• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN RORAK DALAM MENGENDALIKAN LAJU EROSI DAN MENINGKATKAN SIMPANAN AIR TANAH PADA HUTAN JATI (Tectona grandis).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERAN RORAK DALAM MENGENDALIKAN LAJU EROSI DAN MENINGKATKAN SIMPANAN AIR TANAH PADA HUTAN JATI (Tectona grandis)."

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

SIMPANAN AIR TANAH PADA HUTAN JATI

(

Tectona grandis

)

SKRIPSI

Oleh :

DIRA SAMODRA

NPM : 0625010007

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”

JAWA TIMUR

(2)

(

Tectona grandis

)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian

Program Studi Agroteknologi

Oleh :

DIRA SAMODRA

NPM : 0625010007

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”

JAWA TIMUR

(3)

disusun oleh

DIRA SAMODRA NPM : 0625010007

Telah dipertahankan dan diterima oleh Tim Penguji Fakultas Pertanian Program Studi Agroteknologi Universitas Pembangunan Nasional “ Veteran ” Jawa Timur

Pada Tanggal 9 Desember 2010

Pembimbing : Tim Penguji :

Pembimbing Utama: 1. Ketua Tim Penguji :

Dr.Ir. Bakti Wisnu Widjajani, MP. Dr.Ir. Bakti Wisnu Widjajani, MP.

2. Anggota Tim penguji :

Pembimbing Pendamping:

Ir. Purwadi, MP.

Ir. Purnomo Edi Sasongko, MP.

Ir. Yonny Koentjoro, MM.

Ir. Purnomo Edi Sasongko, MP.

Mengetahui ,

Dekan Ketua

Fakultas Pertanian Progdi Agroteknologi

(4)

Telah direvisi

Tanggal : ……….

(5)

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Hutan adalah sebuah kawasan yang ditumbuhi dengan lebat oleh

pepohonan dan tumbuhan lainnya. Kawasan-kawasan semacam ini terdapat di

wilayah-wilayah yang luas di dunia dan berfungsi sebagai penampung karbon

dioksida (carbon dioxide sink), habitat hewan, modulator arus hidrologika, serta

pelestari tanah, dan merupakan salah satu aspek biosfer bumi yang paling penting

(Wikipedia, 2010). Secara ekologis, hutan mempunyai ciri spesifik yang berbeda

dengan ekologi diluar hutan, sehingga mempunyai peran yang besar pada

stabilitas sumberdaya alam (Simon, 1999). Berdasarkan fungsinya, hutan

dibedakan menjadi hutan lindung, hutan produksi dan hutan serbaguna (UU No. 5

tahun 1967 dan Keppres No. 32 tahun 1990). Hutan produksi dikelompokkan atas

hutan produksi jati dan rimba. (Soemarno, 2002).

Kayu Jati mempunyai nilai ekonomi yang lebih tinggi dibanding kayu

bahan industri yang lain. Namun demikian, perluasan penanaman ini ada yang

dilakukan pada lahan yang kurang sesuai sehingga menekan pertumbuhan dalam

kualitas hasil produksinya (Siswamartana, 2002). Penilaian hutan jati dan

keberadaannya terhadap aspek sumberdaya mulai dilakukan tahun sembilan

puluhan, sejak permasalahan pada hutan jati diangkat ke permukaan. Sebagai

contoh, sistim perakaran jati berada pada 20-40 cm dari permukaan tanah

sehingga rawan tumbang (Anonim, 1998), sumbangan litter ke dalam tanah

sebesar 812,25 kg/ha sehingga rendah terhadap proses pengkayaan tanah

(Maftu’ah et al., 2002), penurunan tingkat kelurusan batang dan pembentukan

(6)

bonita sebesar 2,3 % per tahun selama 10 tahun terakhir (Anonim, 2002) dan

pengurangan jumlah mata air serta kekeringan di sungai dalam kawasan hutan jati.

Di fihak lain, permintaan terhadap kayu tropis yang diperdagangkan di

dunia harus berasal dari hutan yang dikelola secara berkelanjutan (sustainable)

sehingga dipersyaratkan kriteria-kriteria pengelolaan (ITTO,1992). Diantara

kriteria yang telah disusun, seperti kriteria ITTO, dan Pengelolaan Hutan Alam

Produksi Lestari (PHAPL) (Anonim, 2002), secara eksplisit belum menjelaskan

kerusakan tanah oleh erosi selama penanaman jati. Padahal erosi merupakan

komponen utama dalam keberlanjutan penggunaan lahan (Kelly dan Gomes,

1998).

Pemahaman penelitian terjadinya erosi dan akibat yang ditimbulkan

berkaitan dengan kelestarian sumberdaya lahan telah banyak dilakukan (Anonim,

2004), tetapi penelitian yang menyangkut erosi pada hutan jati masih terbatas

(Hendrayanto et al., 2002).

Dewasa ini sumber daya hutan baik hutan alam maupun hutan tanaman

yang ada di hampir sebagian besar wilayah Indonesia telah mengalami penurunan

fungsi secara drastis dimana hutan tidak lagi berfungsi secara maksimal sebagai

akibat dari ekploitasi kepentingan manusia baik yang disengaja maupun yang

tidak disengaja. Oleh karena itu penyelamatan fungsi hutan dan perlindunganya

sudah saatnya menjadi tumpuan harapan bagi kelangsungan jasa produksi ataupun

lingkungan untuk menjawab kebutuhan mahkluk hidup. Mengingat tinggi dan

pentingnya nilai hutan, maka upaya pelestarian hutan wajib dilakukan apapapun

konsekuensi yang harus dihadapi, karena sebetulnya peningkatan produktivitas

(7)

panjang, oleh karena itu perlu dicari solusi yang tepat untuk mempertahankan

produktivitas tegakan ataupun ekosistem hutan (Irwanto, 2006).

1.2. Hipotesis

a) Laju erosi melebihi erosi diperbolehkan di hutan jati menunjukkan terjadinya

kerusakan lahan, dan penurunan produktivitas lahan.

b) Rorak akan menurunkan laju erosi dan meningkatkan simpanan air dalam

tanah.

1.3. Tujuan Penelitian

a) Mempelajari proses terjadinya erosi oleh air hujan pada hutan jati.

b) Mengetahui pengaruh rorak terhadap besarnya laju erosi dan simpanan air

(8)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Manfaat dan Fungsi Hutan

Hutan sebagai suatu ekosistem merupakan sumber daya alam yang

mempunyai nilai sangat tinggi tidak saja sebagai unsur produksi yang potensial,

tetapi juga mempunyai peranan sebagai pengatur sumber daya air dan tanah.

