G. Metode Penelitian
4. Analisis Data
Seluruh data yang sudah diperoleh dan dikumpulkan selanjutnya akan ditelaah dan dianalisis secara kualitatif. Analisis kualitatif ini dilakukan dengan cara pemilihan pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang tindak pidana Narkoba sebagai predicate crime on money laundering, kemudian membuat sistematika dari pasal-pasal tersebut sehingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Data yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian yang sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data, selanjutnya semua data diseleksi dan diolah kemudian dianalisis secara deskriptif sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan diharapkan akan memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian dalam tesis ini.
BAB II
PENENTUAN TINDAK PIDANA NARKOBA SEBAGAI PREDICATE CRIME
ON MONEY LAUNDERING
D. Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba
Tindak pidana penyalahgunaan Narkoba sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Narkotika diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.32 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Narkotika ini secara tegas mensyaratkan beberapa perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana penyalahgunaan Narkoba khusunya Narkotika.33 Beberapa pasal di dalam
32
Lihat Pertimbangan huruf e Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs And Psychotropic
Substance, 1988 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Pemberantasan Peredaran Gelap
Narkotika dan Psikotropika,1988), bahwa Pemerintah Republik Indonesia memandang perlu untuk bersama-sama dengan anggota masyarakat dunia lainnya aktif mengambil bagian dalam upaya memberantas peredaran gelap narkotika dan psikotropika, oleh karena itu telah menandatangani United
Nations Convention Againts Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988
(Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika, 1988) di Wina, Australia pada tanggal 17 Maret 1989 dan telah pula meratifikasi Konvensi Tunggal Narkotika 1961 dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1976 dan Konvensi Psikotropika 1971, dengan undang-undang Nomor 8 Tahun 1996, serta membentuk Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika.
33
Lihat, perbedaan mendasar UU No. 22 tahun 1997 dengan UU No. 35 tahun 2009 yakni:
Pertama, undang-undang baru tersebut lebih tegas dan jerat hukumnya pun lebih berat. Kedua,
dibandingkan undang-undang lama, seperti seseorang mengetahui keluarganya ada yang memakai Narkoba, namun tidak dilaporkan, maka yang bersangkutan akan dikenai hukuman 6 bulan penjara.
Ketiga, memuat ancaman hukuman bagi penyidik dan jaksa yang tidak menjalankan aturan setelah
menyita barang bukti narkotika. Keempat, hakim berwenang meminta terdakwa kasus narkotika membuktikan seluruh harta kekayaan dan harta benda istri/suami, anak, dan setiap orang atau korporasi bukan dari kejahatan Narkoba yang dilakukannya. Jika tidak dapat membuktikan, hakim akan memutuskan harta tersebut sebagai milik Negara. Kelima, para pengguna Narkoba yang dihukum penjara dan terbukti menjadi korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan sosial. Tempat ia menjalani rehabilitasi ditunjuk oleh pemerintah dan masa rehabilitasi dihitung sebagai masa hukuman. Keenam, Narkoba jenis psikotropika yang selama ini masuk dalam golongan 1 dan 2 seperti shabu-shabu dan ekstasi, dijadikan narkotika golongan 1.
undang-undang tentang Narkotika dan Psikotropika yang dijadikan sebagai ketentuan hukum tentang perbuatan yang dilarang dan disertai dengan ancaman pidana bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.34 Pelanggaran atas ketentuan hukum pidana biasa disebut sebagai tindak pidana, perbuatan pidana, delik, peristiwa pidana dan banyak istilah lainnya.35 Terhadap pelakunya dapat diancam sanksi sebagaimana sudah ditetapkan dalam undang-undang.36
Kondisi penyalahgunaan Narkoba saat ini telah mengalami perkembangan yang cukup memprihatinkan baik dari segi modus maupun karakteristik kejahatan yang dilakukan oleh pelaku, karakteristik peredaran gelap narkotika dan psikotropika terkadang dilakukan oleh pelalu kejahatan dengan cara terorganisir sangat rapi namun terputus-putus tidak terstruktur, hal ini dimaksudkan untuk menghilangkah jejak sehingga berdasarkan karakteristik ini maka kejahatan peredaran gelap Narkoba merupakan white collar crime.37 Oleh karena itu peningkatan penanggulangan dan
34
Sudarto, Hukum Pidana I, cetakan ke II, (Semarang: Yayasan Sudarto d/a Fakultas Hukum Undip, 1990), hal. 12, bahwa fungsi khusus bagi hukum pidana ialah melindungi kepentingan hukum terhadap perbuatan yang hendak memperkosanya (rechtsgiiterschutz) dengan sanksi yang berupa pidana yang sifatnya lebih tajam jika dibandingkan dengan sanksi yang terdapat pada cabang hukum lainnya. Kepentingan-kepentingan hukum (benda-benda hukum) ini boleh dari orang seorang dari badan atau dari kolektivitasnya. Sanksi yang tajam itu dapat mengenai harta benda, kehormatan, badan dan kadang-kadang nyawa seseorang yang memperkosa benda-benda hukum itu. Dapat dikatakan bahwa hukum pidana itu memberi aturan-aturan untuk menanggulangi perbuatan jahat.
