• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional

BAB I : PENDAHULUAN

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional

Teori yang digunakan adalah teori tentang kesepakatan dan teori tentang perbuatan pidana. Teori kesepakatan digunakan di dalam penelitian ini untuk

menganalisis permasalahan wanprestasi dalam perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak, sedangkan teori perbuatan pidana digunakan untuk menganalisis permasalahan tentang delik penipuan dalam perjanjian. Apakah suatu perbuatan wanprestasi masuk dalam ranah hukum privat atau masuk dalam ranah hukum pidana, akan dikaji berdasarkan kerangka teoritis berikut ini.

Roscoe Pound, mengatakan suatu kesepakatan mengikat karena memang merupakan keinginan para pihak yang menginginkan kesepakatan itu mengikat. Para pihak sendirilah yang pada intinya menyatakan kehendaknya untuk mengikatkan diri.21 Kata sepakat antara subjek terjadi secara disadari antara yang satu dengan yang lain, dan diantaranya saling mengikatkan diri sehingga subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga dengan subjek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati para pihak.22

Dalam teori kesepakatan, kata sepakat, merupakan hal yang paling penting. George W. Paton, menyebut, kehendak yang “senyatanya” bukan kehendak yang “dipernyatakan” sebagaimana disebutnya, “a secret mental reservation should be a bar to enforcement since the test is the real will and not the will as declared”.23

21

Huala Adolf, Dasar-dasar Hukum Kontrak Internasional, (Bandung: Refika Aditama, 2007), hal. 18.

Kehendak tersebut harus diberitahukan pada pihak lain, tidak menjadi soal apakah disampaikan secara lisan maupun tertulis, bahkan dengan bahasa isyarat sekalipun

22

Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, Cet. Kedua, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), hal. 41-42.

23

George Whitecross Paton, Text Book of Jurisprudence, (Britain: Oxford University Press, 1951), hal. 335.

atau dengan cara membisu sekalipun tetap dapat terjadi perjanjian asal ada kata sepakat.24

Hal ini berarti kata sepakat tidak hanya ”kesesuaian” kehendak antar para pihak yang berjanji saja, tetapi juga menyangkut kehendak dan pernyataan dari kehendak para pihak itu harus sesuai, atau persesuaian kehendak, dan tidak sekedar persesuaian sehingga tidak timbul cacat kehendak. Konsekuensi adanya kesepakatan untuk mengikatkan diri bahwa semua pihak telah menyetujui materi yang diperjanjikan, tidak ada paksaan atau di bawah tekanan.

R. Wirjono Prodjodikoro, ”kalau seseorang berjanji melaksanakan sesuatu hal, maka janji ini dalam hukum pada hakikatnya ditujukan kepada orang lain”.25

Pemenuhan kewajiban terhadap suatu janji, misalnya contoh seorang A dan seorang B membuat perjanjian jual-beli bilamana A adalah penjual dan B adalah pembeli serta barang yang dibeli adalah suatu lemari tertentu yang berada di dalam rumah penjual A. Harga pembelian sudah dibayar, tetapi sebelum lemari diserahkan kepada B, ada pencuri yang mengambil lemari tersebut, sehingga lemari tersebut berada di tangan seorang C. Dalam contoh ini B tetap berhak menuntut kewajiban A untuk menyerahkan lemari itu kepada B, dan A tidak dapat beralasan tidak bisa Bahwa sifat pokok dari perjanjian adalah hubungan hukum antara orang-orang berdasarkan atas suatu janji, wajib untuk melakukan sesuatu hal, dan orang lain tentu berhak menuntut pelaksanaan suatu janji itu.

24

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, (Yogyakarta: Liberty, 2004), hal. 98.

25

R. Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, (Bandung: Mandar Maju, 2011), hal. 7.

menyerahkannya karena lemari tersebut dicuri oleh C kepada B,26

R. Wirjono Prodjodikoro, juga mengatakan, ”berjanji sesuatu berarti mengikatkan diri secara membebankan pada diri sendiri suatu kewajiban untuk melaksanakan sesuatu”.

kecuali sesuatu hal yang disebabkan oleh kejadian alam yang tak terduga oleh kemampuan berfikir manusia.

27

Berarti perjanjian menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak. Subekti mengungkapkan bahwa “..Perikatan yang lahir dari perjanjian memang dikehendaki oleh dua orang atau dua pihak yang membuat suatu perjanjian…”.28

Teori hukum perjanjian yang tradisional menurut Suharnoko, mempunyai karakter yang menekankan pentingnya kepastian hukum dan predictability.

