• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN

4.2. Hasil Penelitian 1. Analisis Univariat

4.2.3 Analisis Multivariat

Variabel yang akan dimasukkan ke dalam analisis regresi logistik adalah variabel yang pada analisa bivariat mempunyai nilai p < 0,025, artinya yang memiliki hubungan signifikan dengan variabel terikat (perilaku seks berisiko) dimana hasil analisis bivariat yang memenuhi persyaratan signifikansi tersebut adalah kebutuhan, dorongan, tujuan, motivasi, dukungan informasi, dukungan penilaian, dukungan instrumental, dukungan emosional dan dukungan keluarga.

Variabel independent (bebas) yang diuji, seluruh variabel tersebut signifikan (berpengaruh), dimana hasil uji statistik diperoleh (p<0,025). Variabel dukungan keluarga mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap perilaku seks berisiko (p= 0,004 < 0,025) dan nilai koefisien regresi (B) sebesar 3.103. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4.29

Tabel 4.29. Hasil Uji Regresi Logistik

Variabel B (Koefisien Regresi) Sig.

Kebutuhan -.184 .782 Dorongan 1.026 .055 Tujuan -1.169 .037 Motivasi 1.876 .022 Dukungan informasional 1.020 .070 Dukungan Penilaian -.690 .292 Dukungan Instrumental -.621 .258 Dukungan Emosional -1.721 .031 Dukungan Keluarga 3.103 .004 Constant -5.805 0,000

Berdasarkan hasil analisis multivariat dalam penelitian ini, maka dapat disusun model persamaan regresi logistik berganda sebagai berikut :

P(x) = x e + 1 1 P(x) = ( 5.805 0.184 1 0.1026 2 01.169 31.876 3 1.020 5 0.690 6 0.621 7 1.721 8 3.103 9 1 1 X X X X X X X X X X e + + + +

Dengan mensubstitusikan nilai-nilai koefisien setiap variabel maka dapat diperoleh besar probabilitas (peluang) dukungan keluarga. Sebagai contoh, jika faktor lain dianggap tetap, maka setiap peningkatan kebutuhan seks sebesar 1%, an meningkatkan peluang perilaku berisiko sebesar 0.184%.

BAB 5 PEMBAHASAN

5.2.1. Hubungan Kebutuhan Dengan Perilaku Seks Berisiko

Dilihat dari hasil tabulasi silang antara kebutuhan seks dengan perilaku seks berisiko, diketahui bahwa dari 42 responden dengan kebutuhan seks tinggi, ada 30 orang (71.4%) pernah melakukan perilaku seks berisiko dan 12 orang (28.6%) tidak pernah melakukan perilaku seks berisiko. Selanjutnya, dari 43 responden dengan kebutuhan seks tingkat sedang, ada 11 orang (29.7%) pernah melakukan perilaku seks berisiko dan 26 orang (70.3%) tidak pernah melakukan perilaku seks berisiko. Dari 20 orang dengan tingkat kebutuhan seks rendah, ada 4 orang (20%) pernah melakukan perilaku seks berisiko dan 16 orang (80) tidak pernah melakukan perilaku seks berisiko. Hasil analisis ini juga dikonfirmasi oleh hasil uji chi-square dengan nilai sig-p = 0.001, lebih kecil dari sig-α (0.05) yang berarti ada hubungan signifikan antara faktor kebutuhan seks dengan perilaku seks berisiko.

Ketidakstabilan emosi menyebabkan mereka mempunyai rasa ingin tahu dan dorongan untuk mencari tahu yang sifatnya eksperimen dan eksploratif. Pada masa ini banyak terjadi kenakalan remaja akibat tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan mereka seperti kebutuhan akan prestasi, komformitas, kebutuhan yang berhubungan dengan kehidupan keluarga, kebutuhan akan identitas diri, dan kebutuhan seksual. (Hendranata, 2010).