35
Munculnya istilah-istilah ini merupakan terjemahan dari kata “Strafbaarfeit”, terjemahan dilakukan berdasarkan kemampuan para ahli hukum sehingga tidak ada terjemahan baku.
36
Pasal 10 KUH Pidana menyebutkan: Pidana terdiri dari: a. pidana pokok yang meliputi pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan dan pidana denda, b. Pidana tambahan yang terdiri dari pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim.
37
Suherland dalam Bismar Nasution, Rezim Anti Money Laundering Untuk Memberantas
Kejahatan Di Bidang Kehutanan, Disampaikan Pada Seminar, Pemberantasan Kejahatan Hutan Melalui Penerapan Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang, yang diselenggarakan atas
kerjasama Program Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dengan Pusat Pelapor dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Medan, tanggal 6 Mei 2004), bahwa konsep white
pemberantasan sebagai upaya represif dalam memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan psikotropika sangat diperlukan karena kejahatan narkotika pada umumnya tidak dilakukan oleh orang perorangan secara berdiri sendiri, melainkan dilakukan secara bersama-sama bahkan dilakukan oleh sindikat yang terorganisir secara rapi dan sangat rahasia dengan tujuan kejahatan yang dilakukan terus berkembang.
Selanjutnya Undang-Undang Narkotika yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 mengatur tentang ketentuan pidana dalam BAB XV dan sebelum perubahan diatur pada BAB XII yang dapat dikelompokkan dari segi bentuk perbuatannya menjadi kejahatan yang menyangkut produksi narkotika, kejahatan jual beli narkotika, kejahatan yang menyangkut pengangkutan dan transit narkotika, kejahatan yang menyangkut penguasaan narkotika, kejahatan yang menyangkut penyalahgunaan narkotika, kejahatan yang menyangkut tidak melaporkan pecandu narkotika, kejahatan yang menyangkut label dan publikasi narkotika, kejahatan yang menyangkut jalannya peradilan narkotika, kejahatan yang menyangkut penyitaan dan pemusnahan narkotika, kejahatan yang menyangkut keterangan palsu (dalam kasus narkotika).38 Di samping itu, undang-undang narkotika mengenal adanya ancaman pidana minimal, hal tersebut dimaksudkan untuk pemberatan hukum saja, bukan
collar crime adalah suatu “crime committed by a person respectability and high school status in the course of his occupation”. Kejahatan kerah putih ini sudah pada taraf trnasnasional, tidak lagi
mengenal batas-batas wilayah negara sehingga mengharuskan bagi negara berkembang untuk menggunakan perangkat hukum yang tersedia untuk memberantas pelaku kejahatan.
38
Lihat, Gatot Suparmono, Hukum Narkoba di Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2001), hal. 193-194
untuk dikenakan perbuatan pokoknya. Ancaman pidananya hanya dapat dikenakan apabila tindak pidananya di dahului dengan pemufakatan jahat dan dilakukan secara terorganisir serta dilakukan oleh korporasi.39
Sedangkat menyangkut ketentuan tindak pidana di bidang psikotropika diatur dalam BAB XIV Pasal 59 sampai dengan Pasal 72 Undang-Undang No. 5 Tahun 1997. Perbuatan yang diancam dengan hukuman pidana diatur dalam Pasal 59 sampai dengan Pasal 66, dan seluruhnya merupakan delik kejahatan. Tindak pidana di bidang psikotropika antara lain berupa perbuatan-perbuatan seperti memproduksi atau mengedarkan secara gelap, maupun penyalahgunaan psikotropika yang merupakan perbuatan yang merugikan masyarakat dan negara. Hal ini diartikan bahwa perbuatan memproduksi dan mengedarkan secara liar psikotropika dengan tujuan dikonsumsi masyarakat luas akan berakibat timbulnya ketergantungan bahkan menimbulkan penyakit karena tanpa diawasi dan tidak disesuaikan dengan pengawasan penggunaan Narkoba. Peredaran gelap dan penyalahgunaan Narkoba secara luas dapat berdampak pada keresahan dan ketidaktentraman masyarakat.