Berarti hak dan kewajiban yang telah disepakati oleh para pihak merupakan kehendak dan pilihan bebas dari para pihak untuk menentukan isi perjanjian.

29

Fungsi utama perjanjian harus memberikan kepastian hukum bagi para pihak bilamana syarat-syarat sah perjanjian sudah terpenuhi. Menyangkut kepastian hukum ini, menurut Tan Kamello, meliputi dua hal, pertama, kepastian dalam perumusan norma dan prinsip-prinsip hukum, dan kedua kepastian dalam melaksanakan norma-norma dan prinsip-prinsip hukum tersebut.30

26

Ibid.

27

Ibid., hal. 42.

28

Subekti, Op. cit, hal. 3.

29

Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisis Kasus, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2004), hal. 23.

30

Teori hukum perjanjian yang modern menurut Suharnoko justru mempunyai kecenderungan untuk mengabaikan formalitas kepastian hukum demi tercapainya keadilan yang substansial.31

Consideration dan promisory estoppel merupakan dua prinsip dasar hukum perjanjian dalam tradisi common law. Suatu janji tanpa consideration tidak mengikat dan tidak dapat dituntut pelaksanaannya. Suatu janji untuk memberikan sesuatu secara cuma-cuma seperti hibah tidak mengikat karena tidak ada consideration. Jadi

consideration merupakan kontra prestasi yang berupa janji, harga, atau perbuatan. Penerapan doktrin consideration dapat berakibat suatu janji/kontrak tidak dapat dituntut pemenuhannya secara hukum karena alasan yang sifatnya teknis.

Pengecualian atas berlakunya doktrin consideration dan penerapan doktrin promisory estoppel serta asas itikad baik dalam perjanjian adalah contoh dari teori hukum perjanjian yang modern.

Untuk mengatasi kekuatan doktrin consideration, pengadilan di Inggris dan Amerika Serikat, membuat doktrin promissory estoppel. Paul Latimer mengatakan,

promissory estoppel ini adalah suatu doktrin hukum yang mencegah seseorang pemberi janji (promisor) untuk menarik kembali janjinya, dalam hal pihak yang menerima janji (promisee) karena kepercayaannya terhadap janji tersebut telah melakukan sesuatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu, sehingga penerima janji (promisee) akan menderita kerugian jika pemberi janji (promisor) diperkenankan untuk menarik janjinya itu.32

31

Suharnoko, Loc. cit.

32

Perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata, adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Ikat-mengikat dalam suatu janji menurut perspektif hukum perdata dikenal dengan istilah verbintenis, yang meliputi tiga terjemahan yaitu perikatan, perutangan, dan perjanjian. Sedangkan overeenskomst ada dua terjemahan yaitu perjanjian dan persetujuan. Overeenskomst inilah yang diterjemahkan sebagai perjanjian.33

Dirumuskan secara normatif di dalam Pasal 1320 KUH Perdata, bahwa sahnya suatu perjanjian harus memenuhi 1) kata sepakat bagi mereka yang mengikatkan diri, 2) kecakapan untuk membuat perjanjian, 3) sesuatu hal tertentu, dan 4) sesuatu sebab yang diperbolehkan oleh hukum. Syarat pertama dan kedua merupakan syarat subjektif sedangkan dua syarat yang terakhir merupakan syarat objektif.34

Jika tidak terpenuhi syarat subjektif perjanjian, maka perjanjian itu dapat dibatalkan. Jika tidak terpenuhi syarat objektif perjanjian, maka perjanjian itu terancam batal demi hukum.

35

Kecakapan merupakan unsur subjektif sahnya perjanjian. Orang yang sudah dewasa, dan sehat pikirannya merupakan orang yang cakap menurut hukum.36

33

Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009), hal. 41.

Ada pula hal yang diperjanjikan menyangkut obyek tertentu dan objek itu harus jelas. Dilakukan pula atas sebab yang halal, dengan itikad baik bukan ditujukan untuk suatu kejahatan.

34

Yahman, Op. cit., hal. 31.

35

Ibid., hal. 32.

