ANALISIS YURIDIS TINDAK PIDANA NARKOBA SEBAGAI
PREDICATE CRIME ON MONEY LAUNDERING
TESIS
Oleh
JUKIMAN SITUMORANG 087005009/HK
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
ANALISIS YURIDIS TINDAK PIDANA NARKOBA SEBAGAI
PREDICATE CRIME ON MONEY LAUNDERING
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora
dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
JUKIMAN SITUMORANG 087005009/HK
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Judul Tesis : ANALISIS YURIDIS TINDAK PIDANA NARKOBA
SEBAGAI PREDICATE CRIME ON MONEY
LAUNDERING
Nama Mahasiswa : Jukiman Situmorang Nomor Pokok : 087005009
Program Studi : Ilmu Hukum
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) Ketua
(Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH) (Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM) Anggota Anggota
Ketua Program Studi Dekan Fakultas Hukum
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum)
Telah diuji pada Tanggal 15 Maret 2010
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH Anggota : 1. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH 2. Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM 3. Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum
ABSTRAK
Kejahatan penyalahgunaan Narkoba tanpa izin merupakan darah segar yang menghidupi kegiatan bisnis illegal dengan modus mengalihkan, menyembunyikan harta kekayaan hasil tindak pidana narkoba ke lembaga legal dan melakukan pencucian uang melalui lembaga keuangan sehingga dianggap harta kekayaan merupakan harta yang legal. Selanjutnya melalui modus ini pelaku secara terus menerus mendanai kegiatan bisnis haram. Hal ini mensyaratkan bahwa instrumen yang paling dominan dalam tindak pidana pencucian uang biasanya menggunakan perbankan, salah satu alasan penggunaan perbankan sebagai instrumen yang dominan digunakan oleh pelaku didasarkan pada penawaran instrumen keuangan yang paling banyak bila dibandingkan dengan lembaga keuangan lainnya. Harta kekayaan yang didapat dari kejahatan transaksi narkoba biasanya oleh pelaku baik perseorangan maupun korporasi tidak langsung digunakan karena adanya rasa takut maupun terindikasi sebagai kegiatan pencucian uang. Untuk itu biasanya para pelaku selalu berupaya untuk menyembunyikan asal usul harta kekayaan tersebut dengan berbagai cara yang antara lain berupaya untuk memasukkannya ke dalam sistem keuangan (banking system), cara-cara yang ditempuh berupa menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan tersebut dengan maksud untuk menghindari upaya pelacakan oleh aparat penegak hukum yang biasanya diistilahkan dengan pencucian uang atau yang secara populer dengan sebutan money laundering. Undang-undang tentang pencucian uang (money laundering) yang dianut oleh Negara Indonesia telah mengklasifikasi tentang tindak pidana asa (core crime) yang salah satunya menempatkan penyalahgunaan narkoba ke dalam predicate crime on money
laundering. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini meliputi penentuan
tindak pidana Narkoba sebagai predicate crime on money laundering, penanggulangan tindak pidana Narkoba melalui rezim anti money laundering dengan menempatkan Narkoba sebagai predicate crime dan hambatan dalam pembuktian
predicate crime dalam penyidikan tindak pidana Narkoba.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, dimana datanya bersumberkan dari data pustaka (library research). Penelitian ini cenderung menggunakan data sekunder baik berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer yaitu peraturan perundangan yang berkaitan dengan Narkotika dan Psikotropika dan pencucian uang. Bahan hukum sekunder yaitu pandangan para ahli hukum yang dikutip dari literatur yang mendukung kerangka pemikiran dan analisis terhadap obyek penelitian. Analisis untuk data kualitatif dilakukan dengan cara pemilihan pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang tentang tindak pidana Narkoba sebagai predicate crime on money
laundering. Di samping itu untuk melengkapi data skunder, juga didukung dengan
Narkoba Poltabes Medan dan Puji Tarigan, penyidik pada Unit I Satuan Narkoba Poltabes Medan.
Penempatan tindak pidana Narkoba sebagai core crime di dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Pencucian Uang diharapkan dapat ditanggulanginya berbagai modus yang memanfaatkan lembaga perbankan sebagai tempat transaksi kegiatan illegal yang menghidupi kegiatan peredaran gelap Narkoba, melalui pendekatan rezim anti money laundering tidak saja secara fisik pelaku dapat dideteksi melainkan juga harta kekayaan dari hasil kejahatan asal (core crime) sehingga pelaku pencucian uang yang dilakukan oleh para aktor yang memanfaatkan perbankan sebagai tempat transaksi peredaran gelap Narkoba dapat diminta pertanggungjawabannya, karena dalam prinsip tindak pidana pencucian uang yang utama dikejar adalah uang atau harta kekayaan yang diperoleh dari hasil kejahatan dengan beberapa alasan. Pertama, bila mengejar pelakunya lebih sulit dan berisiko.
Kedua, bila dibandingkan dengan mengejar pelaku maka akan lebih mudah dengan
mengejar hasil dari kejahatan. Ketiga, hasil kejahatan merupakan darah yang menghidupi tindak pidana itu sendiri (live bloods of the crime). Bila hasil kejahatan itu dikejar dan disita untuk negara dengan sendirinya akan mengurangi kejahatan pencucian uang.
Kelemahan pemberantasan tindak pidana narkoba oleh criminal justice sytem khususnya Polri untuk memita pertanggungjawaban pelaku yang mendanai kegiatan penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang tanpa izin disebabkan oleh sistem pertanggungjawaban pelaku yang dianut oleh KUH Pidana terutama menyangkut adanya prinsip pertanggungjawaban pidana yang dianut oleh KUH Pidana bahwa pada dasarnya yang dapat diminta pertanggungjawabkan adalah kepada diri seseorang pelaku tindak pidana yang harus memenuhi 4 (empat) persyaratan sebagai berikut: Pertama, ada suatu tindakan (commission atau ommission) oleh si pelaku. Kedua, yang memenuhi rumusan-rumusan delik dalam undang-undang.
Ketiga, tindakan itu bersifat “melawan hukum” atau unlawful serta pelakunya harus
dapat dipertanggungjawabkan. Di samping itu, kelemahan pada proses pembuktian tindak pidana Narkoba sebagai predicate crime, misalnya rendahnya penanganan kasus money laundering dengan menempatkan tindak pidana Narkoba sebagai
predicate crime disebabkan terbatasnya penyidik Polri yang menangani kasus ini,
selain itu penyidikan TPPU membutuhkan dana besar, lagi pula cepatnya transaksi keuangan membuat terbentur dengan waktu. Contohnya, transaksi keuangan yang mencurigakan dari Pemantau Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dilakukan penyidikan kemudian berkas dikirim ke Jaksa, sesampai di meja Jaksa berkas dikembalikan dengan isyarat agar dipenuhi terlebih dahulu predicat
crime (tindak pidana aslinya yakni Narkoba), padahal untuk menentukan dan
memproses tindak pidana asal memerlukan koordinasi lebih lanjut, baik tehnis, waktu serta dana.
ABSTRACT
Illegal drug use supports the illegal business activities with the modus of transferring to and hiding the property obtained through a criminal ACT in a legal institution and do the money laundering through a finance institution that the property is regarded being legal. Then, trough this modus, the actor keeps funding illegal businesses. This indicates that the most dominant instrument in a money laundering activity is banking system compared to the other kinds of finance institutions. The Law on Money Laundering existing in Indonesia has classified the core crime, and one of the classifications is to put drug abuse under the classification of predicate crime on money laundering. The problem to be solved in this study included the determination of the criminal act of drug abuse as predicate crime on money laundering, the prevention of drug abuse through the regime of anti money laundering by deciding drug as predicate crime, and the constraints faced in proving the predicate crime in drug criminal act investigation.
This is a normative legal study whose data were obtained through library research. The data for this study tend to be primary and secondary legal materials. The primary data were in the forms of the regulations of legislation related to Narcotics, Psychotropic and money laundering. The secondary data were the opinions of legal experts quoted from the literatures supporting the framework and analysis of the study object. The analysis for qualitative data was conducted by selecting the articles containing legal norms which regulate the criminal act of drug as predicate crime on money laundering. The secondary data was supported by the primary data obtained through interviewing the informants such as the investigator in Unit I and Unit II of Anti Drug Abuse Unit of Medan Police Department who are regarded to have understood the criminal act of drug abuse and money laundering.
