DONGKREK: ITS WORLD VIEW AND WISDOM
A. Pesan Keharmonisan
V. ANALISIS: MENUJU PESAN
KEBIJAKSANAAN Sesuai model alam pikir Jawa (bagan I)
30 rasa terakhir itu digambarkan dengan sebuah
Dalam pandangan Geertz keseluruhan
tatanan keharmonisan (tata tentrem, adhem
sajian kesenian dongkrek di atas (simbol
29
30 31 32
Dalam alam pikir Jawa, orang yang mendewakan duniawi/nafsu/materi sering direpresentasikan dengan buta/raseksa/gandarwa. Gambaran ini untuk menunjuk pada sifat sombong, serakah (tamak), dan egois, akibat dari pendewaan itu. Orang yang seperti ini, dinilai telah buta (menjadi raksasa) dan kemurnian dunia batinnya ternoda. Keternodaan ini oleh kesenian dongkrek disimbulkan dengan terjadinya pageblug, dan orang-orang yang buta itu disimbolkan dengan gandarwa.
Clifford Geertz,1992a. Op.Cit., hlm. 51
Hendaknya perlu dicatat, dalam studi Kutanegara dkk. (2012) kesenian itu ditafsir sebagai representasi dari dunia sosial ketika masa tanam paksa (abad ke 17). Kesenian itu dipandang representasi dari kondisi kesengsaraan masyarakat waktu itu.
ayem) yang diibaratkan dengan jumbuhing Dari keseluruhan gambaran di atas, kawula gusti. Rasa seperti ini ditempatkan di terlihat bila kesenian ini memiliki pesan nilai
33 yang sangat tinggi. Pesan-pesan itu dalam
pusat (0) sebagai simbolik dari kemurnian
banyak hal sesuai dengan alam pikir Jawa, sejati dunia batin (jiwa/roh/rasa), letak
yang mendambakan keadaan tata tenteram,
keharmonisan dirasakan, dan puncak
sebuah keharmonisan antara lahiriah dengan tertinggi kebijaksanaan dimanifestasikan.
rohaniah. Pesan-pesan seperti ini, telah Orang Jawa yang telah sampai pada tahap ini
disampaikan kesenian ini melalui simbol-dikatakan telah mengalami pencerahan
simbol aktornya dalam setiap atraksi sakral
rohaniahnya (dan tidak lagi seperti ménthog).
maupun tontonan. Semuanya dikerucutkan Dia akan mampu menjaga keseimbangan
pada satu tujuan, yaitu: pesan simbolik psikologisnya, dan mewujudkan stabilitas
34 tentang hakekat dari alam pikir Jawa dan
kehidupan batiniahnya. Dalam kesenian
kondisi idaman yang didambakannya. dongkrek posisi ini disimbolkan dengan
tokoh tua, Eyang Palang, seorang bijak yang Melalui simbol-simbol gandarwa yang
mendamaikan kegoncangan ngalam donya diusungnya, kesenian ini menerjemahkan
dan ngalam lelembut dengan cara diten- alam pikir Jawa agar setiap orang tidak larut teramkan dan bukan memusnahkan salah dalam nafsu-nafsu duniawi (bidang III), satu di antaranya. Sementara dalam model sehingga dirinya mampu mencapai sebuah berpikir Jawa, ketokohan itu disimbolkan rasa terakhir yaitu: jumbuhing kawula gusti.
dengan Semar, tokoh paradoks, demokratis, Dalam pandangan dunianya, rasa inilah yang
dan bijaksana. seharusnya digapai oleh semua orang, agar
tata tentrem dan kedamaian batiniah (adhem Cermin perilaku bijaksana seperti itu,
ayem) itu bisa digapai (bisa mencapai titik dalam pandangan Jawa, digambarkan
pusat/ angka 0).
dengan orang yang sudah njawani, yaitu:
orang yang memiliki perasaan halus, Sejauh itu pula, dapat dikatakan bila
bermoral luhur, bertatakrama santun, kesenian itu juga berpesan tentang alam pikir berpakaian sopan, dan lembut dalam tutur Jawa, yang menyatakan bahwa, manusia
kata maupun gerak-geriknya. Dalam jangan mementingkan wadah (lahiriah)
kesenian dongkrek perilaku seperti itu, daripada isi (rohaniah)/(bidang III daripada disimbolkan dengan tindakan Eyang Palang, bidang I). Topeng-topeng itu wadahnya, dan
bersama dua abdi kinasihnya, Roro Perot dan pesan-pesan keharmonisan, krisis, takdir,
Roro Tumpi. Di kalangan penyungsung dan pengendalian nafsu di atas, adalah isi-kesenian dongkrek sendiri, orang seperti ini isinya. Menurut pandangan dunianya, wadah
diibaratkan dengan brem dan bukan nasi itu hanya lahiriah (topeng semata),
pecel anget yang menjadi kuliner khas sedangkan isi itu batiniah (rasa terakhir), 35
daerah asalnya. Brem simbolik dari orang maka hendaknya orang lebih menguatkan
yang telah mampu mengambil sari pati rohaniahnya daripada lahiriahnya, karena
kehidupan (kejawen), sedangkan nasi pecel hanya dengan itu nilai-nilai kebijaksanaan
anget simbolik dari orang-orang yang masih dapat diraihnya (orang bisa kembali ke titik mendewakan duniawi, materi dan nafsu- pusat/angka 0 lagi).
nafsu.
