• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan Antara Wanprestasi dan Delik Penipuan Dalam Hubungan Perjanjian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perbedaan Antara Wanprestasi dan Delik Penipuan Dalam Hubungan Perjanjian"

Copied!
168
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

PERBEDAAN ANTARA WANPRESTASI DAN DELIK PENIPUAN DALAM HUBUNGAN PERJANJIAN

OLEH :

SUGIRHOT MARBUN 127005027 / HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

PERBEDAAN ANATAR WANPRESTASI DAN DELIK PENIPUAN DALAM HUBUNGAN PERJANJIAN

T E S I S

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Magister Hukum Dalam Program Studi Magister Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara

OLEH :

SUGIRHOT MARBUN 127005027/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

Judul Tesis : PERBEDAAN ANTARA WANPRESTASI DAN DELIK PENIPUAN DALAM

HUBUNGAN PERJANJIAN Nama Mahasiswa : Sugirhot Marbun

Nomor Pokok : 127005027 Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui : Komisi Pembimbing

K e t u a

( Dr. Mahmud Mulyadi, S.H.,M.Hum.)

(Prof.Dr. Suhaidi, S.H., M.H.) (Dr. Mahmul Siregar,S.H., M.Hum.)

A n g g o t a A n g g o t a

Ketua Program Studi, D e k a n,

(Prof.Dr. Suhaidi, S.H.,M.H.) (Prof.Dr. Runtung , S.H.,M.Hum.)

(4)

Telah diuji pada :

Tanggal 27 Agustus 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum Anggota : Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H

Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum Dr. Madiasa Ablisar, S.H., M.S

(5)

ABSTRAK

Wanprestasi merupakan ranah hukum perdata yang sesungguhnya tidak boleh digantikan dengan menuduhkan terhadap seseorang yang melakukan wanprestasi berdasarkan hukum pidana melainkan harus berdasarkan hukum perdata. Untuk delik penipuan tidak boleh dituduhkan kepada seseorang yang melakukan delik penipuan atas perbuatan wanprestasi karena itu merupakan ranah hukum pidana. Namun dalam praktik pengadilan sering terjadi dilema dalam penegakan hukum antara perbuatan mana yang termasuk wanprestasi dan mana sebagai delik penipuan dalam perjanjian.

Permasalahan yang diteliti adalah pertama bagaimanakah karakteristik yang membedakan antara perbuatan wanprestasi dengan delik penipuan dalam suatu perjanjian? Kedua, bagaimanakah penerapan perbuatan wanprestasi dan delik penipuan di dalam praktik di pengadilan?

Jenis metode penelitian ini adalah yuridis normatif yang bersifat deskriptif analitis. Teknik pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara studi pustaka dan studi putusan. Analisis data dilakukan secara kualitatif, menjelaskan dan menguraikan teori-teori, doktrin-doktrin, asas-asas, norma-norma hukum dalam perundang-undangan yang relevan dengan perjanjian, wanprestasi, dan delik penipuan.

Disimpulkan, pertama, karakteristik yang membedakan antara perbuatan wanprestasi dengan delik penipuan dalam suatu perjanjian terletak pada unsur kesalahan. Unsur kesalahan untuk wanprestasi dilihat dari lalainya seseorang dalam melaksanakan prestasi. Kelalaian menjadi karakter penting dalam wanprestasi, karena dalam perjanjian sudah ditentukan tenggang waktu pelaksanaan perjanjian. Berdasarkan KUH Perdata, lewat waktu melaksanakan perjanjian berarti lalai. Semua faktor yang menimbulkan terjadinya wanprestasi, tetap hanya dilihat pada satu faktor saja yaitu karena kelalaian menjadi ciri khas dari wanprestasi. Sedangkan unsur kesalahan dalam delik penipuan, justru sebaliknya, yaitu hanya dilihat dari unsur sengaja, bukan unsur lalai. Kedua, penerapan perbuatan wanprestasi dan delik penipuan dalam parktik pengadilan untuk karakteristik wanprestasi diputus lepas oleh hakim yang dilihat dari terdapatnya hubungan dagang serta adanya kesepakatan maupun perjanjian dengan niat baik . Sedangkan karakteristik untuk delik penipuan mengandung unsur sengaja beritikad buruk, menguntungkan diri sendiri atau orang lain, tidak melaksanakan kewajiban atau menghindar dari kewajiban, mengandung perkataan bohong, mengulur-ulur waktu tanpa alasan yang jelas.

Disarankan, pertama, agar setiap orang, pihak-pihak atau masyarakat dalam melakukan suatu perjanjian, terutama bagi polisi, jaksa, advokat, dan hakim perlu memahami karakteristik perbedaan antara wanprestasi dan delik penipuan. Kedua agar perkara-perkara perjanjian dengan indikasi wanprestasi harus dibuktikan lebih dulu kelalaian debitor membayar utang, baru dapat dikatakan perbuatan debitor tersebut telah wanprestasi. Sedangkan terhadap perkara-perkara perjanjian dengan indikasi terdapat delik penipuan harus dibuktikan unsur kesahalan.

(6)

ABSTRACT

Breach of contract is a true realm of civil law which should not be replaced by blaming someone else who did the breach of contract under criminal law but it must be based on the civil law.The offense of fraud should not be blamed on someone who did it for acts of breach of contract because it is the domain of criminal law. But in the court practice, a dilemma in law enforcement between which act is included in the category of breach of contract and which act is included in the category of offense of fraud frequently occur.

The problems studies were about the characteristics distinguishing between the act of breach of contract and the offense of fraud in a contract (agreement) and how the act of breach of contract and offense of fraud were applied in practice in the court of law.The data used in this descriptive analytical normative juridical study were secondary data obtained through library research and decumentation (court decision) study. The data obtained were qualitatively analyzed by explaining and outlining the theories, doctrines, principles, and legal norms found in the regulation of legislation relevant to the agreement (contract), breach of contract, and offense of fraud.The characteristics distinguishing between the act of breach of contract and the offense of fraudlie in the element of mistakes made. The element of mistakes of breach of contract is viewed from the negligence (not intentional) of somebody in executing achievement. Negligence is the most important character in the breach of contract because the grace period of implementation of the agreement has been stated in the contract (agreement) itself. Based on the Indonesian Civil Codes, it is considered negligent if the grace period of implementation of the agreement is exceeded. All of the factors causing the incident of breach of contract is viewed based on one factor only namely because of negligence which is at the same time a characteristic of breach of contract. While the element of mistake in the offense of fraud is quite contrary, it is only viewed based on the element of intent not that of negligence. The application of the act of breach of contract and the offense of fraud in practice in the court of law is that the characteristics of breach of contract is decided free by the judge viewed from the presence of longstanding trade relation, while the characteristics of the offense of fraud contain the element of intent or bad faith, benefiting own-self or other people, not implementing obligations or avoiding obligations, it containing words of lie,delaying for no apparent reason.

In order everyone, the parties or the public especially for the police, the prosecutors, lawyers, and judges, in making a deal, need to understand the characteristics of the difference between the breach of contract and the offense of fraud. For the cases of contract with the indication of breach of contract, the negligence of debtors to pay the debt should first be proven before the debtor can be said to have performed a breach of contract, while the cases dealing with the indications of the offense of fraud must be proven based on the element of mistake.

(7)

KATA PENGANTAR

Dengan penuh rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan keselamatan dan bimbingan-Nya kepada penulis selama menempuh perkuliahan di Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dan atas pernyertaan Tuhan penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “ Perbedaan Antara Wanprestasi dan Delik Penipuan Dalam Hubungan Perjanjian “.

Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk meraih gelar Magister Hukum (MH) di Universitas Sumatera Utara Fakultas Hukum Program Studi Magister Ilmu Hukum.

Pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih serta penghargaan yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah banyak membantu baik secara langsung maupun tidak langsung, memberikan dorongan moril maupun materil kepada penulis sehingga tesis ini dapat diselesaikan, yaitu:

(8)

2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Runtung, S.H.,M.Hum. yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan di Program Studi Magister Ilmu Hukum .

3. Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, Prof.Dr. Suhaidi, S.H.,M.H. sekaligus atas kesediaan beliau untuk menjadi salah satu Anggota Komisi pembimbing tesis ini. Meskipun kesibukan beliau telah cukup banyak menyita waktu dan tenaga, tetapi beliau masih menyempatkan diri untuk membimbing dan mentransfer ilmu pengetahuan yang dimiliki, sehingga sangat membantu penulisan tesis ini.

4. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, Dr.Mahmul Siregar, S.H., M.Hum. sekaligus atas kesediaan beliau untuk menjadi salah satu Anggota Komisi pembimbing tesis ini, atas arahan dan bimbingannya selama perkuliahan dan pengerjaan tesis ini meskipun kesibukan beliau telah cukup banyak menyita waktu dan tenaga, tetapi beliau masih menyempatkan diri untuk membimbing dan mentransfer ilmu pengetahuan yang dimiliki, sehingga sangat membantu penulisan tesis ini. 5. Terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan yang setinggi-tingginya

(9)

6. Terima kasih kepada Penguji Dr. Madiasa Ablisar,S.H.,M.S. , Dr. Utary Maharany Barus, S.H.,M.Hum, atas diskusi yang juga banyak membantu , memberi motivasi dan nasehat dalam pengerjaan tesis ini.

7. Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada seluruh staf pengajar dan pegawai Program Studi Ilmu Hukum Universitaas Sumatera Utara.