The inclusion of criminal act of drug abuse as core crime in Law No.25/2003 on Money Laundering is expected to be able to prevent various modus which utilize banking institutions as the place for transacting illegal activities supporting the illegal drug distribution through the regime of anti money laundering that not only can the actors be physically detected and asked for their responsibilities but also the property obtained from the core crime can be detected. The money or the property obtained from money laundering activities are the first to be after because, first, chasing the actors is more difficult and risky, second, the property obtained from money laundering is easier to be after than the actors, and third, the property obtained from money laundering is the live blood of the crime. If the property obtained from money laundering is found and confiscated for the state, it will automatically decrease the number of money laundering criminal act.
saying that there are 4 conditions to meet before they are asked for their responsibilities such as, first, there is commission or omission done by the actors, second, it meets the definition of crime concerned in the law, and third, what they have done is unlawful. The weaknesses in the process of proving the drug and money laundering criminal act as predicate crime are among other things the limited number of police officers working on these cases, the investigation needs a big cost, and the quick money transaction brings a limited time to do the investigation. For example, a suspected money transaction is investigated then the files are sent to the public prosecutors, then the public prosecutors return the files to the police head quarters to make sure and label the files predicate crime (even though its original crime is drug use) while to determine and process the predicate crime needs more coordination, technical things, time and funs.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis Panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
berkat dan kasih karunia-Nya sehingga Tesis ini dapat diselesaikan dengan baik dan
tepat pada waktunya.
Tesis ini ditulis dalam rangka memenuhi syarat untuk mencapai gelar
Magister Humaniora pada Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Univesitas
Sumatera Utara, Medan.
Adapun judul Tesis ini adalah: “ ANALISIS YURIDIS TINDAK PIDANA NARKOBA SEBAGAI PREDICATE CRIME ON MONEY
LAUNDERING”. Di dalam menyelesaikan Tesis ini, penulis banyak memperoleh
bantuan baik berupa pengajaran, bimbingan dan arahan dari berbagai pihak. Oleh
karena itu Penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan
setinggi-tingginya kepada yang terhormat para pembimbing : Prof. Dr. Bismar Nasution, SH,
MH, Sekaligus sebagai Ketua Program Studi Ilmu Hukum, Prof. Dr. Suhaidi, SH,
MH, dan Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM. Dimana di tengah-tengah
kesibukannya masih tetap meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan,
petunjuk, dan mendorong semangat penulis untuk menyelesaikan penulisan Tesis ini.
Perkenankanlah juga, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada
1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu,
DTM&H, MSc (CTM), SpA(K) diberikan kepada penulis untuk mengikuti
dan menyelesaikan pendidikan.
2. Dekan Fakultas Hukum Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, atas kesempatan
menjadi mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
3. Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum, sebagai Komisi Penguji, Sekaligus sebagai
Sekretaris Ilmu Hukum penulis, yang telah meluangkan waktunya dan
dengan penuh perhatian memberikan dorongan, bimbingan, saran kepada
penulis.
4. Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum., sebagai Komisi Penguji yang telah
meluangkan waktunya dan dengan penuh perhatian memberikan dorongan,
bimbingan, saran dan masukan yang sangat penting kepada penulis.
5. Orang Tua tercinta yang mendidik dengan penuh rasa kasih sayang dan
senantiasa memberi semangat dan dorongan kepada penulis dalam
menyelesaikan penulisan Tesis ini.
6. Istri tercinta Sylvina Lydia Sirait, SE yang penuh rasa kasih sayang dan
senantiasa memberi semangat dan dorongan kepada penulis dalam
menyelesaikan penulisan Tesis ini
7. Kepada Abang , Kakak dan Adik Penulis sayangi, atas kesabaran dan
pengertiannya serta memberikan Doa dan semangat kepada penulis dalam
8. Kepada Rekan-rekan di Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sumatera
Utara, Beserta Staff Ilmu Hukum, dan rekan-rekan kerja saya yang tidak dapat
disebutkan satu persatu.
Akhirnya penulis berharap semoga Tesis ini dapat memberi manfaat dan
menyampaikan permintaan yang tulus jika seandainya dalam penulisan ini terdapat
kekurangan dan kekeliruan, penulis juga menerima kritik dan saran yang bertujuan
serta bersifat membangun untuk menyempurnakan penulisan Tesis ini.
Medan, Februari 2010
Penulis,
RIWAYAT HIDUP
Nama : Jukiman Situmorang
Tempat/Tanggal Lahir : Pematang Siantar, 31 Desember 1974
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Katolik
Jabatan/ Pekerjaan : Kasat Reskrim Poltabes Medan/ POLRI
Alamat : Komplek Johor Indah Permai I Blok XI No. 18 Jl. Karya Wisata Medan
Pendidikan : SD Negeri 122361 P. Siantar Tamat Tahun 1987
SMP Negeri 7 P. Siantar Tamat Tahun 1990
SMU Negeri 2 P. Siantar Tamat Tahun 1993
Akademi Kepolisian Tamat Tahun 1997
Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian Tamat Tahun 2005
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... iii
KATA PENGANTAR ... v
RIWAYAT HIDUP ...viii
DAFTAR ISI ...……… ix
BAB I: PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 10
C. Tujuan Penelitian ... 10
D. Manfaat Penelitian ... 11
E. Keaslian Penelitian ... 12
F. Kerangka Teori dan Konsepsional ... 13
a. Kerangka Teori ... 13
b. Kerangka Konsepsional ... 21
G. Metode Penelitian ... 23
1. Spesifikasi Penelitian ... 23
2. Sumber Data ... 24
3. Teknik Pengumpulan Data ... 26
BAB II: PENENTUAN TINDAK PIDANA NARKOBA SEBAGAI
PREDICATE CRIME ON MONEY LAUNDERING ... 28
A. Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba ... 28
B. Tindak Pidana Narkoba Sebagai
(Predicate crime on Money Laundering) ... 40
1. Pola tindak pidana pencucian uang dari harta kekayaan
hasil tindak pidana Narkoba ... 42
2. Hubungan Tindak Pidana Pencucian uang dengan Tindak Pidana
Penyalahgunaan Narkoba ... 44
C. Dampak Dari Tindak Pidana Narkoba sebagai Predicate Crime on
Money Laundering ...………... 47
BAB III: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA NARKOBA MELALUI REZIM ANTI MONEY LAUNDERING DENGAN
MENEMPATKAN NARKOBA SEBAGAI PREDICATE
CRIME ON MONEY LAUNDERING ... 57
A. Pemenuhan Unsur Objektif dan Subjektif (Mens Rea)
Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang Sebagai Follow Up Crime
dari Tindak Pidana Narkoba ... 57
B. Penanggulangan Tindak Pidana Narkoba Dengan Menerapkan
Asas Patut Diduga Di dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian
C. Penanggulangan Tindak Pidana Narkoba Melalui Penegakan Hukum
Money Laundering ... 65
BAB IV: HAMBATAN DAN KENDALA DALAM PEMBUKTIAN PREDICATE CRIME DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA NARKOBA ... 79
A. Hambatan Dalam Pembuktian Tindak Pidana Narkoba Sebagai Predicate Crime on Money Laundering ... 79
B. Kendala yang Dialami Penyidik Polri Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Narkoba sebagai Predicate Crime on Money Laundering ... 84
C. Alur Proses Penegakan Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang Agar Penyidikan Dapat Lebih Efektif ..………. 88
BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN ... 97
A. Kesimpulan ... 97
B. Saran ... 101
ABSTRAK
Kejahatan penyalahgunaan Narkoba tanpa izin merupakan darah segar yang menghidupi kegiatan bisnis illegal dengan modus mengalihkan, menyembunyikan harta kekayaan hasil tindak pidana narkoba ke lembaga legal dan melakukan pencucian uang melalui lembaga keuangan sehingga dianggap harta kekayaan merupakan harta yang legal. Selanjutnya melalui modus ini pelaku secara terus menerus mendanai kegiatan bisnis haram. Hal ini mensyaratkan bahwa instrumen yang paling dominan dalam tindak pidana pencucian uang biasanya menggunakan perbankan, salah satu alasan penggunaan perbankan sebagai instrumen yang dominan digunakan oleh pelaku didasarkan pada penawaran instrumen keuangan yang paling banyak bila dibandingkan dengan lembaga keuangan lainnya. Harta kekayaan yang didapat dari kejahatan transaksi narkoba biasanya oleh pelaku baik perseorangan maupun korporasi tidak langsung digunakan karena adanya rasa takut maupun terindikasi sebagai kegiatan pencucian uang. Untuk itu biasanya para pelaku selalu berupaya untuk menyembunyikan asal usul harta kekayaan tersebut dengan berbagai cara yang antara lain berupaya untuk memasukkannya ke dalam sistem keuangan (banking system), cara-cara yang ditempuh berupa menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan tersebut dengan maksud untuk menghindari upaya pelacakan oleh aparat penegak hukum yang biasanya diistilahkan dengan pencucian uang atau yang secara populer dengan sebutan money laundering. Undang-undang tentang pencucian uang (money laundering) yang dianut oleh Negara Indonesia telah mengklasifikasi tentang tindak pidana asa (core crime) yang salah satunya menempatkan penyalahgunaan narkoba ke dalam predicate crime on money
laundering. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini meliputi penentuan
tindak pidana Narkoba sebagai predicate crime on money laundering, penanggulangan tindak pidana Narkoba melalui rezim anti money laundering dengan menempatkan Narkoba sebagai predicate crime dan hambatan dalam pembuktian
predicate crime dalam penyidikan tindak pidana Narkoba.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, dimana datanya bersumberkan dari data pustaka (library research). Penelitian ini cenderung menggunakan data sekunder baik berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer yaitu peraturan perundangan yang berkaitan dengan Narkotika dan Psikotropika dan pencucian uang. Bahan hukum sekunder yaitu pandangan para ahli hukum yang dikutip dari literatur yang mendukung kerangka pemikiran dan analisis terhadap obyek penelitian. Analisis untuk data kualitatif dilakukan dengan cara pemilihan pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang tentang tindak pidana Narkoba sebagai predicate crime on money
laundering. Di samping itu untuk melengkapi data skunder, juga didukung dengan
Narkoba Poltabes Medan dan Puji Tarigan, penyidik pada Unit I Satuan Narkoba Poltabes Medan.
