SIMPANAN AIR TANAH PADA HUTAN JATI
(
Tectona grandis
)
SKRIPSI
Oleh :
DIRA SAMODRA
NPM : 0625010007FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
JAWA TIMUR
(
Tectona grandis
)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian
Program Studi Agroteknologi
Oleh :
DIRA SAMODRA
NPM : 0625010007FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
JAWA TIMUR
disusun oleh
DIRA SAMODRA NPM : 0625010007
Telah dipertahankan dan diterima oleh Tim Penguji Fakultas Pertanian Program Studi Agroteknologi Universitas Pembangunan Nasional “ Veteran ” Jawa Timur
Pada Tanggal 9 Desember 2010
Pembimbing : Tim Penguji :
Pembimbing Utama: 1. Ketua Tim Penguji :
Dr.Ir. Bakti Wisnu Widjajani, MP. Dr.Ir. Bakti Wisnu Widjajani, MP.
2. Anggota Tim penguji :
Pembimbing Pendamping:
Ir. Purwadi, MP.
Ir. Purnomo Edi Sasongko, MP.
Ir. Yonny Koentjoro, MM.
Ir. Purnomo Edi Sasongko, MP.
Mengetahui ,
Dekan Ketua
Fakultas Pertanian Progdi Agroteknologi
Telah direvisi
Tanggal : ……….
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Hutan adalah sebuah kawasan yang ditumbuhi dengan lebat oleh
pepohonan dan tumbuhan lainnya. Kawasan-kawasan semacam ini terdapat di
wilayah-wilayah yang luas di dunia dan berfungsi sebagai penampung karbon
dioksida (carbon dioxide sink), habitat hewan, modulator arus hidrologika, serta
pelestari tanah, dan merupakan salah satu aspek biosfer bumi yang paling penting
(Wikipedia, 2010). Secara ekologis, hutan mempunyai ciri spesifik yang berbeda
dengan ekologi diluar hutan, sehingga mempunyai peran yang besar pada
stabilitas sumberdaya alam (Simon, 1999). Berdasarkan fungsinya, hutan
dibedakan menjadi hutan lindung, hutan produksi dan hutan serbaguna (UU No. 5
tahun 1967 dan Keppres No. 32 tahun 1990). Hutan produksi dikelompokkan atas
hutan produksi jati dan rimba. (Soemarno, 2002).
Kayu Jati mempunyai nilai ekonomi yang lebih tinggi dibanding kayu
bahan industri yang lain. Namun demikian, perluasan penanaman ini ada yang
dilakukan pada lahan yang kurang sesuai sehingga menekan pertumbuhan dalam
kualitas hasil produksinya (Siswamartana, 2002). Penilaian hutan jati dan
keberadaannya terhadap aspek sumberdaya mulai dilakukan tahun sembilan
puluhan, sejak permasalahan pada hutan jati diangkat ke permukaan. Sebagai
contoh, sistim perakaran jati berada pada 20-40 cm dari permukaan tanah
sehingga rawan tumbang (Anonim, 1998), sumbangan litter ke dalam tanah
sebesar 812,25 kg/ha sehingga rendah terhadap proses pengkayaan tanah
(Maftu’ah et al., 2002), penurunan tingkat kelurusan batang dan pembentukan
bonita sebesar 2,3 % per tahun selama 10 tahun terakhir (Anonim, 2002) dan
pengurangan jumlah mata air serta kekeringan di sungai dalam kawasan hutan jati.
Di fihak lain, permintaan terhadap kayu tropis yang diperdagangkan di
dunia harus berasal dari hutan yang dikelola secara berkelanjutan (sustainable)
sehingga dipersyaratkan kriteria-kriteria pengelolaan (ITTO,1992). Diantara
kriteria yang telah disusun, seperti kriteria ITTO, dan Pengelolaan Hutan Alam
Produksi Lestari (PHAPL) (Anonim, 2002), secara eksplisit belum menjelaskan
kerusakan tanah oleh erosi selama penanaman jati. Padahal erosi merupakan
komponen utama dalam keberlanjutan penggunaan lahan (Kelly dan Gomes,
1998).
Pemahaman penelitian terjadinya erosi dan akibat yang ditimbulkan
berkaitan dengan kelestarian sumberdaya lahan telah banyak dilakukan (Anonim,
2004), tetapi penelitian yang menyangkut erosi pada hutan jati masih terbatas
(Hendrayanto et al., 2002).
Dewasa ini sumber daya hutan baik hutan alam maupun hutan tanaman
yang ada di hampir sebagian besar wilayah Indonesia telah mengalami penurunan
fungsi secara drastis dimana hutan tidak lagi berfungsi secara maksimal sebagai
akibat dari ekploitasi kepentingan manusia baik yang disengaja maupun yang
tidak disengaja. Oleh karena itu penyelamatan fungsi hutan dan perlindunganya
sudah saatnya menjadi tumpuan harapan bagi kelangsungan jasa produksi ataupun
lingkungan untuk menjawab kebutuhan mahkluk hidup. Mengingat tinggi dan
pentingnya nilai hutan, maka upaya pelestarian hutan wajib dilakukan apapapun
konsekuensi yang harus dihadapi, karena sebetulnya peningkatan produktivitas
panjang, oleh karena itu perlu dicari solusi yang tepat untuk mempertahankan
produktivitas tegakan ataupun ekosistem hutan (Irwanto, 2006).
1.2. Hipotesis
a) Laju erosi melebihi erosi diperbolehkan di hutan jati menunjukkan terjadinya
kerusakan lahan, dan penurunan produktivitas lahan.
b) Rorak akan menurunkan laju erosi dan meningkatkan simpanan air dalam
tanah.
1.3. Tujuan Penelitian
a) Mempelajari proses terjadinya erosi oleh air hujan pada hutan jati.
b) Mengetahui pengaruh rorak terhadap besarnya laju erosi dan simpanan air
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Manfaat dan Fungsi Hutan
Hutan sebagai suatu ekosistem merupakan sumber daya alam yang
mempunyai nilai sangat tinggi tidak saja sebagai unsur produksi yang potensial,
tetapi juga mempunyai peranan sebagai pengatur sumber daya air dan tanah.
Keberadaan hutan di suatu kawasan sangat diperlukan untuk mengatur kondisi
hidro-orologi kawasan tersebut dan kawasan lain yang ada disekitarnya. Dalam
hal ini tanaman hutan akan menyerap sebagian besar air hujan yang jatuh di
kawasan tersebut dan air yang sampai dipermukaan tanah sebagian besar akan
masuk ke dalam tanah melalui infiltrasi dan perkolasi sehingga menurunkan
limpasan permukaan dan erosi. Air yang tersimpan di dalam profil tanah
selanjutnya dapat dimanfaatkan pada waktu dan tempat yang memerlukannya.
