• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I : PENDAHULUAN

G. Metode Penelitian

4. Analisis Data

Putusan-putusan yang berkaitan dengan perbuatan wanprestasi dan delik penipuan di dalam perjanjian yang telah dikumpulkan tersebut akan dianalisis secara kualitatif. Analisis secara kualitatif maksudnya adalah menganalisis data dengan mengaitkan kasus-kasus tersebut terhadap teori kesepakatan dan teori merumuskan tindak pidana, norma-norma, doktrin-doktrin, prinsip-prinsip, dan ketentuan pasal-pasal tentang perjanjian dan wanprestasi di dalam KUH Perdata serta ketentuan tentang delik penipuan di dalam KUH Pidana. Mukti Fajar dan Yulianto Achmad menyebut analisis kualitatif ini adalah analisis yang didasarkan pada tingkat relevansi data dengan rumusan masalah yang sedang diteliti, bukan didasarkan pada banyaknya data (kuantitatif).63

Putusan-putusan yang akan dianalisis adalah putusan-putusan atas perkara terhadap Kapang Jaya, Suwarno, Stevie Rondonuwu, Sundar Hariram, Nastak Hendriono, Billu, dan Ina Malombasi, yang pada intinya putusan-putusan hakim pengadilan ini berkenaan dengan wanprestasi dalam perjanjian.

Menganalisis putusan-putusan tersebut sekaligus memberikan

argumentasi-63

argumentasi hukum tentang wanprestasi, argumentasi hukum tentang perjanjian, dan argumentasi hukum tentang perjanjian dengan delik penipuan. Argumentasi-argumentasi hukum tentang wanprestasi, perjanjian dengan delik penipuan tersebut dikemukakan secara deduktif pada setiap sub bab dalam bentuk uraian yang sistematis.64

Penarikan kesimpulan dilakukan secara perskriptif,

Argumentasi hukum yang bersifat umum dikemukakan dengan mendasarkan kepada KUH Perdata dan KUH Pidana, sedangkan argumentasi hukum yang bersifat khusus didasarkan kepada perjanjian-perjanjian yang diingkari sebagaimana yang telah dijatuhkan di dalam putusan-putusan pengadilan seperti putusan-putusan pengadilan tersebut di atas.

65

yakni memberikan argumentasi-argumentasi yuridis terhadap permasalahan di dalam penelitian yang dilakukan misalnya memberikan penilaian apa dan bagaimana yang semestinya menurut teori-teori, doktrin-doktrin, asas-asas, norma-norma, dan kaidah-kaidah dalam penanganan perkara wanprestasi dan penipuan di Indonesia. Data yang dikemukakan secara deduktif66 tersebut akan diuraian secara sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data dengan teori-teori perjanjian dan teori-teori hukum pidana termasuk pula asas-asas atau prinsip-prinsip, norma-norma dan kaidah-kaidah yang berkaitan dengan perjanjian dan penipuan.

64 Ibid., hal. 192. 65 Ibid, hal. 183-184. 66 Ibid, hal. 109.

BAB II

KARAKTERISTIK YANG MEMBEDAKAN ANTARA PERBUATAN WANPRESTASI DENGAN DELIK PENIPUAN DALAM

SUATU PERJANJIAN

A. Perbedaan Antara Hukum Publik dan Hukum Privat

Pada prinsipnya hukum dibagi dua yaitu hukum publik (publickrecht) dan hukum privat (privatrecht). Hukum publik mengandung ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur hal-hal yang menyangkut kepentingan umum. Sedangkan hukum privat mengandung ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur hal-hal yang bersifat keperdataan atau kepentingan pribadi (orang perseorangan atau badan hukum).67

Hal-hal esensial yang diatur dalam hukum privat antara lain misalnya kebebasan setiap individu, masalah keluarga, masalah waris, masalah perkawinan, masalah harta kekayaan, jaminan, hak milik, perikatan, perjanjian, dan lain-lain. Menurut KUH Perdata dibagi dalam empat buku, yaitu buku I tentang orang, buku II tentang benda, buku III tentang perikatan, dan buku IV tentang bukti dan kadaluarsa.

