• Tidak ada hasil yang ditemukan

SUDUT GELOMBANG QRS T BIDANG FRONTAL SEBAGAI PREDIKTOR DISFUNGSI SISTOLIK VENTRIKEL KIRI PADA PASIEN GAGAL JANTUNG AKUT TESIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SUDUT GELOMBANG QRS T BIDANG FRONTAL SEBAGAI PREDIKTOR DISFUNGSI SISTOLIK VENTRIKEL KIRI PADA PASIEN GAGAL JANTUNG AKUT TESIS"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

Oleh

IMAM KUKUH DARMAWAN NIM : 147115009

Pembimbing

1. dr. Nizam Zikri Akbar, Sp.JP(K)

2. Prof. dr. Harris Hasan, Sp.PD, Sp.JP(K)

PROGRAM STUDI JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH DEPARTEMEN KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULAR

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2019

(2)

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah dalam Program Studi Jantung dan Pembuluh Darah

di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Oleh

IMAM KUKUH DARMAWAN NIM : 147115009

PROGRAM STUDI JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH DEPARTEMEN KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULAR

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2019

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Tesis : Sudut Gelombang QRS – T Bidang Frontal Sebagai Prediktor Disfungsi Sistolik Ventrikel Kiri Pada Pasien Gagal Jantung Akut Nama Mahasiswa : Imam Kukuh Darmawan

Nomor Registrasi : 147115009

Program Studi : Jantung dan Pembuluh Darah

Konsentrasi : Kardiologi dan Kedokteran Vaskular

Menyetujui,

Pembimbing II

Prof. dr. Harris Hasan Sp.PD, Sp.JP(K) NIP. 195604051983031004

Pembimbing I

dr. Nizam Zikri Akbar, Sp.JP(K) NIP 196203211988021002

Dekan

Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S(K) NIP. 196605241992031002

Ketua Program Studi Jantung dan Pembuluh Darah

dr. Ali Nafiah Nasution, MKed(Cardio), Sp.JP(K) NIP. 198104142006041003

(4)

Telah diuji pada : Seminar Hasil Tesis Profesi

Tanggal : 26 September 2019

Penguji : 1. Dr. dr. Zulfikri Mukhtar, Sp.JP(K)

2. dr. Ali Nafiah Nasution, M.Ked (Cardio), Sp.JP(K) 3. dr. Cut Aryfa Andra, M.Ked (Cardio), Sp.JP(K)

Menyetujui

Penguji III

dr. Cut Aryfa Andra, M.Ked(Cardio), Sp.JP(K) NIP. 198111172006042002

Mengetahui, Ketua Departemen

Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler FK-USU / RSUP H. Adam Malik Medan

Prof. dr. Harris Hasan Sp.PD, Sp.JP(K) NIP. 195604051983031004

Penguji I

Dr. dr. Zulfikri Mukhtar, Sp.JP(K) NIP.195610261983121001

Penguji II

dr. Ali Nafiah Nasution, M.Ked(Cardio), Sp.JP(K) NIP. 198104142006041003

(5)

HALAMAN PERNYATAAN ORISINILITAS

SUDUT GELOMBANG QRS – T BIDANG FRONTAL SEBAGAI PREDIKTOR DISFUNGSI SISTOLIK VENTRIKEL KIRI PADA PASIEN GAGAL JANTUNG AKUT

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah dituliskan atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang digunakan sebagai acuan referensi dan telah disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, September 2019

Imam Kukuh Darmawan

(6)

UCAPAN TERIMA KASIH

Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan berkat dan rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

Tesis ini dibuat untuk memenuhi syarat kelulusan dalam Program Studi Jantung dan Pembuluh Darah, Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyatakan penghargaaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan penulis kesempatan untuk mengikuti Program Magister Kedokteran Klinik Kardiologi dan Kedokteran Vaskular di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. dr. Harris Hasan, Sp.PD, Sp.JP(K) selaku Ketua Departemen Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/Ketua SMF Kardiologi RSUP H. Adam Malik Medan yang telah memberikan penulis kesempatan untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

3. dr. Cut Aryfa Andra, M.Ked(Cardio), Sp.JP(K) selaku Sekertaris Departemen Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RSUP Haji Adam Malik Medan yang telah memberikan saran-saran berharga dalam penulisan penelitian ini.

4. dr. Ali Nafiah Nasution, M.Ked(Cardio), Sp.JP(K) selaku Ketua Program Studi PPDS Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan selaku pembimbing dua penulis dalam penyusunan tesis ini yang telah memberikan ide, arahan serta masukan sehingga dapat menerapkan pola berpikir yang komprehensif mengenai tulisan ini

(7)

5. dr. Yuke Sarastri, M.Ked(Cardio), Sp.JP selaku Sekretaris Program Studi PPDS Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kritikan dan saran yang begitu berharga sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

6. dr. Nizam Zikri Akbar, Sp.JP(K) dan Prof. dr. Harris Hasan, Sp.PD, Sp.JP(K) selaku pembimbing penulis yang telah membimbing, mengoreksi dan memberikan ide, arahan serta masukan kepada penulis sehingga tulisan ini dapat diselesaikan dengan baik.

7. Para guru penulis: Prof. dr. T. Bahri Anwar, Sp.JP(K); Prof. dr. Sutomo Kasiman, Sp.PD, Sp.JP(K); Prof. dr. Abdullah Afif Siregar, Sp.A(K), Sp.JP(K); Prof. dr. Harris Hasan, Sp.PD, Sp.JP(K); Alm. dr. Maruli T.

Simanjuntak Sp.JP(K); dr. Nora C. Hutajulu, Sp.JP(K); Dr. dr. Zulfikri Mukhtar, Sp.JP(K); Alm. dr. Isfanuddin N. Kaoy, Sp.JP(K); dr.

Parlindungan Manik, Sp.JP(K); dr. Refli Hasan, Sp.PD, Sp.JP(K); Alm. dr.

Amran Lubis, Sp.JP(K); dr. Nizam Zikri Akbar, Sp.JP(K); dr. Zainal Safri, Sp.PD, Sp.JP(K); dr. Andre P. Ketaren, Sp.JP(K); dr. Andika Sitepu, Sp.JP(K); dr. Anggia C. Lubis, M.Ked(Cardio), Sp.JP; dr. Ali Nafiah Nasution, M.Ked(Cardio), Sp.JP(K); dr. Cut Aryfa Andra, M.Ked(Cardio), Sp.JP(K); dr. Hilfan Ade Putra Lubis, M.Ked(Cardio), Sp.JP(K); dr. Abdul Halim Raynaldo, M.Ked(Cardio), Sp.JP(K); dr. Teuku Bob Haykal, M.Ked(Cardio), Sp.JP(K); dr. Yuke Sarastri, M.Ked(Cardio), Sp.JP; dr. T.

Winda Ardini, Mked(Cardio), Sp.JP; dr. Faisal Habib, Sp.JP serta guru lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah banyak memberikan masukan dan dorongan selama mengikuti program pendidikan magister ini.

8. Direktur Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan yang telah memberikan kesempatan, fasilitas, dan suasana kerja yang baik sehingga penulis dapat mengikuti Program Magister Kedokteran Klinik Kardiologi dan Kedokteran Vaskular.

9. Teristimewa untuk kedua orang tua yang sangat penulis hormati dan sayangi yakni ayahanda Ir. Yogi Sufizarto dan ibunda tercinta dr. Hellida

(8)

Nadjamuddin yang selama ini telah memberikan dukungan dan perhatian baik moril dan materi serta doa dan nasihat agar penulis tetap semangat, sabar dan tegar dalam mengikuti pendidikan sampai selesai. Takkan dapat semuanya itu penulis balas dengan apapun, penelitian ini hanya permulaan bukti kecil tanda terima kasih yang penulis persembahkan untuk orang tua tercinta.

10. Kedua ayah dan ibu mertua yang sangat penulis hormati dan sayangi, Edi Faizal, SE dan Heriyani Djuwahir, S.Pd, MM yang telah memberikan kasih sayang, semangat, dukungan dan doa selama proses pendidikan ini.

11. Istri tercinta, dr. Indhi Vavirya Mestika untuk segala doa, pengertian, semangat, dukungan, kesabaran serta bantuan moril selama penulis menjalani proses pendidikan dan juga Anakku tersayang, Ibrahim Raffasya Darmawan, untuk segala pengertian dan kesabarannya selama penulis menjalani proses pendidikan.

12. Kepada abang dan kakak ipar penulis terkasih yakni Ikhsan Yudha Nugraha, SE, Ak dan Irma Murwanti, SE yang selalu memberikan semangat dan dorongan untuk menyelesaikan tesis ini serta seluruh keluarga besar penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

13. Keenam teman-teman seangkatan penulis, dr. Indri Maria Benazir, dr.

Petrus Suranta Pinem, dr. Sherly Cancerita, dr. Kamal K. Ilyas, dr. Taufik Delfian dan dr. Bambang A. H. Dalimunthe yang sedari awal masa pendidikan telah bersama–sama dengan penulis saling membantu dan bekerjasama melalui berbagai proses pendidikan serta dr. Omar Mokhtar Siregar dan dr. Suhenda B. H. Ginting yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

14. Rekan-rekan sahabat Kelakar Medan yang telah memberikan waktu dan tenaga dalam membantu pengambilan sampel penelitian, proses seminar dan memberikan masukan serta saran dan doa dalam penyelesaian tesis ini dan saling membantu dalam mengikuti program magister ini.

15. Para perawat Pusat Jantung Terpadu RSUP HAM khususnya yang bertugas di bagian Cardiac Emergency dan CVCU yang telah memberikan

(9)

kesempatan kepada penulis pada waktu luang untuk mengambil data sampel penelitian.