33 34
35
Dalam numerologi Jawa, rasa seperti itu dipadankan dengan angka 0, yang memiliki watak das, suwung awang uwung, atau sesuatu yang tidak bisa didefinisikan. Dalam bagan I watak ini hasil dari perpaduan aspek transenden, esensial, imanen, dan eksistensial, (Laksono, 2009: 41).
Dalam alam pikir Jawa, orang seperti ini digambarkan sebagai orang yang sudah matang (mateng), yaitu; orang yang sudah bisa merasakan kebahagiaan dan ketidakbahagiaan sama. Persis seperti tetesan air mata yang diberikan di kala tertawa atau dikala menangis, di mana rasa dan makna di kedua emosional itu sama. Sekarang bahagia, bersamaan dengan itu juga dirasa menderita, sekarang menderita dalam waktu yang sama juga dirasa bahagia, (Clifford Geertz, 1992a: 57).
Brem adalah jajanan khas Madiun yang terbuat dari saripati ketan, sedangkan nasi pecel anget adalah nasi putih yang dimakan dengan bumbu sambel pecel beserta sayuran, kecambah, dan rempeyek. Orang yang makam brem akan berperilaku tenang, diam dan menikmati (karena sudah kenyang kehidupan), sedangkan orang yang makam nasi pecel cenderung banyak mulut, tingkah polah, dan bernafsu, karena kepedasan dan kelaparan (haus duniawi).
Satu lagi, pandangan dunia kesenian itu tontonan dan tuntunan itulah yang akan terus juga membawa pesan alam pikir Jawa, menjadi perisai.
tentang cara orang Jawa menggapai nilai rasa jumbuhing kawula gusti atau dalam istilah
36 VI. Penutup
Geertz rasa terakhir (menuju titik pusat 0).
Cara itu ditempuh oleh kesenian ini dengan Sejauh hasil pemahaman yang bisa
melepaskan materi-materi yang disimbolkan dicapai melalui tulisan ini, kesenian melalui atraksi kirab sakral keliling desa dongkrek telah mampu membawa kepada
(ruwatan desa), nenepi oleh tokoh Eyang cara orang Jawa dalam menyampaikan
Palang, dan selamatan di makam Eyang pesan-pesan budi pekerti melalui simbol-Palang sebelum kirab keliling desa. Dalam simbolnya. Seperti yang telah disinggung di model pikir Jawa (bagan I), semua ini awal, cara berpikir simbolik seperti ini
mewakili cara orang Jawa dalam melepaskan merupakan bagian dari tradisi kejawennya.
materi, yang ditempuh dengan cara lelaku Pentradisian seperti itu dimaksudkan agar
(tapa/puasa/tirakat/prihatin) untuk maksud pesan inti yang disampaikan melalui
simbol-mencapai jumbuhing kawula gusti atau simbol itu bisa sampai ke lintas generasi
kembali kepada titik pusat (angka 0) letak dengan tanpa terdistorsi, tetapi justru bisa sebuah rasa terakhir diteguhkan, tempat beradaptasi dalam segala situasi dan kondisi. kebijaksanaan bisa dirasakan.
Bagi kesenian tradisi seperti dongkrek, Barangkali seperti itulah pesan-pesan kemampuannya seperti itu cukup patut untuk simbolik terpenting yang ingin dikabarkan diapresiasi. Tentu, semua itu untuk menjaga kesenian Dongkrek melalui kekhasan agar kesenian ini tetap mampu tumbuh dan propagandanya, yaitu: sebagai kesenian berdinamisasi dengan dinamika perubahan
tontonan (wadah), dan tuntunan (isi). Secara jaman yang saling silang melintasi. Sejauh
sederhana kesenian ini merupakan simbol kenyataan yang telah dihadirkannya dari tuntunan model alam pikir Jawa, yang sekarang, kesenian ini telah melakukan mendambakan hakekat daripada syariat, isi semua proses itu dengan baik. Kesenian ini daripada wadah, batiniah daripada lahiriah, telah bangkit dan mendinamisasi diri dengan titik pusat (angka 0) daripada bidang- segala kemampuan kreasi yang dibutuhkan bidangnya. Sejauh upayanya selama ini, jamannya. Dalam tuntutan seperti itu, dia kesenian tersebut dapat dinilai cukup bukan enak-enak tidur mendengkur seperti
berhasil menyampaikan misi luhurnya hewan ménthog yang digambarkan oleh
seperti itu, sebagai sesuatu yang dapat orang Jawa dalam syair tembangnya berikut dijadikan landasan budi pekerti semua pihak. ini:
Melalui cara seperti itu kesenian ini terus
Ménthog-ménthog, tak kandhani mung merevitalisasi diri dari generasi ke generasi