Keberadaan hutan di suatu kawasan sangat diperlukan untuk mengatur kondisi

hidro-orologi kawasan tersebut dan kawasan lain yang ada disekitarnya. Dalam

hal ini tanaman hutan akan menyerap sebagian besar air hujan yang jatuh di

kawasan tersebut dan air yang sampai dipermukaan tanah sebagian besar akan

masuk ke dalam tanah melalui infiltrasi dan perkolasi sehingga menurunkan

limpasan permukaan dan erosi. Air yang tersimpan di dalam profil tanah

selanjutnya dapat dimanfaatkan pada waktu dan tempat yang memerlukannya.

Pada saat yang sama, melalui biomassa yang dihasilkan, hutan juga mampu

meningkatkan kesuburan dan produktivitas tanah.

Hutan sebagai suatu ekosistem dengan komponen-komponennya berupa

tanaman pohon dan tanaman sela serta semak yang rapat dapat berfungsi sebagai

pengatur tata air, tidak saja bagi lingkungan hutan tetapi juga bagi kawasan

disekitarnya (tengah dan hilir). Sebagai pengatur tata air, hutan menentukan

kualitas dan kuantitas hasil air (water yield). Perolehan hasil air sangat

(9)

Sifat penutupan lahan akan menentukan besarnya bagian hujan yang dapat

ditahan oleh tanaman (intersepsi), yang masuk ke dalam tanah (infiltrasi), yang

akan kembali ke atmosfer (evapotranspirasi) dan yang akan mengalir di

permukaan tanah (limpasan permukaan). Sirkulasi air dari curah hujan, sebagai

aliran masuk, ke evapotranspirasi dan limpasan permukaan, sebagai aliran keluar,

akan berlangsung secara kontinyu dan berada dalam keseimbangan.

Keseimbangan dalam sirkulasi air ini akan terganggu bila salah satu parameternya

mengalami perubahan. Sebagai contohdapat dikemukakan peristiwa banjir yang

terjadi di sebagian besar sungai-sungai besar di Indonesia, dan pada daerah lain

terjadi hal yang sebaliknya, yaitu bahaya kekeringan seperti yang dijumpai di

Wonogiri, Trenggalek dan Blitar. Kasus pendangkalan bendungan Karangkates

dan Selorejo sehingga berakibat menurunnya umur efektif bendungan juga

merupakan contoh klasik terjadinya ketidak seimbangan sirkulasi air.

Kerusakan hutan diindikasikan secara kuantitatif dengan adanya

penyusutan luas kawasan hutan. Departemen kehutanan memperkirakan laju

kerusakan hutan adalah 0,8 juta hektar per tahun. Laju kerusakan hutan tersebut

berkaitan dengan adanyta kegiatan konversi kawasan hutan untuk pengembangan

perkebunan, pertanian, pemukiman, kebakaran hutan serta pembongkaran hutan

untuk kepentingan tertentu.

Dalam kaitannya dengan kepentingan pengelolaan hutan, maka ekosistem

hutan dibedakan menjadi : hutan alam, hutan tanaman monokultur dan hutan

rakyat. Sifat khas ekosistem hutan alam khususnya di daerah tropika basah, adalah

keanekaragaman jenis flora dan fauna dengan berbagai ukuran yang saling

(10)

dikelompokkan menurut tingginya menjadi beberapa strata ditambah dengan satu

stratum semak belukar dan satu stratum penutup tanah yang berupa rumput dan

seresah. Ditinjau dari segi kesuburan tanah, hutan alam dapat dijamin kelestarian

dan stabilitasnya. Hal tersebut dapat terjadi karena produksi seresah sangat tinggi

sedang proses dekomposisi berlangsung tanpa gangguan, sehingga pembentukan

humus dapat terjadi secara kontinyu. Kehilangan nutrisi akibat digunakan oleh

seluruh vegetasi penyusun hutan atau hilang keluar sistem akibat erosi atau

dimanfaatkan oleh manusia dapat diimbangi oleh terbentuknya nutrisi baru oleh

proses pembentukan humus.

Berbeda dengan hutan alam, hutan tanaman monokultur hanya didominasi

oleh satu jenis tumbuhan sehingga menjadikannya tidak stabil. Terlebih lagi hutan

tanaman dibuat untuk dipanen kayunya, maka pada waktu pemanenan akan

terjadi pengangkutan materi yang besar dan menyebabkan perubahan iklim mikro

secara mendadak. Akibatnya, dalam jangka waktu cukup lama akan kehilangan

bahan baku utama pembuat humus. Dominasi satu jenis tumbuhan tertentu dengan

umur yang sama menyebabkan hutan tersusun atas satu tajuk yang dominan

sehingga merubah karakter populasi organisme mikro maupun tumbuhan bawah.

Adanya jenis tumbuhan lain tidak mempunyai pengaruh yang berarti

terhadap stabilitas ekosistem karena jumlahnya seringkali sangat sedikit.

Walaupun seringkali ditonjolkan mengenai keuntungan finansial, namun

kenyataannya ekosistem hutan tanaman monokultur sangat rentan terhadap

gangguan yang merusak, seperti erosi dan kebakaran dan penyakit. Kehilangan

nutrisi keluar sistem tidak dapat diimbangi oleh dekomposisi seresah dan mineral

(11)

Hutan produksi adalah kawasan hutan yang didominasi oleh vegetasi

tertentu dengan tujuan untuk diambil hasilnya, baik berupa kayu, getah, damar

atau lainnya. Hutan Produksi dibagi menjadi hutan produksi jati dan rimba

(sengon, mahoni dan lainnya). Sedangkan hutan serbaguna adalah kawasan hutan

yang mempunyai fungsi konservasi dan estetika, seperti cagar alam dan taman

wisata.

Hasil analisa Simon (1999) terhadap kemerosotan kualitas tegakan yang

terjadi sejak tahun 1960 disebabkan berbagai hal (sebagaimana dikemukakan

diatas) sehingga dapat dikelompokkan menjadi faktor intern dan ekstern.

Ditinjau dari aspek kewilayahan (administrasi pengelolaan dan bentangan

lahan), kebijakan pengelolaan hutan yang telah dikemukakan menimbulkan

masalah tersendiri mengingat keterkaitannya dengan kebijakan setempat, apalagi

di era otonomi daerah, walaupun secara hierarkhis pewilayahan pengelolaan hutan

berada pada satu komando. Jika pengelolaan hutan didasarkan pada keseimbangan

ekosistem satuan Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai unit pengelolaan,

efektivitas fungsi hutan disatu sisi dan produktivitas (ekonomi) di sisi lain dapat

ditingkatkan. Sebagaimana Priyono dan Irawan (2004) menyatakan bahwa sebagai

bentuk sumberdaya alam, DAS merupakan common pool resource, stock dan

comodity artinya pemanfaatan sumberdaya alam di lahan kawasan DAS di satu pihak, akan mempengaruhi ketersediaan sumberdaya di pihak laian, selain itu

DAS juga dapat menghasilkan fungsi-fungsi yang intangable sifatnya seperti

pengendalian air, serapan carbon, kesuburan tanah, keindahan alam serta, setiap

(12)

komoditas lainnya serta berpengaruh terhadap fungsi-fungsi intangable diatas

(Kartodihardjo, 2004 dalam Priyono dan Irawan, 2004).