16. Para staf administrasi Ahmad Syafi’i, Nanda dan Aulia Husna yang telah membantu terselenggaranya penelitian ini.

Semoga Allah Yang Maha Pengasih membalas semua jasa dan budi baik mereka yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian ini. Akhirnya penulis mengharapkan agar penelitian dan tulisan ini kiranya dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, September 2019

Penulis

(10)

ABSTRAK

Latar Belakang : Gagal jantung merupakan komplikasi yang sering terjadi pada individu dengan atau tanpa penyakit kardiovaskular yang mendasari. Sudut gelombang QRS – T bidang Frontal adalah sudut antara arah depolarisasi dan repolarisasi ventrikel. Disfungsi sistolik ventrikel kiri dan disinkroni ventrikel kiri merupakan prediktor dari sudut QRS-T yang abrnormal. Tujuan penelitian ini adalah untuk Mengetahui Apakah Sudut Gelombang QRS – T bidang Frontal dapat Memprediksi Disfungsi Sistolik Ventrikel Kiri Pada Pasien Gagal Jantung Akut.

Metode : Penelitian ini merupakan suatu studi Cross Sectional, terhadap penderita gagal jantung akut yang masuk ruang gawat darurat dan menjalani perawatan di Rumah Sakit H.

Adam Malik Medan sejak Mei 2019 hingga Agustus 2019. Subjek selanjutnya dilakukan elektrokardiografi dan ekokardiografi dan dikelompokkan sesuai fungsi sistolik ventrikel kiri dengan menggunakan kriteria fraksi ejeksi ventrikel kiri < 40% dan ≥40%. Analisis Statistik menggunakan SPSS versi 17.0

Hasil : Melalui analisis statistik, Sudut gelombang QRS – T memiliki hubungan yang signifikan terhadap disfungsi sistolik ventrikel kiri, didapati sudut gelombang QRS – T yang lebih lebar pada kelompok FEVK < 40% dan FEVK ≥ 40% (117 ± 36 vs 47 ± 40, p

= <0.001), r = 0.68, dengan nilai titik potong 75º sebagai prediktor disfungsi sistolik ventrikel kiri dengan sensitifitas 81% dan spesifisitas 87%, AUC 0.886. Hasil uji multivariat pada akhir analisis menunjukkan 3 variabel yang bermakna sebagai prediktor kejadian disfungsi sistolik ventrikel kiri, yaitu diabetes (p = 0.042, OR 7.472, IK 95% : 1.075 – 51.934), sudut gelombang QRS – T (p = <0.001, OR 54.339, IK 95% : 5.771 – 511.642), dan ukuran EDD (p = 0.001, OR 57.929, IK 95% 4.962 – 676.351).

Kesimpulan : Sudut gelombang QRS – T bidang frontal, yaitu selisih absolut antara aksis gelombang QRS dan aksis gelombang T, merupakan prediktor kuat untuk disfungsi sistolik ventrikel kiri pada pasien gagal jantung akut.

Kata Kunci : Gagal Jantung Akut, Sudut Gelombang QRS – T bidang frontal, Disfungsi Sistolik Ventrikel kiri

(11)

ABSTRACT

Background: Heart failure is a complication that occurs in individuals with or without underlying cardiovascular disease. Frontal QRS - T angle is the angle between the direction of depolarization and ventricular repolarization. Left ventricular systolic dysfunction and left ventricular synchrony are predictors of an abnormal QRS-T angle.

The purpose of this study was to determine whether the Frontal QRS-T angle can predict left ventricular systolic dysfunction in patients with acute heart failure.

Methods: This study was a cross sectional study of acute heart failure patients who admitted to the emergency room and underwent treatment at H. Adam Malik Hospital Medan from May 2019 to August 2019. The Subjects were underwent electrocardiography and echocardiography and were grouped according to ventricular systolic function byt using LVEF criteria (<40% and ≥40%). Statistical analysis using SPSS version 17.0

Results: Through statistical analysis, QRS-T angle has a significant relationship to left ventricular systolic dysfunction, found a wider QRS-T angle in the LVEF group <40% and LVEF ≥ 40% (117 ± 36 vs 47 ± 40, p = <0.001), r = 0.68, with a cut off value of 75º as a predictor of left ventricular systolic dysfunction with a sensitivity of 81% and a specificity of 87%, AUC of 0.886. Multivariate test results at the end of the analysis showed 3 significant variables as predictors of the incidence of left ventricular systolic dysfunction, such as diabetes (p = 0.042, OR 7.472, 95% CI: 1.075-51.934), QRS-T angle (p = <0.001, OR 54,339, 95% CI: 5,771 - 511,642), and EDD size (p = 0.001, OR 57,929, 95% IK 4.962 - 676,351).

Conclusion: Frontal QRS - T angle, the absolute difference between the QRS wave axis and T wave axis, is a strong predictor for left ventricular systolic dysfunction in patients with acute heart failure.

Keywords: Acute Heart Failure, Frontal QRS-T Angle, Left Ventricular Systolic Dysfunction

(12)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN i

HALAMAN ORISINILITAS iii

UCAPAN TERIMA KASIH iv

ABSTRAK viii

ABSTRACT ix

DAFTAR ISI xi

DAFTAR GAMBAR xiii

DAFTAR TABEL xiv

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG xv

BAB 1 PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Pertanyaan Penelitian 3

1.3 Hipotesis 4

1.4 Tujuan Penelitian 4

1.5 Manfaat Penelitian 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5

2.1 Definisi Gagal Jantung 5

2.2 Klasifikasi Gagal Jantung 7

2.3 Patofisiologi Gagal Jantung 10

2.4 Parameter Penilaian Gagal Jantung 12 2.5 Ekokardiografi Pada Gagal Jantung 15 2.6 Elektrokardiografi Pada Gagal Jantung 19

2.7 Kerangka Teori 28

2.8 Kerangka Konsep 29

BAB 3 METODE PENELITIAN 30

3.1 Desain Penelitian 30

3.2 Tempat dan Waktu 30

3.3 Populasi dan Sampel 30

(13)

3.4 Besar Sampel 30

3.5 Kriteria Inklusi dan Eksklusi 31

3.6 Variabel Penelitian 31

3.7 Alur Penelitian 32

3.8 Analisis Data 34

3.9 Definisi Operasional 34

3.10 Etika Penelitian 38

3.11 Perkiraan Biaya 38

BAB 4 HASIL PENELITIAN

4.1 Karakteristik Penelitian 39

4.2 Karakteristik Subjek Penelitian 39

4.3 Analisis Hubungan Sudut Gelombang QRS – T

dengan Disfungsi Sistolik Ventrikel Kiri 42 4.4 Nilai Titik Potong Sudut Gelombang QRS – T

pada Disfungsi Sistolik Ventrikel Kiri 43 4.5 Uji Korelasi Antar Kelas terhadap 2 pengukuran 44 4.6 Analisis Multivariat dengan Regresi Logistik 46

BAB 5 PEMBAHASAN 48

BAB 6 PENUTUP 53

6.1 Kesimpulan 53

6.2 Keterbatasan Penelitian dan Saran 53

DAFTAR PUSTAKA 54

LAMPIRAN 63

(14)

DAFTAR GAMBAR

GAMBAR 2.1 Pola remodeling selular dan kardiak yang terjadi sebagai respon terhadap kelebihan beban

hemodinamik berdasarkan stimulus 11

GAMBAR 2.2 Patogenesis Gagal Jantung 12

GAMBAR 2.3 Gambaran PLAX dan B. Gambaran PSAX

pengukuran dimensi LV secara M mode 17 GAMBAR 2.4 Pengkuran volume LV dengan metode Simpson 18

GAMBAR 2.5 EKG Normal 20

GAMBAR 2.6 Vektor listrik jantung 21

GAMBAR 2.7 Proyeksi 12 Sadapan Elektrokardiogram 23 GAMBAR 2.8 Skema Aksis Gelombang QRS dan T spasial 26 GAMBAR 2.9 Skema Aksis Gelombang QRS dan T pada

Bidang Frontal 27

GAMBAR 2.10 Mekanisme Heterogenitas Elektromekanis

sebagai kontributor kejadian gagal jantung 27

GAMBAR 2.10 Kerangka Teori 28

GAMBAR 2.11 Kerangka Konsep Penelitian 29

GAMBAR 3.1 Aksis Gelombang QRS–T pada Bidang Frontal 32

GAMBAR 3.2 Alur Penelitian 33

GAMBAR 4.1 Grafik Scatter Plot Hubungan antara Sudut Gelombang QRS-T dengan Fungsi Sistolik

Ventrikel Kiri 43

GAMBAR 4.2 Kurva ROC 44

GAMBAR 4.3 Grafik distribusi frekwensi Sudut Gelombang

QRS – T terhadap Disfungsi Sistolik Ventrikel Kiri 45

(15)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Klasifikasi Gagal Jantung Berdasarkan Fungsi

Sistolik Ventrikel Kiri 9

Tabel 2.2 Nilai referensi dimensi, volume LV, dan EF 17 Tabel 2.3 Pengukuran Heterogenitas Repolarisasi Melalui EKG 25

Tabel 3.1 Perkiraan Biaya Penelitian 38

Tabel 4.1 Karakteristik Dasar Subjek Penelitian Gagal Jantung

Akut Berdasarkan Fungsi Sistolik Ventrikel Kiri 40 Tabel 4.2 Karakteristik Elektrokardiografi, Fungsi Ginjal,

dan Ekokardiografi Subjek Penelitian Gagal Jantung

Akut Berdasarkan Fungsi Sistolik Ventrikel Kiri 41 Tabel 4.3 Hubungan Sudut Gelombang QRS – T pada Subjek

