BAB I PENDAHULUAN
G. Metode Penelitian
6. Analisis Data
Analisis data sangat diperlukan dalam suatu penelitian, hal ini berguna untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian dengan menggunakan metode kualitatif bertolak dari asumsi tentang ralistis atau fenomenal social yang bersifat unik dan kompleks. Padanya terdapat regularitas atau pola tertentu, namun penuh dengan keragaman.22selanjutnya dianalisis untuk memperoleh kejelasan penyelesaian masalah, kemudian ditarik kesimpulan secara deduktif, yaitu dari hal yang bersifat umum menuju hal yang bersifat khusus.23
22Burhan Bungin, Analisis Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis Kearah Penguasaan Modal Aplikasi, ( Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 2003 ) hlm. 53
23Ronny Hanitijo Soemutro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, ( Jakarta; Gahlia Indonesia, 1998 ), hlm.57
BAB II
DASAR HUKUM PENGATURAN PERJANJIAN BAGI HASIL ATAS TANAH PERTANIAN
A. Perjanjian Pada Umumnya.
Perjanjian atau verbintenis mengandung pengertian suatu hubungan hukum/
harta benda atar dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada suatu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.24
Perikatan yang dimaksud dilahirkan dari suatu peristiwa dimana dua orang atau lebih saling menjanjikan sesuatu. Peristiwa ini paling tepat dinamakan
“perjanjian yaitu suatu peristiwa yang berupa suatu rangkaian perjanjian. Dapat dikonstatir bahwa perkataan perjanjian sudah sangat populer di kalangan rakyat”.25
Perikatan adalah hal – hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang lain.
Hal yang mengikat itu menurut kenyataan dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli barang, dapat berupa peristiwa tertentu seperti lahirnya seorang bayi dan dapat pula berupa suatu persetujuan jasa tertentu. Karena hal yang mengikat itu selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat, maka oleh pembentuk undang-undang dan masyarakat diakui dan diberi akibat hukum. Dengan demikian perikatan yang terjadi antara orang yang satu dengan yang lain disebut hubungan hukum.26
24Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian (Alumni, Bandung, 1982), hlm. 6.
25R. Subekti, Aspek- aspek Hukum Perikatan Nasional (Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1992), hlm. 12.
26Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Alumni, Bandung, 1982), hlm. 5-6.
Perjanjian adalah merupakan perbuatan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum yang menimbulkan akibat hukum. Hal tersebut tidak timbul dengan sendirinya, tetapi karena adanya tindakan hukum dari subjek hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban. Jadi, perjanjian lahir sebagai akibat dari suatu proses perbuatan atau tindakan para pihak yang terkait didalamnya. Dengan disasarkan kepada suatu persetujuan, para pihak berjanji untuk saling mengikat diri untuk mewujudkan tujuan tertentu. Dalam hal demikian, perjanjian selalu disandarkan pada adanya persetujuan atau kesepakatan dari para pihak. Perjanjian yang lahir dari persetujuan atau kesepakatan dari para pihak. Perjanjian yang lahir dari persetujuan terjadi apabila ada suatu penawaran dari salah satu pihak yang diikuti oleh suatu penerimaan dari pihak lain. Apa yang diterima, harulah cocok dengan apa yang ditwarkan. Ini terutama mengenai tujuan dari suatu perjanjian. Tujuan ini dapat diucapkan secra tegas ( uit drukkejik ) atau dapat juga secara diam-diam ( stilzigend).27
Landasan teori sebagaimana dikemukakan oleh M. Solly Lubis adalah “suatu kerangka pemikiran atau butir – butir pendapat, teori, thesis, mengenai suatu kasus atau permasalahan yang dijadikan bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui yang dijadikan masukan dalam membuat kerangka berpikir dalam penulisan”.28
27Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-persetujuan Tertentu, (Sumur, Bandung, 1985), hlm.27.
28M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu & Penelitian, (Mandar Maju, Bandung, 1994), hlm. 80.