Pada saat yang sama, melalui biomassa yang dihasilkan, hutan juga mampu
meningkatkan kesuburan dan produktivitas tanah.
Hutan sebagai suatu ekosistem dengan komponen-komponennya berupa
tanaman pohon dan tanaman sela serta semak yang rapat dapat berfungsi sebagai
pengatur tata air, tidak saja bagi lingkungan hutan tetapi juga bagi kawasan
disekitarnya (tengah dan hilir). Sebagai pengatur tata air, hutan menentukan
kualitas dan kuantitas hasil air (water yield). Perolehan hasil air sangat
Sifat penutupan lahan akan menentukan besarnya bagian hujan yang dapat
ditahan oleh tanaman (intersepsi), yang masuk ke dalam tanah (infiltrasi), yang
akan kembali ke atmosfer (evapotranspirasi) dan yang akan mengalir di
permukaan tanah (limpasan permukaan). Sirkulasi air dari curah hujan, sebagai
aliran masuk, ke evapotranspirasi dan limpasan permukaan, sebagai aliran keluar,
akan berlangsung secara kontinyu dan berada dalam keseimbangan.
Keseimbangan dalam sirkulasi air ini akan terganggu bila salah satu parameternya
mengalami perubahan. Sebagai contohdapat dikemukakan peristiwa banjir yang
terjadi di sebagian besar sungai-sungai besar di Indonesia, dan pada daerah lain
terjadi hal yang sebaliknya, yaitu bahaya kekeringan seperti yang dijumpai di
Wonogiri, Trenggalek dan Blitar. Kasus pendangkalan bendungan Karangkates
dan Selorejo sehingga berakibat menurunnya umur efektif bendungan juga
merupakan contoh klasik terjadinya ketidak seimbangan sirkulasi air.
Kerusakan hutan diindikasikan secara kuantitatif dengan adanya
penyusutan luas kawasan hutan. Departemen kehutanan memperkirakan laju
kerusakan hutan adalah 0,8 juta hektar per tahun. Laju kerusakan hutan tersebut
berkaitan dengan adanyta kegiatan konversi kawasan hutan untuk pengembangan
perkebunan, pertanian, pemukiman, kebakaran hutan serta pembongkaran hutan
untuk kepentingan tertentu.
Dalam kaitannya dengan kepentingan pengelolaan hutan, maka ekosistem
hutan dibedakan menjadi : hutan alam, hutan tanaman monokultur dan hutan
rakyat. Sifat khas ekosistem hutan alam khususnya di daerah tropika basah, adalah
keanekaragaman jenis flora dan fauna dengan berbagai ukuran yang saling
dikelompokkan menurut tingginya menjadi beberapa strata ditambah dengan satu
stratum semak belukar dan satu stratum penutup tanah yang berupa rumput dan
seresah. Ditinjau dari segi kesuburan tanah, hutan alam dapat dijamin kelestarian
dan stabilitasnya. Hal tersebut dapat terjadi karena produksi seresah sangat tinggi
sedang proses dekomposisi berlangsung tanpa gangguan, sehingga pembentukan
humus dapat terjadi secara kontinyu. Kehilangan nutrisi akibat digunakan oleh
seluruh vegetasi penyusun hutan atau hilang keluar sistem akibat erosi atau
dimanfaatkan oleh manusia dapat diimbangi oleh terbentuknya nutrisi baru oleh
proses pembentukan humus.
Berbeda dengan hutan alam, hutan tanaman monokultur hanya didominasi
oleh satu jenis tumbuhan sehingga menjadikannya tidak stabil. Terlebih lagi hutan
tanaman dibuat untuk dipanen kayunya, maka pada waktu pemanenan akan
terjadi pengangkutan materi yang besar dan menyebabkan perubahan iklim mikro
secara mendadak. Akibatnya, dalam jangka waktu cukup lama akan kehilangan
bahan baku utama pembuat humus. Dominasi satu jenis tumbuhan tertentu dengan
umur yang sama menyebabkan hutan tersusun atas satu tajuk yang dominan
sehingga merubah karakter populasi organisme mikro maupun tumbuhan bawah.
Adanya jenis tumbuhan lain tidak mempunyai pengaruh yang berarti
terhadap stabilitas ekosistem karena jumlahnya seringkali sangat sedikit.
Walaupun seringkali ditonjolkan mengenai keuntungan finansial, namun
kenyataannya ekosistem hutan tanaman monokultur sangat rentan terhadap
gangguan yang merusak, seperti erosi dan kebakaran dan penyakit. Kehilangan
nutrisi keluar sistem tidak dapat diimbangi oleh dekomposisi seresah dan mineral
Hutan produksi adalah kawasan hutan yang didominasi oleh vegetasi
tertentu dengan tujuan untuk diambil hasilnya, baik berupa kayu, getah, damar
atau lainnya. Hutan Produksi dibagi menjadi hutan produksi jati dan rimba
(sengon, mahoni dan lainnya). Sedangkan hutan serbaguna adalah kawasan hutan
yang mempunyai fungsi konservasi dan estetika, seperti cagar alam dan taman
wisata.
Hasil analisa Simon (1999) terhadap kemerosotan kualitas tegakan yang
terjadi sejak tahun 1960 disebabkan berbagai hal (sebagaimana dikemukakan
diatas) sehingga dapat dikelompokkan menjadi faktor intern dan ekstern.
Ditinjau dari aspek kewilayahan (administrasi pengelolaan dan bentangan
lahan), kebijakan pengelolaan hutan yang telah dikemukakan menimbulkan
masalah tersendiri mengingat keterkaitannya dengan kebijakan setempat, apalagi
di era otonomi daerah, walaupun secara hierarkhis pewilayahan pengelolaan hutan
berada pada satu komando. Jika pengelolaan hutan didasarkan pada keseimbangan
ekosistem satuan Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai unit pengelolaan,
efektivitas fungsi hutan disatu sisi dan produktivitas (ekonomi) di sisi lain dapat
ditingkatkan. Sebagaimana Priyono dan Irawan (2004) menyatakan bahwa sebagai
bentuk sumberdaya alam, DAS merupakan common pool resource, stock dan
comodity artinya pemanfaatan sumberdaya alam di lahan kawasan DAS di satu pihak, akan mempengaruhi ketersediaan sumberdaya di pihak laian, selain itu
DAS juga dapat menghasilkan fungsi-fungsi yang intangable sifatnya seperti
pengendalian air, serapan carbon, kesuburan tanah, keindahan alam serta, setiap
komoditas lainnya serta berpengaruh terhadap fungsi-fungsi intangable diatas
(Kartodihardjo, 2004 dalam Priyono dan Irawan, 2004).