Penelitian Gagal Jantung Akut Berdasarkan

Fungsi Sistolik Ventrikel Kiri 43

Tabel 4.4 Analisis Sudut Gelombang QRS – T sebagai Prediktor

Disfungsi Sistolik Ventrikel Kiri 44

Tabel 4.5 Analisis Bivariat Variabel Dikotom Subjek Penelitian Gagal Jantung Akut Berdasarkan Fungsi Sistolik

Ventrikel Kiri 45

Tabel 4.6 Analisis Multivariat dengan Backward Stepwise LR 46

(16)

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG

SINGKATAN NAMA

ACE : Angiotensin Converting Enzyme

ACS : Acute Coronary Syndrome

ADP : Adenosine DiPhosphate AHEAD : Acute Heart Failure Database

AHF : Acute Heart Failure

ARB : Angiotensin Receptor Blocker

AUC : Area Under Curve

BNP : B-type Natriuretic Peptide

BUN : Blood Urea Nitrogen

CHARM : The Candesartan in Heart Failure : Assessment of Reduction in Mortality and Morbidity

CHF : Chronic Heart Failure

CKD : Chronic Kidney Disease

CMR : Cardiac Magnetic Resonance

DepKes RI : Departemen Kesehatan Republik Indonesia

DM : Diabetes Mellitus

EDD : End Diastolic Dimension EKG : Elektrokardiografi

ESC : European Society of Cardiology ESD : End Sistolic Dimension

FEVK : Fraksi Ejeksi Ventrikel Kiri

HFmrEF : Heart Failure mid-range Ejection Fraction HFpEF : Heart Failure preserved Ejection Fraction HFrEF : Heart Failure reduced Ejection Fraction ICC : Interclass Correlation

IGD : Instalasi Gawat Darurat

(17)

IKP : Intervensi Koroner Perkutan IMA : Infark Miokard Akut

IU : Intra Unit

IVSD : Interventricular Septal in Diastole IVSS : Interventricular Septal in Systole KKvM : Kejadian Kardiovaskular Mayor

LA : Left Atrium

LFG : Laju Filtrasi Glomerulus

LVEF :Left Ventricular Ejection Fraction

mg : miligram

mg/dl : milligram per desiliter

mm : millimeter

mmHg : millimeter mercury

MRA : Mineralocorticoid Receptor Antagonist NRI : Net Reclassification Index

OR : Odds Ratio

PJK : Penyakit Jantung Koroner PWD : Posterior Wall in Diatole PWS : Posterior Wall in Systole RisKesDas : Riset Kesehatan Dasar

ROC : Receiver Operating Characteristic

RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat

SKA : Sindroma Koroner Akut

TAPSE : Tricuspid Annular Plane on Systolic Excursion

TDI : Tissue Doppler Imaging

TDS : Tekanan Darah Sistolik

UOP : Urine Output

VTI : Velocity Time Integral

VCG : Vectorcardiogram

WHO : World Health Organization

(18)

LAMBANG

Α : Alpha

Β : Beta

N : Jumlah subjek penelitian

P : Tingkat Kemaknaan

Zα : Nilai Baku Alpha Zβ : Nilai Baku Beta

< : Lebih Kecil

˃ : Lebih Besar

≥ : Lebih besar atau sama dengan

% : Persentase

= : Sama dengan

± : Kurang lebih

(19)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gagal jantung adalah sindrom klinis yang ditandai dengan gejala khas (mis.

Sesak napas, edema pretibial dan kelelahan) yang dapat disertai dengan tanda-tanda (mis. Peningkatan tekanan vena jugularis, ronkhi paru dan edema perifer) yang disebabkan oleh kelainan jantung struktural dan / atau fungsional, yang mengakibatkan penurunan curah jantung dan / atau tekanan intrakardiak yang meningkat saat istirahat atau selama stres. (Ponikowski, 2016).

Definisi gagal jantung saat ini terbatas pada tahap di mana gejala klinis terlihat jelas. Sebelum gejala klinis menjadi jelas, pasien dapat datang dengan kelainan jantung struktural atau fungsional tanpa gejala [disfungsi sistolik atau diastolik ventrikel kiri], yang merupakan prekursor gagal jantung. Pengenalan prekursor ini penting karena mereka terkait dengan hasil yang buruk, dan memulai pengobatan di tahap prekursor dapat mengurangi angka kematian pada pasien dengan tanpa gejala. (Ponikowski, 2016).

Angka harapan hidup pasien gagal jantung masih rendah, 17-45% dari pasien gagal jantung yang masuk rumah sakit akan mengalami kematian dalam setahun setelah dirawat, dan kebanyakan meninggal dalam 5 tahun ke depan (Alla 2007) (Ponikowski, 2016).

Data dari pasien yang dirawat menunjukkan bahwa peningkatan insidensi gagal jantung mungkin diturunkan, terlebih pada gagal jantung fraksi ejeksi menurun dibandingkan gagal jantung fraksi ejeksi baik. Gagal jantung berdasarkan fraksi ejeksi ini memiliki profil epidemiologi dan etiologi yang berbeda.

Dibandingkan gagal jantung – fraksi ejeksi menurun, pasien gagal jantung – fraksi ejeksi baik memiliki usia yag lebih tua, wanita, dan umumnya memiliki riwayat hipertensi serta fibrilasi atrium, walaupun riwayat infark miokard jarang terjadi.

(Owan TE, 2005).

Karakteristik pasien dengan gagal jantung – fraksi ejeksi menurun ringan berada antara gagal jantung – fraksi ejeksi menurun dan gagal jantung – fraksi

(20)

ejeksi baik, namun beberapa penelitian menilai kelompok ini lebih baik untuk dikarakteristikkan. Etiologi dari gagal jantung berbeda antara daerah – daerah di dunia. Identifikasi dari beberapa patologis yang berbeda harus menjadi bagian dari proses diagnostik, karena dapat memberikan kesempatan terapi yang spesifik.

Banyak pasien dengan gagal jantung dan penyakit jantung iskemik, memiliki riwayat infark miokard atau revaskularisasi. Angiografi koroner yang normal tidak mengeksklusikan adanya skar miokardium ataupun terganggunya mikrosirkulasi koroner sebagai bukti alternatif dari penyakit jantung iskemik.

Lebih dari 30 tahun, peningkatan pada pengobatan dan implementasinya telah memperbaiki survival dan menurunkan rasio hospitalisasi pada pasien dengan gagal jantung – fraksi ejeksi menurun. Data Eropa menunjukkan bahwa rasio mortalitas dalam 12 bulan dari pasien gagal jantung yang dirawat di rumah sakit dan stabil adalah 17 dan 7 %, dengan rasio hospitalisasi dalam 12 bulan adalah 44 dan 32 %. Pada pasien gagal jantung (dirawat inap dan rawat jalan), kematian umumnya terjadi akibat kematian mendadak dan perburukan gagal jantung, dan lebih tinggi pada gagal jantung – ejeksi fraksi menurun. (Magioni, 2013).

Elektrokardiogram (EKG) 12 sadapan adalah tes sederhana yang tersedia untuk menilai pasien dengan gagal jantung dan memberikan informasi yang berkaitan untuk gambaran patologis jantung mekanis dan elektrofisiologis dan menyampaikan informasi prognostik. Sudut QRS-T spasial dari elektrokardiografi, didefinisikan sebagai sudut antara arah depolarisasi dan repolarisasi ventrikel, mencerminkan kelainan struktural jantung yang mendasarinya dan heterogenitas listrik menyebabkan abnormalitas perubahan arah urutan repolarisasi. Hal ini menjadi penanda kuat ketidakstabilan listrik jantung. (Kardys 2003) (Yamazaki 2005)

Terjadinya perubahan respons elektrofisiologis terhadap kelebihan tekanan atau volume ventrikel telah didokumentasikan dengan baik. (Hansen 1993) Kemampuan sudut QRS-T spasial untuk mendeteksi perubahan elektrofisiologis yang diinduksi peregangan, yang tidak terdeteksi oleh EKG permukaan standar, tidak bisa dikesampingkan.(Dilaveris 2001)

(21)

Vectorcardiogram (VCG) memvisualisasikan pergerakan vektor jantung melalui siklus jantung sebagai loop. Loop QRS mencerminkan depolarisasi, sedangkan loop T mencerminkan repolarisasi. Sudut QRS-T melengkapi gradien ventrikel, di mana keduanya mungkin digunakan untuk menilai pasien dengan baik kelainan repolarisasi primer, sekunder, atau campuran (mis., hipertrofi ventrikel kiri [LVH]). Mengingat bahwa pernyataan mekanis di atas adalah berdasarkan penelitian primer agak kuno, studi modern dari mekanisme gradien ventrikel dan Sudut QRS-T masih sangat dibutuhkan. (Ohler 2014). Fraksi ejeksi ventrikel kiri dan disinkroni ventrikel kiri merupakan prediktor dari sudut QRS-T yang abrnormal (de Bie, 2013). Pada Pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi baik, peningkatan sudut gelombang QRS – T secara independen berhubungan bermakna dengan fungsi ventrikel kiri dan ventrikel kanan yang lebih buruk, remodelling, dan hasil akhir yang lebih buruk (Selvaraj 2014)

Di sisi lain, sudut gelombang QRS-T dapat disederhanakan menggunakan bidang frontal yang dapat dimbil dari standar EKG 12 sadapan dan juga terdapat pada beberapa mesin EKG otomatis. Sudut gelombang QRS-T dapat dapat dihitung dengan mudah dan memiliki korelasi yang kuat terhadap sudut gelombang QRS-T spasial. (Zhang 2007).