8. Kepada orang tua saya yang tercinta Ayahanda D.Marbun (alm), Ibu saya Tiana Simamora dan Istri saya Ulyna Ria Simamora yang senantiasa memberikan dukungan dan mendampingi penulis dalam suka maupun duka dan seluruh keluarga penulis orang –orang “terkasih" yang selalu memberikan dorongan kepada penulis.

Akhirnya penulis menyadari, dengan terbatasnya pengetahuan yang penulis miliki, tentulah dalam tulisan ini akan ada ditemui kelamahan-kelemahan dan kekurangan-kekurangan. Oleh sebab itu kepada semua pihak dengan rendah hati dan rasa terima kasih, penulis harapkan kritik dan saran untuk kesempurnaan tulisan ini.

Kemudian kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan kepada saya hanya kepada Tuhan saya serahkan, kiranya Tuhan selalu memberikan balasannya.

Medan, Agustus 2014 Penulis,

(10)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Sugirhot Marbun

Tempat/Tanggal Lahir : Kedai Gedang, 24 April 1964

Agama : Kreisten Protestan

JenisKelamin : Laki-Laki

Warga Negara : Indonesia

Status : Kawin

Alamat :Jalan Bunga Rinte Raya Gang Raja No.9 Tanjung Selamat , Medan Tuntungan, Kota Medan.

Nama Orang Tua Laki-Laki :D. Marbun (Alm) Nama Orang Tua Perempuan :Tiana Simamora Pendidikan Formal

- Sekolah Dasar (SD) Negeri No.1 Barus Lulus Tahun 1976, Berijazah;

- Sekolah Menengah Umum Tingkat Pertama (SMP) Negeri No. 1 Barus Lulus Tahun 1980, Berijazah;

- Sekolah Menengah Umum Tingkat Atas (SMA) Negeri No. 1 Barus Lulus Tahun 1983, Berijazah;

- Sarjana Ekonomi, Jurusan Ekonomi Manajeman (S1) Universitas HKBP Nommensen Medan, Lulus Tahun 1989, Berijazah;

- Sarjana Hukum , Jurusan Hukum Perdata (S1) Universitas Pembangunan Panca Budi Medan, Lulus Tahun 2006, Berijazah;

- Magister Sains Program Ekonomi Pembangunan (S2) Universitas Sumatera Utara (USU) , Lulus Tahun 2006, Berijazah.

(11)

Pendidikan Non Formal

- Mengikuti Pendidikan Pajak Terapan Brevet A dari LM-PATRA Jakarta, Angkatan 126 dari tanggal 21 Agustus 1999 sampai dengan 25 September 1999 , Lulus

- Mengikuti Pendidikan Pajak Terapan Brevet B dari LM-PATRA Jakarta, Angkatan 126 dari tanggal 2 Oktober 1999 sampai dengan 14 November 1999 , Lulus

- Pendidikan Khusus Profesi Advokat (“PKPA”) dari PERADI bekerjasama dengan Yan Apul & Founners Jakarta dari tanggal 12 Februari 2007 sampai dengan 27 Maret 2007.

Pengalaman Kerja

- Dari Juli 1989 sampai dengan Januari 1991 bekerja di Perusahaan Swasta di Medan Sumatera Utara ;

- Dari Februari 1991 sampai dengan Maret 1992 bekerja di Perusahaan Swasta di Padang Sumatera Barat ;

- Dari April 1992 sampai denganAgustus 2003 bekerja di Perusahaan Swasta Nasional dan Perusahaan Swasta Asing di Jakarta ;

- Dari Januri 2004 sampai dengan Juli 2008 bekerja di Kantor Advokat ; - Dari Agustus 2008 Jadi Advokat dan Konsultan Hukum sampai sekarang ; - Dari Tahun 2008-2009 Dosen Universitas Timbul Nusantara (UTIRA) IBEK

Jakarta , Fakultas Hukum Kelas Eksekutif ;

- Dari Tahun 2010-2013 Dosen Universitas Prima Indonesia Medan , Fakultas Ekonomi;

(12)

Seminar-Seminar

- Workshop How to Write A good Thesis di selenggarakan oleh Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan di Prapat pada tanggal 26 Juni 2004;

- Seminar Nasional Prospek Kredit Perbankan untuk Usaha Kecil, Pasca Pemilihan PresidenR.I. Tahun 2004 di selenggarakan oleh Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan di Hotel Danau Toba Internasional Medan, tanggal 05 Agustus 2004;

- Seminar Nasional ReformasiKembar Hukum dan Ekonomi di selenggarakan oleh Universitas Sumatera Utara Medan di Hotel Tiara Convention Hall Medan, tanggal 14 Agustus 2004;

- Seminar Nasional Restrukturisasi dan Privatisasi BUMN, Manfaat dan Tantangannya dalam Upaya Meningkatkan Kinerja BUMN di selenggarakan oleh Kementerian Badan Usaha Milik Negara R.I. bekerjasama dengan Magister Hukum Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada dan Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan di Kampus USU seminar Pemekaran Provinsi Sumatera Utara di selenggarakan oleh Program Pascasarjana Universitas Sumatrea Uatara di ruang IMTGT USU Medan, tanggal 23 September 2004;

- Seminar Pembangunan Ekonomi Berdasarkan Islam di selenggarakan oleh Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan di ruang IMTGT USU Medan, tanggal 11 Desember 2004;

- Seminar Kontribusi Perusahaan Terhadap Pembangunan Daerah di selenggarakan oleh Universitas Sumatera Utara di Hotel Grand Angkasa Medan, tanggal 06 Juli 2005;

(13)

- Mengikuti Bimbingan Teknis (BIMTEK) Pembinaan Organisasi Pekerja dan Perusahaan di selenggarakan Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Pemerintah Kota Medan, pada tanggal 24 s/d 25 Mei 2011di Hotel Royal Perintis Medan; - Mengikuti Bimbingan Teknis (BIMTEK) Pembinaan Kelembagaan Hubungan

Industrial di selnggarakan Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Pemerintah Kota Medan, pada tanggal 26 s/d 27 Mei 2011di Hotel Royal Perintis Medan;

- Seminar Nasional “Semangat Berwirausaha Para Intelektual Muda” diselenggakana oleh Fakultas Ekonomi Universitas Prima Indonesia Medan, ome Comvention Centre Medan 24 Mei2012

- Seminar Nasional “Inkonsistensi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), khusunya dalam hal Pemberdayaan Hak Masyarakat Hukum Adat” di Hermina Centre UDA Medan , tanggal 30 Januari 2012;

- Seminar Nasional Penyesuaian BatasanTindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, di Gedung Biro Rektor Universitas Sumatera Utara Medan, tanggal 05 Juli 2013;

(14)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRAK ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL………. xiv

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 16

C. Tujuan Penelitian ... 17

D. Manfaat Penelitian ... 17

E. Keaslian Penelitian ... 18

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional ... 19

1. Kerangka Teori... 19

2. Landasan Konsepsional ... 31

G. Metode Penelitian ... 32

1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 32

2. Sumber Data ... 34

3. Teknik Pengumpulan Data ... 36

(15)

BAB II : KARAKTERISTIK YANG MEMBEDAKAN ANTARA PERBUATAN WANPRESTASI DENGAN DELIK PENIPUAN DALAM SUATU PERJANJIAN ... 39 1. Perbedaan Antara Hukum Publik dan Hukum Privat ... 39 2. Hukum Perjanjian menurut KUH Pedata ... 50 3. Perbedaan Antara Perbuatan Wanprestasi Dengan Delik

Penipuan Dalam Suatu Perjanjian ... 63 a. Karakteristik Perbuatan Wanprestasi ... 63 b. Karakteristik Delik Penipuan ... 75 BAB III : PENERAPAN PERBUATAN WANPRESTASI DAN DELIK

PENIPUAN DI DALAM PRAKTIK DI PENGADILAN ... 87 A. Penerapan Wanprestasi Terhadap Perjanjian ... 87

1. Putusan PN Surabaya Nomor: 1631/Pid.B/2003/PN.Sby, jo Putusan MA Nomor 208 K/Pid/2013 ... 90 2. Putusan PN Makassar Nomor: 1349/Pid.B/2008/PN.Mks, jo

Putusan MA Nomor: 1905K/Pid/2010 ... 93 3. Putusan PN Medan Nomor: 2.533/Pid.B/2013/PN.Mdn ... 96 B. Penerapan Putusan Bebas (Vrijspraak) Dalam Putusan PN

(16)

1. Putusan PN Medan Nomor: 3165/Pid.B/2010/PN.Mdn, jo Putusan PT Medan Nomor: 336/Pid/2011/PT-Mdn, jo

Putusan MA Nomor: 688 K/Pid/2012 ... 103 2. Putusan PN Sampang Nomor: 71/Pid.B/2012/PN.Spg ... 107 3. Putusan PN Amurang Nomor: 46/Pid.B/2012/PN.Amg, jo

Putusan MA Nomor: 2200 K/Pid/2012 ... 110 D. Analisis Terhadap Pertimbangan Hakim Pengadilan Dalam

Penerapan Perbuatan Wanprestasi dan Delik Penipuan di Dalam

Praktik di Pengadilan ... 113 1. Pertimbangan Hakim Pengadilan Dalam Putusan Lepas ... 113

a. Putusan PN Surabaya Nomor: 1631/Pid.B/2003/PN.Sby,

jo Putusan MA Nomor 208 K/Pid/2013 ... 118 b. Putusan PN Makassar Nomor: 1349/Pid.B/2008/PN.Mks,

jo Putusan MA Nomor: 1905K/Pid/2010 ... 121 c. Putusan PN Medan Nomor: 2.533/Pid.B/2013/PN.Mdn ... 122 2. Pertimbangan Hakim Pengadilan Terhadap Perkara Putusan

