BAB I PENDAHULUAN
C. Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian Menurut Undang –
1. Latar belakang Undang-Undang Nomor 02 Tahun 1960
Perjanjian bagi hasil semula diatur menurut Hukum Adat yang ada di Indonesia, dengan kata lain sesuai dengan lingkungan hukum adat setempat. Dimana segala aturan yang berkaitan dengan perjanjian bagi hasil tersebut baik itu besarnya imbangan bagi hasil, bentuk perjanjian, jangka waktu serta luasnya tanah yang diperjanjikan semuanya itu ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak yang berjanji saja, yang pada umumnya tidak menguntungkan kepada pihak penggarap. Pengaturan perjanjian bagi hasil dalam suatu Undang – Undang oleh Pemerintah, adalah dalam rangka untuk melindungi golongan penduduk yang berekonomi lemah terhadap praktek – praktek yang sangat merugikan mereka dari golongan yang ekonominya kuat.
Sebagaimana dinyatakan dalam penjelasan Undang – Undang Nomor 02 Tahun 1960 tetang perjanjian bagi hasil, bahwa mengenai besarnya bagian yang
menjadi hak masing – masing pihak tidak ada keseragaman, karena hal itu tergantung pada jumlahnya tanah yang tersedia, banyaknya penggarap yang menginginkannya, keadaan kesuburan tanah, kekuatan kedudukan pemilik dalam masyarakat setempat.
Tanah yang tersedia pada umumnya tidak banyak, sedangkan jumlah orang yang menginginkan menjadi penggarap sangat besar, maka seringkali tarpaksa penggarap menerima syarat-syarat perjanjian yang memberi hak kepadanya atas bagian yang sangat tidak sesuai dengan tenaga dan biaya yang telah dipergunakannya untuk mengusahakan tanah yang bersangkutan.
Dalam rangka untuk melindungi golongan yang eknomominya lemah terhadap praktek-praktek yang merugikan mereka dari yang golongan ekonomi kuat sebagimana halnya dengan hubungan perjanjian bagi hasil, menjadi latar belakang dibuatnya Undang-Undang Nomor 02 Tahun 1960 tersebut, yang bertujuan untuk mengatur perjanjian bagi hasil, dengan maksud:45
1. Agar pembagian hasil tanah antara pemilik dan penggarapnya dilakukan atas dasar yang adil dan,
2. Dengan menegaskan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari pemilik dan penggarap agar terjamin pula kedudukan hukum yang layak bagi para penggarap, yang biasanya dalam perjanjian bagi hasil itu berada dalam kedudukan yang tidak kuat, yaitu karena umumnya tanah yang tersedia tidak
45Bahan Pokok Penyuluhan Hukum Undang – Undang Pertanahan, Departemen Kehakiman RI Dirjen Hukum dan Perundang – Undangan Direktorat Penyuluhan Hukum,( Jakarta, 1996-1997), hlm. 91.
banyak, sedangkan jumlah orang yang ingin menjadi penggarapnya adalah sangat besar,
3. Dengan terselenggaranya apa yang telah disebut diatas, maka akan bertambahlah kegembiraan bekerja pada para petani penggarap, hal mana akan berpengaruh baik pada caranya memelihara kesuburan dan mengusahakan tanahnya. Hal itu tentu akan berpengaruh baik pula pada produksi tanah yang bersangkutan, yang berarti suatu langkah maju dalam melaksanakan program akan melengkapi sandang dan pangan rakyat.
Dalam Undang – Undang Nomor 02 Tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil, terdapat beberapa batasan, antara lain:
Pemilik ialah orang atau badan hukum yang berdasarkan sesuatu hak menguasai tanah. Undang–undang nomor 02 Tahun 1960 tidak membatas bahwa hanya yang memiliki Hak Milik saja yang boleh membagi hasilkan tanahnya, tetapi juga lain penguasaan tanah seperti penyewa ataupun dengan sesuatu hak tertentu menguasai tanah orang lain.46
Penggarap, yang dimaksud dengan penggarap atau petani menurut pasal 2 Undang-Undang Nomor 02 Tahun 1960 adalah;
a. Orang-orang tani, yang dengan mengadakan perjanjian bagi hasil tanah garapannya tidak akan melebihi 03 (tiga) hektar, diperkenankan menjadi penggarap, jika mendapat izin dari Menteri Muda Agraria atau pejabat yang ditunjuk olehnya.
