Pasal 17 mengenai aturan banding pada undang-udang ini dihapuskan. Prosedur banding merujuk pada Pasal 27 Undang-Undang Nomor 9 tahun 1994 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Dengan adanya ketentuan baru ini, maka kepastian hukum putusan badan peradilan pajak (untuk saat ini Badan Penyelesaian Sengketa Pajak menurut Undang-Undang Nomor 17 tahun 1997 dapat diwujudkan, sehingga atas setiap putusan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak dapat langsung dieksekusi, dan tidak dapat dilakukan upaya hukum lainnya sehingga arus penerimaan pajak dapat terjamin.

C. Permohonan Pengurangan NJOP PBB

Selain upaya keberatan dan banding Atas Penetapan Nilai Jual Objek Pajak ,dalam menanggapi masalah besaran Nilai Jual Objek Pajak dari setiap wajib pajak, terdapat ketentuan yang mengatur mengenai permohonan pengurangan NJOP. Ketentuan tersebut dapat dilihat pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor yang menyatakan bahwa setiap Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengurangan NJOP PBB. Hal ini bertujuan untuk memenuhi unsur keadilan dalam menetapkan besaran NJOP oleh pemerintah sehingga diskriminasi pajak dapat terhindarkan.

Pengurangan Pajak Bumi dan bangunan adalah pemberian keringanan Pajak yang terutang atas Subjek Pajak dalam hal65

1. Wajib pajak orang pribadi atau badan karena kondisi tertentu Objek Pajak yang ada hubungannya dengan Subjek Pajak dan atau karena sebab-sebab tertentu lainnya, yaitu:

:

65

(36)

a. Objek pajak berupa lahan pertanian / perkebunan / perikanan/ peternakan yang hasilnya sangat terbatas yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh Wajib Pajak orang pribadi;

b. Objek Pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh Wajib Pajak orang pribadi yang berpenghasilan rendah yang nilai jualnya meningkat akibat adanya pembangunan atau perkembangan lingkungan. c. Objek Pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh Wajib

Pajak Orang Pribadi yang penghasilannya semata-mata berasal dari pensiunan, sehingga kewajiban PBB-nya sulit dipenuhi;

d. Objek Pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh Wajib Pajak orang pribadi yang berpenghasilan rendah sehingga kewajiban PBBnya sulit dipenuhi;

e. Objek Pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh wajib pajak veteran pejuang kemerdekaan dan veteran pembela kemerdekaan; f. Objek Pajak yang dimiliki, dikuasai dan dimanfaatkan oleh Wajib Pajak

Badan yang mengalami kerugian dan kesulitan likuiditas yang serius sepanjang tahun, sehingga tidak dapat memenuhi kewajiban rutin perusahaan;

(37)

Selain itu, ada pengurangan yang dikarenakan Objek Pajak PBB ( tanpa melihat subjek PBB lagi ), yaitu tanah dan atau bangunan yang66

1. Terkena Bencana Alam

:

Adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.

2. Sebab Lain Yang Luar Biasa

Meliputi kebakaran, wabah penyakit tanaman, dan/ atau wabah hama tanaman. Cara Pengajuan Permohonan pengurangan NJOP PBB :67

b. Untuk ketetapan PBB di atas Rp 100.000,- harus diajukan oleh WP yang bersangkutan dengan melampirkan fotokopi SPPT/SKP PBB Tahun Pajak yang dimohonkan.

1. Permohonan pengurangan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama atau Kepala Kantor Pelayanan PBB yang menerbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT)/Surat Ketetapan Pajak (SKP).

2. Isi surat permohonan menyebutkan prosentase pengurangan yang dimohonkan

3. Pengajuan permohonan dilakukan dengan ketentuan :

a. Untuk ketetapan PBB s/d Rp 100.000,- dapat diajukan secara perseorangan atau kolektif (melalui Kepala Desa/Lurah yang bersangkutan) dengan formulir yang telah ditentukan.