Bebas Dalam Putusan PN Banyuwangi Nomor: 344/Pid.B/1999/PN,Bwi, jo Putusan MA Nomor: 1811/K/Pid/2001 ... 125 3. Pertimbangan Hakim Pengadilan Dalam Putusan Terbukti

(17)

a. Putusan PN Medan Nomor: 3165/Pid.B/2010/PN.Mdn, jo Putusan PT Medan Nomor: 336/Pid/2011/PT-Mdn, jo

Putusan MA Nomor: 688 K/Pid/2012 ... 129

b. Putusan PN Sampang Nomor: 71/Pid.B/2012/PN.Spg ... 131

c. Putusan PN Amurang Nomor: 46/Pid.B/2012/PN.Amg, jo Putusan MA Nomor: 2200 K/Pid/2012 ... 133

BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN ... 139

1. Kesimpulan ... 139

2. Saran ... 141

(18)

DAFTAR TABEL

(19)

ABSTRAK

Wanprestasi merupakan ranah hukum perdata yang sesungguhnya tidak boleh digantikan dengan menuduhkan terhadap seseorang yang melakukan wanprestasi berdasarkan hukum pidana melainkan harus berdasarkan hukum perdata. Untuk delik penipuan tidak boleh dituduhkan kepada seseorang yang melakukan delik penipuan atas perbuatan wanprestasi karena itu merupakan ranah hukum pidana. Namun dalam praktik pengadilan sering terjadi dilema dalam penegakan hukum antara perbuatan mana yang termasuk wanprestasi dan mana sebagai delik penipuan dalam perjanjian.

Permasalahan yang diteliti adalah pertama bagaimanakah karakteristik yang membedakan antara perbuatan wanprestasi dengan delik penipuan dalam suatu perjanjian? Kedua, bagaimanakah penerapan perbuatan wanprestasi dan delik penipuan di dalam praktik di pengadilan?

Jenis metode penelitian ini adalah yuridis normatif yang bersifat deskriptif analitis. Teknik pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara studi pustaka dan studi putusan. Analisis data dilakukan secara kualitatif, menjelaskan dan menguraikan teori-teori, doktrin-doktrin, asas-asas, norma-norma hukum dalam perundang-undangan yang relevan dengan perjanjian, wanprestasi, dan delik penipuan.

Disimpulkan, pertama, karakteristik yang membedakan antara perbuatan wanprestasi dengan delik penipuan dalam suatu perjanjian terletak pada unsur kesalahan. Unsur kesalahan untuk wanprestasi dilihat dari lalainya seseorang dalam melaksanakan prestasi. Kelalaian menjadi karakter penting dalam wanprestasi, karena dalam perjanjian sudah ditentukan tenggang waktu pelaksanaan perjanjian. Berdasarkan KUH Perdata, lewat waktu melaksanakan perjanjian berarti lalai. Semua faktor yang menimbulkan terjadinya wanprestasi, tetap hanya dilihat pada satu faktor saja yaitu karena kelalaian menjadi ciri khas dari wanprestasi. Sedangkan unsur kesalahan dalam delik penipuan, justru sebaliknya, yaitu hanya dilihat dari unsur sengaja, bukan unsur lalai. Kedua, penerapan perbuatan wanprestasi dan delik penipuan dalam parktik pengadilan untuk karakteristik wanprestasi diputus lepas oleh hakim yang dilihat dari terdapatnya hubungan dagang serta adanya kesepakatan maupun perjanjian dengan niat baik . Sedangkan karakteristik untuk delik penipuan mengandung unsur sengaja beritikad buruk, menguntungkan diri sendiri atau orang lain, tidak melaksanakan kewajiban atau menghindar dari kewajiban, mengandung perkataan bohong, mengulur-ulur waktu tanpa alasan yang jelas.

Disarankan, pertama, agar setiap orang, pihak-pihak atau masyarakat dalam melakukan suatu perjanjian, terutama bagi polisi, jaksa, advokat, dan hakim perlu memahami karakteristik perbedaan antara wanprestasi dan delik penipuan. Kedua agar perkara-perkara perjanjian dengan indikasi wanprestasi harus dibuktikan lebih dulu kelalaian debitor membayar utang, baru dapat dikatakan perbuatan debitor tersebut telah wanprestasi. Sedangkan terhadap perkara-perkara perjanjian dengan indikasi terdapat delik penipuan harus dibuktikan unsur kesahalan.

(20)

ABSTRACT

Breach of contract is a true realm of civil law which should not be replaced by blaming someone else who did the breach of contract under criminal law but it must be based on the civil law.The offense of fraud should not be blamed on someone who did it for acts of breach of contract because it is the domain of criminal law. But in the court practice, a dilemma in law enforcement between which act is included in the category of breach of contract and which act is included in the category of offense of fraud frequently occur.

The problems studies were about the characteristics distinguishing between the act of breach of contract and the offense of fraud in a contract (agreement) and how the act of breach of contract and offense of fraud were applied in practice in the court of law.The data used in this descriptive analytical normative juridical study were secondary data obtained through library research and decumentation (court decision) study. The data obtained were qualitatively analyzed by explaining and outlining the theories, doctrines, principles, and legal norms found in the regulation of legislation relevant to the agreement (contract), breach of contract, and offense of fraud.The characteristics distinguishing between the act of breach of contract and the offense of fraudlie in the element of mistakes made. The element of mistakes of breach of contract is viewed from the negligence (not intentional) of somebody in executing achievement. Negligence is the most important character in the breach of contract because the grace period of implementation of the agreement has been stated in the contract (agreement) itself. Based on the Indonesian Civil Codes, it is considered negligent if the grace period of implementation of the agreement is exceeded. All of the factors causing the incident of breach of contract is viewed based on one factor only namely because of negligence which is at the same time a characteristic of breach of contract. While the element of mistake in the offense of fraud is quite contrary, it is only viewed based on the element of intent not that of negligence. The application of the act of breach of contract and the offense of fraud in practice in the court of law is that the characteristics of breach of contract is decided free by the judge viewed from the presence of longstanding trade relation, while the characteristics of the offense of fraud contain the element of intent or bad faith, benefiting own-self or other people, not implementing obligations or avoiding obligations, it containing words of lie,delaying for no apparent reason.

In order everyone, the parties or the public especially for the police, the prosecutors, lawyers, and judges, in making a deal, need to understand the characteristics of the difference between the breach of contract and the offense of fraud. For the cases of contract with the indication of breach of contract, the negligence of debtors to pay the debt should first be proven before the debtor can be said to have performed a breach of contract, while the cases dealing with the indications of the offense of fraud must be proven based on the element of mistake.

(21)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berangkat dari pendapat Niewenhius yang mengatakan bahwa suatu perjanjian merupakan sarana utama bagi para pihak untuk secara mandiri menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum di antara mereka. Menurut Polak, suatu persetujuan itu tidak lain adalah suatu perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang terikat didalamnya.1

Dari pendapat itu bahwa suatu klausula di dalam perjanjian ditimbulkan oleh kehendak bebas dari para pihak yang membuatnya sehingga menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak tersebut. Apakah suatu perjanjian yang dibuat para pihak itu mengandung unsur penipuan dari salah satu pihak, maka perlu dilakukan suatu ketelitian dari pihak lain untuk memahaminya. Ada kalanya suatu perjanjian mengandung unsur penipuan di dalam klausulanya, dan adapula kalanya suatu perjanjian tidak mengandung unsur penipuan di dalam klausula, tetapi dalam praktik justru mengarah kepada delik penipuan.

Jika suatu kewajiban dari debitor (si berutang) untuk memenuhi suatu prestasi tidak terlaksana setelah disepakati dalam suatu perjanjian dan terhalangnya prestasi

1

Niewenhius dan Polak dalam Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian, Asas

(22)

itu bukan karena suatu kondisi atau keadaan yang memaksa (force majeure)2, maka debitor tersebut dianggap telah melakukan wanprestasi (ingkar janji).3 Dikatakan wanprestasi menurut Setiawan karena tidak memenuhi prestasi sama sekali, atau terlambat memenuhi prestasi, atau memenuhi prestasi tetapi tidak selayaknya.4 M. Yahya Harahap juga mengatakan wanprestasi berarti tidak melaksanakan kewajiban tepat pada waktunya atau dilakukan tetapi tidak menurut yang selayaknya.5

Wanprestasi menurut Subekti adalah kelalaian atau kealpaan dari seseorang debitor yang dapat berupa empat macam, yaitu:6

1. Tidak melakukan apa yang ia sanggupi akan dilakukannya; atau

2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan; atau

3. Melakukan apa yang dijanjikan, tetapi terlambat; atau

4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

Doktrin-doktrin tentang wanprestasi tersebut di atas merupakan penjabaran dari norma yang terkandung di dalam Pasal 1243 KUH Perdata yang menentukan karakteristik wanprestasi disebabkan karena lalainya debitor (si berutang) untuk memenuhi prestasinya dan tenggang waktu yang telah lewat. Pasal 1243 KUH Perdata menentukan:

Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan, baru mulai diwajibkan apabila si berutang setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah melampauinya.

2

Ibid., hal. 269.