Penempatan tindak pidana Narkoba sebagai core crime di dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Pencucian Uang diharapkan dapat ditanggulanginya berbagai modus yang memanfaatkan lembaga perbankan sebagai tempat transaksi kegiatan illegal yang menghidupi kegiatan peredaran gelap Narkoba, melalui pendekatan rezim anti money laundering tidak saja secara fisik pelaku dapat dideteksi melainkan juga harta kekayaan dari hasil kejahatan asal (core crime) sehingga pelaku pencucian uang yang dilakukan oleh para aktor yang memanfaatkan perbankan sebagai tempat transaksi peredaran gelap Narkoba dapat diminta pertanggungjawabannya, karena dalam prinsip tindak pidana pencucian uang yang utama dikejar adalah uang atau harta kekayaan yang diperoleh dari hasil kejahatan dengan beberapa alasan. Pertama, bila mengejar pelakunya lebih sulit dan berisiko.
Kedua, bila dibandingkan dengan mengejar pelaku maka akan lebih mudah dengan
mengejar hasil dari kejahatan. Ketiga, hasil kejahatan merupakan darah yang menghidupi tindak pidana itu sendiri (live bloods of the crime). Bila hasil kejahatan itu dikejar dan disita untuk negara dengan sendirinya akan mengurangi kejahatan pencucian uang.
Kelemahan pemberantasan tindak pidana narkoba oleh criminal justice sytem khususnya Polri untuk memita pertanggungjawaban pelaku yang mendanai kegiatan penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang tanpa izin disebabkan oleh sistem pertanggungjawaban pelaku yang dianut oleh KUH Pidana terutama menyangkut adanya prinsip pertanggungjawaban pidana yang dianut oleh KUH Pidana bahwa pada dasarnya yang dapat diminta pertanggungjawabkan adalah kepada diri seseorang pelaku tindak pidana yang harus memenuhi 4 (empat) persyaratan sebagai berikut: Pertama, ada suatu tindakan (commission atau ommission) oleh si pelaku. Kedua, yang memenuhi rumusan-rumusan delik dalam undang-undang.
Ketiga, tindakan itu bersifat “melawan hukum” atau unlawful serta pelakunya harus
dapat dipertanggungjawabkan. Di samping itu, kelemahan pada proses pembuktian tindak pidana Narkoba sebagai predicate crime, misalnya rendahnya penanganan kasus money laundering dengan menempatkan tindak pidana Narkoba sebagai
predicate crime disebabkan terbatasnya penyidik Polri yang menangani kasus ini,
selain itu penyidikan TPPU membutuhkan dana besar, lagi pula cepatnya transaksi keuangan membuat terbentur dengan waktu. Contohnya, transaksi keuangan yang mencurigakan dari Pemantau Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dilakukan penyidikan kemudian berkas dikirim ke Jaksa, sesampai di meja Jaksa berkas dikembalikan dengan isyarat agar dipenuhi terlebih dahulu predicat
crime (tindak pidana aslinya yakni Narkoba), padahal untuk menentukan dan
memproses tindak pidana asal memerlukan koordinasi lebih lanjut, baik tehnis, waktu serta dana.
ABSTRACT
Illegal drug use supports the illegal business activities with the modus of transferring to and hiding the property obtained through a criminal ACT in a legal institution and do the money laundering through a finance institution that the property is regarded being legal. Then, trough this modus, the actor keeps funding illegal businesses. This indicates that the most dominant instrument in a money laundering activity is banking system compared to the other kinds of finance institutions. The Law on Money Laundering existing in Indonesia has classified the core crime, and one of the classifications is to put drug abuse under the classification of predicate crime on money laundering. The problem to be solved in this study included the determination of the criminal act of drug abuse as predicate crime on money laundering, the prevention of drug abuse through the regime of anti money laundering by deciding drug as predicate crime, and the constraints faced in proving the predicate crime in drug criminal act investigation.
This is a normative legal study whose data were obtained through library research. The data for this study tend to be primary and secondary legal materials. The primary data were in the forms of the regulations of legislation related to Narcotics, Psychotropic and money laundering. The secondary data were the opinions of legal experts quoted from the literatures supporting the framework and analysis of the study object. The analysis for qualitative data was conducted by selecting the articles containing legal norms which regulate the criminal act of drug as predicate crime on money laundering. The secondary data was supported by the primary data obtained through interviewing the informants such as the investigator in Unit I and Unit II of Anti Drug Abuse Unit of Medan Police Department who are regarded to have understood the criminal act of drug abuse and money laundering.
The inclusion of criminal act of drug abuse as core crime in Law No.25/2003 on Money Laundering is expected to be able to prevent various modus which utilize banking institutions as the place for transacting illegal activities supporting the illegal drug distribution through the regime of anti money laundering that not only can the actors be physically detected and asked for their responsibilities but also the property obtained from the core crime can be detected. The money or the property obtained from money laundering activities are the first to be after because, first, chasing the actors is more difficult and risky, second, the property obtained from money laundering is easier to be after than the actors, and third, the property obtained from money laundering is the live blood of the crime. If the property obtained from money laundering is found and confiscated for the state, it will automatically decrease the number of money laundering criminal act.
saying that there are 4 conditions to meet before they are asked for their responsibilities such as, first, there is commission or omission done by the actors, second, it meets the definition of crime concerned in the law, and third, what they have done is unlawful. The weaknesses in the process of proving the drug and money laundering criminal act as predicate crime are among other things the limited number of police officers working on these cases, the investigation needs a big cost, and the quick money transaction brings a limited time to do the investigation. For example, a suspected money transaction is investigated then the files are sent to the public prosecutors, then the public prosecutors return the files to the police head quarters to make sure and label the files predicate crime (even though its original crime is drug use) while to determine and process the predicate crime needs more coordination, technical things, time and funs.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Pemikiran tentang berbahayanya praktik pencucian uang dan strategi
pemberantasannya, sebetulnya diawali dengan kegagalan internasional dalam upaya
pemberantasan peredaran gelap obat bius dengan segala jenisnya. Sebenarnya di
sinilah merupakan awal inspirasi yang pada akhirnya melahirkan istilah money
laundering pada tahun 1986 (USA) dan kemudian dipakai secara internasional.