Penilaian fungsi sistolik ventrikel kiri saat ini dilakukan dengan menggunakan modalitas ekokardiografi yang membutuhkan interval waktu saat pasien masuk ke ruang gawat darurat hingga fungsi sistolik ventrikel kiri dapat diidentifikasi sehingga kita membutuhkan instrumen yang lebih cepat untuk dapat memprediksi hal tersebut.

1.2 Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan uraian dalam latar belakang tersebut di atas, maka penelitian ini diperlukan untuk mengetahui : Apakah Sudut Gelombang QRS – T bidang Frontal dapat Memprediksi Disfungsi Sistolik Ventrikel Kiri Pada Pasien Gagal Jantung Akut?

(22)

1.3 Hipotesis

Hipotesis penelitian ini adalah Sudut Gelombang QRS – T bidang Frontal dapat Memprediksi Disfungsi Sistolik Ventrikel Kiri Pada Pasien Gagal Jantung Akut.

1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum

Mengetahui Apakah Sudut Gelombang QRS – T bidang Frontal dapat Memprediksi Disfungsi Sistolik Ventrikel Kiri Pada Pasien Gagal Jantung Akut.

1.4.2 Tujuan Khusus

• Untuk Mengetahui Mengetahui Apakah Terdapat Faktor Lain Yang Mempengaruhi Kejadian Disfungsi Sistolik Ventrikel Kiri Pada Pasien Dengan Gagal Jantung Akut.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat Terhadap Akademik

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat ilmiah dan memberikan informasi mengenai kegunaan Sudut Gelombang QRS – T bidang Frontal melalui alat diagnostik EKG yang sederhana dalam menilai dan mengklasifikasikan gagal jantung menurut fungsi sistolik ventrikel kiri.

1.5.2 Manfaat Terhadap Masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat klinis tentang kemudahan menentukan fungsi sistolik ventrikel kiri dengan alat diagnostik yang lebih sederhana dan cepat saat perawatan rumah sakit.

(23)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Gagal Jantung

Gagal jantung merupakan sindroma klinis yang dikarakteristikkan dengan gejala tipikal (sesak napas, kaki bengkak, dan mudah lelah) yang berhubungan dengan tanda (peningkatan tekanan vena jugularis, ronkhi paru, dan edema perifer) disebabkan oleh adanya abnormalitas struktural dan atau fungsional, yang menyebabkan penurunan curah jantung dan atau peningkatan tekanan intrakardiak pada saat istirahat maupun dengan beban aktivitas.

Definisi gagal jantung saat ini terbatas pada tahap dimana gejala mulai terlihat. Sebelum gejala klinis terlihat, pasien dapat menunjukkan abnormalitas struktural dan fungsional tanpa gejala klinis (disfungsi sistolik ataupun diastolik ventrikel kiri), yang mana merupakan prekursor kejadian gagal jantung. Pengakuan dari prekursor ini menjadi penting karena hal ini berhubungan dengan hasil yang buruk, dan memulai pengobatan pada tahap prekursor memungkinkan menurunkan mortalitas pada pasien dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri asimptomatik. (Wang TJ, 2003).

Gambaran mengenai penyebab kelainan jantung yang mendasari gagal jantung menjadi penting dalam diagnosis gagal jantung. Umumnya abnormalitas miokard menjadi penyebab gagal jantung sistolik dan diastolik. Abnormalitas katup, perikard, endokardium, irama jantung, dan sistem konduksi juga dapat menyebabkan gagal jantung. (Ponikowski, 2016)

Konsep Acute Heart Failure (AHF) atau gagal jantung akut sering dipakai karena lebih mudah. Gagal jantung akut merupakan kumpulan tanda dan gejala yang baru dan rekuren dari gejala gagal jantung yang memerlukan penanganan segera dan darurat dan sering mengakibatkan seseorang masuk rumah sakit secara tiba-tiba (Felker, 2015).

Gagal jantung akut mengacu kepada onset yang cepat atau perburukan dari gejala dan atau tanda gagal jantung. Hal ini merupakan kondisi medis yang mengancam jiwa, membutuhkan evaluasi dan penanganan yang cepat, biasanya

(24)

mengarah kepada hospitalisasi yang mendesak. Gagal jantung akut dapat datang dengan presentasi kejadian pertama (de novo) atau, sebagai konsekuensi dari dekompensasi akut dari gagal jantung kronis, dan dapat disebabkan oleh disfungsi jantung primer atau dipresipitasi oleh faktor ekstrinsik, sering pada pasien dengan gagal jantung kronik.

Disfungsi miokard akut (iskemik, inflamatorik, dan toksik), regurgitasi akut katup jantung, atau tamponade jantung merupakan penyebab yang paling sering menyebabkan gagal jantung akut. Dekompensasi dari gagal jantung kronis dapat terjadi tanpa faktor presipitasi, namun sering dengan satu atau lebih faktor seperti infeksi, hipertensi yang tidak terkontrol, gangguan irama jantung atau ketidakpatuhan minum obat.

Pada praktek klinis, klasifikasi yang sangat berguna adalah berdasarkan pada presentasi klinis saat masuk rumah sakit, memberikan kesempatan kepada klinisi untuk mengidentifikasi apakah pasien berada pada risiko tinggi terjadinya komplikasi dan untuk memberikan penanganan langsung pada target spesifik, yang membentuk alur untuk parawatan personal pada keadaan gagal jantung akut.

Pendekatan lain untuk mengklasifikasikan pasien berdasarkan adanya penyebab atau faktor presipitan yang memicu gagal jantung akut, yang harus mendapatkan penanganan atau koreksi sesegera mungkin : sindroma koroner akut, hipertensi emergensi, takiaritmia, atau gangguan konduksi yang berat, penyebab mekanis akut, ataupun emboli paru.

Klasifikasi klinis dapat berupa temuan saat pemeriksaan fisik untuk mendeteksi adanya gejala atau tanda kongesti (wet bila dijumpai tanda kongesti, dan dry bila tidak dijumpai), dan gejala atau tanda hipoperfusi (cold bila dijumpai tanda hipoperfusi dan warm bila tidak). Klasifikasi ini dapat berguna untuk mengarahkan terapi pada fase inisial dan memberikan informasi prognostik. Pasien dengan gagal jantung akibat komplikasi infark miokard akut, dapat diklasifikasikan menggunakan Kilip dan Kimball menjadi kelas : I. Tanpa klinis gagal jantung; II.

Gagal jantung dengan ronkhi basah dan S3 gallop; III. Edema paru akut; dan IV.

Syok kardiogenik, hipotensi (TDS <90 mmHg), dan adanya bukti vasokontriksi perifer seperti oliguria, sianosis dan keringat dingin.(Ponikowski 2016)

(25)

2.2 Klasifikasi Gagal Jantung

Klasifikasi gagal jantung akut dapat dikelompokan beberapa kategori.

Terkadang masih banyak dijumpai tumpang tindih klasifikasi dari gagal jantung akut berdasarkan kriteria yang berbeda (Ponikowski, 2016) (Fillippatos, 2007) (Metra, 2010). Beberapa klasifikasi gagal jantung akut dapat dilihat sebagai berikut:

2.2.1 Klasifikasi gagal jantung akut berdasarkan subset klinis (Nieminen, 2005) A. Gagal jantung akut dekompensata (dekompensata atau de novo).

Terdapat tanda dan gejala gagal jantung akut yang memerlukan tatalaksana segera dengan tampilan perburukan gagal jantung kronis yang mendasari sebelumnya.

B. Gagal jantung akut hipertensif.

Terdapat tanda dan gejala gagal jantung terkait dengan tekanan darah tinggi dan fungsi ventrikel kiri yang masih baik dan sering disertai gambaran edema pulmonal akut pada foto thoraks.

C. Edema Paru akut

Terdapat distress pernafasan yang berat, ronki basah (rales) > 2/3 lapangan paru, orthopnoe, dengan penurunan saturasi oksigen < 90% pada udara kamar sebelum terapi.

D. Syok kardiogenik

Keadaan dimana dijumpai tanda hipoperfusi jaringan akibat gagal jantung setelah koreksi volume plasma. Parameter hemodinamik syok kardiogenik antara lain penurunan tekanan darah (tekanan darah sistolik < 90 mmHg atau turunnya tekanan arteri rerata (mean arterial pressure) > 30 mmHg dengan atau penurunan diuresis (< 0.5 cc/kg/jam), dengan laju nadi lebih dari 60 denyut per menit dengan atau tanpa bukti kongesti organ.

E. Gagal jantung akut High Output

(26)

Biasanya dijumpai denyut nadi yang cepat (disebabkan oleh arritmia, tirotosikosis, anemia, penyakit paget, iatrogenik atau mekanisme lainnya), dengan kondisi perifer yang hangat, kongesti pulmonal, dan terkadang dengan tekanan darah yang rendah.

F. Gagal jantung kanan akut

Ditandai dengan sindroma output rendah dengan peningkatan vena juguler, hepatomegali dan hipotensi.

2.2.2. Gagal jantung akut berdasarkan profil hemodinamik dan tanda klinis (Felker, 2005)

Pembagian gagal jantung ini dapat dipakai menjadi acuan strategi tatalaksana secara tepat. Pembagian ini lebih dikenal dengan klasifikasi Forrester.

A. Kelas I (grup A): hangat dan kering, dimana tidak dijumpai hipoperfusi dan kongesti pulmonal. Mortalitasnya 2.2%.

B. Kelas II (grup B): hangat dan basah, dimana tidak dijumpai hipoperfusi, tetapi dijumpai kongesti pulmonal. Mortalitas mencapai 10.1%.