68

Sedangkan dalam hukum publik memberikan jaminan bagi perlindungan hukum atas kenyamanan, keselamatan, keamanan warga negara dari pemerintah atau negara atau melindungi kepentingan umum.

69

67

Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 9.

Sebagaimana dalam Kitab

Undang-68

J. Satrio (II), Hukum Perikatan, (Bandung: Alumni, 1999), hal. 1.

69

R. Wijono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, (Bandung: Mandar Maju, 2011), hal. 2.

Undang Hukum Pidana (KUH Pidana) aspek tersebut diatur dalam tiga buku yaitu buku I tentang peraturan umum, buku II tentang, kejahatan dan buku III tentang pelanggaran.70 Hukum publik misalnya hukum pidana, hukum tata negara, hukum internasional publik, dan lain-lain.71

Handri Raharjo membuat pemetaan untuk membedakan antara hukum publik dan hukum privat, dalam tabel 1 berikut:72

Tabel 1

Perbedaan Hukum Publik dan Hukum Privat

No Perbedaan Hukum Publik Hukum Privat

1. Dilihat dari subjeknya Salah satu pihaknya adalah penguasa

Kedua belah pihak adalah perorangan 2. Dilihat dari kedudukan dari

pihak

Kedudukan tidak sejajar

Kedudukan sejajar 3. Dilihat dari sifatnya Umumnya memaksa

(dwigenrecht)

Umumnya pelengkap (aanfulenrecht) 4. Dilihat dari akibatnya Aturannya tidak

dapat disimpangi

Dapat disimpangi 5. Dilihat dari aspek perlindungan

kepentingan

Melindungi

kepentingan umum

Melindungi perorangan

Dari tabel 1 tersebut jelas sekali tampak perbedaan antara lingkup yang diatur secara esensial di dalam hukum publik dan hukum privat. Jika dilihat dari sisi subjek hukum, maka para pihak dalam hukum publik terdiri dari syarat minimal dua orang atau lebih dan yang lainnya adalah negara. Dari dua orang tersebut, yang satu adalah pelaku dan yang lain adalah korban, sementara negara adalah sebagai penuntut.

70

R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), (Bogor: Politeia, 1994), hal. 7-9.

71

Handri Raharjo, Op. cit, hal. 21.

72

Sedangkan subjek hukum dalam hukum privat hanya orang perseorangan yang setidak-tidaknya harus memenuhi syarat minimal harus ada dua orang yang disebut dengan kedua belah pihak atau para pihak.

Hukum publik adalah keseluruhan garis-garis hukum yang berhubungan dengan bangunan negara atau badan-badan negara, bagaimana badan-badan negara melaksanakan tugasnya, bagaimana hubungan kekuasaannya satu sama lainnya dan perbandingan atau hubungannya dengan masyarakat atau perseorangan dan sebaliknya. Bangunan negara yang dimaksud adalah pemerintahan termasuk susunan dan kewenangan-kewenangan pemerintahan tersebut.73

Hukum pidana adalah serangkaian ketentuan-ketentuan yang mengatur tingkah laku yang dilarang atau yang diharuskan atau diancamkan kepada pelanggarnya dengan pidana, jenis dan macam-macam pidana, cara-cara menyidik, menuntut, pemeriksaan dan penjatuhan pidana dalam persidangan, serta melaksanakan pidana. 74

Hukum perdata (privat) adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan hukum antara sesama warga perseorangan atau antara warga tersebut dengan penguasa sebagai pribadi (perseorangan), bukan dalam fungsinya sebagai pejabat, yang berarti penguasa atau pejabat tersebut dalam hal ini tunduk pada peradilan perdata.75

73

E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op. cit., hal. 7.

