• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN"

Copied!
140
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

Oleh

JULIA SARI 147011007/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2016

(2)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

JULIA SARI 147011007/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2016

(3)

SALAPIAN KABUPATEN LANGKAT Nama Mahasiswa : JULIA SARI

Nomor Pokok : 147011007 Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN)

Pembimbing Pembimbing

(Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum ) (Dr.Pendastaren Tarigan, SH, MS )

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof.Dr.Muhammad Yamin,SH,MS,CN) (Prof.Dr.Budiman Ginting,SH,MHum)

Tanggal lulus : 19 Juli 2016

(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN Anggota : 1. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum

2. Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS

3. Dr. Rosnidar Sembiring, SH, MHum

4. Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, MHum

(5)

Nama : JULIA SARI

Nim : 147011007

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : EFEKTIVITAS PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1960 TENTANG PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH PERTANIAN DI DESA UJUNG TERAN KECAMATAN SALAPIAN KABUPATEN LANGKAT

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

Nama : JULIA SARI

Nim : 147011007

(6)

deskriptif yaitu penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan secara umum tentang keadaan dan kondisi dari Pelaksanaan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil Lahan Pertanian di Desa Ujung Teran Kecamatan Salapian Kabupaten Langkat. Data yang terkumpul kemudian dianalisis dengan pendekatan yuridis sosiologis dimana model dari penelitian yuridis sosiologis mempunyai objek kajian mengenai perilaku masyarakat, kemudian terhadap permasalahan yang diteliti kemudian dikaitkan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan, teori-teori, hasil-hasil penelitian dan laporan-laporan yang berhubungan dengan objek yang diteliti.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil telah terlaksana sebagaimana mestinya di Desa Ujung Teran Kecamatan Salapian Kabupaten Langkat. Hasil penelitian ini memberikan gambaran dan masukan kepada Pemerintah khususnya Pemerintah Daerah Tingkat II Langkat, sehingga dengan semikian dapat menentukan penyempurnaan langkah-langkah selanjutnya untuk pelaksanaan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa, masyarakat yang terdapat di Desa Ujung Teran Kecamatan Salapian Kabupaten Langkat, sama sekali tidak mengetahui bahwa Perjanjian Bagi Hasil telah diatur dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960. Oleh sebab itu, dalam hal Perjanjian Bagi Hasil, masyarakat di Desa Ujung Teran Kecamatan Salapian Kabupaten Langkat masih tunduk dan menggunakan hukum adat kebiasaan yang telah lama hidup dan berkembang di tengah masyarakat.

Oleh karenanya, tidak terlaksananya Undang-undang nomor 2 Tahun 1960 bukan semata karena masyarakat tidak sadar akan hukum ataupun rendahnya kualitas dari Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960, melainkan karena masyarakat tidak mengetahui keberadaan undang-undang tersebut.Dengan demikian dalam rangka menegakkan pelaksanaan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960, diharapkan sekali peran serta aparat pemerintah setempat untuk segera mungkin menyebar luaskan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 tersebut kepada masyarakat melalui kepala desa sebagai aparat pemerintahan yang paling dekat dengan rakyat.

Kata kunci : Perjanjian Bagi Hasil

(7)

The study used judicial emperical and descriptive method which was aimed to generally describe the condition of the implementation of law No. 2/1960 on Production Sharing Agreement on Farm Land at Ujung Teran Village, Salapian Subdistrict, Langkat Regency. The gathered data were analyzed by using judicial sociological method about people’s behavior which was related to legal provisions, theories, study results, and reports on the research object.

The objective of the study was to find out whether Law No. 2/1960 on Production Sharing Agreement on Farm Land had been implemented properly at Ujung Teran Village, Salapian Subdistrict, Langkat Regency. This study result would be contributed to the Langkat District Government for determining the completion of the next steps in the Implementation of Law No. 2/1960.

The result of the study shows that the people at Ujung Teran Village do not know at all about the production sharing regulated in Law No. 2/1960. Therefore, they still comply with and use the adat ( traditional ) law which has developed from generation to generation. The infeasibility of Law No. 2/1960 is not because they are ignorant of the law or low quality of Law No. 2/1960, but because they really do not know about it. In order to uphold the implementation of Law No. 2/1960, it is recommended that the local Government widely inform Law No. 2/1960 to the people through the Village Head as the official which is close to his people.

Keyword: Production Sharing Agreement

(8)

memberikan penulis berlimpah kasih karunia hingga dapat menyelesaikan thesis ini dan juga perkuliahan penulis di Magister Kenotariatan Program PascaSarjana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ini.

Penulisan thesis ini berjudul, EFEKTIVITAS PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1960 TENTANG PERJANJIAN

BAGI HASIL TANAH PERTANIAN DI DESA UJUNG TERAN

KECAMATAN SALAPIAN KABUPATEN LANGKAT ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu persyaratan yang harus dilengkapi dalam ragkaian studi di Program PascaSarjana Universitas Sumatera Utara.

Dalam penyusunan thesis ini penulis telah banyak mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Terima kasih yang tiada hingga dan penghargaan yang sebesarnya penulis ucapkan kepada Bapak dan Ibu komisi pembimbing yang terhormat, yakni Bapak Prof. DR. Muhammad Yamin, S.H, M.S, C.N, Ibu DR.

T. Keizerina Devi A, S.H, C.N, M.Hum., Bapak DR. Pendastaren Tarigan, S.H, M.S yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis, sehingga thesis ini dapat diselesaikan. Juga kepada Dosen Penguji yang terhormat yaitu Ibu DR. Rosnidar Sembiring, S.H, M.Hum serta Bapak DR. Faisal Akbar Nasution, S.H, M.Hum yang banyak memberikan masukan untuk perbaikan thesis ini baik pada saat seminar proposal dan seminar hasil juga dalam ujian thesis.

Terima kasih yang tidak terhingga penulis sampaikan kepada :

1. Bapak Prof. DR. Runtung, SH, MHum, selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H, M.S, C.N, selaku Ketua Program

Studi Magister Kenotariatan Program PascaSarjana Universitas Sumatera Utara;

(9)

Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan begitu banyak ilmu pengetahuan dalam bidang ilmu Kenotariatan;

4. Bapak Ngogesa Sitepu selaku An. Bupati Langkat, Sekretaris Daerah Kabupaten Ub. Kepala Bagian Hukum dan Organisasi beserta jajarannya, yang telah memberikan informasi yang diperlukan penulis;

5. Bapak Nuryansyah Putra. S.STP. M.Si selaku Camat Salapian beserta jajarannya, yang telah banyak memberikan dan membantu penulis untuk mendapatkan data dan informasi yang berkaitan dengan pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil atas Tanah Pertanian di Kecamatan Salapian;

6. Bapak Surya Darma Sitepu, selaku Kepala Desa di Desa Ujung Teran dan masyarakat di Desa Ujung Teran Kecamatan Salapian yang menjadi responden dan informan penulis;

7. Bapak Malem Ginting, S.H, M.Hum dan Bapak Muhammad Hayat, S.H yang telah membantu dan memberikan begitu banyak pengalaman ilmu hukum kepada penulis.

8. Rekan-rekan mahasiswa Magister Kenotariatan angkatan 2014 khususnya teman seperjuangan penulis yakni, Elly Yusnita SH, Mega Andika SH, Sofiaty alfiana SH, Beby Muhasnah SH, Linawaty Napitupulu SH, Salawaty SH, Sella Sartika SH, Juita Osti SH, Yesica Pratiwi SH, Lidya Tarigan SH, Zahira Banu SH, Juria Pasaribu SH, Deo Andika Putra SH, Suaib Bancin SH, M.Fauzy SH, Hassan Salam SH, Ramdhan Putra Bakti SH.

9. Keluarga besar Bapak Drs.Mimpin Sembiring (†), Ibu Inti Sari Sitepu, SH,

Hendrawan Sembiring SH, Oky cristovani Sembiring, dan Eko Sumantri

Sembiring, yang telah memberikan dukungan dan bantuan serta semangat

kepada penulis.

(10)

satu-satunya Eriyandi, S.E, dan kakak terakhir Merry, S.E, beserta keponakan- keponakan tercinta.

Akhir harapan penulis semoga thesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua orang baik kepada mahasiswa, masyarakat khususnya di lingkungan pendidikan hukum.

