• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN 4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

D. Produk Layanan

4.4. Analisis Multivariat

Berdasarkan analisis hubungan antara komunikasi terapeutik yang terdiri dari sikap perawat, isi informasi, dan teknik komunikasi dengan kepatuhan penderita TB paru, maka dapat diidentifikasi bahwa variabel sikap perawat, isi informasi dan teknik

komunikasi dapat dimasukkan sebagai model dalam analisis multivariat karena nilai p menunjukkan < 0,25.

Analisis multivariat merupakan analisis untuk identifikasi variabel independen yang mempunyai pengaruh paling dominan secara statistik terhadap variabel dependen, dan dalam penelitian ini menggunakan uji regresi logistik dengan metode enter. Hasil analisis statistik penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4.18 berikut ini.

Tabel 4.18. Hasil Uji Regresi Logistik Pengaruh Komunikasi Terapeutik terhadap Kepatuhan Berobat Penderita TB Paru Rawat Jalan di RSUD Sidikalang Kabupaten Dairi Tahun 2011

Variabel B (Exp) B P Value

Sikap Perawat 2,706 14,968 0,025

Isi Informasi 4,023 55,844 0,008

Teknik Komunikasi 3,540 34,483 0,009

Constant -26,460 0,000 0,002

Sumber: Lampiran 7 (diolah)

Pada Tabel 4.18 di atas menunjukkan bahwa berdasarkan hasil uji regresi logistik bahwa variabel sikap perawat, isi informasi dan teknik komunikasi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kepatuhan berobat penderita TB paru rawat jalan RSUD Sidikalang Kabupaten Dairi dengan nilai signifikansi masing-masing variabel < 0,05.

Hasil analisis uji regresi logistik menunjukkan bahwa variabel yang paling dominan memengaruhi kepatuhan berobat penderita TB paru rawat jalan RSUD Sidikalang Kabupaten Dairi adalah isi informasi dengan nilai p value 0,008 dimana nilai p value tersebut paling kecil dari variabel lainnya.

Berdasarkan nilai koefisien B yang tertinggi adalah variabel isi informasi yaitu 55,844. Ini menunjukkan bahwa variabel tersebut merupakan variabel yang paling dominan memengaruhi kepatuhan berobat penderita TB paru. Besar pengaruh variabel tersebut dapat dilihat dari nilai Exp (B) dimana dari hasil terlihat bahwa jika isi informasi baik maka peluang responden untuk patuh berobat 55,844 kali dibandingkan jika isi informasi kurang atau tidak baik setelah dikontrol oleh variabel sikap perawat dan teknik komunikasi.

BAB 5 PEMBAHASAN 5.1. Karakteristik Responden

Dari 53 penderita TB paru rawat jalan di RSUD Sidikalang Kabupaten Dairi yang menjadi responden penelitian, mayoritas umur responden adalah kelompok dewasa tua (36-50 tahun) yaitu sebanyak 33 orang (62,3%). Hal ini sesuai dengan berbagai penelitian yang menyimpulkan bahwa penyakit TB paru terutama ditemukan pada usia produktif (Crofton, 1999; Reichman, 2000; Enarson, 2004). Hal tersebut juga sesuai dengan hasil penelitian WHO (1997), bahwa penderita TB paru banyak pada usia produktif, dan usia ini sangat berpengaruh terhadap produktifitas kerja. Tetapi berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Suswati (2007) tentang karakteristik penderita tuberkulosis paru di Kabupaten Jember bahwa proporsi tertinggi penderita TB paru pada kelompok dewasa muda (15-35 tahun).

Beberapa penelitian mengkonfirmasikan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara umur dengan kepatuhan berobat, dimana umur semakin tua kepatuhan berobatnya semakin tinggi karena usia tua tidak disibukkan dengan pekerjaan sehingga dapat datang berobat secara teratur (Rusmani, 2006). Hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh beberapa peneliti yang menyatakan bahwa umur tidak berpengaruh terhadap tindakan seseorang karena adanya faktor perantara seperti sikap seseorang dan faktor lain yang memengaruhi kehendak seseorang (Bart, 1994).

Selanjutnya, hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas responden berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 44 orang (83,0%) dan sisanya 9 orang (17,0%) berjenis kelamin perempuan. WHO melaporkan setiap tahunnya penderita TB paru 70% lebih banyak pada laki-laki daripada perempuan. Secara umum perbandingan antara perempuan dan laki-laki berkisar 1:1,5-2,1 (Diwan, 1999).

Secara epidemiologi dibuktikan terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal prevalensi infeksi, progresivitas penyakit, insiden dan kematian akibat TB. Perkembangan penyakit juga mempunyai perbedaan antara laki-laki dan perempuan yaitu perempuan mempunyai penyakit yang lebih berat pada saat datang ke rumah sakit. Perempuan lebih sering terlambat datang ke pelayanan kesehatan dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini mungkin berhubungan dengan aib dan rasa malu lebih dirasakan pada perempuan dibanding laki-laki. Perempuan juga lebih sering mengalami kekhawatiran akan dikucilkan dari keluarga dan lingkungan akibat penyakitnya (Syafrizal, 2002).