74

Ibid., hal. 8.

75

Hukum perdata dalam arti sempit hanya meliputi ketentuan-ketentuan tentang orang, tentang kebendaan, tentang perikatan, dan tentang pembuktian dan daluarsa seperti yang di diatur dalam KUH Perdata (BW). Sedangkan hukum perdata dalam arti luas meliputi selain termasuk dalam arti sempit, juga termasuk ketentuan-ketentuan mengenai perdagangan sebagaimana diatur dalam KUHD dan kegiatan bisnis.76

Kadang-kadang hukum perdata dalam arti luas dinamakan oleh orang sebagai hukum sipil, sedangkan hukum perdata dalam arti sempit sebagai hukum perdata. Karenanya jika membicarakan mengenai hukum perdata, maka harus disepakati terlebih dahulu istilah mana yang sedang digunakan.

Sehingga dengan demikian perbedaan antara hukum publik dan hukum privat semakin jelas. Ditinjau dari sudut kepentingan, maka hukum perdata mengatur kepentingan perseorangan (particuliere belangen), sedangkan hukum publik mengatur kepentingan umum (algemene belangen).

Ditinjau dari kedudukan subjek hukumnya, maka dalam hukum perdata mengatur hubungan-hubungan subjek yang kedudukannya sederajat atau sedejarat warga perseorangan, tanpa membeda-bedakan derajat kebangsawanan, derajat dalam pekerjaan, kedudukan dalam beragama, dan sebagainya. Sedangkan dalam hukum publik mengatur hubungan-hubungan subjek hukum yang kedudukannya tidak

76

sederajat. Sebab dalam hukum publik, yang satu adalah penegak hukum, yang tentunya lebih tinggi kedudukannya daripada yang lain.77

Ditinjau dari sudut menegakkan atau mempertahankan hukum, maka dalam hukum perdata diserahkan kepada orang perseorangan yang berkepentingan, apakah ia akan mempertahankan hak dan kewajibannya sesuai dengan ketentuan hukum atau tidak. Negara tidak turut mencampurinya selama orang tersebut belum mengajukan gugatannya ke pengadilan. Misalnya apakah seseorang yang berpiutang (kreditur) akan menuntut pembayaran kembali piutangnya dari yang berutang (debitur) melalui peradilan perdata atau tidak, ataukah piutang itu dianggap saja sudah lunas atau dihibahkan, tentu penentuannya diserahkan kepada si kreditur.78

Sedangkan dalam hukum publik, penguasa wajib menegakkan hukum, walaupun mungkin orang yang dirugikan itu tidak menghendaki penuntutan terhadap subjek yang merugikannya. Namun dalam hal ini ada juga pengecualian antara lian apabila yang terjadi itu adalah kejahatan penghinaan, perzinahan, pencurian dalam keluarga dan sebagainya.

79

Jika ditinjau dari sudut teori yang umum dan teori khusus, maka hukum perdata berlaku secara umum (ius commune, gemeine recht) baik untuk pemerintah maupun untuk rakyat berkedudukan sebagai pribadi-pribadi atau perseorangan. Sedangkan hukum publik merupakan hukum khusus (ius speciale) karena memberikan kekuasaan khusus kepada pemerintah untuk melakukan suatu tindakan

77

Handri Raharjo, Loc. Cit.

78

Ibid.

79

kepada pribadi-pribadi, misalnya mengambil (onteigenen) suatu milik perseorangan atau pribadi tersebut untuk kepentingan umum (ten algemene nutte).80

Hukum perdata pada hakikatnya merupakan hukum yang mengatur kepentingan antar warga perseorangan yang satu dengan warga perseorangan yang lainnya. Van Dunne mengatakan yang esensial dalam hukum perdata mengatur individu dalam hubungannya dengan keluarganya, hak miliknya, hartanya, perikatan, dan lain-lain. Sekaligus membedakannya dari hukum publik yang pengaturannya memberikan jaminan yang minimal bagi kehidupan pribadi. Dikatakan jaminan yang minimal karena dijamin dalam perundang-undangan.81

Berdasarkan perbedaan-perbedaan yang telah dikemukakan di atas, intinya dari hukum perdata adalah hukum antar perorangan yang mengatur hak dan kewajiban orang perseorangan yang satu terhadap yang lain dari dalam hubungan kekeluargaan dan dalam pergaulan masyarakat yang pelaksanaannya diserahkan kepada masing-masing pihak.