C. Kelas III (grup L): dingin dan kering, dimana dijumpai hipoperfusi, tetapi tidak dijumpai kongesti pulmonal. Angka mortalitasnya mencapai 22.4%.

D. Kelas IV (grup C): dingin dan basah, dimana dijumpai hipoperfusi dan kongesti pulmonal. Angka mortalitasnya sekitar 55.5%.

2.2.3. Gagal jantung berdasarkan fraksi ejeksi ventrikel kiri

Terminologi utama yang digunakan untuk menggambarkan gagal jantung berdasar pada pengukuran fraksi ejeksi ventrikel kiri. Gagal jantung berada pada area yang luas, dari gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri yang normal / heart failure with preserved ejection fraction (HFpEF) dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri > 50 %, hingga gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri yang menurun / heart failure with reduced ejection fraction (HFrEF) dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri < 40 %. Pasien dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri antara 40 – 49 % berada pada area abu – abu, yang diklasifikasikan sebagai gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri yang sedikit menurun / heart failure with mid-range

(27)

ejection fraction (HFmrEF). Pengelompokan pasien berdasarkan fraksi ejeksi ventrikel kiri ini sangat pengint untuk menentukan etiologi, demografis, komorbiditas, dan respon terhadap terapi.

Diagnosis HFpEF lebih menantang dibandingkan HFrEF, dikarenakan pada HFpEF pada umumnya tidak terjadi dilatasi ventrikel kiri namun telah terjadi peningkatan ketebalan dinding ventrikel, dan atau peningkatan ukutan atrium sebagai tanda dari peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri dan umumnya terjadi disfungsi diastolik. Pasien dengan HFrEF (sebelumnya didasari disfungsi sistolik) juga memiliki disfungsi diastolik, dan disfungsi sistolik yang ringan juga terjadi pada HFpEF. (Buttler 2014) (McMurray 2012)

Pasien yang tidak memiliki gangguan miokardium ventrikel kiri, mungkin menderita penyebab kardiovaskular lain seperti hipertensi pulmonal, penyakit katup jantung, dan lain-lain. Pasien dengan penyebab patologi non kardiovaskular seperti anemia, gangguan ginjal, gangguan paru, dan gangguan hati, mungkin memiliki gejala yang identik dengan gagal jantung, dan masing-masing mungkin menjadi faktor presipitasi untuk eksaserbasi gagal jantung.

Kriteria HFpEF HFmrEF HRrEF

1 Gejala ± Tanda Gejala ± Tanda Gejala ± Tanda 2 LVEF >50 % LVEF 40 – 49 % LVEF <40 % 3 Peningkatan Kadar

Serum Natriuretic Peptide

Peningkatan Kadar Serum Natriuretic Peptide

-

Minimal 1 kriteria tambahan :

- Penyakit jantung struktural yang relevan

- Disfungsi diastolik

Minimal 1 kriteria tambahan :

- Penyakit jantung struktural yang relevan

Disfungsi diastolik -

Tabel 2.1 Klasifikasi Gagal Jantung Berdasarkan Fungsi Sistolik Ventrikel Kiri (Ponikowski, 2016)

Walaupun gejala dan tanda gagal jantung telah membaik, penyebab kelainan jantung yang mendasari masih belum selesai, sehingga pasien masih memiliki

(28)

risiko untuk mengalami gejala dekompensasi ulang. Gagal jantung kongestif merupakan terminologi yang digunakan untuk menggambarkan gagal jantung akut ataupun kronis dengan bukti adanya kelebihan cairan. Keseluruhan terminologi ini dapat dipakai pada satu pasien yang sama namun dalam waktu yang berbeda, tergantung tingkatan gejala yang timbul saat itu. Terminologi gagal jantung lanjut digunakan pada pasien dengan karakteristik gejala klinis yang berat, dekompensasi yang berulang, dan gangguan fungsi jantung yang berat. (Ponikowski, 2016)

2.3 Patofisiologi Gagal Jantung

Penurunan curah jantung pada gagal jantung mengaktifkan serangkaian adaptasi kompensasi untuk mempertahankan homeostatis jantung. Salah satu adaptasi yang paling penting adalah aktivasi sistem saraf simpatis (adrenergik), yang terjadi di tahap awal gagal jantung.

Aktivasi sistem saraf simpatis pada gagal jantung disertai dengan penurunan sistem saraf parasimpatis. Meskipun gangguan pada kontrol saraf otonom pada awalnya dikaitkan dengan hilangnya penghambatan dari refleks baroreseptor arteri atau kardiopulmonal, ada peningkatan refleks rangsang yang berpartisipasi dalam ketidakseimbangan saraf autonom yang terjadi pada gagal jantung. Pada pasien gagal jantung, hambatan masukan baroreseptor semakin berkurang dan masukan rangsang meningkat, sehingga terjadi peningkatan saraf simpatis dan menumpulkan saraf parasimpatis dan hilangnya variabilitas denyut nadi serta peningkatan resistensi vaskular perifer (Floras,2009; Hasenfuss,2015).

Sebagai hasil dari peningkatan nada simpatik, terjadi peningkatan sirkulasi norepinefrin (NE), sebuah neurotransmiter adrenergik yang kuat. Peningkatan NE yang bersirkulasi merupakan kombinasi peningkatan pelepasan NE dari ujung saraf adrenergik, dan akibatnya masuk ke plasma karena berkurangnya serapan NE oleh ujung saraf adrenergik. Namun, seiring dengan perkembangan gagal jantung, terjadi penurunan signifikan pada konsentrasi NE di miokard. Mekanisme yang bertanggung jawab untuk penurunan NE jantung pada gagal jantung berat tidak jelas dan mungkin berhubungan dengan fenomena "kelelahan" yang diakibatkan oleh aktivasi adrenergik (Hasenfuss,2015; Metra,2010).

(29)

Peningkatan aktivasi simpatis reseptor beta-1-adrenergik menyebabkan peningkatan denyut jantung dan kekuatan kontraksi miokard, sehingga terjadi peningkatan curah jantung. Selain itu, aktivitas tinggi sistem saraf adrenergik menyebabkan stimulasi reseptor alfa-1-adrenergik di miokard, yang menghasilkan efek inotropik positif, serta vasokonstriksi arteri perifer. Meskipun norepinefrin meningkatkan kontraksi dan relaksasi dan mempertahankan tekanan darah, kebutuhan energi miokard meningkat, yang dapat mengintensifkan iskemia saat pemberian oksigen miokard dibatasi.

Gambar 2.1 Pola remodeling selular dan kardiak yang terjadi sebagai respon terhadap kelebihan beban hemodinamik berdasarkan stimulus

Aliran adrenergik yang meningkat dari sistem saraf pusat juga dapat memicu takikardia ventrikel atau bahkan kematian jantung mendadak, terutama dengan adanya iskemia miokard. Dengan demikian, aktivasi sistem saraf simpatik memberikan dukungan jangka pendek yang berpotensi menjadi maladaptif dalam jangka waktu panjang. Efek dari sistem saraf simpatik dimediasi melalui tiga reseptor: β1, β2, dan α1. Pada penderita gagal jantung, reseptor β1 dan β2 diaktifkan dan, bersamaan dengan reseptor α1, akhirnya menyebabkan toksisitas miokard.

Efek yang terlihat adalah dengan penurunan fraksi ejeksi, aritmia,dan takikardia akibat overstimulasi oleh saraf simpatis. Pada vaskular perifer aktivasi receptor β1 dan α1 menyebabkan aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS) yang

(30)

menyebabkan vasokonstriksi, retensi natrium, dan haus, juga menambah tekanan rata-rata arteri (Kemp, 2012; Hasenfuss,2015).

Gambar 2.2 Patogenesis Gagal Jantung

2.4 Parameter Penilaian Gagal Jantung 2.4.1 Pemeriksaan Serologi

Banyak penelitian yang menggambarkan kegunaan klinis dari beberapa biomarker yang berbeda pada pasien gagal jantung akut dan kronis. Natriuretik Peptide digunakan rutin pada penanganan gagal jantung, namun saat ini beberapa biomarker baru dapat diperiksa. Data dasar dan pengulangan pengukuran harus memungkinkan dan memiliki biaya yang beralasan. Biomarker baru harus memberiikan informasi yang tidak dapat diberikan saat penilaian klinis. NT-pro BNP telah menjadi patokan biomarker prognostik pasien dengan gagal jantung akut. Perbandingan head-to-head dengan MR-proANP dan MR-proADM menjadi biomarker yang menjanjikan dan dapat menggantikan NT-pro BNP sebagai patokan. (Velde, 2011)

Novel biomarker harus menunjukkan nilai diagnostik dan prognostik yang komparabel dalam analisis terakhir. Penelitian multipel melaporkan sebuah net reclassification index (NRI) yang memudahkan untuk melaporkan nilai prognostik dari biomarker. Walau begitu, masih terdapat kesulitan untuk menemukan biomarker yang dapat mengisi semua kebutuhan untuk evaluasi dari prognosis pasien dengan gagal jantung akut dekompensasi.

(31)

Beberapa biomarker menunjukkan nilai prediktifnya dan masih terbatas pada parameter klinis yang ada. Model prediksi klinis yang baik selali memiliki nilai prognostik yang tinggi dan sesuai dengan nilai Area Under Curve yang tinggi.

Penelitian – penelitian terakhir berfokus pada kombinasi biomarker untu prediksi risiko gagal jantung akut, dimana multimarker menghasilkan stratifikasi risiko yang lebih superior. (Velde, 2011)

2.4.2 Ekokardiografi

Ekokardiografi transthorakal yang digunakan di sini adalah semua teknik pencitraan ultrasonografi jantung, termasuk ekokardiografi 2 – 3 dimensi, pulse dan continuous wave doppler, colour flow doppler, tissue doppler imaging (TDI), contrast echocardiography, dan pencitraan deformitas (strain dan strain rate).