Namun sebenarnya istilah money laundering dalam artian hukum digunakan pertama
kali oleh Pengadilan Amerika berkaitan dengan putusan tentang penyitaan atas hasil
kejahatan Narkotika yang dilakukan oleh warga Columbia.1 Kekhawatiran
internasional terhadap narkotika dan pencucian uang melahirkan suatu kesepakatan
yang disebut sebagai International Legal Regime to Combat Money Laundering dan
bahkan ada kecenderungan bahwa pencucian uang dilakukan dengan sangat rumit.2
1
US v. S4,255,625.39,Fed.Supp.vol.551, South District of Florida (1982),314,cited by Secretary General of United Nations, dalam Guy Stessens, Money Laundering A New International
Law Enforcement Model, (Cambridge University Press: 2000), hal.83
2
Komisi Kepolisian Nasional, Narkoba sebagai Kejahatan Transnasional, Bahan Pembekalan Sespim Polri Dikreg 48 TP. 2009, hal. 28 bahwa dalam International Narcotics Control
Strategy Report (INCSR) yang dikeluarkan oleh Bureau for International Narcotics and Law Enforcement Affairs, United States Department of State pada bulan Maret 2003, Indonesia ditempatkan
kembali ke dalam deretan major laundering countries di wilayah Asia Pacific bersama dengan 53 negara antara lain seperti Australia, Kanada, Cina, Cina Taipei, Hong Kong, India, Jepang, Macau Cina, Myanmar, Nauru, Pakistan, Filipina, Singapura, Thailand, United Kingdom dan Amerika Serikat.
Predikat major laundering countries diberikan kepada negara-negara yang lembaga dan sistem
Pencucian uang semakin berkembang dan bukan hanya yang berasal dari
kejahatan obat bius saja tetapi juga berbagai kejahatan termasuk kejahatan
terorganisasi (organized crimes).3 Dalam kaitannya bahwa pencucian uang
merupakan tindak pidana dibidang ekonomi (economic crimes), yang pada intinya
memberikan gambaran terdapat hubungan langsung bahwa gejala kriminalitas
merupakan suatu kelanjutan dari kegiatan dan pertumbuhan ekonomi.4 Selain itu
mempertimbangkan pula adanya fenomena bahwa kejahatan pencucian uang bukan
permasalahan nasional semata tetapi berdimensi regional maupun internasional
Singapura, Afghanistan, Pakistan dan Nigeria. Kejahatan peredaran gelap narkoba sejak lama diyakini memiliki kaitan erat dengan proses pencucian uang. Sejarah perkembangan tipologi pencucian uang menunjukkan bahwa perdagangan obat bius merupakan sumber yang paling dominan dan kejahatan asal (predicate crime) yang utama yang melahirkan kejahatan pencucian uang. Organized crime selalu menggunakan metode pencucian uang ini untuk menyembu-nyikan, menyamarkan atau mengaburkan hasil bisnis haram itu agar nampak seolah-olah merupakan hasil dari kegiatan yang sah. Selanjutnya, uang hasil jual beli narkoba yang telah dicuci itu digunakan lagi untuk melakukan kejahatan serupa atau mengembangkan kejahatan-kejahatan baru. Perkembangan peredaran obat bius di beberapa negara bahkan telah mencapai titik nadir. Gerard Wyrsch (1990) mengungkapkan bahwa pencucian uang yang berasal dari bisnis narkotika di Amerika Serikat diperkirakan mencapai 100 sampai dengan 300 milyar dollar pertahunnya. Sedangkan di Eropa berkisar antara 300 sampai 500 milyar dollar pertahunnya, suatu angka yang fantastis. FATF (Financial Action Task Force on Money Laundering) dalam annual
report tahun 1995-1996 memperkirakan bahwa dari 600 milyar sampai satu trilyun dollar uang yang
dicuci pertahunnya, sebagian besar berasal dari bisnis haram perdagangan gelap narkoba. Perkiraan jumlah di atas setiap tahun mengalami peningkatan sehingga dikenal istilah narco dollar, sekaligus menunjukkan bahwa persoalan peredaran gelap narkoba merupakan kejahatan internasional (international crime) dan persoalan seluruh negara. Sejarah mencatat pula bahwa kelahiran rezim hukum internasional yang memerangi kejahatan pencucian uang dimulai pada saat masyarakat internasional merasa frustrasi dengan upaya memberantas kejahatan perdagangan gelap narkoba. Pada saat itu, rezim anti pencucian uang dianggap sebagai paradigma baru dalam memberantas kejahatan yang tidak lagi difokuskan pada upaya menangkap pelakunya, melainkan lebih diarahkan pada penyitaan dan perampasan harta kekayaan yang dihasilkan. Logika dari memfokuskan pada hasil kejahatannya adalah bahwa motivasi pelaku kejahatan akan menjadi hilang apabila pelaku dihalang-halangi untuk menikmati hasil kejahatannya. Melihat korelasi yang erat antara kejahatan peredaran gelap narkoba sebagai predicate crime dan kejahatan pencucian uang sebagai derivative-nya, maka sangat jelas bahwa keberhasilan perang melawan kejahatan peredaran gelap narkoba di suatu negara sangat ditentukan oleh efektivitas rezim anti pencucian uang di negara itu.
3
Margaret Samuel, “No cash Alternatives and Money Laundering: An American Model For
Canadian Consumers Protection”, Am. Buss.L.J., vol. 30, (1992), hal. 175.
4
Guiding Principle for Crime Prevention and Criminal Justice in the Context of Development
(transnasional), sehingga sangat penting untuk ditempatkan pada suatu sentral
pengaturan.5 Hampir semua kejahatan ekonomi dilakukan dengan motivasi
mendapatkan keuntungan, maka salah satu cara untuk membuat pelaku jera atau
mengurangi tindak pidana yaitu dengan memburu hasil kejahatan agar pelaku tidak
dapat menikmatinya dan akhirnya diharapkan motivasi untuk melakukan kejahatan
juga sirna: “…this was ineffective and thus asset forfeiture was viewed as the key to
combating such crime. If the criminal is prevented from enjoying the fruits of his
labor than these motivations for committing a crime that also disappears).6
Indonesia telah melakukan kriminalisasi terhadap pencucian uang sejak awal
tahun 2002 dengan diundangkannya Undang-Undang No.15 Tahun 2002 tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang (UUTPPU), dan kemudian pada Oktober 2003
diamandemen dengan Undang-Undang No.25 Tahun 2003. Meskipun telah berlaku
selama lebih 4 tahun, nampaknya implementasi terhadap ketentuan ini masih jauh
dari memuaskan. Ketika diamandemen pada tahun 2003 alasan utamanya lebih pada
kelemahan perundangan yang mengakibatkan sulit untuk diterapkan dimana hal ini
juga atas desakan Financial Action Task Force (FATF).7
5
United Nations Convention Against Transnational Organized Crime, (Palermo, 2000) khususnya pada Article 3.1.(a) disebutkan bahwa pencucian uang termasuk kejahatan yang lintas batas negara (selain pencucian uang kejahatan lain yang termasuk kriteria ini adalah participation in an
organized criminal group, corruption and obstruction of justice) dengan ciri-cirinya yang disebut
dalam Article 3.2 6
Andrew Haynes, Money Laundering and Changes in International Banking Regulations, J.Int’l Banking Law, (1993), hal 454
7
Desakan internasional pertama kali dikakukan pada Juni 2001 dan setelah
melalui beberapa bentuk tekanan dan penilaian FATF akhirnya pada Pebruari 2006
dinyatakan keluar dari monitoring formal FATF.8 Namun demikian ternyata hal ini
bukan berarti Indonesia tidak “diawasi” karena pada tahun 2007, FATF kembali
melakukan review secara menyeluruh terhadap pembangunan rezim anti pencucian
uang di Indonesia termasuk peraturan perundangan yang mendukung penegakannya.9
Bila dipahami bahwa semua tindak pidana ekonomi yang berkaitan dengan aliran
dana akan bermuara pada perbuatan pencucian uang, maka seharusnya penerapan
UUTPPU terhadap perkara kejahatan ini juga harus banyak. Tetapi pada
kenyataannya putusan pengadilan terhadap kejahatan menggunakan aliran dana yang
dikaitkan dengan UUTPPU tidak sampai 20 putusan, padahal kejahatan ini yang
terutama dalam hal tukar menukar informasi berkaitan dengan masalah korupsi dan pencucian uang pada negara-negara yang akan mendapatkan bantuan dana.