3

Yahman, Karakteristik Wanprestasi & Tindak Pidana Penipuan Yang Lahir Dari hubungan Kontraktual, (Jakarta: Prestasi Pustakaraya, 2011), hal. 77.

4

Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung: Binacipta, 1994), hal. 18.

5

M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1986), hal. 60.

6

(23)

Wanprestasi yang disebutkan di atas, merupakan ranah hukum perdata yang sesungguhnya tidak boleh digantikan dengan menuduhkan terhadap seseorang yang melakukan wanprestasi dalam hal ini berdasarkan hukum pidana melainkan harus berdasarkan hukum perdata. Lalu bagaimana jika salah satu pihak di dalam perjanjian yang telah disepakati dianggap telah melakukan wanprestasi kemudian oleh pihak lain diajukan tuntutan berdasarkan hukum pidana karena dianggap telah melakukan penipuan.

Dalam hal inilah yang menjadi sorotan penting di dalam kajian ini, bahwa tidak semua wanprestasi itu murni melanggar asas-asas hukum perdata, tetapi adakalanya seseorang “tampaknya” melakukan wanprestasi tetapi sebenarnya ia bukan melakukan wanprestasi melainkan ia melakukan suatu delik penipuan di dalam perjanjian yang telah disepakatinya.

Sesungguhnya jika membicarakan tentang wanprestasi, maka aspek ini merupakan murni masuk dalam ranah hukum privat (perdata). Jika membicarakan tentang delik penipuan, maka aspek ini merupakan murni masuk dalam ranah hukum pidana. Dalam praktik terdapat dua aspek hukum yaitu hukum perdata dan pidana yang menarik untuk dibahas lebih dalam ketika dikaitkan dengan masalah perjanjian.

(24)

KUH Pidana. Oleh karenanya kedua aspek tersebut tidak bisa dipertukarkan.7

Wanprestasi merupakan implikasi dari tidak dilaksanakannya kewajiban dalam perjanjian. Hak dan kewajiban itu timbul karena adanya perikatan dalam perjanjian yang sah menurut Pasal 1320 KUH Perdata.

Dengan kata lain kedua aspek ini harus dibedakan dan tidak bisa disatukan sama lain.

8

Barang siapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, baik dengan memakai nama palsu atau keadaan palsu, baik dengan akal dan tipu muslihat, maupun dengan karangan perkataan-perkataan bohong, membujuk orang supaya memberikan suatu barang, membuat atau menghapuskan piutang, dihukum karena penipuan, dengan hukuman penjara paling lama empat tahun.

Sedangkan delik penipuan di dalam Pasal 378 KUH Pidana memiliki rumusan sebagai berikut:

Jadi suatu perbuatan materiil dapat dinyatakan terbukti sebagai tindak pidana penipuan, jika perbuatan tersebut memenuhi unsur-unsur yang terdapat dalam rumusan Pasal 378 KUH Pidana tersebut di atas. Suatu perjanjian yang lahir oleh adanya tipu muslihat mengandung kehendak yang cacat, sehingga secara hukum tidak memiliki kekuatan mengikat bagi para pihak. Menurut Pasal 1321 KUH Perdata menentukan, “Tiada suatu persetujuan pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan”. Jika merujuk pada ketentuan ini, maka ada atau tidaknya unsur penipuan dalam suatu perjanjian harus

7

Yahman, Op. cit., hal. 20.

8

(25)

dilihat dari pada saat proses perjanjian itu dibuat, bukan pada saat terjadinya wanprestasi.9

Dari sisi lain merumuskan penipuan dalam perjanjian adalah sebagaimana dikatakan oleh J. Satrio, bahwa suatu perjanjian mengandung adanya unsur penipuan jika terdapat perbuatan dengan adanya akal salah satu pihak menanamkan suatu gambaran yang tidak benar tentang ciri objek perjanjian sehingga pihak yang lain tergerak memiliki kehendak untuk menutup perjanjian itu.10

Praktik dalam pelaksanaan perjanjian sering terjadi perbuatan wanprestasi (ingkar janji) di antara para pihak yang telah menyetujui perjanjian. Hak dan kewajiban dari salah satu pihak yang sudah disepakati bersama tidak dilaksanakan, akibatnya menimbulkan tidak terlaksananya prestasi. Dengan demikian akan muncul permasalahan hukum yang memerlukan penyelesaian melalui hakim pengadilan.

Adanya tindakan menanamkan suatu gambaran yang tidak benar tentang ciri objek perjanjian ketika dibuat perjanjian sudah memenuhi delik penipuan.

11

Praktek dalam penegakan hukum berkenaan dengan terjadinya wanprestasi terhadap klausula di dalam perjanjian, untuk memperoleh haknya, ada pihak yang berupaya memilih jalan pintas dengan cara melaporkan perkara wanprestasi perjanjian tersebut kepada Kepolisian dengan laporan delik penipuan telah terjadi di dalam perjanjian tersebut.

9

Ibid.

10

J. Satrio (I), Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995), hal. 350.

11

(26)

Ada beberapa hal yang menjadi motivasi orang (khususnya kreditor) untuk mengambil jalan pintas seperti itu dengan melaporkan debitor kepada Polisi, misalnya untuk sekedar ingin menakut-nakuti agar debitor mau melaksanakan prestasinya, ada pula motivasi ingin benar-benar memenjarakan debitor tersebut karena terlalu kesal dengan tindakan debitor yang selalu ingkar dari kewajibannya.12

Upaya yang ditempuh dengan cara melaporkan debitor kepada Polisi karena debitor tersebut wanprestasi dalam kondisi ini merupakan satu-satunya upaya terakhir yang berkemungkinan dapat mengembalikan hak-hak kreditor (si berpiutang) agar debitor (si berutang) tersebut melaksanakan kewajibannya. Jika kreditor kesulitan untuk meminta pelaksanaan prestasi dari pihak debitor, maka upaya inilah yang dapat ditempuh dengan tuduhan penipuan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 378 KUH Pidana.

Ternyata meskipun perjanjian sudah disepakati oleh para pihak, namun dalam praktek di pengadilan bisa pula dijatuhkan hukuman pidana oleh hakim pengadilan jika ternyata di dalam perjanjian tersebut terbukti terdapat pemenuhan unsur-unsur delik penipuan yang ada relevansinya dengan fakta-fakta di lapangan. Dalam kondisi ini wanprestasi berubah menjadi delik penipuan.

Seperti perkara perjanjian jual-beli alat-alat elektronik antara Terdakwa Kapang Jaya dan Saksi Korban Usin dalam Putusan Nomor: 3165/Pid.B/2010/PN. Mdn, majelis hakim menjatuhkan putusan dan menyatakan kepada Kapang Jaya terbukti melakukan tindak pidana penipuan sebagaimana yang diatur di dalam Pasal

12

(27)

378 KUH Pidana. Putusan Pengadilan Negeri Medan ini kemudian dikuatkan majelis hakim Pengadilan Tinggi dalam Putusan Nomor: 336/Pid/2011/PT-Mdn, dan juga dikuatkan Mahkamah Agung dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 688 K/Pid/2012.

Dalam perkara ini Kapang Jaya telah menandatangani 4 (empat) kali lembar faktur pembelian barang-barang eletronik tersebut yaitu:

1. Kapang Jaya telah menandatangani 1 (satu) lembar Faktur Nomor: FJ/10/00000000001860 pada tanggal 26 Januari 2010.

2. Kapang Jaya juga telah menandatangani 1 (satu) lembar Faktur Nomor: FJ/10/00000000001861 pada tanggal 27 Januari 2010.

3. Kapang Jaya juga telah menandatangani 1 (satu) lembar Faktur Nomor: FJ/10/00000000001868 pada tanggal 27 Januari 2010.

4. Kapang Jaya juga telah menandatangani 1 (satu) lembar Faktur Nomor: FJ/10/00000000001910 pada tanggal 28 Januari 2010.

Kapang Jaya berjanji kepada Usin akan membayar seluruh barang-barang yang dibelinya dari Usin tersebut pada tanggal 28 Januari 2010 bersamaan pada saat pengiriman barang-barang di tanggal 28 Januari 2010 tersebut. Akan tetapi Kapang Jaya tidak menepati janjinya dan meminta kepada Usin untuk pengunduran waktu pembayaran hingga berulang kali.

(28)

tujuh juta rupiah) karena telah melakukan order terhadap barang-barang elektronik milik Ho Kam Cheong tersebut, tetapi belum dibayar.

Usin terus melakukan penagihan, pada tanggal 07 Februari 2010 Kapang Jaya pernah membayar dengan cara memberikan 1 (satu) lembar bilyet giro Panin Bank Nomor: B-152251 sejumlah uang Rp.370.875.000,- (tiga ratus tujuh puluh juta delapan ratus tujuh puluh lima ribu rupiah) kepada Usin, namun bilyet giro ini ketika dikliringkan ternyata tidak bisa dicairkan di Panin Bank, kemudian dicoba dilakukan kliring di BCA Cabang Tanjung Morawa karena saldo dalam bilyet giro tidak cukup. Hingga sampai dilaporkannya kasus ini ke Polisi, Kapang Jaya belum pernah membayarkan uang yang telah dijanjikannya tersebut.

Akibat perbuatan Kapang Jaya tersebut mengalami kerugian bagi Usin sebesar Rp.370.875.000,- (tiga ratus tujuh puluh juta delapan ratus tujuh puluh lima ribu rupiah) dan Ho Kam Cheong sebesar Rp.37.000.000,- (tiga puluh tujuh juta rupiah). Setelah semua proses hukum dijalani di semua tingkat pengadilan, majelis hakim di semua tingkat pengadilan menjatuhkan putusan terhadap Kapang Jaya terbukti melanggar Pasal 378 KUH Pidana yaitu melakukan delik penipuan.