Medan, Juli 2016 Penulis,

(JULIA SARI)

(11)

Nama : JULIA SARI Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat/Tanggal Lahir : Binjai, 14 Juli 1992

Status : Belum Menikah

Agama : Budha

Alamat : Jl. Petai No.26, Binjai Utara, Sumut

No.Hp : 081933233538 / 081375027272

Email : [email protected]

II. PENDIDIKAN

SD : SD. Ahmad Yani BINJAI

SMP : SMP. Ahmad Yani BINJAI

SMA : SMA. Ahmad Yani BINJAI

STRATA I : Fakultas Hukum USU

STRATA II : Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas

Hukum USU

(12)

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR ISTILAH ... x

DAFTAR TABEL ... xi

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

E. Keaslian Penelitian... 8

F. Kerangka Teori dan konsepsi... 10

1. Kerangka Teori ... 10

2. Konsepsi... 12

G. Metode Penelitian... 14

1. Lokasi Penelitian... 14

2. Spesifikasi Penelitian ... 14

3. Sumber Data ... 15

4. Alat Pengumpulan Data ... 16

5. Penetapan Sampel dan Responden... 17

6. Analisis Data ... 17

(13)

B. Perjanjian Bagi Hasil Atas Tanah Pertanian menurut Hukum

Adat ... 21

C. Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian Menurut Undang – Undang Nomor 02 Tahun 1960 ... 29

BAB III PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH PERTANIAN... 54

A. Gambaran Umum Daerah Penelitian ... 54

1. Sejarah Kabupaten Langkat ... 54

2. Kondisi Wilayah ... 58

3. Sejarah singkat khusus Kecamatan Salapian ... 59

4. Letak Geografis Kecamatan Salapian ... 60

5. Karakteristik Responden ... 68

B. Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian di Desa Ujung Teran Kecamatan Salapian Kabupaten Langkat... 72

1. Latar Belakang Timbulnya Perjanjian Bagi Hasil ... 72

2. Asas yang dipergunakan dalam Perjanjian Bagi Hasil ... 79

3. Bentuk Perjanjian Bagi Hasil ... 82

4. Objek Perjanjian Bagi Hasil ... 86

BAB IV PERLINDUNGAN PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL LAHAN PERTANIAN ... 89

A. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Bagi Hasil... 89

1. Hak Pemilik dan Penggarap Lahan ... 89

2. Kewajiban Pemilik dan Penggarap Lahan ... 90

B. Jangka Waktu Perjanjian Bagi Hasil... 92

C. Imbangan Pembagian Hasil ... 94

D. Berakhirnya Perjanjian Bagi Hasil... 97

E. Penyelesaian Sengketa dalam Perjanjian Bagi Hasil ... 99

(14)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 114

A. Kesimpulan ... 114

B. Saran ... 116

DAFTAR PUSTAKA ... 117

LAMPIRAN

(15)

Bepaalde Onderwerp : Pokok atau objek tertentu

Buerferlijk Wetboek : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Deelbouw : Perjanjian Bagi Hasil

Exploitation : Eksploitasi, Pemerasan, Pengisapan Field Research : Penelitian Lapangan

Geltungsslehre : Teori Keberlakuan

Goorloofdeoorzaak : Suatu sebab musabab yang halal Justification : Pembenaran, Dasar Pembenaran Library Research : Penelitian Kepustakaan

Melahi : Bagi Hasil

Nietig : Batal atau Dapat dibatalkan

Pacta Sunt Servanda : Setiap janji harus ditepati (adanya pengikatan)

Pasuhken : Dipelihara

Rechsgemeenstschap : Masyarakat Hukum Sharecropping : Perjanjian Bagi Hasil

Stilzigend : Sesuatu yang diungkapkan secara tegas

Toestemming : Perizinan sebagai kata sepakat atau setuju

Uit Drukkejik : Sesuatu yang diungkapkan secara diam-diam

Verbintenis : Perjanjian atau Kesepakatan

(16)

Kabupaten Langkat Tahun 2016... 61 Tabel 2. Jumlah Penduduk, Rumah Tangga dan Lapangan Pekerjaan setiap

Desa atau Kelurahan di Kecamatan Salapian Kabupaten Langkat Tahun 2016 ... 62 Tabel 3. Jumlah Penduduk berdasarkan Penggolongan Umur dan Jenis

Kelamin di Kecamatan Salapian Kabupaten Langkat ... 63 Tabel 4. Klasifikasi Luas Wilayah Kecamatan Salapian Kabupaten Langkat

Menurut Desa / Kelurahan dan jenis Penggunaan Tanah Tahun 2016 ( Ha )... 65 Tabel 5. Sumber Penghasilan Utama dan Jumlah Petani di Kecamatan

Salapian Kabupaten Langkat pada Tahun 2016. ... 66 Tabel 6. Jumlah Produksi tanaman padi, Palawija

1

dan Sayuran di Desa

Ujung Teran Kecamatan Salapian Kabupaten Langkat Tahun 2016 . 67 Tabel 7. Jumlah Sampel pada Desa Ujung Teran Kecamatan Salapian

berdasarkan Rumah Tangga ... 68 Tabel 8. Distribusi Frekuensi Pekerjaan Pemilik dan Penggarap

di Desa Ujung Teran... 69 Tabel 9. Distribusi Frekuensi Umur Responden di Desa Ujung Teran ... 70 Tabel 10. Distribusi Frekuensi Pendidikan Terakhir Responden... 71 Tabel 11. Hubungan Keluarga antara Pemilik dan Penggarap Lahan di Desa

Ujung Teran Kecamatan Salapian Kabupaten Langkat... 73 Tabel 12. Distribusi Frekuensi Kesulitan Pemilik Tanah untuk mencari

Penggarap ... 74

Tabel 13. Distribusi Jumlah Penggarap Kesulitan Mencari Tanah Garapan... 75

(17)

Hasil... 77

Tabel16. Distribusi jumlah Alasan Penggarap

memilih sistem bagi hasil ... 78 Tabel 17. Distribusi bentuk perjanjian bagi hasil dan status tanah di Desa

Ujung Teran Kecamatan Salapian Kabupaten Langkat... 83 Tabel 18. Distribusi peran Kepala Desa dan Camat dalam Perjanjian Bagi

Hasil di Desa Ujung Teran Kecamatan Salapian Kabupaten Langkat ... 84 Tabel 19. Distribusi Jumlah Bentuk Imbalan Hasil

dalam Perjanjiang Bagi Hasil ... 85 Tabel 20. Distribusi Jenis Tanah dalam perjanjian... 86 Tabel 21. Distribusi jumlah tanaman yang menjadi objek sesuai dengan jenis

tanah dalam perjanjian bagi hasil ... 87 Tabel 22. Hak Pemilik dan Penggarap lahan dalam perjanjian bagi hasil lahan

pertanian di Desa Ujung Teran Kecamatan Salapian Kabupaten Langkat ... 89 Tabel 23. Kewajiban Pemilik dan Penggarap pada Perjanjian Bagi

Hasil Lahan Pertanian di Desa Ujung Teran Kecamatan Salapian Kabupaten Langkat ... 90 Tabel 24. Jangka Waktu Perjanjian Bagi Hasil atas tanah pertanian di Desa

Ujung Teran Kecamatan Salapian Kabupaten Langkat... 92 Tabel 25. Imbangan Bagi Hasil Lahan Sawah muapun Lahan Kering Di desa

Ujung Teran Kecamatan Salapian Kabupaten Langkat ... 94 Tabel 26. Distribusi Alasan Pemutusan Perjanjian Bagi Hasil di Desa Ujung

Teran Kecamatan Salapian Kabupaten Langkat... 98 Tabel 27. Distribusi Sengketa Antara Pemilik Lahan dan Penggarap Lahan

Dalam Perjanjian Bagi Hasil di Desa Ujung Teran Kecamatan

Salapian Kabupaten Langkat ... 99

(18)

Tabel 29. Distribusi tentang tanggapan responden terhdap Pelaksanaan Undang – Undang Nomor 02 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil ... 105 Tabel 30. Distribusi Luas Lahan yang dimiliki oleh Pemilik dan yang

digarap oleh Penggarap di Desa Ujung Teran Kecamatan Salapian Kabupaten Langkat... 106 Tabel 31. Perbedaan Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian menurut Undang-

undang Nomor 2 Tahun 1960 dengan Perjanjian Bagi Hasil Tanah

Pertanian di Desa Ujung Teran Kecamatan Salapian Kabupaten

Langkat ... 113

(19)

deskriptif yaitu penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan secara umum tentang keadaan dan kondisi dari Pelaksanaan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil Lahan Pertanian di Desa Ujung Teran Kecamatan Salapian Kabupaten Langkat. Data yang terkumpul kemudian dianalisis dengan pendekatan yuridis sosiologis dimana model dari penelitian yuridis sosiologis mempunyai objek kajian mengenai perilaku masyarakat, kemudian terhadap permasalahan yang diteliti kemudian dikaitkan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan, teori-teori, hasil-hasil penelitian dan laporan-laporan yang berhubungan dengan objek yang diteliti.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil telah terlaksana sebagaimana mestinya di Desa Ujung Teran Kecamatan Salapian Kabupaten Langkat. Hasil penelitian ini memberikan gambaran dan masukan kepada Pemerintah khususnya Pemerintah Daerah Tingkat II Langkat, sehingga dengan semikian dapat menentukan penyempurnaan langkah-langkah selanjutnya untuk pelaksanaan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa, masyarakat yang terdapat di Desa Ujung Teran Kecamatan Salapian Kabupaten Langkat, sama sekali tidak mengetahui bahwa Perjanjian Bagi Hasil telah diatur dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960. Oleh sebab itu, dalam hal Perjanjian Bagi Hasil, masyarakat di Desa Ujung Teran Kecamatan Salapian Kabupaten Langkat masih tunduk dan menggunakan hukum adat kebiasaan yang telah lama hidup dan berkembang di tengah masyarakat.