Menurut Yahya Harahap bahwa suatu persetujuan dianggap sah harus memenuhi beberapa syarat yaitu :
1. Adanya perizinan sebagai kata sepakat secara sukarela dari kedua belah pihak yang membuat persetujuan ( toestemming );
2. Kecakapan atau kedewasaan ( bekwaamheid ) pada diri yang membuat persetujuan;
3. Harus mengenai pokok atau objek yang tertentu ( bepaalde onderwerp );
4. Dasar alasan atau sebab musabab yang diperbolehkan (goorloofdeoorzaak).29 Pernyataan sepakat mereka yang mengikat diri dan kecakapan untuk membuat suatu perjanjian digolongkan ke dalam syarat subjektif karena berkenaan dengan kapasitas orang yang mengadakan perjanjian. Sedangkan syarat tentang suatu hal tertentu dan sebab yang halal digolongkan dalam syarat objektif karena menyangkut objek perjanjian.30
Keempat syarat diatas merupakan syarat limitatif dalam suatu perjanjian, syarat tersebut harus terpenuhi sehingga perjanjian yang dibuat oleh para pihak dapat dikatakan sah dan mempunyai kekutan hukum yang mengikat. Bila salah satu atau beberapa syarat tersebut tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut dapat berakibat batal (nietig) atau dapat dibatalkan. Dalam kaitan ini, R. Subekti mengatakan apabila tidak dipenuhinya syarat pertama dan kedua, maka perjanjian tersebut dapat
29Yahya Harahap, Arbitrase di Indonesia, (Gramedia, Jakarta, 1986), Hlm. 24.
30Mariam Darus badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Alumni, Bandung, 1994), hlm.98.
dimintakan pembatalannya kepada hakim, sedangkan apabila tidak dipenuhinya syarat ketiga dan keempat maka perjanjian tersebut batal demi hukum.31
Kitab Udang – Undang Hukum Perdata pasal 1338 menyatakan bahwa semua pesetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian dikatakan mengikat apabila telah ada kata sepakat mengenai suatu hal tertentu. Sejak saat itu lahirlah hubungan hukum antara para pihak yang membuat perjanjian dan masing-masing pihak terikat satu sama lain, sekaligus menimbulkan hak dan kewajiban.
Perjanjian yang dibuat secara sah akan mengikat para pihak dan perjanjian tersebut tidak dapat ditarik kembali. Apabila ingin ditarik kembali, maka harus dengan persetujuan kedua belah pihak, tanpa mengurangi hak – hak pihak lain.
B. Perjanjian Bagi Hasil Atas Tanah Pertanian menurut Hukum Adat
Perjanjian Bagi Hasil dapat dikatakan berlaku diseluruh Indonesia dengan memakai berbagai istilah adat setempat seperti “maro” di Jawa Barat, “nyakap” di Lombok, “mawaih” di Aceh, “memperduai”di Sumatera Barat, “Belah Pinang” di Toba, “toyo” di Minahasa, “tesang” di Sulawesi Selatan, sedangkan di Kabupaten Langkat dinamakan dengan istilah “melahi” atau berarti membelahi.
Pengertian Bagi hasil yaitu hampir secara universal terdapat pada masyarakat pertanian kecil di seluruh dunia, dimana seorang petani pemilik tanah mengajak petani lain untuk menggarap seluruh tanah atau sebagian tanah miliknya dengan perjanjian bahwa si penggarap menyerahkan sebagian yang besarnya telah ditentukan
31R.Subekti, Pokok-pokok Hukum Perjanjian, (Intermasa, Jakarta, 1982), hlm.20.
terlebih dahulu dari hasil panenya kepada pemilik tanah. Beberapa istilah bagi hasil ini di Indonesia antara lain meudua laba (Aceh), pebalokkan (Karo), bolah pinang (Toba), bahandi (Nganjuk), tumoyo (Tondano), mempaduakan (Minangkabau), teseng (Makassar), Nyakap (Bali), sedangkan beberapa istilah dari luar negeri misalnya Merradria (Italia), aparceria (Spanyol), halfwinning (Belgia), deelbouw (belanda), sedangkan dalam ilmu pertanian dengan istilah internasionalnya adalah Sharecropping.32
A.P. Parlindungan menjelaskan bahwa pengertian bagi hasil adalah jelas merupakan suatu lembaga hukum adat, sebagaimana lembaga hukum adat lainnya dan tidak dapat diajukan teori-teori lain, oleh karena mungkin lingkungan di negara-negara lain memungkinkan ditafsirkan demikian, tetapi dalam sistem dar Hukum Adat itu sendiri, dia pada awalnya lebih bersifat sosial ekonomis bagi menolong sesama warga dan tidak melulu dapat dianggap sebagai suatu usaha bisnis seperti yang terjadi dan kemudian berkembang di negara – negara lain.33
Bagi Hasil menurut K.Wantjik Saleh berasal dari Hukum Adat yang biasanya disebut juga hak Menggarap yaitu hak seseorang untuk mengusahakan pertanian diatas tanah milik orang lain dengan perjanjian bahwa, hasilnya akan dibagi anatara kedua belah pihak berdasarkan persetujuan, dengan pertimbangan agar pembagian hasil tanahnya antara pemilik dan penggarap dilakukan atas dasar yang adil dan agar terjamin pula kedudukan hukum yang layak bagi penggarap dengan terjamin pula
32Ensiklopedi Indonesia, Ichtiar Baru, Van Hoeve, Jakarta, 1982, hlm.354.
