• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN

4.6 Analisis Multivariat dengan Regresi Logistik

Variabel yang bermakna pada analisis bivariat kemudian dimasukkan ke dalam uji multivariat dengan regresi logistik menggunakan Backward Stepwise Likelihood Ratio.

Tabel 4.6. Analisis Multivariat dengan Backward Stepwise LR

Variabel P OR IK 95 %

Langkah 1

Diabetes 0.070 6.279 0.858 – 45.970

Gagal Ginjal 0.399 3.034 0.230 – 40.071

Durasi QRS (>100 msec) 0.854 1.188 0.188 – 7.499 Sudut Gelombang QRS – T (>75º) 0.001 46.636 4.433 – 490.583

Ukuran LA (>40 mm) 0.537 0.382 0.018 – 8.135

Ukuran EDD (>53 mm) 0.006 110.485 3.731 – 3271.764 Langkah 2

Diabetes 0.068 6.372 0.874 – 46.432

Gagal Ginjal 0.396 3.061 0.232 – 40.425

Sudut Gelombang QRS – T (>75º) 0.001 49.700 5.157 – 479.019

Ukuran LA (>40 mm) 0.537 0.383 0.018 – 8.005

Ukuran EDD (>53 mm) 0.005 116.381 4.166 – 3251.349 Langkah 3

Diabetes 0.045 7.417 1.046 – 52.588

Gagal Ginjal 0.525 2.018 0.232 – 17.571

Sudut Gelombang QRS – T (>75º) 0.001 51.059 5.314 – 490.564 Ukuran EDD (>53 mm) 0.001 64.471 5.093 – 816.085 Langkah 4

Diabetes 0.042 7.472 1.075 – 51.934 Sudut Gelombang QRS – T (>75º) <0.001 54.339 5.771 – 511.642 Ukuran EDD (>53 mm) 0.001 57.929 4.962 – 676.351

Dari 6 variabel yang masuk ke dalam analisis multivariat, setiap langkah analisis backward stepwise, variabel dengan nilai p yang paling tidak bermakna akan dikeluarkan untuk masuk ke uji multivariat langkah berikutnya.

Hasil uji multivariat pada akhir analisis menunjukkan 3 variabel yang bermakna sebagai prediktor kejadian disfungsi sistolik ventrikel kiri, yaitu diabetes (p = 0.042, OR 7.472, IK 95% : 1.075 – 51.934), sudut gelombang QRS – T (p =

<0.001, OR 54.339, IK 95% : 5.771 – 511.642), dan ukuran EDD (p = 0.001, OR 57.929, IK 95% 4.962 – 676.351).

Hal ini menunjukkan bahwa sudut gelombang QRS – T merupakan prediktor kuat untuk memprediksi disfungsi sistolik ventrikel kiri pada subjek gagal jantung akut.

BAB 5 PEMBAHASAN

Sudut gelombang QRS – T bidang frontal merupakan parameter elektrokardiografi yang sangat mudah dilihat, didefinisikan sebagai selisih aksis gelombang QRS dan dan gelombang T pada bidang frontal, dimana keduanya merupakan parameter yang rutin dihitung pada perangkat lunak alat diagnostik elektrokardiografi yang standar. (Gotsman 2013)

Penelitian ini merupakan suatu penelitian potong lintang untuk menilai sudut gelombang QRS – T bidang frontal sebagai prediktor disfungsi sistolik ventrikel kiri pada pasien gagal jantung akut yang dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan mulai Mei 2019 hingga Agustus 2019. Penelitian ini menganalisis 64 orang subjek penelitian yang dibagi ke dalam 2 kelompok berdasarkan fungsi sistolik ventrikel kiri yang digambarkan dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri (FEVK), yaitu 32 orang subjek pada kelompok FEVK < 40% dan 32 orang subjek pada kelompok FEVK > 40% .

Karakteristik dasar subjek penelitiaan antara kedua kelompok tersebut memperlihatkan tidak adanya perbedaan yang signifikan dari parameter usia, jenis kelamin, tekanan darah dan denyut jantung saat masuk ke ruang gawat darurat.

Begitu pula halnya dengan penyebab gagal jantung dan riwayat penggunaan obat – obatan gagal jantung yang memiliki perbedaan yang tidak signifikan secara statistik. Di samping itu, faktor risiko yang berbeda bermakna adalah diabetes. Dari hasil analisis bivariat dan multivariat, terlihat bahwa diabetes merupakan prediktor yang penting dalam menentukan disfungsi sistolik ventrikel kiri (OR 7.47).