Inti dari perbedaan ini adalah hukum publik merupakan hukum yang mengatur tentang kepentingan publik (masyarakat umum), sedangkan hukum perdata mengatur kepentingan privat atau pribadi atau perdata, perseorangan atau partikulir. Singkatnya dari hukum pidana apakah ia merupakan hukum publik atau tidak, maka pada satu sisi hukum pidana adalah hukum publik, tetapi di sisi lain ada pengecualian

80

Ibid.

81

bahwa hukum pidana belum tentu sebagai hukum publik. Oleh karena itu, ciri-ciri haukum publik harus diketahui terlebih dahulu, yaitu:82

1. Mengatur hubungan antara kepentingan negara atau masyarakat dengan orang perseorangan.

2. Kedudukan penguasa negara adalah lebih tinggi dari orang perseorangan. Dengan perkataan lain, orang perseorangan disubordinasikan kepada penguasa.

3. Penuntutan terhadap seseorang yang telah melakukan suatu tindakan yang terlarang tidak tergantung kepada perseorangan (yang dirugikan), melainkan pada umumnya, negara atau penguasa wajib menuntut orang orang tersebut. 4. Hak subjektif penguasa ditimbulkan oleh peraturan-peraturan hukum pidana

positif.

Apakah pada hukum pidana itu terdapat ciri-ciri seperti yang terdapat pada ciri-ciri hukum publik, atau apakah hukum pidana bersifat hukum publik? Menurut pendapat E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, dewasa ini pada umumnya hukum pidana adalah bersifat hukum publik. Karena dalam hukum pidana juga terdapat ciri-ciri yang terdapat pada hukum publik.83

Jika dianalogikan misalnya A membunuh si B atas permintaan si B sendiri dengan sungguh-sungguh, namun penguasa tetap berkewajiban menuntut si A (Pasal 344 KUH Pidana). Dalam hal ini tidak perlu dipersoalkan keiinginan keluarga atau pihak dari si B agar A tidak dituntut oleh penguasa karena mereka mengetahui bahwa pembunuhan itu terjadi karena permintaan B. Tetapi dalam hal ini yang harus diutamakan adalah kepentingan umum, karena bagaimanapun juga, pembunuhan adalah perbuatan tercela, harus dicegah dan layak dipidana bagi pelakunya.

82

E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op. cit., hal. 23.

83

Mengapa alasannya pada kepentingan umum dalam kasus pembunuhan di atas, karena jika permintaan si B tadi dibiarkan agar si A membunuhnya atau tidak diproses secara hukum, maka dalam hal ini kepentingan umum akan tertarik atau dirugikan dengan alasan, pertama, jika hal itu terjadi dan tidak diproses oleh aparat penegak hukum, maka masyarakat yang lainnya bisa suatu waktu mencontoh sehingga terjadi hal serupa, kedua, karena undang-undang sudah menjamin untuk melindungi seluruh warga negara dari segala ancaman, gangguan, atas kenyamanan dan kelangsungan hidup warga masyarakat.