8
Setelah revisi pada 2003 Indonesia kembali masuk daftar hitam, kali ini karena belum ada bukti bahwa ketentuan tersebut efektif pada tahap implementasi. Selanjutnya pada sidang FATF 23 Juni dan Oktober 2004 Indonesia masih tetap bertahan dalam black list tersebut, alasannya FATF belum mengeluarkan Indonesia dari daftar hitam karena masih menunggu paling tidak ada satu kasus yang diungkap, pada waktu itu kasus bobolnya dana BNI sebesar 1, 7 triliun yang ditengarai terdapat praktik pencucian uang. Atas dasar pengungkapan tersebut akan dinilai keseriusan Indonesia dalam pemberantasan pencucian uang sekaligus akan menunjukan apakah ketentuan anti pencucian uang efektif dalam pemberantasan pencucian uang. Namun ternyata pada sidang berikutnya Februari 2005 Indonesia berhasil keluar dari daftar hitam (NCCT), walaupun belum satu kasus pun diungkap dengan penuntutan pencucian uang. Ada dugaan keluarnya Indonesia karena sebelumnya dilakukan lobi internasional tingkat tinggi yang dilakukan pemerintah Indonesia
9
sampai pada pengadilan khususnya tindak pidana penyalahgunaan Narkoba
jumlahnya sangat besar,10 misalnya tindakan kepolisian Polda Metro Jaya dan
Poltabes MS yang dilakukan dalam penanggkapan bandar Narkoba dan
pengungkapan jaringan peredaran gelap Narkoba. Hal ini seharusnya diajukan ke
pengadilan dengan dua dakwaan sekaligus yaitu kejahatan asalnya dan muara uang
hasil kejahatan sebagai tindak pidana pencucian uang.
Seharusnya dipahami bahwa kriminalisasi pencucian uang suatu strategi untuk
memberantas berbagai kejahatan ekonomi bukan saja melalui upaya penerapan
hukum terhadap kejahatan asal tersebut tetapi juga menghadang hasil aliran hasil
kejahatan dengan ketentuan anti pencucian tersebut. Pertimbangannya adalah bisnis
narkoba menghasilkan keuntungan yang sangat besar dibanding bisnis yang lain,
sehingga kejahatan penyalahgunaan narkoba berlangsung terorganisir rapi guna terus
untuk mencari korban dan sering menggunakan sistem sel sehingga terputus untuk
mengungkap jaringannya.11
Kejahatan penyalahgunaan narkotika dan obat-obat tanpa izin merupakan
darah segar yang menghidupi kegiatan bisnis illegal dengan modus mengalihkan,
menyembunyikan harta kekayaan hasil tindak pidana narkoba ke lembaga legal dan
10
Sejak lahirnya UU No 15 Tahun 2002 yang kemudian di amandemen menjadi UU No.25 Tahun 2003, penyidikan terhadap kasus Tindak Pidana Pencucian Uang ( TPPU ) dilakukan Polri. Dari 421 STR hasil analisis Suspicius Transaction Report ditemukan 13 kasus yang telah diajukan ke pengadilan, 31 STR setelah dilakukan penyidikan ternyata KTP pelakunya palsu. 10 Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia, Perkembangan dan penanggulangan kejahatan terhadap kekayaan negara dan kejahatan transnasional, bahan pembekalan pasis sespim polri dikreg ke-47 TP. 2008, hal. 14
11
melakukan pencucian uang melalui lembaga keuangan sehingga dianggap harta
kekayaan merupakan harta yang legal. Selanjutnya melalui modus ini pelaku secara
terus menerus mendanai kegiatan bisnis haram. Hal ini mensyaratkan bahwa
instrumen yang paling dominan dalam tindak pidana pencucian uang biasanya
menggunakan perbankan, salah satu alasan penggunaan perbankan sebagai instrumen
yang dominan digunakan oleh pelaku didasarkan pada penawaran instrumen
keuangan yang paling banyak bila dibandingkan dengan lembaga keuangan lainnya.
Pemanfaatan bank dalam pencucian uang dapat berupa:12
a. Menyimpan uang hasil tindak pidana dengan nama palsu;
b. Menyimpan uang di bank dalam bentuk deposito/tabungan/rekening/giro. c. Menukar pecahan uang hasil kejahatan dengan pecahan lainnya yang lebih
besar atau lebih kecil.
d. Menggunakan fasilitas transfer.
e. Melakukan transaksi eksport-import fiktif dengan menggunakan L/C dengan memalsukan dokumen bekerjasama dengan oknum terkait.
f. Pendirian/pemanfaatan bank gelap.
Kelemahan pemberantasan tindak pidana narkoba oleh criminal justice sytem
khususnya Polri untuk memita pertanggungjawaban pelaku yang mendanai kegiatan
penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang tanpa izin disebabkan oleh
sistem pertanggungjawaban pelaku yang dianut oleh KUH Pidana terutama
menyangkut adanya prinsip pertanggungjawaban pidana yang dianut oleh KUH
Pidana bahwa pada dasarnya yang dapat diminta pertanggungjawabkan adalah kepada
diri seseorang pelaku tindak pidana yang harus memenuhi 4 (empat) persyaratan
12
sebagai berikut:13 Pertama, ada suatu tindakan (commission atau ommission) oleh si
pelaku. Kedua, yang memenuhi rumusan-rumusan delik dalam undang-undang.
Ketiga, tindakan itu bersifat “melawan hukum” atau unlawful serta pelakunya harus
dapat dipertanggungjawabkan. Di samping itu, kelemahan pada proses pembuktian
tindak pidana Narkoba sebagai predicate crime, misalnya rendahnya penanganan
kasus money laundering dengan menempatkan tindak pidana Narkoba sebagai
predicate crime disebabkan terbatasnya penyidik Polri yang menangani kasus ini,
selain itu penyidikan TPPU membutuhkan dana besar, lagi pula cepatnya transaksi
keuangan membuat terbentur dengan waktu. Contohnya, transaksi keuangan yang
mencurigakan dari Pemantau Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
(PPATK) dilakukan penyidikan kemudian berkas dikirim ke Jaksa, sesampai di meja
Jaksa berkas dikembalikan dengan isyarat agar dipenuhi terlebih dahulu predicat
crime (tindak pidana aslinya yakni Narkoba), padahal untuk menentukan dan
memproses tindak pidana asal memerlukan koordinasi lebih lanjut, baik tehnis, waktu
serta dana.
Harta kekayaan yang didapat dari kejahatan transaksi narkoba biasanya oleh
pelaku baik perseorangan maupun korporasi tidak langsung digunakan karena adanya
rasa takut maupun terindikasi sebagai kegiatan pencucian uang.14 Untuk itu biasanya
13
Lihat, Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, (Bandung: Mandar Maju, 2000), hal. 67.
14
para pelaku selalu berupaya untuk menyembunyikan asal usul harta kekayaan
tersebut dengan berbagai cara yang antara lain berupaya untuk memasukkannya ke
dalam sistem keuangan (banking system),15 cara-cara yang ditempuh berupa
menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan tersebut dengan
maksud untuk menghindari upaya pelacakan oleh aparat penegak hukum yang
biasanya diistilahkan dengan pencucian uang atau yang secara populer dengan
sebutan money laundering. Undang-undang tentang pencucian uang (money
laundering) yang dianut oleh Negara Indonesia telah mengklasifikasi tentang tindak
pidana asa (core crime) yang salah satunya menempatkan penyalahgunaan narkoba
ke dalam predicate crime on money laundering.
Latar belakang perbuatan pelaku peredaran gelap Narkoba yang mengalihkan
dan menyembunyikan harta kekayaan hasil kejahatan melaui sistem keuangan adalah
memindahkan atau menjauhkan pelaku dari kejahatan yang menghasilkan proceeds of
crime dari kejahatan yang dilakukan, memisahkan proceeds of crime dari kejahatan
yang dilakukan, menikmati hasil kejahatan tanpa adanya kecurigaan kepada pelaku,
pencegahan dan pemberantasan kejahatan pencucian uang. Hal ini tidak lain kareha kejahatan pencucian uang (money laundering) tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi sistem perekonomian, dan pengaruhnya tersebut merupakan dampak negatif bagi perekonomian itu sendiri. Di dalam praktik money laundering ini diketahui bahwa banyak dana-dana potensial yang tidak dimanfaatkan secara optimal karena pelaku money laundering sering melakukan
“steril investment” misalnya dalam bentuk investasi di bidang properti pada negara-negara yang
mereka anggap aman walaupun dengan melakukan hal itu hasil yang diperoleh jauh lebih rendah. 15
serta melakukan reinvestasi hasil kejahatan untuk aksi kejahatan selanjutnya atau ke
dalam bisnis yang sah.16 Penanggulangan kejahatan peredaran gelap Narkoba dengan
memisahkan proceeds crime dari kejahatan yang dilakukan dan penikmatan hasil
kejahatan berupa penempatan tindak pidana Narkoba sebagai core crime.