Oleh karenanya, tidak terlaksananya Undang-undang nomor 2 Tahun 1960 bukan semata karena masyarakat tidak sadar akan hukum ataupun rendahnya kualitas dari Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960, melainkan karena masyarakat tidak mengetahui keberadaan undang-undang tersebut.Dengan demikian dalam rangka menegakkan pelaksanaan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960, diharapkan sekali peran serta aparat pemerintah setempat untuk segera mungkin menyebar luaskan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 tersebut kepada masyarakat melalui kepala desa sebagai aparat pemerintahan yang paling dekat dengan rakyat.

Kata kunci : Perjanjian Bagi Hasil

(20)

The study used judicial emperical and descriptive method which was aimed to generally describe the condition of the implementation of law No. 2/1960 on Production Sharing Agreement on Farm Land at Ujung Teran Village, Salapian Subdistrict, Langkat Regency. The gathered data were analyzed by using judicial sociological method about people’s behavior which was related to legal provisions, theories, study results, and reports on the research object.

The objective of the study was to find out whether Law No. 2/1960 on Production Sharing Agreement on Farm Land had been implemented properly at Ujung Teran Village, Salapian Subdistrict, Langkat Regency. This study result would be contributed to the Langkat District Government for determining the completion of the next steps in the Implementation of Law No. 2/1960.

The result of the study shows that the people at Ujung Teran Village do not know at all about the production sharing regulated in Law No. 2/1960. Therefore, they still comply with and use the adat ( traditional ) law which has developed from generation to generation. The infeasibility of Law No. 2/1960 is not because they are ignorant of the law or low quality of Law No. 2/1960, but because they really do not know about it. In order to uphold the implementation of Law No. 2/1960, it is recommended that the local Government widely inform Law No. 2/1960 to the people through the Village Head as the official which is close to his people.

Keyword: Production Sharing Agreement

(21)

A. Latar Belakang

Tanah merupakan bagian dari bumi, yang disebut permukaan bumi. Tanah yang dimaksudkan disini bukan mengatur tanah dalam segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya, yaitu tanah dalam pengertian yuridis yang disebut hak. Tanah adalah sebagian dari bumi yang merupakan dasar menguasai dari Negara yang terdiri dari hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama dengan orang lain serta badan hukum. Demikian jelaslah bahwa tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi.

1

Tanah adalah sumber penghasilan yang pokok dan dengan memiliki tanah berarti masyarakat mempunyai kedudukan social yang terhormat dalam masyarakat hukum. Setiap manusia tentu memerlukan tanah untuk kehidupan oleh sebab itu tanah merupakan fungsi social yang pemanfaatannya harus membantu meningkatkan kesejahteraan rakyat dalam rangka mewujudkan keadilan social. Pemanfaatan tanah dapat terkoordinasi antara berbagai jenis penggunaan dengan tetap memelihara kelestarian alam dan lingkungan, serta mencegah penggunaan tanah yang merugikan kepentingan masyarakat dan kepentingan pembangunan.

2

1Urip Santoso, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, ( Jakarta, Kencana, 2012 ), hlm.9-10.

2A.P. Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, ( Bandung, Maju Mandar, 1998 ), hlm.8

(22)

Tujuan dari pada pembangunan di bidang pertanian ini adalah untuk mendukung pembangunan di bidang ekonomi, dalam upaya untuk tumbuh dan berkembang atas kekuatan sendiri sehingga tanah pertanian yang merupakan sumber daya kehidupan, memegang peran yang sangat penting bagi kehidupan dan penghidupan masyarakat di Indonesia terutama di pedesaan dalam mencukupi kebutuhannya.

Tanah dapat dinilai sebagai suatu harta yang mempunyai sifat permanen, karena memberikan suatu kemanfaatan untuk dicadangkan bagi kehidupan di masa mendatang dan pada dasarnya tanah pula yang akan dijadikan sebagai tempat persemayaman terakhir bagi seseorang yang meninggal dunia.

3

Terlepas dari pada keramat atau tidak, menurut hukum adat, manusia dengan tanahnya mempunyai hubungan kosmis-magis-religius, selain hubungan hukum.

Hubungan ini bukan saja antara individu dengan tanah, tetapi dapat juga antar sekelompok anggota masyarakat suatu persekutuan hukum adat ( Rechtsgemeenstschap ) di dalam hubungan dengan hak ulayat.

4

Hubungan antara warga Negara Indonesia dengan tanah tersebut merupakan hak yaitu hak penguasaan atas tanah. Dalam hukum tanah dikenal ada hubungan yang abadi antara tanah dengan warga Negara Indonesia, dan ini menjadi hubungan yang sangatlah sacral, sehingga terjadinya hubungan magis antara tanah dengan pemiliknya dalam masyarakat.

5

3Abdurrahman, Aneka Masalah Hukum Agraria Dalam Pembangunan di Indonesia,(

Bandung;Alumni, 1978 ) hlm.1

4Jhon Salindeho, Manusia, Tanah, Hak dan Hukum ( Jakarta; Sinar Grafika, 1998 ) hlm.33

5Muhammad Yamin, Beberapa Dimensi Filosofis Hukum Agraria ( Medan;Pustaka Bangsa Press, 2013 ) hlm.17

(23)

Dalam rangka untuk melindungi golongan petani yang berekonomi lemah terhadap praktek-praktek yang mengandung unsur-unsur exploitation dari golongan berekonomi kuat, maka pemerintah Indonesia telah mengatur perjanjian tersebut dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 ( selanjutnya disingkat menjadi UU No.2 Tahun 1960 ) tentang Perjanjian Bagi Hasil, yang mulai diberlakukan pada bulan Januari tanggal 7 Tahun 1960 dan merupakan dasar pembenaran ( justification ) bagi berlakunya di masyarakat.

UU No. 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil Pertanian ini mengatur perjanjian pengusahaan tanah dengan bagi hasil, agar pembagian hasil tanahnya antara pemilik dengan penggarap dilakukan atas dasar yang adil dan agar terjamin pula kedudukan hukum yang layak bagi penggarap itu, dengan menegaskan hak dan kewajiban baik dari penggarap maupun pemilik.

6

Adapun tujuan dilahirkannya Undang-undang yang mengatur tentang perjanjian bagi hasil ini adalah sebagaimana yang disebutkan dalam Penjelasan Undang-undang tersebut, yakni :

1. Agar pembagian hasil tanah antara pemilik dan penggarapnya dilakukan atas dasar yang adil,

2. Dengan menegaskan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari pemilik dan penggarap agar terjamin pula kedudukan hukum yang layak bagi para penggarap, yang biasanya dalam perjanjian bagi hasil itu berada dalam

6Sudargo Gautama, Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria ( Bandung; Citra Aditya Bakti, 1993 ), hlm.253.

(24)

kedudukan yang tidak kuat yaitu karena umumnya tanah yang tersedia tidak banyak, sedang jumlah orang yang ingin menjadi penggarapnya adalah sangat besar,

3. Dengan terselenggaranya apa yang tersebut pada angka 1 dan 2, maka akan bertambahlah kegembiraan bekerja pada para petani penggarap, hal mana akan berpengaruh baik pada cara memelihara kesuburan dan mengusahakan tanahnya. Hal itu tentu akan berpengaruh baik pada produksi tanah yang bersangkutan, yang berarti suatu langkah maju dalam melaksanakan program yang akan melengkapi sandang pangan rakyat.

Namun dilihat dari tujuan dibuatnya undang-undang ini sebagaimana yang dikemukakan diatas, maka sudah sepantasnya kedudukan petani penggarap semakin telindungi dan pengelolaan lahan pertanian juga semakain terjaga.

Meskipun usia dari undang-undang perjanjian bagi hasil ini sudah mencapai 55 tahun, dari beberapa penelitian yang dilakukan di berbagai daerah khususnya di Sumatera Utara, ternyata pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil yang dilakukan oleh masyarakat petani tidak didasarkan pada UU No. 2 Tahun 1960 tersebut, melainkan masih menggunakan ketentuan hukum adat atau kebiasaan yang berlaku di tempat tersebut.

Gejala perjanjian bagi hasil hanya dapat muncul dalam masyarakat dimana

sektor pertanian masih mempunyai arti penting dalam menunjang perekonomian

masyarakat yang bersangkutan. Perjanjian bagi hasil yang berlaku di dalam

masyarakat tersebut umumnya dilakukan secara lisan atas dasar saling percaya

(25)

kepada sesama anggota masyarakat.

7

Demikian yang terjadi pada masyarakat di Kacamatan Salapian Kabupaten Langkat, dimana pada awalnya perjanjian bagi hasil lebih bersifat social untuk menolong sesama warga untuk membantu perekonomian masing-masing.