Tetapi dalam beberapa hal, terdapat pengecualian, tidak selalu penuntutan wajar dilakukan oleh penguasa tanpa memperhatikan kehendak dari pihak-pihak yang dirugikan. Pengecualian ini muncul sebagai reaksi dari doktrin-doktrin yang berprinsip pada “tiada suatu peraturan tanpa kekecualian” (there is no rule without exeption). Tentunya ini berlaku tidak bersifat umum, melainkan hanya untuk kasus-kasus tertentu yang sudah ditegaskan baik dalam tataran norma yang abstrak maupun yang sudah normatif di dalam undang-undang.84

Prinsip tiada suatu peraturan tanpa kekecualian, ini berlaku misalnya untuk kasus-kasus delik aduan, seperti delik penghinaan dan delik perzinahan (KUH Pidana), ada pula dalam delik merek (UU No.15 Tahun 2001), dan lain-lain. Untuk

84

delik aduan, pelaku dari delik aduan hanya dapat dituntut oleh negara karena adanya aduan dari korban.85

Pertimbangan dengan menggunakan prinsip di atas didasarkan bahwa terhadap orang yang dirugikan atas terjadinya suatu kasus jangan hendaknya semakin dirugikan lagi terutama bagi masyarakat awam yang tidak banyak mengetahui arti peradilan yang tentu saja membutuhkan waktu, biaya, dan kesiapan mental. Bila terjadi dalam lingkungan keluarga misalnya atas pencurian yang dilakukan anak terhadap uang orang tuanya sendiri, proses hukum tidak akan berjalan jika orang tuanya memaafkan, tetapi negara akan bertindak jika ada pengaduan dari orang tuanya tersebut.

Hukum pidana bersifat hukum publik, walaupun ada alasan pengecualian yang mengatakan hukum pidana bukan hukum publik. Artinya bahwa sifat pemaksa (dwigen recht) dari hukum pidana tidak selamanya harus dijalankan oleh penguasa atau negara, melainkan harus pula memperhatikan prinsip “tiada suatu peraturan tanpa kekecualian” yang kira-kira prinsip ini melihat dan mendasarkan kajiannya pada asas kepatutan, kepantasan, dan kewajaran. Oleh karena negara tidak selalu wajib menuntut terhadap suatu tindak pidana tertentu karena dipersyaratkan harus ada pengaduan dari yang dirugikan atau korban tindak pidana , menunjukkan

85

Ibid., hal. 241. Berbeda dengan delik biasa seperti contoh dalam delik tindak pidana pencurian atau delik jabatan dan lain-lain. Dalam delik biasa petindaknya dituntut oleh petugas tanpa harus menunggu aduan dari pihak tertentu dengan perkataan lain tidak perlu ada aduan langsung aparat Kepolisian melakukan penyelidikan dan penyidikan.

karakter hukum pidana tidak bersifat hukum publik dalam kondisi tertentu, yaitu untuk delik-delik pengaduan saja.86

Norma hukum yang bersifat memaksa (dwingen recht) menurut Nur Rahman adalah suatu suatu norma hukum yang secara apriori harus ditaati atau norma hukum dalam hal konkrit tidak dapat dikesampingkan oleh suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak.87

Misalnya syarat-syarat perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang mensyaratkan wajib dipenuhi adalah: 1) kata sepakat bagi mereka yang mengikatkan diri, 2) kecakapan untuk membuat perjanjian, 3) sesuatu hal tertentu, dan 4) sesuatu sebab yang diperbolehkan oleh hukum. Syarat pertama dan kedua merupakan syarat subjektif sedangkan dua syarat yang terakhir merupakan syarat objektif.

Walaupun dalan tabel 1 tersebut di atas, sifat hukum publik umumnya memaksa (dwingen recht) dan sifat hukum privat umumnya pelengkap (aanvullend recht), namun dalam hukum perdata (dalam pasal-pasal KUH Perdata) tentang perjanjian ada juga yang bersifat memaksa (dwingen recht).

Menurut Yahman, jika tidak terpenuhi syarat subjektif perjanjian, maka perjanjian itu dapat dibatalkan. Jika tidak terpenuhi syarat objektif perjanjian, maka perjanjian itu terancam batal demi hukum.88

86

Ibid., hal. 25.