46A.P.Parlindungan, Op.Cit., hlm.15.
b. Badan Hukum, yang pada asasnya badan – badan hukum apapun dilarang untuk menjadi penggarap, karena dalam perjanjian bagi hasil ini penggarap haruslah seorang petani. Tetapi adakalanya, bahwa justru untuk kepentingan umum atau kepentingan desa, sesuatu badan hukum perlu diberi izin untuk menjadi penggarap. Misalnya suatu koperasi tani yang ingin menjadi penggarap atas tanah-tanah yang terlantar di desa-desa. Dalam hal ini hanyalah koperasi-koperasi tani atau desa yang akan diizinkan dan bukan badan-badan hukum lain, sebagimana Perseroan Terbatas dan C.V.
c. Hasil tani ialah hasil usaha pertanian yang diselenggarakan oleh penggarap setelah dikurangi biaya untuk bibit, pupuk, ternak serta biaya untuk menanam dan panen sedangkan biaya tenaga kerja di tanggung oleh penggarap sendiri.
Perjanjian bagi hasil berdasarkan pada pasal 01 Undang – undang Nomor 02 Tahun 1960 adalah perjanjian dengan nama apapun juga yang diadakan antara pemilik pada satu pihak dan seseorang atau badan hukum pada lain pihak yang dalam undang-undang ini disebut penggarap berdasarkan perjanjian mana diperkenankan oleh pemilik tersebut untuk menyelenggarakan usaha pertanian diatas tanah pemilik dengan pembagian hasil antara kedua belah pihak.
2. Bentuk Perjanjian Bagi Hasil
Mengenai bentuk perjanjian bagi hasil ini disebutkan dalam pasal 3 Undang – undang Nomor 02 Tahun 1960 yang menentukan bahwa semua perjanjian bagi hasil harus dibuat oleh pemilik dan penggarap sendiri secara tertulis di hadapan Kepala Desa atau yang setingkat dengan itu, tempat letaknya tanah yang bersangkutan dengan dipersaksikan oleh dua orang, masing-masing dari pihak pemilik dan penggarap. Perjanjian secara tertulis ini dimaksudkan untuk menghindarkan keragu – raguan, yang mungkin menimbulkan perselisihan mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban kedua belah pihak, lamanya jangka waktu perjanjian dan lainnya.
Perjanjian bagi hasil memerlukan pengesahan dari Camat dan atau kepala Kecamatan yang bersangkutan atau pejabat lain yang setingkat dengan itu. Hal ini dimaksukan agar pengawasan secara preventif dapat diselengkarakan dengan sebaik-baiknya. Perjanjian bagi hasil yang dibuat secara tertulis di hadapan Kepala Desa tersebut perlu mendapat pengesahan dan diumumkan dalam kerapatan desa yang bersangkutan. Pentingnya Kepala Desa mengumumkan tentang adanya perjanjian bagi hasil pada kerapatan adat atau desa agar segala sesuatunya menjadi terang dan jelas.