2.2. Erosi Pada Lahan Hutan
Erosi tanah merupakan proses kehilangan tanah yang disebabkan oleh
pengaruh faktor luar seperti air, angin dan manusia sebagai faktor anthropogenic
yang nyata. Dalam proses erosi, partikel tanah didispersi dan diangkut oleh
kekuatan energi pengerosi, dan selanjutnya tanah yang tererosi akan diendapkan
ditempat yang dilaluinya sewaktu tenaga pengerosi melemah yaitu di sungai,
waduk atau laut.
Erosi dapat dilihat dari dua segi yaitu faktor penyebab, yang
menggambarkan kemampuan agen pengerosi dan dinyatakan dalam erosivitas,
dan faktor tanah yang menggambarkan kepekaan tanah terhadap energi pengerosi
dan dinyatakan dalam erodibilitas (Hudson, 1981), sehingga dapat dinyatakan :
Erosi = f (Erosivitas x Erodibilitas)
Lebih spesifik, laju dan besarnya erosi ditentukan oleh : (1) faktor yang
menentukan energi (intensitas hujan dan limpasan permukaan), serta faktor yang
mempengaruhi besarnya energi (kemiringan dan panjang lereng), (2) faktor
ketahanan tanah atau erodibilitas tanah (diuraikan menjadi sifat tanah) dan (3)
faktor yang memodifikasikan (tanaman dan tindakan pengelolaan). Morgan
(1986), menguraikan kemungkinan terjadinya erosi berdasarkan faktor energi,
Jika faktor-faktor yang menentukan nilai energi tinggi (dalam hal ini
hujan, limpasan permukaan, angin dan lereng); faktor ketahanan tanah rendah
(dalam hal ini erodibilitas, kapasitas infiltrasi dan pengelolaan tanah); dan faktor
pelindung rendah (tanaman yang menutup tanah dan tekanan penduduk akan
lahan) maka akan terjadi erosi. Sebaliknya jika faktor yang menentukan energi
rendah, nilai faktor ketahanan tanah baik, dan nilai faktor pelindung baik maka
tidak terjadi erosi.
Rendah – Erosivitas hujan - Tinggi
Rendah – Volume Limpasan - Tinggi Permukaan
Rendah – Lereng - Tinggi (kemiringan, panjang)
Rapat – Penahan Angin - Jarang
Rendah – Erodibilitas tanah - Tinggi
Tinggi – Kapasitas infiltrasi - Rendah
Baik – Pengelolaan tanah - Jelek
Rendah - - Tinggi Baik - - Jelek Baik - - Jelek
Tak terjadi Erosi Terjadi
Rendah - Populasi Manusia - Tinggi (tekanan pada hara)
Padat - Penutup Tanah (Tanaman) - Tak ada Rendah - Tekanan Pemakaian Lahan - Tinggi Baik - Pengelolaan Lahan - Jelek
Faktor Pelindung Faktor
Energi
Faktor Ketahanan
2.3. Erosi Diperbolehkan
Erosi adalah proses alam yang telah, sedang dan akan terus terjadi dan
tidak dapat dihentikan, namun yang dapat dilakukan hanyalah mengendalikan
atau menurunkan laju erosi. Dengan demikian diperlukan adanya tolok ukur untuk
menentukan kapan atau pada tingkatan erosi berapa kita harus melakukan
pengendalian erosi. Tingkatan erosi ini kemudian ada yang menyebutnya dengan
istilah “ Permicible Erosion “ atau “ acceptable erosion “ , yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “ Erosi diperbolehkan “ (Edp).
Erosi yang diperbolehkan (Edp) dapat diartikan sebagai suatu tingkat erosi
tanah maksimum yang masih memberikan produktivitas tanah yang memadai dan
mampu dipertahankan secara ekonomis. Dalam kondisi keseimbangan alam maka
besarnya erosi diperbolehkan adalah sama dengan laju pembentukan tanah.
Karena laju pembentukan tanah tidak seragam, maka erosi yang diperbolehkan
juga akan berbeda untuk setiap kondisi tanah.
Sampai sekarang kriteria penetapan nilai erosi yang diperbolehkan terus
berkembang karena masih banyak hal yang belum diketahui secara pasti, seperti
laju pembentukan zona perakaran. Namun demikian, ada beberapa metode yang
dapat digunakan untuk menetapkan besarnya erosi diperbolehkan, diantaranya
Dent (1983), dan metode yang digunakan oleh Ditjen Reboisasi dan Rehabilitasi
Lahan, Departemen Kehutanan.
Persamaan penetapan nilai erosi yang diperbolehkan oleh Hammer (1981):
kedalaman tanah ekivalen
Edp = ─────────────────── dalam mm/th kelestarian tanah
Kedalaman tanah ekivalen adalah kesetaraan kedalaman tanah yang
merupakan perkalian faktor kedalaman tanah dengan kedalaman tanah efektif.
Faktor kedalaman tanah adalah faktor modifikasi yang didasarkan pada prakiraan
kemerosotan jeluk tanah. Sedangkan kelestarian tanah adalah waktu yang
diperkirakan berdasarkan laju pembentukan tanah.
Selanjutnya Wood dan Dent (1983) mengembangkan metode Hammer
dengan persamaan :
DE - Dmin
Edp = ──────────── + laju pembentukan tanah kelestarian tanah
DE adalah kedalaman tanah ekivalen, sedangkan Dmin adalah kebutuhan
jeluk tanah minimum yang sesuai. Apabila Dmin > DE maka nilai Edp sama
dengan laju pembentukan tanah.
Ada lima nilai untuk menyatakan kelestarian tanah, yaitu 30, 100, 200,
400 dan 500. Studi yang dilakukan BTPDAS Surakarta (1988) menyebutkan
bahwa perhitungan nilai Edp menurut Hammer pada umumnya memberikan nilai
yang lebih besar, tetapi pada kelestarian tanah 400 dan 500, nilai Hammer serta
2.4. Erosivitas Hujan
Setiap hujan mempunyai kemampuan yang berbeda untuk menimbulkan
erosi. Kemampuan hujan untuk menimbulkan erosi disebut sebagai erosivitas
hujan. Erosivitas hujan ditentukan oleh beberapa sifat hujan, seperti energi,
diameter, intensitas dan jumlah hujan (Utomo, 1994).