Berarti ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata ini bersifat memaksa artinya keempat syarat tersebut wajib ada dalam

87

http://asepnurrahman.files.wordpress.com/2011/09/pengantar-ilmu-hukum.pdf, diakses tanggal 19 Juli 2014, artikel yang ditulis oleh Nur Rahman, berjudul “Pengantar Ilmu Hukum”, dipublikasikan di website pribadi bernama Asepnurahman, bulan September 2011.

88

perjanjian, jika tidak, maka konsekeunsi hukumnya dapat dibatalkan atau batal demi hukum.

Jadi pada dasarnya bahwa hukum perjanjian dalam KUH Perdata juga mengandung ketentuan-ketentuan yang memaksa (dwingen, mandatory) dan juga bersifat opsional atau pelengkap (aanvullend, optional). Untuk ketentuan-ketentuan yang memaksa, para pihak tidak mungkin menyimpanginya dengan membuat syarat-syarat dan ketentuan-etentuan lain dalam perjanjian dibuat para pihak. Namun terhadap ketentuan-ketentuan undang-undang yang bersifat melengkapi, para pihak bebas menyimpanginya dengan mengadakan sendiri syarat-syarat dan ketentuan lain sesuai dengan kehendak para pihak. Maksud dari adanya ketentuan-ketentuan yang melengkapi itu adalah hanya untuk memberikan aturan yang berlaku bagi perjanjian yang dibuat oleh para pihak bila memang para pihak belum mengatur atau tidak mengatur secara tersendiri agar tidak terjadi kekosongan pengaturan mengenai hal atau materi yang dimaksud.89

Buku III KUH Perdata menganut sistem terbuka, artinya hukum memberi keleluasaan kepada para pihak untuk mengatur sendiri pola hubungan hukum dalam perjanjian/kontrak yang dibuat para pihak. Apa yang di atur dalam Buku III KUH Perdata tersebut hanya sekedar mengatur dan melengkapi (regelend recht aanvullendrecht). Tetapi Buku III KUH Perdata tersebut juga menganut sistem tertutup atau bersifat memaksa (dwingen recht), di mana para pihak dilarang

89

http://strategihukum.net/pro-kontra-eksistensi-surat-kuasa-mutlak, diakses tanggal 19 Juli 2014, artikel yang ditulis oleh Bimo Prasetio dan Niken Nydia Nathania, berjudul, “Pro-Kontra Eksistensi Surat Kuasa Mutlak”, dipublikasikan di wensite Strategi Hukum, tanggal 22 April 2013.

menyimpangi aturan-aturan yang ada di dalam Buku III KUH Perdata tersebut. Berarti hukum publik maupun hukum privat sama-sama mengandung sifat hukum yang memaksa maupun sifatnya melengkapi, tetapi umumnya sifat memaksa itu ada pada hukum publik dan sifat pelengkap itu ada pada hukum privat.

B. Hukum Perjanjian menurut KUH Perdata

Berbicara soal hukum perjanjian berarti konsep hukumnya adalah berada dalam konsep hukum perdata, sebab hukum perjanjian merupakan bagian dari hukum perdata (hukum privat).90

Dalam KUH Perdata pengaturan mengenai hukum perjanjian dapat ditemukan dari sebahagian dalam buku III KUH Perdata tersebut yang secara khusus diatur di dalam mulai dari Pasal 1313 s/d Pasal 1351 KUH Perdata dan di bawah sub judul besar Bab II berjudul “Perikatan-Perikatan yang Dilahirkan Dari Kontrak Atau

Hukum perjanjian pada prinsipnya derivatif (turunan) dari hukum perikatan, walaupun kadang-kadang, kajiannya dibedakan antara perikatan dan perjanjian, tetapi pada prinsipnya antara hukum perjanjian dan hukum perikatan adalah sama. Ditingkat teoritis boleh dikatakan bahwa hukum perikatan berada pada tataran teoritis yang mungkin dapat disebut dengan teori kesepakatan sedangkan dalam tataran normatif terdapat di dalam KUH Perdata.