Desa di Kecamatan Salapian Kabupaten Langkat, pihak yang tidak memiliki lahan pertanian menyelenggarakan usaha pertanian di atas tanah kepunyaan orang lain, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan perjanjian bagi hasil yang telah disepakati diantara pihak yaitu pemilik lahan dan penggarap lahan. Perjanjian ini semula diatur menurut hukum adat setempat dimana perimbangannya pembagian hasil ditetapkan sesuai dengan perjanjian yang di lakukan oleh kedua belah pihak.

Berdasarkan survey pendahuluan pada bulan Agustus 2015 di Kecamatan Salapian Kabupaten Langkat khususnya di desa Ujung Terang, dapat diketahui bahwa sebagian besar anggota masyarakat yang melakukan perjanjian bagi hasil tetap menggunakan sistem yang mengikuti kebiasaan yang berlaku pada desa tersebut, dan hasilnya sangat sulit di telaah karena tidak adanya bahan atau perjanjian yang dibuat secara tertulis yang dapat dijadikan sebagai bukti terjadinya perjanjian bagi hasil.

Berkaitan dengan hal tersebut, Setiap kegiatan dalam masyarakat apalagi yang menyangkut perekonomian, terutama pertanian harus menunjang keberhasilan pemerintah dalam membina kehidupan yang lebih baik bagi rakyat kita terutama pada para petani, dan teristimewa petani tunakisma ataupun petani gurem. Tugas kita

7A.P Parlindungan, Landreform di Indonesia, Strategi dan Sasarannya ( Bandung;Mandar Maju, 1991 ) hlm.2

(26)

adalah berusaha agar mereka juga dapat menikmati hasil pembangunan secara layak dan seimbang sesuai dengan yang dicita-citakan.

8

Sebelum di keluarkannya UU No. 2 Tahun 1960 tetang Perjanjian Bagi Hasil, di daerah padat penduduk seperti di pulau Madura, Bali, Jawa telah mengalami kondisi dimana jumlah lahan yang tersedia tidak sebanding dengan banyaknya jumlah pengarap. Biasanya dalam keadaan seperti ini, penggarap secara terpaksa menerima persyaratan yang diajukan oleh pemilik lahan, walaupun syarat tersebut sangatlah tidak adil bagi penggarap.

Dalam keadaan seperti ini, tentunya perjanjian bagi hasil yang terjadi pada masyarakat tidaklah sepenuhnya berlandaskan pada perjanjian antara pemilik lahan dan penggarap, tetapi lebih dominan diatur oleh hukum kebiasaan atau hukum adat setempat. Sementara hukum kebiasaan tidak mengatur secara rinci sehingga sering sekali terjadi dimana kedudukan penggarap selalu dalam posisi yang lemah. Dalam hal ini sangatlah dimungkinkan terjadinya ketimpangan dalam perjanjian yang memberatkan pihak penggarap lahan.

Hal ini tentunya tidak dapat dibiarkan karena sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam UUPA No. 5 Tahun 1960, yang sama sekali tidak membenarkan penindasan yang dilakukan oleh pihak pemilik lahan terhadap penggrap lahan. Hal ini tentunya juga sangat bertentangan dengan tujuan nasional

8A.P Parlindungan, Undang-Undang Bagi Hasil di Indonesia, Suatu Studi Komparatif ( Bandung; Mandar Maju, 1991 ) hlm. 3

(27)

yang ingin dicapai yaitu mencerdaskan dan memajukan kesejahteraaan umum bagi rakyat di Negara Kesatuan Republik Indonesia khususnya pada kaum petani.

Upaya yang dapat dilakukan agar tidak terjadi ketimpangan dalam pembagian hasil yang merata dan memperluas kesempatan kerja yaitu dengan melaksanakan ketentuan bagi hasil atas tanah pertanian sesuai dengan keadaan kondisi para pihak dan tentunya secara adil sehingga tidak merugikan kedua belah pihak. Dengan demikian, maka tidak terjadi kerugian diantara para pihak dan lapangan pekerjaan di sektor pertanian juga dapat semakin meningkat.

Sesuai dengan apa yang telah diuraikan di atas, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan maksud dan tujuan untuk menguraikan bagaimana pelaksanaan perjanjian bagi hasil dalam lapangan di Desa Ujung Teran Kecamatan Salapian Kabupaten langkat di tinjau dari segi hukum. Dengan latar belakang yang telah diuraikan, penulis menyusun dan mengajukan judul penelitian thesis yang berjudul ; “Efektivitas pelaksanaan Undang-Undang Nomor 02 Tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil tanah pertanian di Desa Ujung Teran Kecamatan Salapian Kabupaten Langkat”.

B. Perumusan Masalah

1. Bagaimana pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian di Desa Ujung Teran Kecamatan Salapian Kabupaten Langkat?

2. Bagaimana Pembagian Bagi Hasil Tanah Pertanian yang di lakukan oleh

masyarakat di Desa Ujung Teran Kecamatan Salapian Kabupaten Langkat?

(28)

3. Apakah yang menjadi faktor penghambat dalam pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 di Desa Ujung Teran Kecamatan Salapian Kabupaten Langkat?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 di Desa Ujung Teran Kecamatan Salapian Kabupaten Langkat.

2. Untuk mengetahui pembagian hasil tanah pertanian yang dilakukan oleh masyarakat di Desa Ujung Teran Kecamatan Salapian Kabupaten Langkat.

3. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menghambat tidak terlaksananya Undang- undang Nomor 2 Tahun 1960 di Desa Ujung Teran Kecamatan Salapian Kabupaten Langkat.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini, diharapkan dapat bermanfaat untuk:

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menyumbang pemikiran di bidang hukum yang mengembangkan disiplin ilmu hukum, khususnya dalam disiplin ilmu hukum yang berkaitan dengan hukum perjanjian.

2. Secara praktis, diharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai masukan untuk para praktisi hukum, masyarakat, pemerintah, akademisi tentang tata cara melaksanakan perjanjian bagi hasil.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi yang ada sepanjang penelusuran yang dilakukan pada

perpustakaan Sekolah Pascasarjana khususnya pada Magister Kenotariatan

(29)

Universitas Sumatera Utara terhadap hasil-hasil penelitian yang ada, ternyata di Kabupaten Langkat Khususnya pada Kecamatan Salapian belum ada yang melakukan penelitian mengenai pelaksanaan perjanjian bagi hasil yang sesuai dengan UU No. 2 Tahun 1960. Oleh sebab itu, penulisan dan penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara akademisi berdasarkan nilai-nilai objektifitas dan kejujuran.

Adapun penelitian yang menyerupai, di perpustakaan Sekolah Pascasarjana khususnya pada Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, yakni;

1. Analisis pelaksanaan perjanjian bagi hasil ( mudharabah ) antara Debitur dan bank dengan sitem syari’ah ( penelitian di bank BNI syari’ah Medan), Thesis oleh Panataran Simanjuntak, Sekolah Pascasarjana USU, Program Magister Kenotariatan, Medan, Tahun 2005.

2. Prinsip bagi hasil pada perjanjian pembiayaan perusahaan modal ventura ( Suatu penelitian di Kota Medan ), Thesis oleh Diana Febriana Lubis, Sekolah Pascasarjana USU, Program Magister Kenotariatan, Medan Tahun 2001.

3. Pelaksanaan perjanjian bagi hasil atas tanah pertanian ( Studi Di Kecamatan Sipoholon, Kabupaten Tapanuli Utara ), Thesis oleh Sanggul Maria Hutagalung, Sekolah Pascasarjana USU, Program Magister Kenotariatan, Medan, Tahun 2002.

4. Pelaksanaan undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang perjanjian bagi

hasil tanah pertanian ( studi di Kecamatan Payung Kabupaten Langkat),

(30)

Thesis oleh Malem Ginting, Sekolah Pascasarjana USU, Program Magister Ilmu Hukum, Medan, Tahun 2006.

5. Perjanjian bagi hasil lahan pertanian (Al-Muzara’ah) dari perspektif fiqih islam dan adat aceh (Studi di Kecamatan Semadam Kabupaten Aceh Tenggara), Thesis oleh M.Furqan, Sekolah Pascasarjana USU, Program Magister Kenotariatan, Medan Tahun 2013.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

Secara umum dapat diartikan bahwa kerangka teori adalah merupakan garis besar dari suatu rancangan atas dasar pendapat yang dikemukakan sebagai keterangan mengenai sesuatu peristiwa, sedangkan konsepsi adalah rancangan yang telah ada dalam pikiran.

9

1. Kerangka Teori

Teori adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut tetapi merupakan suatu abstraksi intelektual di mana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya teori ilmu merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan objek yang dijelaskannya. Suatu penjelasan biar bagaimanapun meyakinkan, tetapi harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.