Bentuk perjanjian bagi hasil sudah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 02 Tahun 1960 tentang pelaksanaan perjanjian bagi hasil yang terdapat pada pasal 3 yakni;
1. Semua perjanjian bagi hasil harus dibuat oleh pemilik dan penggarap sendiri secara tertulis di hadapan Kepala Desa dari desa atau daerah yang setingkat dengan itu tempat letaknya tanah yang bersangkutan selanjutnya dalam
undang-undang ini disebut ; Kepala Desa dengan dipersaksikan oleh dua orang, masing-masing dari pihak pemilik dan penggarap;
2. Perjanjian bagi hasil termasuk dalam ayat (1) diatas memerlukan pengesahan dari Camat atau Kepala Kecamatan yang bersangkutan atau pejabat lain setingkat dengan itu selanjutnya dalam Undang-Undang ini disebut : Camat;
3. Pada tiap kerapatan desa Kepala Desa mengumumkan semua perjanjian bagi hasil yang diadakan sesudah kerapatan yang terakhir;
4. Menteri Muda Agraria menetapkan peraturan-peraturan yang diperlukan untuk menyelenggarakan ketentuan-ketentuan dalam ayat (1) dan ayat (2) diatas.
Undang-undang bagi hasil ini menegaskan bahwa setiap perjanjian bagi hasil harus dibuat dalam bentuk tertulis, disaksikan oleh dua orang saksi, dibuat dihadapan Kepala Desa serta memerlukan Pengesahan dari Camat, yang bertujuan agar pihak penggarap tidak dirugikan, juga untuk menghindarkan adanya keraguan yang mungkin menimbulkan perselisihan mengenai hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak, lamanya jangka waktu perjanjian.
Dalam peraturan Menteri Agraria nomor 4 tahun 1964 tentang Pedoman Penyelenggaraan Perjanjian Bagi Hasil menetapkan dalam pasal 1 bahwa perjanjian bagi hasil tersebut harus dibuat di hadapan Kepala Desa dengan cara mengisi buku daftar yang disediakan untuk itu oleh Kepala Desa yang bersangkutan, dengan disaksikan oleh dua orang saksi, masing-masing dari pemilik dan penggarap menurut daftar dari lampiran 1 peraturan tersebut, kemudian perjanjian itu dibukukan di dalam buku daftar sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat ( 1 ) Undang-undang Nomor 02
Tahun 1960 tersebut. Selanjutnya pada setiap bulan Kepala Desa menyampaikan buku daftar tersebut kepada Camat yang bersangkutan untuk memperoleh pengesahan dan tiap – tiap tiga bulan sekali yaitu pada akhir triwulan, camat dibantu oleh Panitia Landreform Kecamatan memberikan laporan kepada Panitia Landreform Daerah Tingkat II tentang hal ikhwal penyelenggaraan perjanjian bagi hasil di kecamatannya.
Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Pedesaan juga dapat diketahui yang menjadi tugas fungsi pokok dari pada kepala desa yaitu terdapat pada pasal 26 dinyatakan bahwa :
(1)Kepada Desa bertugas menyelenggarakan Pemerintahan Desa, melaksanakan Pembangunan Desa, Pembinaan Pemasyarakatan Desa, dan Pemberdayaan masyarakat Desa.
(2)Dalam melaksanakan tugas sembagaimana yang dimaksud pada ayat (1) Kepala Desa Berwenang:
a. Memimpin penyelenggaraan Pemerintahan Desa;
b. Mengangkat dan memberhentikan perangkat Desa;
c. Memegang kekuasaan pengelolaan Keuangan dan Aset Desa d. Menetapkan Peraturan Desa;
e. Menetapkan Anggaran Pendapatandan BelanjanDesa;
f. Membina kehidupan masyarakat Desa;
g. Membina ketentraman dan ketertiban masyarakat Desa;
h. Membina dan meningkatkan perekonomian Desa serta mengintegrasikannya agar mencapai perekonomian skala produktif untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat Desa;
i. Mengembangkan sumber pendapatan Desa;
j. Mengusulkan dan menerima pelimpahan sebagian kekayaan negara guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa;
k. Mengembangkan kehidupan sosial masyarakat Desa;
l. Memanfaatkan teknologi tepat guna;
m. Mengordinasikan Pembangunan Desa secara partisipatif;
n. Mewakili desa di dalam dan di luar pengadilan atau menunjukkan kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
o. Melaksanakan wewenang lain yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam menjalankan tugas yang dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa berhak:
a. Mengusulkan struktur organisasi dan tata kerja pemerintahan Desa;
b. Mengajukan rancangan dan menetapkan Peraturan Desa;
c. Menerima penghasilan tetap setiap bulan, tunjangan, dan penerimaan lainnya yang sah, serta mendapat jaminan kesehatan;
d. Mendapatkan perlindungan hukum atas kebijakan yang dilaksanakan;
dan
e. Memberikan mandat pelaksanaan tugas dan kewajiban lainnya kepada perangkat Desa.