(29)

melaksanakan (mengerjakan) Proyek Konstruksi Gorong-Gorong di Bandung karena kekurangan dana.

Perjanjian dalam perkara ini ditandatangani oleh kedua belah pihak pada tanggal 25 November 2010. Sejumlah uang tersebut dikirimkan dengan cara transfer antar rekening. Saksi Korban Tri Budi Waluyo mengirimkan melalui transfer kepada Terdakwa Suwarno yang kemudian Suwarno akan melakukan transfer kepada anaknya yang bernama Farid. Namun ketika dilakukan acara pemeriksaan saksi, Farid tidak bisa menunjukkan bukti transfer dari Terdakwa Suwarni (Ayah Farid) dan Farid juga tidak bisa menunjukkan adanya bukti-bukti pelaksanaan pekerjaan Proyek Kontruksi Gorong-Gorong di Bandung.

Dari peristiwa pinjam-meminjam uang dalam perjanjian ini, Terdakwa Suwarno dijatuhkan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Sampang melanggar Pasal 378 KUH Pidana yaitu melakukan delik penipuan dengan maksud hendak menguntungkan dirinya sendiri atau orang lain dengan melawan hak, menggunakan tipu muslihat, perkataan-perkataan bohong, dengan cara membujuk seseorang untuk memberikan utang kepadanya.

(30)

membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Amurang Nomor: 46/Pid.B/2012/PN.Amg tanggal 18 September 2012 tersebut dan menyatakan Stevie Rondonuwu terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penipuan.

Perbuatan Terdakwa Kapang Jaya dan Terdakwa Suwarno serta Stevie Rondonuwu dalam putusan yang berbeda sebagaimana di atas, telah memenuhi rumusan delik penipuan di dalam Pasal 378 KUH Pidana. Jika ingin menjabarkan suatu rumusan delik atau tindak pidana (strafbaar feit) ke dalam unsur-unsurnya, maka yang mula-mula dijumpai adalah disebutkannya sesuatu tindakan pelaku, dengan tindakan itu seseorang telah melakukan sesuatu yang dilarang dalam undang-undang. Sesuatu tindakan itu dapat berupa een doen atau een niet doen atau dapat merupakan hal melakukan sesuatu ataupun tidak melakukan sesuatu, atau juga karena

een nalaten yaitu mengalpakan sesuatu yang diwajibkan undang-undang.13

Setiap tindak pidana yang terdapat dalam undang-undang (ketentuan pidana) tertentu dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur objektif. Lamintang membagi kedua unsur-unsur ini sebagai berikut:

14

Unsur-unsur subjektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah: 1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa) ;

2. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP ;

3. Macam-Macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahata-kejahatan pencurian , penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain;

4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang terdapat didalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP ;

13

P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Citra Adtya Bakti, 2011), hal. 193-194.

14

(31)

5. Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.

Unsur-unsur objektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah : 1. Sifat melanggar hukum atau wedderrechlijkheid ;

2. Kualitas dari si pelaku, misalnya keadaan sebagaai seorang pegawai negeri di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau “keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas “ didalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP;

3. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.

Berdasarkan hal-hal apa saja yang termasuk ke dalam unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur objektif sebagaimana tersebut di atas, yaitu unsur-unsur bersifat objektif adalah semua unsur yang berada di luar keadaan batin manusia/sipembuat , yakni semua unsur mengenai perbuatannya, akibat perbuatan dan keadaan-keadaan tertentu yang melekat (sekitar) pada perbuatan dan objek tindak pidana. Sementara itu, unsur yang bersifat subjektif adalah semua unsur yang mengenai batin atau melekat pada keadaan batin orangnya. 15

Pada hakikatnya setiap perbuatan pidana harus terdiri dari unsur-unsur lahir oleh karena perbuatan yang mengandung kelakuan dan akibat yang ditimbulkan karenanya yaitu suatu kejadian dalam alam lahir.

16

Menurut van Hamel unsur-unsur tindak pidana dibagi dalam dua golongan yakni pertama, mengenai diri orang yang melakukan perbuatan dan yang kedua mengenai di luar diri si pembuat.17

15

Adami Chazawi, Bagian ke-1, Pelajaran Hukum Pidana, (Jakarta: RajaGrafindo Persada 2007), hal. 83.

Unsur yang

16

Moeljatno (I), Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hal. 58.

17

(32)

pertama ini adalah sebagai unsur subjektif pelaku sedangkan unsur yang kedua ini adalah sebagai unsur objektif dari perbuatan si pelaku.18

Sehubungan dengan rumusan tindak pidana tersebut di atas, jika dikaitkan dengan perbuatan wanprestasi yang dianggap suatu delik penipuan, maka tidaklah mudah untuk menentukan kedua aspek ini, diperlukan suatu kecermatan untuk dapat membedakan kedua aspek ini. Walaupun kadang-kadang delik penipuan yang diadukan karena wanprestasi kepada Polisi didasarkan motivasi untuk menakut-nakuti, namun ada pula pengaduan delik penipuan benar-benar memenuhi rumusannya sebagaimana di dalam Pasal 378 KUH Pidana.

Tiga perkara tersebut di atas (perkara atas nama Terdakwa Kapang Jaya dan Terdakwa Suwarno dan Stevie Rondonuwu) merupakan perkara perjanjian yang mengarah pada delik penipuan dan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penipuan sebagaimana yang diancam di dalam Pasal 378 KUH Pidana. Namun berbeda halnya dalam perkara berikut ini bahwa Terdakwa Sundar Hariram dilaporkan ke Polisi karena melanggar Pasal 378 jo Pasal 65 KUH Pidana (primair) dan Pasal 379 huruf a KUH Pidana (subsidair) sebagaimana dalam dakwaan jaksa penuntut umum.

Hakim Pengadilan Negeri Surabaya menyatakan dalam Putusan Nomor: 1631/Pid.B/2003/PN.Sby menjatuhkan kepada Terdakwa Sundar Hariram tidak terbukti melanggar Pasal 378 jo Pasal 65 KUH Pidana, melainkan Terdakwa Sundar Hariram terbukti bersalah melakukan perbuatan sebagaimana dalam dakwaan

18

(33)

subsidair, akan tetapi menurut majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya perbuatan Terdakwa Sundar Hariram tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana (onslag) sehingga Sundar Hariram tersebut dilepaskan dari segala tuntutan hukum.

Majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya menjatuhkan putusannya yang demikian itu berarti perbuatan Terdakwa Sundar Hariram dinilai majelis hakim sebagai perbuatan ingkar janji (wanprestasi), tetapi tidak masuk dalam ranah hukum pidana, melainkan harus diselesaikan berdasarkan hukum perdata. Putusan Pengadilan Negeri Surabaya ini dikuatkan pula oleh Mahkamah Agung dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 208 K/Pid/2013 menyatakan Terdakwa Sundar Hariram tidak terbukti bersalah melanggar Pasal 378 KUH Pidana.

Pengadilan dalam perkara ini mempertimbangkan adanya hubungan dagang antara Terdakwa Sundar Hariram dengan para Saksi Korban yaitu: Saksi Korban Madan, Saksi Korban Arvinder, dan Saksi Korban Haresh Chandra. Bahwa perbuatan pembelian barang-barang yang belum dibayar oleh Terdakwa Sundar Hariram tersebut adalah merupakan perbuatan wanprestasi yang berada dalam domain hukum perdata.

(34)

Hubungan antara Terdakwa Sundar Hariram dengan para Saksi Korban adalah hubungan dagang jual-beli barang dan Terdakwa Sundar Hariram melakukan hubungan dagang dengan para Saksi Korban tersebut telah berjalan dengan lancar sejak tahun 2000 hingga April 2002. Oleh karena suatu saat hubungan dagang tersebut tidak berjalan dengan lancar pada pembelian barang yang belum dibayar oleh Terdakwa Sundar Hariram dan atas perbuatannya tersebut dikatakan sebagai perbuatan wanprestasi yang berada dalam domain hukum perdata, bukan domain hukum pidana. Inilah pendapat dua orang hakim Mahkamah Agung.19

Dalam perkara ini telah terjadi perbedaan pendapat (disenting opinion) antara dua orang hakim agung dengan satu orang hakim agung lainnya. Satu orang hakim agung lainnya tersebut justru berpendapat berbeda terhadap perbuatan Terdakwa Sundar Hariram tersebut dikatakannya masuk dalam ranah hukum pidana. Satu orang hakim agung ini mengatakan terhadap perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa Sundar Hariram tersebut tidak ada fakta yang menjelaskan ketidakmampuan Terdakwa Sundar Hariram membayar pemesanan barang tekstil dari para Saksi Korban karena adanya kondisi Terdakwa Sundar Hariram benar-benar tidak memiliki uang atau usahanya mengalami kebangkrutan dan Terdakwa Sundar Hariram pernah membayar utang-utang pembelian barang-barang dimaksud dengan memberikan bilyet giro kepada para Saksi Korban namun ternyata bilyet giro tersebut tidak bisa dicairkan dan ditolak oleh bank. Penolakan oleh bank itu karena sudah ditutup oleh

19

(35)

Terdakwa Sundar Hariram sendiri, sehingga dalam hal ini Terdakwa Sundar Hariram melakukan pembayaran dengan menggunakan cek kosong, oleh sebab itu hakim agung yang satu ini mengatakan perbuatan Terdakwa Sundar Hariram tersebut masuk dalam ranah hukum pidana yakni delik penipuan.20

Kemudian dalam Putusan Pengadilan Negeri Banyuwangi Nomor: 344/Pid.B/1999/PN,Bwi tertanggal 11 Maret 2000 menyatakan terhadap Nastak Hendriono tidak terbukti melakukan semua tindak pidana yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum (dakwaan pertama Pasal 372 KUH Pidana dan dakwaan kedua Pasal 378 KUH Pidana). Kemudian dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1811/K/Pid/2001 tanggal 16 April 2007, permohonan kasasi dari JPU ditolak oleh MA (tidak diterima oleh MA).