Kardiomiopati diabetes adalah manifestasi jantung spesifik pasien dengan diabetes yang ditandai dengan hipertrofi ventrikel kiri dan disfungsi diastolik pada fase awal hingga gagal jantung dengan penurunan fungsi sistolik pada stadium lanjut. Patogenesis kondisi ini bersifat multifaktorial dan dikenal sebagai faktor pemicu utama adanya resistensi insulin dan hiperglikemia. (Paolilo, 2019)

Komplikasi kardiovaskular, termasuk kardiomiopati diabetik, menyebabkan lebih dari 80% kematian akibat diabetes. Para peneliti sedang

mengeksplorasi target terapi baru untuk memperlambat atau mengurangi angka kejadian diabetes karena meningkatnya kejadian dan peningkatan risiko kematian karena komplikasinya. Kardiomiopati Diabetik ditampilkan oleh mekanisme patofisiologis yaitu hiperglikemia, resistensi insulin, stres oksidatif, hipertrofi ventrikel kiri, kerusakan fungsi sistolik dan diastolik ventrikel kiri, fibrosis miokard, disfungsi endotel, kematian sel miosit, autofag, dan stres retikulum endoplasma.

Sejumlah jalur molekuler dan seluler, seperti sistem proteasome jantung di mana-mana, faktor transkripsi Fox-O, jalur biosintesis heksosamin, jalur poliol, pensinyalan protein kinase C, pensinyalan NF-BB, pensinyalan reseptor yang diaktifkan oleh proliferasi peroksisom, jalur NRF-2, protein yang diaktivasi mitogen jalur kinase, dan mikro RNA, memainkan peran utama dalam Kardiomiopati Diabetik. (Parim, 2019)

Gagal ginjal dalam uji bivariat memiliki hubungan dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri, namun bukan merupakan prediktor yang baik untuk menentukan kejadian tersebut. Kondisi gagal ginjal primer seperti penyakit glomerulus kronik yang berperan dalam menurunnya fungsi jantung, hipertrofi ventrikel, disfungsi diastolik, dan/atau peningkatan risiko kejadian kardiovaskular. Adanya gagal ginjal kronis merupakan prognosis buruk bagi jantung. Pada penelitian ALLHAT, risiko terjadinya infark miokard, stroke, revaskularisasi, kematian karena sindroma koroner akut, dan semua bentuk penyakit aterosklerosis akan meningkat seiring menurunnya GFR. (Kularni 2016, Shlipak 2004)

Pada penderita gagal ginjal terdapat peningkatan kadar plasma biomarker spesifik seperti troponin, dimetilarginin asimetrik, Plasminogen activator inhibitor-1, homosistein, natriouretic peptide, C-reactive Protein, Amyloid Serum Protein, dan ischemia-modified albumine. Hal ini menggambarkan hubungan antara inflamasi kronik, infeksi subklinik, percepatan aterosklerosis, interaksi jantung-ginjal, dan penyakit kardiovaskular dan ginjal. (Santos 2011, Rosner 2011).

Secara patofisiologis, interaksi kardiorenal kronik dipengaruhi oleh denominator yang sama yaitu inflamasi, keseimbangan antara nitric oxide/reactive oxygenspecies, sistem saraf simpatik, dan sistem Renin Angiotensin Aldosteron,

yang bersama-sama dengan interaksi hemodinamik antara jantung dan ginjal bertanggung jawab terhadap progresifitas penyakit melalui mekanisme umpan balik, sehingga urutan kejadian pada kondisi sindrom kardiorenal kronik (tipe 2 dan tipe 4) menjadi tidak penting. (Francis 2006, Schiffrin 2007)

Pada pasien dengan gagal jantung stadium akhir yang disertai diabetes mellitus, kardiomiopati diabetikum memiliki hubungan dengan disfungsi ventrikel kiri yang berat. (Chung Hung 2012).

Durasi Gelombang QRS merupakan salah satu prediktor disfungsi sistolik ventrikel kiri. Namun pada penelitian ini, didapati durasi gelombang QRS tidak signifikan dalam uji multivariat. Pemanjangan durasi QRS (> 0,10 dtk) yang yang diperoleh dari ECG 12-lead saat istirahat standar adalah spesifik (83.6%), tetapi merupakan indikator yang relatif tidak sensitif (43.8%) terhadap penurunan fungsi sistolik LV. Pemanjangan lebih lanjut dari QRS memiliki spesifisitas yang lebih tinggi untuk penurunan FEVK. (Murkofsky 1998). Pasien dengan gagal jantung dengan tingkat keparahan yang memicu kejadian rehospitalisasi memiliki durasi QRS> 120 mdet dan derajat perpanjangan QRS ini dikaitkan dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri yang jauh lebih parah, dilatasi ventrikel kiri, dan mitral regurgitasi. (Sandhu 2003)

Pada wanita, peningkatan risiko penyakit kardiovaskular ditunjukkan pada sudut gelombang QRS – T >60 º dengan peningkatan risiko yang signifikan pada sudut >90º, dan efek mulai mendatar setelah sudut ini. Pada pria, peningkatan risiko terlihat pada sudut >120, dengan peningkatan risiko signifikan pada sudut >150º.