(4) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) Kepala Desa berkewajiban:
a. Memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhineka Tunggal Ika;
b. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa;
c. Memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat Desa;
d. Menaati dan menegakkan peraturan perundang-undangan;
e. Melaksanakan kehidupan demokrasi dan berkeadilan gender;
f. Melaksanakan prinsip tata Pemerintahan Desa yang akuntabel, transparan, profesional, efektif dan efisien, bersih, serta bebas dari kolusi, korupsi dan nepotisme;
g. Menjalin kerja sama dan koordinasi dengan seluruh pemangku kepentingan di Desa;
h. Menyelenggarakan administrasi Pemerintahan Desa yang baik;
i. Mengelola Keuangan dan Aset Desa;
j. Melaksanakan urusan pemerintah yang menjadi kewenangan Desa;
k. Menyelesaikan perselisihan masyarakat di Desa;
l. Mengembangkan perekonomian masyarakat Desa;
m. Membina dan melestarikan nilai sosial budaya masyarakat Desa;
n. Memberdayakan masyarakat dan lembaga kemasyarakatan di Desa;
o. Mengembangkan potensi sumber daya alam dan melestarikan lingkungan hidup;dan
p. Memberikan informasi kepada masyarakat Desa.
Kemudian dari pada itu, dalam melaksanakan tugas, kewenangan, hak dan kewajiban sebagimana yang dimaksud dalam pasal 26 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014, maka Kepala Desa berkewajiban untuk;
a. Menyampaikan laporan penyelenggaraan Pemerintahan Desa setiap akhir tahun masa jabatan kepada Bupati/Walikota;
b. Meyampaikan laporan penyelenggaraan Pemerintahan Desa pada akhir masa jabatan kepada Bupati/Walikota;
c. Memberikan laporan keterangan penyelenggaraan pemerintahan secara tertulis kepada Badan Permusyawaratan Desa setiap akhir tahun anggaran;
dan
d. Memberikan dan/atau menyebarkan informasi penyelenggaraan pemerintah secara tertulis kepada masyarakat Desa setiap akhir tahun anggaran.
3. Jangka Waktu Perjanjian Bagi Hasil
Dalam undang-undang nomor 02 Tahun 1960, jangka waktu perjanjian dibatasi dengan tahun. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam pasal 4 yakni:
1) Perjanjian bagi hasil diadakan untuk waktu yang dinyatakan di dalam surat perjanjian tesebut pada pasal 3, dengan ketentuan, bahwa bagi sawah waktu itu ada kurangnya 3 (tiga) tahun dan bagi tanah kering sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun.
2) Dalam hal yang khusus, yang ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri Muda Agraria, oleh Camat diizinkan diadakannya perjanjian bagi hasil dengan jangka waktu yang kurang dari apa yang ditentukan dalam ayat ( 1 ) diatas, bagi tanah yang biasanya diusahakan sendiri oleh yang mempunyainya.
3) Jika pada waktu berakhirnya perjanjian bagi hasil diatas tanah yang bersangkutan masih terdapat tanaman yang belum dapat dipanen, maka perjanjian tersebut berlaku terus sampai waktu tanaman itu selesai dipanen, tetapi perpanjangan waktu itu tidak boleh lebih dari satu tahun.
4) Jika ada keragu-raguan, apakah tanah yang bersangkutan itu sawah atau sawah kering, maka Kepala Desalah yang memutuskannya.