2.2. Erosi Pada Lahan Hutan

Erosi tanah merupakan proses kehilangan tanah yang disebabkan oleh

pengaruh faktor luar seperti air, angin dan manusia sebagai faktor anthropogenic

yang nyata. Dalam proses erosi, partikel tanah didispersi dan diangkut oleh

kekuatan energi pengerosi, dan selanjutnya tanah yang tererosi akan diendapkan

ditempat yang dilaluinya sewaktu tenaga pengerosi melemah yaitu di sungai,

waduk atau laut.

Erosi dapat dilihat dari dua segi yaitu faktor penyebab, yang

menggambarkan kemampuan agen pengerosi dan dinyatakan dalam erosivitas,

dan faktor tanah yang menggambarkan kepekaan tanah terhadap energi pengerosi

dan dinyatakan dalam erodibilitas (Hudson, 1981), sehingga dapat dinyatakan :

Erosi = f (Erosivitas x Erodibilitas)

Lebih spesifik, laju dan besarnya erosi ditentukan oleh : (1) faktor yang

menentukan energi (intensitas hujan dan limpasan permukaan), serta faktor yang

mempengaruhi besarnya energi (kemiringan dan panjang lereng), (2) faktor

ketahanan tanah atau erodibilitas tanah (diuraikan menjadi sifat tanah) dan (3)

faktor yang memodifikasikan (tanaman dan tindakan pengelolaan). Morgan

(1986), menguraikan kemungkinan terjadinya erosi berdasarkan faktor energi,

(13)

Jika faktor-faktor yang menentukan nilai energi tinggi (dalam hal ini

hujan, limpasan permukaan, angin dan lereng); faktor ketahanan tanah rendah

(dalam hal ini erodibilitas, kapasitas infiltrasi dan pengelolaan tanah); dan faktor

pelindung rendah (tanaman yang menutup tanah dan tekanan penduduk akan

lahan) maka akan terjadi erosi. Sebaliknya jika faktor yang menentukan energi

rendah, nilai faktor ketahanan tanah baik, dan nilai faktor pelindung baik maka

tidak terjadi erosi.

Rendah – Erosivitas hujan - Tinggi

Rendah – Volume Limpasan - Tinggi Permukaan

Rendah – Lereng - Tinggi (kemiringan, panjang)

Rapat – Penahan Angin - Jarang

Rendah – Erodibilitas tanah - Tinggi

Tinggi – Kapasitas infiltrasi - Rendah

Baik – Pengelolaan tanah - Jelek

Rendah - - Tinggi Baik - - Jelek Baik - - Jelek

Tak terjadi Erosi Terjadi

Rendah - Populasi Manusia - Tinggi (tekanan pada hara)

Padat - Penutup Tanah (Tanaman) - Tak ada Rendah - Tekanan Pemakaian Lahan - Tinggi Baik - Pengelolaan Lahan - Jelek

Faktor Pelindung Faktor

Energi

Faktor Ketahanan

(14)

2.3. Erosi Diperbolehkan

Erosi adalah proses alam yang telah, sedang dan akan terus terjadi dan

tidak dapat dihentikan, namun yang dapat dilakukan hanyalah mengendalikan

atau menurunkan laju erosi. Dengan demikian diperlukan adanya tolok ukur untuk

menentukan kapan atau pada tingkatan erosi berapa kita harus melakukan

pengendalian erosi. Tingkatan erosi ini kemudian ada yang menyebutnya dengan

istilah “ Permicible Erosion “ atau “ acceptable erosion “ , yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “ Erosi diperbolehkan “ (Edp).

Erosi yang diperbolehkan (Edp) dapat diartikan sebagai suatu tingkat erosi

tanah maksimum yang masih memberikan produktivitas tanah yang memadai dan

mampu dipertahankan secara ekonomis. Dalam kondisi keseimbangan alam maka

besarnya erosi diperbolehkan adalah sama dengan laju pembentukan tanah.

Karena laju pembentukan tanah tidak seragam, maka erosi yang diperbolehkan

juga akan berbeda untuk setiap kondisi tanah.

Sampai sekarang kriteria penetapan nilai erosi yang diperbolehkan terus

berkembang karena masih banyak hal yang belum diketahui secara pasti, seperti

laju pembentukan zona perakaran. Namun demikian, ada beberapa metode yang

dapat digunakan untuk menetapkan besarnya erosi diperbolehkan, diantaranya

(15)

Dent (1983), dan metode yang digunakan oleh Ditjen Reboisasi dan Rehabilitasi

Lahan, Departemen Kehutanan.

Persamaan penetapan nilai erosi yang diperbolehkan oleh Hammer (1981):

kedalaman tanah ekivalen

Edp = ─────────────────── dalam mm/th kelestarian tanah

Kedalaman tanah ekivalen adalah kesetaraan kedalaman tanah yang

merupakan perkalian faktor kedalaman tanah dengan kedalaman tanah efektif.

Faktor kedalaman tanah adalah faktor modifikasi yang didasarkan pada prakiraan

kemerosotan jeluk tanah. Sedangkan kelestarian tanah adalah waktu yang

diperkirakan berdasarkan laju pembentukan tanah.

Selanjutnya Wood dan Dent (1983) mengembangkan metode Hammer

dengan persamaan :

DE - Dmin

Edp = ──────────── + laju pembentukan tanah kelestarian tanah

DE adalah kedalaman tanah ekivalen, sedangkan Dmin adalah kebutuhan

jeluk tanah minimum yang sesuai. Apabila Dmin > DE maka nilai Edp sama

dengan laju pembentukan tanah.

Ada lima nilai untuk menyatakan kelestarian tanah, yaitu 30, 100, 200,

400 dan 500. Studi yang dilakukan BTPDAS Surakarta (1988) menyebutkan

bahwa perhitungan nilai Edp menurut Hammer pada umumnya memberikan nilai

yang lebih besar, tetapi pada kelestarian tanah 400 dan 500, nilai Hammer serta

(16)

2.4. Erosivitas Hujan

Setiap hujan mempunyai kemampuan yang berbeda untuk menimbulkan

erosi. Kemampuan hujan untuk menimbulkan erosi disebut sebagai erosivitas

hujan. Erosivitas hujan ditentukan oleh beberapa sifat hujan, seperti energi,

diameter, intensitas dan jumlah hujan (Utomo, 1994).

