• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDUGAAN BIOMASSA ATAS TEGAKAN DI HUTAN RAKYAT MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT 8 (Studi Kasus di Asosiasi Petani Hutan Rakyat Wonosobo) LILA JUNIYANTI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENDUGAAN BIOMASSA ATAS TEGAKAN DI HUTAN RAKYAT MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT 8 (Studi Kasus di Asosiasi Petani Hutan Rakyat Wonosobo) LILA JUNIYANTI"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

PENDUGAAN BIOMASSA ATAS TEGAKAN DI HUTAN

RAKYAT MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT 8

(Studi Kasus di Asosiasi Petani Hutan Rakyat Wonosobo)

LILA JUNIYANTI

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pendugaan Biomassa Atas Tegakan di Hutan Rakyat Menggunakan Citra Landsat 8 (Studi Kasus di Asosiasi Petani Hutan Rakyat Wonosobo) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2014 Lila Juniyanti NIM E14100018

(4)

ABSTRAK

LILA JUNIYANTI. Pendugaan Biomassa Atas Permukaan di Hutan Rakyat Menggunakan Citra Landsat 8 (Studi Kasus di Asosiasi Petani Hutan Rakyat Wonosobo). Dibimbing oleh MUHAMMAD BUCE SALEH.

Landsat 8 merupakan satelit pemantau sumberdaya alam yang memiliki saluran pankromatik resolusi spasial 15 m x 15 m, saluran multispektral dengan resolusi spasial 30 m x 30 m, dan saluran termal dengan resolusi spasial 100 m x 100 m . Oleh karena itu diperlukan fusi untuk menghasilkan data citra dengan resolusi spektral sekaligus spasial yang tinggi dari saluran pankromatiknya. Teknik fusi citra yang diuji adalah teknik Principal Component, Multiplicative dan Brovey Transform.

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh model pendugaan biomassa dengan menggunakan teknk fusi citra dan menghasilkan peta sebaran biomassa berdasarkan model terpilih. Perhitungan biomassa dilakukan dengan menggunakan alometrik, koefisien BEF (Biomass Ekspansion Factor) dan destruktif. Pemilihan model terbaik dilakukan berdasarkan parameter uji-F, nilai koefisien determinasi terkoreksi (R2adj) dan nilai RMSE.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa teknik fusi citra tidak memperbaiki hubungan antara nilai digital dengan biomassa di lapangan dibandingkan dengan citra asli. Oleh karena itu, band asli citra digunakan untuk menduga biomassa di lapangan. Model terpilih yang digunakan sebagai dasar pemetaan sebaran kelas biomassa adalah model eksponensial pada citra tanpa fusi Y = Exp 704 + 0,00533 band 2 - 0,00161 band 7 - 0,140 band 9 - 0,00104 band 10

dengan nilai R2adj sebesar 16.2% dan RMSE sebesar 1.37 pada VIF kurang dari 5. Hasil dari evaluasi akurasi menunjukkan nilai Overall accuracy sebesar 47.92% dan nilai Kappa Accuracy sebesar 21.26% pada pemetaan dengan 3 kelas.

Kata kunci : Fusi citra, Principal Component, Multiplicative, Brovey Transform , Biomassa, Landsat 8, Nilai digital

ABSTRACT

LILA JUNIYANTI. Above-Ground Biomass Estimation in Private Forest using Landsat 8 imagery (Case Study at Association of Private Forest Farmers Wonosobo). Supervised by MUHAMMAD BUCE SALEH.

Landsat 8 is a satellite used to monitor natural resources. This satellite has a panchromatic band of 15 m x 15 m, with a spatial resolution multispectral band of 30 m x 30 m, and a thermal band with a spatial resolution of 100 m x 100 m. Therefore, it requires a fusion to produce image data with a spectral resolution as well as its high spatial panchromatic image. The image fusion technique tested was the technique of Principal Component, Multiplicative and Brovey Transform.

This study aimed to obtain a biomass estimation model using an image fusion technique and to produce a biomass distribution map based on the model

(5)

chosen. Biomass calculation was carried out using allometric, coefficient of BEF (Biomass Expansion Factor) and destructive method. The selection of the best model was conducted based on F-test parameter, coefficient value of determination corrected (R2adj) and RMSE value.

The research result showed that the image fusion technique did not improve the relationship between the digital number and the biomass in the field compared to the original image. Therefore, the band original image was used to estimate the biomass in the field. The selected model used as the basis for mapping the distribution of biomass class was the exponential model on the image without fusion Y = Exp 704 + 0,00533 band 2 - 0,00161 band 7 - 0,140 band 9 - 0,00104 band 10 with an R2adj value of 16.2% and RMSE 1.37 on the VIF less than 5. The accuracy evaluation result showed that the Overall accuracy value was 47.92% and the Kappa accuracy value was 21.26% on the mapping with 3 classes.

Keywords : Image fusion, Principal Component, Multiplicative, Brovey Transform , Biomass, Landsat 8, Digital number

(6)
(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada

Departemen Manajemen Hutan

PENDUGAAN BIOMASSA ATAS TEGAKAN DI HUTAN

RAKYAT MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT 8

(Studi Kasus di Asosiasi Petani Hutan Rakyat Wonosobo)

LILA JUNIYANTI

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(8)
(9)

Judul Skripsi : Pendugaan Biomassa Atas Tegakan di Hutan Rakyat Menggunakan Citra Landsat 8 (Studi Kasus di Asosiasi Petani Hutan Rakyat Wonosobo)

Nama : Lila Juniyanti NIM : E14100018

Disetujui oleh

Dr Ir M. Buce Saleh, MS Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Ahmad Budiaman, M Sc F Trop Ketua Departemen

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2014 ini ialah pendugaan biomassa, dengan judul Pendugaan Biomassa Atas Tegakan di Hutan Rakyat Menggunakan Citra Landsat 8 (Studi Kasus di Asosiasi Petani Hutan Rakyat Wonosobo).

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir M. Buce Saleh, MS selaku pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan dalam menyelesaikan penelitian ini. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Nisro selaku ketua APHR Wonosobo yang telah memberikan izin pelaksanaan penelitian pada hutan rakyat tersebut. Bapak Mulyadi selaku pengurus APHR Wonosobo yang telah membimbing dan membantu selama pengumpulan data. Ucapa terima kasih juga penulis sampaikan kepada Pak Uus dan seluruh keluarga besar Remote Sensing dan GIS atas arahannya dalam menyelesaikan penelitian ini. Selain itu, ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada ayah (Turino) dan ibu (Siti Jami’ah), serta seluruh keluarga, atas segala dukungan, doa dan kasih sayangnya. Terima kasih kepada teman-teman FORCI, DMNH angkatan 47 dan kakak-kakak DMNH angkatan 46 yang selalu memberikan dukungan dan bantuan sampai terselesaikannya karya ilmiah ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2014 Lila Juniyanti

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xii

DAFTAR GAMBAR xii

DAFTAR LAMPIRAN xii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 1

Manfaat Penelitian 2

METODE 2

Waktu dan Lokasi 2

Alat dan Data 2

Tahapan Pelaksanaan 2

HASIL DAN PEMBAHASAN 8

Hasil Pengolahan Data Lapangan 8

Hasil fusi citra Citra Landsat 8 10

Penyusunan Model Pendugaan Biomassa 14

Pemilihan Model Terbaik 16

Pembuatan Peta Sebaran Biomassa dan Analisis Akurasi 17

SIMPULAN DAN SARAN 19

Simpulan 19

Saran 20

DAFTAR PUSTAKA 20

LAMPIRAN 22

(12)

DAFTAR TABEL

1. Rumus alometrik untuk menduga jenis tanaman dilahan

agroforestri 4

2. Model yang digunakan untuk pendugaan biomassa 6 3. Kondisi lapangan dan biomassa rata-rata pada masing-masing tipe 9 4. Hubungan nilai digital dengan nilai biomassa 14

5. Model Penduga Biomassa 14

6. Model penduga biomassa dengan VIF kurang dari 10 16 7. Model penduga biomassa dengan VIF kurang dari 5 17 8. Kelas sebaran biomassa berdasarkan Sturges dan distribusi

biomassa 17

9. Hasil perhitungan Overall accuracy dan Kappa Accuracy 18

DAFTAR GAMBAR

1. Peta lokasi titik plot pengamatan lapang di APHR Wonosobo 3 2. Scatterplot biomassa setiap plot di lapangan 10 3. Citra normal 7-5-4 dengan resolusi spasial 30 m x 30 m 11 4. Citra hasil fusi Brovey Transform 7-5-4 dengan resolusi spasial

15mx15m 11

5. Citra hasil fusi Principal Component 7-5-4 dengan resolusi

spasial 15mx15m 12

6. Citra hasil fusi Multiplicative 3-4-2 dengan resolusi spasial

15mx15m 12

7. (a) Histogram citra awal, (b) Histogram citra hasil Brovey, (c) Histogram citra hasil PC (d) Histogram citra hasil Multiplicative 13 8. Peta sebaran biomassa dengan 3 kelas Error! Bookmark not defined.

