• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN

4.2. Hasil Penelitian 1. Analisis Univariat

5.2.5. Hubungan Dukungan keluarga dengan Perilaku Seks Berisiko

Dilihat dari hasil tabulasi silang antara dukungan keluarga seks dengan perilaku seks berisiko, diketahui bahwa dari 49 responden dengan dukungan keluarga tinggi, ada 36 orang (73.5%) pernah melakukan perilaku seks berisiko dan 13 orang (26.5%) tidak pernah melakukan perilaku seks berisiko. Selanjutnya, dari 38 responden dengan dukungan keluarga tingkat sedang, ada 8 orang (21.1%) pernah melakukan perilaku seks berisiko dan 30 orang (78.9%) tidak pernah melakukan perilaku seks berisiko. Dari 12 orang dengan tingkat dukungan keluarga rendah, ada 1

orang (8.3%) pernah melakukan perilaku seks berisiko dan 11 orang (91.7%) tidak pernah melakukan perilaku seks berisiko.. Hasil analisis ini juga dikonfirmasi oleh hasil uji chi-square dengan nilai sig-p = 0.001, lebih kecil dari sig-α (0.05) yang berarti ada hubungan linier dan signifikan antara faktor dukungan keluarga seks dengan perilaku seks berisiko.

Menurut Soetjiningsih (2004), bahwa makin baik hubungan orang tua dengan anak remajanya, makin baik perilaku seksual pranikah remaja. Hubungan orang tua remaja, mempunyai pengaruh terhadap perilaku seksual pranikah remaja. Remaja yang melakukan hubungan seksual sebelum menikah banyak diantaranya berasal dari keluarga yang bercerai atau pernah cerai, keluarga dengan banyak konflik dan perpecahan (Kinnaird, 2003).

Konflik orang tua dengan remaja yang tarafnya sedang-sedang saja berperan sebagai fungsi perkembangan positif yang meningkatkan otonomi dan identitas. Sedangkan konflik berat menghasilkan berbagai hasil dampak yang negatif yang dapat mengganggu jiwa remaja sehingga dapat melakukan perilaku yang menyimpang seperti pergaulan bebas (Santrock, 2002). Orang tua dalam memberikan informasi tentang seks pranikah kecil, kecilnya peranan orang tua untuk memberikan informasi kesehatan reproduksi dan seksualitas disebabkan oleh rendahnya pengetahuan orang tua mengenai kesehatan reproduksi serta masih menganggap tabu membicarakan tentang seks pranikah. Apabila orang tua merasa meiliki pengetahuan yang cukup mendalam tentang kesehatan reproduksi, remaja lebih yakin dan tidak merasa canggung untuk membicarakan topik yang berhubungan dengan masalah seks

pranikah (Hurlock, 1993). Sehingga dibutuhkan komunikasi yang baik antara orang tua dengan remaja untuk membicarakan masalah seks pranikah.

Hal ini sesuai dengan pendapat Notoatmodjo (2003) bahwa fasilitas-fasilitas uang waktu tenaga dan sebagainya berpengaruh terhadap perilaku seseorang atau kelompok masyarakat, yang dapat bersifat positif ataupun negatif.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa dukungan informasi berada pada kategori sedang sebanyak 55 orang (55.60%). Hal ini sesuai menurut (Syafrudin, 2008), dimana seringkali remaja merasa bahwa orang tuanya menolak membicarakan masalah kesehatan reproduksi sehingga mereka kemudian mencari alternatif sumber informasi lain seperti teman atau media massa. Remaja sering kali disuguhi majalah, film, acara televisi, lagu, iklan, dan produk-produk yang berdaya khayal dan mengandung pesan ke arah seksual yang merupakan pelengkap konsep realita masyarakat yang dikenal dengan pornografi, merangsang gairah seksual, mendorong orang gila seks, meruntuhkan nilai-nilai moral.

Hasil studi Pustaka Komunikasi FISIP UI (2005), menunjukkan bahwa ketersediaan dan kemudahan menjangkau produk media pornografi merupakan faktor stimulan utama bagi remaja untuk melakukan perilaku seksual pranikah.