Erosivitas, yang dalam erosi air merupakan manifestasi hujan memiliki

energi potensial karena pengaruh massa dan percepatan gravitasi, yang kemudian

dirubah menjadi energi kinetik sebagai energi penggerak yang akan mendispersi

dan memindahkan partikel tanah (Morgan, 1986). Sedangkan energi kinetik

limpasan permukaan diperoleh dari massa dan kecepatan pergerakannya

digunakan untuk mengangkut partikel tanah. Energi ini akan meningkat sejalan

dengan meningkatnya kemiringan dan panjang lereng, yang akan berakibat pada :

(1) pengurangan infiltrasi, (2) peningkatan jarak tempuh dan (3) peningkatan

volume limpasan permukaan.

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya gesekan udara yang

berlawanan dengan arah jatuhnya air hujan, dapat mengurangi besarnya energi

kinetik air hujan, sehingga tidak semua energi yang digunakan dalam proses erosi

adalah energi yang dihasilkan oleh air hujan atau limpasan permukaan (Utomo,

1994). Gesekan udara dipengaruhi oleh luas permukaan butir hujan. Gesekan

udara pada massa yang sama makin besar dengan bertambahnya luas permukaan.

Jadi semakin kecil ukuran butir hujan maka gesekan udara semakin besar,

sehingga kecepatan jatuhnya makin kecil.

Kemampuan butir hujan untuk menghancurkan tanah meningkat secara

(17)

pada permukaan tanah akan mempengaruhi kemampuan butir hujan untuk

menghancurkan tanah. Kemampuan butir hujan untuk menghancurkan tanah akan

meningkat sampai kedalaman lapisan air 0,3 ukuran butir, peningkatan

kedalaman lapisan air selanjutnya akan menurunkan daya pukul air hujan. Pada

kedalaman 3 kali ukuran butir, kemampuan butir hujan untuk menghancurkan

tanah dapat dianggap tidak ada. Pada kondisi ini yang berperanan dalam proses

erosi, baik penghancuran maupun pengangkutan, adalah air limpasan permukaan.

Karena terdapat berbagai ukuran butir pada suatu kejadian hujan, maka

terdapat banyak ukuran kecepatan yang harus diperhitungkan. Selain itu, jika

ukuran butir hujan mencapai lebih dari 5 mm maka butir hujan akan pecah

menjadi beberapa butir yang lebih kecil akibat adanya gaya gesek udara.

Mengingat hal tersebut, beberapa ahli menggunakan intensitas hujan untuk

menghitung energgi kinetik air hujan. Penggunaan intensitas hujan mempunyai

arti yang penting, karena intensitas hujan mempunyai hubungan yang erat dengan

erosi. Pada umumnya makin besar intensitas hujan, makin besar kemungkinan

terjadinya erosi. Namun demikian, seringkali didapatkan hasil yang tidak

konsisten, yaitu bila hujan dengan intensitas tinggi terjadi dalam waktu singkat

tidak menimbulkan erosi tetapi hujan dengan intensitas sedang dalam waktu lama

mengakibatkan erosi karena limpasan permukaan yang terjadi cukup besar.

Dengan fenomena tersebut, maka para pakar konservasi tanah biasanya

menghitung indeks erosivitas hujan dengan menggunakan energi kinetic (Morgan,

1986). Untuk keperluan ini diperlukan data intensitas hujan dan jumlah hujan.

Padahal kebanyakan data yang ada hanya menunjukkan jumlah hujan. Dengan

(18)

menghitung erosivitas hujan dengan menggunakan jumlah hujan dan besarnya

hujan maksimum, yaitu :

Rb = 6,119 (Hb)1,21 (HH)-0,47 (H24)0,53

Keterangan : Rb = erosivitas bulanan

Hb = jumlah hujan bulanan (cm) HH = jumlah hari hujan bulanan

H24 = hujan maksimum selama 24 jam dalam bulan tersebut 2.5. Erodibilitas Tanah

Erodibilitas didefinisikan sebagai kepekaan tanah terhadap erosi, dan

merupakan fungsi dari sifat-sifat fisik tanah dan pengelolaannya (Hudson, 1981).

Menurut Arsyad (1989), kepekaan erosi tanah adalah fungsi beberapa interaksi

sifat fisik dan kimia tanah. Sedangkan Utomo (1994) berpendapat bahwa

erodibilitas adalah kemudahan tanah untuk tererosi, yang ditentukan oleh :

(a) ketahanan tanah terhadap daya rusak dari luar, baik air hujan maupun run-off

(b) kemampuan tanah untuk menyerap air (infiltrasi dan perkolasi).

Kemudahan tanah untuk dihancurkan ditentukan oleh tekstur tanah,

kemantapan agregat, bahan organik dan bahan pengikat yang lain. Sedangkan

kemampuan menyerap dan meneruskan air dipengaruhi oleh kapasitas infiltrasi,

permeabilitas tanah, tekstur tanah, kemantapan agregat dan ruang pori.

Ukuran partikel berpengaruh terhadap indeks erodibilitas karena ukuran

partikel menentukan kemampuan tanah bertahan terhadap energi limpasan

permukaan. Limpasan permukaan akan mampu mengerosi tanah jika energi

limpasan yang berasal dari kecepatan dan tebal aliran lebih besar daripada

ketahanan tanah. Pada tanah dengan partikel berukuran besar akan tahan terhadap

erosi karena sukar diangkut, sedangkan tanah yang didominasi oleh partikel halus

(19)

oleh bahan semen. Tanah yang mudah tererosi adalah tanah yang didominasi oleh

partikel berukuran sedang, yaitu debu dan pasir halus.

Kemantapan agregat mempengaruhi ketahanan tanah terhadap pukulan dan

daya urai air. Tanah dengan agregat yang mantap, karena adanya pengikatan oleh

bahan organik atau bahan semen yang lain, mempunyai kemampuan untuk

bertahan terhadap erosi. Kapasitas infiltrasi dipengaruhi oleh distribusi ukuran dan

kemantapan pori, serta kedalaman efektif tanah. Adanya mineral liat tipe 2:1

yang mempunyai kemampuan mengembang dan mengkerut akan menurunkan

kapasitas infiltrasi.