36

Dalam teori kesepakatan melahirkan sebuah asas terpenting yaitu asas kebebasan para pihak untuk menentukan apa saja yang akan disepakati yang dengan pengertian lain disebut dengan asas kebebasan berkontrak, yang berarti para pihak bebas untuk membuat perjanjian dengan bentuk atau format apapun serta isi atau substansinya sesuai dengan yang dikehendaki para pihak.37

Asas kebebasan berkontrak dilatarbelakangi oleh paham individualisme yang secara embrional lahir dalam zaman Yunani, yang diteruskan oleh kaum Epicuristen

dan berkembang pesat dalam zaman renaissance melalui ajaran-ajaran Hugo de Grecht, Thomas Hobbes, John Locke dan J.J. Rosseau.

38

Perkembangan ini mencapai puncaknya setelah revolusi Perancis muncul bersamaan dengan lahirnya paham ekonomi klasik yang menggunakan persaingan bebas (laissez faire).39

Setiap orang bebas menentukan kehendaknya dalam suatu perjanjian, menentukan kewajiban masing-masing pihak untuk memberikan sesuatu dan/atau untuk tidak melakukan sesuatu (prestasi). Sebagai kesepakatan yang dibuat dengan sengaja, atas kehendak para pihak secara sukarela, maka segala sesuatu yang telah disepakati, disetujui oleh para pihak harus dilaksanakan oleh para pihak sebagaimana telah dikehendakinya, maka dalam hal salah satu pihak melakukan wanprestasi

37

Agus Yudha Hernoko, Op. Cit., hal. 110.

38

Salim H.S., Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Cet. II, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal. 9.

39

(ingkar janji) terhadap perjanjian, pihak lain berhak untuk memaksakan tuntutan akan haknya melalui mekanisme dan jalur hukum yang berlaku.40

Suatu perjanjian pasti memiliki konsekuensi hukum atau akibat hukum dari perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak menimbulkan prestasi (hak dan kewajiban). Jika prestasi tersebut tidak dilaksanakan maka inilah yang dinamakan ingkar janji (wanprestasi) dan bagi pihak yang melanggar memperoleh sanksi sebagai akibat pelanggaran itu berupa ganti rugi yang dialami oleh mitranya sebagai akibat dari tindakan wanpretasi tersebut.41 Melalui suatu perjanjian menjadi jembatan bagi para pihak dalam suatu aktivitas dagang atau bisnis. Oleh karena itu, perjanjian menjadi suatu sumber hukum yang penting dalam pembangunan hukum.42

Namun kadang-kadang dalam suatu perjanjian bisa mengarah pada perbuatan pidana seperti delik penipuan, atau mungkin di dalam perjanjian itu tidak terdapat unsur delik penipuan tetapi di dalam praktik ternyata aktualisasi dari perjanjian itu diwujudkan oleh salah satu pihak yang mengarah pada delik penipuan. Oleh sebab itu, sebagai teori yang kedua dalam penelitian ini digunakan teori tentang perbuatan melawan hukum.

Penipuan merupakan tindak pidana sehingga disebut delik penipuan. Seseorang dapat disebut telah melakukan tindak pidana penipuan, jika rumusan tindak pidana penipuan telah terpenuhi oleh si pembuat. Istilah het strafbare feit telah

40

Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, (Jakarta: RajaGrafinda Persada, 2003), hal. 59.

41

Pasal 1243 KUH Perdata, wanprestasi atau lalai dalam melaksanakan kewajiban (prestasi) yang telah disepakati dalam perjanjian.

42

Ricardo Simanjuntak, “Asas-Asas Utama Hukum Kontrak Dalam Kontrak Dagang Internasional: Sebuah (Tinjauan Hukum”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 27, No. 24, Tahun 2008, hal. 43.

diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai: perbuatan yang dapat/boleh dihukum, peristiwa pidana, perbuatan pidana, dan tindak pidana.43

Undang-undang menggunakan istilah strafbaar feit yang menurut P.A.F. Lamintang untuk menyebut tindak pidana.44 Simons merumuskan een strafbaar feit

adalah suatu handeling (tindakan/perbuatan) yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan dengan hukum (onrechtmatig) dilakukan dengan kesalahan (schuld) oleh seorang yang mampu bertanggung jawab”.45

Simon dan van Hattum menggunakan tindak pidana dalam merumuskan

strafbaar feit. Sedangkan Moeljatno menyebut strafbaar feit sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa melanggar larangan tersebut. Dari uraian tersebut terlihat Moeljatno menggunakan perbuatan pidana untuk merumuskan

strafbaar feit.46

Berdasarkan beberapa pendapat ahli tersebut, dapat dipahami mengenai perumusan tindak pidana atau delik penipuan, terpenuhinya suatu perbuatan yang melawan hukum. Dikatakan sebagai perbuatan pidana, unsur-unsur atau elemen-elemen yang harus ada dalam suatu perbuatan pidana adalah: terdapat kelakuan dan akibat dari perbuatan, hal atau keadaan-keadaan yang menyertai perbuatan, keadaan

43

SR. Sianturi, Tindak Pidana di KUH Pidana, (Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1983), hal. 204.