Di samping itu pelaku peredaran gelap akan memanfaatkan kondisi untuk mengambil keuntungan dari transaksi Narkoba. Akan tetapi karena transaksinya gelap tidak ada penarikan pajaknya, sehingga negara dirugikan. Di situlah letak persoalannya mengapa tindak pidana di bidang psikotropika digolongkan sebagai delik kejahatan. Di samping itu jika dilihat dari akibat-akibatnya tersebut,
39 Ibid
pengaruhnya sangat merugikan bagi bangsa dan negara. Dapat menggoyahkan ketahanan nasional, karena itu terhadap pelakunya diancam dengan pidana yang tinggi dan berat, yaitu maksimal pidana mati dan ditambah pidana denda paling banyak Rp. 5 Milyar (Pasal 59 Undang-Undang No. 5 Tahun 1997).40
Dari seluruh tindak pidana yang diatur di dalam Undang-undang psikotropika jika dilihat dari segi bentuk perbuatannya dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok, yang antara lain sebagai berikut:
1. Kejahatan yang menyangkut produksi psikotropika; 2. Kejahatan yang menyangkut peredaran psikotropika;
3. Kejahatan yang menyangkut ekspor dan impor psikotropika; 4. Kejahatan yang menyangkut penguasaan psikotropika; 5. Kejahatan yang menyangkut penggunaan psikotropika;
6. Kejahatan yang menyangkut pengobatan dan rehabilitasi psikotropika; 7. Kejahatan yang menyangkut label dan iklan psikotropika;
8. Kejahatan yang menyangkut transito psikotropika;
9. Kejahatan yang menyangkut pelaporan kejahatan di bidang psikotropika; 10. Kejahatan yang menyangkut sanksi dalam perkara psikotropika;
11. Kejahatan yang menyangkut pemusnahan psikotropika.41
Sanksi pidana yang dapat dijatuhkan dari kejahatan dalam penyalahgunaan narkotika dan psikotropika berdasarkan ketentuan peraturan di Indonesia, dalam hal
40
Ibid, ha. 65. 41
ini adalah ketentuan menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dapat berupa sanksi pidana penjara dan sanksi pidana denda. Untuk menanggulangi bahaya penyalahgunaan narkotika dan psikotropika, Barda Nawawi di dalam kebijakan yang tertuang dalam kedua Undang-Undang tersebut telah mengidentifikasikannya secara umum sebagai berikut:42
1). Pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Narkotika
Undang-undang tentang Narkotika mengkualifikasi sanksi pidana penjara dan denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 yang menyatakan: ”Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). Dalam hal perbuatan menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum. Pasal 112 menyebutkan setiap orang yang
42
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Penanggulangan Narkoba Dengan Hukum Pidana, Makalah pada Seminar di Fakultas Hukum, Universitas Gunung Djati, Cirebon, tanggal 19 Mei 2000.
tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum ditambah 1/3 (sepertiga).
Selanjutnya Pasal 113 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan bahwa: ” Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Perbuatan memproduksi, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum ditambah 1/3”. Sedangkan Pasal 114 menyebutkan setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, perantara
dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) dan pidana denda Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum ditambah 1/3 (sepertiga). Pasal 115 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan bahwa: ” Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). Dalam hal penggunaan narkotika terhadap orang lain atau
pemberian Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum ditambah 1/3.
Di samping itu, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Narkotika juga mengklasifikasi perbuatan pidana terhadap pelaku tindak pidana Narkotika golongan II yakni:
Pasal 117
(1). Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00 ratus juta rupiah) Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2). Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, Narkotika Golongan dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 118
(1). Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
(2). Perbuatan memproduksi, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 119
(1). Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, perantara dalam jual beli, menukar,
atau menyerahkan Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
(2). Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 120
(1). Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 600.000.000,00 ratus juta rupiah) Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2). Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 121
”Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan II tehadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan II untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah)”.
2). Pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 mengatur mengenai perbuatan menggunakan, memproduksi, mengedarkan, mengimpor, memiliki, menyimpan, membawa, mengangkut, mengekspor, mencantumkan label dan mengiklankan psikotropika yang bertentangan dengan ketentuan UU diancam sanksi pidana pidana paling
singkat 4 (empat) tahun paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 150.000.000,-(Seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 750.000.000,- (Tujuh ratus juta rupiah). Adapun perbuatan dimaksud secara rinci dapat dideskripsikan sebagai berikut:43
1. Menggunakan psikotropika golongan I tanpa izin dan pengawasan. 2. Mengedarkan Psikotropika golongan I
3. Mengimpor psikotropika golongan I selain untuk kepentingan ilmu pengetahuan 4. Secara tanpa hak memiliki, menyimpan, dan/atau membawa psikotropika golongan I
Apabila tindak pidana psikotropika dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda sebesar Rp. 750.000.000,- (Tujuh ratus lima puluh juta rupiah) dan jika tindak pidana ini dilakukan secara oleh korporasi, maka di samping pidananya pelaku tidak pidana kepada korporasi dikenakan denda sebesar Rp. 5.000.000.000,- (Lima milyar rupiah). Sedangkan menyangkut perbuatan menghalangi upaya pengobatan/perawatan penderita dan menyelenggarakan fasilitas rehabilitasi tanpa izin dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 20.000.000,- (Dua puluh juta rupiah).44
43
Lihat, Pasal 59 s/d Pasal 63 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. 44
Lihat, Pasal 64 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 yang menyatakan bahwa: (1) Barang siapa:
a. menghalang-halangi penderita sindroma ketergantungan untuk menjalani pengobatan dan/atau perawatan pada fasilitas rehabilitasi, sebagaimana dimaksud dalam 39 ayat (2), atau
Menyangkut perbuatan tidak melaporkan adanya penyalahgunaan/pemilikan psikotropika secara tidak sah, sebagaimana dalam Pasal 65 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 sebagai berikut: “Barang siapa tidak melaporkan adanya penyalahgunaan dan/atau pemilikan psikotropika secara tidak sah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 54 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 20.000.000,- (Dua puluh juta rupiah).” Terhadap pengungkapan identitas pelapor dalam perkara psikotropika, telah diatur pada Pasal 66 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 bahwa ”Saksi dan orang lain yang bersangkutan dalam perkara psikotropika yang sedang dalam pemeriksaan di sidang yang menyebut nama, alamat atau hal-hal yang dapat terungkapnya identitas pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun”.
Penerapan sanksi pidana terhadap perbuatan tanpa hak dan melawan hukum melakukan tindak pidana psikotropika tentunya berbeda dengan perbuatan yang dilakukan berdasarkan permufakatan jahat berupa bersekongkol atau bersepakat untuk melakukan, melaksanakan, membantu, menyuruh turut melakukan, menganjurkan atau mengorganisasikan suatu tindak pidana maka pelaku tindak pidana ditambah sepertiga pidana yang berlaku untuk tindak pidana tersebut.45 Sedangkan dalam menggunakan anak belum 18 tahun dalam melakukan tindak
b. menyelenggarakan fasilitas rehabilitasi yang tidak memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 20.000.000,- (Dua puluh juta rupiah).
45
pidana psikotropika, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 telah melarangnya, hal ini diatur pada Pasal 72 sebagai berikut:
“Jika tindak pidana psikotropika dilakukan dengan menggunakan anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah atau orang dibawah pengampunan atau ketika melakukan tindak pidana belum lewat dua tahun sejak selesai menjalani seluruhnya atau sebagian pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, ancaman pidana ditambah sepertiga pidana yang berlaku untuk tindak pidana tersebut”.
E. Tindak Pidana Narkoba sebagai Predicate Crime on Money Laundering
Penempatan tindak pidana Narkoba sebagai predicate crime dapat dikualifikasi dari tindakan pelaku dengan cara menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang diperoleh dari hasil tindak pidana Narkoba sehingga nampak seolah-olah harta kekayaan hasil tindak pidana Narkoba sebagai hasil kegiatan yang sah. Lebih rinci penentuan tindak pidana Narkoba sebagai predicate
crime on money laundering dapat dilihat pada Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) bahwa pencucian uang didefinisikan sebagai perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud
untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta Kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah.46
Harta kekayaan yang cukup besar yang didapat dari kejahatan-kejahatan penyalahgunaan Narkoba, biasanya para pelaku yang biasanya organized crime tidak langsung digunakan oleh pelaku karena adanya rasa takut maupun terindikasi sebagai kegiatan pencucian uang.47 Untuk itu biasanya para pelaku selalu berupaya untuk menyembuyikan asal usul harta kekayaan tersebut dengan berbagai cara yang antara lain berupaya untuk memasukannya kedalam sistem keuangan (banking system) cara- cara yang ditempuh berupa menyembuyikan atau menyamarkan asal-usul harta
46
Lihat, Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 dan perubahannya dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003 maka pengertian tindak pidana pencucian uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah.Dari pengertian