Beberapa kajian menunjukkan bahwa remaja sangat membutuhkan informasi mengenai persoalan seksual dan reproduksi. Remaja seringkali memperoleh informasi yang tidak akurat mengenai kesehatan reproduksi dari teman-teman mereka, bukan dari petugas kesehatan, guru atau orang tua (Saifuddin dan Hidayana, 1999). Teman-teman yang tidak baik berpengaruh terhadap munculnya perilaku seks menyimpang

(Hady, 2009). Sehingga informasi yang baik dan akurat diperlukan oleh remaja untuk menghindari pengaruh buruk yang dapat menimbulkan perilaku seksual yang menyimpang (Anonim, 2005).

Bailon dan Maglaya dalam Sudiharto (2007) menyatakan bahwa keluarga adalah dua atau lebih individu yang bergabung karena hubungan darah, perkawinan atau adopsi. Mereka hidup dalam satu rumah tangga, melakukan interaksi satu sama lain menurut peran masing-masing, serta menciptakan dan mempertahankan suatu budaya. Keluarga juga dapat diartikan suatu kelompok yang terdiri dan dua orang atau lebih yang direkat oleh ikatan darah, perkawinan, atau adopsi serta tinggal bersama.

Dukungan keluarga merupakan suatu proses yang terjadi sepanjang masa kehidupan, sifat dan jenis dukungan berbeda-beda pada setiap tahap siklus kehidupan (Friedman, 1998). Sudiharto (2007) menyatakan, setiap anggota keluarga mempunyai struktur peran formal dan informal. Misalnya, ayah mempunyai peran formal sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah. Peran informal ayah adalah sebagai panutan dan pelindung keluarga. Struktur kekuatan keluarga meliputi kemampuan berkomunikasi, kemampuan keluarga untuk saling berbagi, kemampuan sistem pendukung diantara anggota keluarga, kemampuan perawatan diri, dan kemampuan menyelesaikan masalah.

Dalam hal komunikasi orang tua dengan remaja, remaja seringkali merasa tidak nyaman atau tabu untuk membicarakan masalah seksualitas dan kesehatan reproduksinya (Syafrudin, 2008). Remaja lebih senang menyimpan dan memilih

jalannya sendiri tanpa berani mengungkapkan kepada orang tua. Hal ini disebabkan karena ketertutupan orang tua terhadap anak terutama masalah seks yang dianggap tabu untuk dibicarakan serta kurang terbukanya anak terhadap orang tua karena anak merasa takut untuk bertanya (Dhede, 2002).

Komunikasi antara orang tua dengan remaja dikatakan berkualitas apabila kedua belah pihak memiliki hubungan yang baik dalam arti bisa saling memahami, saling mengerti, saling mempercayai dan menyayangi satu sama lain, sedangkan komunikasi yang kurang berkualitas mengindikasikan kurangnya perhatian, pengertian, kepercayaan dan kasih sayang di antara keduanya (Hopson, 2002). Magdalena (2000) juga mengemukakan bahwa komunikasi yang menguntungkan kedua belah pihak, dalam hal ini antara orang tua dengan remaja adalah komunikasi yang timbal balik, ada keterbukaan, spontan dan ada feedback dari kedua pihak antara orang tua dan remaja.

Orang tua dalam memberikan informasi kesehatan reproduksi kecil, kecilnya peranan orang tua untuk memberikan informasi kesehatan reproduksi dan seksualitas disebabkan oleh rendahnya pengetahuan orang tua mengenai kesehatan reproduksi serta masih menganggap tabu membicarakan tentang kesehatan reproduksi. Apabila orang tua merasa meiliki pengetahuan yang cukup mendalam tentang kesehatan reproduksi, remaja lebih yakin dan tidak merasa canggung untuk membicarakan topik yang berhubungan dengan masalah seks pranikah (Hurlock, 1993).

Ketidaktahuan orang tua tentang kesehatan reproduksi, atau tidak mengerti konsep pendidikan seks, remaja dapat mencari informasi di luar rumah yang justru

sering mengarahkan mereka pada solusi yang menjerumuskan. Keluarga yang mengabaikan pengawasan terhadap media informasi, remaja dapat dengan mudah meniru perilaku-perilaku yang menyimpang (Hady, 2009). Peran orang tua sangat diperlukan dalam memberikan informasi dan bimbingan tentang seksualitas kepada anak remajanya.