Selanjutnya perkara perjanjian yang diputus onslag oleh pengadilan juga terdapat dalam Putusan Pengadilan Negeri Makassar Nomor: 1349/Pid.B/2008/PN.Mks tanggal 12 November 2012 menyatakan terhadap Ina Malombasi terbukti melakukan perbuatan yang diancam di dalam Pasal 378 KUH Pidana (dakwaan pertama) dan Pasal 372 KUH Pidana (dakwaan kedua), tetapi perbuatan itu bukan merupakan tindak pidana. Kemudian atas permohonan kasasi dari JPU ditolak oleh MA sebagaimana dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1905K/Pid/2010 tanggal 27 April 2011.

Hal yang serupa juga terjadi dalam Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor: 2.533/Pid.B/2013/PN.Mdn tanggal 3 April 2014, yang memutuskan atas perbuatan

20

(36)

yang didakwakan terhadap Billu terbukti melanggar Pasal 378 KUHP dan Pasal 372 KUHP, tetapi perbuatan itu bukan merupakan perbuatan tindak pidana (onslag) dan melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum.

Dari uraian perkara-perkara tersebut di atas, sesungguhnya harus dapat dibedakan karakteristik perbuatan mana yang termasuk sebagai wanprestasi dalam ranah hukum privat (perdata) dan mana perbuatan termasuk sebagai delik penipuan dalam ranah hukum pidana. Penting pula untuk diketahui dan harus bisa dibedakan antara perbuatan wanprestasi dan perbuatan penipuan dalam kaitannya dengan perjanjian.

Oleh sebab itu, pembedaan ini menjadi sorotan penting dan sangat menarik untuk dibuat penelitiannya, agar semua orang tahu bedanya, akibat-akibat hukumnyanya, khususnya untuk aparat penegak hukum. Maka dalam penelitian ini dipilih, “Perbedaan Antara Wanprestasi dan Delik Penipuan Dalam Hubungan Perjanjian”, sebagai judul di dalam penelitian ini.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian tersebut di atas, menjadi sorotan penting di dalam kajian ini, sehingga dirumuskan dua permasalahan penting yang diteliti di dalam penelitian ini, yaitu :

(37)

2. Bagaimanakah penerapan perbuatan wanprestasi dan delik penipuan di dalam praktik di pengadilan?

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dilakukan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan memahami karakteristik yang membedakan antara perbuatan wanprestasi dengan delik penipuan dalam suatu perjanjian.

2. Untuk mengatahui dan menganalisis penerapan perbuatan wanprestasi dan delik penipuan di dalam praktik di pengadilan.

D. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini dapat memberikan sejumlah manfaat yang berguna baik secara teoritis maupun praktis, antara lain:

1. Secara teoritis, penelitian ini bermanfaat membuka wawasan dan paradigma berfikir dalam memahami dan menganalisis permasalahan hukum antara perbuatan wanprestasi dalam perjanjian dan delik penipuan dalam perjanjian. Penelitian ini juga bermanfaat menjadi bahan referensi bagi para peneliti selanjutannya dalam memperkaya referensi kajian terhadap wanprestasi dan delik penipuan.

(38)

termasuk wanprestasi dan mana yang masuk kategori delik penipuan. Demikian pula manfaat itu sangat berguna bagi hakim-hakim pengadilan yang berperan penting dalam mengadili gugatan wanprestsi maupun menjatuhkan pidana terkait dengan delik penipuan, sehingga mengetahui dan memahami kedua aspek ini adalah berbeda satu sama lain.

E. Keaslian Penelitian

Untuk menghindari terjadinya plagiat terhadap karya ilmiah antara karya penelitian ini dengan karya milik orang lain, maka sebelumnya, telah dilakukan penelusuran di perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan di perpustakaan Pascasarjana Ilmu Hukum USU. Hasil penelusuran ditemukan beberapa judul dan permasalahan tesis berikut ini:

1. Tesis karya atas nama Rizaldi NIM: 097005037 berjudul “Tanggung Jawab Bank Atas Bank Garansi Dalam Hal Wanprestasinya Principal”. Fokus kajian permasalahan dalam tesis ini adalah mengenai tanggung jawab bank pemberi bank garansi sehubungan dengan terjadinya wanprestasi (ingkar janji) dari pihak ketiga atau pihak yang menerima bank garansi. Karya ini murni masih mengkaji aspek hukum perdata dari wanprestasi, sedangkan aspek pidana sama sekali tidak dibahas dalam penelitian ini.

(39)

kajian permasalahan dalam tesis ini adalah tanggung jawab para pihak dalam hal terjadinya wanprestasi khususnya wanprestasi atas kontrak kontruksi. Karya ini juga murni masih mengkaji aspek hukum perdata dari wanprestasi saja, bukan mengkaji pada aspek pidana.

Sedangkan judul penelitian ini yang akan dibahas adalah “Perbedaan Antara Wanprestasi dan Delik Penipuan Dalam Hubungan Perjanjian” dengan fokus permasalahan yang dibahas adalah:

1. Bagaimanakah karakteristik yang membedakan antara perbuatan wanprestasi dengan delik penipuan dalam suatu perjanjian?

2. Bagaimanakah penerapan perbuatan wanprestasi dan delik penipuan di dalam praktik di pengadilan?

Dari perbandingan rumusan permasalahan dan judul di atas jelas sekali penelitian sebelumnya dengan penelitian ini, menunjukkan perbedaan yang sangat signifikan. Berarti penelitian ini menunjukkan keaslian. Terhadap judul dan rumusan masalah di dalam penelitian ini tidak ada memiliki kemiripan dengan judul dan permasalahan penelitian sebelumnya, sehingga penelitian ini dikatakan sebagai penelitian yang asli dan jauh dari unsur plagiat terhadap karya tulis orang lain.

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional 1. Kerangka Teori

(40)

menganalisis permasalahan wanprestasi dalam perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak, sedangkan teori perbuatan pidana digunakan untuk menganalisis permasalahan tentang delik penipuan dalam perjanjian. Apakah suatu perbuatan wanprestasi masuk dalam ranah hukum privat atau masuk dalam ranah hukum pidana, akan dikaji berdasarkan kerangka teoritis berikut ini.

Roscoe Pound, mengatakan suatu kesepakatan mengikat karena memang merupakan keinginan para pihak yang menginginkan kesepakatan itu mengikat. Para pihak sendirilah yang pada intinya menyatakan kehendaknya untuk mengikatkan diri.21 Kata sepakat antara subjek terjadi secara disadari antara yang satu dengan yang lain, dan diantaranya saling mengikatkan diri sehingga subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga dengan subjek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati para pihak.22

Dalam teori kesepakatan, kata sepakat, merupakan hal yang paling penting. George W. Paton, menyebut, kehendak yang “senyatanya” bukan kehendak yang “dipernyatakan” sebagaimana disebutnya, “a secret mental reservation should be a bar to enforcement since the test is the real will and not the will as declared”.23

21

Huala Adolf, Dasar-dasar Hukum Kontrak Internasional, (Bandung: Refika Aditama, 2007), hal. 18.

Kehendak tersebut harus diberitahukan pada pihak lain, tidak menjadi soal apakah disampaikan secara lisan maupun tertulis, bahkan dengan bahasa isyarat sekalipun

22

Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, Cet. Kedua, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), hal. 41-42.

23

(41)

atau dengan cara membisu sekalipun tetap dapat terjadi perjanjian asal ada kata sepakat.24

Hal ini berarti kata sepakat tidak hanya ”kesesuaian” kehendak antar para pihak yang berjanji saja, tetapi juga menyangkut kehendak dan pernyataan dari kehendak para pihak itu harus sesuai, atau persesuaian kehendak, dan tidak sekedar persesuaian sehingga tidak timbul cacat kehendak. Konsekuensi adanya kesepakatan untuk mengikatkan diri bahwa semua pihak telah menyetujui materi yang diperjanjikan, tidak ada paksaan atau di bawah tekanan.

R. Wirjono Prodjodikoro, ”kalau seseorang berjanji melaksanakan sesuatu hal, maka janji ini dalam hukum pada hakikatnya ditujukan kepada orang lain”.25

Pemenuhan kewajiban terhadap suatu janji, misalnya contoh seorang A dan seorang B membuat perjanjian jual-beli bilamana A adalah penjual dan B adalah pembeli serta barang yang dibeli adalah suatu lemari tertentu yang berada di dalam rumah penjual A. Harga pembelian sudah dibayar, tetapi sebelum lemari diserahkan kepada B, ada pencuri yang mengambil lemari tersebut, sehingga lemari tersebut berada di tangan seorang C. Dalam contoh ini B tetap berhak menuntut kewajiban A untuk menyerahkan lemari itu kepada B, dan A tidak dapat beralasan tidak bisa Bahwa sifat pokok dari perjanjian adalah hubungan hukum antara orang-orang berdasarkan atas suatu janji, wajib untuk melakukan sesuatu hal, dan orang lain tentu berhak menuntut pelaksanaan suatu janji itu.