Penetapan jangka waktu dalam undang-undang ini diharapkan dapat menjamin penggarap akan memperoleh tanah garapan dalam waktu yang layak dalam berusaha untuk mendapatkan hasil sebanyak mungkin dan waktu 3 (tiga) tahun untuk sawah dan 5 (lima) tahun untuk tanah kering dipandang cukup layak sebagai batas minimum.
Perjanjian bagi hasil tidak terputus karena pemindahan hak milik atas tanah yang bersangkutan kepada orang lain. Semua hak dan kewajiban pemilik berdasarkan perjanjian bagi hasil itu berahlih kepada pemilik baru. Dan jika penggarap meninggal dunia, maka perjanjian bagi hasil itu berahlih kepada atau dilanjutkan oleh ahli warisnya, dengan hak dan kewajiban yang sama.
Pemutusan perjanjian bagi hasil sebelum berakhirnya jangka waktu perjanjian hanya mungkin dala hal-hal sebagai berikut;
a. Atas persetujuan kedua bela hpihak yang bersangkutan dan telah mereka laporkan kepada Kepala Desa.
b. Dengan izin Kepala Desa atas tuntukan si pemilik, didalam hal penggarap tidak mengusahakan tanah yang bersangkutan sebagimana mestinya atau tidak memenuhi kewajibannya untuk menyerahkan sebagian dari hasil tanah yang telah ditentukan kepada pemilik atau tidak memeuhi beban-beban yang menjadi tanggungannya seperti ditegaskan didalam perjanjian kepada orang lain.
4. Syarat sahnya perjanjian bagi hasil
Perjanjian bagi hasil tanah pertanian dikatakan sah menurut Undang – undang nomor 02 tahun 1960, adalah:
1) Dalam pasal 3 ayat ( 1 ) dirumuskan, bahwa semua perjanjian bagi hasil harus dibuat oleh pemilik dan penggarap sendiri secara tertulis dihadapan Kepala Desa tempat letaknya tanah yang bersangkutan, dengan dipersaksikan oleh 2 ( dua) orang, masing-masing dari pihak pemilik dan penggarap. Maksud dari ketentuan ini ialah :
a. Agar dapat dihindarkan terjadinya keragu-raguan di kemudian hari, yang mungkin menimbulkan perselisihan mengenai hal sesuatu yang bersangkutan dengan perjanjian itu.
b. Agar dapat diselenggarakan pula pengawasan baik secara preventif, agar ketentuan-ketentuan dari Undang-undang Nomor 02 tahun 1960 itu diindahkan sebagaimana mestinya.
2) Jika pemilik tanah belum cakap hukum, ia diwakili oleh walinya, yang bertindak untuk ada atas namanya, jika pemilik sudah sangat lanjut usianya atau sakit sehingga tidak dapat datang sendiri kehadapan Kepala Desa untuk menandatangani surat perjanjian itu, maka dapatlah pemilik tersebut diperkenankan menunjuk kuasa untuk menandatangani atas namanya.
Didalam hal yang demikian, maka didalam surat perjanjian yang bersangkutan supaya dicatat pula alasan, mengapa pemilik tidak dapat menandatanganinya sendiri.
3) Oleh Kepala Desa yang bersangkutan pada waktu diadakan perjanjian hendaknya dijelaskan kepada pemilik dan penggarap ketentuan-ketentuan dari Undang-Undang Nomor 02 Tahun 1960 serta ketentuan-ketentuan yang disebutkan dalam surat perjanjian itu, khususnya mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban mereka masing-masing. Jika pemilik dan penggarap mengadakan syarat-syarat yang tidak diperbolehkan atau bertentangan dengan penetapan kepala daerah mengenai imbangan pembagian hasil tanahnya, maka hal itu hendaknya diberitahukan pula pada mereka untuk ditiadakan atau diganti dengan syarat lain.
4) Jika penggarap itu adalah suatu badan hukum, maka sebelum perjanjian bagi hasil diadakan dengan pemilik daerah Swatantara Tingkat II (Kabupaten / Kota) dari daerah tempatnya tanah yang akan dibagihasilkan itu, yaitu kalau badan hukum tersebut berbentuk koperasi tanai atau koperasi desa.
Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 02 Tahun 1960 dinyatkan, bahwa pada asasnya badan-badan hukum apapun juga dilarang untuk menjadi penggarap, karena dalam perjanjian bagi hasil ini penggarap haruslah seorang petani, tetapi ada kalanya, bahwa justru untuk kepentingan umum atau kepentingan desa, sesuatu badan hukum perlu diberi izin untuk menjadi penggarap atas tanah-tanah yang terlantar di desa-desa. Dalam hal itu hanyalah koperasi-koperasi tani atau desa yang akan diizinkan dan bukan badan hukum lain.
Dalam menentukan diizinkan atau tidaknya suatu badan hukum menjadi penggarap, harus diadakan penilaian dari sudut kepentingan desa atau kepentingan umum.
Didalam pemberian izin kepada koperasi desa dan koperasi tani itu hendaknya diminta pertimbangan pada instansi-instansi setempat yang bersangkutan, misalnya pejabat-pejabat dari jawatan agraria, koperasi, pertanian yang dianggap perlu.
5) Surat-surat perjanjian bagi hasil dibuat dalam langkap tiga, yang aslinya dibubuhi materai, disimpan pemilik atau penggarap sebagai turunan. Lembar kedua dan ketiga tidak ditanda tangani oleh pemilik, penggarap dan para saksi, tetapi merupakan turunan yang diberikan oleh Kepala Desa. Dengan demikikan tidak perlu bermaterai. Surat perjanjian dicatat oleh Kepala Desa di dalam buku register.
6) Sebab oleh karena keadaan daerah tidak selalu sama, maka kiranya kuranglah bijaksana jika besarnya biaya administrasi yang boleh dipungut oleh Kepala Desa berhubung karena pekerjaan yang bersangkutan dengan pembuatan surat-surat perjanjian itu ditetapkan secara sentral. Lebih tepatlah kiranya bilamana penetapan itu diadakan untuk setiap daerah Swatantara Tingkat II dipersilahkan untuk menetapkan besarnya biaya yang dimaksudkan itu, untuk daerahnya masing-masing. Untuk tidak menambah beratnya beban pihak-pihak yang bersangkutan maka penetapan biaya tersebut hendaknya jangan melampaui Rp.10,- (Sepuluh Rupiah) untuk tiap perjanjian, yang harus
dibayar oleh pemilik, kecuali penggarap adalah suatu badan hukum, dalam hal mana penggaraplah yang membayarnya.
7) Surat-Surat Perjanjian yang ditandatangani oleh Pemilik, penggarap, para saksi dan Kepala Desa secepat mungkin diajukan kepada Camat untuk memperoleh pengesahan.
8) Surat-surat perjanjian yang diterima oleh Camat itu dicatat dalam buku register. Oleh Camat hendaknya diadakan pemeriksaan apakah segala sesuatu yang sudah memenuhi atau tidak bertentangan dengan ketentuan – ketentuan dari Undang – Undang Nomor 02 Tahun 1960 serta dengan penetapan Kepala Daerah mengenai imbangan pembagian hasil tanahnya. Jika diperlukan izin bagi penggarap karena tanah garapannya melebihi 3 hektak ( pasal 2 ayat ( 2 ) maka hendaknya diperhatikan apa yang disebut dalam pejelasan Undang – Undang Nomor 02 Tahun 1960 yang dipakai sebagai pedoman. Pada asasnya seorang petani yang sudah mempunyai tanah 3 hektar tidak diperkenankan untuk mendapat tanah garapan lagi, tetapi kalau luas tanah yang melebihi 3 hektar itu tidak seberapa (sebagai pedoman ditetapkan paling banyak ½ (seperdua) hektar maka tidaklah ada keberatan untuk diberi izin). Agar para pihak yang berkepentingan dapat segera memperoleh kepastian mengenai perjanjian yang dilakukan tersebut, maka hendaknya para Camat memberi keputusan untuk mengesahkan perjanjian yang diterima dalam waktu paling lama 1 ( satu ) minggu.