Erosivitas, yang dalam erosi air merupakan manifestasi hujan memiliki
energi potensial karena pengaruh massa dan percepatan gravitasi, yang kemudian
dirubah menjadi energi kinetik sebagai energi penggerak yang akan mendispersi
dan memindahkan partikel tanah (Morgan, 1986). Sedangkan energi kinetik
limpasan permukaan diperoleh dari massa dan kecepatan pergerakannya
digunakan untuk mengangkut partikel tanah. Energi ini akan meningkat sejalan
dengan meningkatnya kemiringan dan panjang lereng, yang akan berakibat pada :
(1) pengurangan infiltrasi, (2) peningkatan jarak tempuh dan (3) peningkatan
volume limpasan permukaan.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya gesekan udara yang
berlawanan dengan arah jatuhnya air hujan, dapat mengurangi besarnya energi
kinetik air hujan, sehingga tidak semua energi yang digunakan dalam proses erosi
adalah energi yang dihasilkan oleh air hujan atau limpasan permukaan (Utomo,
1994). Gesekan udara dipengaruhi oleh luas permukaan butir hujan. Gesekan
udara pada massa yang sama makin besar dengan bertambahnya luas permukaan.
Jadi semakin kecil ukuran butir hujan maka gesekan udara semakin besar,
sehingga kecepatan jatuhnya makin kecil.
Kemampuan butir hujan untuk menghancurkan tanah meningkat secara
pada permukaan tanah akan mempengaruhi kemampuan butir hujan untuk
menghancurkan tanah. Kemampuan butir hujan untuk menghancurkan tanah akan
meningkat sampai kedalaman lapisan air 0,3 ukuran butir, peningkatan
kedalaman lapisan air selanjutnya akan menurunkan daya pukul air hujan. Pada
kedalaman 3 kali ukuran butir, kemampuan butir hujan untuk menghancurkan
tanah dapat dianggap tidak ada. Pada kondisi ini yang berperanan dalam proses
erosi, baik penghancuran maupun pengangkutan, adalah air limpasan permukaan.
Karena terdapat berbagai ukuran butir pada suatu kejadian hujan, maka
terdapat banyak ukuran kecepatan yang harus diperhitungkan. Selain itu, jika
ukuran butir hujan mencapai lebih dari 5 mm maka butir hujan akan pecah
menjadi beberapa butir yang lebih kecil akibat adanya gaya gesek udara.
Mengingat hal tersebut, beberapa ahli menggunakan intensitas hujan untuk
menghitung energgi kinetik air hujan. Penggunaan intensitas hujan mempunyai
arti yang penting, karena intensitas hujan mempunyai hubungan yang erat dengan
erosi. Pada umumnya makin besar intensitas hujan, makin besar kemungkinan
terjadinya erosi. Namun demikian, seringkali didapatkan hasil yang tidak
konsisten, yaitu bila hujan dengan intensitas tinggi terjadi dalam waktu singkat
tidak menimbulkan erosi tetapi hujan dengan intensitas sedang dalam waktu lama
mengakibatkan erosi karena limpasan permukaan yang terjadi cukup besar.
Dengan fenomena tersebut, maka para pakar konservasi tanah biasanya
menghitung indeks erosivitas hujan dengan menggunakan energi kinetic (Morgan,
1986). Untuk keperluan ini diperlukan data intensitas hujan dan jumlah hujan.
Padahal kebanyakan data yang ada hanya menunjukkan jumlah hujan. Dengan
menghitung erosivitas hujan dengan menggunakan jumlah hujan dan besarnya
hujan maksimum, yaitu :
Rb = 6,119 (Hb)1,21 (HH)-0,47 (H24)0,53
Keterangan : Rb = erosivitas bulanan
Hb = jumlah hujan bulanan (cm) HH = jumlah hari hujan bulanan
H24 = hujan maksimum selama 24 jam dalam bulan tersebut 2.5. Erodibilitas Tanah
Erodibilitas didefinisikan sebagai kepekaan tanah terhadap erosi, dan
merupakan fungsi dari sifat-sifat fisik tanah dan pengelolaannya (Hudson, 1981).
Menurut Arsyad (1989), kepekaan erosi tanah adalah fungsi beberapa interaksi
sifat fisik dan kimia tanah. Sedangkan Utomo (1994) berpendapat bahwa
erodibilitas adalah kemudahan tanah untuk tererosi, yang ditentukan oleh :
(a) ketahanan tanah terhadap daya rusak dari luar, baik air hujan maupun run-off
(b) kemampuan tanah untuk menyerap air (infiltrasi dan perkolasi).
Kemudahan tanah untuk dihancurkan ditentukan oleh tekstur tanah,
kemantapan agregat, bahan organik dan bahan pengikat yang lain. Sedangkan
kemampuan menyerap dan meneruskan air dipengaruhi oleh kapasitas infiltrasi,
permeabilitas tanah, tekstur tanah, kemantapan agregat dan ruang pori.
Ukuran partikel berpengaruh terhadap indeks erodibilitas karena ukuran
partikel menentukan kemampuan tanah bertahan terhadap energi limpasan
permukaan. Limpasan permukaan akan mampu mengerosi tanah jika energi
limpasan yang berasal dari kecepatan dan tebal aliran lebih besar daripada
ketahanan tanah. Pada tanah dengan partikel berukuran besar akan tahan terhadap
erosi karena sukar diangkut, sedangkan tanah yang didominasi oleh partikel halus
oleh bahan semen. Tanah yang mudah tererosi adalah tanah yang didominasi oleh
partikel berukuran sedang, yaitu debu dan pasir halus.
Kemantapan agregat mempengaruhi ketahanan tanah terhadap pukulan dan
daya urai air. Tanah dengan agregat yang mantap, karena adanya pengikatan oleh
bahan organik atau bahan semen yang lain, mempunyai kemampuan untuk
bertahan terhadap erosi. Kapasitas infiltrasi dipengaruhi oleh distribusi ukuran dan
kemantapan pori, serta kedalaman efektif tanah. Adanya mineral liat tipe 2:1
yang mempunyai kemampuan mengembang dan mengkerut akan menurunkan
kapasitas infiltrasi.