DAFTAR LAMPIRAN

1. Kelas umur pohon Sengon di daerah APHR Wonosobo 23 2. Matrik korelasi antara nilai digital citra normal terhadap biomassa 23 3. Matrik korelasi antara nilai digital citra fusi PC terhadap

biomassa 23

4. Matrik korelasi antara nilai digital citra fusi Multi terhadap

biomassa 23

5. Matrik korelasi antara nilai digital citra fusi Brovey terhadap

biomassa 24

6. Sebaran biomassa dengan 3 kelas 24

7. Sebaran biomassa dengan 5 kelas 24

8. Matrik kontingensi akurasi peta sebaran biomassa dengan 3 kelas 25 9. Matrik kontingensi akurasi peta sebaran biomassa dengan 5 kelas 25 10.Matrik kontingensi akurasi peta sebaran biomassa dengan 5 kelas 25

11.Peta sebaran biomassa dengan 5 kelas 26

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Biomassa hutan berperan penting dalam siklus karbon. Hampir 50% keseluruhan karbon hutan tersimpan dalam vegetasi hutan, sehingga biomassa hutan sangat relevan dengan isu perubahan iklim (Sutaryo 2009). Sehubungan dengan perubahan iklim, sistem agroforestri pada hutan rakyat memiliki kontribusi untuk mengurangi peningkatan CO2 atmosfer dan gas rumah kaca lainnya. Walaupun peran agroforestri dalam mempertahankan cadangan karbon di daratan masih lebih rendah dibandingkan dengan hutan alam, tetapi sistem ini dapat memberikan harapan besar dalam meningkatkan cadangan karbon pada lahan – lahan terdegradasi (Balai Penelitian Kehutanan Solo 2010).

Informasi tentang potensi biomassa tumbuhan dapat diperoleh dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh. Kelebihan dari teknologi penginderaan jauh ini adalah dapat memberikan informasi yang dibutuhkan secara cepat dan lengkap dengan biaya yang relatif murah. Salah satu satelit yang digunakan dalam penginderaan jauh adalah Landsat 8 yang memiliki sensor Onboard Operational Land Imager (OLI) dan Thermal Infrared Sensor (TIRS) dengan jumlah kanal multispektral sebanyak 10 buah dan kanal pankromatik sebanyak 1 buah.

Penelitan pendugaan biomassa atas tegakan dengan menggunakan citra landsat 8 yang dilakukan oleh Solihin (2014) di KPH Ciamis, menghasilkan model penduga biomassa terbaik dengan nilai R2adj sebesar 26.9% dan RMSE sebesar 197.6 pada nilai VIF kurang dari 5. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan nilai peubah pada citra dalam menjelaskan keragaman nilai biomassa di lapangan rendah. Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan perbaikan citra landsat dengan menggunakan metode fusi citra untuk meningkatkan kemampuan nilai peubah citra dalam menjelaskan nilai biomassa di lapangan..

Fusi citra adalah teknik untuk menggabungkan detail spasial dan detail spektral sehingga didapatkan citra multispektral baru dengan informasi spasial dan spektral yang lebih baik. Pada sistem sensor satelit penginderaan jauh, resolusi spasial dan resolusi spektral citra merupakan hal yang saling bertolak belakang. Keterbatasan penyediaan citra multispektral beresolusi tinggi menyebabkan diperlukannya solusi untuk menghasilkan citra yang kaya akan informasi spasial maupun warna.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh model pendugaan biomassa dengan menggunakan teknik fusi citra dan menghasilkan peta sebaran biomassa berdasarkan model terpilih.

(14)

Manfaat Penelitian

Penelitian ini memberikan informasi tentang potensi biomassa pada sistem agroforestri di Hutan Rakyat APHR Wonosobo dan sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan estimasi jumlah karbon yang berguna dalam kegiatan perdagangan karbon. Selain itu, penelitian ini juga memberikan gambaran tentang pengaplikasian fusi citra dalam melakukan pendugaan biomassa dengan menggunakan penginderaan jauh.

METODE

Waktu dan Lokasi

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei - September 2014. Pengambilan data lapang dilaksanakan pada bulan Mei – Juni 2014 yang meliputi Hutan Rakyat milik Asosiasi Petani Hutan Rakyat di Kecamatan Leksono, Kabupaten Wonosobo. Pengolahan data, analisis data dan penyusunan laporan dilaksanakan pada bulan Juni – September 2014 yang bertempat di Laboratorium Remote Sensing dan GIS, Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Alat dan Data

Alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu Global Positioning System (GPS), haga hypsometer, clinometer, timbangan digital, tali, alat tulis, tally sheet, kamera digital, pita ukur dengan panjang maksimal 30 m yang digunakan untuk pembuatan plot, pita jahit dengan panjang maksimal 120 cm yang diguakan untuk mengukur keliling pohon, plastik sampel, oven, kertas koran, satu unit laptop dengan perangkat lunak Erdas Imagine 9.1, Arc View 3.2, ArcGIS 9.3, Minitab 16, Microsoft Excel 2010, dan Microsoft Word 2010. Data yang digunakan pada penelitian ini adalah citra landsat 8 OLI path 120 row 65 perekaman tahun 2014, peta adiministrasi Kabupaten Wonosobo skala 1: 50 000 dan peta rupa bumi Indonesia daerah Jawa Tengah skala 1: 50 000.

Tahapan Pelaksanaan

Tahapan pelaksanaan penelitian ini secara umum dilakukan dengan mengumpulkan data lapangan, pengolahan data lapangan, pra pengolahan citra, pengolahan data citra, penyusunan dan pemilihan model penduga sebaran biomassa dan pembuatan peta sebaran biomassa.

Pengumpulan Data Lapangan

Penentuan titik dan pengambilan data dilakukan secara purposive sampling yang direncanakan berdasarkan kondisi hutan rakyat di Asosiasi Petani Hutan Rakyat (APHR) Wonosobo. Pemilihan titik plot dilapangan sebanyak 48 plot

(15)

dilakukan berdasarkan sebaran tipe agroforestri yang terdapat di hutan rakyat, sebaran umur sengon dan komposisi antara tanaman pertanian dengan tanaman kehutanan yang didominasi oleh sengon. Titik plot tersebut tersebar di empat tipe agroforestri antara lain 9 plot tipe kopi dan sengon, 16 plot tipe salak dan sengon, 5 plot tipe kakao dan sengon, 4 plot tipe nanas dan sengon dan 14 plot di kebun campuran.

Plot contoh yang digunakan berbentuk persegi dengan luasan 20 m x 20 m dan dibagi menjadi empat kuadran dengan ukuran 10 m x 10 m. Kriteria pengambilan titik didasarkan pada sebaran umur sengon yang diklasifikasikan menjadi tiga kelas umur yaitu umur muda, sedang dan tua pada masing – masing tipe agroforestri yang ada di lapangan. Gambar 1 menyajikan lokasi titik plot pengamatan di lapangan.

Gambar 1 Peta lokasi titik plot pengamatan lapang di APHR Wonosobo Berdasarkan peta lokasi pada Gambar 1, warna citra yang tampak di wilayah tersebut adalah warna hijau, merah muda dan biru tua. Warna hijau menunjukkan wilayah tersebut ditutupi oleh vegetasi dan warna biru tua menunjukkan badan air. Untuk warna merah muda dengan tekstur yang halus merupakan pemukiman warga, sedangkan warna merah muda dengan tekstur yang kasar merupakan lahan terbuka seperti lapangan dan kebun pembibitan.

Untuk mengukur koordinat titik pengamatan digunakan alat bantu berupa GPS. Setelah posisi terekam maka dilakukan pembuatan plot contoh dengan luasan yang sudah ditentukan, kemudian dilakukan pengukuran terhadap parameter tegakan berupa diameter pohon setinggi dada (dbh), tinggi total (Tt), tinggi bebas cabang (Tbc) dan jenis pohon. Pada tipe agroforestri dengan tanaman pertanian salak dan nanas, dilakukan pengambilan sampel berdasarkan sebaran umur tanaman tersebut untuk ditimbang bobot basah maupun bobot keringnya.

Pengolahan Data Lapangan

Pengolahan data lapangan dilakukan untuk menduga biomassa atas permukaan plot – plot yang telah diukur. Pendugaan biomassa atas permukaan

(16)

dilakukan dengan menggunakan alometrik yang telah tersedia, menggunakan koefisien BEF tegakan dan menimbang bobot basah maupun bobot kering untuk tanaman salak dan nanas. Ketterings (2001) menjelaskan bahwa jenis tanaman yang tidak memiliki rumus alometrik dapat diklasifikasikan ke dalam pohon bercabang seperti duku, durian, jengkol, cengkeh, mangga, limus dan pohon tidak bercabang seperti sungkai dengan mengetahui berat jenis pohon tersebut. Tabel 1 menyajikan alometrik yang digunakan dalam pendugaan biomassa atas permukaan pada penelitian ini.