Ekokardiografi transthorakal merupakan pilihan metode untuk menilai fungsi sistolik dan diastolik miokard pada ventrikel kiri dan kanan.

2.4.2.1 Pemeriksaan Fungsi Sistolik Ventrikel Kiri.

Untuk penilaian fraksi ejeksi ventrikel kiri, metode simpson biplane direkomendasikan. Volume akhir diastolik ventrikel kiri dan volume akhir sistolik ventrikel kiri diukur dari apical four dan two chamber views. Metode ini membutuhan penelusuran batas jantung yang akurat. Pada kualitas gambar yang buruk, agen kontras padat digunakan untuk meningkatkan tampilan batas jantung.

Pengukuran regional wall motion abnormality merupakan temuan yang sesuai dengan kecurigaan penyakit jantung koroner atau miokarditis.

Metode Teichholz pada penghitungan fraksi ejeksi ventrikel kiri dari dimensi yang linear, sebagaimana pengukuran fractional shortening tidak direkomendasikan karena hasil pengukurannya tidak akurat pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri regional dan atau dengan remodeling ventrikel kiri.

Ekokardiografi 3 dimensi dengan kualitas yang adekuat memperbaiki kuantifikasi dari volume ventrikel kiri dan fraksi ejeksi ventrikel kiri dan memiliki akurasi yang terbaik bila dibandingkan dengan nilai yang didapat dengan Cardiac Magnetic Resonance (CMR). Teknik doppler memberikan perhitungan variabel hemodinamik seperti indeks volume sekuncup dan curah jantung, berdasarkan

(32)

velocity time integral (VTI) pada area keluar ventrikel kiri. Dalam dekade terakhir, parameter tissue doppler (gelombang S) dan deformasi teknik pencitraan (strain dan rasio strain) telah menunjukkan kegunaan klinis yang layak, terutama pada penilaian abnormalitas fungsi sistolik yang ringan pada kondisi preklinis. (Voigt JU, 2015)

2.4.2.2 Pemeriksaan Fungsi Diastolik Ventrikel Kiri.

Disfungsi diastolik ventrikel kiri diperkirakan sebagai abnormalitas patofisiologi yang mendasari pasien dengan gagal jantung – fraksi ejeksi baik dan gagal jantung – fraksi ejeksi menurun ringan, dan penilaian ini memiliki peran penting pada diagnosis. Walaupun ekokardiografi hanya merupakan teknik pencitraan yang bisa memberikan diagnosis disfungsi diastolik, tidak ada satu variabel ekokardiografi yang cukup akurat untuk digunakan pada isolasi untuk membuat sebuah diagnosis disfungsi diastolik.

2.4.2.3 Pemeriksaan Fungsi Sistolik Ventrikel Kanan.

Pemeriksaan fungsi ventrikel kanan dan tekanan arteri pulmonal dilakukan dengan menilai pula kelainan strukturalnnya (dimensi ventrikel kanan), estimasi fungsi sistolik ventrikel iianan dengan Tricuspid Annular Plane Sistolic Excursion (TAPSE, nilai normal 17 mm atau lebih). Penilaian sistolik lain seperti tissue doppler pada anulus lateral trikuspid untuk menilai velocity (s’) dengan nilai 9.5 cm/s mengindikasikan disfungsi sistolik ventrikel kanan. Tekanan arteri pulmonal sistolik didapat dari perekaman optimal pada jet regurgitan trikuspid maksimal dan gradien sistolik trikuspid, bersamaan dengan estimasi tekanan atrium kiri pada ukuran basis vena kava inferior dan kolapsnya yang dihubungkan dengan pernapasan.

Ukuran ventrikel kanan harus dinilai secara rutin pada ekokardiografi 2 dimensi konvensional menggunakan gambar multipel, dan laporan ini harus memasukkan parameter kualitatif dan kuantitatif. Ekokardiografi 3 dimensi dengan speckle tracking mungkin merupakan metode kuantitatif tambahan untuk menilai fungsi ventrikel kanan pada pusat spesialisasi jantung. (Smith BCF, 2014)

(33)

2.5 Ekokardiografi Pada Gagal Jantung

2.5.1 Fungsi Sistolik Ventrikel Dalam Keadaan Normal

Ventrikel kanan dan kiri memiliki hubungan yang erat oleh karena dihubungkan oleh septum interventrikel. Ventricle interdependence merupakan suatu istilah bahwa bentuk, ukuran, dan komplians dari salah satu ventrikel dapat mempengaruhi bentuk, ukuran, dan hubungan tekanan-volume pada ventrikel yang lain melalui interaksi mekanik secara langsung. (Hadad dkk, 2008)

Perbedaan antara kedua ventrikel bukan hanya meliputi perbedaan bentuk dan tebal namun juga perbedaan konsentrasi dan orientasi miofibril jantung. Hal tersebut menyebabkan terjadinya perbedaan yang kompleks dalam cara masing- masing ventrikel memompa darah. (Bruhl dkk, 2011).

Kemampuan ventrikel kiri memompa dipengaruhi oleh fungsi sistol dan diastol. (Fukuta & Little, 2008). Kontraksi ventrikel kanan berjalan secara sekuensial dimulai dari bagian inlet dan miokardium yang bertrabekulasi dan diakhiri dengan kontraksi infundibulum. Pemendekan ventrikel kanan lebih signifikan secara longitudinal dibandingkan secara radial. Berbeda dengan ventrikel kiri, pergerakan rotasi tidak berperan secara signifikan terhadap kontraksi ventrikel kanan. (Hadad dkk, 2008).

Ekokardiografi 2 dimensi dan doppler berperan dalam membantu penegakan diagnosis, penatalaksanaan, dan stratifikasi resiko pada disfungsi sistolik. Penilaian ukuran ventrikel kiri akan didapat data kualitatif dan kuantitatif seperti dimensi, ketebalan ventrikel kiri, dan fraksi ejeksi secara M-mode. Ada hubungan yang konsisten dimana jika semakin bertambah besar ventrikel kiri maka akan menambah mortalitas. Metode Teicholtz merupakan metode umum yang sering digunakan menilai fraksi ejeksi. Gerakan dinding LV (wall motion score) 16 segmen telah direkomendasikan oleh ASE (American Society of

(34)

Echocardiography) sejak tahun 1989, dinilai apakah normokinetik, hipokinetik, akinetik, diskinetik, atau aneurisma. (Oh dkk, 2006).

2.5.2 Fraksi Ejeksi Ventrikel Kiri

Teknik pengukuran fraksi ejeksi dan volume pada ventrikel kiri merupakan pengukuran kuantitatif untuk mendapatkan informasi kemampuan pompa jantung sebagai indikator kemampuan miokardium.(Folland dkk, 1979) Ventrikel memiliki 2 fungsi yaitu ejeksi sistolik dan pengisian diastolik. Pada IMA akan terjadi gangguan fungsi sistolik dan diastolik. Teknik ekokardiografi bisa dilakukan dengan Trans Torakal Ekokardiografi (TTE) dan Trans Esofageal Ekokardiografi (TEE), namun yang tersering adalah TTE.

Penilaian kualitatif ukuran dan fungsi LV akan memiliki variabilitas signifikan antar observer dan keahlian observer yang berbeda-beda. Untuk mendapatkan hasil pengukuran linear ketebalan septum interventrikel (interventricluar septum / IVS), ketebalan dinding posterior (posterior wall thickness / PWT), pengambilan ekokardiografi dilakukan pada posisi gambaran parasternal long axis (PLAX). Sangat direkomendasikan untuk mengukur dimensi internal LV (Left Ventricle Internal Diameter diastolic / LVEDd dan Left Ventricle Internal Diameter systolic / LVIDs) dan tebal dinding pada level LV minor axis, kira-kira diujung katup mitral. (Deverieux, 1998; Palmieri, 1999)

Selain gambaran PLAX, gambaran parasternal short axis (PSAX) juga bias mengukur dimensi LV, terutama apabila dijumpai kesulitan mengukur dimensi LV pada posisi PLAX (gambar 2.5). Ukuran 2 dimensi minor axis lebih kecil dibandingkan pengukuran secara M-mode dimana batas maksimal LVIDd pada minor axis adalah 52 mm dan pada M-mode adalah 55 mm. LVID, IVS, dan PWT diukur saat end diastolic dan end systolic pada gambaran 2 dimensi (2D) atau M mode.(Lang dkk, 2005)

Pengukuran secara M mode atau dimensi linear yang diambil secara 2D memiliki variabilitas inter dan intra observer yang lebih rendah, sehingga penggunaan teknik Teicholz dalam menentukan EF ventrikel kiri tidak akurat, sehingga tidak direkomendasikan dalam praktik klinis. (Quinones, 1981) Yang paling banyak digunakan mengukur volume ventrikel adalah dengan metode

(35)

biplane (atau Simpson). Pada metode ini prinsipnya dapat dilakukan pada gambaran 2- chamber atau 4-chamber. (Gambar 2.4)

Dimana kalkulasi EF dapat digunakan dalam rumus : EF = (EDV – ESV) / EDV x 100%

Keterangan :

EF : ejection fraction EDV : end diastolic volume ESV : end systolic volume

Gambar 2.3. A. Gambaran PLAX dan B. Gambaran PSAX pengukuran dimensi LV secara M mode. (Lang dkk, 2005)

(36)

Tabel 2.2. Nilai referensi dimensi, volume LV, dan EF menurut Lang dkk, 2005

Gambar 2.4. Pengkuran volume LV dengan metode Simpson dimana A4C : Apical 4- chamber; A2C : Apical 2-chamber; LVEDD : LV end diastolic diameter; LVESD : LV end diastolic diameter. (Lang dkk, 2005)

Lenzen dkk melaporkan bahwa pasien dengan penurunan ejection fraction menentukan tingkat kematian dirumah sakit pada pasien gagal jantung. Ejection fraction merupakan gambaran kemampuan fungsi sistolik ventrikel yang banyak

(37)

disebut sebagai prediktor yang kuat dalam memprediksi kematian pada pasien gagal jantung (Solomon SD, 2005; Udelson JE, 2011).