Indeks erodibilitas dapat dihitung melalui percobaan langsung dilapangan
dengan menggunakan petak baku, yaitu petak pada keadaan tanah terbuka yang
memungkinkan kejadian erosi maksimum, pada lereng 9 % dan panjang lereng 22
meter. Dengan mengetahui besarnya kehilangan tanah (A, ton/ha) dan erosivitas
hujan (R), maka indeks erodibilitas (K) dapat dihitung dengan rumus :
K = A / R
Perhitungan nilai K dengan percobaan lapangan memang merupakan cara
yang tepat, namun karena memerlukan biaya dan waktu yang besar maka
Wischmeier, Johnson dan Cross (1971) menggunakan cara estimasi dengan
menghubungkan berbagai sifat fisik tanah untuk menghitung indeks erodibilitas
tanah. Persamaan yang didapat adalah :
100 K = 2,1 M1,14 (10-4) (12-a) + 3,25 (b-2) + 2,5 (c-3)
Keterangan : M = ukuran partikel (% debu + % pasir halus) a = kandungan bahan organik
2.5. Pengaruh Rorak terhadap Erosi dan Simpanan Air dalam Tanah
Rorak adalah lubang atau penampang yang dibuat memotong lereng yang
berfungsi untuk menampung dan meresapkan air aliran permukaan sehingga
memungkinkan air masuk ke dalam tanah dan mengurangi erosi dari lahan. Rorak
merupakan lubang yang digali ke dalam tanah dengan ukuran kedalaman 40 cm,
lebar 40 cm dengan panjang berkisar dari 1 sampai 5 meter (Arsyad, 1989).
Dimensi rorak yang disarankan sangat bervariasi, tergantung dari kapasitas air
atau sedimen yang akan ditampung. Lubang yang digali kemudian diisi oleh
serasah atau sisa-sisa tanaman yang ada di sekitarnya. Hal ini berfungsi untuk
menampung aliran permukaan dan serasah atau sisa-sisa tanaman dapat menahan
partikel tanah pada dinding rorak serta sebagai bahan organik yang merupakan
sumber makanan bagi organisme tanah.
Penelitian yang dilakukan oleh Noeralam (2002) menyatakan bahwa
teknik pengendalian aliran permukaan dengan rorak paling efektif mengurangi
aliran permukaan yaitu 88 % dari aliran permukaan pada lahan terbuka tanpa
teknik pengendalian aliran permukaan dan tanpa tumbuhan. Adanya rorak
menyebabkan aliran permukaan tertampung di dalam rorak kemudian terinfiltrasi
secara perlahan dan dapat dimanfaatkan oleh vegetasi sehingga tidak semua aliran
permukaan sampai ke titik pembuangan (outlet).
Selain untuk mengendalikan laju erosi, rorak juga merupakan salah satu
cara “pemanenan” air hujan yang efektif, khususnya pada lahan dengan lereng
agak curam (10-25%), yang dicerminkan dengan kemampuannya dalam
Gambar 1. Rorak pada hutan jati
III. METODE PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Percobaan
Penelitian lapangan dilaksanakan di hutan produksi jati dalam wilayah
KRPH Ngawenan, BKPH Pasarsore, KPH Cepu Perum Perhutani Unit I Jawa
Tengah, sejak April 2010 sampai dengan Juli 2010. Analisa laboratorium
dilaksanakan di laboratorium Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas
Pembangunan “Veteran” Jawa Timur.
Pengamatan dilakukan pada skala petak erosi dengan ukuran pxl : 20x8 m.
3.2. Bahan dan Alat
Bahan penelitian terdiri kawasan hutan produksi jati yang dibedakan
berdasarkan kelompok umur (KU) 10 tahunan dari KU I sampai KU V,
Peralatan yang diperlukan selama penelitian terdiri:
a. Pengukur cuaca meliputi ombrometer dan ARR. Pengukur sifat-sifat tanah
b. Pengukur erosi meliputi apron dan drum, timbangan, gelas ukur dan mistar.
c. Pengukur tanaman jati meliputi hagameter, mistar dan kertas berskala.
d. Peta rupa bumi skala 1: 25 000 dan peta geologi lembar Bojonegoro-Jawa,
skala 1: 100 000
3.3. Pelaksanaan Penelitian
Petak percobaan dibuat pada masing-masing kelompok umur tanaman jati
: 5, 15, 25, 35 dan 45 tahun (KU I, II, III, IV dan V). Pada setiap kelompok umur
jati dibuat 2 (dua) petak ukur dengan ukuran masing-masing 20 x 8 m. Pada petak
pertama dibuat rorak, sedangkan petak kedua tanpa rorak.
Erosi diukur terhadap jumlah tanah yang hilang dari petak percobaan. Pada
bagian bawah petak ditempatkan apron untuk menampung tanah yang terbawa
aliran air. Ukuran apron adalah 80x80 cm2. Pengamatan laju erosi dilakukan
setiap hari hujan.
Rorak dibuat pada petak percobaan dengan ukuran pxlxd : 80x40x40 cm.
Air tersimpan dalam tanah diamati pada masing-masing petak ukur pada
kedalaman solum (10 cm sampai dengan 60 cm).
3.4. Variabel Pengamatan
a. Erosivitas hujan dengan persamaan yang dikembangkan oleh Bols (1978):
Rb = 6,119 (Hb)1,21 (HH)-0,47 (H24)0,53
Keterangan : Rb = Indeks erosivitas hujan bulanan Hb = curah hujan bulanan (cm bulan-1)
H24 = hujan maksimum 24 jam dalam bulan tersebut (cm)
Selanjutnya untuk mengetahui hubungan antara hujan dengan erosi maka
Rb dihubungkan dengan erosi bulanan (Eb) dengan persamaan Eb = f (Rb).
b. Erodibilitas tanah.
Erodibilitas tanah ditentukan dengan nomograf erodibilitas. Untuk
keperluan ini dilakukan pengamatan struktur tanah dan sifat fisik tanah, yaitu
pasir kasar, pasir halus dan debu, bahan organik dan permeabilitas.
c. Laju erosi.