Tabel 1 Rumus alometrik untuk menduga jenis tanaman dilahan agroforestri

Jenis Tanaman Rumus Alometrik Sumber

Sengon AGB = 0.0272 D2.831 Sugiharto (2002)

Mahoni AGB = 0.048 D2.68 Adinugroho (2001)

Jati AGB = 0.015 (D2H)1.094 BPKH JATENG (2009) Pisang AGB = 0.0303 D2.1345 Arifin (2001)

Kopi AGB = 0.281 H D2.06 Arifin (2001)

Kakao AGB = 0.01208 D1.96 Yuliasmara et al (2009) Pohon bercabang AGB = 0.11 ρ D2.62 Ketterings (2001) Sumber : (Hairiah et al. 2011)

Pendugaan biomassa atas permukaan menggunakan Biomass Expansion Factor (BEF) dilakukan dengan menggunakan rumus :

AGB = ∑(Vpohon*WD) * BEF tegakan (Krisnawati 2012) Keterangan :

AGB = Above Ground Biomass (ton/ha)

Vpohon = Volume tegakanberdasarkan rumus geometrik (m3) WD = Berat jenis kayu (kg/ m3)

BEF tegakan = Biomass Expansion Factor dengan koefisien 3.4 untuk daun lebar pada hutan tropis (IPCC 2003)

V pohon = 0.25 π * ( ) 2 * H * F (Krisnawati 2012) Keterangan :

V pohon = Volume pohon (m3)

Π = 3.14

dbh = Diameter setinggi dada (cm)

H = Tinggi pohon (m)

F = Angka bentuk dengan koefisien 0.6 untuk nilai angka bentuk batang umum (Krisnawati dan Harbagung 1996)

Pendugaan biomassa untuk tanaman pertanian yang berupa salak dan nanas dapat dilakukan dengan menggunakan rumus :

AGB =

(17)

Keterangan :

AGB = Above Ground Biomass (gr) Bs = Berat kering sampel (gr) Bbs = Berat basah sampel (gr) Bbt = Berat basah total (gr)

Pra Pengolahan Citra

Pra pengolahan citra merupakan tahap awal dari pengolahan citra satelit yaitu mulai dari fusi citra, koreksi geometri citra dan pemotongan citra.

1. Fusi citra

Fusi citra merupakan metode yang dapat digunakan untuk menghasilkan gambar resolusi tinggi multispektral dari citra pankromatik resolusi tinggi dan citra multispektral resolusi rendah (Ehlers et al 2009). Metode Fusi citra ini menggunakan citra pankromatik yang merupakan saluran band 8 pada citra landsat 8 dengan resolusi 15 meter dan citra multispektral sebanyak 10 band yang terdapat pada citra landsat 8. Dengan menggunakan Interpreter pada perangkat Erdas Imagine 9.1, proses fusi citra ini dapat dilakukan dengan menggunakan tiga metode yaitu Brovey Transform, Multiplicative dan Principal Component.

Brovey Transform merupakan metode yang digunakan untuk menggabungkan dua citra digital yang berbeda resolusi spasial dan spektralnya. Rumus yang digunakan untuk transformasi brovey adalah sebagai berikut :

Keterangan :

Band nilai digital = Band 4, 3 dan 2

Pan = Citra pankromatik

Multiplicative merupakan metode fusi citra yang mengalikan citra pankromatik resolusi tinggi dengan citra multispektral resolusi rendah piksel-by-piksel untuk mendapatkan citra baru (Wenbo et al. 2008). Rumus yang digunakan dalam metode Multiplicative adalah sebagai berikut :

Nilai Digitalfused(i) = Nilai Digitalresolusi rendah * Nilai Digitalresolusi tinggi Keterangan :

Nilai Digitalfused(i) = Citra fusi citra band i Nilai Digital = Nilai digital

(18)

Principal Component digunakan untuk mentransformasi citra multispektral beresolusi rendah untuk mendapatkan komponen penting representatif baru yang saling tidak berkorelasi.

2. Koreksi Geometri Citra

Koreksi geometri dibutuhkan untuk melakukan rektifikasi agar koordinat pada citra sesuai dengan koordinat geografi. Proses rektifikasi dengan data Digital Elevation Model (DEM) dari Global Land Surveys 2000 sudah dilakukan pada Citra Landsat 8, sehingga hanya perlu dilakukan reproject citra untuk mengubah proyeksi citra menjadi Universal Tranverse Mercator (UTM) zona 49 S dan datum yang digunakan adalah WGS 84.

3. Pemotongan Citra

Pemotongan citra ini bertujuan untuk memperoleh citra yang sesuai dengan lokasi yang akan diamati yaitu Hutan Rakyat milik APHR Wonosobo meliputi Desa Kalimendong, Jonggolsari, Durensawit dan Manggis.

Pengolahan Data Citra

Citra yang digunakan dalam penilitian ini yaitu citra LANDSAT 8 yang telah dilakukan fusi citra dengan metode Brovey Transform, Multiplicative dan Principal Component. Masing – masing metode tersebut dapat menghasilkan nilai digital yang berbeda – beda. Dengan menggunakan ekstensi Classifier pada Erdas Imagine 9.1 dibuat buffer pada titik pengamatan dilapangan dengan ukuran buffer 3 piksel x 3 piksel pada citra normal dan 6 piksel x 6 piksel pada citra hasil fusi. Buffer tersebut setara dengan 90 m x 90 m yang ditentukan berdasarkan pertimbangan eror GPS dan pergeseran citra. Square buffer yang dihasilkan kemudian digunakan sebagai AOI (Area of Interest) sehingga didapat nilai digital rata – rata pada buffer titik pengamatan.

Penyusunan dan Pemilihan Model

Analisis hubungan antara biomassa di atas permukaan tanah dengan nilai digital masing – masing band pada citra Landsat 8 yang telah dilakukan fusi citra dengan menggunakan metode Brovey Transform, Multiplicative dan Principal Component menggunakan beberapa model matematika disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2 Model yang digunakan untuk pendugaan biomassa

Jenis Model Bentuk Model

Model Regresi Linier Berganda Y = a + bX1 + cX2...+nXn Model Eksponensial Y = Exp (a + bX1 + cX2...+nXn) Model Kuadratik Y = a + bX12 + cX22...nXn2 Keterangan : Y = Biomassa; X1,2...n = nilai digital band Landsat 8

Proses menganalisis hubungan antara nilai digital masing – masing band dan biomassa dilakukan dengan menggunakan software Minitab 16. Pemilihan model dilakukan dengan memperhatikan koefisien determinasi terkoreksi R2adj, Root Mean Square Error (RMSE) yang paling rendah dan faktor inflasi variansinya (VIF). Semakin tinggi nilai koefisien determinasi terkoreksi (R2adj), maka semakin besar peranan nilai peubah tersebut dalam menjelaskan nilai

(19)

biomassa atas permukaan. Selang nilai untuk koefisien determinasi terkoreksi (R2adj) adalah 0 – 100%. Berikut perhitungan koefisien determinasi terkoreksi :

R2adj

Keterangan :

JKS = Jumlah kuadrat sisa JKT = Jumlah kuadrat total (n-p) = derajat bebas sisa (n-1) = derajat bebas total

Model dengan lebih dari satu variabel rentan terhadap terjadinya multikolinearitas. Oleh karena itu, pada saat penyusunan model perlu dilakukan pengujian multikolinearitas. Salah satu ukuran yang dapat digunakan untuk menguji adanya multikolinearitas pada regresi linear berganda adalah Variance Inflation Factors (VIF). Jika suatu model mengandung nilai VIF lebih dari 10, maka koefisien – koefisien regresi yang ada pada suatu model adalah estimasi yang kurang baik karena pengaruh multikolinearitas (Putri 2011).

Pembuatan Peta Sebaran Biomassa Atas Permukaan

Pembuatan peta sebaran dilakukan dengan bantuan software Erdas Imagine 9.1 untuk melakukan pemodelan spasial dengan menggunakan modeler dan ArcGis 9.3 untuk melakukan reklasifikasi nilai biomassa di lapangan pada setiap pikselnya. Peta sebaran dibuat berdsarkan kelas yang telah ditentukan. Penentuan banyaknya kelas awalnya mengacu pada Sturges, namun selanjutnya penentuan jumlah kelas berdasarkan distibrusi sebaran biomassa di plot pengamatan secara merata yaitu sebanyak 3 kelas dan 5 kelas.