10

Kerangka teori adalah menyajikan cara-cara untuk bagaimana mengorganisasikan dan menginterpretasikan hasil-hasil penelitian dan menghubungkannya dengan hasil-hasil penelitian yang terdahulu.

11

9 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua ( Jakarta;Balai Pustaka, 1995 ) hlm. 520

&1041

10M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian ( Bandung; CV. Mandar Maju, 1994 ), hlm. 27

11Burhan Ashofa, Metode Penelitian Hukum, ( Jakarta; Penerbit Rineka Cipta, 2010 ) hlm. 19

(31)

Kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah “Teori Efektivitas”

sebagaimana yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah bahwa suatu kaidah hukum atau peraturan tertulis benar-benar berfungsi, senantiasa dapat dikembalikan kepada paling sedikit ada empat factor yaitu;

a. Kaidah Hukum atau peraturan itu sendiri b. Petugas yang menegakkan atau menetapkan

c. Fasilitas yang dikerjakan akan dapat mendukung pelaksanaan kaidah hukum d. Warga masyarakat yang terkena ruang lingkup peraturan tersebut.

12

Selanjutnya Soerjono Soekanto berpendapat bahwa hukum dikatakan efektif kalau warga masyarakat berperilaku sesuai yang diharapkan atau dikehendaki oleh hukum itu sendiri.

13

Berarti bahwa efektifitasnya suatu peraturan hukum, sangat tergantung pada norma hukum itu sendiri.

Menurut “ Teori Keberlakuan” (Geltungsslehre),

14

bahwa dalam pembentukan hukum tersebut hendaklah memenuhi tuntutan, yang berlaku secara filosofis, yuridis dan sosiologis. Artinya masing-masing bahwa secara filosofis sesuai dengan diterimanya oleh norma. Secara yuridis artinya bahwa hukum itu sesuai dengan system yang dianut oleh Negara dan karenanya aturan dan keputusan hukumnya itu legal sehingga dapat dibenarkan dan dilindungi. Secara sosiologis artinya bahwa hukum itu dijalankan secara sewajarnya oleh anggota masyarakat tanpa ada perasaan

12Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat ( Jakarta;Rajawali, 1982 ) hlm.14

13Soerjono Soekanto, Beberapa Aspek Sosio Yuridis Masyarakat ( Bandung; Alumni, 1982 ) hlm.88

14Moh.Koesno, Hak-hak Persekutuan Hukum Adat dalam Sistem Hukum Indonesia Antara Harapan dan Kenyataan ( Pekanbaru;Universitas Islam Riau Press, 1994 ) hlm.122

(32)

terpaksa atau dipaksakan. Karena hal itu dianggap oleh masyarakat sebagai suatu kewajaran bila dilaksanakan dalam hidup sehari-hari, dan masyarakat ikut membantu mempertahankan pelaksanaannya.

Substansi dari pada hukum adalah hak dan kewajiban. Tujuan ketertiban untuk memelihara dan mempertahankan hak dan kewajiban subjek hukum itu dalam masyarakat. Salah satu hukum yang mengatur hak dan kewajiban dalam hubungan hukum antara subjek hukum terhadap sesuatu objek diatur melalui suatu perjanjian dan perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.

15

Dalam pelaksanaan hukum tidak selalu dipatuhi oleh masyarakat atau diterima oleh para pihak, ada kalanya pelaksanaan hukum mengalami hambatan yang diakibatkan oleh factor internal dan factor eksternal. Dimana factor internal, hukum adalah kesadaran hukum masyarakat itu sendiri yang terdapat dalam budaya hukum masing-masing, sedangkan faktor eksternal, dimana tidak tersedianya sarana dan prasarana hukum serta para petugas hukum itu sendiri.

2. Konsepsi

Dalam penelitian ini, penulis akan menguraikan beberapa konsep yang berkenaan dengan hal-hal yang akan diteliti. Konsep ini diberikan batasan dimana yang telah di atur dalam undang-undang maupun di dalam referensi yang dijadikan suatu rangkuman sebagai berikut;

a. Tanah adalah lahan pertanian yang dijadikan objek perjanjian bagi hasil

15Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

(33)

b. Pemilik ialah orang atau badan hukum yang berdasarkan sesuatu hak menguasai tanah;

16

c. Penggarap ialah seseorang yang melakukan suatu usaha atau mengelola tanaman diatas tanah pertanian milik orang lain.

d. Perjanjian Bagi Hasil ialah perjanjian dengan nama apapun juga yang diadakan antara pemilik pada satu pihak dan seseorang atau badan hukum pada lain pihak yang dalam undang-undang ini disebut “penggarap”

berdasarkan perjanjian mana penggarap diperkenankan oleh pemilik tersebut untuk menyelenggarakan usaha pertanian diatas tanah pemilik, dengan pembagian hasilnya antara kedua belah pihak;

17

e. Hasil tanah ialah usaha pertanian yang diselenggarakan oleh penggarap setelah dikurangi biaya untuk bibit, pupuk, ternak serta biaya untuk menanam dan panen;

18

f. Petani ialah orang, baik yang mempunyai maupun tidak mempunyai tanah yang mata pencaharian pokoknya adalah mengusahakan tanah untuk pertanian;

19

g. Hak ialah sesuatu yang diterima oleh pemilik dan penggarap berdasarkan perjanjian bagi hasil;

16Pasal 1 Angka ( 2 ) Undang-Undang Perjanjian bagi Hasil No. 2 Tahun 1960

17Pasal 1 Angka ( 3 ) Undang-Undang Perjanjian Bagi Hasil No. 2 Tahun 1960

18Pasal 1 Angka ( 4 ) Undang-Undang Perjanjian Bagi Hasil No. 2 Tahun 1960

19Pasal 1 Angka ( 5 ) Undang-Undang Perjanjian Bagi Hasil No. 2 Tahun 1960

(34)

h. Kewajiban adalah suatu tugas yang harus dilaksanakan oleh pemilik dan penggarap sesuai ketentuan perjanjian bagi hasil;

i. Sarana ialah sesuatu yang dibutuhkan untuk melaksanakan peraturan tertulis atau undang-undang.

G. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah cara atau jalan atau proses pemeriksaan atau penyelidikan yang menggunakan cara penalaran dan teori-teori yang logis analitis (Logika), berdasarkan dalil-dalil, rumus-rumus, dan teori-teori suatu ilmu atau beberapa cabang ilmu tertentu, untuk menguji kebenaran atau mengadakan verifikasi suatu hipotesis atau teori tentang gejala-gejala atau peristiwa alamiah, peristiwa social atau peristiwa hukum tertentu.

20

1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Salapian Kabupaten Langkat, dengan alasan bahwa di lokasi ini, lahan pertanian masih cukup luas dan mata pencaharian penduduk umumnya bertani, termasuk petani penggarap dengan system perjanjian bagi hasil.

2. Spesifikasi Penelitian

Yang dimaksud dengan spesifikasi dalam penelitian ini adalah jenis, sifat dan pendekatan penelitian.

a. Jenis

20Sunariati Hartono, Penelitian Hukum Indonesia pada Akhir Abad ke-20, ( Bandung; Alumni, 1994 ) hlm.105

(35)

Jenis penelitian yang dipakai dalam pembuatan thesis ini adalah penelitian hukum empiris, dimana penelitian ini merupakan suatu metode penelitian hukum yang berfungsi untuk melihat hukum dalam artian nyata dan meneliti bagaimana bekerjanya hukum di lingkungan masyarakat.

b. Sifat

Penelitian ini bersifat analitis deskriptif dimana dalam penelitian ini menguraikan atau mendeskripsi datan yang diperoleh secara normative dan empiris, lalu diuraikan untuk melakukan telaah terhadap data tersebut secara sistematis.

c. Pendekatan

Pendekatan yang dipakai dalam penelitian thesis ini adalah pendekatan yuridis sosiologis dimana model dari penelitian yuridis sosiologis mempunyai objek kajian mengenai perilaku masyarakat. Perilaku masyarakat yang dikaji dalam perilaku yang timbul akibat berinteraksi dengan system norma yang ada.

Interaksi itu muncul sebagai bentuk reaksi masyarakat atas diterapkannya sebuah ketentuan perundangan positif dan bisa pula dilihat dar perilaku masyarakat sebagai bentuk aksi dalam mempengaruhi pembentukan sebuah ketentuan hukum positif.

21

3. Sumber Data

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan diperoleh dari sumber data yang meliputi data primer dan sekunder. Data sekunder terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

21Mukti Fajar & Yulianto Achmad, Dualisme penelitian Hukum Nomatif & Empiris, ( Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2013 ) hlm.51

(36)

Bahan hukum primer adalah UUD Republik Indonesia Tahun 1945, Buergerlijk Wetbook, UU No.2 Tahun 1960, UU No. 5 Tahun 1960, Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 13 Tahun 1980, Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertanian No. 211 Tahun 1980, sedangkan bahan hukum sekunder terdiri dari hasil penelitian, dokumentasi dan literature. Bahan hukum tersier adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum.