Indeks erodibilitas dapat dihitung melalui percobaan langsung dilapangan

dengan menggunakan petak baku, yaitu petak pada keadaan tanah terbuka yang

memungkinkan kejadian erosi maksimum, pada lereng 9 % dan panjang lereng 22

meter. Dengan mengetahui besarnya kehilangan tanah (A, ton/ha) dan erosivitas

hujan (R), maka indeks erodibilitas (K) dapat dihitung dengan rumus :

K = A / R

Perhitungan nilai K dengan percobaan lapangan memang merupakan cara

yang tepat, namun karena memerlukan biaya dan waktu yang besar maka

Wischmeier, Johnson dan Cross (1971) menggunakan cara estimasi dengan

menghubungkan berbagai sifat fisik tanah untuk menghitung indeks erodibilitas

tanah. Persamaan yang didapat adalah :

100 K = 2,1 M1,14 (10-4) (12-a) + 3,25 (b-2) + 2,5 (c-3)

Keterangan : M = ukuran partikel (% debu + % pasir halus) a = kandungan bahan organik

(20)

2.5. Pengaruh Rorak terhadap Erosi dan Simpanan Air dalam Tanah

Rorak adalah lubang atau penampang yang dibuat memotong lereng yang

berfungsi untuk menampung dan meresapkan air aliran permukaan sehingga

memungkinkan air masuk ke dalam tanah dan mengurangi erosi dari lahan. Rorak

merupakan lubang yang digali ke dalam tanah dengan ukuran kedalaman 40 cm,

lebar 40 cm dengan panjang berkisar dari 1 sampai 5 meter (Arsyad, 1989).

Dimensi rorak yang disarankan sangat bervariasi, tergantung dari kapasitas air

atau sedimen yang akan ditampung. Lubang yang digali kemudian diisi oleh

serasah atau sisa-sisa tanaman yang ada di sekitarnya. Hal ini berfungsi untuk

menampung aliran permukaan dan serasah atau sisa-sisa tanaman dapat menahan

partikel tanah pada dinding rorak serta sebagai bahan organik yang merupakan

sumber makanan bagi organisme tanah.

Penelitian yang dilakukan oleh Noeralam (2002) menyatakan bahwa

teknik pengendalian aliran permukaan dengan rorak paling efektif mengurangi

aliran permukaan yaitu 88 % dari aliran permukaan pada lahan terbuka tanpa

teknik pengendalian aliran permukaan dan tanpa tumbuhan. Adanya rorak

menyebabkan aliran permukaan tertampung di dalam rorak kemudian terinfiltrasi

secara perlahan dan dapat dimanfaatkan oleh vegetasi sehingga tidak semua aliran

permukaan sampai ke titik pembuangan (outlet).

Selain untuk mengendalikan laju erosi, rorak juga merupakan salah satu

cara “pemanenan” air hujan yang efektif, khususnya pada lahan dengan lereng

agak curam (10-25%), yang dicerminkan dengan kemampuannya dalam

(21)

Gambar 1. Rorak pada hutan jati

III. METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Percobaan

Penelitian lapangan dilaksanakan di hutan produksi jati dalam wilayah

KRPH Ngawenan, BKPH Pasarsore, KPH Cepu Perum Perhutani Unit I Jawa

Tengah, sejak April 2010 sampai dengan Juli 2010. Analisa laboratorium

dilaksanakan di laboratorium Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas

Pembangunan “Veteran” Jawa Timur.

Pengamatan dilakukan pada skala petak erosi dengan ukuran pxl : 20x8 m.

3.2. Bahan dan Alat

Bahan penelitian terdiri kawasan hutan produksi jati yang dibedakan

berdasarkan kelompok umur (KU) 10 tahunan dari KU I sampai KU V,

Peralatan yang diperlukan selama penelitian terdiri:

a. Pengukur cuaca meliputi ombrometer dan ARR. Pengukur sifat-sifat tanah

(22)

b. Pengukur erosi meliputi apron dan drum, timbangan, gelas ukur dan mistar.

c. Pengukur tanaman jati meliputi hagameter, mistar dan kertas berskala.

d. Peta rupa bumi skala 1: 25 000 dan peta geologi lembar Bojonegoro-Jawa,

skala 1: 100 000

3.3. Pelaksanaan Penelitian

Petak percobaan dibuat pada masing-masing kelompok umur tanaman jati

: 5, 15, 25, 35 dan 45 tahun (KU I, II, III, IV dan V). Pada setiap kelompok umur

jati dibuat 2 (dua) petak ukur dengan ukuran masing-masing 20 x 8 m. Pada petak

pertama dibuat rorak, sedangkan petak kedua tanpa rorak.

Erosi diukur terhadap jumlah tanah yang hilang dari petak percobaan. Pada

bagian bawah petak ditempatkan apron untuk menampung tanah yang terbawa

aliran air. Ukuran apron adalah 80x80 cm2. Pengamatan laju erosi dilakukan

setiap hari hujan.

Rorak dibuat pada petak percobaan dengan ukuran pxlxd : 80x40x40 cm.

Air tersimpan dalam tanah diamati pada masing-masing petak ukur pada

kedalaman solum (10 cm sampai dengan 60 cm).

3.4. Variabel Pengamatan

a. Erosivitas hujan dengan persamaan yang dikembangkan oleh Bols (1978):

Rb = 6,119 (Hb)1,21 (HH)-0,47 (H24)0,53

Keterangan : Rb = Indeks erosivitas hujan bulanan Hb = curah hujan bulanan (cm bulan-1)

(23)

H24 = hujan maksimum 24 jam dalam bulan tersebut (cm)

Selanjutnya untuk mengetahui hubungan antara hujan dengan erosi maka

Rb dihubungkan dengan erosi bulanan (Eb) dengan persamaan Eb = f (Rb).

b. Erodibilitas tanah.

Erodibilitas tanah ditentukan dengan nomograf erodibilitas. Untuk

keperluan ini dilakukan pengamatan struktur tanah dan sifat fisik tanah, yaitu

pasir kasar, pasir halus dan debu, bahan organik dan permeabilitas.

c. Laju erosi.

Erosi diukur dengan cara mengambil contoh air (beserta sedimennya)

sebanyak satu liter dari dalam apron dan drum yang sebelumnya telah diaduk

untuk mendapatkan kondisi homogen. Tanah (sedimen) dipisahkan dengan cara

disaring, dikeringkan, ditimbang, selanjutnya dikonversi ke dalam satuan luas

(ton/ha).

d. Erosi diperbolehkan (Edp)

Erosi diperbolehkan dihitung dengan menggunakan persamaan Hammer

(1981), yaitu :

Edp =

Kedalaman tanah ekivalen diperoleh dengan mengalikan data kedalaman

tanah dari hasil pengukuran di lapangan dengan faktor kedalaman yang

didasarkan pada kondisi tanah yang ada di Indonesia pada kategori Sub Ordo

(Lihat Tabel 1).

kedalaman tanah ekivalen

(24)

e. Simpanan Air Tanah, yaitu :

Pengamatan dilakukan pada kedalaman 10-60 cm. Kandungan air tanah

diukur dengan metoda gravimetrik.