66

Raden Suparman, “Pengurangan PBB”, 12 Juli 2009, diperoleh dari www. pajaktaxes.blogspot.com, terakhir kali diakses pada tanggal 03 November 2009

67

(38)

c. Untuk WP Badan, melampirkan fotokopi : 1) SPPT/SKP PBB tahun yang dimohonkan; 2) SPT PPh tahun terakhir beserta lampirannya.

3) STTS tahun pajak terakhir atau struk ATM/ Counter Teller pembayaran PBB

4) Laporan keuangan perusahaan.

d. Untuk Objek Pajak yang terkena bencana alam, hama tanaman, dan sebab lain yang luar biasa dan bersifat kolektif diajukan oleh Kepala Desa/Lurah dengan diketahui oleh Camat dengan mencantumkan nama-nama Wajib Pajak yang dimohonkan pengurangannya dengan mempergunakan formulir yang telah ditentukan.

4. Permohonan diajukan selambat-lambatnya 3 bulan sejak SPPT/SKP diterima WP atau sejak terjadinya bencana alam atau sebab-sebab lain yang luar biasa.

5. Pengurangan secara kolektif diajukan sebelum SPPT diterbitkan selambat-lambatnya tanggal 10 Januari untuk tahun pajak yang bersangkutan.

6. Apabila batas waktu pengajuan tersebut tidak dipenuhi, maka permohonannya tidak diproses, dan Kepala Kantor Pelayanan PBB yang bersangkutan harus memberitahukan secara tertulis kepada WP/Kepala Desa/Lurah, disertai penjelasan seperlunya.

(39)

Pelayanan PBB yang menerbitkan SPPT dan atau SKP, atas nama Menteri Keuangan memberikan Keputusan atas permohonan pengurangan pajak terutang yang lebih dari Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).

Keputusan atas permohonan pengurangan besarnya PBB yang diajukan WP dapat berupa68

68

Hilman Surawiguna, “Pengurangan PBB”, 20 Januari 2008 data diperoleh dari :

a. Mengabulkan seluruh permohonan; b. Mengabulkan sebagian;

c. Menolak.

Keputusan atas permohonan pengurangan pajak harus diterbitkan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sejak diterimanya permohonan pengurangan WP. Jangka waktu sebagaimana tersebut terhitung sejak:

1. Tanggal tanda terima Surat Permohonan, dalam hal Surat Permohonan disampaikan secara langsung

2. Tanggal stempel pos, dalam hal Surat Permohonan dikirimkan melalui pos (biasa maupun tercatat) atau sarana pengiriman lainnya.

Apabila jangka waktu tersebut telah lewat dan Keputusan belum diterbitkan, maka permohonan pengurangan pajak dianggap dikabulkan. Keputusan pengurangan yang dikeluarkan, berlaku untuk tahun pajak yang bersangkutan.

(40)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian pada bab-bab terdahulu, maka pada bab V ini penulis mencoba mengambil kesimpulan mengenai sistem penetapan nilai jual obyek pajak (NJOP) dalam pajak bumi dan bangunan.

1. Dasar pengenaan pajak adalah NJOP serta besarnya NJOP ditetapkan setiap tiga tahun oleh Menteri Keuangan, kecuali untuk daerah tertentu ditetapkan setiap tahun sesuai perkembangan daerahnya. Dengan memperhatikan harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis yang letaknya berdekatan dan telah diketahui harga jualnya, nilai perolehan baru dan penentuan nilai Jual Objek Pengganti. Walaupun kadang besarnya NJOP juga dapat ditentukan berdasarkan Klasifikasi Objek nya.

Dalam hal untuk memberikan keadilan dalam pengenaan pajak, diatur mengenai Nilai Jual Obyek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) untuk setiap wajib pajak sebesar Rp. 8.000.000,- (delapan juta rupiah). Dan apabila seorang Wajib Pajak mempunyai beberapa obyek, yang dikenakan hanya salah satu Obyek Pajak yang nilainya terbesar, sedangkan obyek pajak lainnya tetap dikenakan secara penuh tanpa dikurangi Nilai Jual Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP). Eksistensi NJOP dewasa ini tidak hanya sekedar sebagai dasar pengenaan pajak, akan tetapi mulai mengarah untuk berkepentingan lain (misalnya: ganti rugi atas tanah dan atau bangunan).