24

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, (Yogyakarta: Liberty, 2004), hal. 98.

25

(42)

menyerahkannya karena lemari tersebut dicuri oleh C kepada B,26

R. Wirjono Prodjodikoro, juga mengatakan, ”berjanji sesuatu berarti mengikatkan diri secara membebankan pada diri sendiri suatu kewajiban untuk melaksanakan sesuatu”.

kecuali sesuatu hal yang disebabkan oleh kejadian alam yang tak terduga oleh kemampuan berfikir manusia.

27

Berarti perjanjian menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak. Subekti mengungkapkan bahwa “..Perikatan yang lahir dari perjanjian memang dikehendaki oleh dua orang atau dua pihak yang membuat suatu perjanjian…”.28

Teori hukum perjanjian yang tradisional menurut Suharnoko, mempunyai karakter yang menekankan pentingnya kepastian hukum dan predictability.

Berarti hak dan kewajiban yang telah disepakati oleh para pihak merupakan kehendak dan pilihan bebas dari para pihak untuk menentukan isi perjanjian.

29

Fungsi utama perjanjian harus memberikan kepastian hukum bagi para pihak bilamana syarat-syarat sah perjanjian sudah terpenuhi. Menyangkut kepastian hukum ini, menurut Tan Kamello, meliputi dua hal, pertama, kepastian dalam perumusan norma dan prinsip-prinsip hukum, dan kedua kepastian dalam melaksanakan norma-norma dan prinsip-prinsip hukum tersebut.30

26

Ibid.

27

Ibid., hal. 42.

28

Subekti, Op. cit, hal. 3.

29

Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisis Kasus, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2004), hal. 23.

30

(43)

Teori hukum perjanjian yang modern menurut Suharnoko justru mempunyai kecenderungan untuk mengabaikan formalitas kepastian hukum demi tercapainya keadilan yang substansial.31

Consideration dan promisory estoppel merupakan dua prinsip dasar hukum perjanjian dalam tradisi common law. Suatu janji tanpa consideration tidak mengikat dan tidak dapat dituntut pelaksanaannya. Suatu janji untuk memberikan sesuatu secara cuma-cuma seperti hibah tidak mengikat karena tidak ada consideration. Jadi

consideration merupakan kontra prestasi yang berupa janji, harga, atau perbuatan. Penerapan doktrin consideration dapat berakibat suatu janji/kontrak tidak dapat dituntut pemenuhannya secara hukum karena alasan yang sifatnya teknis.

Pengecualian atas berlakunya doktrin consideration dan penerapan doktrin promisory estoppel serta asas itikad baik dalam perjanjian adalah contoh dari teori hukum perjanjian yang modern.

Untuk mengatasi kekuatan doktrin consideration, pengadilan di Inggris dan Amerika Serikat, membuat doktrin promissory estoppel. Paul Latimer mengatakan,

promissory estoppel ini adalah suatu doktrin hukum yang mencegah seseorang pemberi janji (promisor) untuk menarik kembali janjinya, dalam hal pihak yang menerima janji (promisee) karena kepercayaannya terhadap janji tersebut telah melakukan sesuatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu, sehingga penerima janji (promisee) akan menderita kerugian jika pemberi janji (promisor) diperkenankan untuk menarik janjinya itu.32

31

Suharnoko, Loc. cit.

32

(44)

Perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata, adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Ikat-mengikat dalam suatu janji menurut perspektif hukum perdata dikenal dengan istilah verbintenis, yang meliputi tiga terjemahan yaitu perikatan, perutangan, dan perjanjian. Sedangkan overeenskomst ada dua terjemahan yaitu perjanjian dan persetujuan. Overeenskomst inilah yang diterjemahkan sebagai perjanjian.33

Dirumuskan secara normatif di dalam Pasal 1320 KUH Perdata, bahwa sahnya suatu perjanjian harus memenuhi 1) kata sepakat bagi mereka yang mengikatkan diri, 2) kecakapan untuk membuat perjanjian, 3) sesuatu hal tertentu, dan 4) sesuatu sebab yang diperbolehkan oleh hukum. Syarat pertama dan kedua merupakan syarat subjektif sedangkan dua syarat yang terakhir merupakan syarat objektif.34

Jika tidak terpenuhi syarat subjektif perjanjian, maka perjanjian itu dapat dibatalkan. Jika tidak terpenuhi syarat objektif perjanjian, maka perjanjian itu terancam batal demi hukum.

35

Kecakapan merupakan unsur subjektif sahnya perjanjian. Orang yang sudah dewasa, dan sehat pikirannya merupakan orang yang cakap menurut hukum.36

33

Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009), hal. 41.

Ada pula hal yang diperjanjikan menyangkut obyek tertentu dan objek itu harus jelas. Dilakukan pula atas sebab yang halal, dengan itikad baik bukan ditujukan untuk suatu kejahatan.

34

Yahman, Op. cit., hal. 31.

35

Ibid., hal. 32.

36

(45)

Dalam teori kesepakatan melahirkan sebuah asas terpenting yaitu asas kebebasan para pihak untuk menentukan apa saja yang akan disepakati yang dengan pengertian lain disebut dengan asas kebebasan berkontrak, yang berarti para pihak bebas untuk membuat perjanjian dengan bentuk atau format apapun serta isi atau substansinya sesuai dengan yang dikehendaki para pihak.37

Asas kebebasan berkontrak dilatarbelakangi oleh paham individualisme yang secara embrional lahir dalam zaman Yunani, yang diteruskan oleh kaum Epicuristen

dan berkembang pesat dalam zaman renaissance melalui ajaran-ajaran Hugo de Grecht, Thomas Hobbes, John Locke dan J.J. Rosseau.

38

Perkembangan ini mencapai puncaknya setelah revolusi Perancis muncul bersamaan dengan lahirnya paham ekonomi klasik yang menggunakan persaingan bebas (laissez faire).39

Setiap orang bebas menentukan kehendaknya dalam suatu perjanjian, menentukan kewajiban masing-masing pihak untuk memberikan sesuatu dan/atau untuk tidak melakukan sesuatu (prestasi). Sebagai kesepakatan yang dibuat dengan sengaja, atas kehendak para pihak secara sukarela, maka segala sesuatu yang telah disepakati, disetujui oleh para pihak harus dilaksanakan oleh para pihak sebagaimana telah dikehendakinya, maka dalam hal salah satu pihak melakukan wanprestasi

37

Agus Yudha Hernoko, Op. Cit., hal. 110.

38

Salim H.S., Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Cet. II, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal. 9.

39

(46)

(ingkar janji) terhadap perjanjian, pihak lain berhak untuk memaksakan tuntutan akan haknya melalui mekanisme dan jalur hukum yang berlaku.40

Suatu perjanjian pasti memiliki konsekuensi hukum atau akibat hukum dari perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak menimbulkan prestasi (hak dan kewajiban). Jika prestasi tersebut tidak dilaksanakan maka inilah yang dinamakan ingkar janji (wanprestasi) dan bagi pihak yang melanggar memperoleh sanksi sebagai akibat pelanggaran itu berupa ganti rugi yang dialami oleh mitranya sebagai akibat dari tindakan wanpretasi tersebut.41 Melalui suatu perjanjian menjadi jembatan bagi para pihak dalam suatu aktivitas dagang atau bisnis. Oleh karena itu, perjanjian menjadi suatu sumber hukum yang penting dalam pembangunan hukum.42

Namun kadang-kadang dalam suatu perjanjian bisa mengarah pada perbuatan pidana seperti delik penipuan, atau mungkin di dalam perjanjian itu tidak terdapat unsur delik penipuan tetapi di dalam praktik ternyata aktualisasi dari perjanjian itu diwujudkan oleh salah satu pihak yang mengarah pada delik penipuan. Oleh sebab itu, sebagai teori yang kedua dalam penelitian ini digunakan teori tentang perbuatan melawan hukum.

Penipuan merupakan tindak pidana sehingga disebut delik penipuan. Seseorang dapat disebut telah melakukan tindak pidana penipuan, jika rumusan tindak pidana penipuan telah terpenuhi oleh si pembuat. Istilah het strafbare feit telah

40

Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, (Jakarta: RajaGrafinda Persada, 2003), hal. 59.

41

Pasal 1243 KUH Perdata, wanprestasi atau lalai dalam melaksanakan kewajiban (prestasi) yang telah disepakati dalam perjanjian.

42

(47)

diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai: perbuatan yang dapat/boleh dihukum, peristiwa pidana, perbuatan pidana, dan tindak pidana.43

Undang-undang menggunakan istilah strafbaar feit yang menurut P.A.F. Lamintang untuk menyebut tindak pidana.44 Simons merumuskan een strafbaar feit

adalah suatu handeling (tindakan/perbuatan) yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan dengan hukum (onrechtmatig) dilakukan dengan kesalahan (schuld) oleh seorang yang mampu bertanggung jawab”.45

Simon dan van Hattum menggunakan tindak pidana dalam merumuskan

strafbaar feit. Sedangkan Moeljatno menyebut strafbaar feit sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa melanggar larangan tersebut. Dari uraian tersebut terlihat Moeljatno menggunakan perbuatan pidana untuk merumuskan

strafbaar feit.46

Berdasarkan beberapa pendapat ahli tersebut, dapat dipahami mengenai perumusan tindak pidana atau delik penipuan, terpenuhinya suatu perbuatan yang melawan hukum. Dikatakan sebagai perbuatan pidana, unsur-unsur atau elemen-elemen yang harus ada dalam suatu perbuatan pidana adalah: terdapat kelakuan dan akibat dari perbuatan, hal atau keadaan-keadaan yang menyertai perbuatan, keadaan

43

SR. Sianturi, Tindak Pidana di KUH Pidana, (Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1983), hal. 204.