K = 1 + (3.3) log n (Sturges 1926) Keterangan :

K = Banyaknya kelas n = Banyaknya data

Selang kelas ditentukan dengan : I = (Bmax-Bmin)/K

Keterangan :

I = Interval kelas

Bmax = Biomassa maksimum Bmin = Biomassa minimum

Penghitungan Overall Accuracy dan Kappa Accuracy

Analisis akurasi hasil pembuatan peta sebaran kelas biomassa dilakukan dengan menghitung Overall Accuracy dan Kappa Accuracy. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut (Jaya 2010):

(20)

∑ ∑ ∑ ∑ Keterangan : OA = Overall Accuracy (%) K = Kappa Accuracy (%)

Xii = nilai diagonal dari matrik kontingensi dari baris ke- i dan kolom ke- i Xi+ = jumlah piksel dalam kolom ke- i

X+i = jumlah piksel dalam baris ke-i N = banyaknya titik contoh

Klasifikasi dengan nilai akurasi terbesar menunjukkan bahwa hasil klasifikasi memiliki presentase ketepatan yang lebih besar. Lebih lanjut, simpangan dari Kappa dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :

=

[

+ 2

+

]

dimana : 1 =

2 =

2 3 =

2 3 =

2

/

N

3

Uji signifikasi dua nilai Kappa dapat dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

Z =

√ >1.96

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Pengolahan Data Lapangan

Penelitian ini dilakukan di empat tipe agroforestri yaitu tipe sengon dan salak, sengon dan kopi, sengon dan nanas, sengon dan kakao, serta kebun campuran. Plot contoh yang diambil tersebar di empat desa yang termasuk dalam wilayah Hutan Rakyat APHR Wonosobo yaitu Desa Durensawit, Desa Kalimendong, Desa Manggis dan Desa Jonggolsari.

Pada setiap plot dilakukan perhitungan biomassa untuk setiap jenis pohon dengan menggunakan alometrik biomassa yang tersedia. Jika terdapat jenis yang belum memiliki alometrik biomassa, maka dilakukan perhitungan volume baik itu menggunakan alometrik volume yang tersedia maupun volume geometrik.

(21)

Selanjutnya, untuk perhitungan biomassa menggunakan BEF (Biomassa Expansion Factor). Pada jenis salak dan nanas perhitungan biomassanya dilakukan dengan menggunakan berat basah dan berat kering yang diperoleh dari pengambilan sampel berdasarkan sebaran umur yang ada di lapangan. Tabel 3 menyajikan informasi tentang kondisi lapangan dan biomassa rata-rata yang terdapat pada masing-masing tipe agroforestri.

Tabel 3 Kondisi lapangan dan biomassa rata-rata pada masing-masing tipe Tipe Rincian jumlah plot Kondisi Lapangan Biomassa rata-rata (ton/ha) Sengon dan Kopi 7 Sengon pada kelas umur muda 2.01

4 Sengon pada kelas umur tua

Sengon dan Nanas 4 Sengon pada kelas umur muda 9.73 Sengon dan Kakao 1 Sengon pada kelas umur sedang 62.49

4 Sengon pada kelas umur tua Sengon dan Salak

6 Sengon pada kelas umur muda

75.43 5 Sengon pada kelas umur sedang

5 Sengon pada kelas umur tua

Kebun Campuran 16

Jenis pohon sengon, duku, durian, kelapa, nangka, petai, pisang, sengon, suren, cengkeh, jati, cokelat, nangka, kopi, mahoni

43.39

Tabel 3 menunjukkan bahwa kebun campuran merupakan tipe hutan rakyat yang paling banyak ditemukan di lapangan, sehingga pengambilan plot di tipe ini paling tinggi yaitu sebanyak 16 plot. Pada tipe agroforestri dengan tanaman berkayu berupa sengon, tipe sengon dan salak memiliki komposisi umur sengon yang merata yaitu dari sedang hingga tua. Tanaman salak yang terdapat pada tipe ini memiliki rentang umur 1 tahun hingga lebih dari 10 tahun, dengan umur tanaman salak pada setiap plotnya sama. Untuk tipe sengon dan nanas hanya ditemukan sengon kelas umur muda dengan kerapatan sengon yang tinggi. Tanaman nanas yang ditemukan di lapangan memiliki rentang umur 3 bulan hingga 2 tahun, dengan umur yang bervariasi pada setiap plotnya.

Tipe sengon dan kopi didominasi oleh sengon dengan umur muda. Tanaman kopi yang terdapat di tipe ini memiliki diameter tanaman sangat kecil bahkan kurang dari 1 cm, hal ini yang menyebabkan biomassa pada tipe ini sangat rendah dibandingkan dengan tipe yang lain.

Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa perhitungan biomassa yang paling besar terdapat pada tipe sengon dan salak yaitu sebesar 75.43 ton/ha, sedangkan untuk biomassa terendah terdapat pada tipe sengon dan kopi sebesar 2.01 ton/ha. Seperti penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Rusolono (2006), agroforestri dengan tanaman kopi memiliki biomassa sekitar 2 – 9.7 ton/ha dan tipe kebun campuran memiliki biomassa sekitar 20.8 – 147.6 ton/ha. Apabila dibandingkan dengan biomassa pada hutan tropis, agroforestri memiliki biomassa yang lebih rendah. Menurut Clark (1999), data dari studi ekologi di hutan hujan

(22)

tropis menunjukkan bahwa hutan hujan tropis memiliki biomassa sekitar 221 – 399 ton/ha. Gambar 2 menyajikan informasi tentang biomassa setiap plot di lapangan.

Gambar 2 Scatterplot biomassa setiap plot di lapangan

Scatterplot tersebut menunjukkan bahwa nilai biomassa terkecil yang ditemukan di lapangan sebesar 0.93 ton/ha dan nilai biomassa terbesar 247 ton/ha. Dari keseluruhan plot yang terdapat di lapangan, terdapat 3 plot pencilan dengan nilai biomassa sangat tinggi yaitu 193 ton/ha hingga 247 ton/ha. Seluruh plot pencilan tersebut terdapat pada tipe sengon dan salak.

Jumlah biomassa pada setiap tipe dipengaruhi oleh diameter, tinggi, jumlah pohon dan komposisi antara sengon dengan tanaman dibawah tegakan. Tipe salak dan Sengon memiliki biomassa yang tinggi karena banyak ditemukan pohon sengon dengan diameter yang besar hingga mencapai lebih dari 50 cm. Tipe agroforestri dengan tanaman kopi dan nanas memiliki biomassa yang rendah karena sebagian besar sengon yang ada pada tipe tersebut merupakan sengon muda dengan diameter yang kecil.

Hasil fusi citra Citra Landsat 8

Fusi citra secara umum diartikan sebagai teknik untuk mengintegrasikan detail geometri atau spasial dari suatu citra pankromatik (hitam putih) beresolusi tinggi dengan citra multispektral beresolusi rendah. Menurut (Wenbo et al. 2008), tujuan yang hendak dicapai dalam tahapan ini adalah didapatkannya tepian objek yang semakin jelas serta didapatkannya informasi warna yang paling tajam dan representatif dengan mengacu pada citra multispektral awal. Terdapat tiga metode yang digunakan dalam proses fusi citra ini, yaitu Brovey Transform, Multiplicative dan Principal Component.

Data sumber pertama adalah saluran band 8 yang merupakan citra pankromatik dengan panjang gelombang 0.50 – 0.68 µm dan resolusi spasial 15 meter dari wilayah Jawa Tengah. Pasangannya adalah saluran coastal aerosol, NIR, SWIR, sinar tampak, cirrus dengan resolusi spasial 30 meter dan TIRS dengan resolusi spasial 100 meter yang terdapat pada saluran band citra landsat 8.

(23)

Fusi citra dilakukan pada citra pankromatik dan band lainnya yang terdapat pada landsat 8, dengan metode Brovey Transform, Multiplicative dan Principal Component. Ketiga metode tersebut menghasilkan citra multispektral baru dengan resolusi spasial 15 meter. Gambar 3 menyajikan perbandingan citra tanpa fusi citra dengan citra fusi citra.

Gambar 3 Citra normal 7-5-4 dengan resolusi spasial 30 m x 30 m

Gambar 4 Citra hasil fusi Brovey Transform 7-5-4 dengan resolusi spasial 15mx15m

(24)

Gambar 5 Citra hasil fusi Principal Component 7-5-4 dengan resolusi spasial 15mx15m

Gambar 6 Citra hasil fusi Multiplicative 3-4-2 dengan resolusi spasial 15mx15m Hasil diatas merupakan citra yang sudah di-subset dan di-reproject sesuai dengan lokasi penelitian. Secara visual dapat diamati bahwa citra fusi hasil transformasi Brovey memiliki kekontrasan yang tinggi dibandingkan dengan metode lainnya maupun dengan citra awal. Citra hasil transformasi Brovey memperlihatkan kedekatan dengan warna citra multispektral awal, sedangkan citra hasil Principal Component (PC) dan Multiplicative memberikan informasi yang jauh berbeda dengan informasi warna citra multispektral awal.