(41)

Menteri Keuangan R.I Nomor : 523/KMK. 04/1998 tanggal 18 Desember 1998, di mana klasifikasi terdahulu dengan Keputusan Menteri Keuangan R.I Nomor 273/KMK.04/1995 pada intinya ada perubahan yaitu ditambahnya kelompok B untuk klasifikasi bumi dan bangunan. Sebagaimana telah disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 Pasal 2 ayat (2) bahwa yang dimaksud dengan Klasifikasi bumi dan bangunan adalah pengelompokan bumi dan bangunan menurut nilai jualnya dan digunakan sebagai pedoman serta memudahkan perhitungan pajak yang terhutang

3. Wajib Pajak boleh mengajukan kebertan atas Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) dan Surat Ketetapan Pajak (SKP) dalam hal WP menganggap luas objek bumi dan bangunan yang tercantum dalam SPPT atau SKP tidak sesuai, terdapatnya perbedaan penafsiran Undang-Undang antara WP dengan Fiskus dan kesalahan penetapan subjek pajak sebagai WP oleh Direktorat Jenderal Pajak. Pengajuan surat keberatan terhadap SPPT atau SKP, diajukan masing-masing dalam satu surat keberatan tersendiri untuk setiap tahun pajak. Dan apabila ada wajib pajak yang tidak puas terhadap keputusan keberatan atau keputusan Direktur Jenderal Pajak berupa penolakan akibat wajib pajak ditunjuk sebagai subyek pajak PBB dapat mengajukan banding kepada Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP)

B. Saran

Berdasarkan uraian di atas, dapat penulis kemukakan beberapa saran sebagai berikut :

(42)

ekstensifikasi dalam rangka meningkatkan collection rate. Intensifisikasi dilaksanakan dengan selalu menyelesaikan penyesuaian NJOP untuk daerah-daerah yang berkembang dengan cepat (sektor perkotaan) dan perbaikan data atas obyek-obyek yang berubah/berkembang. Sedangkan ekstensifikasi ditempuh dengan melaksanakan pendataan obyek-obyek yang selama ini belum dikenakan PBB dapat terjaring. Serta sistem pemungutan pajak yang digunakan untuk PBB dari Official Assessment secara bertahap hendaknya diubah menjadi sistem self assessment agar supaya masyarakat menjadi aktif untuk melaporkan obyek pajak yang harus dikenai pajak.

2. Dalam penaksiran terhadap bumi dan bangunan, maka panitia penaksir yang dalam melaksanakan tugasnya dibawah seksi verifikasi haruslah petugas yang cakap dibidangnya serta bertanggung jawab atas segala tugas yang dilakukan di lapangan.

(43)