44

P.A.F. Lamintang, Op. cit, hal. 172.

45

Simon dalam S.R. Sianturi, Op cit., hal. 205.

46

tambahan yang memberatkan pidana, unsur melawan hukum yang objektif, dan unsur melawan hukum yang subjektif.47

Sifat melawan hukum sebagai suatu penilaian objektif terhadap perbuatan dan bukan terhadap si pembuat (subjektif). Dikatakan sebagai sifat melawan hukum secara formil apabila suatu perbuatan telah mencocoki semua unsur yang termuat dalam rumusan delik. Jika ada alasan-alasan pembenar, alasan-alasan tersebut harus juga disebutkan secara tegas dalam undang-undang. Melawan hukum sama dengan melawan undang-undang (hukum tertulis). Dikatakan sebagai sikap melawan hukum secara materil disamping memenuhi syarat-syarat formil, perbuatan itu harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut atau tercela dan telah dilarang oleh hukum.48

Menurut Moeljatno, sifat melawan hukum dibagi dua yakni melawan hukum subjektif dan melawan hukum objektif. Sifat melawan hukum subjektif bergantung pada bagaimana sikap batin si pelaku. Sedangkan sifat melawan hukum objektif bergantung pada pelaksanaan perbuatan yang dilarang oleh hukum.

49

Sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid)50

47

Moeljatno (II), Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), hal. 63.

ada dua yaitu bersifat melawan hukum formal dan bersifat melawan hukum materil. Sifat melawan hukum formal

48

E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1982), hal. 125 dan hal. 142.

49

Moeljatno (III), Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), hal. 69.

50

E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op. Cit., hal. 143-144. Sifat melawan hukum tidak selalu diancam dengan pidana tetapi adapula sifat melawan hukum dalam hukum perdata yang tidak diancam dengan pidana misalnya suatu tindakan yang bertentangan dengan hukum perdata dalam pembagian harta warisan. Itu sebabnya sifat melawan hukum dibedakan, dalam hukum pidana disebut wederrechtelijkheid sedangkan di dalam hukum perdata disebut onrechtmatig daad.

dilihat dari dilarangnya suatu perbuatan oleh undang-undang, maka pada setiap delik sudah dengan sendirinya terdapat sifat melawan hukum sedangkan sifat melawan hukum materil dilihat dari sikap batinnya pelaku, maka pada setiap delik dianggap ada unsur sifat melawan hukum, harus dibuktikan.51

Melawan hukum yang dimaksud adalah melawan isi perjanjian yang telah disepakati para pihak. Orang yang dikenai pidana harus mempunyai kesalahan (asas tiada pidana tanpa kesalahan). Kesalahan itu sendiri terdiri dari kesalahan yang disebabkan secara sengaja dan yang disebabkan karena kelalaian dalam melaksanakan isi perjanjian. Pelaku delik penipuan baru dapat dipidana jika ia dapat bertanggung jawab dalam artian berfikiran waras.

Jika ingin merumuskan perbuatan wanprestasi masuk dalam delik penipuan, maka unsur-unsurnya harus memenuhi rumusan unsur-unsur delik penipuan sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 378 KUH Pidana. Unsur yang pertama yaitu melawan hukum. Unsur melawan hukum dapat memiliki dua pengertian yaitu secara formal dan materiil, yang masuk kategori melawan hukum secara formal yaitu, melakukan sesuatu terbatas pada yang dilarang oleh undang-undang.52 Sedangkan yang dimaksud dengan melawan hukum secara materil adalah melakukan sesuatu yang dilarang dalam perundang-undangan maupun berdasarkan asas hukum yang tidak tertulis.53

51

Ibid., hal. 147-148.

52

J.M. van Bemmelen, Hukum Pidana I: Hukum Pidana Material Bagian Umum, Diterjemahkan oleh Hasan (tanpa tempat: Bina Cipta, 1984), hal. 102-103.