Meskipun ketiga metode dalam fusi citra ini mampu menghasilkan resolusi spasial yang lebih baik yaitu sebesar 15 meter atau sama dengan resolusi citra pankromatik awal, namun secara visual citra hasil transformasi Brovey mampu memberikan informasi spektral yang lebih baik dibandingkan dengan metode yang lainnya. Seperti yang disimpulkan dalam penelitian Svab dan Otsir (2006), Brovey merupakan salah satu metode fusi citra yang menghasilkan karakteristik spektral maupun spasial yang baik.

Perubahan visual citra fusi citra ini disebabkan karena adanya perubahan nilai – nilai piksel atau Nilai digital dari suatu citra maupun bagian tertentu di dalam citra. Informasi tentang perubahan nilai piksel ini dapat dilihat dari histogram citra. Histogram citra adalah grafik yang menggambarkan penyebaran nilai-nilai intensitas piksel dari suatu citra atau bagian tertentu di dalam citra.

(25)

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tood et al. (1997), sinar merah merupakan sinar tampak yang diserap oleh zat aktif fotosintesis sehingga sinar merah ini sangat sensitif terhadap biomassa suatu vegetasi. Oleh karena itu, histogram yang diamati dalam penelitian ini adalah histogram dari band sinar merah. Gambar 7 menyajikan histogram citra tanpa fusi citra dan citra fusi citra.

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 7 (a) Histogram citra awal, (b) Histogram citra hasil Brovey, (c) Histogram citra hasil PC (d) Histogram citra hasil Multiplicative

Menurut Ibrahim (2004), bentuk histogram yang lebar menunjukkan bahwa citra ini memiliki kontras yang baik, karena menggunakan daerah tingkat keabuan secara penuh dengan distribusi piksel yang hampir merata pada setiap harga intensitas piksel. Sebaliknya, histogram yang sempit menunjukkan citra dengan kontras rendah karena hanya menggunakan aerah tingkat keabuan yang lebih sedikit. Oleh karena itu, bentuk histogram yang cenderung sama menunjukkan bahwa proses fusi citra tidak mengubah kekontrasan citra, kecuali pada proses Multiplicative.

Gambar 7 juga menunjukkan bahwa hasil Principal component memiliki nilai piksel atau nilai digital yang paling tinggi yaitu 32 287 dengan histogram yang terkonsentrasi di bagian kanan. Semakin ke kanan histogram, maka semakin besar nilai pikselnya dan semakin cerah citra tersebut. Berdasarkan analisis tersebut, maka secara berurutan citra yang paling terang ke citra kurang terang antara lain citra hasil Principal Component, citra awal, citra hasil Brovey Transform, dan citra hasil Multiplicative.

Wandayani (2007) menjelaskan bahwa perubahan histogram pada citra fusi citra disebabkan karena jauhnya perbedaan rentang histogram pada citra pankromatik dan citra multispektral menyebabkan distorsi warna pada citra hasil

(26)

fusi. Distorsi warna yang terjadi pada citra hasil fusi tersebut membuat nilai digital dari masing-masing band berubah dari nilai digital pada citra awal.

Penyusunan Model Pendugaan Biomassa

Model penduga biomassa disusun berdasarkan perhitungan biomassa yang ada di lapangan dengan nilai digital band asli citra landsat 8, baik itu citra normal maupun citra hasil fusi. Korelasi antara nilai digital band asli citra landsat 8 dengan biomassa disajikan dalam Tabel 4.

Tabel 4 Hubungan nilai digital dengan nilai biomassa

K or el as i Pea rson Metode

Korelasi nilai digital band

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

Normal 0.216 0.185 0.183 0.209 0.066 0.112 0.099 0.166 -0.171 -0.061 -0.082 BT 0.016 0.021 0.102 0.083 0.076 0.14 0.084 -0.038 0.16 0.167 0.184 PC -0.075 -0.072 -0.054 -0.052 0.032 0.063 -0.039 -0.067 -0.085 0.15 -0.148 Multi 0.072 0.229 0.107 0.126 0.087 0.065 0.049 0.028 0.11 0.127 0.144

Nilai r terbesar adalah +1 yang menunjukkan hubungan positif sempurna dan r terkecil adalah -1 yang menunjukkan hubungan negatif sempurna (Usman dan Akbar 2000). Hasil diatas menunjukkan bahwa nilai digital dengan nilai biomassa memiliki koefisien korelasi (r) yang rendah. Metode Fusi citra ternyata tidak membuat korelasi antara nilai digital dengan biomassa yang ada di lapangan menjadi lebih baik. Svab dan Otsir (2006) menegaskan bahwa sulit memperoleh hasil fusi citra yang baik apabila band spektral yang digunakan dalam fusi tidak mencakup panjang gelombang yang sama dengan citra pankromatik. Selain itu, teknik fusi citra tidak bisa mempertahankan nilai digital dari citra multispektral awal.

Penyusunan model penduga biomassa menggunakan asumsi bahwa dengan nilai r ≠ 0 maka nilai digital dengan biomassa masih memiliki hubungan linier. Oleh karena itu, penyusunan model biomassa menggunakan seluruh band pada citra, kecuali band pankromatik. Selain itu dalam menyusun model pendugaan biomassa juga mempertimbangkan hasil matrik korelasi antar band citra, dimana band citra yang memiliki hubungan korelasi tinggi antar bandnya digunakan beberapa saja sebagai variabel bebas untuk menyusun model. Tabel 5 menyajikan persamaan regresi dari kombinasi band yang digunakan untuk menyusun model.

Tabel 5 Model Penduga Biomassa

Model Metode Persamaan regresi R

2 (%) R2adj (%) Fhit Ftabel Li n ier Berg an d

a Normal Y = 407556 + 201 band 1 - 539 band 2 - 85 band 3 + 326

band 4 + 16,0 band 5 - 47,0 band 6 + 24,8 band 7 + 100 band 9 - 33,6 band 10 + 47,0 band 11

34.8 17.2 1.98 2.10 Y = 10940 - 0,192 band 2 - 0,039 band 3 + 0,620 band 4

+ 0,0171 band 5 - 0,206 band 7 - 2,01 band 9 - 0,0677 band 10

15.5 0.7 1.05 2.25 Brovey *Y = - 1181020 - 1072 band 1 - 11569 band 2 - 6169

band 3 - 918 band 4 - 4193 band 5 - 4844 band 6 - 4267 band 7 + 4216 band 9 + 4918 band 10 + 4304 band 11

(27)

Model Metode Persamaan regresi R

2

(%) R2adj

(%) Fhit Ftabel Y = - 392376 + 3656 band 1 - 5395 band 2 - 282band 3

- 156 band 5 - 1136 band 6 + 698 band 7 + 864 band 10 23.1 9.7 1.72 2.25 Multi Y = 1271224 + 85517 band 1 - 31796 band 2 - 41346

band 3 + 37709 band 4 + 16667 band 5 - 29906 band 6 + 5103 band 7 + 37243 band 9 - 42160 band 10 - 15816 band 11

18 0 0.81 2.10 Y = 2140956 + 59863 band 1 - 22127 band 2 + 17897

band 4 + 16487 band 5 - 30569 band 6 + 14189 band 9 - 38928 band 11

15 0.1 1.01 2.25 PC Y = 1855710 + 480 band 1 - 687 band 2 - 51band 3 +

249 band 4 + 27,3 band 5 - 62,1 band 6 + 98,9 band 7 - 45 band 9 - 36,2 band 10 - 367 band 11

26.4 6.5 1.33 2.10 Y = 978660 + 528 band 1 - 772 band 2 + 256 band 4 +

9,57 band 5 - 8,9band 6 - 46,8 band 10 - 234 band 11 19.9 5.9 1.42 2.25

Ku

ad

ra

ti

k

Normal Y = 236626 + 0,0109 band 1 - 0,0319 band 2 - 0,00608 band 3 + 0,0254 band 4 + 0,000399 band 5 - 0,00187 band 6 + 0,00085 band 7 + 0,0081 band 9 - 0,000634 band 10 + 0,00098 band 11

34 16.2 1.91 2.10 Y= 5531 - 0,000011 band 2 - 0,000003 band 3 +

0,000046 band 4 + 0,000000 band 5 - 0,000014 band 7 - 0,000202 band 9 - 0,000001 band 10

15.4 0.6 1.04 2.25 Brovey Y = - 226520 + 2,58 band 1 - 4,15 band 2 - 1,28 band 3

+ 1,95 band 4 - 0,035 band 5 - 0,394 band 6 - 0,187 band 7 + 0,037 band 9 + 0,107 band 10 - 0,08 band 11