Penempatan tindak pidana Narkoba sebagai core crime di dalam
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Pencucian Uang diharapkan dapat
ditanggulanginya berbagai modus yang memanfaatkan lembaga perbankan sebagai
tempat transaksi kegiatan illegal yang menghidupi kegiatan peredaran gelap Narkoba,
melalui pendekatan rezim anti money laundering tidak saja secara fisik pelaku dapat
dideteksi melainkan juga harta kekayaan dari hasil kejahatan asal (core crime)
sehingga pelaku pencucian uang yang dilakukan oleh para aktor yang memanfaatkan
perbankan sebagai tempat transaksi peredaran gelap Narkoba dapat diminta
pertanggungjawabannya, karena dalam prinsip tindak pidana pencucian uang yang
utama dikejar adalah uang atau harta kekayaan yang diperoleh dari hasil kejahatan
dengan beberapa alasan. Pertama, bila mengejar pelakunya lebih sulit dan berisiko.
Kedua, bila dibandingkan dengan mengejar pelaku maka akan lebih mudah dengan
mengejar hasil dari kejahatan. Ketiga, hasil kejahatan merupakan darah yang
menghidupi tindak pidana itu sendiri (live bloods of the crime). Bila hasil kejahatan
itu dikejar dan disita untuk negara dengan sendirinya akan mengurangi kejahatan
pencucian uang.17
16
Lihat, Rick Mac Donnel dalam Edi Setiadi, Loc.cit 17
D. Rumusan Masalah
Untuk menemukan identifikasi masalah dalam penelitian ini maka perlu
dipertanyakan apakah yang menjadi masalah dalam penelitian18 yang akan dikaji
lebih lanjut untuk menemukan suatu pemecahan masalah yang telah diidentifikasi
tersebut. Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana penentuan tindak pidana Narkoba sebagai predicate crime on money
laundering?
2. Bagaimana penanggulangan tindak pidana Narkoba melalui rezim anti money
laundering dengan menempatkan Narkoba sebagai predicate crime on money
laundering?
3. Bagaimana hambatan dan kendala dalam pembuktian predicate crime dalam
penyidikan tindak pidana Narkoba?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan permasalah yang telah dikemukakan diatas maka tujuan
yang ingin dicapai dari penelitian tesis ini adalah:
18
2. Untuk mengetahui penentuan tindak pidana Narkoba sebagai predicate crime on
money laundering.
3. Untuk mengetahui penanggulangan tindak pidana Narkoba melalui rezim anti
money laundering dengan menempatkan Narkoba sebagai predicate crime on
money laundering.
4. Untuk mengetahui hambatan dan kendala dalam pembuktian predicate crime
dalam penyidikan tindak pidana Narkoba.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki manfaat teoritis dan praktis sebagai berikut:
1. Secara Teoritis
Manfaat penelitian ini adalah untuk memberikan sumbangan pemikiran
dalam pengembangan ilmu hukum khususnya dalam bidang hukum
ekonomi khususnya menyangkut tindak pidana Narkoba sebagai predicate
crime on money laundering yang diatur di dalam undang-undang tindak
pidana pencucian uang. Selain itu penelitian ini juga diharapkan dapat
memberikan masukan bagi penyempurnaan pranata peraturan hukum
dalam pemberantasan tindak pidana Narkoba.
2. Secara Praktis
Manfaat penelitian ini memberikan masukan kepada aparat penegak
hukum dalam sistem peradilan tindak pidana khususnya tindak pidana
predicate crime on money laundering, sehingga dapat mengantisipasi
implikasi tindakan yang menghambat pembuktian dalam pemberantasan
tindak pidana Narkoba terutama aliran dana peredaran gelap Narkoba,
selanjutnya penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi para
pihak yang terkait dengan pemberantasan tindak pidana Narkoba dan
tindak pidana pencucian uang dalam mengambil beberapa rangkaian
kebijakan, misalnya Penyidik Kepolisian dan Kejaksaan.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti di perpustakaan
Universitas Sumatera Utara, diketahui bahwa penelitian tentang analisis yuridis
tindak pidana Narkoba sebaga predicate crime on money laundering belum pernah
dilakukan dalam pendekatan dan perumusan masalah yang sama walapun ada
beberapa judul tesis yang membahas tentang tindak pidana Narkoba dan money
laundering namun pendekatan yang digunakan sangat berbeda terutama berkaitan
dengan pendekatan lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Narkotika. Jadi penelitian ini adalah asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan
yaitu jujur, rasional objektif dan terbuka. Sehingga penelitian ini dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas masukan serta
saran-saran yang membangun sehubungan dengan pendekatan dan perumusan
F. Kerangka Teori dan Konsepsional 1. Kerangka Teori
Penanggulangan tindak pidana Narkoba melalui penelusuran harta kekayaan
hasil kejahatan di dalam system tindak pidana pencucian uang sebagai suatu
kejahatan mempunyai ciri khas yaitu bahwa kejahatan ini bukan merupakan kejahatan
tunggal tetapi kejahatan ganda. Hal ini ditandai dengan bentuk pencucian uang
sebagai kejahatan yang bersifat follow up crime atau kejahatan lanjutan, sedangkan
kejahatan utamanya atau kejahatan asalnya disebut sebagai predicate offense atau
core crime atau ada negara yang merumuskannya sebagai unlawful activity yaitu
kejahatan asal yang menghasilkan uang yang kemudian dilakukan proses pencucian
uang. Tujuan pelaku memproses pencucian uang adalah untuk menyembunyikan atau
menyamarkan hasil dari predicate offence agar tidak terlacak untuk selanjutnya dapat
digunakan, jadi bukan untuk tujuan menyembunyikan saja tapi merubah performance
atau asal usulnya hasil kejahatan untuk tujuan selanjutnya dan menghilangkan
hubungan langsung dengan kejahatan asalnya. Hal inilah yang menekankan perlunya
pendekatan system penanggulangan melalui tindak pidana pencucian uang.
Sebelumnya perlu digambarkan tentang pengertian system. Istilah sistem dari bahasa
yunani “systema” yang mempunyai pengertian suatu keseluruhan yang tersusun dari
sekian banyak bagian whole compounded of several parts.19 Secara sederhana sistem
ini merupakan sekumpulan unsur-unsur yang saling berkaitan untuk mencapai tujuan
19
bersama, yang tersusun secara teratur dan saling berhubungan dari yang rendah
sampai yang tinggi. Stanford Optner menyebutkan bahwa sistem tersusun dari
sekumpulan komponen yang bergerak bersama-sama untuk mencapai tujuan
keseluruhan.20 Dalam memahami istilah “sistem” ini ada beberapa penekanan dalam
mendefenisikannya sebagai berikut:
1. Penekanan pada adanya “sistem dari suatu proses”, sistem di sini merupakan proses pelaksanaan perencanaan kerja yang terdapat dalam suatu lembaga, dalam hal ini peradilan pidana.
2. Penekanan pada fungsi komponen-komponen lembaga yang berperan dalam menjalankan proses tersebut ada empat komponen yang masing-masing mempunyai fungsi yang berbeda. Keempat komponen tersebut berturut-turut adalah Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Mengingat akan penekanan pertama dari defenisi ini, yaitu sistem dari suatu proses (tahap-tahap), di sini tampak penyebutan komponen-komponen yang menunjukkan adanya suatu urutan. Hal ini semakin jelas apabila dilihat fungsi dari masing-masing komponen tersebut. Kepolisian berfungsi untuk melakukan tugas penyidikan, kejaksaan bertugas untuk melakukan fungsi penuntutan, pengadilan yang diwakili oleh para hakim berfungsi dan bertugas menjatuhkan putusan hukuman dan lembaga pemasyarakatan bertugas untuk menjalankan putusan penghukuman. Urutan-urutan tersebut menunjukkan adanya rangkaian proses yang harus dilalui dari suatu sistem yang bekerja untuk suatu tujuan yang sama agar dapat menghasilkan keluaran (output) yang diharapkan.