33A.P. Parlindungan, Undang-Undang Bagi Hasil di Indonesia ( Suatu Studi Komparatif ), (cv. Mandar Maju, Bandung 1991), hlm.18.
kedudkan hukum yang layak bagi penggarap dengan menegaskan hak – hak dan kewajiban, baik dari penggarap maupun pemilik.34
Dasar perjanjian paruh hasil tanah ialah dimana saya ada sebidang tanah tapi tak ada kesempatan atau kemauan mengusahakan sendiri sampai berhasilnya, tapi walaupun begitu saya hendak memungut hasil tanah itu dan saya membuat persetujuan dengan orang lain supaya ia menerjakannya, menanaminya dan memberikan kepada saya bagian hasil panennya dan fungsinya ialah membuat berhasilnya milik tanah tanpa pengusahaan tanah sendiri dan mempergunakan tenaga pekerjaan dari orang lain tanpa milik tanah sendiri.35
Latar belakang terjadinya bagi hasil antara lain karena:36 a. Bagi Pemilik Tanah.
1. Mempunyai tanah tidak mampu atau tidak berkesempatan untuk mengerjakan tanah sendiri.
2. Keinginan mendapatkan hasil tanpa susah payah dengan memberi kesempatan pada orang lain mengerjakan tanah miliknya.
b. Bagi penggarap.
1. Tidak atau belum mempunyai tanah garapan dan atau tidak mempunyai pekerjaan tetap.
34K. Wantjik Saleh, Hak Anda Atas Tanah,(Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982), hlm.51.
35Bzn Ter Haar, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Terjemahan K.Ng. Soebakati Poesponoto,( Pradnya Paramita, Jakarta, 1980), hlm.125
36Hilman Hadikusuma, Hukum Kekerabatan Adat, (Sarana Media, Jakarta, 1987), hlm.154.
2. Kelebihan waktu bekerja karena milik tanah terbatas luasnya, tanah sendiri tidak mencukupi.
3. Keinginan mendapatkan tambahan hasil garapan.
Dalam sistem hukum adat yang ada dalam masyarakat Indonesia, bagi hasil pada awalnya lebih bersifat sosial ekonomis yang bertujuan untuk menolong sesama warga dan tidak selalu dapat dianggap sebagai usaha bisnis seperti di negara – negara lain.
Bagi hasil merupakan suatu lembaga hukum adat, sebagaimana lembaga – lembaga hukum adat lainnya pada awalnya lebih bersifat sosial ekonomis bagi menolong sesama warganya.37Perjanjian bagi hasil adalah suatu bentuk persetujuan antara seseoarang yang berhak atas suatu bidang tanah pertanian dan orang lain yang disebut penggarap, berdasarkan perjanjian mana penggarap diperkenankan mengusahakan tanah yang bersangkutan dengan pembagian hasilnya antara penggarap dan yang berhak atas tanah tersebut menurut imbangan yang telah disetujui bersama.38
Berdasarkan tradisi bagi hasil bahwa apabila suatu perjanjian telah mendapat persetujuan dari kedua belah pihak, berarti sudah mengikat dan keadaan itu terus berkembang sedemikian rupa, hal ini terjadi akibat pengaruh ekonomi keuangan, sehingga prinsip yang mengandung asas pemerataan mulai bergeser ke arah kepentingan ekonomi. Hukum yang dipakai masyarakat dalam melakukan perjanjian
37A.P. Parlindungan, Op.Cit, hlm.2.
38Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Jilid 1,(Djambatan, Jakarta, 1994), hlm.102.
bagi hasil adalah hukum adat yang tidak tertulis. Jadi apabila seseorang memiliki sebidang tanah, karena suatu sebab tidak dapat mengerjakan tanahnya sendiri, tetapi tetap berkeinginan untuk mendapatkan hasil, maka yang bersangkutan akan memperkenankan orang lain untuk menyelenggarakan usaha pertanian diatas tanah tersebut, dan hasilnya dibagi antara kedua belah pihak sesuai imbangan pembagian hasil yang telah mereka tentukan sebelumnya. Orang yang berhak mengadakan perjanjian bagi hasil menurut hukum yang berlaku saat ini, tidak hanya terbatas pada pemilik tanah itu saja, tetapi juga orang lain yang mempunyai hubungan hukum tertentu dengan tanah tersebut, misalnya pemegang gadai, penyewa, bahkan seorang penggarappun selaku pihak kedua yang mengadakan perjanjian bagi hasil dalam batas-batas tertentu berhak pula untuk melakukan perjanjian bagi hasil dengan pihak ketiga.
Selanjutnya dikatakan bahwa mengenai besarnya bagian untuk masing-masing pihak tidak ada yang seragam, karena besar bagian yang akan diterima sangat tergantung pada luas lahan yang tersedia, jumlah penggarap yang menginginkan tanah tersebut, keadaan kesuburan tanah, termasuk status atau kedudukan pemilik didalam masyarakat setempat.
Dari segi bentuk perjanjian bagi hasil pada umumnya ditetapkan dengan adanya persetujuan kedua belah pihak, dengan kata lain keikutsertaan kepala persekutuan atau kepala desa dalam perjanjian tersebut bukanlah merupakan suatu keharusan. Namun apabila kita liat dalam sistem perjanjian bagi hasil pada umumnya misalnya perjanjian bagi hasil yang dilakukan oleh seorang kontraktor bangunan
dengan pemilik tanah, sering dilakukan di hadapan Notaris baik perjanjian itu dalam bentuk notariil ataupun dibawah tangan. Imbangan pembagian hasil atas tanah ditetapkan oleh kedua belah pihak, dan pada umumnya tidak menguntungkan pihak penggarap. “Hal ini disebabkan tanah pertanian sedikit dan tenaga penggarap lebih banyak, sehingga imbagan pembagian hasilnya bukan mertelu (Jawa), jejuron (Priangan) yang pembagian hasilnya dua untuk pemilik dan satu bagian untuk penggarap atau sampai dibagi empat”.39
Perjanjian bagi hasil yaitu suatu perjanjian yang terkenal dan lazim dalam segala lingkungan-lingkungan hukum. Dasar perjanjian bagi hasil ialah dimana seseorang memiliki tanah namum tidak ada kemauan untuk mengusahakan sendiri tanahnya tetapi memiliki keinginan untuk memungut hasil tanah tersebut sehingga membuat persetujuan dengan orang lain agar mengerjakannya.
Menurut Soerojo Wignjodipoero bahwa dasar dari pada transaksi bagi hasil ini adalah pemilik tanah ingin memungut hasil dari tanahnya atau ingin memanfaatkan tanahnya, tetapi ia tidak ingin atau tidak dapat mengerjakannya sendiri.40
Hukum adat tidak mengenal ketentuan yang sebagaimana terdapat dalam KUHPerdata, dimana untuk sahnya suatu perjanjian diperlulan adanya syarat – syarat subjektif (yang membuat perjanjian) dan syarat objektif yaitu apa yang dijanjikan oleh masing- masing pihak yang merupakan isi perjanjian atau apa yang diinginkan para pihak dengan membuat perjanjian tersebut.
39Hilman Hadikusuma, Op.Cit., hlm.145.
40Soerojo Wignjodipoero, Sejarah serta Perkembangan Hukum Adat Setelah Kemerdekaan, (Gunung Agung, Jakarta, 1985), hlm.211.