Peran orang tua sangat besar pengaruhnya terhadap remaja. Remaja dalam keluarga yang bercerai lebih menunjukkan penyesuaian dibandingkan dengan keluarga remaja yang utuh dengan kehadiran orang tuanya. Orang tua yang sibuk, kualitas pengasuhan yang buruk, dan perceraian orang tua, remaja dapat mengalami depresi, kebingungan, dan ketidakmantapan emosi yang menghambat mereka untuk tanggap terhadap kebutuhan remaja sehingga remaja dapat dengan mudah terjerumus pada perilaku yang menyimpang seperti seks pranikah (Santrock, 2005).

Bertitik tolak dari temuan penelitian dan kajian teori terkait tersebut diatas, penulis mengasumsikan bahwa tidak ada penyimpangan antara temuan penelitian dengan teori terkait.

5.2.2. Hubungan Dorongan Dengan Perilaku Seks Berisiko

Dilihat dari hasil tabulasi silang antara dorongan seks dengan perilaku seks berisiko, diketahui bahwa dari 17 responden dengan dorongan seks tinggi, ada 15 orang (88.2%) pernah melakukan perilaku seks berisiko dan 2 orang (11.8%) tidak pernah melakukan perilaku seks berisiko. Selanjutnya, dari 56 responden dengan dorongan tingkat sedang, ada 22 orang (39,38%) pernah melakukan perilaku seks berisiko dan 35 orang (60.7%) tidak pernah melakukan perilaku seks berisiko. Dari 26 orang dengan tingkat dorongan rendah, ada 8 orang (30.8%) pernah melakukan perilaku seks berisiko dan 18 orang (68.2%) tidak pernah melakukan perilaku seks berisiko. Hasil analisis ini juga dikonfirmasi oleh hasil uji chi-square dengan nilai sig-p = 0.001, lebih kecil dari sig-α (0.05) yang berarti ada hubungan signifikan antara faktor dorongan seks dengan perilaku seks berisiko.

Pada masa remaja rasa ingin tahu terhadap masalah seksual sangat penting dalam pembentukan hubungan yang lebih matang dengan lawan jenis. Matangnya fungsi-fungsi seksual maka timbul pula dorongandorongan dan keinginan-keinginan untuk pemuasan seksual. Sebagian besar dari remaja biasanya sudah mengembangkan perilaku seksualnya dengan lawan jenis dalam bentuk pacaran atau percintaan. Bila ada kesempatan para remaja melakukan sentuhan fisik, mengadakan pertemuan untuk bercumbu bahkan kadang-kadang remaja tersebut mencari kesempatan untuk melakukan hubungan seksual (Pangkahila dalam Soetjiningsih, 2004).

Sutrisno (2010) yang mengatakan bahwa seseorang yang mempunyai motivasi atau dorongan yang lahir dan dalam dirinya sendiri akan lebih mudah dalam mencapai suatu keberhasilan dibandingkan dengan orang yang membutuhkan motivasi atau faktor pendorong yang berasal dari luar dirinya. Hal ini terjadi karena adanya inisiatif atau kemauan serta keinginan untuk selalu meraih sesuatu yang diharapkan oleh seseorang yang bermotivasi intrinsik tersebut. Biasanya orang yang demikian memiliki sifat aktif. Lain halnya dengan orang yang memiliki sifat pasif yang selalu harus digerakkan oleh pihak lain sehingga kemauan untuk berusaha meraih cita-cita sedikit lamban.

Bertitik tolak dari temuan penelitian dan kajian teori terkait tersebut diatas, penulis mengasumsikan bahwa tidak ada penyimpangan antara temuan penelitian dengan teori terkait.

5.2.3. Hubungan Tujuan Dengan Perilaku Seks Berisiko

Dilihat dari hasil tabulasi silang antara tujuan dengan perilaku seks berisiko, diketahui bahwa dari 36 responden dengan tujuan tinggi, ada 24 orang (66.7%) pernah melakukan perilaku seks berisiko dan 12 orang (33.3%) tidak pernah melakukan perilaku seks berisiko. Selanjutnya, dari 47 responden dengan tujuan tingkat sedang, ada 13 orang (27.78%) pernah melakukan perilaku seks berisiko dan 34 orang (72.3%) tidak pernah melakukan perilaku seks berisiko. Dari 18 orang dengan tingkat tujuan rendah, ada 8 orang (50%) pernah melakukan perilaku seks berisiko dan 8 orang (50%) tidak pernah melakukan perilaku seks berisiko. Hasil analisis ini juga dikonfirmasi oleh hasil uji chi-square dengan nilai sig-p = 0.046, lebih kecil dari sig-α (0.05) yang berarti ada hubungan signifikan antara faktor tujuan seks dengan perilaku seks berisiko.