Jumlah air tersimpan dalam profil tanah (Δ S) dihitung dengan persamaan:

Tabel 1. Faktor kedalaman ekivalen untuk 30 sub ordo tanah (Hammer,1981)

no Kode Tanah Taksonomi tanah sub order Faktor kedalaman

(25)

27 28 29 30

UD UU VD VU

Udult Ustult Udert Uistert

0,80 0,80 1,00 1,00

f. Karakteristik fisika dan kimia tanah

Sifat fisik tanah yang diamati meliputi tekstur tanah, porositas tanah,

permeabilitas, dan kemantapan agregat. Sedangkan sifat kimia tanah meliputi

KTK, C organik, N, P, K, Ca, Na dan Mg. Analisa sifat-sifat tanah dilakukan

terhadap contoh tanah utuh dan contoh tanah terganggu pada petak erosi

(Lampiran 1).

3.5. Analisis Data

Tanaman jati mempunyai siklus hidup yang panjang, maka dari hubungan

(26)

Data yang diperoleh dari hasil penelitian dianalisis menggunakan uji F,

selanjutnya untuk mengetahui keeratan hubungan antarparameter di gunakan uji

regresi dan korelasi.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1998. Tectona, L.F. in Timber Trees: Major Commersial Timbers. . 2002. Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan (RPKH), Kelas

Perusahaan Jati KPH Cepu. Seksi Perencanaan Hutan IV Rembang. PT. Perhutani (Persero) Jawa Tengah.

Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Penerbit IPB, Bogor.

Bols, P.L. 1978. The Iso-Erodent Map of Java and Madura. Soil Res. Inst. Bogor.

(27)

Ford-Robinson, F.C. 1997. Terminology of Forest Science Technology, Practice and Product, Multilingual for Terminal, Scr. No. 1, Soc. Am. For Wahington DC.

Hammer, W.I. 1981. Second Soil Conservation Consultant Report. AGOF/INSI78/006. Technical Note No.10. Ministry of Agriculture G.O.I/UNDP and FAO.

Hendrayanto., O. Rusdiana & N.M. Arifjaya. 2002. Aplikasi Hasil Penelitian Pengaruh Hutan Tanaman Jati terhadap Tata Air dan Perlindungan Tanah dalam Pengelolaan Hutan Berwawasan Ekosistem: Kasus hasil penelitian di Sub DAS Cijurey Hulu, KPH Purwakarta. Makalah Lokakarya Aplikasi Hasil Penelitian Hidrologi Hutan untuk Penyempurnaan Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem. Yogyakarta.

Hudson, N.W., 1981. Soil Conservation, Second Edition. Cornell University Press. New York.

Irwanto. 2006. Penilaian Kesehatan Hutan Tegakan Jati (Tectona grandis) dan Eucalyptus (Eucalyptus pellita) Pada Kawasan Hutan Wanagama I. Sekolah Pasca Sarjana UGM. Yogyakarta.

ITTO. (1992). Criteria for the Measurement of Sustainable Tropical Forest Management; ITTO Policy Development Series No. 3. ITTO. Retrieved

14-07-2010, 2003, from the

http://www.itto.int/sustainable_forest_management/

Kelly, D.E.S & A.A. Gomez. 1998. Measuring Erosion as a Component of Sustainability. Dalam Soil Erosion at Multiple Scales (eds Penning de Vries, FWT., F. Agus & j. Kerr). C.A.B. Internastional.

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomer 32 Tahun 1990 tentang Kawasan Lindung.

Maftuah, E., E. Soesiloningsih & E. Handayanto. 2002. Studi Potensi Diversitas Makro Fauna Tanah sebagai Bioindikator Kualitas Tanah pada Beberapa Penggunaan Lahan. Biodain vol. 2 no. 2.

Morgan, M.F. 1986. Soil Conservation. US Departemen of Agriculture. Agric.Handbook, No. 537.

(28)

Priyono, C.N.S. & E. Irawan. 2004. Fungsi Hidrologi Hutan Tanaman Pinus: Erosi Tanah pada Penebangan Hutan Tanaman Pinus merkusii. Makalah Lokakarya Aplikasi Hasil Penelitian Hidrologi Hutan untuk Penyempurnaan Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem. Yogyakarta.

Simon, H. 1999. Pengelolaan Hutan Bersama Rakyat (Cooperative Forest Management), Teori dan Aplikasi pada Hutan Jati di Jawa. Bigraf Publishing. Yogyakarta.

Siswamartana, S. 2002. Penanaman Jati plus Perhutani (JPP). Warta Pusbanghut. Pusat Pengembangan Kehutanan Cepu 4 (01): 2-3

Soemarno, P. 2002. Pengelolaan Hutan di PT Perhutani. Makalah Lokakarya Aplikasi Hasil-Hasil Penelitian Hidrologi untuk Penyempurnaan Hutan Berbasis Ekosistem. Yogyakarta.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan.

(29)

Data yang diperoleh dari hasil penelitian dianalisis menggunakan uji F,

selanjutnya untuk mengetahui keeratan hubungan antarparameter di gunakan uji

regresi dan korelasi.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1998. Tectona, L.F. in Timber Trees: Major Commersial Timbers.

. 2002. Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan (RPKH), Kelas

Perusahaan Jati KPH Cepu. Seksi Perencanaan Hutan IV Rembang. PT. Perhutani (Persero) Jawa Tengah.

Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Penerbit IPB, Bogor.

Bols, P.L. 1978. The Iso-Erodent Map of Java and Madura. Soil Res. Inst.

Bogor.

Dariah, A., U. Haryati dan T. Budhyastoro. 2006. Teknologi Konservasi Tanah

(30)

Ford-Robinson, F.C. 1997. Terminology of Forest Science Technology, Practice and Product, Multilingual for Terminal, Scr. No. 1, Soc. Am. For Wahington DC.

Hammer, W.I. 1981. Second Soil Conservation Consultant Report.

AGOF/INSI78/006. Technical Note No.10. Ministry of Agriculture G.O.I/UNDP and FAO.

Hendrayanto., O. Rusdiana & N.M. Arifjaya. 2002. Aplikasi Hasil Penelitian

Pengaruh Hutan Tanaman Jati terhadap Tata Air dan Perlindungan Tanah dalam Pengelolaan Hutan Berwawasan Ekosistem: Kasus hasil penelitian di Sub DAS Cijurey Hulu, KPH Purwakarta. Makalah Lokakarya Aplikasi Hasil Penelitian Hidrologi Hutan untuk Penyempurnaan Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem. Yogyakarta.

Hudson, N.W., 1981. Soil Conservation, Second Edition. Cornell University

Press. New York.

Irwanto. 2006. Penilaian Kesehatan Hutan Tegakan Jati (Tectona grandis) dan

Eucalyptus (Eucalyptus pellita) Pada Kawasan Hutan Wanagama I. Sekolah

Pasca Sarjana UGM. Yogyakarta.