Keseluruhan data sekunder ini diperoleh melalui penelitian kepustakaan, sedangkan data primer melalui penelitian lapangan di Kecamatan Salapian Kabupaten Langkat.

4. Alat Pengumpulan Data

Adapun alat pengumpulan data dilakukan dengan cara library research dan field research, yaitu meliputi;

a. Studi dokumen yaitu dilakukan terhadap dokumentasi berupa buku-buku, literature, data dari Statistik Kecamatan dan laporan hasil penelitian.

b. Kuisioner yaitu dilakukan dengan menyusun daftar pertanyaan secara terstruktur yang ditanyakan langsung kepada para responden pada saat pengambilan data.

c. Wawancara yaitu dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara yang

bertujuan untuk memperoleh data yang lebih mendalam berkaitan dengan

maslah yang diteliti. Terhadap narasumber dilakukan pula wawancara untuk

memperkuat data primer yang ditemukan di lapangan.

(37)

5. Penetapan Sampel dan Responden

Sampel diperoleh dengan cara teknik non random sampling secara purposive, sedangkan sebagai responden adalah para warga masyarakat yang terlibat dalam perjanjian bagi hasil, Kepala Desa dan Camat.

Responden yang dimaksud adalah:

a. Camat Kepala Wilayah Kecamatan Salapian Kabupaten Langkat

b. Kepala Desa di Desa Ujung Teran Kecamatan Salapian Kabupaten Langkat c. Para warga masyarakat sebanyak 50 (lima puluh) orang yang terlibat langsung

dalam perjanjian bagi hasil, yakni pemilik lahan sebayak 25 (dua puluh lima) Kepala Keluarga dan penggarap lahan sebanyak 25 (dua puluh lima) Kepala Keluarga yang tersebar dalam desa.

6. Analisis Data

Analisis data sangat diperlukan dalam suatu penelitian, hal ini berguna untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian dengan menggunakan metode kualitatif bertolak dari asumsi tentang ralistis atau fenomenal social yang bersifat unik dan kompleks. Padanya terdapat regularitas atau pola tertentu, namun penuh dengan keragaman.

22

selanjutnya dianalisis untuk memperoleh kejelasan penyelesaian masalah, kemudian ditarik kesimpulan secara deduktif, yaitu dari hal yang bersifat umum menuju hal yang bersifat khusus.

23

22Burhan Bungin, Analisis Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis Kearah Penguasaan Modal Aplikasi, ( Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 2003 ) hlm. 53

23Ronny Hanitijo Soemutro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, ( Jakarta; Gahlia Indonesia, 1998 ), hlm.57

(38)

BAB II

DASAR HUKUM PENGATURAN PERJANJIAN BAGI HASIL ATAS TANAH PERTANIAN

A. Perjanjian Pada Umumnya.

Perjanjian atau verbintenis mengandung pengertian suatu hubungan hukum/

harta benda atar dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada suatu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.

24

Perikatan yang dimaksud dilahirkan dari suatu peristiwa dimana dua orang atau lebih saling menjanjikan sesuatu. Peristiwa ini paling tepat dinamakan

“perjanjian yaitu suatu peristiwa yang berupa suatu rangkaian perjanjian. Dapat dikonstatir bahwa perkataan perjanjian sudah sangat populer di kalangan rakyat”.

25

Perikatan adalah hal – hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang lain.

Hal yang mengikat itu menurut kenyataan dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli barang, dapat berupa peristiwa tertentu seperti lahirnya seorang bayi dan dapat pula berupa suatu persetujuan jasa tertentu. Karena hal yang mengikat itu selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat, maka oleh pembentuk undang-undang dan masyarakat diakui dan diberi akibat hukum. Dengan demikian perikatan yang terjadi antara orang yang satu dengan yang lain disebut hubungan hukum.

26

24Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian (Alumni, Bandung, 1982), hlm. 6.

25R. Subekti, Aspek- aspek Hukum Perikatan Nasional (Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1992), hlm. 12.

26Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Alumni, Bandung, 1982), hlm. 5-6.

(39)

Perjanjian adalah merupakan perbuatan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum yang menimbulkan akibat hukum. Hal tersebut tidak timbul dengan sendirinya, tetapi karena adanya tindakan hukum dari subjek hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban. Jadi, perjanjian lahir sebagai akibat dari suatu proses perbuatan atau tindakan para pihak yang terkait didalamnya. Dengan disasarkan kepada suatu persetujuan, para pihak berjanji untuk saling mengikat diri untuk mewujudkan tujuan tertentu. Dalam hal demikian, perjanjian selalu disandarkan pada adanya persetujuan atau kesepakatan dari para pihak. Perjanjian yang lahir dari persetujuan atau kesepakatan dari para pihak. Perjanjian yang lahir dari persetujuan terjadi apabila ada suatu penawaran dari salah satu pihak yang diikuti oleh suatu penerimaan dari pihak lain. Apa yang diterima, harulah cocok dengan apa yang ditwarkan. Ini terutama mengenai tujuan dari suatu perjanjian. Tujuan ini dapat diucapkan secra tegas ( uit drukkejik ) atau dapat juga secara diam-diam ( stilzigend).

27

Landasan teori sebagaimana dikemukakan oleh M. Solly Lubis adalah “suatu kerangka pemikiran atau butir – butir pendapat, teori, thesis, mengenai suatu kasus atau permasalahan yang dijadikan bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui yang dijadikan masukan dalam membuat kerangka berpikir dalam penulisan”.

28

27Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-persetujuan Tertentu, (Sumur, Bandung, 1985), hlm.27.

28M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu & Penelitian, (Mandar Maju, Bandung, 1994), hlm. 80.

(40)

Menurut Yahya Harahap bahwa suatu persetujuan dianggap sah harus memenuhi beberapa syarat yaitu :

1. Adanya perizinan sebagai kata sepakat secara sukarela dari kedua belah pihak yang membuat persetujuan ( toestemming );

2. Kecakapan atau kedewasaan ( bekwaamheid ) pada diri yang membuat persetujuan;

3. Harus mengenai pokok atau objek yang tertentu ( bepaalde onderwerp );

4. Dasar alasan atau sebab musabab yang diperbolehkan (goorloofdeoorzaak).

29

Pernyataan sepakat mereka yang mengikat diri dan kecakapan untuk membuat suatu perjanjian digolongkan ke dalam syarat subjektif karena berkenaan dengan kapasitas orang yang mengadakan perjanjian. Sedangkan syarat tentang suatu hal tertentu dan sebab yang halal digolongkan dalam syarat objektif karena menyangkut objek perjanjian.

30

Keempat syarat diatas merupakan syarat limitatif dalam suatu perjanjian, syarat tersebut harus terpenuhi sehingga perjanjian yang dibuat oleh para pihak dapat dikatakan sah dan mempunyai kekutan hukum yang mengikat. Bila salah satu atau beberapa syarat tersebut tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut dapat berakibat batal (nietig) atau dapat dibatalkan. Dalam kaitan ini, R. Subekti mengatakan apabila tidak dipenuhinya syarat pertama dan kedua, maka perjanjian tersebut dapat

29Yahya Harahap, Arbitrase di Indonesia, (Gramedia, Jakarta, 1986), Hlm. 24.

30Mariam Darus badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Alumni, Bandung, 1994), hlm.98.

(41)

dimintakan pembatalannya kepada hakim, sedangkan apabila tidak dipenuhinya syarat ketiga dan keempat maka perjanjian tersebut batal demi hukum.

31

Kitab Udang – Undang Hukum Perdata pasal 1338 menyatakan bahwa semua pesetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian dikatakan mengikat apabila telah ada kata sepakat mengenai suatu hal tertentu. Sejak saat itu lahirlah hubungan hukum antara para pihak yang membuat perjanjian dan masing-masing pihak terikat satu sama lain, sekaligus menimbulkan hak dan kewajiban.

Perjanjian yang dibuat secara sah akan mengikat para pihak dan perjanjian tersebut tidak dapat ditarik kembali. Apabila ingin ditarik kembali, maka harus dengan persetujuan kedua belah pihak, tanpa mengurangi hak – hak pihak lain.

B. Perjanjian Bagi Hasil Atas Tanah Pertanian menurut Hukum Adat

Perjanjian Bagi Hasil dapat dikatakan berlaku diseluruh Indonesia dengan memakai berbagai istilah adat setempat seperti “maro” di Jawa Barat, “nyakap” di Lombok, “mawaih” di Aceh, “memperduai”di Sumatera Barat, “Belah Pinang” di Toba, “toyo” di Minahasa, “tesang” di Sulawesi Selatan, sedangkan di Kabupaten Langkat dinamakan dengan istilah “melahi” atau berarti membelahi.

Pengertian Bagi hasil yaitu hampir secara universal terdapat pada masyarakat pertanian kecil di seluruh dunia, dimana seorang petani pemilik tanah mengajak petani lain untuk menggarap seluruh tanah atau sebagian tanah miliknya dengan perjanjian bahwa si penggarap menyerahkan sebagian yang besarnya telah ditentukan

31R.Subekti, Pokok-pokok Hukum Perjanjian, (Intermasa, Jakarta, 1982), hlm.20.