CHARM (The Candersartan in Heart Failure: Assesssment of Reduction in Mortality and morbidity) Program menunjukan bahwa fungsi ejection fraction merupakan prediktor penting dalam menentukan fatal dan non-fatal outcome termasuk kematian, gagal jantung, kematian mendadak dan hospitalisasi. Ejection fraction menjadi prediktor yang kurang baik bila berkisar diatas 45%. Setiap penurunan 10% ejection fraction dibawah 45% secara bermakna berhubungan dengan peningkatan resiko kematian sebesar 39%, dengan kejadian tersering adalah kematian mendadak dan gagal jantung (Vasan RS, 1999; Solomon SD, 2005).

Acute Heart Failure Database (AHEAD) Main registry memberikan nilai ejection fraction ≤ 30% menjadi patokan ukuran dalam memprediksi kematian di rumah sakit pasien-pasien gagal jantung akut (Spinar J, 2011).

2.5.3 Penilaian Wall Motion Score Index (WMSI)

Kontraktilitas regional dinding ventrikel kiri dinilai dengan cara membuat pembagian dalam beberapa segmen. Menurut American Society of Echocardiography dinding ventrikel kiri dibagi menjadi 16 segmen. Pada model ini, ventrikel kiri dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu basal, mid, dan apical). Tingkatan basal dan mid kemudian dibagi menjadi 6 segmen, yaitu anterior, anteroseptal, lateral, inferolateral, inferior, dan inferoseptal. Bagian apeks dibagi menjadi 4 segmen yaitu anterior, lateral, inferior, dan septal. (Oh, 2006; Shiller, 1989)

Menurut Herzog, 2009 dinding ventrikel diberi skor secara visual berdasarkan 2 parameter kualitatif saat sistol yaitu kontraksi (gerakan dinding) dan penebalan dinding ventrikel. Skor yang diberikan kepada masing-masing segmen adalah sebagai berikut :

Skor 1, gerakan dinding normal (penebalan > 40% saat sistol) Skor 2, gerakan dinding hipokinetik (penebalan 10-30 % saat sistol) Skor 3, gerakan dinding akinetik (penebalan < 10 % saat sistol) Skor 4, gerakan dinding diskinetik

(38)

2.6 Elektrokardiografi Pada Gagal Jantung

Kompleks QRS adalah nama untuk kombinasi tiga defleksi grafis yang terlihat pada elektrokardiogram (EKG) yang menggambarkan depolatisasi ventrikel. Biasanya bagian tengah dan yang paling terlihat jelas dari penelusuran;

dengan kata lain, ini adalah lonjakan utama yang terlihat pada garis EKG. Ini sesuai dengan depolarisasi ventrikel kanan dan kiri jantung manusia dan kontraksi otot- otot ventrikel besar (Yanowitz, 2010).

Pada orang dewasa, kompleks QRS biasanya berlangsung 0,06-0,12 detik;

pada anak-anak dan selama aktivitas fisik, itu mungkin lebih pendek. Gelombang Q, R, dan S terjadi secara berurutan, tidak semuanya muncul di semua arahan, dan mencerminkan satu kejadian dan oleh karenanya biasanya dianggap bersama.

Gelombang Q adalah defleksi ke bawah segera setelah gelombang P. Gelombang R mengikuti sebagai lendutan ke atas, dan gelombang S adalah setiap defleksi ke bawah setelah gelombang R. Gelombang T mengikuti gelombang S, dan dalam beberapa kasus, gelombang U tambahan mengikuti gelombang T.

Gambar 2.5 Gambar EKG normal (MacFarlane, 2010)

Vektor pertama: Depolariasasi Atrium yang menggambarkan impuls dari Sinoatrial Node dihantarkan ke atrium kanan yang digambarkan dengan setengah gelombang P pertama, dan diteruskan ke atrium kiri yang digambarkan dengan setengah gelombang P terakhir.

(39)

Depolarisasi ventrikel menghasilkan tiga vektor besar, yang menjelaskan mengapa kompleks QRS terdiri dari tiga gelombang. Sangat penting untuk memahami asal-usul gelombang ini.

Vektor kedua: septum ventrikel (interventrikular). Septum ventrikel menerima konduksi serabut Purkinje dari cabang berkas kiri dan oleh karena itu depolarisasi berlangsung dari sisi kiri ke arah sisi kanannya. Vektor diarahkan ke depan dan ke kanan. Septum ventrikel relatif kecil, itulah sebabnya mengapa V1 menampilkan gelombang positif kecil (r-wave) dan V5 menampilkan gelombang negatif kecil (gelombang-q). Dengan demikian, itu adalah vektor listrik yang sama yang menghasilkan gelombang-r di V1 dan gelombang-q di V5.

Vektor ketiga: dinding bebas ventrikel. Vektor yang dihasilkan dari aktivasi dinding bebas ventrikel diarahkan ke kiri dan ke bawah. Penjelasan untuk ini adalah sebagai berikut: Vektor yang dihasilkan dari aktivasi ventrikel kanan tidak datang ke ekspresi, karena ditenggelamkan oleh banyak vektor lebih besar yang dihasilkan oleh ventrikel kiri. Dengan demikian, vektor selama aktivasi dinding bebas ventrikel sebenarnya adalah vektor yang dihasilkan oleh ventrikel kiri. Aktivasi dinding bebas ventrikular berlangsung dari endokadrium ke epikardium. Ini karena serat Purkinje berjalan melalui endocardium, di mana mereka memberikan potensial aksi untuk berkontraksi sel. Penyebaran selanjutnya dari potensial aksi terjadi dari satu sel kontraktil ke sel yang lain, mulai dari endokardium dan menuju ke epikardium.

(40)

Gambar 2.6 Vektor listrik jantung (MacFarlane, 2010)

Vektor keempat: bagian basal ventrikel. Vektor akhir berasal dari aktivasi bagian basal ventrikel. Vektor diarahkan ke belakang dan ke atas. Ini menjauh dari V5 yang merekam gelombang negatif (gelombang-s). Lead V1 tidak mendeteksi vektor ini.

Mekanisme Potensial. Elektrokardiogram 12-lead (EKG) adalah tes noninvasif yang paling mudah tersedia untuk mendeteksi penyakit jantung.

Sebelum revolusi teknologi pada jantung tahun 1970-an dan 1980-an, EKG dan rontgen dada dilakukan untuk diagnosis jantung. Hari ini kegunaan EKG telah dilampaui oleh kemampuan ekokardiografi dan kardiologi nuklir untuk mengevaluasi kemungkinan disfungsi jantung.

Pada penelitian Rachel, dkk (1998), perpanjangan dari durasi QRS (0.10 s) pada EKG 12-lead standar dikaitkan dengan fraksi ejeksi yang lebih rendah dan volume end-systolic dan end diastolic yang lebih besar, sebagaimana ditentukan oleh pencitraan radionuklida.. EKG 12 lead terbukti secara luas berguna untuk semua pasien dengan penyakit jantung yang dicurigai atau terdiagnosa. Meskipun informasi berharga untuk mendiagnosis ritme dan kehadiran atau ada tidaknya infark miokard akut atau hipertrofi ventrikel terkandung dalam EKG saat istirahat,

(41)

akan tetapi kegunaan durasi QRS sebagai penanda fungsi sistolik ventrikel kiri telah diabaikan. Studi sebelumnya mengindikasikan bahwa EKG normal saat istirahat dikaitkan dengan fungsi ventrikel kiri normal pada 92% hingga 95% kasus.

Sebelumnya, fraksi ejeksi ventrikel kiri dikatakan tidak berhubungan langsung dengan pemanjangan durasi QRS yang berkonduksi secara normal melalui sistem His-Purkinje. Setelah dilakukan penelitian, pada penderita gangguan miokard, ternyata dilatasi dari sistem intraseluler tubulus T dan adanya material yang bergetar dalam lumen tubulus T mungkin berhubungan dengan konduksi impuls dari permukaan sel ke dalam melalui tubulus T.

Perubahan mikroanatomi terkait iskemik atau miopati juga dapat menyebabkan gangguan natrium, dan dengan demikian mengurangi kecepatan konduksi, menghasilkan konduksi intraventrikular yang berubah atau memanjang.

Belum diketahui apakah hasil ini disebabkan oleh gangguan ventrikel kiri jangka panjang atau pemicu lain yang tidak diketahui.

Akumulasi kolagen interstitial juga dapat mempengaruhi komunikasi sel ke sel oleh desmosom dan mengarah pada durasi QRS yang lama. Meski orientasi gerakan miokard relatif tidak berubah pada kardiomiopati, kemungkinan kondisi yang mengatur konduksi anisotropik berubah sedemikian rupa sehingga konduksi longitudinal mendominasi, tetapi konduksi transversal yang relatif lebih lambat dari endokardial untuk permukaan epikardial mungkin masih menjadi lebih besar karena kesinambungan listrik terganggu secara difus antara bundel miokard yang berdekatan. Selanjutnya, impuls lebih lama berjalan di jantung yang melebar karena dengan peningkatan massa LV akan menghasilkan aktivasi ventrikel total yang lebih lama waktunya dan QRS yang lebih lebar.