Menurut Rohmahwati (2008), paparan media massa, baik cetak (koran, majalah, buku-buku porno) maupun elektronik (TV, VCD, Internet), mempunyai pengaruh terhadap remaja untuk melakukan hubungan seksual pranikah. Pengetahuan tentang kesehatan reproduksi yang diperoleh remaja dari media massa belum digunakan untuk pedoman perilaku seksual yang sehat dan bertanggung jawab. Justru paparan informasi seksualitas dari media massa (baik cetak maupun elektronik) yang cenderung bersifat pornografi dan pornoaksi dapat menjadi referensi yang tidak mendidik bagi remaja. Remaja yang sedang dalam periode ingin tahu dan ingin mencoba, akan meniru apa yang dilihat atau didengarnya dari media massa tersebut. Maka dari itu sumber informasi yang baik dan bertanggung jawab diperlukan oleh remaja, agar remaja tidak salah dalam mendapatkan sumber informasi.

Hal yang samna juga dikemukakan oleh Caplan (1964) dalam Friedman (1998) menjelaskan bahwa keluarga memiliki beberapa fungsi dukungan yaitu: dukungan informasional dimana keluarga berfungsi sebagai sebuah kolektor dan diseminator (penyebar) informasi tentang dunia. Menjelaskan tentang pemberian saran, sugesti, informasi yang dapat digunakan mengungkapkan suatu masalah.

Manfaat dari dukungan ini adalah dapat menekan munculnya suatu stressor karena informasi yang diberikan dapat menyumbangkan aksi sugesti yang khusus pada individu. Aspek-aspek dalam dukungan ini adalah nasehat, usulan, saran, petunjuk dan pemberian informasi. Demikian juga fungsi keluarga dalam memberikan dukungan penilaian dimana keluarga bertindak sebagai sebuah bimbingan umpan balik, membimbing dan menengahi pemecahan masalah, sebagai sumber dan validator indentitas anggota keluarga di antaranya memberikan support, penghargaan, perhatian. Dalam hal dukungan instrumental, keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis dan konkrit, di antaranya: kesehatan penderita dalam hal kebutuhan makan dan minum, istirahat, terhindarnya penderita dan kelelahan. Dan dalam memberikan dukungan dukungan emosional, keluarga sebagai tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi. Aspek-aspek dan dukungan emosional meliputi dukungan yang diwujudkan dalam bentuk afeksi, adanya kepercayaan, perhatian, mendengarkan dan didengarkan.

Perubahan-perubahan fisik, kognitif dan sosial yang terjadi dalam perkembangan remaja mempunyai pengaruh yang besar terhadap relasi orang tua-remaja yaitu perjuangan untuk memperoleh otonomi, baik secara fisik dan psikologis. Akan tetapi faktor keterikatan yang kuat antara orang tua dan remaja juga penting dalam menentukan arah perkembangan remaja sehingga orang tua senantiasa harus menjaga dan mempertahankan keterikatan tersebut. Dengan kata lain, bahwa ketika remaja menuntut otonomi, maka orang tua yang bijaksana harus melepaskan kendali

dalam bidang-bidang dimana remaja dapat mengambil keputusan-keputusan yang masuk akal, di samping terus memberikan bimbingan untuk mengambil keputusan-keputusan yang masuk akal pada bidang-bidang dimana pengetahuan anak remajanya masih terbatas (Desmita, 2006).

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan hasil penelitian yang telah dipaparkan pada bagian terdahulu, maka dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut :

1. Faktor kebutuhan, dorongan dan tujuan memiliki hubungan signifikan dengan perilaku seks berisiko.

2. Faktor dukungan informasional, dukungan penilaian, dukungan instrumental dan dukungan emosional memiliki hubungan signifikan dengan faktor perilaku seks berisiko.

3. Motivasi dan dukungan keluarga berpengaruh signifikan terhadap perilaku seks berisiko.

4. Faktor dukungan keluarga 3 kali lebih berpengaruh dibandingkan motivasi diri dalam mempengaruhi perilaku seks berisiko

6.2. Saran

1. Bagi Dinas Pendidikan

Penelitian ini dapat dijadikan pertimbangan untuk memasukkan kurikulum kesehatan reproduksi diberikan kepada siswa-siswi melalui bimbingan konseling yang lebih mendalam.

Dokumen terkait