90

Persetujuan”. Dari ketentuannya diketahui bahwa pada prinsipnya terdapat hukum perjanjian.91

Gunawan Widjaja dalam bukunya berjudul, Seri Hukum Bisnis Memahami Prinsip Keterbukaan Dalam Hukum Perdata, mengkaji hukum perjanjian dan hukum perikatan dalam bab-babnya secara terpisah.92 Namun itu tidak berarti konsepnya harus berbeda, sebagaimana pada umumnya terdapat dalam karya-karya para ahli hukum, mengkaji kedua aspek ini berada dalam satu kajian,93

Perjanjian dan perikatan menurut Handri Raharjo merupakan dua hal yang berbeda meskipun keduanya memiliki ciri yang hampir sama. Handri Raharjo mengutip dari R. Subekti dan J. Satrio untuk membedakan antara perjanjian dan perikatan dapat diperhatikan dalam tabel 2 berikut ini:

walaupun sedikit terdapat perbedaan.

94

Tabel 2

Perbedaan Antara Perjanjian dan Perikatan

No Perjanjian Perikatan

1. Perjanjian menimbulkan atau melahirkan perikatan.

Perikatan adalah isi dari perjanjian. 2. Perjanjian lebih konkrit daripada

perikatan, artinya perjanjian itu dapat dilihat dan didengar.

Perikatan merupakan pengertian yang abstrak (hanya dalam alam pikiran saja).

3. Pada umumnya perjanjian

merupakan hubungan hukum bersegi dua, artinya akibat hukumnya dikehendaki oleh kedua belah pihak.

Perikatan bersegi satu, artinya: belum tentu menimbulkan akibat hukum, sebagai contoh, perikatan alami tidak dapat dituntut di sidang pengadilan

91

Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Memahami Prinsip Keterbukaan Dalam Hukum Perdata, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), hal. 247.

92

Ibid., hal. 247 dan hal. 309.

93

Handri Raharjo, Op. cit., hal. 39.

94

Hal ini bermakna bahwa hak dan kewajiban dapat dipaksankan. Pihak-pihak berjumlah lebih dari atau sama dengan dua pihak sehingga bukan pernyataan sepihak, dan pernyataan itu merupakan perbuatan hukum.

(hutang karena judi) karena pemenuhannya tidak dapat dipaksakan. Pihaknya hanya berjumlah satu sehingga ia disebut bersegi satu dan pernyataannya merupakan pernyataan sepihak serta merupakan perbuatan biasa (bukan perbuatan hukum).

Menurut J. Satrio, perjanjian merupakan sumber perikatan. Dasar hukumnya adalah Pasal 1233 KUH Perdata, yang menentukan tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena persetujuan, maupun karena undang-undang. Dari ketentuan tersebut disimpulkan bahwa sumber perikatan adalah perjanjian dan undang-undang. Perjanjian melahirkan perikatan-perikatan karena memang perjanjian seringkali (bahkan kebanyakan) melahirkan sekelompok perikatan.95

Jadi sumber perikatan adalah perjanjian dan undang-undang. Perjanjian sebagai sumber perikatan berarti perikatan itu dikehendaki oleh para pihak yang berjanji, sedangkan undang-undang sebagai sumber perikatan berarti tanpa ada kehendak dari para pihak yang terikat. Perikatan dapat lahir karena tanpa para pihak melakukan suatu perbuatan tertentu, perikatan bisa lahir karena para pihak berada dalam kondisi tertentu sesuai Pasal 1352 dan Pasal 1353 KUH Perdata.

96

Sehingga penafsiran terhadap ketentuan dalam Pasal 1233 KUH Perdata tersebut sebagai sumber dari hukum perikatan berasal dari perjanjian dan undang-undang. Selain itu Abdulkadir Muhammad menambahkan pula di samping berasal

Dokumen terkait