ITTO. (1992). Criteria for the Measurement of Sustainable Tropical Forest

Management; ITTO Policy Development Series No. 3. ITTO. Retrieved

14-07-2010, 2003, from the http://www.itto.int/sustainable_forest_management/

Kelly, D.E.S & A.A. Gomez. 1998. Measuring Erosion as a Component of

Sustainability. Dalam Soil Erosion at Multiple Scales (eds Penning de Vries, FWT., F. Agus & j. Kerr). C.A.B. Internastional.

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomer 32 Tahun 1990 tentang Kawasan

Lindung.

Maftuah, E., E. Soesiloningsih & E. Handayanto. 2002. Studi Potensi Diversitas

Makro Fauna Tanah sebagai Bioindikator Kualitas Tanah pada Beberapa Penggunaan Lahan. Biodain vol. 2 no. 2.

Morgan, M.F. 1986. Soil Conservation. US Departemen of Agriculture.

Agric.Handbook, No. 537.

Noeralam, A. 2002. Teknik Pemanenan Air yang Efektif dalam Pengelolaan

(31)

Priyono, C.N.S. & E. Irawan. 2004. Fungsi Hidrologi Hutan Tanaman Pinus: Erosi Tanah pada Penebangan Hutan Tanaman Pinus merkusii. Makalah Lokakarya Aplikasi Hasil Penelitian Hidrologi Hutan untuk Penyempurnaan Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem. Yogyakarta.

Simon, H. 1999. Pengelolaan Hutan Bersama Rakyat (Cooperative Forest

Management), Teori dan Aplikasi pada Hutan Jati di Jawa. Bigraf Publishing. Yogyakarta.

Siswamartana, S. 2002. Penanaman Jati plus Perhutani (JPP). Warta

Pusbanghut. Pusat Pengembangan Kehutanan Cepu 4 (01): 2-3

Soemarno, P. 2002. Pengelolaan Hutan di PT Perhutani. Makalah Lokakarya

Aplikasi Hasil-Hasil Penelitian Hidrologi untuk Penyempurnaan Hutan Berbasis Ekosistem. Yogyakarta.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 5 Tahun 1967 tentang

Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan.

(32)

Tanah Berat Isi dengan Berat Jenis

oven dalam satuan gr dalam terhadap volume tanah (cc).

Berat isi tanah ditentukan dengan cara menimbag berat tanah kering mutlak (gr) terhadap volume tanah (cc).

BI

Ruang pori total = 100 % - ( x 100 %) BJ

BI : Berat Isi BJ : Berat Jenis 2. Permeabilitas Constant head

permeameter

Contoh tanah dalam ring stainless direndam dalam air pada bak perendam dengan tinggi 3 cm selama 24 jam agar udara dalam pori tanah keluar seluruhnya. Contoh tanah dipindahkan ke dalam permeameter, kemudian dialiri air hingga ketinggian air konstan. Jumlah volume air yang menetes keluar dihitung setiap interval 1 jam sebanyak 5 kali pengukuran.

K : permeabilitas tanah (cm/jam)

Q : jumlah air yang mengalir pada setiap pengukuran t : waktu pengukuran (jam)

L : tebal contoh tanah (cm)

h : tinggi permukaan air dari permukaan contoh tanah A : luas permukaan contoh tanah (cm2)

3. Kemantapan Agregat

Ayakan basah Masa tanah diletakkan pada susunan ayakan berbagai ukuran diamete (d) tanah. Ayakan disusun mulai lubang paling besar hingga lubang terkecil terletak paling bawah untuk memisahkan antara agregat stabil dan yang mudah pecah akibat goncangan dan benturan. Pengayakan dilakukan sambil disemprotkan air pada ayakan paling atas (d terbesar). Hasil ayakan yang tersebar pada berbagai ukuran kemudian ditimbang dalam kedaan kering dan dihitung persentase (%) agregat pada berbagai ukuran terhadap massa awal tanah.

DMR = Σ [(Ǿi x Mpi)/( Σ Mp)]

Ǿi : dimater rata-rata

Mpi : massa tanah pada ayakan i

Σ Mp : total massa tanah

4. Tekstur Tanah Pipet Butiran tunggal tanah yang berkelompok yang membentuk agregat didispersi untuk memecahkan kekuatan yang mengikatnya. Ikatan organik dihilangkangkan dengan membakar atau oksidasi memakai peroksida (H2O2).Ion atau senyawa perekat lain dihilangkan dengan pereaksi HCl. Sedangkan ikatan mekanik dilepaskan dengan mengocok tanah dalam larutan NaPO4. Selanjutnya ditentukan ukutan dan jumlahnya berdasarkan hukum Stoke:

Partikel liat :

Massa liat = 50 x (massa pipet ke 2 – massa blanko pipet ke 2)

Partikel debu :

Massa debu = 50 x (massa pipet ke 1 – massa pipet ke 2)

Partikel Pasir :

Diketahui dari bobot masing-masing bagian dari hasil ayakan.

(33)

1. C-organik Oksidasi Basah asam kromik Walkley-Black.

Bahan organik tanah dioksidasi dengan larutan 1 N K2Cr2O7 (kalium dikhromat). . Reaksi ini dibantu oleh panas yang dihasilkan saat 2 volumes H2SO4 dicampur dengan 1 volume dichromat. Dichromat yang tersisa dititrasi dengan ferrous sulphate. Titrasi berhubungan kebalikan dengan jumlah persen C dalam sampel tanah.

2Cr2O7 2- + 3C + 16H+  4Cr3+ + 8H2O + 3CO2↑

1 mL dari 1 N larutan Dichromat equivalen dengan 3 mg carbon.

Kandungan bahan organik tanah = % C - organik x 1,729

2. Nitrogen Kjedhal Nitrogen total tanah didestruksi dengan H2SO4

pekat dan tablet Kjeldahl pada temperatur 300°C. Hasil

Destruksi diencerkan dengan aquadest hingga volume 100 ml dan ditambah NaOH 40%, lalu di destilasi. Hasil destilasi ditampung dengan 20 ml Asam Borat sampai warna hijau dan volumenya

sekitar 50 ml. Kemudian dititrasi dengan H2SO4

0.01 N sampai titik akhir titrasi.

N total (%) = (ml sampel – ml blanko)x 14 x N. penitrasix FK g sampel

3. Phosfor Olsen Phosphorus diekstrak dari tanah dengan

meng-gunakan larutan Olsen (H2CO3). P- terekstrak

diukur secara kolorimetri didasarkan pada reaksi dengan amonium molybdate dan pengembangan dari warna “ biru ‘Molybdenum’. Absorbance senyawa diukur pada panjang gelombang 660 nm dalam sutau spectrophotometer dan langsung sebanding dengan jumlah phosphorus yang terekstrak dari tanah .