BAB II

SISTEM PENETAPAN NILAI JUAL OBJEK PAJAK DALAM PAJAK BUMI DAN BANGUNAN

A. Subyek dan Objek Pajak Bumi dan Bangunan.

Jika melihat kebelakang sampai asal mula PBB, maka di zaman kolonial Belanda sudah dipungut bermacam-macam pajak dari tanah yang dimiliki atau digarap oleh rakyat Indonesia, seperti “Contingenten” dan “Verplichte Leverantieen” yang lebih dikenal dengan nama tanam paksa, yang seperti diketahui menimbulkan Perang Jawa pada tahun 1825-1830. Kemudian oleh Gubernur Jendral Raffles, pajak atas tanah disebut “Landrent” yang artinya adalah “sewa tanah”. Tetapi kemudian oleh Pemerintah Hindia Belanda diganti dengan nama “Landrente”. Pada waktu Bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya Landrente ini tetap diberlakukan oleh Pemerintahan Republik Indonesia dan namanya diganti menjadi Pajak Bumi. Kemudian nama Pajak Bumi ini diubah menjadi Pajak Hasil Bumi. Yang dikenakan pajak tidak lagi Nilai Tanah tetapi hasil yang keluar dari tanah tersebut, sehingga timbul frustrasi karena hasil yang keluar dari tanah merupakan objek dari Pajak Pengahasilan (pada waktu itu bernama Pajak Peralihan atau “Overgangsbelasting”). Akibat dari frustrasi ini maka Pajak Hasil Bumi ini dihapuskan mulai dari tahun 1952 karena hasil yang keluar dari tanah dan bangunan telah dikenakan Pajak Peralihan. Hal demikian ini berlangsung sampai 1959. Rupa-rupanya Pemerintah kemudian menginsafi kekeliruannya sehingga sejak tahun 1959 dipungut lagi Pajak Hasil Bumi atas Nilai Tanah (bukan lagi atas hasil yang keluar dari tanah dan bangunan)17

17

Azhari A Samudra, Perpajakan di Indonesia, Keuangan Pajak dan Retribusi, (Jakarta : Penerbit PT Hecca Mitra Utama, 2005), hal 13-14.

(44)

Barulah pada tanggal 1 Januari 1986 berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994, Pajak tersebut berganti nama menjadi Pajak Bumi dan Bangunan. Yang dimaksud dengan Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya, dan yang dimaksud dengan Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau diletakkan secara tetap pada tanah dan / atau perairan.

Maka dari itu, PBB adalah pajak negara yang sebagian besar penerimaannya merupakan pendapatan daerah yang antara lain dipergunakan untuk penyediaan fasilitas yang juga dinikmati oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. PBB dikenakan terhadap orang atau badan yang mempunyai hak/manfaat atas bumi dan/atau memiliki, menguasai/ memperoleh manfaat atas bangunan.

Adapun Subjek dan Objek Pajak Bumi dan Bangunan adalah sebagai berikut: 1. Subjek Pajak dan Bumi Bangunan

Subyek PBB adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan18

Sedangkan yang dimaksud dengan orang adalah orang pribadi atau perseorangan. Yang dimaksud dengan badan adalah badan usaha dengan nama atau dalam bentuk apa pun termasuk yang berbentuk

(Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994).

19

a. Perseroan Terbatas;

:

18

Wirawan B Ilyas dan Richard Burton, Hukum Pajak, (Jakarta : Penerbit Salemba Empat, 2004), hal 84-85

19

(45)

b. Perseroan Komanditer; c. Perseroan Lainnya;

d. Badan Usaha Milik Negara(BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah(BUMD) dengan nama dan dalam bentuk apapun;

e. Persekutuan;

f. Perkumpulan lainnya; g. Firma;

h. Kongsi; i. Koperasi;

j. Yayasan, atau Organisasi yang sejenis; k. Lembaga;

l. Dana Pensiun;

m. Bentuk Usaha Tetap(BUT).

(46)

penjelasan Pasal 4 ayat (3) UU Nomor 12 tahun 1994 adalah sebagai berikut20

Apabila subyek pajak yang telah ditunjuk oleh Dirjen Pajak sebagai wajib pajak keberatan akan hal tersebut di atas, maka dapat mengajukan keberatan, dengan memberikan keterangan secara tertulis, bahwa ia bukan wajib pajak dari obyek yang bersangkutan (Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994). Dan apabila Dirjen Pajak menerima, maka akan dibatalkan penetapan tersebut dalam jangka satu bulan, terhitung sejak diterimanya surat keterangan yang dimaksud (ayat 5). Sedangkan apabila tidak disetujui, maka Direktur Jenderal Pajak akan mengeluarkan surat keputusan penolakan dengan disertai

: a. Subyek pajak bernama A yang memanfaatkan atau menggunakan bumi

dan/atau bangunan milik orang lain bernama B bukan karena sesuatu hak berdasarkan Undang-Undang atau bukan karena perjanjian, maka dalam hal demikian A yang memanfaatkan atau menggunakan bumi dan/atau bangunan tersebut ditetapkan sebagai wajib pajak.