3. Penekanan pada cara bagaimana komponen-komponen dari masing-masing lembaga tersebut menjalankan fungsinya. Meskipun masing-masing komponen dari lembaga tersebut dalam menjalankan proses ini merupakan institusi-institusi yang berdiri sendiri, dan mempunyai fungsi yang berbeda-beda, dalam memainkan peranannya masing-masing, kesemua komponen tersebut harus bekerja secara terpadu. Keterpaduan disini merupakan kerjasama diantara komponen-komponen dari lembaga tersebut dalam menjalankankan fungsinya masing-masing, sampai terlaksananya seluruh tahap dari proses tersebut. Kerjasama tadi diharapkan menjadi sesuatu kekuatan yang sinergis untuk mencapai tujuan.
4. Pengertian mengenai sistem peradilan pidana dikaitkan dengan tujuan dari proses, komponen dan cara kerja sistem tersebut. Tujuan disini merupakan tujuan keseluruhan baik tujuan dari proses, tujuan dari pelaksana fungsi-fungsi komponen maupun tujuan dari cara kerja komponen-komponen tersebut. Oleh
karena itu tujuan tersebut harus dipahami dengan baik oleh setiap komponen. Peranan yang sangat besar dari semua komponen dalam menjalankan seluruh tahapan proses menyebabkan pemahaman mengenai tujuan ini begitu penting. Tanpa pemahaman yang seragam mengenai tujuan dari mulai proses hingga pelaksanaan dalam menanggulangi kejahatan dari lembaga ini akan sulit dapat dilakukan dengan baik.
Selanjutnya, dari rumusannya maka kejahatan pencucian uang dalam
UUTPPU dapat dibedakan dalam dua kriteria yaitu Tindak Pidana Pencucian Uang
(Pasal 3 dan 6) dan Tindak Pidana yang berkaitan dengan Pencucian Uang (Pasal 8
dan 9). Pasal 3:
(1) Setiap orang yang dengan sengaja:
a. Menempatkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana ke dalam penyedia jasa keuangan, baik atas nama sendiri atau atas nama pihak lain;
b. Mentransfer harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dari suatu penyedia jasa keuangan ke penyedia jasa keuangan yang lain baik atas nama sendiri maupun atas nama pihak lain;
c. Membayarkan atau membelanjakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik perbuatan itu atas namanya maupun atas nama pihak lain; d. Menghibahkan atau menyumbangkan harta kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
e. Menitipkan harta kekayaan yang diketahui atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana baik atas namanya maupun atas nama pihak lain;
f. Membawa keluar negeri harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana; atau
Unsur obyektif (actus reus) dari pasal 3 sangat luas dan karena merupakan inti
delik maka harus dibuktikan. Unsur obyektif tersebut terdiri dari menempatkan,
mentransfer, membayarkan atau membelanjakan, menghibahkan atau
menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negeri, menukarkan atau perbuatan
lain atas harta kekayaan (yang diketahui atau patut diduga berasal dari kejahatan).
Sedangkan unsur subyektifnya (mens rea) yang juga merupakan inti delik adalah
sengaja, mengetahui atau patut menduga bahwa harta kekayaan berasal dari hasil
kejahatan, dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan harta tersebut.
Pasal 6
(1) Setiap orang yang menerima atau menguasai: a. penempatan;
b. pentransferan; c. pembayaran; d. hibah ; e. sumbangan; f. penitipan; atau g. penukaran,
harta kekayaan yang diketahui atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling sedikit Rp. 100 juta dan paling banyak Rp. 15 milyar.
Unsur obyektif pasal 6 adalah menerima atau menguasai: penempatan,
pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran harta kekayaan
(yang diketahui atau patut diduga berasal dari hasil tindak pidana). Sedangkan unsur
subyektif atau mens reanya adalah mengetahui atau patut menduga bahwa harta
kekayaan merupakan hasil tindak pidana. Dalam UUTPPU juga mengatur tentang
tindak pidana yang berkaitan pencucian uang yaitu: Penyedia jasa keuangan yang
dalam Pasal 13 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp. 250 juta dan
paling banyak Rp. 1 milyar.
Pasal 13 ayat (1) yang ditunjuk oleh Pasal 8 adalah sebagai berikut:
Penyedia Jasa Keuangan wajib menyampaikan laporan kepada PPATK sebagaimana dimaksud dalam Bab V, untuk hal-hal sbb:
a. transaksi keuangan mencurigakan;
b. transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai dalam jumlah kumulatif sebesar Rp. 500.000.000,- atau lebih atau mata uang asing yang nilainya setara dilakukan dalam satu kali transaksi maupun beberapa kali transaksi dalam satu hari kerja.
Pasal 9:
Setiap orang yang tidak melaporkan uang tunai berupa rupiah sejumlah Rp. 100 juta atau lebih atau mata uang asing yang nilainya setara yang dibawa ke dalam atau ke luar wilayah Negara R.I. dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp. 100 juta dan paling banyak Rp. 300 juta.
Selanjutnya, di Indonesia pengaturan tentang pencucian uang pada awalnya
diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang tindak pidana
pencucian uang (UUTPPU). Mendasari UUTPPU ini money laundering telah
dikategorikan sebagai salah satu kejahatan baik yang dilakukan oleh perseorangan
maupun korporasi. Perkembangan kejahatan yang telah dilakukan korporasi dewasa
ini baik dalam batas suatu negara maupun yang dilakukan melintasi batas wilayah
negara lain makin meningkat. Kejahatan tersebut antara lain berupa tindak pidana
korupsi, penyuapan (bribery), perbankan, pencucian uang yang dikategorikan sebagai
kejahatan white collar crime dan dilakukan oleh tokoh-tokoh intelektual yang berada
pada umumnya mereka tidak kelihatan pada tingkat pelaksanaan dari suatu tindak
pidana tetapi akan lebih banyak menikmati dari hasil tindak pidana tersebut.21
Adapun sifat ataupun karakter pelaku tindak pidana pencucian uang pada
umumnya adalah bahwa pelaku memiliki kekuasaan baik politik maupun ekonomi
untuk membuat kabur dari asal usul harta kekayaan yang didapat dari kejahatan
tersebut sehingga sulit bagi aparat penegak hukum untuk melakukan penjeratan dan
penghukuman serta menerapkan norma hukum dalam bentuk peraturan
perundang-undangan bagi pelaku kejahatan pencucian uang didalam sistem peradilan pidana
(criminal justice system) yang terdiri dari polisi jaksa dan hakim.22
Pengaturan tentang pencucian uang ini merupakan salah satu dari delapan
kejahatan transnasional (narkoba, terorisme, penyeludupan senjata api, perdagangan
wanita dan anak, pembajakan di laut, kejahatan ekonomi, kejahatan cyber dan
pencucian uang) yang telah disepakati dunia di lingkungan Asia tenggara dimasukkan
dalam golongan kejahatan bisnis transnasional yang dapat melintasi batas wilayah
dan yuridiksi suatu negara serta penanganannya pun mendapat perhatian. Pada akhir
tahun 80-an dan 90-an, negara-negara maju telah mencemaskan terhadap
berkembangnya tindak pidana pencucian uang, terlebih lagi pada saat itu ketentuan
tentang kerahasiaan bank sangat dilindungi dan sulit ditembus. Berdasarkan
pemikiran tersebut maka negara yang tergabung dalam G-7 membentuk badan yang
21
Yunus Husein, Upaya Penanganan Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering), makalah disampaikan pada Seminar Nasional Mengenali tindak pidana Pencucian uang, diselenggarakan oleh USU, Medan tanggal 30 Oktober 2002, hal. 4
disebut FATF (The Financial Action Task Force) yaitu badan antar pemerintah yang
bertujuan mengembangkan dan meningkatkan kebijakan untuk memberantas
pencucian uang.23
Lahirnya UUTPU didasari suatu pemikiran bahwa tindak pidana pencucian
uang sangat erat kaitannya dengan dana-dana yang sangat besar jumlahnya.