4 x a x 100

P tersedia = (mg/kg tanah kering oven) (100 - % air)

(34)

4. Kapasitas Tukar

Metode ini untuk pengukuran KTK simultaneous dan kation-kation dapat ditukar didasarkan pada sangat tingginya affinitas senyawa amonium asetat untuk menduduki sisi pertukaran pada koloid tanah. Amonium sisa dalam tanah diukur seperti N –total,. Kation yang terdepak juga dikur dengan AAS, atau flamefotometer untuk Na dan K , serta titrasi EDTA untuk Ca dan Mg.

KTK ml H2SO4 – ml NaOH . (100 + k.a)

Flamephotometer Kandungan Kalium dan Natrium larutan tanah ektraksi Ammonium asetat 1 N pH 7,0. dibaca dengan Flamephotometer .

Dimana : A = ppm contoh dari kurva standard

c. Calsium, d. Magnesium

(35)

pekat jaringan Tanaman pekat dan H2O2 hingga jernih. Destruksi ini dikenal dengan larutan pekat.

Untuk pengukuran 2. Nitrogen Destilasi dan titrasi

dari Larutan pekat

Nitrogen jaringan tanaman diukur dari larutan pekat hasil destruksi basah. Larutan pekat ditambah NaOH 40%, lalu di destilasi. Hasil destilasi ditampung dengan 20 ml Asam Borat sampai warna hijau dan volumenya sekitar 50 ml. Kemudian dititrasi dengan H2SO4 0.01 N sampai titik akhir titrasi.

N total (%) = (ml sampel – ml blanko)x 14 x N. penitrasix FK g sampel

3. Phosfor Pengukuran dengan spektrofotometer pada larutan encer

Phosphorus tanaman diukur dari pengenceran larutan pekat hasil destruksi basah. P- terekstrak diukur secara kolorimetri didasarkan pada reaksi dengan amonium molybdate dan pengembangan dari warna “ biru ‘Molybdenum’. Absorbance senyawa diukur pada panjang gelombang 660 nm dalam sutau spectrophotometer dan langsung sebanding dengan jumlah phosphorus yang terekstrak dari tanah .

4 x a x 100

P tersedia = (mg/kg tanah kering oven) (100 - % air)

.a : ppm contoh yang diperoleh dari kurva standard

4. . Kalium dan Natrium

Flamephotometer Kalium dan Natrium tanaman diukur dari pengenceran larutan pekat hasil destruksi basah K dan Na dibaca dengan Flamephotometer .

Dimana : A = ppm contoh dari kurva standard 5. Calsium dan

Magnesium

(36)

Lampiran 5. Beberapa sifat tanah di petak percobaan

Sebaran Partikel Unsur Hara

No Umur

tegakan Pasir Debu Liat

Permeabilitas Infiltrasi

C N P K Ca Mg

tahun % cm j-1 % ppm me/100 g

1 3 1 37 27 36 0,78 2,78 0,79 0,06 16,82 0,63 14,98 1,74

2 39 25 34 1,11 2,26 0,51 0,05 15,16 0,42 14,97 1,64

2 10 1 32 31 37 0,81 1,26 1,05 0,09 17,63 0,70 15,08 1,78

2 39 21 38 0,96 2,14 1,07 0,11 16,18 0,81 14,36 1,68

3 20 1 24 37 39 0,69 2,37 0,95 0,09 17,62 0,56 14,70 1,70

2 25 37 38 0,98 2,76 1,12 0,12 18,07 0,62 13,24 1,62

4 30 1 32 30 38 1,27 1,34 1,56 0,09 21,05 0,82 16,17 2,70

2 32 31 39 0,97 1,98 1,46 0,17 19,16 0,78 17,06 2,71

5 50 1 33 29 38 0,82 1,25 0,92 0,08 20,34 0,72 15,24 2,74

(37)

Lampiran 6. Potensi dan penutupan tegakan jati dan tumbuhan bawah di KRPH Ngawenan

Tinggi rata-rata pohon Penutupan tajuk pohon

(%)

Penutupan tumbuhan

bawah (%) No.

Umur

tegakan

(tahun) Total (m) TBC (m)

Diameter

rata-rata

pohon (cm) Bln Kering Bln Basah Bln Kering Bln Basah

1 3 13,54 - 6,24 2,65 70,32 10,4 95,6

2 10 18,24 7,95 18,25 4,65 80,65 3,7 *) 80,5

3 20 21,44 11,86 28,95 1,32 70,88 4,6 *) 20,6

4 30 23,85 12,64 34,12 8,65 85,11 12,3 70,9

5 40 24,68 12,66 55,98 10,25 75,65 1,1 **) 80,4

Keterangan : *) Terbakar 60 % **) Terbakar 90 %

Penutupan tinggi dan diameter pohon diamati bulan Agustus 2010

(38)

Lampiran 7. Kondisi morphometri SubDAS Cemara dan Modang.

Sub DAS No.

Parameter Morphometri DAS

Cemara Modang

1. Luas DAS (ha) 1384,30 391,70

2. Panjang DAS (km) 5,05 3,05

(39)

6. Keliling DAS (km) 16,45 8,95

7. Panjang sungai utama (km) 5,65 3,94

8. Panjang sungai terpanjang (km) 5,22 3,82

9. Panjang sungai dari pusat DAS (km) 1,80 1,85

10. Panjang jalur limpasan (km) 1,23 0,49

11. Kerapatan drainase 4,14 2,73

Gambar

Gambar  1.  Hubungan faktor-faktor  yang mempengaruhi erosi
Gambar 1. Rorak pada hutan jati

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah menduga potensi karbon yang tersimpan pada hutan tanaman Jati ( T. f ) dan untuk mengetahui kelas umur (KU) berapa yang paling besar

Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan bahwa potensi simpanan karbon di atas lahan pada tegakan Jati dipengaruhi oleh umur dan kondisi tempat tumbuh. Pada umumnya

Teras bangku yang berada di plot tersebut berjumlah 1 (satu) teras/ trap , dengan tinggi teras 25 cm dan lebar teras 1-1,5 meter, dan sisanya dibentuk teras

Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran masyarakat dalam pengelolaan ekosistem hutan mangrove menunjukan angka yang positif dimana 88,49% dalam melestarikan dan mempertahankan

Tujuan dari penelitian ini adalah mengevaluasi keuntungan yang diperoleh petani pada sistem hutan rakyat khususnya tanaman sengon dan jati dibandingkan dengan

Penelitian dilakukan berdasarkan sistem DAS/ sub DAS dengan input air berupa curah hujan yang jatuh dalam sub DAS yang diteliti dan hasil air berupa debit

Hasil penelitian data analisis karbohidrat daun jati menunjukkan (Tabel 2), dengan massa karbohidrat tertinggi didapatkan pada titik ke empat yaitu 0,0015/30 g daun,