Erosi diukur dengan cara mengambil contoh air (beserta sedimennya)
sebanyak satu liter dari dalam apron dan drum yang sebelumnya telah diaduk
untuk mendapatkan kondisi homogen. Tanah (sedimen) dipisahkan dengan cara
disaring, dikeringkan, ditimbang, selanjutnya dikonversi ke dalam satuan luas
(ton/ha).
d. Erosi diperbolehkan (Edp)
Erosi diperbolehkan dihitung dengan menggunakan persamaan Hammer
(1981), yaitu :
Edp =
Kedalaman tanah ekivalen diperoleh dengan mengalikan data kedalaman
tanah dari hasil pengukuran di lapangan dengan faktor kedalaman yang
didasarkan pada kondisi tanah yang ada di Indonesia pada kategori Sub Ordo
(Lihat Tabel 1).
kedalaman tanah ekivalen
e. Simpanan Air Tanah, yaitu :
Pengamatan dilakukan pada kedalaman 10-60 cm. Kandungan air tanah
diukur dengan metoda gravimetrik.
Jumlah air tersimpan dalam profil tanah (Δ S) dihitung dengan persamaan:
Tabel 1. Faktor kedalaman ekivalen untuk 30 sub ordo tanah (Hammer,1981)
no Kode Tanah Taksonomi tanah sub order Faktor kedalaman
27 28 29 30
UD UU VD VU
Udult Ustult Udert Uistert
0,80 0,80 1,00 1,00
f. Karakteristik fisika dan kimia tanah
Sifat fisik tanah yang diamati meliputi tekstur tanah, porositas tanah,
permeabilitas, dan kemantapan agregat. Sedangkan sifat kimia tanah meliputi
KTK, C organik, N, P, K, Ca, Na dan Mg. Analisa sifat-sifat tanah dilakukan
terhadap contoh tanah utuh dan contoh tanah terganggu pada petak erosi
(Lampiran 1).
3.5. Analisis Data
Tanaman jati mempunyai siklus hidup yang panjang, maka dari hubungan
Data yang diperoleh dari hasil penelitian dianalisis menggunakan uji F,
selanjutnya untuk mengetahui keeratan hubungan antarparameter di gunakan uji
regresi dan korelasi.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1998. Tectona, L.F. in Timber Trees: Major Commersial Timbers. . 2002. Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan (RPKH), Kelas
Perusahaan Jati KPH Cepu. Seksi Perencanaan Hutan IV Rembang. PT. Perhutani (Persero) Jawa Tengah.
Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Penerbit IPB, Bogor.
Bols, P.L. 1978. The Iso-Erodent Map of Java and Madura. Soil Res. Inst. Bogor.
Ford-Robinson, F.C. 1997. Terminology of Forest Science Technology, Practice and Product, Multilingual for Terminal, Scr. No. 1, Soc. Am. For Wahington DC.
Hammer, W.I. 1981. Second Soil Conservation Consultant Report. AGOF/INSI78/006. Technical Note No.10. Ministry of Agriculture G.O.I/UNDP and FAO.
Hendrayanto., O. Rusdiana & N.M. Arifjaya. 2002. Aplikasi Hasil Penelitian Pengaruh Hutan Tanaman Jati terhadap Tata Air dan Perlindungan Tanah dalam Pengelolaan Hutan Berwawasan Ekosistem: Kasus hasil penelitian di Sub DAS Cijurey Hulu, KPH Purwakarta. Makalah Lokakarya Aplikasi Hasil Penelitian Hidrologi Hutan untuk Penyempurnaan Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem. Yogyakarta.
Hudson, N.W., 1981. Soil Conservation, Second Edition. Cornell University Press. New York.
Irwanto. 2006. Penilaian Kesehatan Hutan Tegakan Jati (Tectona grandis) dan Eucalyptus (Eucalyptus pellita) Pada Kawasan Hutan Wanagama I. Sekolah Pasca Sarjana UGM. Yogyakarta.
ITTO. (1992). Criteria for the Measurement of Sustainable Tropical Forest Management; ITTO Policy Development Series No. 3. ITTO. Retrieved
14-07-2010, 2003, from the
http://www.itto.int/sustainable_forest_management/
Kelly, D.E.S & A.A. Gomez. 1998. Measuring Erosion as a Component of Sustainability. Dalam Soil Erosion at Multiple Scales (eds Penning de Vries, FWT., F. Agus & j. Kerr). C.A.B. Internastional.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomer 32 Tahun 1990 tentang Kawasan Lindung.
Maftuah, E., E. Soesiloningsih & E. Handayanto. 2002. Studi Potensi Diversitas Makro Fauna Tanah sebagai Bioindikator Kualitas Tanah pada Beberapa Penggunaan Lahan. Biodain vol. 2 no. 2.
Morgan, M.F. 1986. Soil Conservation. US Departemen of Agriculture. Agric.Handbook, No. 537.
Priyono, C.N.S. & E. Irawan. 2004. Fungsi Hidrologi Hutan Tanaman Pinus: Erosi Tanah pada Penebangan Hutan Tanaman Pinus merkusii. Makalah Lokakarya Aplikasi Hasil Penelitian Hidrologi Hutan untuk Penyempurnaan Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem. Yogyakarta.
Simon, H. 1999. Pengelolaan Hutan Bersama Rakyat (Cooperative Forest Management), Teori dan Aplikasi pada Hutan Jati di Jawa. Bigraf Publishing. Yogyakarta.
Siswamartana, S. 2002. Penanaman Jati plus Perhutani (JPP). Warta Pusbanghut. Pusat Pengembangan Kehutanan Cepu 4 (01): 2-3
Soemarno, P. 2002. Pengelolaan Hutan di PT Perhutani. Makalah Lokakarya Aplikasi Hasil-Hasil Penelitian Hidrologi untuk Penyempurnaan Hutan Berbasis Ekosistem. Yogyakarta.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan.
Data yang diperoleh dari hasil penelitian dianalisis menggunakan uji F,
selanjutnya untuk mengetahui keeratan hubungan antarparameter di gunakan uji
regresi dan korelasi.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1998. Tectona, L.F. in Timber Trees: Major Commersial Timbers.
. 2002. Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan (RPKH), Kelas
Perusahaan Jati KPH Cepu. Seksi Perencanaan Hutan IV Rembang. PT. Perhutani (Persero) Jawa Tengah.
Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Penerbit IPB, Bogor.
Bols, P.L. 1978. The Iso-Erodent Map of Java and Madura. Soil Res. Inst.
Bogor.
Dariah, A., U. Haryati dan T. Budhyastoro. 2006. Teknologi Konservasi Tanah
Ford-Robinson, F.C. 1997. Terminology of Forest Science Technology, Practice and Product, Multilingual for Terminal, Scr. No. 1, Soc. Am. For Wahington DC.
Hammer, W.I. 1981. Second Soil Conservation Consultant Report.
AGOF/INSI78/006. Technical Note No.10. Ministry of Agriculture G.O.I/UNDP and FAO.