rupamu angisin-ngisini/ La mbok ojo
sampai pada ujung generasi yang belum bisa ngetok, ono kandhang wae/ Enak-enak
mereka bayangkan titik akhirnya. Dalam ngorok, ora nyambut gawe / Ménthog-
sebuah perjalanan yang begitu panjang ménthog, mung lakumu megal megol
gawe guyu / seperti itu, satu hal yang menjadi
keyakinan-nya, bahwa sesuatu yang mentradisi tidak Arti terjemahannya : akan pernah bisa terganti, meski dalam
Angsa-angsa, saya beritahu, kalau mempertahankan tradisi seperti itu, sangat
wujudmu bikin malu/ Jangan
disadari telah terjadi proses modifikasi, memperlihatkan diri, cukup di
komodifikasi, atau duplikasi. Dalam dunia kandangmu saja/ Enak-enaklah tidur
yang serba modern dan hightech sekarang ngorok, tidak perlu bekerja keras/
Angsa-angsa jalanmu itu bergoyang-ini, semua itu sangat mereka dipahami, tetapi
goyang bikin malu/. bukan berarti menjadi alasan bagi mereka
untuk menenggelamkan diri. Katanya,wadah
Tembang ini dapat dikatakan sebagai tidak terjadi dengan kesenian dongkrek. sindiran (Jawa: pasemon) terhadap perilaku Kesenian ini telah berjuang keras di tengah-orang atau apa pun, yang identik dengan tengah kesenian tradisi lain sedang terpuruk. sikap pemalas, atau dalam model berpikir Kesenian ini telah bangkit untuk menjaman, Jawa di atas termasuk orang yang senang di dan bukan larut dengan nafsu duniawi seperti bidang III, yaitu: orang-orang yang perilaku ménthog (cairina moschata) dalam mendewakan materi, nafsu-nafsu, dan larut syair tembang Jawa di atas.
dalam kenikmatannya. Namun semua itu,
DAFTAR PUSTAKA
Dhorantsia, V. A., 2005. “Relevansi Dongkrek dalam Upacara Ritual Dengan Kehidupan Masyarakat Mejayan Kabupaten Madiun.” (Skripsi), Yogyakarta, ISI Yogyakarta. Geertz, C., 1992a. Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
_____, 1992b. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius.
Hendrato, D. A., 1993. “Serat Kaki Walaka.” Jakarta: Paguyuban Ahli Waris Sunan Kalijaga. Tidak diterbitkan.
Kutanegara dkk., (2012). Revitalisasi Kesenian Dongkrek dalam Rangka Penguatan Budaya Lokal: Studi Kesenian Dongkrek Desa Mejayan, Kecamatan Mejayan, Madiun. Kerjasama FIB-UGM dengan BPNB Yogyakarta.
Kridonegoro, W. D., 2008. "Kesenian Dongkrek di Mejayan Kabupaten Madiun Sebagai Kajian Folklor Lisan dan Upaya Pelestariannya". (Skripsi). Malang, Universitas Muhammadiyah Malang.
Laksono, P.M. 2009. Tradisi dalam Struktur Masyarakat Jawa Kerajaan dan Pedesaan: Alih Ubah Model Berpikir Jawa. Yogyakarta: Kepel.
Lombard, D., 2008. Nusa Jawa: Silang Budaya (Warisan kerajaan-kerajaan Konsentris).
Jakarta: Gramedia.
Pahlevi, F. S., 2010. "Kesenian Tradisional 'Dongkrek' Sebagai Media Pendidikan Nilai-Nilai Moral Pada Sanggar Krido Sakti Di Dusun Gendoman Desa Mejayan Kecamatan Mejayan Kabupaten Madiun" (Skripsi). Malang: Jurusan Pendidikan Bahasa Dan
Seni, Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah.
Rudyanto, 2011. "Makna Pesan Simbolik Dalam Ritual Kesenian Tari Dongkrek, Studi Deskriptif Pada Kesenian Tari Dongkrek Desa Mejayan, Kecamatan Mejayan, Kabupaten Madiun". (Skripsi). Yogyakarta, Universitas Pembangunan Veteran.
Swandaru, B. Y., 2007. Upaya Paguyuban ”Krido Sakti” Dalam Melestarikan Kesenian Tari
Dongkrek: Studi Deskriptif Terhadap Paguyuban Seni Dongkrek Desa Mejayan, Kecamatan Mejayan, Kabupaten Madiun (Skripsi). Malang; Jurusan Sosiologi, Konsentrasi Sosiologi Industri, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah.
Triatmoko, A., 2006. "Studi Tentang Topeng pada Kesenian Dongkrek di Desa Mejayan,
Caruban Kabupaten Madiun" (Skripsi). Malang: Universitas Negeri Malang.
Walgito, 2003. "Sejarah Cikal Bakal Dongkrek Desa Mejayan". Kumpulan dokumen publikasi, tanpa penerbit.
Woodward, M. R., 1999. Islam Jawa, Kesalehan Normatif versus Kebatinan. Yogyakarta:
I. PENDAHULUAN dapat dinikmati di tempat lain dalam waktu