9) Perjanjian-perjanjian yang mendapat pengesahan Camat diumumkan oleh Kepala Desa dalam kerapatan desa atau adat yang akan datang berikutnya.
5. Hak, Kewajiban Pemilik dan Penggarap a. Hak dan Kewajiban Penggarap
Dalam berlangsungnya perjanjian bagi hasil, maka pemilik berhak atas bagian tanah yang ditetapkan oleh Bupati atau Kepala Daerah Tingkat II setempat.
Dilain pihak yang menjadi kewajiban pemilik sekaligus merupakan kewajiban penggarap seperti yang telah diatur dalam pasal 8, 9, dan 10 Undang – Undang Nomor 02 Tahun 1960, yakni :
1) Larangan pembayaran uang atau pemberian benda apapun juga kepada pemilik yang bersangkutan dengan maksud untuk memperoleh hak mengusahakan tanah pemilik dengan perjanjian bagi hasil.
2) Pelanggaran terhadap larangan tersebut pada poin di atas berakibat bahwa uang yang dibayarkan atau harga benda yang diberikan itu dikurangkan pada bagian pemilik dari hasil tanah termasuk dalam pasal 7.
3) Larangan adanya pembayaran oleh siapapun, termasuk pemilik dan penggarap, kepada penggarap atau pemilik dalam bentuk apapun juga yang mempunyai unsur – unsur ijon.
4) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana dalam pasal 15, maka apa yang dibayarkan tersebut pada poin ketiga diatas, tidak dapat dituntut kembali dalam bentuk apapun juga.
5) Kewajiban membayar pajak mengenai tanah yang bersangkutan dilarang untuk dibebankan kepada penggarap, kecuali kalau penggarap itu adlah pemilik tanah yang bersangkutan.
6) Dengan berakhirnya perjanjian bagi hasil, baik karena berakhirnya jangka waktu maupun karena salah satu sebab pada pasal 6, penggarap wajib menyerahkan kembali tanah yang bersangkutan kepada pemilik dalam keadaan baik.
Undang-Undang ini juga menegaskan larangan terhadap adanya ijon baik kepada penggarap maupun kepada pemilik, seperti pembayaran dilakukan lama sebelum panen, ataupun dengan bunga, juga menghentikan kebiasaan dalam meperoleh hak untuk bagi hasil dimana calon penggarap tersebut memberikan barang atau pemberian sesuatu ataupun sejumlah uang kepada pemilik.
b. Hak dan Kewajiban Penggarap
Penggarap selama perjanjian bagi hasil berlangsung berhak untuk mengusahakan tanah yang bersangkuran dan menerima bagian dari hasil tanah itu sesuai dengan imbangan pembagian yang ditetapkan bagi daerah tersebut.
Kewajiban penggarap yang sebagaimana telah ditentukan juga merupakan kewajiban bersama antara pemilik dan penggarap, untuk itu penggarap berkewajiban pula untuk;
1) Mengusahakan tanah tersebut dengan baik;
2) Menyerahkan bagian hasil yang menjadi hak dari pemilik;
3) Memenuhi beban-beban yang menjadi tanggungan selaku penggarap;
4) Meminta izin kepada pemilik apabila penggarap ingin menyerahkan pengusahaan tanah yang bersangkutan kepada pihak lain.
6. Luas Maksimum
Batasan terhadap luas maksimum tanah yang dipunyai oleh penggarap baik milik sendiri atupun yang diperoleh karena sewa atau bagi hasil adalah 3 (tiga) hektar, seperti yang telah diatur dalam pasal 2 Undang-Undang Nomor 02 Tahun 1960 tentang Perjanjian bagi Hasil yakni;
1) Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam poin 3 dan tiga pasal
1) Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam poin 3 dan tiga pasal