b. Suatu obyek pajak yang masih dalam sengketa pemilikan di pengadilan, maka orang atau badan yang memanfaatkan atau menggunakan obyek pajak tersebut ditetapkan sebagai wajib pajak.

c. Subyek pajak dalam waktu yang lama, berada di luar wilayah letak obyek pajak, sedang untuk merawat obyek tersebut dikuasakan kepada orang atau badan, maka orang atau badan yang diberi kuasa dapat ditunjuk sebagai wajib pajak. Penunjukkan sebagai wajib pajak oleh Dirjen Pajak, bukan merupakan bukti pemilikan hak.

20

(47)

alasan-alasannya (ayat 6). Di dalam penjelasan Pasal 4 ayat (7) Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994, apabila Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan dalam waktu satu (1) bulan sejak tanggal diterimanya keberatan dari wajib pajak, maka ketetapan sebagai wajib pajak gugur dengan sendirinya dan berhak mendapatkan keputusan pencabutan penetapan sebagai wajib pajak.

2. Obyek Pajak Bumi dan Bangunan a. Obyek yang di kenakan PBB

Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994 menyatakan bahwa yang menjadi obyek pajak adalah bumi dan/atau bangunan. Yang dimaksud bumi adalah permukaan bumi (perairan) dan tubuh bumi yang ada di bawahnya21

Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah bumi, air dan ruang angkasa Bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional

. Dan pengertian bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah (dan/atau perairan), yang diperuntukkan sebagai tempat tinggal atau tempat yang dapat diusahakan.

22

Selanjutnya penjelasan Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994 (Pasal 1 ayat 2) menguraikan lebih lanjut tentang pengertian bangunan adalah sebagai berikut

.

23

1) Jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan seperti :

21

Rochmat Soemitro, Op.Cit, hal 8

22

Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Pokok Agraria.

23

(48)

hotel, pabrik dan emplasemennya dan lain-lain yang merupakan satu kesatuan dengan kompleks bangunan tersebut;

2) Jalan tol; 3) Kolam renang; 4) Pagar mewah; 5) Tempat olah raga;

6) Galangan kapal dermaga; 7) Taman mewah;

8) Tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak; 9) Fasilitas lain yang memberikan manfaat.

b. Obyek Pajak yang tidak dikenakan PBB

Di dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994 menyatakan bahwa obyek pajak yang tidak dikenakan PBB adalah obyek pajak yang:

1) Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan mempunyai arti adalah bahwa obyek pajak itu diusahakan untuk melayani kepentingan umum, dan nyata-nyata tidak ditujukan untuk mencari keuntungan:

2) Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu.

(49)

belum dibebani suatu hak.

4) Digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik.

5) Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

c. Objek Pajak yang digunakan untuk penyelenggaraan pemerintah

Di dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994 menyatakan bahwa obyek pajak24

Sekalipun pemerintah berwenang untuk menentukan pengenaan PBB terhadap objek yang digunakan untuk menyelenggarakan pemerintah, tetap terikat pada asas kelayakan dan kepatuhan menurut hukum. Dalam arti bahwa pemerintah harus memperhatikan klasifikasi bumi dan bangunan dalam menetapkan pengenaan PBB terhadap objek yang digunakannya mengingat tidak ada ketentuan yang memberi pengecualian agar bumi dan bangunan yang digunakan tidak dikenakan PBB. Dengan demikian, pemerintah tetap dikenakan PBB terhadap bumi dan bangunan yang digunakan untuk menyelenggarakan pemerintahan karena pemerintah merupakan badan hukum public yang boleh dikenakan pajak sehingga terjaring sebagai WP yang wajib yang digunakan oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintah, penentuan pengenaan pajaknya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

24

(50)

menaati Undang-Undang Nomor 12 Tahun 199425

c. Nilai jual pengganti, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu .

B. Pengertian Nilai Jual Objek Pajak dalam Pajak Bumi dan Bangunan

Di dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994, Pasal 1 angka 3 berbunyi: “Nilai Jual Obyek Pajak adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli, Nilai Jual Obyek Pajak ditentukan melalui perbandingan harga dengan obyek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau Nilai Jual Obyek Pajak pengganti”. Sedangkan pada Pasal 6 ayat (1) berbunyi : “Dasar pengenaan pajak adalah Nilai Jual Obyek. Pajak sebagaimana dimaksud ayat (1) ditetapkan setiap tiga tahun oleh Menteri Keuangan, kecuali untuk daerah tertentu ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan daerahnya.

Sehubungan dengan keterangan di atas yang dimaksud dengan Pasal 1 angka 3 mengenai:

a. Perbandingan harga dengan obyek lain yang sejenis, adalah suatu pendekatan/ metode penentuan nilai jual suatu obyek pajak dengan cara membandingkan dengan obyek pajak lain yang sejenis yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama dan telah diketahui harga jualnya.

b. Nilai perolehan baru, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu obyek pajak dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh obyek tersebut pada saat penilaian dilakukan, yang dikurangi dengan penyusutan berdasarkan kondisi fisik obyek tersebut.

25

(51)

obyek pajak yang berdasarkan pada hasil produksi obyek pajak tersebut (penjelasan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994).

Salah satu yang terpenting lagi bagi Wajib Pajak, dengan Undang-Undang tentang Pajak Bumi dan bangunan yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994 Pasal 3 ayat (3) ditentukan bahwa besarnya Nilai Jual Obyek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) ditetapkan sebesar Rp. 8.000.0000,- (delapan juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak. Ini merupakan suatu perubahan dari Undang-Undang lama yaitu Undang-Undang Nomor 12 tahun 1985, dimana Batas Tidak Kena Pajak (BTKP) yang tercantum dalam Pasal 3 ayat (3) terdahulu disebutkan bahwa BTKP sebesar Rp.7.000.000,- (tujuh juta rupiah) diberikan per/ obyek pajak serta dikenakan untuk bangunan saja, sedangkan dengan perubahan Undang-Undang tentang pajak Bumi dan Bangunan yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994, dimana BTKP dikenakan sebesar Rp. 8.000.000 (delapan juta rupiah) per / wajib pajak serta dikenakan untuk bumi dan/atau bangunan.

Apabila selanjutnya seorang Wajib Pajak mempunyai beberapa Obyek Pajak yang diberikan NJOPTKP hanya salah satu Obyek Pajak yang nilainya terbesar26, sedangkan Obyek Pajak lainnya tetap dikenakan secara penuh tanpa dikurangi NJOPTKP. Sebagai contoh27

26

Waluyo dan Wirawan B. Ilyas, Perpajakan Indonesia, (Jakarta : Penerbit Salemba Empat, 1999), hal. 367

27

Tim penusun, Pajak bumi dan bangunan 2000,(Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2000), hal 9 :

a. Seorang Wajib Pajak hanya mempunyai Obyek Pajak berupa bumi dengan nilai sebagai berikut:

(52)

Karena NJOP berada di bawah NJOPTKP, maka Obyek Pajak tersebut tidak

c) Nilai jual obyek pajak sebagai dasar pengenaan dikenakan PBB.

b. Seorang Wajib Pajak mempunyai dua Obyek Pajak berupa bumi dan bangunan masing-masing di Desa A dan Desa B dengan nilai sebagai berikut:

1) Desa A

a) NJOP Bumi...Rp. 8.000.000 b) NJOP Bangunan...Rp. 5.000.000

NJOP untuk perhitungan pajak:

a) NJOP Bumi...Rp. 8.000.000 b NJOP Bangunan...Rp. 5.000.000

---(+) c) NJOP sebagai dasar Pengenaan pajak...Rp. 13.000.000 d) NJOPTKP...Rp. 8.000.000