(42)

terlebih dahulu dari hasil panenya kepada pemilik tanah. Beberapa istilah bagi hasil ini di Indonesia antara lain meudua laba (Aceh), pebalokkan (Karo), bolah pinang (Toba), bahandi (Nganjuk), tumoyo (Tondano), mempaduakan (Minangkabau), teseng (Makassar), Nyakap (Bali), sedangkan beberapa istilah dari luar negeri misalnya Merradria (Italia), aparceria (Spanyol), halfwinning (Belgia), deelbouw (belanda), sedangkan dalam ilmu pertanian dengan istilah internasionalnya adalah Sharecropping.

32

A.P. Parlindungan menjelaskan bahwa pengertian bagi hasil adalah jelas merupakan suatu lembaga hukum adat, sebagaimana lembaga hukum adat lainnya dan tidak dapat diajukan teori-teori lain, oleh karena mungkin lingkungan di negara- negara lain memungkinkan ditafsirkan demikian, tetapi dalam sistem dar Hukum Adat itu sendiri, dia pada awalnya lebih bersifat sosial ekonomis bagi menolong sesama warga dan tidak melulu dapat dianggap sebagai suatu usaha bisnis seperti yang terjadi dan kemudian berkembang di negara – negara lain.

33

Bagi Hasil menurut K.Wantjik Saleh berasal dari Hukum Adat yang biasanya disebut juga hak Menggarap yaitu hak seseorang untuk mengusahakan pertanian diatas tanah milik orang lain dengan perjanjian bahwa, hasilnya akan dibagi anatara kedua belah pihak berdasarkan persetujuan, dengan pertimbangan agar pembagian hasil tanahnya antara pemilik dan penggarap dilakukan atas dasar yang adil dan agar terjamin pula kedudukan hukum yang layak bagi penggarap dengan terjamin pula

32Ensiklopedi Indonesia, Ichtiar Baru, Van Hoeve, Jakarta, 1982, hlm.354.

33A.P. Parlindungan, Undang-Undang Bagi Hasil di Indonesia ( Suatu Studi Komparatif ), (cv. Mandar Maju, Bandung 1991), hlm.18.

(43)

kedudkan hukum yang layak bagi penggarap dengan menegaskan hak – hak dan kewajiban, baik dari penggarap maupun pemilik.

34

Dasar perjanjian paruh hasil tanah ialah dimana saya ada sebidang tanah tapi tak ada kesempatan atau kemauan mengusahakan sendiri sampai berhasilnya, tapi walaupun begitu saya hendak memungut hasil tanah itu dan saya membuat persetujuan dengan orang lain supaya ia menerjakannya, menanaminya dan memberikan kepada saya bagian hasil panennya dan fungsinya ialah membuat berhasilnya milik tanah tanpa pengusahaan tanah sendiri dan mempergunakan tenaga pekerjaan dari orang lain tanpa milik tanah sendiri.

35

Latar belakang terjadinya bagi hasil antara lain karena:

36

a. Bagi Pemilik Tanah.

1. Mempunyai tanah tidak mampu atau tidak berkesempatan untuk mengerjakan tanah sendiri.

2. Keinginan mendapatkan hasil tanpa susah payah dengan memberi kesempatan pada orang lain mengerjakan tanah miliknya.

b. Bagi penggarap.

1. Tidak atau belum mempunyai tanah garapan dan atau tidak mempunyai pekerjaan tetap.

34K. Wantjik Saleh, Hak Anda Atas Tanah,(Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982), hlm.51.

35Bzn Ter Haar, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Terjemahan K.Ng. Soebakati Poesponoto,( Pradnya Paramita, Jakarta, 1980), hlm.125

36Hilman Hadikusuma, Hukum Kekerabatan Adat, (Sarana Media, Jakarta, 1987), hlm.154.

(44)

2. Kelebihan waktu bekerja karena milik tanah terbatas luasnya, tanah sendiri tidak mencukupi.

3. Keinginan mendapatkan tambahan hasil garapan.

Dalam sistem hukum adat yang ada dalam masyarakat Indonesia, bagi hasil pada awalnya lebih bersifat sosial ekonomis yang bertujuan untuk menolong sesama warga dan tidak selalu dapat dianggap sebagai usaha bisnis seperti di negara – negara lain.

Bagi hasil merupakan suatu lembaga hukum adat, sebagaimana lembaga – lembaga hukum adat lainnya pada awalnya lebih bersifat sosial ekonomis bagi menolong sesama warganya.

37

Perjanjian bagi hasil adalah suatu bentuk persetujuan antara seseoarang yang berhak atas suatu bidang tanah pertanian dan orang lain yang disebut penggarap, berdasarkan perjanjian mana penggarap diperkenankan mengusahakan tanah yang bersangkutan dengan pembagian hasilnya antara penggarap dan yang berhak atas tanah tersebut menurut imbangan yang telah disetujui bersama.

38

Berdasarkan tradisi bagi hasil bahwa apabila suatu perjanjian telah mendapat persetujuan dari kedua belah pihak, berarti sudah mengikat dan keadaan itu terus berkembang sedemikian rupa, hal ini terjadi akibat pengaruh ekonomi keuangan, sehingga prinsip yang mengandung asas pemerataan mulai bergeser ke arah kepentingan ekonomi. Hukum yang dipakai masyarakat dalam melakukan perjanjian

37A.P. Parlindungan, Op.Cit, hlm.2.

38Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Jilid 1,(Djambatan, Jakarta, 1994), hlm.102.

(45)

bagi hasil adalah hukum adat yang tidak tertulis. Jadi apabila seseorang memiliki sebidang tanah, karena suatu sebab tidak dapat mengerjakan tanahnya sendiri, tetapi tetap berkeinginan untuk mendapatkan hasil, maka yang bersangkutan akan memperkenankan orang lain untuk menyelenggarakan usaha pertanian diatas tanah tersebut, dan hasilnya dibagi antara kedua belah pihak sesuai imbangan pembagian hasil yang telah mereka tentukan sebelumnya. Orang yang berhak mengadakan perjanjian bagi hasil menurut hukum yang berlaku saat ini, tidak hanya terbatas pada pemilik tanah itu saja, tetapi juga orang lain yang mempunyai hubungan hukum tertentu dengan tanah tersebut, misalnya pemegang gadai, penyewa, bahkan seorang penggarappun selaku pihak kedua yang mengadakan perjanjian bagi hasil dalam batas-batas tertentu berhak pula untuk melakukan perjanjian bagi hasil dengan pihak ketiga.

Selanjutnya dikatakan bahwa mengenai besarnya bagian untuk masing-masing pihak tidak ada yang seragam, karena besar bagian yang akan diterima sangat tergantung pada luas lahan yang tersedia, jumlah penggarap yang menginginkan tanah tersebut, keadaan kesuburan tanah, termasuk status atau kedudukan pemilik didalam masyarakat setempat.

Dari segi bentuk perjanjian bagi hasil pada umumnya ditetapkan dengan

adanya persetujuan kedua belah pihak, dengan kata lain keikutsertaan kepala

persekutuan atau kepala desa dalam perjanjian tersebut bukanlah merupakan suatu

keharusan. Namun apabila kita liat dalam sistem perjanjian bagi hasil pada umumnya

misalnya perjanjian bagi hasil yang dilakukan oleh seorang kontraktor bangunan

(46)

dengan pemilik tanah, sering dilakukan di hadapan Notaris baik perjanjian itu dalam bentuk notariil ataupun dibawah tangan. Imbangan pembagian hasil atas tanah ditetapkan oleh kedua belah pihak, dan pada umumnya tidak menguntungkan pihak penggarap. “Hal ini disebabkan tanah pertanian sedikit dan tenaga penggarap lebih banyak, sehingga imbagan pembagian hasilnya bukan mertelu (Jawa), jejuron (Priangan) yang pembagian hasilnya dua untuk pemilik dan satu bagian untuk penggarap atau sampai dibagi empat”.

39

Perjanjian bagi hasil yaitu suatu perjanjian yang terkenal dan lazim dalam segala lingkungan-lingkungan hukum. Dasar perjanjian bagi hasil ialah dimana seseorang memiliki tanah namum tidak ada kemauan untuk mengusahakan sendiri tanahnya tetapi memiliki keinginan untuk memungut hasil tanah tersebut sehingga membuat persetujuan dengan orang lain agar mengerjakannya.

Menurut Soerojo Wignjodipoero bahwa dasar dari pada transaksi bagi hasil ini adalah pemilik tanah ingin memungut hasil dari tanahnya atau ingin memanfaatkan tanahnya, tetapi ia tidak ingin atau tidak dapat mengerjakannya sendiri.