33.5 15.6 1.87 2.10 Y = - 168686 + 2,20 band 1 - 3,13 band 2 - 0,049 band 3

+ 0,0065 band 5 - 0,412 band 6 + 0,585 band 7 + 0,064 band 10

22.9 9.5 1.7 2.249 Multi Y = 627981 + 4193 band 1 - 1844 band 2 - 2828 band 3

+ 3414 band 4 + 64,4 band 5 - 111 band 6 + 20 band 7 + 667 band 9 - 769 band 10 - 266 band 11

17.7 0 0.8 2.10 Y = 2042 - 6,53 band 1 + 9,09 band 2 + 6,5 band 4 -

0,039 band 5 - 0,080 band 6 - 0,587 band 9 + 0,39 band 11

12.7 0 0.83 2.25 PC Y = 947564 + 0,00675 band 1 - 0,0105 band 2 - 0,00088

band 3 + 0,00453 band 4 + 0,000237 band 5 - 0,000802 band 6 + 0,00176 band 7 - 0,00086 band 9 - 0,00203 band 10 - 0,0318 band 11

26.7 6.9 1.45 2.098 Y = 1920 - 0,00075 band 1 + 0,00131 band 3 + 0,000032

band 5 - 0,000052 band 6 - 0,00005 band 9 - 0,00282 band 10 - 0,0017 band 11 5.2 0 0.32 2.249 Ek sp o n en sia l

Normal Y= Exp 1688 - 0,0017 band 1 - 0,0568 band 2 - 0,0025 band 3 +

0,0371 band 4 - 0,00142 band 5 + 0,00546 band 6 - 0,0090 band 7 - 0,242 band 9 + 0,00255 band 10 - 0,0099 band 11

35.7 18.3 2.05 2.098 *Y = Exp 787 - 0,0146 band 2 + 0,00559 band 3 + 0,0131 band 4

+ 0,000069 band 5 - 0,00509 band 7 - 0,139 band 9 - 0,00211 band 10 31.9 20 2.67 2.25

Brovey Y = Exp - 245 + 0,593 band 1 - 2,19 band 2 - 0,817 band 3 - 0,098

band 4 - 0,559 band 5 - 0,490 band 6 - 0,691 band 7 + 0,538 band 9 + 0,642 band 10 + 0,549 band 11

33.6 15.7 1.88 2.098 Y = Exp - 144 + 1,19 band 1 - 1,39 band 2 - 0,055 band 3 - 0,0444

band 5 - 0,0183 band 6 - 0,051 band 7 + 0,125 band 10 22.5 9 1.66 2.249

Multi Y = Exp 194 - 1,90 band 1 + 3,72 band 2 + 20,5 band 3 - 12,8 band 4 - 0,65 band 5 - 6,41 band 6 + 5,92 band 7 + 1,32 band 9 - 0,61 band 10 - 5,01 band 11

14.1 0 0.61 2.098 Y = Exp 374 + 4,77 band 1 + 2,50 band 2 + 0,18 band 4 + 0,78

band 5 - 3,51 band 6 + 2,25 band 9 - 4,96 band 11 9.3 0 0.59 2.25

PC Y = Exp 1015 + 0,0818 band 1 - 0,0986 band 2 + 0,0040 band 3 + 0,0195 band 4 + 0,00821 band 5 - 0,00674 band 6 + 0,0183 band 7 - 0,0278 band 9 - 0,00674 band 10 - 0,215 band 11

(28)

Model Metode Persamaan regresi R

2

(%) R2adj

(%) Fhit Ftabel Y = Exp 776 + 0,0080 band 1 + 0,0058 band 3 + 0,00496 band 5 +

0,00415 band 6 - 0,0224 band 9 - 0,00854 band 10 - 0,169 band 11 22.5 9 1.66 2.249

Ket : *model yang terpilih

Hasil analisis menunjukkan bahwa kedua model yang terpilih memiliki nilai F hitung lebih besar dari F tabel. Hal ini menunjukkan bahwa band yang menjadi variabel bebas dalam model ini merupakan peubah yang siginifikan untuk menjelaskan biomassa di lapangan, sehingga dapat dilakukan analisis lebih lanjut pada model ini.

Pemilihan Model Terbaik

Penyusunan model pendugaan biomassa yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan teknik analisis regresi. Pada model tersebut biomassa berfungsi sebagai variabel tak bebas (y) dan nilai digital pada masing- masing saluran band yang terdapat pada landsat 8 sebagai variabel bebas (x). Dalam hal ini, variabel bebas yang digunakan lebih dari satu sehingga dapat menyebabkan munculnya multikolinearitas. Menurut Putri (2011), multikolinearitas merupakan suatu kondisi dimana terjadi korelasi yang kuat diantara variabel prediktor yang diikutsertakan dalam pembentukan model regresi linear.

Multikolinearitas yang terjadi antara dua variabel atau lebih dalam suatu persamaan regresi menyebabkan perkiraan koefisien dari variabel yang bersangkutan menjadi tak terhingga sehingga tidak mungkin lagi menduganya. Salah satu teknik yang digunakan untuk mendeteksi adanya multikolinearitas yaitu Variance Inflation Factors (VIF). Nilai VIF yang melebihi 10 menandakan bahwa koefisien – koefisien regresi adalah estimasi yang kurang baik karena pengaruh multikolinearitas. Informasi tentang hasil analisis regresi pemilihan model terbaik untuk pendugaan biomassa dengan nilai VIF kurang dari 5 disajikan dalam Tabel 6 .

Tabel 6 Model penduga biomassa dengan VIF kurang dari 10

Metode Persamaan regresi R

2

(%) R2adj

(%) Fhit Ftabel RMSE Brovey Y = 326431 - 1627 band 2 - 867 band 3 + 2408 band

4 - 506 band 6 + 88 band 7 + 877 band 11

21.8 10.4 2.54 2.33 17196.89 Normal Y = Ekp 778 - 0,0105 2 + 0,0164 4 + 0,000331 5 - 0,00550 7 -

0,141 9 - 0,00189 10

31.1 21 3.08 2.33 1.34

Berdasarkan hasil diatas diketahui bahwa nilai F hitung lebih besar dari F tabel pada semua model, maka semua variabel bebas yang terdapat pada persamaan merupakan penjelas yang signifikan. Pada penelitian ini juga dibuat model dengan VIF kurang dari 5, dengan menghilangkan variabel bebas yang memiliki nilai VIF lebih dari 5. Putri (2011) mengatakan bahwa persamaan dengan nilai VIF kurang dari 5 akan memiliki koefisien variabel bebas yang lebih stabil. Informasi tentang model regresi penduga biomassa dengan nilai VIF kurang dari 5 disajikan dalam Tabel 7.

(29)

Tabel 7 Model penduga biomassa dengan VIF kurang dari 5

Metode Persamaan regresi R2

(%) R2adj (%)

Fhit Ftabel RMSE Brovey Y = - 98037 - 247 band 6 + 205 band 7 + 337

band 11

9.1 2.9 2.93 2.816 17898.6748

Normal Y = Exp 704 + 0,00533 band 2 - 0,00161 band 7 - 0,140

band 9 - 0,00104 band 10

23.3 16.2 3.27 2.59 1.37

*ket: model terpilih

Berdasarkan Tabel 7 diketahui bahwa nilai F hitung lebih besar dibandingkan F tabel pada semua model sehingga variabel bebas yang terdapat pada persamaan tersebut merupakan variabel bebas yang signifikan dalam menjelaskan keragaman biomassa. Model terpilih dengan nilai VIF kurang dari 5 adalah model eksponensial dari citra tanpa fusi karena memiliki nilai R2adj yang lebih besar 23.3% dan nilai RMSE yang lebih kecil yaitu 1.37. Hasil ini tidak lebih baik dibandingkan dengan model penduga biomassa hasil penelitian Solihin (2014), dimana nilai R2adj sebesar 26.9% dan RMSE sebesar 197.6 pada nilai VIF kurang dari 5. Hal ini bisa disebabkan karena data yang digunakan belum bisa mewakili kondisi lapangan yang sebenarnya.

Model penduga biomassa yang dihasilkan dari analisis regresi cenderung memiliki nilai R2adj yang rendah, sehingga dapat diketahui bahwa keragaman nilai biomassa di lapangan yang mampu dijelaskan oleh nilai digital pada masing-masing band sangat rendah. Hal ini dapat disebabkan karena data yang digunakan belum mewakili kondisi lapangan yang sebenarnya.

Rendahnya kemampuan nilai digital dalam menjelaskan biomassa di lapangan juga dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain jenis sensor dan kualitas citra serta objek yang diteliti. Gautam et al. (2010) menjelaskan bahwa efek gangguan atmosfer (saturasi) menyebabkan citra berbasis optik umumnya menghasilkan nilai biomassa yang cenderung underestimate, sehingga kemampuan data citra satelit dalam menjelaskan nilai biomassa di lapangan rendah. Selain itu, agroforestri yang cenderung heterogen dan lokasi penelitian dengan topografi yang curam menyebabkan kualitas citra di lokasi tersebut kurang baik.