Desmita, (2006) dalam asuhan keperawatan keluarga dengan perilaku remaja berisiko; merokok, pengguna napza dan seks bebas terdapat faktor risiko untuk remaja berperilaku berisiko dimana masa remaja mengalami perilaku berisiko yaitu; perubahan intelegensia, sehingga menyebabkan remaja menjadi mudah berfikir abstrak serta senang memberi kritik. Disamping itu remaja juga mudah untuk mengetahui hal-hal baru, sehingga memunculkan perilaku ingin mencoba-coba. Keingintahuan yang tinggi, khususnya terkait dengan kesehatan reproduksi remaja, mendorong ingin mencoba dalam bidang seks yang merupakan hal yang sangat rawan, karena dapat membawa akibat yang sangat buruk dan merugikan masa depan remaja, khususnya remaja putri.

Bertitik tolak dari temuan penelitian dan kajian teori terkait tersebut diatas, penulis mengasumsikan bahwa tidak ada penyimpangan antara temuan penelitian dengan teori terkait.

5.2.4. Hubungan Motivasi Dengan Perilaku Seks Berisiko

Dilihat dari hasil tabulasi silang antara motivasi seks dengan perilaku seks berisiko, diketahui bahwa dari 46 responden dengan motivasi tinggi, ada 35 orang (76.1%) pernah melakukan perilaku seks berisiko dan 11 orang (25.9%) tidak pernah melakukan perilaku seks berisiko. Selanjutnya, dari 39 responden dengan motivasi tingkat sedang, ada 8 orang (20.5%) pernah melakukan perilaku seks berisiko dan 31 orang (79.5%) tidak pernah melakukan perilaku seks berisiko. Dari 14 orang dengan tingkat motivasi rendah, ada 2 orang (14.3%) pernah melakukan perilaku seks berisiko dan 12 orang (85.7%) tidak pernah melakukan perilaku seks berisiko. Hasil analisis ini juga dikonfirmasi oleh hasil uji chi-square dengan nilai sig-p = 0.001, lebih kecil dari sig-α (0.05) yang berarti ada hubungan signifikan antara faktor motivasi dengan perilaku seks berisiko.

Motivasi adalah dorongan bertindak untuk memuaskan sesuatu kebutuhan. Dorongan dalam motivasi diwujudkan dalam bentuk tindakan (Sarwono, 2008)

Perilaku seks pranikah pada remaja pada dasarnya bukan murni tindakan mereka saja (faktor internal) melainkan ada faktor pendukung dari luar (faktor eksternal). Menurut Kartono (1995), menjelaskan perilaku seks pranikah yang dilakukan oleh remaja pada umumnya disebabkan oleh disharmoni dalam kehidupan

psikisnya, yang ditandai dengan bertumpuknya konflik-konflik batin, kurang mampu mengendalikan nafsu, kurang berfungsinya kemauan dan hati nurani, serta disorganisasi dan disintegrasi dari kehidupan keluarga.

Masa remaja merupakan proses peralihan atau transisi, baik fisik, emosi, maupun sosial antara masa anak-anak yang penuh kepolosan dan keceriaan dengan masa dewasa yang menjadi awal kedewasaan, kematangan dan kesempurnaan eksistensi manusia. Masa remaja ini memiliki urgensitersendiri dalam kehidupan manusia dan dalam pembentukan kepribadiannya, sebab pada masa tersebut terjadi banyak perubahan besar yang berpengaruh dalam berbagai tahap kehidupan selanjutnya (Hurlock, 1993).

Bertitik tolak dari temuan penelitian dan kajian teori terkait tersebut diatas, penulis mengasumsikan bahwa tidak ada penyimpangan antara temuan penelitian dengan teori terkait.

Dokumen terkait