---(-) e) NJOP untuk perhitungan Pajak...Rp. 5.000.000 2) Desa B

a) NJOP Bumi...Rp. 5.000.000 b) NJOP Bangunan...Rp. 3.000.000 NJOP untuk perhitungan pajak:

a) NJOP Bumi...Rp. 5.000.000 b) NJOP Bangunan...Rp. 3.000.000

(53)

pajak...Rp. 8.000.000 d) NJOPTKP...Rp. 0

--- (-) e) NJOP untuk perihtungan pajak...Rp. 8.000.000

Untuk obyek pajak di Desa B, tidak diberikan NJOPTKP sebesar Rp. 8.000.000 (delapan juta rupiah), karena NJOPTKP telah diberikan untuk obyek pajak yang berada di desa A.

c. Seorang Wajib Pajak mempunyai dua Obyek Pajak berupa bumi dan bangunan pada satu desa C dengan nilai sebagai berikut:

1) Objek I

a) NJOP Bumi...Rp. 4.000.000 b) NJOP Bangunan...Rp. 2.000.000 NJOP untuk perhitungan pajak:

a) NJOP Bumi...Rp. 4.000.000 b) NJOP Bangunan...Rp. 2.000.000

---(+) c) Nilai jual obyek pajak sebagai dasar pengenaan

pajak...Rp. 6.000.000 d) NJOPTKP...Rp. 8.000.000

Karena NJOP berada di bawah NJOPTKP, maka Obyek Pajak tersebut tidak

2) Objek II dikenakan PBB.

(54)

NJOP untuk perhitungan pajak:

c) NJOP Bumi...Rp. 4.000.000 d) NJOP Bangunan...Rp. 1.000.000

---(+) e) Nilai jual obyek pajak sebagai dasar pengenaan

pajak...Rp. 5.000.000 f) NJOPTKP...Rp. 0

--- (-)

g) NJOP untuk perihtungan pajak...Rp. 5.000.000

Berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994, tarif pajak yang dikenakan atas objek pajak adalah sebesar 0,5% (lima per sepuluh persen)28

1. Pendekatan Penilaian.

. Penentuan NJOP ditentukan oleh penilaian Objek PBB, yaitu:

a. Pendekatan Dasar Pasar (Market Data Approach)

NJOP dihitung dengan cara membandingkan objek pajak yang sejenis dengan objek lain yang telah diketahui harga pasarnya.

Pendekatan ini pada umumnya digunakan untuk menentukan NJOP tanah, namun dapat juaga dipakai untuk menentukan NJOP bangunan.

b. Pendekatan Biaya (Cost Approach)

Pendekatan ini digunakan untuk menentukan nilai tanah atau bangunan terutama untuk menentukan NJOP bangunan dengan menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk membuat bangunan baru yang sejenis dikurangi

28

(55)

dengan penyusutan fisiknya.

c. Pendekatan Pendapatan (Income Approach)

Pendekatan ini digunakan untuk menentukan NJOP yang tidak dapat dilakukan berdasarkan pendekatan data pasar atau pendekatan biaya, tetapi ditentukan berdasarkan hasil bersih objek pajak tersebut.

Pendekatan ini terutama digunakan untuk menentukan NJOP galian tambang atau objek perairan.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Ibu Agnes Arie Mientary C., SE.,M.Si.,Akt., BKP.,CA selaku pembimbing dan Ketua Program Studi Diploma III Perpajakan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas

Universitas Negeri

Maka pada analisa antara Nc simulasi dengan Nc eksperimen diketahui semakin ketengah poros suatu massa maka nilai Nc simulasi semakin rendah, dikarenakan pada posisi

Against the background of developments in human rights education at the international level, including the United Nations (UN) Declaration on Human Rights Education and

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila dikemudian hari terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi

In contrast, Roca (2000:145) finds the existence of interdependency among the five ASEAN’s stock markets in the short run, but not significantly related in the long run before

Dengan metode ini, penulis menggambarkan sejauh mana remaja yang tergabung dalam Putera Altar Kuasi Paroki Santo Yusup Bandung, Gunung Kidul, Yogyakarta dapat meningkatkan