Pembuatan Peta Sebaran Biomassa dan Analisis Akurasi

Peta sebaran biomassa dibuat berdasarkan model terpilih hubungan biomassa dengan nilai digital yang telah dilakukan pada kegiatan pemodelan sebelumnya. Peta ini dinyatakan dalam kelas yang nilainya adalah rentang data biomassa. Banyaknya kelas ditentukan dengan pendekatan Sturges dan diperoleh sebanyak 7 kelas, selanjutnya untuk menyederhanakan pemetaan sebaran biomassa jumlah kelas disederhanakan menjadi 3 kelas dan 5 kelas berdasarkan distribusi biomassa yang ada di lapangan. Selang kelas biomassa yang sudah ditentukan disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Kelas sebaran biomassa berdasarkan Sturges dan distribusi biomassa Jumlah Kelas Kelas Rentang Biomassa (ton/ha)

3 1 1 - 30

(30)

Jumlah Kelas Kelas Rentang Biomassa (ton/ha) 3 > 105 5 1 1 - 15 2 15 - 30 3 30 - 105 4 105 - 200 5 > 200 7 1 1 - 37 2 37 - 74 3 74 - 111 4 111 - 148 5 148 - 185 6 185 - 222 7 > 222

Areal yang memiliki biomassa dibawah 1 ton/ha dikategorikan ke dalam areal non biomassa, sehingga areal yang dipetakan hanya yang memiliki nilai biomassa minimal 1 ton/ha. Sebaran biomassa yang dibagi menjadi 7 kelas diperoleh dari pendekatan Sturges, sehingga memiliki rentang biomassa yang sama pada setiap kelasnya. Sebaran biomassa 3 kelas dan 5 kelas tidak memiliki rentang yang sama pada setiap kelasnya, karena perbedaan nilai biomassa yang signifikan dimasukkan pada kelas tersendiri. Untuk mengetahui akurasi pemetaan sebaran biomassa pada masing –masing kelas dilakukan perhitungan nilai Overall accuracy dan Kappa Accuracy. Tabel 9 menyajikan hasil Overall accuracy dan Kappa Accuracy hasil pemetaan pada masing – masing jumlah kelas.

Tabel 9 Hasil perhitungan Overall accuracy dan Kappa Accuracy Jumlah Kelas Overall Accuracy (%) Kappa Accuracy (%)

3 47.92 21.26

5 41.67 23.11

7 39.58 2.30

Tabel diatas menunjukkan bahwa nilai Overall accuracy paling tinggi sebesar 47.92% terdapat pada pemetaan dengan 3 kelas, sedangkan untuk nilai Kappa Accuracy yang paling tinggi sebesar 23.11% terdapat pada pemetaan dengan 5 kelas. Menurut Jaya (2010), akurasi yang sangat disarankan adalah dengan menggunakan rumus Kappa Accuracy karena semua elemen dalam matrik kontingensi akan diperhitungkan.

Perbandingan hasil klasifikasi tidak berbeda jauh antara nilai Kappa pada pemetaan 5 kelas dengan pemetaan 3 kelas, sehingga dilakukan uji signifikasi nilai kappa. Hasil uji Z yang telah dilakukan menghasilkan nilai Z-hitung yang lebih kecil dari 1.96 yaitu sebesar 1.001. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemetaan 5 kelas dengan pemetaan 3 kelas yang diuji tidak berbeda nyata.

Hasil ini menunjukkan bahwa pemetaan dengan 3 kelas memiliki Overall accuracy dan Kappa Accuracy yang baik dibandingkan klasifikasi yang lainnya,

(31)

sehingga klasifikasi dengan 3 kelas digunakan untuk pembuatan peta sebaran biomassa. Secara umum semakin banyak jumlah kelas dalam klasifikasi pemetaan, maka akurasi yang akan dihasilkan semakin rendah.

Gambar 8 Peta sebaran biomassa dengan 3 kelas

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Teknik fusi citra tidak memperbaiki hubungan antara nilai digital dengan biomassa di lapangan dibandingkan dengan citra asli, hal ini dapat dilihat dari nilai F hitung yang lebih kecil dari F tabel. Model eksponensial pada citra tanpa fusi dengan nilai VIF kurang dari 5 merupakan model terbaik pada pendugaan biomassa yaitu Y = Exp 704 + 0,00533 band 2 - 0,00161 band 7 - 0,140 band 9 - 0,00104 band 10 dengan R2adj sebesar 16.2 dan RMSE sebesar 1.37.

Hasil pemetaan yang memiliki nilai akurasi paling baik adalah pemetaan yang mengklasifikasikan nilai biomassa ke dalam 3 kelas dengan nilai Overall accuracy sebesar 47.92% dan nilai Kappa Accuracy yang sudah dilakukan uji signifikasi (uji-Z) sebesar 21.26%.

(32)

Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut di lokasi lain dengan jumlah plot contoh yang lebih banyak dan representatif dengan kondisi di lapangan, untuk meningkatkan akurasi dan mengetahui kemampuan citra Landsat 8 dalam menduga biomassa di lapangan.

DAFTAR PUSTAKA

Balai Penelitian Kehutanan Solo. 2010. Sistem Agroforestri Hutan Rakyat Dalam Mendukung Pengelolaan DAS Berkelanjutan. Kementerian Kehutanan.

Clark DB and Clark DA. 1999. Landscape-scale Variation Structure and Biomass in A Tropical Rain Forest. Forest Ecology and Management 137 (2000): 185-198.

Ehlers M, Sascha K, Astrand PJ, Rosso P. 2010. Multi-sensor fusi citra for pansharpening in remote sensing. International Journal of Image and Data Fusion 1 (1): 25-45.

Gautam BR, Tokola T, Hamalainen J, Gunia M, Peuhkurinen J, Parviainen H, Leppanen V, Kauranne T, Havia J, Norjamaki I, Sah BP. 2010. Integration of Airbone LiDAR, Satellite Imagery, and Field Measurements Using Two-Phase Sampling Method for Forest Biomass Estimation in Tropical Forests. International Symposium on “Benefiting from Earth Observation”.

Hairiah K, Ekadinatta A, Rahayu S. 2011. Cadangan Karbon :dari Tingkat Lahan ke Bentang Lahan. Bogor (ID): World Agroforestry Centre.

Ibrahim D. 2004. Pengaturan Kecerahan dan Kontras Citra secara Automatis dengan Teknik Pemodelan Histogram [Skripsi]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro.

Jaya INS. 2010. Analisis Citra Digital : Perspektif Penginderaan Jauh untuk Pengelolaan Sumberdaya Alam. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan IPB.

Ketterings QM, Coe R, Noordwijk vM, Ambagau Y, Palm CA. 2001. Reducing uncertainty in the use of allometric biomass equations for predicting above-ground tree biomass in mixed secondary forests. Forest Ecology and Management 146: 199-209.

Krisnawati H, Adinugroho WC, Imanuddin R. 2012. Monograf: Model – Model Alometrik untuk Pendugaan Biomassa Pohon pada Berbagai Tipe Ekosistem Hutan di Indonesia. Bogor (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.

Putri AP. 2011. Penggunaan Metode Ridge Trace dan Variance Inflation Factors (VIF) pada Regresi Ridge [Skripsi]. Yogyakarta (ID): Universitas Negeri Yogyakarta.

Rusolono T. 2006. Model Pendugaan Persediaan Karbon Tegakan Agroforestri untuk Pengelolaan Hutan Milik Melalui Skema Perdagangan Karbon [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Solihin MP. 2014. Aplikasi Citra Landsat 8 dalam Memetakan Biomassa Atas Tegakan di KPH Ciamis [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

(33)

Sturges HA. 1926. The Choice of a Class Interval. Journal of The American Statistical Association 21 (153): 65-66.

Sutaryo D. 2009. Penghitungan Biomassa. Sebuah Pengantar untuk Studi Karbon dan Perdagangan Karbon. Bogor (ID): Wetlands International Indonesia Programme.

Svab A dan Ostir K. 2006. High-resolution Fusi citra: Methods to Preserve Spectral and Spatial Resolution. Photogrammetric Engineering and Remote Sensing 72 (5): 565-572.

Tood SW, Hoffer RM, Milchunas DG. 1998. Biomass Estimation on Grazed and Ungrazed Rangelands Using Spectral Indices. International Journal Remote Sensing 19 (3): 427-438.

Wandayani A. 2007. Perbandingan Metode Brovey dan PCA dalam Fusi Citra Pankromatik dan Multispektral [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Wenbo W, Jing Y, Tingjun K. 2008. Study of Remote Sensing Fusi citra and Its

Application in Image Classification. The International Archives of The Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Scienes 7 (6): 1141-1146.