53

Pencantuman unsur melawan hukum dalam suatu tindak pidana berpengaruh pada proses pembuktian. Apabila dalam suatu pasal secara nyata terdapat unsur melawan hukum, maka penuntut umum harus membuktikan unsur tersebut, jika unsur tersebut tidak terbukti maka putusannya vrijspraak atau putusan bebas. Sedangkan, jika unsur melawan hukum tidak secara tegas merupakan unsur dari suatu tindak pidana maka tidak terbuktinya unsur tersebut menyebabkan putusannya lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van rechtverfolging).54

Selain karena melawan hukum, unsur yang kedua, yaitu unsur kesalahan (schuld). Adagium mengatakan, geen straf zonder schuld (tiada hukuman tanpa kesalahan), ini berarti orang yang dihukum harus terbukti bersalah secara pidana. Kesalahan mengandung dua pengertian, dalam arti sempit yang berarti kesengajaan (dolus/opzet) yang berarti berbuat dengan kehendak dan maksud atau dengan menghendaki dan mengetahui (willen en wetens), sedangkan dalam arti luas berarti

dolus dan culpa.

55

Kelalaian atau kealpaan (culpa) bilamana pada diri pelaku terdapat kekurangan pemikiran, kekurangan pengetahuan, dan unsur yang ketiga yaitu pertanggungjawaban subjek. Sesuatu dapat dikatakan sebagai tindak pidana apabila ada subjek (pelaku) dari tindak pidana itu sendiri. Agar pelaku itu dapat dipidana,

54

Ibid.

55

Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-undang HuKum Pidana Belanda dan Padanannya Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2003), hal. 173.

maka dalam diri pelaku secara subjek tidak terdapat dasar penghapus pidana, baik dasar pembenar maupun dasar pemaaf. kekurangan kebijaksanaan yang diperlukan.56

Dengan demikian sesuai dengan rumusan unsur-unsur pidana jika dikaitkan dengan delik penipuan dalam perjanjian, maka pelaku harus memenuhi rumusan unsur-unsur pidana penipuan sebagaimana yang telah ditentukan di dalam Pasal 378 KUH Pidana. Tetapi jika, rumusan ini tidak terbukti, maka kemungkinan yang menjadi pertimbangan adalah perbuatan wanprestasi tersebut masuk dalam ranah hukum perdata bukan dalam ranah hukum pidana.

2. Landasan Konsepsional

Tujuan menggunakan landasan konsepsional di dalam suatu penelitian adalah untuk menyatukan persepsi mengenai penggunaan istilah-istilah yang dipergunakan. Sehingga semua orang dapat dengan mudah mengetahui dan memahami maksud suatu istilah yang digunakan. Konsepsi di dalam penelitian ini adalah:

a. Perjanjian adalah perjanjian antara para pihak sebagaimana dimaksud perjanjian di dalam KUH Perdata (perjanjian perdata).

b. Wanprestasi adalah perbuatan ingkar janji yang telah disepakati di dalam perjanjian perdata.

c. Penipuan adalah perbuatan pidana sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 378 KUH Pidana yakni perbuatan dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, baik dengan memakai nama palsu atau keadaan palsu, baik dengan akal dan tipu muslihat, maupun dengan

56

karangan perkataan-perkataan bohong, membujuk orang supaya memberikan suatu barang, membuat atau menghapuskan piutang, dihukum karena penipuan.

d. Karakteristik adalah ciri-ciri perbuatan wanprestasi dan ciri-ciri perbuatan pidana (delik) penipuan.

e. Perbedaan adalah perbedaan antara wanprestasi dalam perjanjian yang masuk dalam ranah hukum privat (perdata) dan wanprestasi dalam perjanjian yang masuk dalam ranah hukum publik (pidana).

f. Putusan adalah Putusan Pengadilan sebagaimana dalam putusan atas perkara terhadap Kapang Jaya, Suwarno, Stevie Rondonuwu, Sundar Hariram, Nastak Hendriono, Billu, dan Ina Malombasi.

Jika terdapat istilah-istilah sebagaimana tersebut di atas di dalam penelitian ini, maka maksud atau arti istilah-istilah tersebut mesti dirujuk pada pengertian-pengertian tersebut di atas. Sehingga tidak terjadi perbedaan pandangan dalam mengartikan dan memahami maksud dari istilah-istilah tersebut yang digunakan di dalam penelitian ini.

Dokumen terkait