Hendrayanto., O. Rusdiana & N.M. Arifjaya. 2002. Aplikasi Hasil Penelitian
Pengaruh Hutan Tanaman Jati terhadap Tata Air dan Perlindungan Tanah dalam Pengelolaan Hutan Berwawasan Ekosistem: Kasus hasil penelitian di Sub DAS Cijurey Hulu, KPH Purwakarta. Makalah Lokakarya Aplikasi Hasil Penelitian Hidrologi Hutan untuk Penyempurnaan Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem. Yogyakarta.
Hudson, N.W., 1981. Soil Conservation, Second Edition. Cornell University
Press. New York.
Irwanto. 2006. Penilaian Kesehatan Hutan Tegakan Jati (Tectona grandis) dan
Eucalyptus (Eucalyptus pellita) Pada Kawasan Hutan Wanagama I. Sekolah
Pasca Sarjana UGM. Yogyakarta.
ITTO. (1992). Criteria for the Measurement of Sustainable Tropical Forest
Management; ITTO Policy Development Series No. 3. ITTO. Retrieved
14-07-2010, 2003, from the http://www.itto.int/sustainable_forest_management/
Kelly, D.E.S & A.A. Gomez. 1998. Measuring Erosion as a Component of
Sustainability. Dalam Soil Erosion at Multiple Scales (eds Penning de Vries, FWT., F. Agus & j. Kerr). C.A.B. Internastional.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomer 32 Tahun 1990 tentang Kawasan
Lindung.
Maftuah, E., E. Soesiloningsih & E. Handayanto. 2002. Studi Potensi Diversitas
Makro Fauna Tanah sebagai Bioindikator Kualitas Tanah pada Beberapa Penggunaan Lahan. Biodain vol. 2 no. 2.
Morgan, M.F. 1986. Soil Conservation. US Departemen of Agriculture.
Agric.Handbook, No. 537.
Noeralam, A. 2002. Teknik Pemanenan Air yang Efektif dalam Pengelolaan
Priyono, C.N.S. & E. Irawan. 2004. Fungsi Hidrologi Hutan Tanaman Pinus: Erosi Tanah pada Penebangan Hutan Tanaman Pinus merkusii. Makalah Lokakarya Aplikasi Hasil Penelitian Hidrologi Hutan untuk Penyempurnaan Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem. Yogyakarta.
Simon, H. 1999. Pengelolaan Hutan Bersama Rakyat (Cooperative Forest
Management), Teori dan Aplikasi pada Hutan Jati di Jawa. Bigraf Publishing. Yogyakarta.
Siswamartana, S. 2002. Penanaman Jati plus Perhutani (JPP). Warta
Pusbanghut. Pusat Pengembangan Kehutanan Cepu 4 (01): 2-3
Soemarno, P. 2002. Pengelolaan Hutan di PT Perhutani. Makalah Lokakarya
Aplikasi Hasil-Hasil Penelitian Hidrologi untuk Penyempurnaan Hutan Berbasis Ekosistem. Yogyakarta.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 5 Tahun 1967 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan.
Tanah Berat Isi dengan Berat Jenis
oven dalam satuan gr dalam terhadap volume tanah (cc).
Berat isi tanah ditentukan dengan cara menimbag berat tanah kering mutlak (gr) terhadap volume tanah (cc).
BI
Ruang pori total = 100 % - ( x 100 %) BJ
BI : Berat Isi BJ : Berat Jenis 2. Permeabilitas Constant head
permeameter
Contoh tanah dalam ring stainless direndam dalam air pada bak perendam dengan tinggi 3 cm selama 24 jam agar udara dalam pori tanah keluar seluruhnya. Contoh tanah dipindahkan ke dalam permeameter, kemudian dialiri air hingga ketinggian air konstan. Jumlah volume air yang menetes keluar dihitung setiap interval 1 jam sebanyak 5 kali pengukuran.
K : permeabilitas tanah (cm/jam)
Q : jumlah air yang mengalir pada setiap pengukuran t : waktu pengukuran (jam)
L : tebal contoh tanah (cm)
h : tinggi permukaan air dari permukaan contoh tanah A : luas permukaan contoh tanah (cm2)
3. Kemantapan Agregat
Ayakan basah Masa tanah diletakkan pada susunan ayakan berbagai ukuran diamete (d) tanah. Ayakan disusun mulai lubang paling besar hingga lubang terkecil terletak paling bawah untuk memisahkan antara agregat stabil dan yang mudah pecah akibat goncangan dan benturan. Pengayakan dilakukan sambil disemprotkan air pada ayakan paling atas (d terbesar). Hasil ayakan yang tersebar pada berbagai ukuran kemudian ditimbang dalam kedaan kering dan dihitung persentase (%) agregat pada berbagai ukuran terhadap massa awal tanah.
DMR = Σ [(Ǿi x Mpi)/( Σ Mp)]
Ǿi : dimater rata-rata
Mpi : massa tanah pada ayakan i
Σ Mp : total massa tanah
4. Tekstur Tanah Pipet Butiran tunggal tanah yang berkelompok yang membentuk agregat didispersi untuk memecahkan kekuatan yang mengikatnya. Ikatan organik dihilangkangkan dengan membakar atau oksidasi memakai peroksida (H2O2).Ion atau senyawa perekat lain dihilangkan dengan pereaksi HCl. Sedangkan ikatan mekanik dilepaskan dengan mengocok tanah dalam larutan NaPO4. Selanjutnya ditentukan ukutan dan jumlahnya berdasarkan hukum Stoke:
Partikel liat :
Massa liat = 50 x (massa pipet ke 2 – massa blanko pipet ke 2)
Partikel debu :
Massa debu = 50 x (massa pipet ke 1 – massa pipet ke 2)
Partikel Pasir :
Diketahui dari bobot masing-masing bagian dari hasil ayakan.
1. C-organik Oksidasi Basah asam kromik Walkley-Black.
Bahan organik tanah dioksidasi dengan larutan 1 N K2Cr2O7 (kalium dikhromat). . Reaksi ini dibantu oleh panas yang dihasilkan saat 2 volumes H2SO4 dicampur dengan 1 volume dichromat. Dichromat yang tersisa dititrasi dengan ferrous sulphate. Titrasi berhubungan kebalikan dengan jumlah persen C dalam sampel tanah.
2Cr2O7 2- + 3C + 16H+ 4Cr3+ + 8H2O + 3CO2↑
1 mL dari 1 N larutan Dichromat equivalen dengan 3 mg carbon.