Sementara itu, dana-dana tersebut disembunyikan dan disamarkan melalui jasa-jasa
keuangan, seperti jasa perbankan, asuransi, pasar modal dan instrumen lain dalam
lalu lintas keuangan. Praktek ini secara tidak langsung akan membahayakan dan
mempengaruhi, bahkan merusak stabilitas perekonomian nasional yang telah ada.24
Pencucian uang adalah suatu perbuatan memindahkan, menggunakan atau
melakukan perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang didapat dari hasil suatu tindak
pidana, yang biasanya dilakukan oleh criminal organization, maupun individu yang
melakukan tindakan korupsi, perdagangan narkotika, kejahatan kehutanan, kejahatan
lingkungan hidup dan tindak pidana lainnya dengan tujuan untuk menyembunyikan,
menyamarkan atau mengaburkan asal-usul uang yang berasal dari hasil tindak pidana
23
David P Steward, Internationalizing The War on Drugs; The un Convention on Againts
Illicit Trafic in Narcotic Drugs and Psycotropic substances, Den. J Int : L and Pol’y, vol 18
24
tersebut. Sehingga harta kekayaan tersebut baik yang berupa uang maupun barang
dapat digunakan seolah-olah sebagai harta kekayaan yang sah, tanpa terdeteksi bahwa
harta kekayaan tersebut berasal dari kegiatan yang illegal. Adapun yang
melatarbelakangi para pelaku pencucian uang melakukan tindakan-tindakan tersebut
dengan maksud adalah untuk memindahkan atau menjauhkan para pelaku itu dari
kejahatan yang menghasilan proceeds of crime, memisahkan proceeds of crime dari
kejahatan yang dilakukan, menikmati hasil kejahatan tanpa adanya kecurigaan
terhadap pelakunya, serta melakukan reinvestasi hasil kejahatan untuk aksi kejahatan
selanjutnya atau ke dalam bisnis dan usaha yang sah.
Dari latar belakang falsafah dibentuknya Regime Anti Pencucian Uang untuk
menanggulangi kejahatan asal yang salah satunya adalah tindak pidana Narkoba,
maka dapat dikaji beberapa kendala yang muncul dalam penerapan ketentuan ini di
Indonesia. Seperti telah dipahami bahwa suatu keberhasilan dalam penegakan hukum
sangat tergantung pada beberapa faktor yaitu bagaimana formulasi
undang-undangnya, kualitas penegak hukumnya dan budaya masyarakatnya. Demikian juga
yang terjadi di Indonesia, faktor-faktor tersebut ternyata juga mempengaruhi belum
optimalnya UUTPPU. Dari ketiga faktor tersebut nampaknya profesionalitas para
penegak hukum lebih dominant dibanding dua faktor yang lain. UUTPPU di
Indonesia yang walaupun pada hakekatnya mempunyai muatan politis yang
diinginkan oleh pembuat undang-undang dan Masyarakat Internasional pada tahap
bahwa pembuatan hukum (law making) yang kilat atau tergesa-gesa (pragmatis) akan
dapat mengakibatkan hukum itu sendiri menjadi tidak efektif yang pada gilirannya
pada tingkat pelaksanaan hukum oleh aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa, Hakim
dan Pengacara) membuat apa yang di inginkan oleh hukum itu tidak dapat tercapai.25
Hal ini didasarkan pada tujuan bahwa:
1. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan
2. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat merasakan bahwa keadilan telah ditegakkan dengan adanya penghukuman terhadap yang bersalah.
3. Mengusahakan adanya efek jera dimana yang bersalah atau yang pernah melakukan kejahatan tidak berhasrat mengulangi kejahatannya lagi.26
2. Kerangka Konsepsional
Dalam penelitian ini terdapat dua variabel yaitu: Pertama: Tindak Pidana
Narkoba. Kedua: Predicate Crime on Money Laundering. Dari dua variabel tersebut
akan dijelaskan pengertian dari masing-masing sebagai berikut:
1. Tindak pidana ialah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam
dengan pidana barang siapa yang melanggar larangan tersebut, selanjutnya beliau
menyatakan menurut wujudnya atau sifatnya, tindak pidana itu adalah
perbuatan-perbuatan yang melawan hukum dan juga merugikan masyarakat dalam arti
25
Allot, Antony, the efectiveness of law, Valparaiso Law Review, (vol. 15 Wiater, 1981) hal 233 dalam Bismar Nasution, Hukum Rasional Untuk Landasan Pembangunan Ekonomi Indonesia , Disampaikan Pada Seminar Nasional Reformasi Hukum dan Ekonomi, sub tema: Reformasi Agraria Mendukung Ekonomi Indonesia diselenggarakan dalam rangka Dies Natalis USU ke-52, Medan, Sabtu 14 Agustus 2004, hal. 4
26
bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya tata dalam pergaulan
masyarakat yang dianggap baik dan adil. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan
bahwa suatu perbuatan akan menjadi suatu tindak pidana, apabila perbuatan itu:27
melawan hukum, merugikan masyarakat, dilarang oleh aturan pidana, pelakunya
diancam dengan pidana.
2. Tindak Pidana Narkotika adalah suatu perbuatan yang diancam oleh sanksi
pidana terhadap pelaku yang menyalahgunakan zat atau obat yang berasal dari
tanaman atau bukan tanaman baik sintesis maupun semisintesis yang dapat
menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi
sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan.
3. Tindak Pidana Psikotropika diartikan sebagai suatu perbuatan yang diancam oleh
sanksi pidana terhadap pelaku yang menyalahgunkan zat atau obat baik alamiah
maupun sintesis bukan narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh
selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada
aktivitas mental dan perilaku.
4. Predicate Crime on Money Laundering diartikan sebagai suatu proses untuk
menyembunyikan atau menyamarkan harta kekayaan yang diperoleh dari hasil
kejahatan asal sebagaimana dirumuskan oleh UUTPPU. Hasil akhir dari proses
itu adalah hasil tindak pidana asal menjelma menjadi uang sah.28 Adapun yang
27
Mulyanto dalam Faisal Salam, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: Pustaka, 2004), hal. 84
28
Soewarsono dan Reda Manthovani, Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang di
melatar belakangi para pelaku pencucian uang (money laundering) melakukan
aksinya adalah dengan maksud memindahkan atau menjauhkan para pelaku itu
dari kejahatan yang menghasilkan proceeds of crime, memisahkan proceeds of
crime dari kejahatan yang dilakukan, menikmati hasil kejahatan tanpa adanya
kecurigaan kepada pelakunya, serta melakukan reinvestasi hasil kejahatan untuk
aksi kejahatan selanjutnya atau kedalam bisnis yang sah.
G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, artinya bahwa penelitian ini,
menggambarkan, menelaah dan menjelaskan secara analitis tindak pidana Narkoba
sebagai predicate crime on money laundering. Pendekatan penelitian ini adalah
penelitian hukum normatif,29 yaitu dimaksudkan sebagai pendekatan terhadap
masalah dengan melihat dari segi peraturan-peraturan yang berlaku oleh karena itu
dilakukan penelitian kepustakaan. Pada penelitian hukum, bahan pustaka merupakan
data dasar yang dalam penelitian digolongkan sebagai data sekunder. Data sekunder
tersebut mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, sehingga meliputi surat-surat
pribadi, buku-buku harian, buku-buku, sampai pada dokumen-dokumen resmi yang
29
dikeluarkan oleh pemerintah. 30 Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian
ini adalah meliputi penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan
konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian
pendahuluan yang berhubungan dengan objek yang diteliti dapat berupa peraturan
perundang-undangan dan karya ilmiah.
2. Sumber Data
Data penelitian ini didapatkan melalui studi kepustakaan, yakni dengan
melakukan pengumpulan referensi yang berkaitan dengan obyek penelitian yang
meliputi data sekunder yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library
research). Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan konsep-konsep, teori-teori dan
informasi serta pemikiran konseptual dari penelitian pendahulu baik berupa peraturan
perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya. Data sekunder terdiri dari:
1. Bahan hukum primer, antara lain:
a. Norma atau kaedah dasar
b. Peraturan dasar
c. Landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian ini diantaranya adalah
Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 sebagai perubahan dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang
Narkotika dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psilotropika,
30
Soerjono Soekamto dan Sri Mamudji, Peranan dan Penggunaan Perpustakaan Di dalam
Penelitian Hukum,(Jakarta: Pusat Dokumentasi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1979),