Bagi masyarakat adat yang penting dalam pelaksanaan perjanjian bukan unsur subjektif ataupun unsur objektif, akan tetapi bagaimana terjadi dan terlaksananya perjanjian itu, serta dilandasi oleh kesepakatan biasanya dikenal dengan istilah konsensualisme.
Selain adanya kesepakatan antara pihak – pihak dalam hukum adat, juga dikenal kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum. Hukum adat tidak mengenal perbedaan yang tajam antara orang yang sama sekali tidak cakap dan yang cakap melakukan perbuatan hukum.41 Peralihan dari tidak cakap menjadi cakap dalam kenyataannya berlangsung sedikit demi sedikit menurut keadaan. Pada umumnya menurut hukum adat jawa seseorang dikatakan cakap penuh melakukan perbuatan hukum apabila sudah hidup mandiri dan berkeluarga sendiri. Namun demikian masalah kedewasaan seseorang menurut hukum adat seringkali tergantung pada penilaian masyarakat setempat.
Batasan hukum tentang kedewasaan menurut Supomo adalah dewasa dalam hukum adat kriterianya bukanlah umur, tetapi kenyataan – kenyataan atau ciri – ciri tertentu. Ciri – ciri yang menentukan seseorang dewasa atau belum, yaitu :42
1. Kuat gawe ( mampu bekerja sendiri ), cakap untuk melakukan segala pergaulan dalam kehidupan masyarakat serta mempertanggungjawabkan sendiri segala-galanya;
2. Cakap mengurus harta bendanya serta lain – lain keperluannya sendiri.
41Djojodiguno, Asas – asas Hukum Adat, (Djambatan, Jakarta, 1976), hlm.14.
42Soepomo, Hukum Perdata Adat Jawa Barat,(Djambatan, Jakarta, 1967), hlm.25-27.
Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Hilman Hadikusuma, yang menyatakan anak yang belum dewasa dimaksud adalah yang belum mampu melakukan perbuatan hukum menurut ukuran masyarakat hukum adat bersangkutan, dilihat dari keadaan anak dan kemampuan berpikir dan bertindak si anak. Bisa saja anak yang belum mencapai usia 18 tahun sudah dianggap dewasa. Pada umumnya bila si anak sudah berumah tangga sendiri atau sudah dinyatakan dewasa oleh kerapatan adat, maka si anak sudah dianggap dewasa.43
Selanjutnya Ter Haar44 mengemukakan mengenai beberapa corak bertalian dengan sifat perjanjian bagi hasil ini. petama, bahwa pembentukan penghulu – penghulu rakyat tidak pernah menjadi syarat untuk sahnya untuk berlakunya tidak usah ada pengisaran yang harus terang, perjanjian itu dilaksanakan diantara kedua belah pihak saja. Selanjutnya jarang dibuat surat akta dari pada perbuatan hukum itu, lebih – lebih bahwa perjanjian paruh hasil tanaman itu diadakan atau dibuat satu tahun panen, dari musim tanam sampai musim panen. Itupun bilamana tidak ada hal lain yang ditetapkan karena ada sebab – sebab istimewa, dan kalau demikian menurut prinsipnya lama perjanjian semacam ini dapat dibuat oleh siapa saja yang menghendaki tanah itu, si pemilik tanah, si pembeli gadai, si penyewa tanah atas perjanjian jual tahunan, juga si pemakai tanah kerabat, hasil karena jabatannya, betul ia tidak memiliki tanah tetapi ia menajalankan suatu usaha yang pada asasnya selalu diperbolehkan mengenai mengerjakan tanah dan memperhasilkannya.
43Hilman Hadikusuma, Op.Cit., hlm. 89
44B. Ter Haar Bzn, Op.Cit., hlm. 126
Dengan demikian perjanjian bagi hasil tanaman terlaksana dengan jalan mengizinkan orang lain masuk ke tanah pertanian, dimana ia melakukan hanya denga pemufakatan bahwa orang yang diizinkan masuk tadi si pemaruh akan menanam tanaman dan akan menyerahkan sebagian hasil panennya kepada siempunya hak atas tanah itu. Tentang pemufakatan lebih lanjut mengenai bagian dari hasil panen yang akan diserahkan kepada siempunya hak atas tanah dan lainnya maka hal ini biasanya disebutkan dalam perjanjian.
C. Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian Menurut Undang – Undang Nomor