Erawatyningsih (2009) menyatakan bahwa laki-laki lebih rentan terhadap penyakit TB paru. Hal ini disebabkan karena beban kerja mereka yang berat, istirahat yang kurang, serta gaya hidup yang tidak sehat diantaranya adalah merokok dan minum alkohol. Akan tetapi menurut hasil penelitian Erawatyningsih, tidak ada pengaruh yang signifikan jenis kelamin terhadap ketidakpatuhan penderita TB paru

Beberapa penelitian juga menkonfirmasikan bahwa tingkat kepatuhan tidak mempunyai hubungan bermakna dengan jenis kelamin, dan dari hasil penelitian tersebut didapatkan bahwa mayoritas penderita TB paru berjenis kelamin laki-laki,

hal ini disebabkan karena laki-laki kurang memperhatikan kesehatannya dan gaya hidup yang tidak sehat (Rusmani, 2006).

Hasil penelitian tersebut di atas tidak sesuai dengan beberapa teori menyatakan bahwa perempuan lebih banyak melaporkan gejala penyakitnya dan berkonsultasi dengan dokter karena wanita cenderung memiliki perilaku yang lebih tekun daripada laki-laki (Masniari, 2007).

Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Laode (2004) dalam penelitiannya yang berjudul pengaruh gender terhadap kepatuhan minum obat penderita tuberkulosis dengan menggunakan program DOTS di Kabupaten Purworejo, menyatakan bahwa perempuan lebih patuh minum obat dibandingkan laki-laki karena perempuan lebih sabar menunggu, dimana tuberkulosis paru membutuhkan pengobatan jangka lama.

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa mayoritas penderita TB paru berjenis kelamin laki-laki, akan tetapi perempuan lebih patuh minum obat dibandingkan laki-laki.

Selanjutnya, hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas responden mempunyai latar belakang pendidikan SLTA yaitu sebanyak 28 orang (52,8%), diikuti dengan pendidikan Akademi/Perguruan Tinggi sebanyak 13 orang (24,5%), dan dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan responden tergolong tinggi. Hasil penelitian yang dikemukakan oleh beberapa peneliti lain bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang maka makin besar kemampuan untuk menyerap, menerima atau mengadopsi informasi. Hal ini berarti semakin rendah tingkat pendidikan maka

semakin tidak patuh penderita berobat karena rendahnya pendidikan seseorang sangat memengaruhi daya serap seseorang dalam menerima informasi sehingga dapat memengaruhi tingkat pemahaman tentang penyakit TB paru, cara pengobatan, dan bahaya akibat minum obat tidak teratur.

Selain itu, hasil penelitian Erawatyningsih (2009) menyatakan bahwa pendidikan yang rendah merupakan faktor dominan yang memengaruhi ketidakpatuhan berobat pada penderita TB paru di wilayah kerja Puskesmas Dompu Barat Kecamatan Woja Kabupaten Dompu Propinsi Nusa Tenggara Barat. Maka petugas kesehatan perlu meningkatkan penyuluhan untuk meningkatkan pemahaman dan memberikan motivasi bagi penderita yang berpendidikan rendah agar penderita dan keluarga dapat memahami tentang penyakit TB paru, cara pencegahan dan akibat dari tidak teraturnya menjalankan pengobatan, sehingga dapat meningkatkan kepatuhan penderita untuk datang berobat, mengingat pengobatan penderita TB paru membutuhkan waktu yang cukup lama dengan berbagai risiko kebosanan dan putus berobat. Sehinga pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan secara tidak langsung memengaruhi tingkat kepatuhan berobat penderita TB paru.

Selanjutnya, hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas responden mengambil sendiri OAT ke rumah sakit yaitu sebanyak 39 orang (73,6%), dan mayoritas responden menyatakan bahwa yang bertindak sebagai Pengawas Menelan Obat (PMO) adalah keluarga yaitu sebanyak 30 orang (56,6%).

Banyak faktor yang memengaruhi keberhasilan penanggulangan TB paru. PMO menjadi salah satu alternatif yang strategis dalam menghadapi permasalahan

kepatuhan berobat penderita TB paru. Dalam pengawasan pengobatan, petugas kesehatan harus mengikutsertakan keluarga sebagai pengawas pengobatan agar penderita dapat berobat secara kontinu. Dukungan masyarakat dan keluarga sebagai pengawas dan pemberi semangat kepada penderita mempunyai peran yang sangat besar dalam peningkatan pengobatan penderita (Hutapea, 2006).

Beberapa penelitian mengatakan sumbangan terbesar dari seluruh variabel terhadap kepatuhan berobat ada pada dukungan keluarga. Hal ini disebabkan sebagian besar PMO adalah anggota keluarga penderita TB paru sehingga akan lebih efisien dan efektif dalam melakukan pengawasan dalam pengobatan (Rusmani, 2006).

Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Hutapea (2006) dalam penelitiannya yang menyatakan bahwa dukungan keluarga dapat meningkatkan kepatuhan minum OAT penderita TB paru. Hal ini disebabkan karena keluarga merupakan orang yang terdekat dengan penderita yang memiliki hubungan emosional dan batin yang tinggi, sehingga keluarga selalu berupaya mencari kesembuhan apabila ada anggota keluarga yang terkena penyakit. Berbagai upaya yang dapat dilakukan adalah mencari layanan kesehatan, mengingatkan dan mengawasi penderita minum obat, dan memenuhi kebutuhan lainnya yang mendukung arah kesembuhan.

Sedangkan Labanto (2009) dalam penelitiannya menyatakan bahwa keterlibatan PMO yaitu petugas kesehatan terhadap tugasnya pada terapi TB paru dalam kategori baik yaitu sebesar 51,4%, yang terdiri dari mengawasi penderita minum obat sebesar 54,3%, memberi dorongan untuk minum obat dengan teratur

sebesar 71,4%, mengingatkan penderita periksa dahak sebesar 51,4%, dan penyuluhan pada anggota keluarga sebesar 57,1%.

Selanjutnya, Muksin (2008) meneliti tentang faktor-faktor yang memengaruhi keteraturan minum obat penderita TB paru yang mengalami konversi di kota Jambi, menyatakan bahwa secara statistik ada perbedaan yang bermakna antara keteraturan minum obat penderita TB paru yang ada PMO dibandingkan dengan yang tidak ada PMO. Penderita yang mempunyai PMO lebih besar untuk menjadi teratur dalam minum OAT dibandingkan dengan penderita yang tidak mempunyai PMO.

Sementara itu, beberapa penelitian juga mengkonfirmasikan bahwa penderita yang mengalami pengobatan secara tidak teratur 50% diantaranya tidak mempunyai PMO dan penderita TB paru yang berobat tidak teratur memiliki risiko tidak sembuh 6,91 kali. Hal ini menunjukkan bahwa peran PMO masih sangat rendah dalam pengawasan menelan obat dan kontrol secara teratur (Purwanta, 2005).

Selanjutnya adalah tentang sumber informasi yang diperoleh responden terkait penyakit dan pengobatannya. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa mayoritas responden menyatakan kadang-kadang mendapatkan informasi dari petugas kesehatan yaitu sebanyak 31 orang (58,5%), sebanyak 26 orang (49,1%) menyatakan selalu mendapat informasi dari keluarga/teman, sebanyak 49 orang (92,5%) menyatakan tidak pernah mendapatkan informasi dari televisi atau radio, dan hanya 26 orang (49,1%) yang menyatakan selalu mendapatkan informasi dari majalah/koran/buku.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut di atas, menunjukkan bahwa responden kurang memperoleh informasi dari petugas kesehatan. Responden lebih banyak memperoleh informasi dari keluarga/teman. Hal ini sangat wajar karena keluarga/teman merupakan orang terdekat penderita TB paru yang bisa memberikan informasi kepada penderita demi mempercepat kesembuhan anggota keluarganya. Responden juga dapat memperoleh informasi dari majalah/koran/buku, sepanjang penderita mempunyai kemauan besar untuk membaca majalah/koran/buku tentang topic-topik yang relevan dengan penyakitnya saat ini. Ternyata, sebagian besar responden tidak pernah mendapatkan informasi dari televisi atau radio, padahal televisi atau radio merupakan salah satu media informasi yang cukup besar peranannya dalam memengaruhi perilaku seseorang. Hal ini bisa disebabkan banyak faktor, antara lain: tidak memiliki televisi atau radio, tidak memiliki waktu yang cukup untuk menonton atau mendengarkan televisi atau radio, dan televise atau radio jarang menyiarkan acara-acara yang berhubungan dengan penyakit TB paru.

Daya persuasi atau pengaruh suatu pesan sangat tergantung pada media apa yang pilih komunikator untuk memindahkan pesan atau informasi kesehatan. Ada beberapa media yang dapat digunakan, mulai dari media sensoris hingga media yang diciptakan manusia. Melalui media sensoris dalam komunikasi tatap muka merupakan konteks komunikasi yang paling efektif, karena mempunyai kemampuan persuasi yang sangat tinggi daripada media lain (Liliweri, 2008).

Menurut Joenoes (1998), seorang petugas kesehatan yang tidak komunikatif terhadap penderita akan menyebabkan penderita tidak mematuhi atau tidak

menggunakan obat yang diberikan kepadanya. Penyuluhan yang efektif diberikan petugas kesehatan akan memberikan motivasi untuk patuh oleh penderita. Joenoes juga menyatakan apabila penderita tidak dapat baca tulis maka petugas kesehatan memberikan keterangan secara lisan dan berulang-ulang sehingga penderita merasa yakin dan mengerti informasi yang diberikan.

5.2. Tingkat Kepatuhan Berobat Penderita TB Paru Rawat Jalan di RSUD