(Gotsman 2013). Sudut gelombang QRS-T frontal dihitung menghitung perbedaan antara aksis gelombang QRS dan gelombang T dalam 180º, dengan kategori <90º dikatakan normal, dan >100º dikatakan abnormal. (Aro 2012). Pada penelitian ini, didapati hasil titik potong sudut gelombang QRS – T >75º berhubungan dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri pada pasien gagal jantung akut, dan memiliki sensitifitas 81% dan spesifisitas 87%, serta PPV dan NPV sebesar 86% dan 82%..

Sudut QRS-T yang lebar pada pasien dengan diabetes mellitus tipe 2 yagn bebas dari komplikasi makrovaskular, berhubungan dengan kontrol gula darah yang buruk dan fungsi ventrikel kiri yang lebih buruk. (Voulgari 2006)

Penyebab perubahan pada sudut gelombang QRS – T antara lain fibrosis, kelebihan beban tekanan dan volume, hingga keadaan iskemia. Repolarisasi yang lebih spesifik mengonsumsi banyak energi dan iskemia dari banyak mekanisme telah menunjukkan efek yang tidak dapat diprediksi. (Rodriguez 2006) (Kleber 1978). Perubahan pada repolarisasi dan hubungannya dengan depolarisasi dapat berguna untuk mendeteksi perubahan iskemia miokardium sebelum tampilan klinis muncul. (Van Huysduynen 2005)

Wilson dkk, menyebutkan bahwa bila repolarisasi merupakan gambar cerminan / Mirror Image dari depolarisasi spasial dan temporal, luas permukaan yang tertutup oleh bentuk gelombang EKG akan sama tetapi berlawanan tanda, dan vektor rata-rata spasialnya juga akan meniadakan satu sama lain. Penting untuk diperhatikan bahwa bentuknya tidak perlu dan tidak bisa sama, mengingat bahwa mekanisme molekuler (sifat saluran ion dan ion) berbeda secara signifikan, menyebabkan kurva potensial aksi temporal yang asimetris (Lederer 2003). Namun, pembatalan ini tidak terjadi, bahkan di jantung normal, alasannya adalah:

1. Repolarisasi memiliki arah subepicardial ke subendocardial, berlawanan dengan depolarisasi, dan bila dikombinasikan dengan perubahan polaritas yang berlawanan dalam jaringan, mengarah ke defleksi positif. Hal ini telah lama dikaitkan dengan efek diferensial tekanan transmural dan peningkatan regangan lapisan subendocardial (Hurst 2005), berpotensi menyebabkan iskemia ringan relatif dan peregangan aktivasi saluran ion, sehingga memperpanjang durasi potensial aksi dan menunda repolarisasi.

2. Efek tekanan transmural ini tidak seragam di semua area ruang ventrikel, sehingga inversi positif gelombang T tidak akan lengkap. beberapa kondisi yang terkait dengan kerusakan jaringan miokard (mis. deposisi jaringan fibrosa dalam kardiomiopati dilatasi) dapat menyebabkan pergeseran dalam vektor depolarisasi-repolarisasi, menekankan perlunya penggunaan parameter yang dijelaskan secara bijaksana dan peningkatan kinerja diagnostik pada populasi risiko yang lebih tinggi. (Hurst 2005)

Ukuran atrium kiri dan End Diastolic Diameter ventrikel kiri juga memiliki hubungan dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri. Diseksi berlapis pada beberapa hipertrofi dan dilatasi ruang jantung telah menunjukkan bahwa bundel otot sirkular yang hanya menutupi 60% basal dari jantung yang berukuran normal dapat meluas lebih jauh ke bawah menuju puncak ventrikel. Distribusi serat ini menghambat obliterasi apikal. Dilatasi ventrikel kiri menghasilkan ruang kosong di apikal yang dapat berkontribusi pada penurunan ejeksi fraksi sering dikaitkan dengan dilatasi jantung.

Dilatasi ventrikel kiri bisa mengurangi keuntungan dari pengaturan serat heliks dan mengurangi kemampuan ventrikel mengosongkan dan karenanya mengurangi ejeksi fraksi. (Lewis 1971). Pada penelitian ini, ukuran EDD merupakan prediktor yang baik dalam memprediksi disfungsi sistolik ventrikel kiri (p = 0.001, OR 57.929, IK 95% 4.962 – 676.351).

BAB 6 PENUTUP

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data yang diperoleh pada penelitian ini disimpulkan bahwa:

Sudut Gelombang QRS – T bidang frontal merupakan prediktor kuat untuk memprediksi disfungsi sistolik ventrikel kiri pada pasien gagal jantung akut yang masuk di ruang gawat darurat RSUP H. Adam Malik Medan, dengan nilai titik potong 75º, memiliki sensitifitas 81% dan spesifisitas 87%, serta PPV dan NPV sebesar 86% dan 82%.

Dokumen terkait