Kandungan bahan organik tanah = % C - organik x 1,729
2. Nitrogen Kjedhal Nitrogen total tanah didestruksi dengan H2SO4
pekat dan tablet Kjeldahl pada temperatur 300°C. Hasil
Destruksi diencerkan dengan aquadest hingga volume 100 ml dan ditambah NaOH 40%, lalu di destilasi. Hasil destilasi ditampung dengan 20 ml Asam Borat sampai warna hijau dan volumenya
sekitar 50 ml. Kemudian dititrasi dengan H2SO4
0.01 N sampai titik akhir titrasi.
N total (%) = (ml sampel – ml blanko)x 14 x N. penitrasix FK g sampel
3. Phosfor Olsen Phosphorus diekstrak dari tanah dengan
meng-gunakan larutan Olsen (H2CO3). P- terekstrak
diukur secara kolorimetri didasarkan pada reaksi dengan amonium molybdate dan pengembangan dari warna “ biru ‘Molybdenum’. Absorbance senyawa diukur pada panjang gelombang 660 nm dalam sutau spectrophotometer dan langsung sebanding dengan jumlah phosphorus yang terekstrak dari tanah .
4 x a x 100
P tersedia = (mg/kg tanah kering oven) (100 - % air)
4. Kapasitas Tukar
Metode ini untuk pengukuran KTK simultaneous dan kation-kation dapat ditukar didasarkan pada sangat tingginya affinitas senyawa amonium asetat untuk menduduki sisi pertukaran pada koloid tanah. Amonium sisa dalam tanah diukur seperti N –total,. Kation yang terdepak juga dikur dengan AAS, atau flamefotometer untuk Na dan K , serta titrasi EDTA untuk Ca dan Mg.
KTK ml H2SO4 – ml NaOH . (100 + k.a)
Flamephotometer Kandungan Kalium dan Natrium larutan tanah ektraksi Ammonium asetat 1 N pH 7,0. dibaca dengan Flamephotometer .
Dimana : A = ppm contoh dari kurva standard
c. Calsium, d. Magnesium
pekat jaringan Tanaman pekat dan H2O2 hingga jernih. Destruksi ini dikenal dengan larutan pekat.
Untuk pengukuran 2. Nitrogen Destilasi dan titrasi
dari Larutan pekat
Nitrogen jaringan tanaman diukur dari larutan pekat hasil destruksi basah. Larutan pekat ditambah NaOH 40%, lalu di destilasi. Hasil destilasi ditampung dengan 20 ml Asam Borat sampai warna hijau dan volumenya sekitar 50 ml. Kemudian dititrasi dengan H2SO4 0.01 N sampai titik akhir titrasi.
N total (%) = (ml sampel – ml blanko)x 14 x N. penitrasix FK g sampel
3. Phosfor Pengukuran dengan spektrofotometer pada larutan encer
Phosphorus tanaman diukur dari pengenceran larutan pekat hasil destruksi basah. P- terekstrak diukur secara kolorimetri didasarkan pada reaksi dengan amonium molybdate dan pengembangan dari warna “ biru ‘Molybdenum’. Absorbance senyawa diukur pada panjang gelombang 660 nm dalam sutau spectrophotometer dan langsung sebanding dengan jumlah phosphorus yang terekstrak dari tanah .
4 x a x 100
P tersedia = (mg/kg tanah kering oven) (100 - % air)
.a : ppm contoh yang diperoleh dari kurva standard
4. . Kalium dan Natrium
Flamephotometer Kalium dan Natrium tanaman diukur dari pengenceran larutan pekat hasil destruksi basah K dan Na dibaca dengan Flamephotometer .
Dimana : A = ppm contoh dari kurva standard 5. Calsium dan
Magnesium
Lampiran 5. Beberapa sifat tanah di petak percobaan
Sebaran Partikel Unsur Hara
No Umur
tegakan Pasir Debu Liat
Permeabilitas Infiltrasi
C N P K Ca Mg
tahun % cm j-1 % ppm me/100 g
1 3 1 37 27 36 0,78 2,78 0,79 0,06 16,82 0,63 14,98 1,74
2 39 25 34 1,11 2,26 0,51 0,05 15,16 0,42 14,97 1,64
2 10 1 32 31 37 0,81 1,26 1,05 0,09 17,63 0,70 15,08 1,78
2 39 21 38 0,96 2,14 1,07 0,11 16,18 0,81 14,36 1,68
3 20 1 24 37 39 0,69 2,37 0,95 0,09 17,62 0,56 14,70 1,70
2 25 37 38 0,98 2,76 1,12 0,12 18,07 0,62 13,24 1,62
4 30 1 32 30 38 1,27 1,34 1,56 0,09 21,05 0,82 16,17 2,70
2 32 31 39 0,97 1,98 1,46 0,17 19,16 0,78 17,06 2,71
5 50 1 33 29 38 0,82 1,25 0,92 0,08 20,34 0,72 15,24 2,74
Lampiran 6. Potensi dan penutupan tegakan jati dan tumbuhan bawah di KRPH Ngawenan
Tinggi rata-rata pohon Penutupan tajuk pohon
(%)
Penutupan tumbuhan
bawah (%) No.
Umur
tegakan
(tahun) Total (m) TBC (m)
Diameter
rata-rata
pohon (cm) Bln Kering Bln Basah Bln Kering Bln Basah
1 3 13,54 - 6,24 2,65 70,32 10,4 95,6
2 10 18,24 7,95 18,25 4,65 80,65 3,7 *) 80,5
3 20 21,44 11,86 28,95 1,32 70,88 4,6 *) 20,6
4 30 23,85 12,64 34,12 8,65 85,11 12,3 70,9
5 40 24,68 12,66 55,98 10,25 75,65 1,1 **) 80,4
Keterangan : *) Terbakar 60 % **) Terbakar 90 %
Penutupan tinggi dan diameter pohon diamati bulan Agustus 2010
Lampiran 7. Kondisi morphometri SubDAS Cemara dan Modang.
Sub DAS No.
Parameter Morphometri DAS
Cemara Modang
1. Luas DAS (ha) 1384,30 391,70
2. Panjang DAS (km) 5,05 3,05
6. Keliling DAS (km) 16,45 8,95
7. Panjang sungai utama (km) 5,65 3,94
8. Panjang sungai terpanjang (km) 5,22 3,82
9. Panjang sungai dari pusat DAS (km) 1,80 1,85
10. Panjang jalur limpasan (km) 1,23 0,49
11. Kerapatan drainase 4,14 2,73