(42)

Gambar 2.7 Proyeksi 12 Sadapan Elektrokardiogram

2.6.1 Heterogenitas Repolarisasi

Akibat mekanisme molekuler yang berbeda dan spesifik yang mendasari fenomena ini, proses patologis biasanya memiliki efek diferensial pada mereka. Ini termasuk fibrosis, tekanan dan volume yang berlebihan dan, relevan dengan ulasan ini, iskemia (Lederer 2003). Lebih khusus lagi, repolarisasi sangat memakan energi dan iskemia, melalui banyak mekanisme, telah terbukti memiliki efek yang tidak terduga. Akibatnya, gangguan pada repolarisasi dan hubungannya dengan depolarisasi dapat berguna dalam mendeteksi perubahan iskemik pada miokardium, sebelum menjadi jelas secara klinis. (Rodriguez 2006) (Kleber 1978)

Repolarisasi memiliki arah subepicardial ke subendocardial, berlawanan dengan depolarisasi, dan ini, dikombinasikan dengan perubahan polaritas yang berlawanan dalam jaringan, mengarah ke defleksi positif. Ini telah lama dikaitkan dengan efek diferensial tekanan transmural dan peningkatan regangan lapisan subendocardial, berpotensi menyebabkan iskemia ringan relatif dan aktivasi saluran ion peregangan, sehingga memperpanjang durasi potensial aksi dan menunda repolarisasi. Efek tekanan transmural ini tidak seragam di semua area ruang ventrikel, sehingga inversi positif gelombang T tidak akan lengkap. (Hurst 2005).

Penilaian Heterogenitas Repolarisasi dapat dilakukan dengan berbagai pengukuran yang didapat melalui elektrokardiogram.

(43)

2.6.2 Sudut Gelombang QRS-T

Sudut gelombang QRS-T didefinisikan sebagai sudut antara arah depolarisasi dan repolarisasi ventrikel. Sudut gelombang QRS-T yang lebar menunjukkan adanya abnormalitas struktural yang mengakibatkan depolarisasi atau perubahan patofisiologi regional dari kanal ion yang merubah repolarisasi.

Abnormalitas pada depolarisasi dan perubahan selama fase repolarisasi yang masih rentan dapat memprediksi mortalitas akibat kardiovaskular.

Pemeriksaan sudut gelombang QRS-T spasial ini tidak familiar dan tidak rutin digunakan oleh klinisi karena memerlukan perangkat lunak khusus dengan analisis elektrokardiografi terkomputerisasi. (Okin 2006).

Pengukuran EKG 12 sadapan dilakukan dengan pasien berada pada posisi berbaring menggunakan kecepatan kertas 25 dan 50 mm/s dan kalibrasi 10 mm/mV.

Aksis gelombang QRS dan gelombang T diukur secara manual. Aksis gelombang QRS diukur dengan menilai area defleksi positif dan negatif menggunakan sistem referensi hexaksial. Aksis gelombang T ditentukan dengan menganalisis sadapan frontal mana yang memiliki gelombang T tertinggi. Sudut gelombang QRS-T frontal dihitung menghitung perbedaan antara aksis gelombang QRS dan gelombang T dalam 180º, dengan kategori <90º dikatakan normal, dan >100º dikatakan abnormal. (Aro 2012). Pada wanita, peningkatan risiko penyakit kardiovaskular ditunjukkan pada sudut gelombang QRS – T >60 º dengan peningkatan risiko yang signifikan pada sudut >90º, dan efek mulai mendatar setelah sudut ini. Pada pria, peningkatan risiko terlihat pada sudut >120, dengan peningkatan risiko signifikan pada sudut >150º. (Gotsman 2013).

(44)

Tabel 2.3 Pengukuran Heterogenitas Repolarisasi Melalui EKG (Prenner 2016)

Sudut QRS-T yang melebar umumnya dikaitkan dengan hipertrofi ventrikel kiri, blok cabang-bundel, irama pacu / pacing, dan iskemia, yang merupakan kondisi yang diketahui terkait dengan aktivasi listrik abnormal. Perubahan sudut QRS-T berkorelasi dengan perubahan LVEF, durasi QRS, dan kelas NHYA, menyesuaikan pengukuran novel ini ke dalam konteks faktor risiko kardiovaskular yang telah diketahui sebelumnya. (Pavri 2008)

(45)

Gambar 2.8 Skema Aksis Gelombang QRS dan T spasial (Skampardoni 2019)

Dalam subjek yang sehat, repolarisasi di dinding lateral cenderung bergerak berlawanan arah dengan depolarisasi. Di septum dan daerah miokard lainnya, hubungan ini bervariasi. Secara keseluruhan, arah rata-rata repolarisasi (T) lebih dekat ke tegak lurus dibandingkan arah yang benar-benar terbalik dengan depolarisasi (QRS).(Scherptong 2008)

Gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang baik (HFpEF) dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi, serupa dengan HF dengan fraksi ejeksi menurun, dan angka kematian 5 tahun mendekati 70% setelah dirawat di rumah sakit untuk gagal jantung. Abnormalitas dalam depolarisasi dan repolarisasi umum terjadi pada pasien dengan HFpEF, namun pemahaman kita tentang signifikansi hal ini masih terbatas. Identifikasi penanda prognostik baru dapat mendeteksi pasien yang berisiko lebih awal dan memberikan wawasan baru ke terapi di HFpEF.

(Karaye 2005).

Abnormalitas pada sudut QRS-T frontal dapat menandakan ketidakstabilan listrik, menempatkan pasien pada risiko lebih tinggi untuk aritmia ventrikel maligna dan kematian jantung mendadak. Selain itu, pada pasien dengan diabetes yang bebas dari penyakit kardiovaskular, peningkatan sudut QRS-T ditemukan secara independen terkait dengan indeks kinerja miokard ventrikel kiri yang lebih buruk.

(Voulgari 2006)

(46)

Gambar 2.9 Skema Aksis Gelombang QRS dan T pada Bidang Frontal (Scherptong 2008)

Studi sebelumnya telah melibatkan skar ventrikel dan iskemia sebagai faktor yang dapat menyebabkan ketidakseimbangan regulasi aktivasi listrik dan pemulihan ventrikel. (Selvaraj 2014)

Gambar 2.10 Mekanisme Heterogenitas Elektromekanis sebagai kontributor kejadian gagal jantung (Prenner 2016)

(47)

2.7 Kerangka Teori

Gambar 2.11 Kerangka Teori Pasien dengan Gagal Jantung Akut

Kelebihan Beban Volume

Tegangan Dinding, Iskemia, Fibrosis

Disfungsi Diastolik Ventrikel Kiri

Disfungsi Sistolik Ventrikel Kiri

Interval QT Waktu Relaksasi Isovolumetrik

Meningkat

Amplitudo Gelombang T Tekanan Pengisian

Ventrikel Kiri Meningkat Gangguan Pengisian

Puncak Kecepatan

Pengisian Ventrikel Kiri

Meningkat

Perubahan Repolarisasi Deviasi Gelombang T

Terhadap QRS

(48)

2.8 Kerangka Konsep

Gambar 2.12 Kerangka Konsep Penelitian Pasien dengan Gagal Jantung Akut

Pemeriksaan EKG

Sudut Gelombang QRS – T bidang Frontal

Fraksi Ejeksi Ventrikel Kiri < 40% Fraksi Ejeksi Ventrikel Kiri 40%

Disfungsi Sistolik Ventrikel Kiri Kriteria Eksklusi

Ekokardiografi

Fraksi Ejeksi Ventrikel Kiri / LVEF (%)

Gambar

Gambar 2.1  Pola  remodeling  selular  dan  kardiak  yang  terjadi  sebagai  respon  terhadap kelebihan beban hemodinamik berdasarkan stimulus
Gambar 2.2  Patogenesis Gagal Jantung
Gambar 2.3. A. Gambaran PLAX dan B. Gambaran PSAX pengukuran dimensi  LV secara M mode
Tabel 2.2. Nilai referensi dimensi, volume LV, dan EF menurut Lang dkk, 2005
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan : Tidak terdapat korelasi kapasitas fungsional uji jalan 6 menit dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri, volume sekuncup, curah jantung, cardiac index , dan

ventrikel kiri dan penurunan curah jantung meningkatkan kemungkinan pembentukan trombus.  Hepatomegali: pada gagal

Dimensi ventrikel kiri pada saat diastolik maupun pada saat sistolik secara statistik tidak berbeda bermakna setelah pemberian dounorubisin dibanding- kan kelompok kontrol,

Hasil temuan pada penelitian ini mendapatkan bahwa pasien dengan gagal jantung kronik tidak terkompensasi nilai indeks volume atrium kanan (RAVi) menunjukkan beratnya

Subjek penelitian diperiksa kadar CD4 dan viral load, untuk fungsi sistolik ventrikel kiri diukur melalui fraksi ejeksi dan pemendekan fraksi dengan alat echocardiography..

Tidak terdapat hubungan antara Jumlah Faktor Risiko Konvensional dengan Fraksi Ejeksi Ventrikel Kiri pada pasien penyakit arteri koroner (PAK) di Rumah Sakit

Penelitian ini bertujuan untuk menilai korelasi antara nilai GLS ventrikel kiri dan TI dengan estimasi mortalitas dalam 1, dan 5 tahun yang dinilai dari skor

Pada gagal jantung dengan preserved ejection fraction (HFpEF), kadar peptida natriuretik (NP) thường thấp hơn và có thể liên quan đến kết quả khác