40

Hukum adat tidak mengenal ketentuan yang sebagaimana terdapat dalam KUHPerdata, dimana untuk sahnya suatu perjanjian diperlulan adanya syarat – syarat subjektif (yang membuat perjanjian) dan syarat objektif yaitu apa yang dijanjikan oleh masing- masing pihak yang merupakan isi perjanjian atau apa yang diinginkan para pihak dengan membuat perjanjian tersebut.

39Hilman Hadikusuma, Op.Cit., hlm.145.

40Soerojo Wignjodipoero, Sejarah serta Perkembangan Hukum Adat Setelah Kemerdekaan, (Gunung Agung, Jakarta, 1985), hlm.211.

(47)

Bagi masyarakat adat yang penting dalam pelaksanaan perjanjian bukan unsur subjektif ataupun unsur objektif, akan tetapi bagaimana terjadi dan terlaksananya perjanjian itu, serta dilandasi oleh kesepakatan biasanya dikenal dengan istilah konsensualisme.

Selain adanya kesepakatan antara pihak – pihak dalam hukum adat, juga dikenal kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum. Hukum adat tidak mengenal perbedaan yang tajam antara orang yang sama sekali tidak cakap dan yang cakap melakukan perbuatan hukum.

41

Peralihan dari tidak cakap menjadi cakap dalam kenyataannya berlangsung sedikit demi sedikit menurut keadaan. Pada umumnya menurut hukum adat jawa seseorang dikatakan cakap penuh melakukan perbuatan hukum apabila sudah hidup mandiri dan berkeluarga sendiri. Namun demikian masalah kedewasaan seseorang menurut hukum adat seringkali tergantung pada penilaian masyarakat setempat.

Batasan hukum tentang kedewasaan menurut Supomo adalah dewasa dalam hukum adat kriterianya bukanlah umur, tetapi kenyataan – kenyataan atau ciri – ciri tertentu. Ciri – ciri yang menentukan seseorang dewasa atau belum, yaitu :

42

1. Kuat gawe ( mampu bekerja sendiri ), cakap untuk melakukan segala pergaulan dalam kehidupan masyarakat serta mempertanggungjawabkan sendiri segala-galanya;

2. Cakap mengurus harta bendanya serta lain – lain keperluannya sendiri.

41Djojodiguno, Asas – asas Hukum Adat, (Djambatan, Jakarta, 1976), hlm.14.

42Soepomo, Hukum Perdata Adat Jawa Barat,(Djambatan, Jakarta, 1967), hlm.25-27.

(48)

Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Hilman Hadikusuma, yang menyatakan anak yang belum dewasa dimaksud adalah yang belum mampu melakukan perbuatan hukum menurut ukuran masyarakat hukum adat bersangkutan, dilihat dari keadaan anak dan kemampuan berpikir dan bertindak si anak. Bisa saja anak yang belum mencapai usia 18 tahun sudah dianggap dewasa. Pada umumnya bila si anak sudah berumah tangga sendiri atau sudah dinyatakan dewasa oleh kerapatan adat, maka si anak sudah dianggap dewasa.

43

Selanjutnya Ter Haar

44

mengemukakan mengenai beberapa corak bertalian dengan sifat perjanjian bagi hasil ini. petama, bahwa pembentukan penghulu – penghulu rakyat tidak pernah menjadi syarat untuk sahnya untuk berlakunya tidak usah ada pengisaran yang harus terang, perjanjian itu dilaksanakan diantara kedua belah pihak saja. Selanjutnya jarang dibuat surat akta dari pada perbuatan hukum itu, lebih – lebih bahwa perjanjian paruh hasil tanaman itu diadakan atau dibuat satu tahun panen, dari musim tanam sampai musim panen. Itupun bilamana tidak ada hal lain yang ditetapkan karena ada sebab – sebab istimewa, dan kalau demikian menurut prinsipnya lama perjanjian semacam ini dapat dibuat oleh siapa saja yang menghendaki tanah itu, si pemilik tanah, si pembeli gadai, si penyewa tanah atas perjanjian jual tahunan, juga si pemakai tanah kerabat, hasil karena jabatannya, betul ia tidak memiliki tanah tetapi ia menajalankan suatu usaha yang pada asasnya selalu diperbolehkan mengenai mengerjakan tanah dan memperhasilkannya.

43Hilman Hadikusuma, Op.Cit., hlm. 89

44B. Ter Haar Bzn, Op.Cit., hlm. 126

(49)

Dengan demikian perjanjian bagi hasil tanaman terlaksana dengan jalan mengizinkan orang lain masuk ke tanah pertanian, dimana ia melakukan hanya denga pemufakatan bahwa orang yang diizinkan masuk tadi si pemaruh akan menanam tanaman dan akan menyerahkan sebagian hasil panennya kepada siempunya hak atas tanah itu. Tentang pemufakatan lebih lanjut mengenai bagian dari hasil panen yang akan diserahkan kepada siempunya hak atas tanah dan lainnya maka hal ini biasanya disebutkan dalam perjanjian.

C. Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian Menurut Undang – Undang Nomor 02 Tahun 1960.

1. Latar belakang Undang-Undang Nomor 02 Tahun 1960

Perjanjian bagi hasil semula diatur menurut Hukum Adat yang ada di Indonesia, dengan kata lain sesuai dengan lingkungan hukum adat setempat. Dimana segala aturan yang berkaitan dengan perjanjian bagi hasil tersebut baik itu besarnya imbangan bagi hasil, bentuk perjanjian, jangka waktu serta luasnya tanah yang diperjanjikan semuanya itu ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak yang berjanji saja, yang pada umumnya tidak menguntungkan kepada pihak penggarap. Pengaturan perjanjian bagi hasil dalam suatu Undang – Undang oleh Pemerintah, adalah dalam rangka untuk melindungi golongan penduduk yang berekonomi lemah terhadap praktek – praktek yang sangat merugikan mereka dari golongan yang ekonominya kuat.

Sebagaimana dinyatakan dalam penjelasan Undang – Undang Nomor 02

Tahun 1960 tetang perjanjian bagi hasil, bahwa mengenai besarnya bagian yang

(50)

menjadi hak masing – masing pihak tidak ada keseragaman, karena hal itu tergantung pada jumlahnya tanah yang tersedia, banyaknya penggarap yang menginginkannya, keadaan kesuburan tanah, kekuatan kedudukan pemilik dalam masyarakat setempat.

Tanah yang tersedia pada umumnya tidak banyak, sedangkan jumlah orang yang menginginkan menjadi penggarap sangat besar, maka seringkali tarpaksa penggarap menerima syarat-syarat perjanjian yang memberi hak kepadanya atas bagian yang sangat tidak sesuai dengan tenaga dan biaya yang telah dipergunakannya untuk mengusahakan tanah yang bersangkutan.

Dalam rangka untuk melindungi golongan yang eknomominya lemah terhadap praktek-praktek yang merugikan mereka dari yang golongan ekonomi kuat sebagimana halnya dengan hubungan perjanjian bagi hasil, menjadi latar belakang dibuatnya Undang-Undang Nomor 02 Tahun 1960 tersebut, yang bertujuan untuk mengatur perjanjian bagi hasil, dengan maksud:

45

1. Agar pembagian hasil tanah antara pemilik dan penggarapnya dilakukan atas dasar yang adil dan,

2. Dengan menegaskan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari pemilik dan penggarap agar terjamin pula kedudukan hukum yang layak bagi para penggarap, yang biasanya dalam perjanjian bagi hasil itu berada dalam kedudukan yang tidak kuat, yaitu karena umumnya tanah yang tersedia tidak

45Bahan Pokok Penyuluhan Hukum Undang – Undang Pertanahan, Departemen Kehakiman RI Dirjen Hukum dan Perundang – Undangan Direktorat Penyuluhan Hukum,( Jakarta, 1996-1997), hlm. 91.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan sebagai berikut: 1 Pelaksanaan Bimbingan belajar dilakukan setelah menghadapi UTS, pelaksnaanya di lakukan di luar jam pelajaran setelah pulang sekolah

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara workplace bullying dan komunikasi interpersonal dengan

menekankan kepada praktik agar.. siswa lebih paham, 3) sering memberikan latihan kepada siswa untuk membaca memindai, dan 4) memberikan banyak contoh wacana

Berdasarkan permasalahan yang ada, pada tugas akhir ini penulis mencoba membangun sebuah aplikasi yang dapat memenuhi kebutuhan komunikasi untuk sebuah organisasi

Terkait dengan terapi stem cell pada jantung khususnya infark miokard akut, terdapat penelitian yang menunjukkan bahwa stem cell ini dapat berperan dalam regenerasi

Pajak Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar perhitungan Bea Masuk ditambah pungutan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang- undangan yang

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa efektif program keuangan inklusif sebagai program yang mengupayakan pengenalan jasa layanan keuangan perbankan

mencampur warna menjadi warna skunder, menyebutkan hasil pencampuran warna yang dihasilkan serta mampu menceritakan kembali proses pencampuran warna. Penelitian ini