44

P.A.F. Lamintang, Op. cit, hal. 172.

45

Simon dalam S.R. Sianturi, Op cit., hal. 205.

46

(48)

tambahan yang memberatkan pidana, unsur melawan hukum yang objektif, dan unsur melawan hukum yang subjektif.47

Sifat melawan hukum sebagai suatu penilaian objektif terhadap perbuatan dan bukan terhadap si pembuat (subjektif). Dikatakan sebagai sifat melawan hukum secara formil apabila suatu perbuatan telah mencocoki semua unsur yang termuat dalam rumusan delik. Jika ada alasan-alasan pembenar, alasan-alasan tersebut harus juga disebutkan secara tegas dalam undang-undang. Melawan hukum sama dengan melawan undang-undang (hukum tertulis). Dikatakan sebagai sikap melawan hukum secara materil disamping memenuhi syarat-syarat formil, perbuatan itu harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut atau tercela dan telah dilarang oleh hukum.48

Menurut Moeljatno, sifat melawan hukum dibagi dua yakni melawan hukum subjektif dan melawan hukum objektif. Sifat melawan hukum subjektif bergantung pada bagaimana sikap batin si pelaku. Sedangkan sifat melawan hukum objektif bergantung pada pelaksanaan perbuatan yang dilarang oleh hukum.

49

Sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid)50

47

Moeljatno (II), Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), hal. 63.

ada dua yaitu bersifat melawan hukum formal dan bersifat melawan hukum materil. Sifat melawan hukum formal

48

E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1982), hal. 125 dan hal. 142.

49

Moeljatno (III), Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), hal. 69.

50

(49)

dilihat dari dilarangnya suatu perbuatan oleh undang-undang, maka pada setiap delik sudah dengan sendirinya terdapat sifat melawan hukum sedangkan sifat melawan hukum materil dilihat dari sikap batinnya pelaku, maka pada setiap delik dianggap ada unsur sifat melawan hukum, harus dibuktikan.51

Melawan hukum yang dimaksud adalah melawan isi perjanjian yang telah disepakati para pihak. Orang yang dikenai pidana harus mempunyai kesalahan (asas tiada pidana tanpa kesalahan). Kesalahan itu sendiri terdiri dari kesalahan yang disebabkan secara sengaja dan yang disebabkan karena kelalaian dalam melaksanakan isi perjanjian. Pelaku delik penipuan baru dapat dipidana jika ia dapat bertanggung jawab dalam artian berfikiran waras.

Jika ingin merumuskan perbuatan wanprestasi masuk dalam delik penipuan, maka unsur-unsurnya harus memenuhi rumusan unsur-unsur delik penipuan sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 378 KUH Pidana. Unsur yang pertama yaitu melawan hukum. Unsur melawan hukum dapat memiliki dua pengertian yaitu secara formal dan materiil, yang masuk kategori melawan hukum secara formal yaitu, melakukan sesuatu terbatas pada yang dilarang oleh undang-undang.52 Sedangkan yang dimaksud dengan melawan hukum secara materil adalah melakukan sesuatu yang dilarang dalam perundang-undangan maupun berdasarkan asas hukum yang tidak tertulis.53

51

Ibid., hal. 147-148.

52

J.M. van Bemmelen, Hukum Pidana I: Hukum Pidana Material Bagian Umum, Diterjemahkan oleh Hasan (tanpa tempat: Bina Cipta, 1984), hal. 102-103.

53

(50)

Pencantuman unsur melawan hukum dalam suatu tindak pidana berpengaruh pada proses pembuktian. Apabila dalam suatu pasal secara nyata terdapat unsur melawan hukum, maka penuntut umum harus membuktikan unsur tersebut, jika unsur tersebut tidak terbukti maka putusannya vrijspraak atau putusan bebas. Sedangkan, jika unsur melawan hukum tidak secara tegas merupakan unsur dari suatu tindak pidana maka tidak terbuktinya unsur tersebut menyebabkan putusannya lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van rechtverfolging).54

Selain karena melawan hukum, unsur yang kedua, yaitu unsur kesalahan (schuld). Adagium mengatakan, geen straf zonder schuld (tiada hukuman tanpa kesalahan), ini berarti orang yang dihukum harus terbukti bersalah secara pidana. Kesalahan mengandung dua pengertian, dalam arti sempit yang berarti kesengajaan (dolus/opzet) yang berarti berbuat dengan kehendak dan maksud atau dengan menghendaki dan mengetahui (willen en wetens), sedangkan dalam arti luas berarti

dolus dan culpa.

55

Kelalaian atau kealpaan (culpa) bilamana pada diri pelaku terdapat kekurangan pemikiran, kekurangan pengetahuan, dan unsur yang ketiga yaitu pertanggungjawaban subjek. Sesuatu dapat dikatakan sebagai tindak pidana apabila ada subjek (pelaku) dari tindak pidana itu sendiri. Agar pelaku itu dapat dipidana,

54

Ibid.

55

(51)

maka dalam diri pelaku secara subjek tidak terdapat dasar penghapus pidana, baik dasar pembenar maupun dasar pemaaf. kekurangan kebijaksanaan yang diperlukan.56

Dengan demikian sesuai dengan rumusan unsur-unsur pidana jika dikaitkan dengan delik penipuan dalam perjanjian, maka pelaku harus memenuhi rumusan unsur-unsur pidana penipuan sebagaimana yang telah ditentukan di dalam Pasal 378 KUH Pidana. Tetapi jika, rumusan ini tidak terbukti, maka kemungkinan yang menjadi pertimbangan adalah perbuatan wanprestasi tersebut masuk dalam ranah hukum perdata bukan dalam ranah hukum pidana.

2. Landasan Konsepsional

Tujuan menggunakan landasan konsepsional di dalam suatu penelitian adalah untuk menyatukan persepsi mengenai penggunaan istilah-istilah yang dipergunakan. Sehingga semua orang dapat dengan mudah mengetahui dan memahami maksud suatu istilah yang digunakan. Konsepsi di dalam penelitian ini adalah:

a. Perjanjian adalah perjanjian antara para pihak sebagaimana dimaksud perjanjian di dalam KUH Perdata (perjanjian perdata).

b. Wanprestasi adalah perbuatan ingkar janji yang telah disepakati di dalam perjanjian perdata.

c. Penipuan adalah perbuatan pidana sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 378 KUH Pidana yakni perbuatan dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, baik dengan memakai nama palsu atau keadaan palsu, baik dengan akal dan tipu muslihat, maupun dengan

56

(52)

karangan perkataan-perkataan bohong, membujuk orang supaya memberikan suatu barang, membuat atau menghapuskan piutang, dihukum karena penipuan.

d. Karakteristik adalah ciri-ciri perbuatan wanprestasi dan ciri-ciri perbuatan pidana (delik) penipuan.

e. Perbedaan adalah perbedaan antara wanprestasi dalam perjanjian yang masuk dalam ranah hukum privat (perdata) dan wanprestasi dalam perjanjian yang masuk dalam ranah hukum publik (pidana).

f. Putusan adalah Putusan Pengadilan sebagaimana dalam putusan atas perkara terhadap Kapang Jaya, Suwarno, Stevie Rondonuwu, Sundar Hariram, Nastak Hendriono, Billu, dan Ina Malombasi.

Jika terdapat istilah-istilah sebagaimana tersebut di atas di dalam penelitian

Gambar

Tabel 1 Perbedaan Hukum Publik dan Hukum Privat
Tabel 2 Perbedaan Antara Perjanjian dan Perikatan
Tabel 3 Kelemahan Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan perumusan strategi yang telah dilakukan menggunakan tiga alat bantu (matriks SWOT, matriks IE, matriks grand strategy ), maka alternatif strategi yang

Pada Tabel 1 terlihat jelas bahwa pada jarak pertama kali pesawat menerima sinyal dari DVOR yaitu jarak 315 kilometer, nilai atenuasi yang diterima adalah

Abstrak: Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas yang bertujuan untuk memperbaiki proses pembelajaran dan meningkatkan hasil belajar matematika peserta

pertanggungjawaban mengenai Pengelolaan Keuangan Desa di desa-desa Kecamatan Simpang Rimba Kabupaten Bangka Selatan Tahun 2016, maka dari itu peneliti tertarik untuk

kayak dulu suka sama cowok. Makanya

Analisis hubungan antara biomassa di atas permukaan tanah dengan nilai digital masing – masing band pada citra Landsat 8 yang telah dilakukan fusi citra dengan menggunakan

Locus of control internal yang dimiliki oleh individu menyebabkan individu akan melakukan tindakan etis dibandingkan individu yang memiliki locus of control

Basalt tholeitik adalah tipe basalt yang lewat jenuh yang lewat jenuh (oversaturated) dengan silika, sedang basalt alkali.. (oversaturated) dengan silika, sedang basalt alkali