(34)
(35)

Lampiran 1 Kelas umur pohon Sengon di daerah APHR Wonosobo Jenis Pohon Sebaran Umur Kelas Diameter Kelas Umur

Sengon 2-3 tahun 10-15 cm Muda 3-4 tahun 15-19 cm 4-6 tahun 19-22 cm Sedang 6-7 tahun 22-25 cm 8 tahun up 25 cm up Tua

Lampiran 2 Matrik korelasi antara nilai digital citra normal terhadap biomassa

Band 1 2 3 4 5 6 7 9 10 11 1 1 2 0.975 1 3 0.770 0.851 1 4 0.894 0.918 0.825 1 5 0.161 0.282 0.662 0.200 1 6 0.430 0.535 0.829 0.484 0.923 1 7 0.704 0.772 0.897 0.791 0.661 0.876 1 9 -0.338 -0.249 -0.194 -0.318 0.073 -0.079 -0.244 1 10 0.246 0.215 0.111 0.394 -0.341 -0.158 0.120 -0.243 1 11 0.265 0.250 0.195 0.412 -0.225 -0.042 0.204 -0.290 0.952 1

Lampiran 3 Matrik korelasi antara nilai digital citra fusi PC terhadap biomassa

Band 1 2 3 4 5 6 7 9 10 11 1 1 2 1 1 3 0.900 0.993 1 4 0.980 0.993 0.998 1 5 -0.664 -0.660 -0.615 -0.641 1 6 0.234 0.252 0.339 0.321 0.349 1 7 0.868 0.887 0.912 0.912 -0.425 0.641 1 9 0.667 0.675 0.718 0.696 0.083 0.763 0.808 1 10 -0.235 -0.215 -0.119 -0.133 0.559 0.703 0.142 0.315 1 11 0.726 0.725 0.735 0.722 -0.127 0.440 0.709 0.802 -0.032 1

Lampiran 4 Matrik korelasi antara nilai digital citra fusi Multi terhadap biomassa

Band 1 2 3 4 5 6 7 9 10 11 1 1 2 0.763 1 3 0.924 0.693 1 4 0.811 0.558 0.924 1 5 0.524 0.764 0.427 0.171 1 6 0.637 0.745 0.574 0.380 0.900 1 7 0.637 0.814 0.544 0.372 0.890 0.938 1 9 0.819 0.802 0.823 0.711 0.501 0.553 0.604 1 10 0.869 0.846 0.856 0.723 0.605 0.666 0.686 0.964 1 11 0.858 0.873 0.855 0.706 0.699 0.737 0.741 0.889 0.953 1

(36)

0 50 100 150 200 250 300 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 39 41 43 45 47 B io m aasa (t o n /h a) No Plot

Lampiran 5 Matrik korelasi antara nilai digital citra fusi Brovey terhadap biomassa

Band 1 2 3 4 5 6 7 9 10 11 1 1 2 0.897 1 3 0.866 0.896 1 4 0.927 0.947 0.966 1 5 -0.870 -0.837 -0.542 -0.681 1 6 -0.514 -0.460 -0.069 -0.209 0.797 1 7 0.378 0.430 0.703 0.660 -0.010 0.547 1 9 -0.138 -0.073 0.342 0.191 0.573 0.884 0.769 1 10 -0.245 -0.181 0.235 0.073 0.665 0.922 0.695 0.980 1 11 -0.372 -0.311 0.073 -0.090 0.748 0.899 0.538 0.886 0.950 1

Lampiran 6 Sebaran biomassa dengan 3 kelas

Lampiran 7 Sebaran biomassa dengan 5 kelas

0 50 100 150 200 250 300 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 39 41 43 45 47 B io m assa (t o n /h a) No plot

(37)

Lampiran 8 Matrik kontingensi akurasi peta sebaran biomassa dengan 3 kelas Kelas referensi Dikelaskan ke kelas- Total Akurasi Pembuat 1 2 3 1 14 2 4 20 70 2 3 5 7 15 33.33 3 1 8 4 13 30.77 Total 18 15 15 Akurasi pengguna 77.78 33.33 26.67

Lampiran 9 Matrik kontingensi akurasi peta sebaran biomassa dengan 5 kelas

Kelas referensi Dikelaskan ke kelas- Total Akurasi pembuat 1 2 3 4 5 1 13 2 7 0 0 17 47.06 2 3 2 2 1 0 8 25 3 3 1 5 0 1 16 31.25 4 2 1 0 2 1 5 0 5 1 0 1 0 0 2 0 Total 22 6 15 3 2 Akurasi Pengguna 59.09 33.33 33.33

Lampiran 10 Matrik kontingensi akurasi peta sebaran biomassa dengan 5 kelas

Kelas referensi Dikelaskan ke kelas- Total Akurasi pembuat 1 2 3 4 5 6 7 1 17 7 1 0 1 0 1 27 62.96 2 4 2 3 0 1 0 2 12 16.67 3 3 2 0 0 0 0 1 6 0 4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 6 1 0 0 0 0 0 0 1 0 7 1 1 0 0 0 0 0 2 0 Total 26 12 4 0 2 0 4 Akurasi pengguna 65.38 16.67 0 0 0 0 0

(38)

Lampiran 11 Peta sebaran biomassa dengan 5 kelas

(39)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 21 Juni 1992 di Probolinggo, Jawa Timur. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Turino dan Ibu Siti Jamiah. Penulis memulai jenjang pendidikan formal di SD Negeri Sendangsari Jawa Tengah (1999 – 2005), SMP Negeri 19 Purworejo (2005 – 2008) dan SMA Negeri 07 Purworejo (2008 – 2010). Pada tahun 2010, penulis melanjutkan studi S-1 di Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

Selama menjadi mahasiswa, penulis menjadi asisten mata kuliah Teknik Inventarisasi Sumberdaya Hutan pada tahun ajaran 2014 hingga sekarang. Penulis juga aktif berorganisasi di Pengurus Cabang Sylva Indonesia sebagai anggota Divisi Kajian Strategi periode 2011-2012, Pengurus Pusat Sylva Indonesia sebagai Ketua Departemen Pengembangan Sumber Daya Mahasiswa Kehutanan (PSDMK) periode 2012-2014, dan anggota FMSC (Forest Management Student Club) periode 2011 – 2012, serta menjadi volunteer di FORCI Development tahun 2012 sampai sekarang. Penulis juga aktif berpartisipasi dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan di Institut Pertanian Bogor.

Penulis melakukan Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Kamojang dan Sancang Timur, Garut, Jawa Barat. Penulis juga mengikuti Praktik Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat Sukabumi. Tahun 2014 penulis melakukan Praktik Kerja Lapang di Badan Layanan Umum Pusat P2H, Kementerian Kehutanan.

Gambar

Gambar 1 Peta lokasi titik plot pengamatan lapang di APHR Wonosobo  Berdasarkan peta lokasi pada Gambar 1, warna citra yang tampak di wilayah  tersebut adalah warna hijau, merah muda dan biru tua
Tabel 1 Rumus alometrik untuk menduga jenis tanaman dilahan agroforestri
Tabel 3 Kondisi lapangan dan biomassa rata-rata pada masing-masing tipe  Tipe  Rincian jumlah  plot  Kondisi Lapangan  Biomassa rata-rata (ton/ha)  Sengon dan Kopi  7  Sengon pada kelas umur muda  2.01
Gambar 2 Scatterplot biomassa setiap plot di lapangan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Bila persyaratan sudah lengkap, Kepala Bidang Pemanfaatan Hutan membuat konsep Surat Keputusan Kepala Dinas tentang Pengangkatan P2LHP yang memuat nama, NIP,pangkat, jabatan,

Program yang dilaksanakan SMPIT Tahfidzil Qur’an untuk menjaga hafalan Al-Qur’an siswa adalah dengan menerapkan muraja‟ah binadlor secara istiqomah 1-5 juz/hari. Selain itu

menghasilkan produk yang berkualiti, harga yang menarik dan membuat ia boleh didapati untuk Promosi pengguna sasaran adalah komunikasi dengan pelanggan, menyediakan maklumat

asupan energi, asupan lemak dan status gizi pada masyarakat terutama. remaja di SMA Desa

Berdasar kebutuhan ini, dibuatlah aplikasi marketplace untuk kalangan Mahasiswa dan Alumni Universitas Kristen Petra sebagai wadah informasi dan perantara untuk

Untuk membuat pelat yang ringan, tipis tetapi kuat yaitu dengan menggunakan tulangan baja berupa kawat baja las/wiremesh Penggunaan tulangan baja ini dimaksudkan

Khusus mengenai persentase pendapatan desa baik dari jasa pelayanan administrasi, pengelolaan kekayaan desa maupun hasih usaha desa, antara pelaksana/kolektor dengan kas desa

Dalam praktiknya upaya mutasi pegawai negeri sipil ini merupakan pemberdayaan dan pembinaan yang mengarahkan kegiatannya kepada tujuan mutasi yaitu,